Label Rekaman Trinity Bentuk CVC, Jajaki Peluang Investasi Ekonomi Kreatif

Pada 2019, Trinity Optima Production (TOP) terlibat dalam konsorsium pengembangan produk digital. Konsorsiumnya bersama tiga perusahaan label rekaman lain, yakni Musica, Aquarius, dan My Music, menghasilkan kesepakatan joint venture bersama PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) untuk menggarap platform audio on-demand Noice.

Kini, perusahaan menyatakan komitmen penuh untuk membuka peluang investasi dan pengembangan bisnis rintisan atau proyek yang sejatinya dapat memberikan nilai tambah terhadap ekosistem grup. TOP mengumumkan pendirian Corporate Venture Capital (CVC) dengan nama Trinity Ventures (TV) untuk memuluskan transisinya sebagai grup usaha (holding company).

Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut telah memiliki tim manajemen dengan bekal ilmu dan pengalaman solid untuk menuju skala korporasi lebih besar di industri hiburan. Adapun, Trinity Ventures menggaet Jagartha Advisors sebagai penasihat investasi yang berperan dalam melakukan assesment dan due diligence terhadap calon investee.

Berdasarkan wawancara terpisah dengan DailySocial.id, CEO Trinity Optima Production Yonathan Nugroho mengatakan mengambil peran ganda untuk memimpin TV. “Terkait entitas legal, PT sudah ada. Namun, berhubung ini CVC dan baru menggunakan dana internal, kami belum mengajukan izin sebagai perusahaan modal ventura,” tutur Yonathan.

Sekilas informasi, Trinity Optima Production didirikan oleh Adi Nugroho, Handi Santoso, Effendy Widjaja, dan Yonathan Nugroho pada 2003. Perusahaan memiliki rekam jejak kuat di industri hiburan; menaungi sejumlah artis kawakan, termasuk Armand Maulana, Sherina, dan Afgan.

Di luar label rekaman, TOP memperluas skala bisnisnya dengan masuk ke music publishing dan talent marketing melalui Trinity Artist Management (TAM), serta Trinity Creative Technology (Dignitiy) untuk digital content marketing.

Hipotesis investasi

Di awal, peluang investasi pada usaha rintisan sering diukur dari visi/value para founder, competitive advantage sebuah produk/layanan, dan valuasi. Namun, dengan melihat perkembangan industri dan pasar saat ini, TV lebih berfokus pada bisnis yang memiliki keberlanjutan jangka panjang dan fokus terhadap permasalahan di sektor yang digeluti, tak lagi cuma mengejar pertumbuhan.

Yonathan berujar, tidak ada sektor tertentu yang diincar, TV membuka diri seluas-luasnya pada peluang investasi di startup maupun proyek yang memberikan nilai tambah pada ekosistem Trinity Entertainment Group (TEG). Selain itu, pihaknya sudah menyiapkan sejumlah rencana mitigasi risiko dengan memperhitungkan situasi makro saat ini.

“Pada tahap awal, kami fokus di sektor ekonomi kreatif yang berkaitan dengan industri film, musik, dan direct-to-consumer (D2C). Saat ini, posisi kami sedang mengeksplorasi peluang pada virtual influencer atau meta human. Kami tidak berfokus untuk mendigitalisasi suatu sektor usaha. Kami serahkan [pengembangan] model bisnis dan produk pada pemilik,” jelasnya.

Portofolio Investasi Trinity Ventures/ Sumber: Trinity Optima Production

Diungkapkan, TV dibentuk untuk memperluas jangkauan jaringan dan peluang kolaborasi selama itu visioner dan inovasinya disruptif. Artinya, model bisnis atau produk/layanan memiliki pain point, positioning, peluang untuk scale up yang jelas.

Pihaknya berupaya untuk mengkolaborasikan proyek/solusi yang dimiliki startup ke lintas sektor, dan tidak rigid pada idealisme tertentu. Kolaborasi ini dapat dilakukan antar-talent atau pada proyek/portofolio di mana TV berinvestasi.

“Bagaimanapun, kami punya bisnis inti di industri hiburan yang punya spirit mengelola talenta atau orang. Kami terbiasa pada fleksibilitas mengolah program kerja. Karena itu, dalam konteks calon investee, kami harap pemilik bisnis juga terbuka untuk mengkolaborasikan bisnis ke industri hiburan,” tambahnya.

Sumber pendanaan

TV akan menggunakan dua model pendanaan, yakni (1) pemberian modal bagi bisnis yang sudah well-established dan sedang fundraise, serta (2) pendanaan, pendampingan manajerial, dan dukungan dari sisi operasional, campaign, hingga sponsorship. Khusus pada model kedua, TV berfokus pada investasi di sektor riil, seperti brand, komunitas, atau startup dengan proyek spesifik.

“Proses transfer knowledge dan advisory pada pengelolaan bisnis ini adalah pilihan yang kami rasa sangat penting untuk teman-teman pebisnis yang masih merintis,” tutur Yonathan.

Menurut Yonathan, TV tidak memetakan model pendanaan berdasarkan tahapan (stage) startup, melainkan pada kebutuhan dari pemilik bisnis. Adapun, perusahaan induk dapat terlibat dalam pengelolaan manajemen, SDM, atau produk yang dimiliki agar dapat memberikan kontribusi positif bagi perusahaan.

“Kami tidak bisa menyebut nilai investasi yang disiapkan. Namun, untuk tahap awal, kami masih menggunakan sumber pendanaan internal dari Trinity Entertainment Group. Kami tidak menutup kemungkinan bakal menggandeng Limited Partner (LP) yang tertarik [berinvestasi] di sektor ekonomi kreatif dan turunannya di masa depan,” ungkapnya.

Pihaknya mengaku tak hanya mengincar sumber pendapatan baru, tetapi juga membuka berbagai pilihan terhadap investasi usaha atau proyek yang dapat menghasilkan nilai tambah strategis.

Ekonomi kreatif

Tren investasi pada perusahaan rintisan turut diminati sektor hiburan Indonesia. Hal ini salah satunya didorong oleh perkembangan teknologi Web3 yang membuka ruang eksplorasi menarik bagi konten kreator, baik musik, film, video, ilustrator hingga karya fiksi.

Famous Allstars adalah salah satunya yang meminati pengembangan konten kreator di era Web2 dan Web3. Salah satunya adalah rencana mendirikan creator venture dengan mengidentifikasi dua pilar menarik di sektor F&B dan beauty. Famous Allstars merupakan entitas yang menaungi channel-channel konten kreatif popular dan platform yang menghubungkan brand dengan influencer.

Kemenparekraf mencatat nilai ekspor ekonomi kreatif di Indonesia mencapai $23,9 miliar pada 2021, naik dari tahun sebelumnya $18,8 miliar. Pemerintah membidik nilai tersebut dapat mencapai $25,14 miliar di 2022.

Tesis Bank DBS Indonesia Memberikan Fasilitas Pinjaman ke Startup

PT Bank DBS Indonesia tengah aktif memperkuat portofolio strategisnya dengan pelaku startup. Salah satunya melalui pemberian fasilitas kredit untuk modal usaha (termasuk di salurkan lewat platform lending). Di sepanjang 2022, DBS Indonesia sudah beberapa kali memberikan pinjaman ke startup, yakni Kredivo, eFishery, dan terbaru Broom.

