Klaim Pertumbuhan Positif, PasarPolis Tunjuk Presiden Baru

Melalui model bisnis dan operasional yang efektif, platform insurtech membuat layanan asuransi lebih mudah diakses dan berorientasi pada pelanggan. Meskipun tantangan masih ada, kerja sama antara startup di bidang ini dan perusahaan asuransi yang mulai terbangun, yang didukung oleh lingkungan regulasi yang kondusif.

Salah satu platform insurtech yang telah berdiri sejak tahun 2015, PasarPolis terus mengembangkan inovasi agar bisa menjadi the next gen digital insurance yang selalu mengikuti tren kebutuhan pasar. Untuk memperkuat posisi mereka di industri, baru-baru ini mereka menunjuk Presiden baru yaitu Peter van Zyl untuk turut menavigasi strategi perusahaan.

Peter dikenal sebagai veteran profesional dengan rekam jejak panjang di industri asuransi selama lebih dari 20 tahun. Sebelum bergabung dengan PasarPolis, Peter menjabat sebagai Presiden Direktur & CEO Allianz Indonesia selama 7 tahun dan menduduki posisi manajemen senior di AIG selama lebih dari 15 tahun.

Presiden PasarPolis Peter van Zyl / PasarPolis

Disampaikan dalam keterangan resmi, untuk jangka pendek Peter akan berfokus memperkuat posisi PasarPolis di pasar dan mengimplementasikan strategi baru guna meningkatkan daya saing perusahaan. Sementara di jangka panjang, visi Peter adalah menjadikan PasarPolis sebagai perusahaan asuransi digital terdepan dengan layanan, produk, dan klaim yang mudah, cepat, dan terjangkau.

“Kami memprioritaskan pengalaman berasuransi yang lebih menyenangkan mulai, dari pemilihan produk hingga klaim yang 10x lebih baik bagi pelanggan kami melalui digitalisasi,” kata Peter.

PasarPolis juga akan memfokuskan kepada peningkatan penetrasi dan literasi asuransi di negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam dan Thailand, mengingat potensi yang masih besar, terutama di tengah peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perlindungan asuransi pasca pandemi.

Dari sisi pasar, Vietnam dan Indonesia memiliki kriteria pasar asuransi yang serupa, meskipun kesadaran akan asuransi di Vietnam masih relatif rendah daripada Indonesia; serta Thailand merupakan pasar asuransi yang sudah cukup matang, dengan tingkat penetrasi lebih tinggi. Tahun 2019 lalu perusahaan melakukan ekspansi ke Vietnam dan Thaland.

Pertumbuhan positif

Diklaim melalui pendekatan digital, PasarPolis telah mencapai segmen pasar yang sulit dijangkau oleh saluran distribusi tradisional. Produk-produk yang ditawarkan juga dinilai sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini, seperti asuransi perjalanan hingga perlindungan gadget (microinsurance).

Dengan mengedepankan pendekatan omnichannel, PasarPolis juga ingin memberikan akses yang simpel dan mudah terhadap produk asuransi, mulai dari pemilihan polis hingga penyelesaian klaim. PasarPolis terus berupaya meningkatkan distribusi polis asuransi secara lebih tepat sasaran, melalui layanan keagenan yang dimiliki.

Pandemi juga dinilai telah mengubah cara masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhannya, termasuk dalam berasuransi yang sekarang lebih mudah dilakukan melalui digital. Secara preferensi, inovasi produk asuransi yang melekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat juga semakin menjadi tren.

Tercatat pada tahun 2022, jumlah polis yang diterbitkan oleh PasarPolis mencapai lebih dari 500 juta. Mereka juga mengklaim berhasil melindungi hampir 30% populasi Indonesia atau lebih dari 80 juta pelanggan.

Dari sisi inovasi customer experience, per Juni 2023, PasarPolis telah berhasil menyelesaikan 98% dari total penyelesaian klaim B2B2C (asuransi nonkredit) dan 95% dari total klaim asuransi perangkat diselesaikan dalam waktu kurang dari 2 jam.

Berkolaborasi dengan perusahaan asuransi umum Tap Insure, PasarPolis kini telah menjadi ekosistem asuransi digital full-stack yang mampu melakukan underwrite produk secara mandiri. Sebagai perusahaan insurtech terkemuka di Indonesia, PasarPolis kini memiliki lebih dari 7.500 Mitra aktif dan bekerja sama dengan lebih dari 40 partner ekosistem untuk memenuhi kebutuhan asuransi yang melekat di dalam keseharian masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia.

Dinamika industri insurtech

Di pasar asuransi digital, PasarPolis berhadapan langsung dengan sejumlah pemain kunci seperti Qoala dan Fuse. Namun demikian industri ini baru mendapatkan kabar kurang sedap dengan tutupnya layanan Futuready — diketahui mereka memiliki fokus utama menyediakan produk asuransi mikro. Sementara para rivalnya bermain di banyak model bisnis, termasuk yang menjadi adalan adalah layanan keagenan.

Pemain lainnya, yakni Aigis, awal tahun ini memilih pivot dari penyedia layanan insurtech B2B menjadi SaaS manajemen keuangan industri kreatif. Startup yang didukung Init6, Goodwater Capital, dan Y Combinator ini juga melakukan rebranding menjadi Finnix.

Terkait pendanaan, tiga startup telah membukukan investasi baru di semester pertama 2023 ini. Pertama Igloo yang membukukan nilai investasi 716 miliar Rupiah pada pendanaan seri B mereka dan berkomitmen memperdalam penetrasinya di pasar Indonesia. Kemudian Qoala juga mendapatkan tambahan 113 miliar Rupiah pada putaran seri B mereka. Lalu terakhir ada Bang Jamin yang baru mendapatkan pendanaan segar dari Northstar Group dan BRI Ventures.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Platform Digitalisasi Ritel YOBO

Aktivitas offline kembali merebak selepas pandemi. Setelah peritel “dipaksa” masuk ke platform online demi menjangkau konsumen, kini mereka dapat bernapas lega kembali mengaktifkan gerai-gerainya untuk berinteraksi langsung. Walau begitu, peritel ini masih banyak yang belum bisa memahami konsumennya dan cara menariknya mau berkunjung ke gerai.

Steven Kim (CEO) bersama Jaeyoun Doh (CTO) menangkap kekosongan tersebut dengan merintis YOBO, platform perdagangan dan pembayaran (commerce and payment platform) yang memanfaatkan teknologi untuk mengumpulkan data, memberikan pengalaman konsumen yang lebih baik, dan mendorong pertumbuhan bisnis. Solusi tersebut berbasis digital, tidak memerlukan aplikasi yang harus diunduh oleh konsumen ataupun peritel.

“Kami membantu mereka membawa bisnisnya ke online, mendapatkan data konsumen seperti: siapa konsumen VIP-nya? Siapa yang paling rutin berkunjung? Data tersebut kami proses dari EDC yang sudah terhubung dengan reward untuk diberikan ke konsumen,” terang Co-founder YOBO Steven Kim saat ditemui DailySocial.id.

YOBO merupakan kepanjangan dari Your Own Business Online, diracik oleh Kim bersama Doh dan tim pada saat pandemi tengah berlangsung. Produk YOBO itu sendiri sudah live sejak pertengahan Juni 2023, dimanfaatkan sejumlah peritel yang tersebar di mal-mal seantero Jakarta.

Kim sebelumnya merupakan pendiri Qraved, pernah menduduki posisi penting di Rocket Internet SEA dan Zalora. Sementara perusahaan Doh sebelumnya adalah Itemku yang diakuisisi oleh Bukalapak pada Mei 2021.

Produk YOBO

Kim menjelaskan, produk YOBO adalah platform reward berbasis nomor handphone di EDC. Dari mesin EDC yang digunakan peritel, akan dikumpulkan data pelanggan saat pembayaran terjadi. Data tersebut diolah untuk mendapatkan insight yang dapat digunakan untuk meracik strategi promosi berikutnya.

