Tadinya Eksklusif di PS4, Horizon Zero Dawn Akan Hadir di PC Pertengahan Tahun Ini

Microsoft bisa dikatakan sebagai produsen console pertama yang (pada akhirnya) mempromososikan keterbukaan platform. Tapi hal ini tidak begitu mengherankan mengingat pada dasarnya mereka juga merupakan pemilik Windows – ‘rumah’ bagi lebih dari satu miliar gamer PC. Menariknya, belakangan Sony pelan-pelan membuntuti langkah Microsoft dan mulai melepas game-game eksklusifnya di PC.

Tak lama setelah membiarkan Quantic Dream merilis deretan permainannya di Windows, dikonfirmasi pula eksistensi versi PC dari remake Final Fantasy VII dan Death Stranding. Menyusul rumor dan spekulasi, pihak Sony sendiri yang mengabarkan agenda peluncuran satu game eksklusif PlayStation 4 kreasi studio first-party Guerrilla Games di Windows: Horizon Zero Dawn. Pengumuman ini dibarengi oleh munculnya laman Horizon Zero Dawn di Steam.

IMG_11032020_113536_(1000_x_650_pixel)

Horizon Zero Dawn rencananya akan mendarat di PC di tahun ini. Developer belum menyingkap secara spesifik jadwal rilisnya, namun sepertinya kita tak perlu menunggu terlalu lama. Menurut keterangan Hermen Hulst selaku head of worldwide studios baru Sony Interactive Entertainment, game dijadwalkan buat dilepas di ‘musim panas’. Sebelum menduduki jabatan penting tersebut, Hulst bertanggung jawab sebagai managing director di Guerrilla Games.

Gamer PC akan mendapatkan Horizon Zero Dawn Complete Edition. Melengkapi permainan utama, Complete Edition dibundel bersama expansion pack The Frozen Wilds serta bermacam-macam bonus in-game yang sempat disediakan di PS4 (misalnya Carja, Banuk serta Nora Pack). Sejauh ini, developer masih belum mengungkap detail teknis game – misalnya fitur baru yang mereka bubuhkan di sana serta perbedaan antara edisi PC dan PlayStation 4. Bahkan screenshot di Steam masih menggunakan versi PS4 Pro.

IMG_11032020_113610_(1000_x_650_pixel)

Pengumuman Horizon Zero Dawn versi PC secara langsung oleh Sony mungkin ‘mengusik’ fans fanatik PlayStation. Bagaimana pun juga, game eksklusif ialah hal yang sangat dibangga-banggakan gamer-nya dan alasan mengapa Sony bisa mengungguli Microsoft dalam penjualan console. Lewat edisi Windows tersebut, perusahaan bermaksud untuk mengenalkan salah satu franchise andalannya ke konsumen yang tak sempat menikmatinya.

Namun Hulst juga menekankan bahwa gamer PlayStation tidak perlu cemas. Tak semua permainan first-party PlayStation 4 akan di-port ke PC. Perusahaan berjanji untuk terus memegang komitmen mereka mendukung hardware dan ekosistem gaming-nya.

IMG_11032020_113634_(1000_x_650_pixel)

Saya pribadi melihat penyediaan Horizon Zero Dawn di Windows sebagai sebuah langkah strategis. Horizon Zero Dawn adalah game berusia tiga tahun. Alasan mengapa ada pemilik PlayStation 4 yang belum menikmatinya bisa jadi karena masalah anggaran (sudah dialokasikan buat judul lain) atau memang mereka tidak berminat dengan permainan ini. Itu berarti, menghadirkan Horizon Zero Dawn di PC berpotensi untuk menambah jumlah gamer dan fans  franchise tersebut.

Komite Parlemen Australia Melarang Adanya Loot Boxes di Games

Komite parlemen Australia merekomendasi peraturan terhadap loot boxes kepada pemerintah Australia. Harapannya, pemberlakuan aturan umur minimal dalam pembelian loot boxesHal ini termasuk dari enam rekomendasi yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Australia mengenai Legal Affairs into age verification for online wagering and pornography. 

Secara spesifik, rekomendasi ini menyebutkan pelarangan akses loot boxes dan hal yang memiliki elemen perjudian di dalam video games kepada anak di bawah umur 18 tahun. Komite parlemen Australia juga meminta Digital Transformation Agency bekerja sama dengan Australian Cyber Security Centre untuk menyusun regulasi mengenai age verification. Dengan demikian, mereka berharap anak-anak tidak bisa mengakses konten di dalam video game yang bisa membahayakan mereka.