Beberapa waktu lalu, DBS Indonesia meresmikan perjanjian kerja sama fasilitas kredit kepada startup pembiayaan showroom mobil Broom sebesar Rp100 miliar. Perjanjian strategis ini diresmikan oleh Co-founder & CEO Broom Pandu Adi Laras dan Executive Director Institusional Banking Group Kevin Tanuwidjaja.

Pada Oktober, DBS Indonesia juga baru memberikan pinjaman jangka pendek ke startup aquatech eFishery sebesar Rp500 miliar. Kemudian di 2021, perusahaan memfasilitasi pinjaman ke Kredivo sebesar Rp2 triliun dengan skema joint financing. Ini merupakan peningkatan dari pinjaman sebelumnya sebesar Rp1 triliun dan Rp500 miliar untuk pendanaan awal Kredivo.

Langkah DBS Indonesia mulai aktif berkolaborasi dengan stratup dinilai sejalan dengan pertumbuhan ekonomi digital di Tanah Air. Mengacu laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, Bain and Company, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $130 miliar di 2025 dengan CAGR 19%.

Kevin berujar, ini menjadi wujud komitmen perusahaan dalam menciptakan solusi perbankan yang lebih berdampak dan terjangkau bagi startup atau pelaku fintech. “Kami melihat industri startup punya potensi sangat baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia,” ujar Kevin dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Ia tak mengelaborasi lebih lanjut mengenai tesis investasi dan metrik yang digunakan. Namun, aspek kebutuhan, profil risiko, dan solusi terarah disebut sebagai faktor utama dalam menentukan kelayakan startup. Pihaknya juga mempertimbangkan rekam jejak finansial dan pendanaan startup.

Sumber: Bank DBS Indonesia, diolah kembali oleh DailySocial.id

“Kami berupaya menciptakan ekosistem yang cepat, andal, dan berkelanjutan dalam menyediakan solusi dan pengalaman sesuai prinsip kami ‘Live More, Bank Less’. Melalui kolaborasi strategis dengan startup dan ekosistemnya, kami ekspansi ke layanan fintech. Kami percaya dampak yang kami ciptakan dapat dirasakan di luar perbankan,” paparnya.

Lebih lanjut, pihaknya berupaya mengambil peran dalam pertumbuhan ekonomi digital dengan menggencarkan kegiatan dan advokasi berfokus pada masalah keberlanjutan dan memperhatikan isu environment, social, dan governance (ESG) seiring dengan komitmen DBS Group mencapai emisi nol bersih pada 2050.

Saat ini, DBS Group memiliki tiga pilar keberlanjutan sebagai dasar pemikiran, yakni Responsible Banking, Responsible Business Practice, dan Impact Beyond Banking.

Fasilitas kredit

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Broom Pandu Adi Laras mengungkap bahwa fasilitas kredit ini menjadi likuiditas tambahan yang akan mendukung pengembangan bisnis perusahaan. Adapun, dana tersebut akan dipakai untuk memperluas cakupan showroom mobil bekas di Indonesia.

“Fasilitas kredit ini akan mempercepat Broom untuk merangkul 5.000 showroom dan memperluas wilayah operasional di kota-kota besar lain di pulau Jawa hingga akhir 2022,” ungkap Pandu.

Sebelumnya, Broom telah memperoleh fasilitas kredit serupa dari beberapa lembaga keuangan lain di awal 2022. Selain itu, Broom juga memperoleh pendanaan pra-awal senilai $3 juta (lebih dari Rp43 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, juga partisipasi Quona Capital dan beberapa angel investor, seperti pendiri Kopi Kenangan dan Lummo.

Sementara, Co-founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah menilai fasilitas pinjaman dari bank lebih murah dalam jangka panjang dibandingkan menggunakan ekuitas yang mengharuskannya melepas saham bernilai ke investor. Sementara, jika perusahaan tumbuh baik, harga yang dikeluarkan bisa lebih mahal daripada saat pertama kali melepas [saham].

Sebagai informasi, ini menjadi kolaborasi perdana DBS Indonesia dan eFishery. Bagi DBS Indonesia, ini merupakan portofolio pinjaman pertama di sektor aquatech, sedangkan bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank sejak berdiri di 2013.

Di Indonesia, tampaknya belum banyak perbankan yang mau mengucurkan pinjaman kredit bagi modal usaha pelaku startup. Sejumlah faktor masih menjadi pertimbangan besar mengapa startup belum menjadi segmen potensial bagi bank.

Perbankan merupakan industri dengan regulasi ketat dan mengutamakan aspek manajemen dan profil risiko. Hal ini dilakukan untuk menekan atau mengendalikan risiko dalam produk yang ditawarkan, salah satunya penyaluran kredit.

Sementara, perusahaan rintisan dinilai belum dapat memenuhi sejumlah aspek di atas mengingat pelaku startup awal belum memiliki cash flow yang jelas, jaminan, rekam jejak finansial, dan kepastian pendapatan dari produk yang mereka kembangkan.

Berdasarkan laporan CB Insights, ada lima alasan teratas startup mengalami kegagalan di antaranya salah membaca kebutuhan pasar (42%), kehabisan dana (29%), susunan tim tidak sesuai (23%), kalah berkompetisi (19%), dan harga atau biaya tanggungan (18%).

Application Information Will Show Up Here

Indosat Ooredoo Hutchison dan Indepay Umumkan Kerja Sama untuk Permudah Transaksi Lewat Aplikasi myIM3 dan Bima+

Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) mengumumkan kerja sama dengan perusahaan payment gateway Tara-Indepay untuk permudah transaksi konsumen melalui aplikasi myIM3 dan bima+. Selama ini mekanisme pembayaran dari berbagai metode seringkali jadi isu karena berbagai alasan, salah satunya sulit dan biaya tinggi.

Dari temuan Tara-Indepay, terdapat berbagai masalah yang dialami pelanggan dan pedagang terkait mekanisme pembayaran, antara lain 17% atau 1 dari 6 transaksi dibatalkan karena proses checkout yang panjang dan rumit. Kemudian, 9% karena tidak adanya pilihan metode pembayaran yang dipilih, dan 4% karena kartu kredit ditolak dan banyak di antaranya karena biaya tinggi dan biaya transfer antar bank.

Terintegrasinya solusi gerbang pembayaran di ekosistem IOH dari Tara-Indepay, memungkinkan transaksi yang cepat, aman, dan lancar di seluruh jaringan pembayaran dengan model count capped zero-fee dibandingkan dengan metode pembayaran tradisional.

“IOH berkomitmen menghadirkan pengalaman digital kelas dunia, menghubungkan dan memberdayakan masyarakat Indonesia. Kami sangat senang menyambut eksplorasi kolaborasi dengan Tara-Indepay untuk menghadirkan pengalaman pembayaran global yang simpel kepada 98,2 juta pelanggan kami,” ucap Chief Commercial Officer IOH Ritesh Kumar Singh dalam keterangan resmi, Kamis (24/11).

Mengenai mekanismenya, Tara-Indepay memungkinkan pelanggan IOH untuk memetakan nomor ponsel ke salah satu dari berbagai sumber dana mereka, seperti rekening bank, e-money, kartu debit dan kredit, sebagai Identitas Pembayaran (Pay-ID) ke dalam platform Open Headless API. Dengan demikian, transfer antarakun akan lebih cepat dan aman.

Dari pihak Tara-Indepay telah menunjukkan komitmennya untuk perbanyak integrasi dengan bank-bank besar di seluruh Indonesia ke dalam jaringannya selama setahun mendatang. Rencana berikutnya adalah membuat program loyalitas untuk konsumen.