YOBO

Berbeda dengan program reward yang dihadirkan oleh peritel, umumnya konsumen perlu mengunduh aplikasi reward dan memberi tahu kasir nomor pelanggan mereka untuk mengumpulkan poin yangloy dapat ditukar kemudian hari. Namun, cara tersebut belum tentu sukses karena tingkat churn yang tinggi. Unduhan hanya akan tinggi ketika terjadi promosi saja. Belum lagi investasi yang harus dikeluarkan bisnis untuk pengembangan aplikasi dan meracik promosi tergolong tidak murah.

Oleh karenanya, alur konsumen saat bertransaksi di tenant yang sudah memakai solusi YOBO sedikit berbeda. Perusahaan bekerja sama langsung dengan pengelola mal tersebut, sebelum mengajak tenant-tenantnya mengadopsi solusi YOBO.

Nantinya di dalam mal akan tersedia banner/spanduk berisi promosi dari tenant, sekaligus kode QR yang dapat dipindai pengunjung. Ketika dipindai, pengunjung akan dibawa ke situs mal tersebut dan diminta untuk memasukkan nama dan nomor handphone sebelum menerima informasi lainnya yang dikirim melalui WhatsApp.

Setelah sukses, secara otomatis konsumen akan menerima pesan dari WhatsApp, informasi mengenai direktori mal, melihat penjualan dan promosi berlangsung, hingga acara yang sedang berlangsung di mal.

“Karena banyak pengunjung yang saat masuk ke mal itu tidak tahu mau ke mana, promosi apa saja yang dapat mereka terima, dan benefit lainnya. Jadi kami ini tanpa aplikasi, pengalaman baru ini bagus untuk pengunjung karena semua informasi dikirim ke WhatsApp, yang mana mereka lebih sering buka WhatsApp daripada aplikasi lain untuk dapat informasi.”

DailySocial.id pun turut serta merasakan pengalaman saat berkunjung ke Ashta, SCBD Jakarta. Setelah memindai banner promosi yang berisi kode QR, terdapat promosi gratis minum yang disediakan oleh Saturdays, salah satu peritel yang sudah bermitra dengan YOBO.

Begitu sampai di gerai, pelayan memberi tahu persyaratan yang harus dilakukan untuk penukaran promo tersebut, yakni cukup dengan belanja salah satu menu makanan di sana. Mesin EDC milik Saturdays akan meminta nomor handphone konsumen sebelum kode QRIS muncul untuk pembayarannya.

“Dari mal dan tenant sekarang sudah punya satu konsumen baru, yang dapat dikirim pesan lagi berisi promosi lainnya untuk mengajak konsumen tersebut kembali datang.”

Kim juga memastikan keamanan data pengunjung tidak akan disebar ke pihak lainnya, hanya pengelola mal dan tenant sajalah yang dapat mengaksesnya.

YOBO

Tidak hanya kemudahan di atas, YOBO juga akan memberikan akses dasbor CRM kepada bisnis untuk monitor basis data  konsumen, serta memberikan rekomendasi promosi apa yang tepat, disertai dengan pesan yang terpersonalisasi dan terukur.

“Banyak bisnis yang ingin punya solusi manajemen data, manajemen konsumen, business intelligence, project management, ads analysis. Tapi ini semua mahal karena harus rekrut orang, belum lagi ada risiko hasilnya tidak sepadan.”

Strategi monetisasi

Pendekatan YOBO ini terinspirasi dari kesuksesan Square, startup asal Amerika Serikat. Di sana, sejak Covid-19 pertumbuhan bisnis pembayaran dan teknologi bisnis untuk sektor F&B dan ritel telah berkembang pesat. Square sendiri adalah perusahaan pembayaran yang menyediakan produk POS.

Berbeda dengan Indonesia, para pemain POS kebanyakan menjual solusinya dengan berlangganan untuk memanfaatkan mesinnya dan benefit lainnya. Alhasil, ada biaya tetap yang harus dikeluarkan peritel, sementara tidak ada jaminan penjualan tetap tinggi setiap waktu.

“Sementara banyak bisnis yang belum memikirkan bagaimana strategi promosinya, sebab selama ini pemain e-wallet, seperti Gopay yang kasih cashback. Sementara sekarang mereka sudah tidak berikan promosi besar-besaran lagi. Bagaimana mereka bisa tahu siapa konsumen VIP, benefit apa yang perlu diberikan agar sering datang, itu tidak pernah terpikirkan.”

Oleh karena itu, monetitasi yang diambil YOBO hanya berasal dari biaya layanan sebesar 2,9% untuk setiap transaksi yang sukses terjadi di tenant. Ongkos tersebut terbilang lebih terjangkau daripada peritel harus mengadopsi banyak solusi dan merekrut orang baru.

Terlebih itu, peritel pun tidak harus menggunakan mesin EDC khusus dari YOBO, walau perusahaan bekerja sama dengan salah satu pemain POS lokal sebagai penyedianya. Perusahaan memilih untuk agnostik, alias solusinya bisa terhubung dengan berbagai penyedia POS, baik yang sudah digital (iSeller, Majoo, ESB, Moka) maupun konvensional, seperti Quinos, Raptor, dan Micros.

“YOBO adalah perusaahaan dengan pergerakan uang yang tinggi dan selalu meningkat tiap bulannya karena punya unit economics yang jelas. Semua pendapatan kami di dapat dari setiap transaksi yang sukses. Jadi tenant hanya membayar kami dari transaksi yang sukses, tanpa ada biaya upfront untuk berlangganannya.”

Sisi agnostik lainnya juga berlaku untuk target pengguna YOBO, tidak hanya untuk bisnis kuliner saja, tapi juga dari vertikal lainnya, yakni fesyen, skincare, supermarket, salon, gym, hingga otomotif.

Rencana selanjutnya

Kim memastikan saat ini perusahaan masih memfokuskan diri pada peritel offline dengan menjaring sebanyak-banyaknya pengelola mal menjadi penggunanya. Ditargerkan setidaknya dapat menambah 50 mal lagi sepanjang tahun ini. Adapun sekarang, perusahaan sudah bekerja sama dengan Asri Group, pengelola mal Ashta, MOI, PIK Avenue, Hub Life, dan Grand Galaxy Park.

Selanjutnya dari Pakuwon Group, pengelola Kota Kasablanka dan Gandaria City, serta Lippo Group, pengelola Spark Senayan dan Lippo Mall Puri. Rencananya mal-mal lainnya yang dikelola grup besar ini akan dijaring hingga nantinya YOBO dapat beroperasi di seluruh Indonesia.

Beberapa peritel yang sudah memanfaatkan solusi YOBO, di antaranya berasal dari Boga Group, Saturdays, Goobne, Social Affair, Baker Man, Xi Bo Ba, dan masih banyak lagi.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, saat ini YOBO sedang menggalang pendanaan tahap awal. Adapun saat ini YOBO sudah mengantongi pendanaan pra-awal dari sejumlah investor dan angel investor, salah satunya DS/X Ventures.

“Kami mencari investor strategis yang kuat di pengalamannya dan punya jaringan yang kuat di dunia ritel offline agar selaras dengan bisnis kami saat ini.”

Kim juga membuka kemungkinan untuk menyasar peritel dari kalangan UMKM.  Walau belum bisa ditentukan kapan waktunya, menurutnya potensi yang ditawarkan dari segmen bisnis ini juga menjanjikan. Segmen ini umumnya punya tantangan berbeda karena kebanyakan masih berfokus pada peningkatan bisnis, belum pada retensi konsumen.

“Jadi dengan pendekatan top down, ketika ini sukses, pola pikir para UKM akan berubah. Jika mereka melihat grup besar seperti Boga Group sudah pakai, maka mereka akan terpengaruh.”

Masa depan Qraved

Terkait Qraved, Kim menuturkan pandemi “sukses” menghantam bisnis Qraved sebagai platform direktori kuliner karena monetisasinya mengandalkan pemasangan iklan oleh pebisnis. Tak hanya Qraved yang kesulitan, bahkan Zomato menutup bisnisnya di Indonesia.

Namun bukan begitu platform seperti ini tidak lagi relevan dengan perkembangan terkini, hanya lebih sulit untuk bertahan karena sebagian besar bisnis tidak punya budget pemasaran yang berlebih.