Sumber: Digital Trends
Sumber: Digital Trends

Berdasarkan Interactive Gambling Act di Australia, loot box tidak dikategorikan sebagai judi atau taruhan. Tetapi komite parlemen Australia tidak ingin hal tersebut memiliki kemungkinan untuk menstimulasi anak-anak untuk melakukan perjudian di kemudian hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BMC, menunjukan bahwa ada 40% anak-anak di Australia yang pernah melakukan judi.

Argumentasi telah berjalan, pihak pemerintah Australia menganggap bahwa loot boxes tidak sama dengan perjudian. Hal tersebut dikarenakan loot boxes tidak akan membuat seseorang kehilangan semua uangnya. Berbeda dengan perjudian yang memiliki kemungkinan untuk membuat seseorang untuk kehilangan semua uangnya yang dijadikan taruhan. Pemerintah Australia juga menyebutkan bahwa perjudian memang menjadi permasalahan serius di Australia. Tetapi minimnya data yang menyebutkan adanya keterkaitan antara loot boxes dan perjudian membuat pemerintah Australia belum bisa melakukan perubahan secara legislatif.

Beberapa negara memang sudah melarang adanya loot boxes di dalam video game. Belgia adalah negara pertama yang resmi menulis peraturan tersebut. Menteri Kehakiman Belgia yaitu Koen Geens berkata bahwa loot boxes merupakan perpaduan antara gaming dan gambling. “Hal ini akan berbahaya bagi kesehatan mental mereka.” Sehingga apapun yang bisa dibeli dengan uang harus dihilangkan di dalam video games.

Game Horor Eksklusif PSVR The Persistence Akan Hadir di PC dan Console Lain

Eksplorasi di ranah virtual reality gaming mengingatkan saya pada upaya eksperimen para developer di akhir tahun 90-an ketika sejumlah genre game (misalnya first-person shooter) belum memiliki standar baku. Ada cukup banyak permainan menarik yang meluncur pasca tersedianya head-mounted display VR kelas konsumen terjangkau garapan Oculus dan HTC, salah satunya ialah The Persistence kreasi tim Firesprite untuk PSVR.

Meluncur di PlayStation 4 pada tahun 2018, The Persistence menawarkan premis yang tidak biasa: kombinasi antara genre survival horror, stealth dan roguelike, dikemas dalam latar belakang fiksi ilmiah. Dan dua tahun berselang, Firesprite memutuskan untuk menghidangkan The Persistence di lebih banyak platform tanpa mengharuskan gamer memiliki headset virtual reality. Game rencananya akan tersedia di PC via Steam, Switch dan Xbox One (termasuk versi non-VR buat PS4) di pertengahan tahun ini.

Permainan menempatkan Anda sebagai satu-satunya kru kapal Persistence yang hidup setelah terjadinya insiden ‘spark gap‘ dan menyebabkannya terjebak di lubang hitam. Misi untuk menghuni planet lain berubah jadi perjuangan bertahan hidup karena kecelakaan tersebut memicu invasi mutan mematikan. Anda tidak diharapkan buat selamat, tapi masih ada kesempatan untuk keluar dari situasi ini.

Layaknya permainan roguelike lain, kematian merupakan bagian dari gameplay The Persistence. Tiap kali Anda melakukan kesalahan yang menyebabkan sang tokoh utama tewas mengenaskan, ia akan dilahirkan (lebih tepatnya ‘dicetak‘) lagi dengan mesin clone. Tugas Anda adalah memperbaiki kapal ini dan membawanya pulang ke Bumi. Namun tiap kali Anda di-clone, layout ruang kapal akan berubah, sehingga tak ada satu sesi permainan yang sama.

IMG_10032020_154143_(1000_x_650_pixel)

Firesprite memoles sejumlah hal di versi anyar ini, terutama aspek visual, user interface dan input kendali – agar kualitas grafisnya tak kalah dari game-game yang dirilis di 2020 serta nyaman dimainkan menggunakan sistem input standar. Tentu saja The Persistence juga dapat dinikmati melalui headset virtual reality lain seperti Oculus Rift, HTC Vive, termasuk pula perangkat Windows Mixed Reality.