Sebagai catatan, Headless Commerce adalah arsitektur e-commerce, yang mana front-end dan back-end merchant dipisahkan. Front-end bertindak sebagai kepala (media sosial, aplikasi smartphone, dan situs), sementara back-end bertindak sebagai semua sistem, prosedur, dan alat yang mendukung kelancaran operasi bisnis. Tumpukan teknologi ini dapat membantu merchandising, penyedia, integrasi, penyimpanan data, promosi, dan tugas checkout unutk bisnis.

Co-founder dan CEO Setara Networks Worldwide Rajib Saha menambahkan, pembayaran digital memainkan peran penting dalam mendorong perekonomian suatu negara. Pembeli online dalam jumlah besar untuk membeli produk dan layanan, seringkali harus melalui proses menyulitkan, seperti memasukkan detail pembayaran (CVV, tanggal kadaluwarsa, dan alamat) yang mengarahkan ke pembatalan utama di halaman checkout.

“Dengan platform Tara, kami ingin memecahkan masalah tersebut dengan menawarkan pengalaman transaksi low-cost, yang sangat cepat, mudah, dan aman, yang tidak lebih dari satu detik. Ini akan berdampak pada ekonomi digital di Indonesia secara masif karena akan membantu penjual meningkatkan keuntungan, dan pembeli berbelanja lebih percaya diri dan aman,” kata Saha.

Kedua perusahaan bakal berfokus pada pencapaian solusi pembayaran real-time yang dibangun berdasarkan kebutuhan konsumen, terutama transaksi gratis yang dibatasi hitungan, pembayaran secepat kilat, aman, yang dimungkinkan oleh satu Pay-ID untuk memberikan pengalaman konsumen yang mulus.

“Ini adalah solusi unik yang mengatasi masalah besar dalam pembayaran dan menyatukan pedagang, retailer, dan bank di bawah satu jaringan unutk memberikan pengalaman yang lebih sederhana kepada pelanggan IOH,” tutup Singh.

Solusi Pay-ID ini sudah dirilis Tara-Indepay pada Mei 2022. Perusahaan yang sudah memanfaatkannya adalah Domino’s Pizza. Dari kolaborasi tersebut, pelanggan Domino’s Pizza bisa menikmati fasilitas one-click checkout melalui rekening Bank BRI tanpa perlu beralih ke halaman aplikasi pembayaran atau perbankan lain. Bank BRI merupakan bank pertama yang bekerja sama dengan Tara-Indepay dalam peluncurannya.

Solusi ini akan membantu sektor D2C dan pengusaha dengan menawarkan teknologi menyeluruh, mulai dari digitalisasi instan, social commerce, pemesanan, analitik, CRM, supply chain, pemasaran, promosi, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Mulai Validasi Potensi Warung di Filipina

Setelah BukaGlobal, PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) kembali melanjutkan gerilya bisnisnya ke luar Indonesia. Sebagaimana dilaporkan berbagai media arus utama, Bukalapak rupanya telah resmi beroperasi di Filipina melalui brand SmartSari sejak pertengahan tahun ini.

Ketika dihubungi, pihak Bukalapak masih enggan memberikan keterangan lebih lanjut mengenai ekspansi ini.

Berdasarkan laporan tahunan Bukalapak, perusahaan tercatat telah mendirikan entitas legal SmartSari sejak April 2022 dengan persentase kepemilikan 99,99% atau setara nilai Rp2,69 triliun.

Diketahui, SmartSari merupakan bentuk duplikasi dari lini bisnis Mitra Bukalapak. Platform SmartSari memungkinkan pelaku UMKM mengembangkan bisnisnya. Salah satu keunggulan yang ditawarkan adalah pengiriman produk secara online.

Di Filipina, istilah “Sari” merujuk pada toko-toko kecil yang menjual makanan, minuman, maupun kebutuhan sehari-hari. Di Indonesia, kita mengenalnya sebagai warung.

Melalui aplikasi SmartSari, saat ini pemilik usaha baru bisa menjajakan produk  secara virtual (game voucher, pulsa). Namun, ke depannya penjualan produk dapat dilakukan di toko fisik. Kategori produk juga akan ditambah, seperti tiket, remitansi, dan pembayaran tagihan.

Kini, aplikasi SmartSari telah diunduh lebih dari 50 ribu kali di Google Play Store.

Potensi pasar Filipina

Ada beberapa tesis yang memungkinkan Bukalapak untuk memperluas lini bisnis Mitra sebagai langkah awal ekspansi.

Alih-alih masuk lewat lini Marketplace, Bukalapak melihat ada potensi pasar yang besar—serupa dengan potensi yang dimiliki Indonesia—tak lain adalah UMKM. Lagipula, sejauh ini pasar marketplace di Filipina dikuasai oleh dua pemain besar, yakni Lazada dan Shopee.

Menurut Venturra Discovery yang sudah lebih dulu menjajaki investasi di Filipina, negara tersebut memiliki sejumlah potensi besar, seperti jumlah populasi besar, demografi penduduk yang relatif muda, dan buying power terus meningkat.

UMKM merupakan fondasi utama perekonomian di Indonesia dan Filipina. Persentase pelaku UMKM di Filipina bahkan jauh lebih besar. Sebagai gambaran singkat, menurut Data Reportal, populasi Filipina per Januari 2022 mencapai 111,8 juta jiwa di mana 16,4% berada di segmen usia produktif, yakni 25-34 tahun. Pengguna internetnya sebanyak 76 juta atau 69% dari total populasi.

Sumber: Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain and Company
Sumber: Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain and Company

Kemudian, dari 1 juta pelaku bisnis yang tercatat resmi di Philippine Statistics Authority (PSA) di 2021, sebesar 99,58% adalah UMKM dan sisanya 0,42% adalah perusahaan skala besar. Dirinci berdasarkan kategorinya, 90% adalah pelaku usaha mikro, lalu 8,63% usaha kecil, dan 0,41% usaha menengah.

Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain and Company memproyeksikan nilai ekonomi digital Filipina sebesar $20 miliar atau tumbuh 20%  Di 2025, nilainya diestimasi tembus $35 miliar. Dari proyeksi tersebut, nilai industri e-commerce diperkirakan mencapai $14 miliar di 2022 dan diprediksi naik jadi $22 miliar di 2025. Adapun, penetrasi e-commerce di Filipina telah mencapai 88%.

Menilik kinerja Mitra Bukalapak, lini bisnis ini telah menjadi motor penggerak pertumbuhan perusahaan sejak beberapa tahun terakhir. Perlahan kontribusi pendapatannya melampaui Marketplace yang merupakan bisnis inti Bukalapak sejak awal.

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2022, pendapatan Mitra naik 191% menjadi Rp1,44 triliun dibanding periode sama tahun lalu. Kontribusi terhadap total pendapatan juga naik dari 43% menjadi 53% (YoY). Saat ini, Bukalapak punya sebanyak 15,2 juta Mitra.

Application Information Will Show Up Here

Pertamina NRE Alokasikan 7,7 Triliun Rupiah untuk Investasi ke Startup Energi

PT Pertamina melalui anak usaha Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) akan mengalokasikan dana sebesar $500 juta atau sekitar 7,7 triliun Rupiah untuk investasi startup di sektor energi. Inisiatif Energy Fund ini akan dikelola bersama MDI Ventures.

Dilansir dari DealStreetAsia, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengungkap bahwa dana tersebut akan dialokasikan untuk investasi selama lima tahun. “Kami harap akan lebih banyak investor bergabung [pada dana kelolaan ini],” ujarnya.