Saat ini, startupnya tersebut sedang masa jeda (paused), bukan berarti bakal tutup. Lantaran sebagian besar sumber daya diarahkan untuk pengembangan YOBO, dengan jumlah tim saat ini sekitar 15 orang. Kendati begitu ia belum bisa memastikan kapan setidaknya Qraved bisa dihidupkan kembali.

“Mungkin kuartal empat ini atau tahun depan, yang pasti kami akan hidupkan kembali. Sejujurnya belum tahu juga nanti akan tetap sebagai discovery platform atau bukan. Yang kami lihat sejauh ini kami banyak terima permintaan dari konsumen kapan akan update, sebab saat ini pilihan terakhir untuk discovery makanan itu dari Google Maps saja, sementara Zomato sudah tutup di sini.”

Sebagai catatan, Qraved sudah beroperasi sejak 2013. Saat itu, pesaing terbesarnya adalah Zomato dan pemain lokal, PergiKuliner. Sama dengan Qraved, Zomato juga hadir di Indonesia pada 2013.

Disclosure: DS/X Ventures merupakan bagian dari grup DailySocial.id

Feedloop Perkenalkan Inovasi Berbasis AI untuk Efisiensi Proses Bisnis

Penyedia SaaS untuk digitalisasi bisnis Feedloop.io mengumumkan perubahan nama menjadi Feedloop.AI, menyusul kehadiran AI Co-Pilot untuk mendorong efisiensi proses bisnis.

Kepada DailySocial.id, CMO Feedloop.Ai Muhammad Ajie Santika mengungkap upayanya untuk memperkuat posisinya sebagai pemain utama di bidang AI termasuk proses penggalangan dana seri A tahun ini.

Rebranding dan penggalangan dana

Feedloop didirikan oleh Ahmad Rizqi Meydiarso, Muhammad Ajie Santika, dan Ronaldi Kurniawan Saphala pada 2019, yang fokus menghadirkan solusi Low-Code Platform bagi bisnis dan perusahaan melalui produk QORE untuk digitalisasi dan pembuatan aplikasi.

Feedloop.io memutuskan untuk rebranding menjadi platform Feedloop.AI, yang memungkinkan perusahaan untuk membuat AI Co-Pilot sendiri dalam mengefisienkan proses bisnis. Feedloop.AI yang didukung dengan OpenAI dari Microsoft Azure, menghadirkan fitur-fitur untuk kebutuhan internal perusahaan, di antaranya sebagai sumber pengetahuan, asisten personal virtual, hingga peningkatan produktivitas secara otomatis.

Sumber: Feedloop.AI

Feedloop.AI dapat diintegrasikan dengan database milik perusahaan, baik dalam format PDF, website, atau dokumen lain. Dengan begitu, hal ini dapat dimanfaatkan untuk membagikane product knowledge perusahaan ke karyawan internal maupun pelanggan.

Tak hanya itu, Feedloop.AI juga dapat dimanfaatkan sebagai asisten personal yang kemampuannya dapat dilatih serta disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Feedloop.AI mengklaim dapat digunakan dengan optimal dan aman sesuai data dan instruksi yang diberikan.

“Feedloop tidak hanya memberikan produk yang siap pakai, tetapi juga memberikan solusi yang dapat diadaptasi sesuai perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan bisnis klien. Tim ini akan bekerja sama dengan klien untuk memahami secara mendalam kebutuhan bisnis mereka dan tantangan yang dihadapi dan mengembangkan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut,” ujar Ajie.

Dari sisi fleksibilitas, Feedloop.AI menawarkan kemampuan kustomisasi yang didukung oleh tim Solution & Delivery untuk mengakomodasi pemilik bisnis punya kebutuhan unik dan terus berkembang.

Lebih lanjut, Feedloop.AI berencana menggalang pendanaan baru tahun ini. “Saat ini, Feedloop sedang dalam proses penggalangan dana untuk tahap seri A untuk memperkuat posisi kami sebagai pemain utama dalam industri AI,” kata Ajie.

Sebelumnya, Feedloop telah memperoleh pendanaan awal dari angel investor sebagai modal awal untuk memulai operasional. Di 2021, Feedloop mendapat pendanaan pra-seri A dari TMI, Aksara Ventures, dan East Ventures. Pendanaan ini memungkinkan Feedloop untuk mengembangkan produk dan layanan lebih lanjut, serta memperluas jangkauan bisnis.

Pengembangan tanpa coding rendah

Meskipun sudah populer di Amerika Serikat dan Eropa, pengembangan solusi dengan sedikit coding (low-code) dan tanpa coding (no-code) dinilai masih tahap pengenalan di Indonesia. Menurut Ajie, pemahaman dan kesadaran atas manfaat dan potensi ini perlu ditingkatkan.

“Banyak perusahaan dan software developer masih mengandalkan pendekatan tradisional dalam pengembangan aplikasi, yang memerlukan keahlian pemrograman yang mendalam dan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan produk yang kompleks,” tuturnya.

Feedloop.AI mengklaim sebagai pionir yang mengembangkan solusi dengan pendekatan low-code dan no-code di Indonesia. Dengan mengadopsi kemampuan ini, pihaknya dapat mengembangkan aplikasi dan solusi perangkat lunak lebih cepat dan efisien sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu pengembangan, meningkatkan fleksibilitas, dan mempercepat go-to-market produknya.

Secara khusus, Feedloop.AI berfokus membantu transformasi digital enterprise di Indonesia melalui low-code platform, customer experience platform, dan AI platform. Saat ini, Feedloop.AI telah menangani 41 klien mulai dari sektor perbankan dan keuangan, FMCG, hingga BUMN. Ke depannya, Feedloop.AI akan memperluas penggunaan produknya ke berbagai kategori bisnis, tak hanya segmen enterprise.

“Pengguna dapat berlangganan dan menggunakan platform Feedloop.AI dengan membayar biaya langganan sesuai dengan paket yang mereka pilih. Selain itu, Feedloop.AI juga menyediakan layanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan kustom dari klien. Layanan ini dapat mencakup fitur-fitur tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis individu.”

Shopingku Ramaikan Pasar Social Commerce di Indonesia

Tahun 2021 menjadi tahun yang berat bagi industri startup Indonesia. Beberapa perusahaan gulung tikar, banyak yang melakukan efisiensi, termasuk PHMomen ini menginspirasi bagi Harry Yohanes Karundeng untuk menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara yang lebih sederhana melalui Shopingku.

Shopingku adalah platform marketplace yang menggunakan konsep social commerce, menghubungkan pemilik usaha dengan pembeli dan agen-agen penjual dalam satu ekosistem. Platform ini menyediakan fitur-fitur yang komprehensif, unik, dan lengkap untuk mendukung ekosistem dalam mengembangkan usaha dan mendapatkan keuntungan lebih.

Platform ini juga menggabungkan konsep penjualan baik secara konvensional maupun digital dengan memanfaatkan e-commerce, social media, dan sistem afiliasi, ditambah opsi penjualan tunai dan non-tunai, sehingga potensi pasar retail dapat bangkit selaras dengan perkembangan industri teknologi dan internet.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Founder dan CEO Shopingku Harry Karundeng mengungkapkan, “cita-cita saya, Shopingku bisa jadi satu ekosistem di mana orang-orang bisa bekerja dengan berjualan di Shopingku, lalu mendapat komisi, dan bisa kembali berbelanja di platform ini.”

Shopingku memiliki beberapa fungsi, yakni (1) sebagai katalog online yang dapat digunakan seluruh agen dalam proses berjualan dan (2) model afiliasi yang memungkinkan merchant memasarkan produknya secara luas dengan jaringan penjualan lewat agen.

Selanjutnya, Shopingku menerapkan konsep social commerce yang memungkinkan para agen memanfaatkan platform media sosial mereka untuk mendapatkan penghasilan. Sebagai marketplace, Shopingku memungkinkan masyarakat untuk membuka toko online tanpa modal.