Di PlayStation 4 (via PSVR), The Persistence didukung oleh aplikasi companion di perangkat bergerak. Fitur ini memungkinkan disajikannya mode multiplayer kooperatif ‘asimetris’. Ketika Anda sedang fokus mengerjakan misi, kawan Anda bisa membantu menemukan item-item penting, mengidentifikasi posisi lawan, bahkan membuat musuh berhenti bergerak sehingga Anda bisa mudah menumbangkannya.

IMG_10032020_154150_(1000_x_650_pixel)

Sejauh ini Firesprite belum mengonfirmasi apakah dukungan aplikasi turut dihadirkan di edisi baru The Persistence. Lalu developer juga belum menjelaskan secara detail perbedaan gameplay antara versi non-VR dengan The Persistence di PSVR. Saya menduga ada banyak aspek kendali yang dimodifikasi serta disederhanakan.

Via Eurogamer.

Durasi Bermain Fortnite Turun, Total Belanja Pemain Justru Naik

Pada 2019, dua tahun setelah diluncurkan, Fortnite masih berhasil menjadi game free to play dengan pendapatan terbesar. Meskipun begitu, laporan terbaru dari LendEDU menunjukkan bahwa lama waktu bermain para pemain Fortnite mulai mengalami penurunan pada 2020.

Pada 2018, jumlah pemain yang memainkan Fortnite selama 21 jam atau lebih mencapai 8 persen. Angka itu turun menjadi 5 persen pada 2020. Sementara jumlah pemain yang bermain selama 16-20 jam juga mengalami penurunan, dari 13 persen pada 2018 menjadi 8 persen pada 2020. Jumlah pemain yang bermain selama 11-15 jam msaih tetap sama, yaitu 17 persen. Pada 2018, kebanyakan pemain (33 persen) bermain selama 6-12 jam. Angka itu naik 1 persen menjadi 34 persen pada 2019. Sementara jumlah pemain yang bermain selama 0-5 jam naik dari 29 persen menjadi 36 persen. Anda bisa melihat perbandingan lama bermain Fortnite pada 2020 dan pada 2018 pada grafik di bawah ini.

belanja pemain Fortnite
Perbandingan durasi bermain Fortnite pada 2018 dan 2020. | Sumber data: LendEDU

Menariknya, meskipun lama durasi bermain mengalami penurunan, jumlah pemain membeli item dalam game justru naik. Pada 2018, ada 66 persen pemain yang membeli item dalam Fortnite. Tahun ini, angka itu naik menjadi 77 persen. Tak hanya itu, total rata-rata yang dihabiskan oleh para pemain Fortnite juga mengalami. Jumlah rata-rata uang yang dihabiskan pemain Fortnite naik 21 persen, dari US$84,67 (sekitar Rp1,2 juta) menjadi US$102,42 (sekitar Rp1,5 juta).

Sayangnya, jumlah orang yang percaya bahwa membeli skin di Fortnite akan membantu mereka bermain lebih baik juga bertambah. Pada 2018, hanya 20 persen pemain yang percaya bahwa item dalam game akan meningkatkan kemampuan mereka. Sekarang, angka itu naik menjadi 35 persen. Padahal, skin dalam Fortnite hanyalah kosmetik yang tak memberikan pengaruh apapun pada performa permainan.

Data dari LendEDU juga menunjukkan bahwa 58 persen pembelian item yang dilakukan oleh pemain Fortnite terjadi dalam waktu 12 bulan belakangan. Itu artinya, meskipun telah berumur lebih dari dua tahun, pemain Fortnite masih aktif melakukan pembelian item dalam game. Memang, menurut data dari SuperData, Fortnite menyumbangkan US$1,8 miliar pada pendapatan Epic Games pada 2019 lalu.

belanja pemain fortnite
Merchandise Fortnite. | Sumber: Fortnite

Menurut survei LendEDU, orang-orang yang membeli skin dalam Fortnite juga tertarik untuk membeli merchandise terkait Fortnite. Sebanyak 50 persen responden mengatakan bahwa mereka pernah membeli merchandise Fortnite atau merchandise dari streamer populer seperti Ninja.