Dalam pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Energy Fund merupakan satu dari tiga dana kelolaan yang diresmikan oleh Kementerian BUMN pada September 2022 di ajang BUMN Startup Day. Peluncuran ketiga dana kelolaan ini disepakati melalui penandatanganan Head of Agreement (HoA).

Adapun, dua dana kelolaan lainnya disuntik oleh disuntik dari PT Bio Farma (Bio Health Fund) dan PT Pupuk Indonesia (Agri Fund). Ketiga dana kelolaan ini akan menjadi kendaraan investasi pada startup tahap early hingga growth di vertikal terkait.

Kepada DailySocial.id, CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan pembentukan dana kelolaan ini tak semata untuk mendapat capital gain, tetapi juga membawa sinergi, produk baru, ke induk usaha. “Investasi [tiga dana kelolaan] ini menyasar tahap seed sampai seri B dan C, tetapi ini vertical-focused ya. Berbeda dengan Merah Putih Fund yang fokus pada startup soonicorn,” ungkap Donald.

Dalam keterangan resminya, Direktur SDM dan Penunjang Bisnis Pertamina NRE Said Reza Pahlevy mengatakan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi. Sektor yang diincar oleh Pertamina antara lain low carbon solutions, energi baru dan terbarukan (EBT), dan masa depan di sektor energi.

“Transisi energi membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Kolaborasi Pertamina NRE dengan MDI Ventures yang didukung oleh Kementerian BUMN membuka peluang pendanaan bagi perusahaan rintisan yang memiliki semangat yang sama untuk mengembangkan energi bersih,” tuturnya seperti dikutip dari CNN.

Ekosistem startup energi

Pada tulisan feature kami tiga tahun lalu mengenai gelombang startup energi, dikatakan bahwa antusiasme pelaku startup di sektor ini mulai bangkit. Namun, pelaksanaannya memang masih sulit karena sejumlah faktor. Misalnya, investasi di sektor ini membutuhkan modal besar, tetapi lama untuk bisa menghasilkan keuntungan. Belum lagi anggapan produk masih mahal, seperti panel surya.

Sejak beberapa tahun terakhir, iklim investasi startup mulai ramai mengarah pada sektor hijau, energi salah satunya. Investor mulai berfokus pada pendanaan berdampak (impact) tak hanya sosial, tetapi juga lingkungan. Bahkan Pemerintah menggerakkan BUMN hingga perusahaan teknologi besar untuk terlibat dalam mendorong perkembangan ekosistem energi terbarukan.

Saat ini, sejumlah startup yang fokus pada energi terbarukan di Indonesia antaranya adalah SolarKita, Xurya, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor) hingga automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi. Sementara, SolarKita menawarkan layanan end-to-end dari konsultasi terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hingga survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS.

SolarKita salah satunya disuntik oleh lembaga non-profit New Energy Nexus yang fokus pada pendanaan, program, dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Juga berdiri sebagai organisasi non-profit Achmad Zaky Foundation (AZF) juga fokus terhadap investasi di sektor impact.

GoTo akan PHK 10% Karyawan Demi Kejar Profitabilitas

GoTo Group akan melakukan PHK sebanyak 10% karyawan atau setara dengan pemangkasan lebih dari 1.000 pekerjaan dalam waktu dekat. Dilaporkan Bloomberg, perusahaan tengah membatasi biaya sebagai upaya untuk mengejar profitabilitas.

Menurut sumber, pemangkasan sebanyak 10% karyawan GoTo akan berdampak terhadap seluruh divisi perusahaan. Beroperasi di Indonesia, Singapura, dan Vietnam, GoTo telah memiliki 9.630 pegawai tetap per akhir Juni 2022. GoTo dikabarkan memiliki sekitar 455 pegawai tidak tetap pada akhir tahun 2021.

Rencana PHK yang akan dilakukan oleh GoTo menambah daftar perusahaan teknologi yang juga telah melakukan kegiatan serupa tahun ini. Mulai dari Meta yangg dikabarkan melakukan PHK terhadap pegawai, hingga Twitter dan Apple Inc.

DailySocial mencatat sepanjang 2022, sejumlah startup melakukan PHK. Di antaranya, Carsome dikabarkan PHK 10% karyawan regional, Koinworks merumahkan sebanyak 70 orang atau 8% dari total karyawannya, Xendit melakukan rightsizing tim sebanyak 5% di Indonesia dan Filipina, hingga Tokocrypto sebanyak 45 pegawai dari total 227 karyawan.

Sebelumnya, induk perusahaan marketplace Shopee, Sea Ltd juga telah merumahkan sekitar 3% dari karyawannya di Indonesia sebagai bagian dari efisiensi perusahaan secara regional untuk memangkas kerugian dan memperbaiki reputasi di mata investor.

Fokus kepada profitabilitas

Dalam laporan keuangan GoTo H1 2022 tercatat bisnis Gojek dan Tokopedia berjalan cukup bagus sepanjang tahun ini. GoTo membukukan pendapatan bersih sebesar Rp3,38 triliun, naik 73,32% (YoY) dari Rp1,96 triliun di kuartal yang sama di tahun sebelumnya.

Rinciannya, penghasilan dari imbalan jasa melesat 102,93% secara tahunan menjadi Rp7,99 triliun. Kemudian, imbalan iklan naik 417,77% menjadi Rp1,16 triliun, jasa pengiriman naik 24,33% menjadi Rp907,71 miliar. Imbalan transaksi dan pembayaran kini tercatat Rp424,39 miliar.

Dalam menuju posisi profitabilitas, sebagai konsekuensinya perseroan harus mengucurkan banyak investasi di awal. Menurut laporan keuangan yang dipaparkan per semester I 2022, perseroan mengalami rugi diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp13,64 triliun, naik 117,28% (YoY). Adapun pada semester I 2022, perseroan mengalami rugi bersih Rp6,28 triliun.

Dalam artikel Bloomberg juga disebutkan, pada bulan Agustus, GoTo melaporkan kerugian penyesuaian kuartal kedua sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi melebar menjadi Rp4,14 triliun ($264 juta) dari Rp3,9 triliun tahun sebelumnya.

Sejak IPO pada April lalu, saham GoTo turun hingga 40%. GoTo mengatakan sedang dalam pembicaraan dengan pemiliknya untuk penjualan terkontrol saham mereka, berusaha menghindari potensi penurunan saham ketika penguncian kepemilikan mereka berakhir pada 30 November mendatang.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Dennis Pratistha: Mandiri Capital Indonesia Bentuk “Thematic Fund” di 2023

Mandiri Capital Indonesia (MCI) terus melanjutkan misinya untuk mendorong value creation bagi induk usaha Mandiri Group. Menurut Plt. CEO MCI Dennis Pratistha, pihaknya tengah menyiapkan beberapa “thematic fund” dan menjajaki peluang investasi di sektor baru, seperti construction tech dan biotech.

Sebelum menempati posisi CEO sementara pasca-penunjukkan Eddi Danusaputro di BNI Ventures, Dennis menjabat sebagai Chief Investment Officer. Adapun, saat ini MCI mengelola tiga dana kelolaan, yakni dana kelolaan bersumber dari Mandiri Group, Indonesia Impact Fund (IIF), dan Merah Putih Fund.

Sekadar informasi, Dennis telah lama berkecimpung di industri teknologi dan telekomunikasi dengan menduduki posisi Chief Technology Officer dan Chief Operating Officer, seperti di Redkendi, Ebizu, MNC, dan Nusatel. Di bidang investasi, ia juga pernah menjadi Executive di Star Capital.