Para merchant dan agen dapat memaksimalkan keuntungan dengan menggunakan fitur “create content” untuk membantu menarik pembeli dengan cara kreatif mereka yang menonjolkan keunggulan produk mereka. Konten tersebut juga bisa dibagikan ke media sosial favorit mereka sehingga dapat menaikkan performa penjualan mereka.

Harry telah memiliki pengalaman kerja lebih dari 25 tahun di industri IT, retail, dan perbankan, serta lebih dari 15 tahun memimpin di perusahaan terkemuka di Indonesia. Sebelumnya, Harry juga memiliki pengalaman dalam membangun situs jual beli online Mise.id.

Segera resmikan kehadiran, Shopingku sudah memiliki lebih dari 1000 agen yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan terus bertambah secara signifikan. Selain online, para agen juga melakukan penjualan secara konvensional dan door-to-door sehingga dapat menjangkau masyarakat yang minim akses internet.

Hingga saat ini, terdapat sekitar 5000+ SKU produk yang disediakan oleh ragam merchant di platform Shopingku. Untuk sistem pembayaran, platform juga menyediakan ragam opsi pembayaran, seperti OVO, DANA, QRIS, VA, dan rencananya akan segera menyediakan opsi paylater.

Target ke depan

Selama satu dekade terakhir e-commerce telah berhasil menjadi lokomotif yang mendorong inovasi digital di berbagai sektor. Namun, masih ada gap khususnya pemerataan jangkauan layanan. Gap tersebut dipicu berbagai faktor, misalnya terkait distribusi layanan di kota tier 3 atau 4 sampai literasi digital masyarakat rural yang belum maksimal.

Salah satu tantangan yang masih ditemui oleh platform social commerce saat ini adalah bagaimana meyakinkan produsen dan prinsipal untuk memberikan layanan ke luar kota tier 1. “Ke depannya, kita berharap bisa menjalin kerja sama dengan beberapa institusi seperti perbankan, untuk menyalurkan kredit bagi para agen,” ungkap Harry.

Harry menargetkan dapat mengumpulkan sekitar 15.000 agen hingga akhir 2023. “Kita juga menargetkan ekspansi ke luar Jawa. Kami harap bisa mendapat agen yang secara demografis tidak hanya terkumpul di pulau Jawa, tetapi bisa sampai Indonesia Timur. Dengan begitu kita juga bisa membantu pemerintah untuk pengembangan daerah timur,” ungkapnya.

Shopingku berupaya menciptakan ekosistem untuk menyejahterakan para agen, merchant, dan pemangku kepentingan lain. Shopingku memiliki misi untuk menjadi ekosistem baru yang bisa memajukan perekonomian di Indonesia.

Berdasarkan laporan “Social Commerce 2022” oleh DSInnovate, pasar social commerce Indonesia pada 2022 ditaksir mencapai US$8,6 miliar, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 55 persen, dan diperkirakan terus tumbuh hingga mencapai US$86.7 miliar pada 2028.

Di Indonesia sudah ada beberapa pemain yang menyasar pasar serupa. Sebut saja Evermos, yang belum lama ini merampungkan pendanaan seri C senilai $39 juta, Dagangan, Woobiz, dan juga Mapan yang belum lama ini mengklaim telah mencetak 3x lipat pertumbuhan di 2022.

Ambisi Gaweku Setelah Rebranding, Ingin Ciptakan Solusi HR-Tech Terpadu

Baru-baru ini, startup HR-tech Reeracoen Indonesia mengumumkan rebrand menjadi Gaweku, sekaligus mengubah badan hukumnya PT Gaweku Human Technology. Langkah ini mengawali ambisi perusahaan yang ingin membentuk ekosistem HR menyeluruh di Indonesia dengan bantuan teknologi terkini.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, COO Gaweku Kenichi Fujiki menyampaikan, rebrand ini adalah upaya perusahaan agar semakin dekat dengan Indonesia — agar mudah diingat dan dilafalkan daripada merek sebelumnya.

“Sebelumnya kita sudah ada keinginan agar lebih mudah diingat klien. Karena kebetulan masuk ke tahun ke-10, sekalian saja kita rebrand […] kami ingin fokuskan ke satu nama yang sangat merepresentasikan Indonesia,” ujarnya.

Gaweku berasal dari kata “gawe” dan “aku”. Gawe berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti “pekerjaan”. Menurut Fujiki, nama tersebut mencerminkan kebanggaan perusahaan atas kualitas pekerjaan tim Gaweku selama ini, serta kontribusi yang diberikan kepada masyarakat Indonesia melalui pertumbuhan pelanggan dan kesuksesan perusahaan.

Baginya, transformasi ini tidak hanya sekadar perubahan brand saja, perusahaan memahami bahwa banyak profesional di bidang SDM menghabiskan waktu berharga mereka untuk tugas-tugas administratif yang panjang dan berulang.

Berdasarkan pemahaman ini, Gaweku bertekad untuk mengembangkan bisnisnya dan mengintegrasikan teknologi ke dalam bidang SDM. Melalui langkah ini, Gaweku bertujuan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dan memberikan solusi inovatif dalam industri teknologi SDM.

“Sudah 10 tahun kami bekerja di seputar HR, kami tahu dalam praktiknya ada kesulitan yang mereka alami setiap hari. Dengan brand baru, kami ingin jadi penyedia jasa untuk berikan solusi kepada praktisi HR dan bentuk ekosistem HR yang saling terhubung satu sama lain.”

Produk utama Gaweku yang sudah hadir sejak awal berdiri di 2013 adalah Gaweku Recruit, adalah recruitment agency (headhunter) untuk mencari talenta terbaik yang dibutuhkan klien perusahaan. Kemudian, pada 2018, meluncurkan solusi earned wage access (EWA) dinamai Kasibon (dulu bernama Ultratech), memberikan solusi gaji prabayar kepada karyawan yang mengajukan.

Diklaim Kasibon adalah pelopor produk EWA di Indonesia. Perusahaan menyediakan solusi tersebut dengan menggunakan kapital sendiri, tidak bekerja sama dengan perusahaan dari jasa keuangan. “Jadi klien Gaweku Recruit bisa jadi klien Gaweku Kasibon juga.”

Produk ketiga adalah media online khusus HR bernama HRPods, membahas seluruh topik mengenai dunia HR yang selama ini akses informasinya terbatas. Fujiki memastikan HRPods ini bersifat netral dan tidak hanya memberitakan semua informasi terbaru dari Gaweku.

Produk terbaru yang sedang dikembangkan perusahaan adalah Gaweku HR System, untuk mengatasi kesulitan HR dalam mengelola administrasi, basis data karyawan, pembayaran gaji, hingga absensi. Menurut Fujiki, solusi ini sedang dalam tahap pengembangan yang ditargetkan dapat dirilis segera. “Produk ini akan jadi yang pertama menyelesaikan isu HR dalam satu platform.”

Sudah cetak untung

Terkait status keuangan perusahaan, Fujiki mengaku sejak tahun pertama perusahaan berdiri sudah cetak laba, mengingat bisnis headhunting tergolong lebih sehat karena B2B, sehingga tidak perlu bakar duit. Meski tidak bisa dirinci dengan angka, ia bilang pertumbuhannya cukup fluktuatif mengingat banyak faktor pemicunya. Lantaran bisnis headhunting seperti ini berurusan dengan manusia, bukan dari tools, teknologi, atau solusinya.

“Tapi tentang orangnya, konsultan-konsultan kami itu kan manusia, jadi ada masa istirahatnya, resign atau sebagainya, ketika itu terjadi bisa memengaruhi produktivitas perusahaan.”

Terlebih perusahaan sedang mengembangkan produk baru dan ambisi besar lainnya di HR-tech, bila diperhitungkan dengan rinci, perusahaan butuh investor strategis untuk membantunya. Tak hanya cari dana segar, ia pun menargetkan Gaweku dapat IPO setidaknya pada 2027 mendatang.

“Ketika kita bisa go public di 2027, maka akan semakin banyak orang yang tertarik dengan kita, sehingga ekosistem HR yang mau kita bangun semakin melebar.”