Selain kebiasaan spending pemain Fortnite, LendEDU juga tertarik untuk tahu tentang ketertarikan para pemain Fortnite dengan esports. Ketika ditanya apakah mereka lebih suka liga olahraga tradisional atau turnamen esports, sebanyak 68 persen responden mengaku bahwa mereka lebih menyukai liga olahraga tradisional sementara 21 persen responden mengklaim mereka lebih menyukai liga esports dan 11 persen sisanya menjawab tidak yakin.

Acer Luncurkan Monitor Gaming dengan Panel Layar IPS dan Refresh Rate 240 Hz

Refresh rate 240 Hz dan tipe panel IPS masih merupakan kombinasi yang cukup langka di ranah monitor gaming. Rata-rata monitor 240 Hz menggunakan panel TN, akan tetapi belakangan mulai banyak pabrikan yang memproduksi monitor 240 Hz dengan panel IPS.

Acer adalah salah satunya. Di Jepang, mereka baru meluncurkan Predator XB3. Hadir dalam dua ukuran – 24,5 inci dan 27 inci – Predator XB3 mengunggulkan panel layar bertipe Fast IPS dengan refresh rate 240 Hz dan dukungan Nvidia G-Sync.

Mengapa harus IPS? Dibandingkan panel bertipe TN, IPS lebih unggul soal kekayaan warna dan viewing angle (sampai seluas 178°). Dua monitor ini menawarkan rasio kontras 1000:1 dan mendukung 99% spektrum warna sRGB. Keduanya juga sudah mengantongi sertifikasi Display HDR400.

Satu kelemahannya adalah resolusi; keduanya sama-sama mengusung resolusi 1080p. 1080p di layar 24,5 inci mungkin masih terlihat wajar. Di 27 inci, saya pribadi lebih memilih resolusi 1440p. Kendati demikian, kita juga tak boleh lupa bahwa resolusi 1440p menuntut spesifikasi PC yang jauh lebih mumpuni lagi.

Perihal konektivitas, dua monitor ini sama-sama menawarkan satu port DisplayPort 1.2a, sepasang port HDMI 2.0b, empat port USB 3.0, dan headphone jack. Stand-nya cukup fleksibel soal pengaturan posisi (tinggi, tilt, dan swivel), dan monitor ini pun dapat digunakan dalam orientasi portrait andai diperlukan.

Di Jepang, Acer memasarkan Predator XB3 24,5 inci seharga 46.000 yen (± Rp 6,4 juta) dan 27 inci seharga 55.000 yen (± Rp 7,6 juta). Sayang belum ada informasi terkait pemasarannya di negara-negara lain.

Sumber: AnandTech.

Game Battle Royale Call of Duty: Warzone Siap Meluncur Minggu Ini

Call of Duty ialah salah satu franchise shooter populer yang segera merespons meledaknya tren battle royale dengan turut menyediakan mode ini di game-nya. Tidak tanggung-tanggung, last man standing bahkan menggantikan keberadaan campaign single-player di Black Ops 4. Namun kabar baiknya, Activision mengembalikan komposisi permainan seperti semula di reboot Call of Duty: Modern Warfare.

Meski begitu, tak berarti Activision melupakan battle royale begitu saja. Lewat sederetan bocoran, Anda mungkin sempat mendengar rencana sang publisher untuk meluncurkan mode last man standing di Modern Warfare. Dan lewat blog serta trailer, akhirnya Activision mengumumkan Call of Duty: Warzone dan mengungkap segala detail mengenainya. Game disajikan secara standalone dan bisa dinikmati tanpa perlu mengeluarkan uang.

Call of Duty: Warzone menjanjikan pengalaman tempur berskala besar, menawarkan dua pilihan mode: Battle Royale dan Plunder. Battle Royale tentu saja mengusung formula familier, mengadu 150 pemain dalam tim berisi tiga orang untuk jadi regu terahir yang mampu bertahan hidup. Seperti biasa, seiring berjalannya pertandingan, zona eksplorasi akan kian menyusut (kali ini diakibatkan oleh gas beracun).

Meski gameplay Battle Royale terdengar tak asing, developer turut menambahkan twist menarik di sana: ketika seorang karakter tumbang, ia akan dibawa ke Gulag dan diadu dalam pertandingan satu lawan satu. Jika berhasil menang, pemain akan diturunkan kembali ke medan tempur utama.