Apa ada perubahan tesis investasi MCI dengan posisi saat ini?

Jawab: Saat ini kami masih fokus berinvestasi pada portofolio yang dapat berkontribusi terhadap value creation untuk Mandiri Group. Kami harus punya pembeda sehingga lainnya bisa saling co-exist dan berkontribusi. Startup saja punya [value proposition]. Kalau semua sama, the one with the most money will win. We have to have different angles to bring to the table. Justru di cap table, kita [VC] harmonis.

Beda VC, beda pula value creation. Ada VC yang kuat pada sisi teknologi, ada juga pada aspek operasional. Kami [kuat] pada aspek pengembangan bisnis. Ini yang membuat kami bisa duduk dengan nyaman dan tetap produktif di meja yang sama.

Apa value proposition yang ditawarkan?

J: Kami memiliki lima value proposition. Pertama, kami merupakan Corporate Venture Capital (CVC) milik Mandiri Group. Kedua, Mandiri Group memiliki puluhan juta customer dan 200 ribu UMKM. Ketiga, kami menghubungkan ke ekosistem BUMN. Keempat, kami dapat mendampingi pada proses value creation di pengembangan bisnis. Kami bantu ekspansi dan sinergi dengan menghubungkan ke banyak pemangku kepentingan.

Kelima, kami menghubungkan [portofolio] ke jaringan ke anak usaha Mandiri, seperti Mandiri Sekuritas. Jaringan [anak usaha] ini dapat mendukung startup untuk melakukan fundraising, merger and acquisition (M&A), atau exit melalui IPO. Sebelumnya, Mandiri Sekuritas pernah menjadi penjamin emisi (underwriter) pada IPO GoTo dan Bukalapak.

Selain itu, kami juga memiliki program matchmaking Xponent untuk mendorong Mandiri Group agar dapat ter-expose ke digital platform yang lebih inovatif.

Apa tujuan utama dari program Xponent?

J: Program ini murni ingin membantu dua pihak, yakni Mandiri menjadi inovatif dengan leveraging platform digital dan platform memanfaatkan Mandiri untuk mendorong bisnisnya. Ini murni sebuah acara matchmaking untuk menghasilkan kesepakatan bisnis. No investment involved. Kami tidak undang investor, tetapi unit bisnis dan startup.

Tentu saja, MCI sambil melihat, kira-kira mana yang bisa ditindaklanjuti. Makanya, saya garis bawahi MCI berinvestasi pada startup yang membawa valueA lot of money out there, economy is a bit slow, so good deals tidak terlalu banyak.

Kami menyadari ada shifting terjadi. Kami harus fokus pada startup yang sudah memiliki path to profitability atau profitable. Mereka harus tumbuh, tapi bukan berhenti karena sudah profitable. Startup yang sudah profitable harus mereplikasi model bisnis ke area atau produk lain. Artinya, mendorong pertumbuhan yang memiliki dampak positif ke bottom line. Kami ingin mereka menjadi a self-sustain company. Pertumbuhan tetap dikejar, bukan berarti berhenti.

Pada akhirnya, startup harus mencari model yang tepat, pahami model bisnisnya, dan lakukan ekspansi. We will help you expand.

Apakah ada portofolio baru yang akan diumumkan selanjutnya?

J: Kami akan mengumumkan dua portofolio di sektor aquaculture dan FMCG supply chain pada kuartal keempat ini. Selain itu, kami juga sedang menjajaki peluang di sektor autotech, proptech, construction tech, dan biotech. Ada banyak angle [di sektor ini], yang sedang kami lihat adalah supply chain.

Di construction tech, kami juga mencari model supply chain; dari prinsipal, toko bangunan, kontraktor, dsb. Supply chain di Indonesia masih belum efisien, tidak ada transparansi, dan prosesnya kompleks. Kami ingin empower mereka menjadi bagian dari ekosistem, tetapi memberikan margin yang lebih efisien. Teknologi memberdayakan bisnis, bukan sebaliknya. Kita harus punya bisnis dulu, baru di-empower oleh teknologi.

Kemudian, biotech. Saat ini, [biotech] di Indonesia masih di tahap awal. Kami sedang mempelajari use case dan commercial viability. Kami belajar dari pemain biotech yang sudah ada, dari startup atau perusahaan teknologi. Bukan berarti kami langsung berinvestasi, justru kami belajar dari mereka. Kami pahami dulu industri dan tantangannya. Menganalisis industri harus menyeluruh, apalagi spektrum biotech sangat luas sekali. Ada microbio hingga DNA. Kami perlu lihat, mereka bisa sustain dengan [use case] mana dulu.

Untuk autotech, ada beberapa hal menarik. Pertama, supply chain. Kedua, kami adalah bagian dari konglomerasi di bidang keuangan, Mandiri memiliki perusahaan multifinance dan bank. Bagaimana caranya, kami bisa menemukan marketplace yang fokus pada multifinance. Kami tertarik berinvestasi ke multifinance marketplace. Selama ini pengisian data lewat form harus satu-satu, sedangkan pengisian data di marketplace hanya satu kali. Marketplace lebih nyaman untuk dealer dan multifinance. Tidak perlu menghubungi satu-satu.

Bagaimana rencana pembentukan thematic fund MCI selanjutnya?

J: Kami belum bisa disclose mengenai pembentukan thematic fund ini, tetapi ini berbeda dengan Merah Putih Fund. Rencananya, kami ingin berkolaborasi dengan VC atau institusi. Kami lagi ngobrol dengan beberapa.

Mengapa memilih theme-based? Kami melihat [VC] yang fokus di semua bidang atau sektor agnostik itu sudah banyak. Kami mau fokus pada tema spesifik. Kami ingin dapat membantu ekosistem mereka. Ujung-ujungnya, kami harus create value. Semoga, [thematic fund] bisa terealisasi tahun depan.

Bagaimana Anda menanggapi industri startup Indonesia di situasi saat ini?

J: Pada dasarnya, startup adalah bisnis. [Pelaku startup] mengidentifikasi masalah dengan skala pasar yang cukup besar. Jangan mengidentifikasi masalah hanya di level kecamatan atau RT saja. Dengan itu, cobalah ciptakan solusi.

Namun, [menciptakan solusi] tidak semudah, “I have an idea, let’s develop full version”. Di antara idealism dan practicality, pasti ada disparity. Lakukan uji coba, mulai dengan skala kecil dengan sedikit modal, hingga memperoleh Minimum Viable Product (MVP). Ketika MVP jalan, baru kembangkan full-face product.

Begitu Anda punya full-face product dan mencapai product-market fit, artinya Anda sudah memvalidasi masalah. Anda tweak apa model bisnisnya, bukan hanya produk saja. Misalnya, model berbasis langganan, transaksi, atau penggunaan. Setelah Anda menemukan model bisnis, Anda menemukan kecocokan pasar-produk, Anda memiliki profitabilitas, dan keberlanjutan. Itu yang dilupakan banyak pihak.

[Mindset] dulu, ketika pelaku bisnis konvensional bertemu, mereka berdiskusi tentang EBITDA, misalnya. Sementara, startup bicara soal seberapa besar valuasinya. Sekarang, startup sudah mulai pikirkan sustainable growth, itu kata kuncinya. Bukan berarti mengerem [pertumbuhan bisnis].

Bagaimana Anda melihat founder mentality dari awal pandemi hingga sekarang?