Sebagai catatan, Gaweku merupakan anak usaha dari perusahaan recruitment agency asal Jepang, Neo Career Group. Tak hanya di Indonesia, Reeracoen beroperasi di 8 negara di Asia, seperti Thailand, India, Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Hong Kong. Di Indonesia, Neo Career membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan lokal.

Tren industri HR

Menurut Fujiki, pasca pandemi, perusahaan yang kembali membuka lowongan pekerjaan tumbuh tinggi karena mereka mulai ekspansi jor-joran setelah tertahan selama beberapa tahun saat pandemi. Walau tidak digambarkan dengan angka, diibaratkan jumlah lowongan yang dicari klien lewat Gaweku lebih tinggi daripada di 2019, alias sebelum pandemi.

“Tapi meski lapangan kerja yang dicari naik, bukan berarti orang yang bisa mengisi posisi tersebut memenuhi kriteria. Tugas kami adalah menjembatani para pencari kerja yang sesuai kapasitasnya dengan yang dicari perusahaan.”

Gaweku sendiri melayani seluruh segmen industri yang membutuhkan jasa headhunting, walau kebutuhan talenta teknologi untuk perusahaan teknologi belakangan banyak dicari di Indonesia. Solusinya paling banyak digunakan oleh perusahaan yang bergerak di industri manufaktur, logistik, trading, service, dan teknologi.

Berkaitan pula dengan strategi ekspansi yang banyak dilakukan perusahaan, maka tren lowongan pekerjaan yang paling banyak dicari saat ini adalah orang-orang yang berpengalaman di dunia sales, juga engineer.

“Permintaan tech talent di Indonesia secara umum tinggi, begitupula di kami. Tapi karena ada dampak mass layoff di A.S, itu berdampak juga di Indonesia. Kebutuhannya tetap tinggi, tapi pertumbuhannya stagnan,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Mendalami Hipotesis Investasi DS/X Ventures untuk Startup B2B Tahap Awal

Belajar dari pandemi, sudah sepatutnya startup kembali pada khitahnya, yakni fokus membangun fundamental, tidak lagi mengejar pertumbuhan eksponensial yang niscaya sulit menjadikannya menjadi perusahaan keberlanjutan. Semangat inilah yang ingin digaungkan kembali oleh DS/X Ventures, lengan investasi bagian dari grup DailySocial.id.

Premis di balik kelahiran ‘si anak bungsu’ ini adalah untuk melengkapi ekosistem startup yang selama ini sudah dibangun DailySocial.id. Dalam perjalanannya, produk DailySocial.id adalah media online, riset, kemudian Startup.id (startup funding marketplace), dan program inkubator hingga hackathon. Keseluruhannya adalah bagian dari upaya perusahaan dalam mendukung ekosistem startup di Indonesia dari berbagai sisi.

“Sementara yang belum kita lakukan dukungan dalam bentuk kapital,” terang Founding Partner DS/X Ventures Amir Karimuddin kepada DailySocial.id.

Amir Karimuddin dan Rama Mamuaya adalah dua orang dibalik berdirinya DS/X Ventures yang secara badan hukum berdiri sejak akhir tahun lalu. Keduanya sekaligus menduduki posisi penting di DailySocial.id. Di satu sisi, Rama sebelumnya pernah berinvestasi ke sejumlah startup (sebagai angel) bersama rekan-rekannya di industri.

Walau begitu, sebelum mantap terjun ke dunia VC ini, keduanya direkomendasikan untuk ikut sekolah singkat yang diadakan oleh VC Lab, akselerator khusus fund manager.

Sembari menyelam minum air, mereka mulai belajar di VC Lab pada awal tahun lalu, sembari melihat situasi terkini mengingat masih belum menentu. Belum kunjung rezeki, situasi makin parah hingga terjadi startup winter, ditandai dengan gelombang PHK di berbagai startup.

“Kita sempat on hold selama beberapa bulan, sampai November [2022] mulai dapat komitmen dari super angels di lingkungan kita. Lalu Desember kita launch.”

Terbersit optimisme saat meluncurkan DS/X, bahwa founder startup tahap awal masih punya kesempatan bertumbuh karena Indonesia memiliki banyak masalah yang belum terselesaikan, walau saat itu kondisi sedang tidak bagus untuk sejumlah vertikal startup.

Timing-nya tidak ada yang better dari sekarang. Secara publik, kepercayaannya memang belum seperti beberapa tahun lalu. Tapi kesempatan untuk early stage yang bagus dengan mindset berbeda justru waktunya adalah sekarang.”

Kondisi demikian sebenarnya juga dialami East Ventures di 2009. Saat itu, dunia sedang dilanda krisis moneter, yang dampaknya juga begitu terasa di Indonesia. Ditandai dari penurunan tajam IHSG, tekanan di pasar obligasi, dan krisis likuiditas pada perbankan.

“Kondisinya tidak bagus, justru mereka buat fund dan eventually sukses hingga sekarang. Dari sisi kita melihatnya sekarang ada gelombang baru dari startup di Indonesia, ada reality check dari early stage itu enggak ada permasalahan, tetap ada potensi namun punya mindset yang berbeda.”

Saat ini, DS/X masih menggalang fund pertamanya. Perusahaan sudah mendapat sejumlah komitmen dari sejumlah super angel investor di kalangan startup. Mereka memercayai kapabilitas pengalaman Rama dan Amir, serta kontribusinya selama ini untuk ekosistem startup Indonesia melalui produk-produk DailySocial.id, entah itu publikasi pemberitaan, platform digital untuk startup, dan sebagainya.

“Dari awal kita punya network dan knowledge, walau kita first time fund manager. Jadinya itu yang kita jual, bagaimana cara pandang kita yang selalu kita cerminkan dalam editorial DailySocial.id, arahnya akan ke mana. Mereka juga paham bahwa tech itu ke depannya punya peranan penting di masa depan.”

Kendati begitu, pihaknya meyakini optimisme para investor dari kalangan nonteknologi bakal meningkat ke depannya. Menurutnya, saat ini mereka cenderung masih wait and see.

Tesis investasi

DS/X menganalisis prospek yang ditawarkan oleh model bisnis B2B begitu luas karena masih banyak pekerjaan rumahnya. Dari berbagai laporan yang dirangkum, disampaikan bahwa pasar e-commerce secara keseluruhan di Indonesia diestimasi bernilai $21,2 miliar pada tahun ini. Diproyeksikan bakal mencapai $104 miliar, didorong oleh tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 37,4%. Segmen B2B mewakili 26,4% dari keseluruhan pasar e-commerce.

Selanjutnya, terjadi pergeseran tren B2C ke B2B e-commerce yang memberikan peluang bagi UMKM untuk terhubung langsung dengan pemasok bisnis, mengatasi tantangan rantai pasokan dan memfasilitasi penetapan harga yang transparan dan logistik yang lebih cepat.

B2B Marketplace di Indonesia / DS/X Ventures

Solusi-solusi yang dibutuhkan, mulai dari memberikan pengalaman omnichannel yang mulus, mengoptimalkan proses rantai pasokan, memanfaatkan potensi daerah pedesaan dan usaha mikro, serta menawarkan transparansi dan efisiensi melalui pasar B2B.

“Tantangan dalam lanskap B2B meliputi sumber, pengiriman, dan pengelolaan modal kerja, integrasi teknologi, masalah keamanan dan privasi, kepatuhan terhadap peraturan, volatilitas mata uang, dan manajemen risiko keuangan,” tulis rangkuman tesis DS/X.

Konteks yang dibahas ini tak terbatas pada solusi B2B e-commerce saja, tapi juga mencakup vertikal lainnya yang masuk ke solusi B2B sebagai model bisnis utamanya. Di antaranya, SaaS, fintech, logistik, healthcare, keamanan siber, AI, HRIS, dan climate tech.

Lanskap sektor bisnis startup B2B di Indonesia / DS/X Ventures

Terlebih itu, tambah Amir, dengan memfokuskan ke digitalisasi B2B, startup tersebut lebih berpeluang untuk bertahan lebih lama. Mengingat, mereka sudah berpikir dari hari pertama bagaimana monetisasinya. Kini DS/X memiliki delapan portofolio startup yang semuanya bergerak di model bisnis B2B. Di antaranya Finfra, Cards, YOBO, Fazpass, D3 Labs, Baskit, dan GoCement.