IMG_10032020_111410_(1000_x_650_pixel)

Di mode Plunder, pemain ditantang untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya; dengan cara menjarah, merebutnya dari musuh, atau menyelesaikan kontrak. ‘Kontrak’ ialah tugas yang bisa Anda aktifkan, misalnya seperti mengumpulkan serta membuka sejumlah peti perbekalan atau mengamankan suatu lokasi – mirip mode Domination. Jika berhasil melakukannya, Anda akan mendapatkan uang dan segala macam perlengkapan.

Di Battle Royale ketika mengumpulkan uang bukanlah keharusan, kita dapat menggunakannya untuk membeli berbagai macam item di Buy Station (ditandai dengan ikon kereta belanja di map) seperti Killstreak, Self-Revive Kit serta Redeploy Token buat mengembalikan anggota regu yang tumbang. Developer juga menyediakan bermacam-macam kendaraan dan menyebarnya di penjuru peta: ATV, SUV, rover, truk serta helikopter.

IMG_10032020_111310_(1000_x_650_pixel)

Sekali lagi, Call of Duty: Warzone bisa dinikmati semua orang tanpa perlu memiliki Modern Warfare. Permainan rencananya akan meluncur di tanggal 10 Maret waktu Pasifik ((itu berarti akan tiba lebih terlambat di Indonesia) di PC via Battle.net, Xbox One dan PlayStation 4. Gamer Modern Warfare sendiri berkesempatan buat mengakses Warzone lebih dulu lewat menu in-game setelah permainan di-update.

Console Game Terlangka di Dunia, Nintendo PlayStation, Terjual Seharga Rp 5 Miliar Lebih

Saat ini produsen console terlihat sibuk menjalankan agenda dan melayani konsumennya masing-masing. Sony sedang mempersiapkan peluncuran PlayStation 5 dan Nintendo fokus memperpanjang umur Switch lewat pendekatan software. Namun lebih dari tiga dekade silam, kedua nama ini sebetulnya pernah berkolaborasi untuk membangun console game yang mampu mendukung cartridge sekaligus compact disc.

Pengembangan sistem bernama Super NES CD-ROM ini (juga dipanggil Nintendo PlayStation) dimulai di tahun 1988. Waktu itu, perangkat dirancang agar dapat menjalankan game Super Nintendo Entertainment System, sementara Sony diberikan kendali atas format Super Disc dan berhak merilis konten-konten musik serta film. Walaupun eksistensinya sempat diumumkan di CES 1991, Nintendo dan Sony gagal mencapai kesepakatan. Super NES CD-ROM tidak pernah dipasarkan meski perusahaan telah menciptakan ratusan unit purwarupa.

Kisah selanjutnya mungkin tak lagi asing bagi Anda. Kegagalan proyek ini mendorong Sony untuk menggarap console game-nya sendiri: PlayStation.

IMG_09032020_144117_(1000_x_650_pixel)

Minggu lalu, salah satu prototype Nintendo PlayStation berhasil terjual lewat pelelangan di harga US$ 360 ribu – atau lebih dari Rp 5 miliar. Pemenang lelang tersebut adalah Greg McLemore, founder dari Pets.com dan Toys.com. Sebelumnya, ia sempat mengamankan mesin arcade Atari Pong ke dalam koleksinya. McLemore berhasil mengalahkan penawaran beberapa kolektor lain, termasuk pendiri Oculus VR Palmer Luckey.

Valarie McLeckie selaku consignment director Herigate Auctions meyakini bahwa Super NES CD-ROM tersebut ialah purwarupa terakhir yang beredar di pasaran. Kabarnya Nintendo dan Sony memproduksi kurang lebih 200 prototype, namun hampir seluruhnya dihancurkan ketika kemitraan kedua perusahaan berakhir. Entah bagaimana, nasib baik tampaknya menyelamatkan unit ini sehingga potongan sejarah penting di gaming tak hilang begitu saja.

Berdasarkan penjelasan Polygon, prototype terakhir Nintendo PlayStation ditemukan oleh seseorang bernama Terry Diebold di dalam boks milik mantan CEO Sony Computer Entertainment, Olaf Olafsson. Keduanya sempat bekerja untuk Advanta Corporation, lalu ketika perusahaan gulung tikar, banyak barang-barang pribadi yang dilelang. Inilah caranya Diebold bisa mendapatkan Super NES CD-ROM.