J: Pandemi—tanpa bermaksud mendiskreditkan health issue, it’s very unfortunate—mendorong transformasi digital lebih cepat. Selama pandemi, kita banyak memanfaatkan aplikasi untuk berbagai hal, seperti memesan makanan. Pola pikir kita telah bergeser.

Para founder memanfaatkan peluang digital [untuk menciptakan solusi]. Sayangnya, banyak [startup] yang belum siap [merespons] pertumbuhan tersebut. Mereka belum mencapai product-market fit dan model bisnisnya belum ketahuan. Memang mereka bisa memperoleh angka pertumbuhan, tetapi memiliki keberlanjutan tanpa model bisnis yang tepat.

Sekarang, pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Saya tidak mau bilang resesi atau apapun karena situasi setiap negara berbeda-beda. Saya optimistis dengan Indonesia. Pemerintah melakukannya dengan baik dalam mengendalikan perlambatan ekonomi ini. Harus disadari bahwa Indonesia adalah negara konsumtif. Ngegas dan ngerem harus balance.Anda ingin mengendalikan inflasi tetapi Anda tidak ingin menghentikan pertumbuhan.

Lalu, bagaimana upaya menghadapi perlambatan ekonomi? Ini sesuatu yang baru. Kita tidak tahu mau ke mana, apa yang perlu dilakukan. Nah, mentality harus diubah. Pada [masa awal pandemi] kemarin ada banyak peluang di mana terjadi akselerasi transformasi digital. Saat ini, dari peluang tersebut, kita harus berupaya menjadikannya sebagai bisnis yang sustainable. 

Startup Insurtech Asal Singapura “Bolttech” Akuisisi Axle Asia, Perkuat Kehadiran di Indonesia

Startup insurtech asal Singapura Bolttech mengakuisisi kepemilikan saham mayoritas perusahaan broker asuransi Indonesia, yakni PT Axle Asia. Dengan aksi korporasi ini, Axle Asia resmi menjadi anak usaha dan selanjutnya akan melakukan rebranding.

Dalam keterangan resminya, akuisisi ini menjadi strategi untuk mengakselerasi distribusi kapabilitas Bolttech di Indonesia dalam menawarkan produk asuransi sekaligus melengkapi solusi bisnis existing.

Group CEO Bolttech Rob Schimek mengungkap, misi perusahaannya adalah membangun ekosistem perlindungan dan asuransi berbasis teknologi di dunia. “Angka pertumbuhan di Indonesia termasuk yang paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan ini membuka peluang bagi solusi-solusi insurtech dalam memenuhi kebutuhan konsumen lokal dan rekanan bisnis yang berubah secara dinamis,” ujarnya.

Diketahui, Bolttech tengah gencar mendorong ekspansi layanannya dengan mengakuisisi dua perusahaan di bidang asuransi selama hampir dua tahun terakhir. Bolttech mencaplok I-surance (Spanyol) di 2021 dan Ava Insurance Brokers (Singapura) di awal 2022.

Bolttech memperoleh status unicorn dalam kurun waktu 15 bulan sejak berdiri pada April 2020. Pendanaan Bolttech telah didukung oleh sejumlah investor, termasuk Alpha Leonis Partners, Dowling Capital Partners, B. Riley Venture Capital.

Sementara, Axle Asia adalah perusahaan broker asuransi berbasis di Jakarta yang berdiri di 2008. Axle Asia merupakan anak usaha dari aliansi strategis antara Axle Indonesia dan PT True Capital.

Komisaris Axle Asia Junaedy Ganie mengatakan, platform Bolttech saat ini memiliki posisi terdepan untuk membentuk masa depan distribusi asuransi. “Akuisisi ini akan memperkuat komitmen kedua perusahaan dalam menghasilkan inovasi dan menawarkan lebih banyak pilihan asuransi pada konsumen di Indonesia secara lebih cepat,” ungkapnya.

Adapun, pasca-akuisisi Axle Asia, Bolttech telah menunjuk Srinath Narasimhan sebagai General Manager untuk mengawasi pertumbuhan Bolttech di Indonesia.

Bolttech kini memiliki lebih dari 800 rekanan distribusi dan 200 perusahaan asuransi dalam jaringannya, serta resmi terdaftar pada 36 jurisdiksi internasional. Bolttech juga telah menawarkan premi asuransi bernilai lebih dari $50 miliar di seluruh dunia. Layanannya telah menjangkau 30 pasar di tiga benua, yakni Amerika Utara, Asia dan Eropa.

Pasar asuransi

Peluang untuk mendigitaliasi sektor asuransi masih sangat besar di Indonesia mengingat penetrasinya masih sangat rendah. Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), tingkat penetrasi asuransi jiwa saja di Indonesia pada 2020 berkisar 1,2%, tertinggal dari Thailand (3,4%), Malaysia (4%), Jepang (5,8%), Singapura (7,6%), dan Hong Kong (19,2%).

Rendahnya penetrasi asuransi salah satunya dikarenakan tingkat literasi dan inklusi keuangan yang minim. Mengacu Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) di 2019, tingkat inklusi keuangan di Indonesia memang telah mencapai 76,19% dan tingkat literasi keuangan menyentuh 38,03%. Namun, tingkat inklusi asuransi baru sebesar 13,15% dan tingkat literasinya 19,4%.

Sejumlah startup insurtech berupaya mengambil kue dari peluang pasar dengan menawarkan nilai proposisi yang berbeda-beda. Salah satu pemain insurtech lama, Qoala memosisikan platformnya untuk segmen retail. Sementara, Aigis membidik segmen bisnis melalui layanan manajemen asuransi yang dipadukan dengan fitur wellness. 

Ada pula Rey Assurance yang mengklaim sebagai platform penyedia asuransi jiwa dan kesehatan pertama yang terintegrasi dengan ekosistem kesehatan dan wellness.

Hipotesis “Digital Venture” Moxa Gabungkan Ekosistem Astra dan Non-Astra

Satu tahun lebih Moxa, digital venture dari Grup Astra, debut ke publik. Kini mereka memperkuat identitasnya sebagai percontohan dari grup sebagai ekosistem terbuka, maksudnya membuka kesempatan kolaborasi dengan solusi di luar Astra dalam upaya meningkatkan penetrasi literasi keuangan di Indonesia yang masih mini.

Memosisikan tak hanya sebagai platform wealthtech, Moxa ingin membuktikan hipotesis yang sudah disusun di atas, melalui kolaborasi dengan ekosistem Astra Finansial dan non-Astra, mampu membuka akses produk finansial kepada lebih banyak orang.

Bila diibaratkan, posisi Moxa berbeda dengan kebanyakan anak usaha di bawah Astra Financial. Moxa seperti Tokopedia yang tidak punya produk, hanya platform yang menyediakan beragam produk finansial yang disuplai oleh grup dan non-grup. Pun dibandingkan dengan pemain fintech lain, tidak ada yang persis sama. CekAja dan Cermati itu fokus pada situs website dan komparasi produk finansial.

“Di grup sebenarnya sudah open ecosystem, tapi di ritel belum seterbuka itu. Belum ada platform-nya, sementara Moxa sebagai platform finansial yang sangat ritel dan open to collaborate. Platform itu kan menawarkan daya beli, dengan Astra Financial jadinya semua orang punya daya beli dengan kapasitas dan risiko masing-masing. Ini yang akan jadi keunggulan yang berbeda,” kata CEO Moxa Daniel Hartono kepada DailySocial.id.

Terhitung, saat ini ada 27 produk finansial yang tersedia di Moxa, mulai dari asuransi jiwa dan umum, pembiayaan tanpa dan dengan jaminan, pinjaman tunai, rental, pembiayaan mobil dan motor, perjalanan umroh dan haji, dan lainnya.