“Untuk GoCement, kita melihatnya e-commerce B2B secara umum belum banyak yang bisa di-cater oleh pemain dari B2C dan C2C. Market B2B itu beda, dari merchant-nya, konsumennya, dan dibutuhkan solusi yang lebih spesifik. Dari beberapa platform seperti GoCement, kita lihat solusinya, background founder-nya, go-to-market strategy-nya juga pas, makanya kita masuk ke GoCement.”

Selain hanya bermain di startup lokal dan B2B, DS/X memilih untuk agnostik, artinya melihat lebih jauh potensi dari vertikal bisnis startup. Makanya, dalam portofolio DS/X terdapat D3 Labs yang memanfaatkan teknologi web3 dalam solusinya.

Rama menjelaskan, saat melihat prospek jangka panjang dari suatu industri, maka metriks melihat kapabilitas latar belakang founding team jadi bentuk kontrol terbaik. D3 Labs itu sendiri diisi oleh tim awal eks Tokocrypto sebelum diakuisisi Binance. Alhasil, banyak pembelajaran berharga yang mereka petik dari sana dan melanjutkan petualangannya di D3 Labs.

Salah satu produk perdana D3 Labs adalah SeaSeed, platform programmable money yang dirancang untuk bisnis berbasis teknologi blockchain. Solusinya memungkinkan transaksi real-time antara perusahaan dan ekosistem terkait lainnya, sehingga dapat mengurangi biaya rekonsiliasi karena menghilangkan perantara dan memungkinkan transaksi peer-to-peer.

Blockchain adalah one way, jadi ketika orang sudah masuk, tidak bisa balik ke era sebelumnya karena blockchain itu incredibly life changing. Sekarang yang orang lihat blockchain itu NFT, kripto, sama kaya dulu orang pakai internet untuk fraud, sekarang teknologinya itu sendiri jadi samar-samar, jadi tidak akan ngomongin teknologinya sebagai jualan utama, tapi platformnya itu sendiri,” imbuh Rama.

Contoh menarik lainnya juga ditemukan dari Cards, startup asal Purwokerto. Model bisnisnya menarik karena belum tentu bisa sukses bila diterapkan di kota besar. Cards merupakan platform digitalisasi untuk pengelolaan pesantren, mulai dari administrasi, pengelolaan uang saku, hingga keuangan dalam dilakukan dalam satu sistem.

“Dengan keterbatasan mereka dari tim tech dan marketing, ternyata mereka mampu menghasilkan bisnis yang relatif sustainable, tapi bulan performanya selalu positif. Bisa tetap fit dengan kebutuhan pesantren, bahkan bisa meyakinkan bisnis yang konservatif bisa going digital. Kita percaya equal access terlepas dari gender bisa tetap dapat akses kapital,” tambah Amir.

Diungkapkan, setidaknya sampai akhir tahun ini akan incar tambahan dua startup baru ke dalam portofolionya.

Independensi

Rama menuturkan, independesi DailySocial.id sebagai media bakal tetap dipertahankan, tidak jadi kendaraan bagi DS/X untuk memenuhi kebutuhan para portofolionya. Terlebih itu, menurutnya, DailySocial.id bukanlah sekadar perusahaan media online saja. Dari rangkaian produk yang ditawarkan di luar media, tujuan akhirnya adalah membantu ekosistem startup Indonesia bertumbuh.

“Media adalah salah satu arm yang kita develop dari depan [sejak berdiri] karena simply kita lihat value informasi soal startup itu sangat dibutuhkan dan kebanyakan media mainstream belum mengerti soal startup.”

Salah satu bentuk independensi yang diterapkan editorial DailySocial.id adalah tetap transparan dengan memberitakan para pesaing dari portofolio DS/X. Uniknya, proposisi mencolok dari DailySocial.id sebagai grup daripada VC kebanyakan adalah banyak dari mereka yang bangun bisnis VC-nya terlebih dahulu, baru bangun awareness lewat membuat blog, event, dan podcast.

“Kita kebalikannya karena sudah punya itu semua, itu value yang kita tawarkan,” tutup Rama.

Disclosure: DS/X Ventures adalah bagian dari grup DailySocial.id

SEVIMA Hadirkan Platform SaaS untuk Digitalisasi Perguruan Tinggi

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air telah mengalami transformasi luar biasa berkat teknologi. Saat kegiatan belajar offline beralih ke digital, muncul platform Software-as-a-Service (SaaS) sebagai solusi untuk sektor pendidikan.

Salah satu platform SaaS yang menghadirkan solusi terpadu adalah SEVIMA. Berdiri di 2003 dan berbasis di Surabaya, SEVIMA menyebut telah mengalami pertumbuhan positif dari proyek klien yang dikerjakan, terutama saat pandemi.

Kepada DailySocial.id, CMO SEVIMA Andry Huzain, mengungkap fitur dan layanan yang ditawarkan, klaim profitabilitas yang dicapai di 2019, dan rencana bisnis selanjutnya.

Platform SaaS untuk perguruan tinggi

Mengklaim sukses menggarap proyek sejumlah klien, SEVIMA melihat peluang dalam menyediakan solusi SaaS untuk perguruan tinggi yang kini berkembang menjadi Sistem Akademik berbasis SaaS atau “SEVIMA Platform”. Solusi ini disebut dapat merevolusi digitalisasi kampus dengan biaya terjangkau dan mengatasi berbagai masalah administrasi kampus.

Masalah tersebut di antaranya adalah proses penerimaan mahasiswa, pembayaran kuliah, pembelajaran online, akreditasi, penerbitan ijazah, hingga pelaporan data kampus kepada pemerintah, yang dulunya harus diinput satu per satu di sistem hingga dicetak.

Dengan SEVIMA Platform, semua aktivitas tersebut dapat diproses secara otomatis dan saling terintegrasi. Saat ini, SEVIMA menyebut sebagian besar kliennya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari segmen menengah hingga ke atas. Selain itu, akselerasi teknologi akibat pandemi dinilai memengaruhi pertumbuhan bisnis SEVIMA. Memanfaatkan fitur seperti EdLink, mahasiswa dapat mengakses platform SEVIMA pada saat pandemi.

“Pandemi menjadi agen transformasi untuk semua orang dan mengakselerasi semua. Kami memiliki LMS yang bernama EdLink yang kami perkenalkan lebih jauh saat masa pandemi kepada mahasiswa,” kata Andry.

Capai profitabilitas

Berbeda dengan platform edcteh pada umumnya yang masih memperoleh pendanaan, SEVIMA telah mencapai profitabilitas dan menerapkan kegiatan kampanye pemasaran secara grassroots, word of mouth, dan community base.

“SEVIMA adalah tech company dan tidak pernah bakar uang, marketing cost bisa dibilang zero,” kata Andry.

Meski saat ini sudah ada beberapa platform lokal yang menawarkan layanan serupa, Andry menilai kondisi tersebut justru memvalidasi bisnis SEVIMA. Tercatat hingga saat ini ada sekitar 800 kampus dan 3 juta mahasiswa seluruh Indonesia yang telah menggunakan platform SEVIMA.

SEVIMA mengklaim lebih unggul dari platform sejenis karena menghadirkan rangkaian produk lengkap dan mendalam dari hulu hingga ke hilir, mulai dari calon mahasiswa memanfaatkan portal (MauKuliah) untuk mencari kampus ideal yang tepat hingga menjadi mahasiswa sampai yudisium hingga menjadi alumni.

Menurut Andry, kehadiran SEVIMA mampu mendemokratisasi digitalisasi dan integrasi business process pengelolaan kampus. Tidak harus lewat laptop, aksesnya dapat dilakukan dengan ponsel. Sebelumnya, digitalisasi dan kemudahan akses administrasi dianggap hanya menjadi privilege yang dinikmati kampus-kampus besar karena telah mapan secara finansial dan mampu membuat aplikasinya sendiri.