Kepada CNN, McLemore menyampaikan, “[Purwarupa] ini merupakan hal paling mahal yang pernah saya beli selain rumah. Namun ia senilai dengan uang yang dikeluarkan, apalagi jika perangkat ini dipadukan dengan seluruh koleksi saya. Mereka semua menyimpan kisah menarik yang perlu disampaikan ke masyarakat.”

Kabar baiknya lagi, McLemore tidak akan membiarkan Nintendo PlayStation miliknya tersimpan begitu saja. Sang kolektor berencana untuk menampilkannya di sejumlah pameran. McLemore bahkan sudah mulai berkolaborasi bersama USC Pacific Asia Museum di Kalifornia dalam rangka mengadakan acara ‘gaming interactive‘ di musim semi dan panas 2021. Ke depannya, ia berkeinginan buat membuka museum secara permanen.

Via The Verge. Header: Kotaku.

Google Mulai Buka Akses Stadia Secara Perlahan

Layanan cloud gaming Google Stadia memang sudah resmi beroperasi, akan tetapi aksesnya masih sangat terbatas. Ketika diumumkan, Stadia disebut bakal menghadirkan dua paket yang berbeda, yakni Stadia Base (gratisan) dan Stadia Pro (berbayar). Namun yang tersedia sejauh ini barulah Stadia Pro.

Stadia Pro sendiri juga belum dibuka untuk publik. Singkat cerita, satu-satunya cara untuk mengakses Stadia sejauh ini hanyalah dengan membeli bundel Stadia Premiere Edition, atau dengan menerima Buddy Pass yang diberikan oleh konsumen Stadia Founder’s Edition. Ya, membingungkan memang, dan lagi Stadia juga baru tersedia di 14 negara.

Kabar baiknya, Google secara perlahan mulai membuka pintu akses Stadia lebih lebar. Mereka secara murah hati memberikan akses gratisan Stadia Pro selama tiga bulan kepada para konsumen Chromecast Ultra. Bukan cuma mereka yang baru membeli streaming dongle tersebut, tapi konsumen lamanya juga berhak dengan cara memilih untuk menerima email promosi dari Google.

Sekadar mengingatkan, Chromecast Ultra dibutuhkan apabila kita hendak mengakses Stadia di TV. Selain tentu saja ukuran layar yang lebih besar, keuntungan lain menggunakan Chromecast + TV untuk mengakses Stadia adalah, game dapat di-stream di resolusi 4K – meski dukungan 4K juga baru saja tersedia bagi yang mengakses Stadia via browser komputer.

Tentu saja streaming game dalam resolusi 4K membutuhkan koneksi internet yang cepat sekaligus stabil, minimal 35 Mbps kalau menurut Google sendiri. Kalau koneksinya lambat, jangankan 4K, bermain di resolusi rendah pun akan terasa laggy pada Stadia, seperti yang sudah dibuktikan oleh PC Gamer baru-baru ini.

Sumber: The Verge.

Permainan 2K Games Ditarik dari GeForce Now, Epic Games Umumkan Dukungan Penuh

Ketika banyak orang berharap agar platform cloud gaming lepas landas dengan mulus, keadaan malah kurang terlihat prospektif bagi dua layanan yang belum lama ini meluncur (atau melepas status beta): Google Stadia dan GeForce Now. Pelanggan Stadia mengeluhkan minimnya pilihan konten dan fitur, sedangkan GeForce Now terus menerus kehilangan dukungan publisher third-party ternama.

Setelah Activision Blizzard dan Bethesda, minggu lalu Nvidia mengumumkan ditariknya permainan-permainan 2K Games dari layanan gaming on demand mereka. Pihak 2K Games tidak menjelaskan alasan penarikan tersebut – saya menduga dasar argumennya hampir serupa Activision dan Bethesda – tapi tentu hal ini merupakan pukulan menyakitkan bagi Nvidia. Platform mereka kehilangan lagi 20 judul esensial, hampir semuanya adalah seri franchise terkenal.

Per hari Jumat tanggal 6 Maret minggu lalu, pelanggan GeForce Now tak lagi bisa menikmati seri BioShock, Borderlands, NBA, WWE, Sid Meier’s Civilization, termasuk pula game Mafia III, The Darkness II, The Golf Club 2019, Warriors Orochi 4 dan XCOM II. Daftar lengkapnya dapat Anda simak di page pengumuman GeForce Now. Di sana Nvidia juga menyampaikan, “Saat ini kami tengah bekerja sama dengan 2K Games buat menghadirkan lagi permainan-permainan mereka.”