Mayoritas seluruh produk ini disediakan oleh 12 anak usaha di bawah Astra Financial, seperti FIFGROUP, TAF, ACC, Astra Life, dan Asuransi Astra. Di luar grup, sementara ini bekerja sama dengan Bank Permata, Baznas, Dompet Dhuafa untuk menyediakan fitur Syariah yang tersedia di aplikasi terpisah Moxa Mabroor.

Akan tetapi, dalam rangkaian consumer journey Moxa, pencarian produk finansial sebagai bagian dari gaya hidup sehari-hari bukanlah hal yang lumrah bagi orang Indonesia. Sangat sulit menemukan orang yang mau beli produk asuransi misalnya, sebagai bagian dari gaya hidupnya. Maka pekerjaan Moxa selanjutnya adalah meningkatkan daily usage dari pengguna agar mau terus menerus mengunjungi Moxa, hingga akhirnya siklus kehidupan finansial seseorang berkembang.

Belajar dari kondisi tersebut, Moxa belakangan mulai tweak proposisinya dengan menghadirkan produk-produk pencetak traffic tinggi yang berfungsi untuk meningkatkan daily usage. Beberapa sudah mulai dijalankan dan masih banyak lagi dalam rencana. Salah satunya adalah memasukkan fungsi e-commerce menawarkan produk elektronik dari FIFADA, produk e-commerce cicilan tanpa kartu kredit milik FIFGROUP.

Sejak fitur tersebut dirilis, diklaim mampu mendongkrak jumlah kunjungan di Moxa sampai masuk urutan ketiga, setelah cicilan motor, dan pembukaan rekening digital. Untuk berbelanja di fitur ini, konsumen bisa memanfaatkan fasilitas paylater yang disediakan oleh MauCash, atau bayar dengan e-money AstraPay atau payment gateway sebagai salah satu opsinya.

“Kami ingin meningkatkan daily usage. Saat ini Moxa ada asuransi mobil, motor, yang mana itu bukan daily usage. FIFGROUP yang sudah terintegrasi katalog e-commerce-nya di Moxa. Tapi back-end masih pakai FIF, sedang kami usahakan agar pakai back-end kami agar pengalaman konsumen jadi lebih seamless,” ucap Daniel.

Ke depannya akan merilis fitur produk investasi, mulai dari reksa dana, emas, saham, dan lainnya. Saat ini baru tersedia produk investasi emas yang disediakan oleh AMITRA, perusahaan pembiayaan syariah dari PT Sharia Multifinance Astra dan merupakan bagian dari FIFGROUP. Pihaknya akan mencari mitra-mitra yang kompeten dalam menyediakan produk investasi ini. Produk finansial lainnya juga akan terus ditambah kemitraannya dengan non-Astra.

Pendekatan yang berbeda ini dilandasi oleh data internal perusahaan yang menemukan bahwa para pengguna Moxa datang dari kalangan usia 18-35 tahun. Artinya, kelompok tersebut adalah first jobber, yang baru pertama kali mengakses produk finansial karena ingin mencicil barang pertamanya dari gaji yang diperoleh. Berbeda jauh dengan profil konsumer di Astra Financial yang berusia 35 tahun ke atas, mayoritas pernah mengambil setidaknya cicilan motor dan mobil.

“Jadi untuk capture new consumer, produknya tidak bisa disamakan dengan produk Astra yang ada sekarang karena tidak cocok. Makanya kami fokus ke pembukaan rekening, tabungan, e-commerce, investasi, ketika segmen ini siap financial lifecycle-nya akan naik dan dilayani Astra.”

Diklaim jumlah unduhan aplikasi Moxa mencapai lebih dari 14 juta, dengan pengguna aktif bulanan (MAU) di kisaran 1,3 juta-1,4 juta orang. Lokasi pengguna di dominasi di wilayah Jawa Barat dan Jakarta, sisanya tersebar di seluruh Indonesia.

Masuk ke layanan syariah

Satu hal yang menarik dari Moxa adalah keseriusan untuk menggarap pasar syariah, dengan merilis aplikasi terpisah, Moxa Mabroor sejak awal tahun ini. Sejauh ini aplikasi masih dalam uji coba versi beta, sembari mempersiapkan segala aspek kepatuhan dalam rangka memperoleh izin usaha dengan prinsip syariah dari regulator.

Daniel mengungkapkan, alasan mengapa spesifik menggarap pasar ini karena di Indonesia belum ada aplikasi wealthtech yang benar-benar menyediakan solusi finansial sepenuhnya, alias setengah-setengah. Pun sebelum digarap serius, pihaknya melakukan riset internal dengan konsumennya. Hasilnya disimpulkan bahwa meski persentasenya kurang dari 50%, ternyata konsumen punya ketertarikan terhadap produk syariah, tapi ingin produk ini terpisah dari produk utama Moxa.

Isu utama dari produk finansial berbau syariah ini tidak banyak, juga tercecer. Di Astra Financial itu sendiri, semua lini bisnisnya sudah memiliki produk syariah, kompetensinya juga sudah terbukti. Inilah yang menjadi kesempatan bagi Moxa untuk menggarapnya.

“Tapi tanggung jawab kami tidak boleh pure bisnis, harus bangun literasi syariah. Jadi sebelum launch kita perkuat basis literasinya, baik dari konten dan sebagainya. Masih banyak yang harus kita persiapkan sebelum launch resmi.”

Moxa Mabroor tidak jauh berbeda dengan aplikasi Moxa, sama-sama dilengkapi dengan produk finansial dari Astra Financial dan non-Astra seperti, pembiayaan motor hingga haji, asuransi, dan pembiayaan kurban. Ditambah ada menu islami, seperti pembayaran zakat hasil kerja sama dengan Baznas dan Dompet Dhuafa, masjid terdekat, arah kiblat, doa harian, waktu salat untuk penunjang ibadah sehari-hari, untuk meningkatkan daily usage-nya.

Baru-baru ini perusahaan juga bekerja sama dengan Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk solusi BaaS (Banking-as-a-Service). Memungkinkan konsumen Moxa Mabroor dapat membuka rekening BSI secara digital. Solusi yang sama ditawarkan Moxa bersama Bank Permata yang diluncurkan sebelumnya, bisa untuk pembukaan rekening dan tabungan. Bergabungnya Bank Jasa Jakarta ke dalam unit bisnis Astra Financial, juga memungkinkan hadirnya di aplikasi Moxa.

“Moxa punya produk-produk finansial semuanya berbasis API, jadi bayangkan platform mana pun, termasuk banking, kalau mau punya produk non-banking bisa integrasi lewat Moxa. Ini jadi complementary bagi bank itu sendiri karena kita grab pasar yang enggak bisa dilayani oleh bank.”

Berencana galang pendanaan

Daniel menyebut untuk mendukung pertumbuhan Moxa, perusahaan membutuhkan mitra strategis yang punya ekosistem nilai tambah untuk dikawinkan dengan Moxa. Jadi tidak semata-mata menggalang pendanaan untuk dapat dana eksternal saja.

“Misalnya ada partner yang punya ekosistem yang berbeda banget dengan Astra, kenapa tidak dikolaborasikan. Atau mereka punya teknologi yang berbeda dari Astra, itu bisa leveraging juga. Yang kita cari yang punya value, not necessary arah fund enggak terlalu. Poinnya win win-nya dapet.”