“Jadi kita fokus ke satu yaitu untuk menjadi operating system dari perguruan tinggi dengan menghadirkan banyak layanan yang relevan,” kata Andry.

Berlangganan dan agregator pembayaran

Sumber: SEVIMA

SEVIMA menawarkan model berlangganan, memungkinkan lembaga pendidikan untuk mengakses berbagai fitur dan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Selain delapan opsi berlangganan, SEVIMA juga menyediakan paket gratis SEVIMA GoFeeder Community yang dapat digunakan perguruan tinggi yang akses internetnya terbatas dan tidak memiliki mahasiswa dalam jumlah yang besar.

SEVIMA juga memiliki layanan SevimaPay yang berfungsi untuk memfasilitasi kampus dan bank untuk menerima pembayaran biaya kuliah mahasiswa secara online lewat berbagai metode, termasuk ATM dan mobile banking. SevimaPay berupaya menyederhanakan dan menyelaraskan proses pembayaran sehingga lebih mudah, cepat, dan transparan. Adapun, SevimaPay berkontribusi besar terhadap total GMV perusahaan.

“Bagian dari ekosistem kami, SevimaPay adalah payment aggregator di 800 kampus untuk bisa membayar uang kuliah melalui minimarket. Tampaknya sederhana, tapi sangat berarti bagi mahasiswa yang sebelumnya harus bayar manual di kampus dan belum memiliki akses ke perbankan,” ungkap Andry.

Ekspansi

Tahun ini, perusahaan berencana menghadirkan inovasi yang relevan dengan pengembangan fitur, melakukan ekspansi pasar dan perekrutan, serta mengeksplorasi pengembangan AI. SEVIMA mengklaim tumbuh secara berkelanjutan sebesar 50% (YoY), dengan target addressable market domestik yang masih terbuka luas.

Disinggung tentang penggalangan dana, Andry menegaskan, jika ada investor yang menawarkan peluang untuk mendukung ekspansi regional SEVIMA, ini akan menjadi kesempatan yang baik bagi perusahaan dan kerja sama yang strategis.

“Di Indonesia ada 4.500 kampus dan baru sekitar 800 kampus yang menggunakan SEVIMA. Komitmen kami sangat kuat untuk memperluas demokratisasi kampus, termasuk peluang untuk ekspansi ke luar negeri dalam tiga tahun ke depan.” Tutup Andry.

Strategi Renos Bersaing di Sektor Home & Living

Pemain startup home & living memang sudah ada beberapa yang muncul di Indonesia. Renos hadir menawarkan pendekatan yang berbeda dengan konsep marketplace, yang menjembatani produsen, penyedia layanan, dan pemilik rumah dengan teknologi AI.

Startup yang terafiliasi dengan dengan nocnoc (Thailand) ini beroperasi di Indonesia sejak Juli 2021 menerapkan model bisnis B2B dan B2C sebagai langkah agar menjadi perusahaan berkelanjutan. Tak hanya menjual produk furnitur, solusi Renos dinilai lebih komprehensif karena menyediakan kategori yang beragam, seperti material bangunan hingga solusi layanan rumah.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CCO Renos Nathaniel Adi Putra menyampaikan pihaknya meyakini potensi yang ditawarkan dari bisnis home & living ini masih besar. Menurutnya, ada segmen pasar yang belum terpenuhi oleh pemain yang ada, sehingga dibutuhkan solusi yang lebih komprehensif.

“Kami melihat masyarakat Indonesia masih kesulitan untuk bisa mendapatkan layanan komprehensif untuk rumah mereka. Biasanya solusinya terpecah-pecah, tapi kami tawarkan end-to-end untuk home & living, dari home improvement hingga home service solution,” ujarnya.

Brand yang bergabung sebagai merchant di Renos pun beragam, di antaranya Vivere, Aqua, Courts, Bosch, HomeMaster, dan lainnya. Adapun untuk solusi home improvement ini, perusahaan bekerja sama dengan Siam Cement Group (SCG). Bila ditotal, terdapat ratusan merchant dari berbagai kategori home living yang sudah bergabung dengan puluhan ribu SKU.

“Kami menyediakan konsumen yang tertarik untuk renovasi rumah bisa dengan platform kami, bisa cari desain yang pas dan cocok, lalu didiskusikan dan diimplementasikan.”

Dalam menjaring merchant home & living, Nathan mengaku pihaknya mengkurasi selama proses onboarding. Merchant dilihat kualitas produknya, harga, dan kemampuan operasionalnya. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah kontrol, mengingat perusahaan menganut konsep marketplace.

Perusahaan selalu memantau setiap transaksi yang masuk, lalu memastikan setiap pesanan dan bagaimana merchant tersebut memenuhinya. “Kami juga menyiapkan call center kalau misalnya ada kendala, mau minta update order-nya, dan sebagainya.”

Ia menerangkan, perusahaan saat ini tidak memiliki gudang sendiri, alias seluruh penyimpanan stok barang disimpan dan pengadaannya dilakukan oleh merchant itu sendiri. “Produk home & living itu unik karena belum tentu diproduksi secara massal. Jadi solusi terbaik untuk saat ini adalah pakai warehouse seller.”

Tidak hanya kemudahan dalam memasarkan produk dan mendapatkan calon konsumen, didukung dengan teknologi AI, merchant dapat menganalisis kinerja penjualan, sehingga ada wawasan pasar yang lebih baik untuk mereka dalam mengembangkan bisnisnya.

Tim Renos

Strategi selanjutnya

Di tahun keduanya di Indonesia, perusahaan bakal memperkuat rangkaian SKU dan kemitraan dengan berbagai brand home & living agar dapat menjadi pilihan utama konsumen saat mencari produk furnitur dan aksesoris rumah. Peluncuran aplikasi mobile juga sedang direncanakan agar perusahaan semakin dekat dengan konsumen.

Perusahaan juga akan memperkuat teknologi terkini agar pengalaman konsumen semakin kaya saat berkunjung ke platform Renos. Lantaran, perjalanan awal konsumen sebelum memutuskan untuk beli barang furnitur dan sebagainya itu panjang.

Mereka butuh riset, cari tahu material yang dipakai, pilihan warna, hingga ukurannya apakah tepat atau tidak. Karena basis Renos adalah perusahaan teknologi, perusahaan akan memanfaatkan kapabilitasnya tersebut untuk meracik inovasi yang tepat.

Belakangan para pemain sejenis, seperti Dekoruma masuk ke showroom offline. Dekoruma Experience Center (DEC) hadir sejak 2019 dan kini sudah tersebar di 22 lokasi. Toko tersebut menyediakan berbagai macam furnitur dan aksesoris rumah yang bisa langsung dicoba sebelum membelinya. Alhasil, konsumen dapat menentukan mana produk yang paling tepat untuk huniannya.

Terdapat pula Mitraruma, startup yang disuntik SCG, yang menyediakan showroom di beberapa titik juga. Di luar itu, terdapat pemain besar seperti Informa dan IKEA dengan konsep serupa.

“Kalau masuk ke gerai offline, kami masih perlu melihat dinamikanya seperti apa. Saat ini banyak teknologi yang menarik untuk mempermudah konsumen mendapatkan experience, masih kita lihat inovasinya ke sana ketimbang buka gerai.”

Tidak hanya mengandalkan model bisnis B2C (marketplace), Nathan menjelaskan pihaknya juga punya bisnis B2B yang menyasar para korporasi. Solusi yang tersedia, seperti jasa servis dan konstruksi, bahkan kalau ada bug order untuk produk home & living di hunian mereka juga memungkinkan.

Selain memperkuat operasional dan inovasi bisnis, perusahaan melakukan strategi bakar duit melalui promosi diskon di kanal digital dan offline untuk meningkatkan awareness di kalangan konsumen ritel.

Pinhome Luncurkan Fitur Pengajuan KPR Berjenjang

Meluncurkan iVestment akhir tahun lalu untuk memfasilitasi penanaman modal bagi pengembang perumahan, Pinhome kini meluncurkan fitur pengajuan KPR berjenjang. Dengan fitur ini, calon pembeli properti akan mendapatkan informasi suku bunga terbaru di program KPR berjenjang di berbagai bank yang menawarkan program tersebut.