Namun ada secercah harapan bagi GeForce Now (dan cloud gaming secara umum) di tengah awan mendung ini. Melalui Twitter, CEO Epic Games Tim Sweeney mengumumkan dukungan penuh perusahaannya terhadap layanan besutan Nvidia itu. Epic Games berencana untuk terus menghadirkan permainan-permainan ‘eksklusif’ mereka di sana dan akan menyempurnakan integrasi antara Epic Store dengan GeForce Now.

Menurut Sweeney, Nvidia GeForce Now ialah layanan streaming paling bersabahat bagi developer serta publisher, dan sama sekali tidak membebani penjualan game dengan potongan pajak. Perusahaan video game yang ingin memajukan industri ini dan membuatnya jadi lebih sehat disarankan untuk membantu menyuburkan pengembangan platform seperti GeForce Now.

Selain Epic Games, CD Projekt Red adalah nama lain yang vokal mendukung GeForce Now. Di tanggal peluncurannya nanti, permainan Cyberpunk 2077 yang Anda beli melalui Steam segera langsung dapat dinikmati via cloud. Dan saat artikel ini ditulis, saya juga melihat tingginya permintaan konsumen terhadap integrasi antara GOG dan GeForce Now. Dikelola sendiri oleh CD Projekt, GOG (dahulu dikenal sebagai Good Old Games) ialah satu dari sedikit platform distribusi digital bebas-DRM.

Lewat sesi pengujian, GeForce Now terbukti berjalan lebih baik dibanding Stadia di sambungan internet yang ‘pas-pasan’. Itu artinya – walaupun belum tersedia resmi di sini – ia lebih kompatibel dengan gamer di Indonesia dibandingkan penawaran dari Google.

Via The Verge & PC Gamer.

GeForce Now dan Google Stadia, Mana yang Performanya Lebih Baik?

Layanan cloud gaming ada banyak, namun dua yang paling populer adalah Nvidia GeForce Now dan Google Stadia. Meski menawarkan konsep yang sama (game dijalankan di server, lalu di-stream oleh perangkat konsumen), keduanya juga punya cukup banyak perbedaan.

Perbedaan yang paling utama adalah soal konten. Stadia punya toko game sendiri, sedangkan GeForce Now tidak. Di Stadia, Anda harus membeli game-nya terlebih dulu melalui Stadia Store. Di GeForce Now, Anda bisa langsung memainkan game yang sudah Anda beli lewat Steam atau Epic Games Store, dengan catatan game-nya memang tersedia di katalog GeForce Now.

Perbedaan lainnya, kalau berdasarkan pengujian yang dilakukan PC Gamer, adalah perihal performa, spesifiknya input latency. Keduanya sama-sama memiliki input latency yang cukup rendah jika koneksi internet kita mumpuni – PC Gamer menggunakan koneksi dengan kecepatan 400 Mbps+.

Singkat cerita, kalau koneksi kita cepat dan stabil, performa gaming di kedua layanan ini tidak akan terasa begitu berbeda dibanding jika kita memainkannya di PC sendiri – dengan catatan PC yang kita gunakan memang punya spesifikasi yang cukup untuk menjalankan game-nya secara mulus. Input latency-nya masih masuk dalam batas wajar dan tidak terlalu mengganggu aksi kita dalam game.

Google Stadia

Lain ceritanya kalau koneksi internet yang kita gunakan lambat, 5 Mbps misalnya. Dalam skenario ini, input latency mulai naik drastis, dan yang paling parah dirasakan di Stadia. Menggunakan koneksi 5 Mbps, game di Stadia pada dasarnya jadi tidak bisa dimainkan karena lag parah.

Di GeForce Now tidak demikian. Game masih berjalan lancar tanpa lag, hanya saja kualitas grafisnya menurun cukup signifikan (gambar jadi kelihatan pixelated). Tidak peduli sambungan internetnya via kabel ataupun wireless, hasil yang ditunjukkan rupanya sama.

Untuk lebih detailnya, Anda bisa baca langsung artikel pengujiannya. Di situ juga ada beberapa video yang menunjukkan performa di tiap-tiap skenario pengujian.

Sumber: PC Gamer.