Dari internal Moxa kini tengah menyiapkan seluruh nilai lebih dan kurang apabila menggalang dana eksternal, mengingat ada porsi saham yang diambil dari investor nantinya. Begitu sudah dapat formula, baru timnya akan melanjutkan ke induk, yang sebenarnya sudah memberikan tanda sinyal.

“Kami masih beres-beres dapur, sembari cari restu dari Astra. Tapi konsepnya adalah bagaimana Moxa itu open to collaboration, keluar dari ekosistem Astra itu semangat yang kita bawa.”

Jika penggalangan ini berhasil, maka Moxa menjadi startup di bawah Astra Financial pertama yang dapat dana dari eksternal di luar induk. “Kami ini salah satu digital venture yang istilahnya mencoba berbeda dengan apa yang dilakukan Astra selama ini. Open collaboration, culture-nya startup, tidak corporate banget. Treatment-nya beda, tapi harus tetap pada rambu-rambu comply dengan aturan karena brand Astra harus benar-benar dijaga ada unsur trust-nya di situ,” pungkas Daniel.

Tim inti Moxa saat ini ada 16 orang. Meski mini, namun mereka semua dibantu oleh tim terdedikasi dari seluruh anak usaha Astra Financial yang ditotal mencapai 130 orang.

Application Information Will Show Up Here

Grab Kejar Profitabilitas, Dorong Bisnis “On-demand Grocery” dan Bank Digital di Indonesia

Baru-baru ini petinggi Grab Holdings Limited (NASDAQ: GRAB) membagikan proyeksi kinerja keuangan dan strategi perusahaan untuk menuju profitabilitas. Target utamanya adalah menjadi ekosistem superapp terbesar dan platform on-demand paling efisien di Asia Tenggara.

Sebagaimana dirangkum dalam laporannya, Grab masih mencatat rugi sebesar $1 miliar atau Rp15,3 triliun di semester I 2022, tetapi turun dari rugi di periode sama tahun lalu sebesar $1,46 miliar atau Rp22,3 triliun. Total Segment Adjusted EBITDA di semester I 2022 rugi $94 juta atau Rp1,43 triliun, dari untung $21 juta atau Rp319 miliar di semester I 2021.

Adapun, di kuartal II 2022 saja, Grab melaporkan sebanyak 62% dari total pengguna memakai dua atau lebih layanan atau naik dari 12% di 2018. Selain itu, sebanyak 69% dari mitra roda dua Grab melayani pesanan transportasi dan food delivery. Di 2021, Grab mengantongi sebesar $8,9 miliar atau tumbuh 24% dari tahun sebelumnya yang dihasilkan oleh mitra driver, delivery, dan merchant.

Co-Founder dan CEO Grab Anthony Tan mengaku bahwa perusahaan telah berupaya keras untuk mengejar profitabilitas dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Maka itu, pihaknya telah menyiapkan rencana baru yang akan mencerminkan berbagai rencananya menuju keuntungan.

“Sepuluh tahun dan sepuluh miliar perjalanan kemudian, kami merasa baru mencapai permukaannya saja dalam mendorong kemajuan di Asia Tenggara. Kami meyakini ada runway pertumbuhan besar di depan kami untuk melayani kawasan ini, dan kami berada di posisi yang baik dengan sumber daya yang dimiliki saat ini. Kami akan memanfaatkan kekuatan ekosistem superapp untuk menegaskan kepemimpinan kami di Asia Tenggara, tetapi sambil terus mengoptimalkan biaya yang dimiliki,” jelasnya.

Proyeksi dan rencana selanjutnya

Grab menyiapkan sejumlah rencana solid  untuk mendorong pertumbuhan seluruh lini bisnisnya, mulai dari program berlangganan GrabUnlimited, GrabForBusiness, online grocery, kemitraan lokal, dan iklan. Kemudian, Grab berencana ekspansi GXS Bank ke Malaysia dan Indonesia pada 2023, bank digital ini baru saja meluncur di Singapura. Adapun, operasional GXS Bank ditargetkan breakeven pada 2026.

Pihaknya memahami bahwa pasar UMKM dan pekerja gig di Asia Tenggara kurang terlayani oleh bank tradisional. Dengan memiliki data seperti perilaku penggunaan pada superapp dan pendapatan mereka, pihaknya dapat memperluas layanan perbankan secara akurat.

“Pada saat yang sama, kami juga meluncurkan teknologi eksklusif untuk meningkatkan efisiensi platform bagi merchant dan mitra driver kami. Kami juga berencana fokus pada layanan fintech sehingga dapat melayani pelanggan dengan baik melalui peluncuran digibank,” ungkap Chief Operating Officer Grab Alex Hungate.

Grab menargetkan Group Adjusted EBITDA pada semester II 2022 mencapai $380 juta atau naik 27% dari semester sebelumnya. Perusahaan juga membidik breakeven pada Group Adjusted EBITDA dapat tercapai di semester II 2024. Dari sisi pendapatan, Grab memproyeksikan pendapatan tahun ini mencapai $1,3 miliar. Tahun depan, Grab menargetkan pendapatannya tumbuh 45%-55% (YoY) dengan constant currency basis.

Di tahun ini, Grab memperkenalkan inisiatif baru bernama Just-in-Time Allocation yang bertujuan meningkatkan akurasi perkiraan waktu pada layanan food delivery dan memungkinkan pengemudi memenuhi lebih banyak pesanan. Per Juli 2022, Grab mencatat ada sekitar 12 juta menit waktu tunggu mitra driver yang berhasil dihilangkan dibandingkan Februari 2022.

Per Agustus 2022, ada sekitar 22% pengurangan waktu tunggu untuk mitra delivery, 19% batch job, dan 11% perjalanan per jam transit dibandingkan kuartal IV 2021.S

Grab juga akan menambah jumlah merchant 40% lebih banyak dibandingkan 2020, dengan mengembangkan self-serve tools dan fitur automasi lain. Di samping itu, Grab akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan mitra driver di tahun mendatang.

Gandeng Trans Retail

Terbaru, Grab juga mengumumkan kemitraannya dengan raksasa hypermarket chain PT Trans Retail Indonesia milik CT Group untuk menawarkan layanan grocery berbasis on-demand. Pada layanan ini, Grab juga beroperasi di Malaysia dengan mengakuisisi Jaya Grocer.

Menurut perusahaan, kemitraannya bersama Trans Retail dapat menciptakan cost-sustainable dalam membangun platform on-demand untuk mobilitas dan pengiriman on-demand paling efisien. Selain itu, pihaknya dapat meningkatkan skala bisnis on-demand grocery dengan memanfaatkan keahlian yang dimiliki Trans Retail Indonesia pada aset retail, warehouse, dan daya beli.

Saat ini, Trans Retail Indonesia memiliki lebih dari 110 hypermarket dan supermarket yang tersebar di 28 kota di Indonesia. Pada sinerginya, baik Grab dan Trans Retail Indonesia akan melakukan integrasi dua arah. Trans Retail akan menghubungkan layanan utama Grab ke seluruh gerai miliknya, sedangkan Grab akan memanfaatkan infrastruktur hypermarket Trans Retail untuk beroperasi dengan biaya lebih rendah. Salah satunya adalah menutup dark store dan dan memindahkan operasionalnya ke Trans Retail.

Sebagai informasi, Trans Retail Indonesia juga mengoperasikan layanan online grocery AlloFresh melalui perusahaan patungan yang didirikan bersama PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) , dan Growtheum Capital Partners (investor AlloBank).

Application Information Will Show Up Here