Kepada DailySocial, CMO Pinhome Fibriyani Elastria, menyampaikan rencana perusahaan melalui fitur KPR Berjenjang tahun ini.

Permudah pengajuan KPR ke mitra perbankan

Saat ini industri real estat terus merangkul inovasi teknologi. Dengan fitur ini, calon pembeli properti akan mendapatkan informasi suku bunga terbaru di program KPR berjenjang di berbagai bank yang menawarkan program tersebut. Calon pembeli properti bisa mengajukan pinjaman KPR secara digital ke tiga bank sekaligus.

“Dengan adanya KPR berjenjang, calon pembeli properti yang sulit mengantisipasi suku bunga floating jadi memiliki opsi pendanaan yang lebih pasti untuk jangka waktu yang lebih panjang,” ujar Fibriyani.

Fitur KPR Pinhome menawarkan simulasi program suku bunga yang selalu diperbarui setiap bulan mengikuti fluktuasi suku bunga di pasar serta kemudahan pengajuan program KPR secara daring. Sekarang fitur ini  menyertakan suku bunga berjenjang terbaru dari seluruh mitra perbankan konvensional dan syariah.

Mitra perbankan konvensional yang dirangkul di antaranya BNI, Bank CIMB Niaga, Bank Permata, Panin Bank dan OCBC. Khusus untuk bank syariah, Pinhome juga menyediakan program serupa dengan prinsip syariah dengan menggandeng Panin Syariah, BSI, OCBC Syariah, Muamalat, serta Permata Syariah.

“KPR berjenjang juga terintegrasi dengan iVestment. Calon pembeli properti iVestment dapat mengajukan KPR lewat Pinhome dan memilih program KPR berjenjang,” kata Fibriyani.

Perluas layanan dan inovasi

Pinhome juga mencoba membantu pencarian properti hingga perawatan rumah dalam satu situs dan aplikasi. Hingga saat ini perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 20 ribu agen untuk menyediakan lebih dari 700 ribu listing properti berbeda di 75% kota di Indonesia.

Selain itu, Pinhome juga mengembangkan fitur Estimasi Nilai Properti, di mana berdasarkan transaksi riil yang terjadi di satu lokasi, sistem kecerdasan buatan Pinhome dapat mengkalkulasi harga properti berdasarkan fasilitas sekitarnya, hingga detail properti seperti luas tanah/bangunan dan jumlah ruangan.

“Selain perluasan fitur pendanaan, Pinhome juga akan terus mengembangkan solusi pencarian dan perawatan rumah,” kata Fibriyani.

Application Information Will Show Up Here

Filipina dan Vietnam Jadi Target Ekspansi DOKU Selanjutnya

Penyedia payment gateway DOKU bersiap untuk menambah cakupan pasar baru di Asia Tenggara di 2023. Setelah debut di Malaysia via akuisisi senangPay tahun lalu, perusahaan tengah menjajaki pasar baru di Filipina dan Vietnam.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, CEO DOKU Chris Yeo mengungkap ambisinya untuk memperluas solusi pembayarannya ke seluruh Asia Tenggara. Ekspansi ini menjadi strategi DOKU untuk memperkuat klaim posisinya sebagai pemimpin payment gateway di kawasan ini.

“Visi kami adalah menjadi pemimpin solusi pembayaran yang tumbuh di Indonesia, lalu memperluas cakupan pasarnya ke seluruh Asia Tenggara. Makanya, kami aktif menjajaki peluang merger and acquisition (M&A). Prioritas kami adalah negara yang memiliki karakteristik pasar serupa dengan Indonesia,” tutur Chris.

Sekadar informasi, tahun lalu DOKU mencaplok senangPay, penyedia payment gateway asal Malaysia. Pihaknya melihat potensi strategis lewat akuisisi ini yang mana perilaku pembayaran di Malaysia tak jauh berbeda dengan Indonesia. Selain itu, ada banyak pekerja migran dan pelajar asal Indonesia di Malaysia yang dapat menjadi target pasar potensial.

Di Filipina dan Vietnam, inklusi keuangannya juga tengah berkembang. Menurut laporan World Bank di 2021, tingkat inklusi keuangan di Filipina mencapai 51,37%. Negara tetangga, Malaysia, Singapura, dan Thailand, mengantongi indeks inklusi keuangan tertinggi, masing-masing sebesar 88,37%, 97,55%, dan 95,58%.

Di sepanjang 2022, DOKU menyebut telah memproses total keseluruhan 145 juta transaksi pembayaran, atau tumbuh 80% (YoY). Pertumbuhan ini didongkrak dari metode pembayaran Virtual Account (VA), yang diklaim meningkat tiga kali lipat (YoY). Mitra merchant DOKU tercatat lebih dari 150 ribu.

Per sekarang (year-to-date), DOKU telah mengantongi volume transaksi sebesar Rp330 triliun dan 360 juta transaksi dengan lebih dari 4 juta pengguna, DOKU membidik pertumbuhan transaksi pembayaran yang sama untuk tahun ini. Tanpa menyebut angkanya, menurut Chris, TPV dan GTV DOKU sudah mencapai target di kuartal I 2023.

Social seller

Selain kesamaan karateristik inklusi keuangan, lanjut Chris, kawasan Asia Tenggara juga lekat dengan segmen UMKM. Segmen ini memanfaatkan platform digital dan media sosial untuk menjangkau konsumen sehingga memunculkan kebutuhan terhadap solusi pembayaran digital.

Chris juga bilang, UMKM menjadi target pertumbuhan perusahaan dalam jangka pendek. Kategori UMKM yang dibidik adalah social seller, terutama mereka yang kesulitan mengelola transaksi pembayaran dari penjualan di berbagai media sosial. Saat ini, DOKU baru fokus melayani segmen korporasi, perusahaan skala besar, hingga perusahaan teknologi.

Lewat Juragan DOKU, social seller bisa menerima pembayaran online dan offline dengan registrasi lebih cepat dalam lima menit. “Kami ingin enable para social seller untuk menjual produk dan menerima pembayaran secara mudah dan cepat. Solusi yang ditawarkan bisa lewat Instant Checkout di Instagram Story, Payment Link, atau e-Katalog. Kalau pembelian offline, bisa memakai fitur QRIS.”

Mengacu laporan Cube Asia tentang “Social Commerce in Southeast Asia 2022“, sebanyak 55% pengguna internet di Indonesia menghabiskan rata-rata pengeluaran sebesar $100 untuk belanja di platform social commerce.

Indonesia juga tercatat sebagai pasar live shopping dan community group buy terbesar di Asia Tenggara dengan estimasi nilai GMV masing-masing hampir $5 miliar dan $2 miliar di 2022. Tingginya penggunaan media sosial di Tanah Air ikut memicu perilaku belanja online.

Ia menekankan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggunakan pembayaran tunai dalam bertransaksi sehingga ruang pertumbuhannya masih sangat besar.

“Bagi kami, edukasi pasar masih menjadi tantangan utama. Sudah banyak orang tahu dengan metode pembayaran QRIS. Namun, memperkenalkan konsep pembayaran baru engan link dan memperluas peluang penjualan dengan menambah channel pembayaran juga membutuhkan waktu. Itulah mengapa kami berkolaborasi dengan banyak pihak untuk memperluas jangkauan kami.” Tutupnya.

DOKU merupakan pengembang payment gateway pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 2007. Hingga saat ini, DOKU memiliki enam lisensi layanan pembayaran. Beberapa produk yang ditawarkan berupa payment, fund transfer/payout, hingga e-money/ wallet untuk white label. 

Seiring berkembangnya penetrasi internet dan penggunaan layanan digital, kebutuhan terhadap pembayaran online ikut meningkat di Indonesia. Solusi di bidang payment gateway mulai banyak dilirik. Selain DOKU, ada Xendit, Midtrans, hingga Espay yang meramaikan pasar ini.

Application Information Will Show Up Here