Telkom Group Suntik 292 Miliar Rupiah untuk INDICO

Telkom Indonesia melalui anak usahanya Telkomsel menyuntikkan modal sebesar Rp292 miliar kepada anak usahanya, PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) atau kini dikenal dengan Indonesia Digital Ecosystem (INDICO). Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Telkom melakukan transaksi afiliasi tersebut dalam rangka memperkuat platform digital yang dimiliki TED.

PGS Direktur Strategic Portofolio Telkom Bogi Witjaksono mengatakan, transaksi ini termasuk transaksi afiliasi mengingat Telkom merupakan perusahaan pengendali Telkomsel dengan kepemilikan sebesar 65%. TED merupakan anak perusahaan yang dikendalikan langsung Telkomsel dengan kepemilikan saham sebesar 99,99%.

“Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.42/POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan (POJK 42/2020), dengan ini kami sampaikan bahwa pada tanggal 18 Mei 2022 telah dilakukan Transaksi Afiliasi berupa Penyertaan Modal oleh PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED),” tulis Bogi.

TED merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultasi manajemen bisnis dan investasi atau penyertaan modal kepada sejumlah perusahaan. Selain itu, bisnis TED juga bergerak di sektor aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan yang berkaitan dengan periklanan.

TED resmi dibentuk pada awal Januari 2022 dan diposisikan sebagai perusahaan holding yang menaungi beberapa anak usaha dari emerging portofolio bisnis vertikal Telkomsel di bidang sektor digital, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh keunggulan ekosistem aset yang dimiliki Telkomsel. Beberapa inovasi digital yang sudah berjalan di antaranya adalah Kuncie (edtech), Fita (healthtech), dan Majamojo (game).

Dalam peresmiannya beberapa waktu lalu, CEO TED Andi Kristianto menegaskan INDICO berkomitmen untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara inklusif dan berdampak. “INDICO akan memampukan kami untuk lebih engage dengan para inovator, investor, mitra strategis, dan stakeholder terkait,” tutur Andi.

Untuk jangka pendek, TED mengembangkan platform yang memungkinkan para inovator, investor, collaborator untuk menjangkau pasar lebih mudah dalam lima tahun ke depan. Pengembangan ini akan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan aset dan kapabilitas yang dimiliki induk usaha, yakni basis pelanggan sebanyak 170 juta dan lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota.

Pengembangan inovasi digital tersebut juga memanfaatkan pemahaman yang dimiliki, baik secara geografis maupun demografis. “Dengan demikian, aset kami tak hanya relevan bagi [pasar] telekomunikasi saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia, dengan strategi growth hacking. Indonesia sangat diverse, pemahaman terhadap lokal itu sangat berharga,” tambahnya.

Untuk tahap awal, lanjut Andi, pihaknya akan mendorong pengembangan produk digital yang sudah ada dalam enam bulan ke depan, yakni Kuncie, Fita, dan Majamojo. Apabila kapabilitas yang dimiliki sudah dimanfaatkan secara optimal, pihaknya baru akan mulai masuk ke vertikal lain.

Pendekatan baru Telkomsel

Merangkum perjalanan transformasi digitalnya, sejak tahun lalu Telkomsel mulai mengambil pendekatan berbeda dalam mengembangkan produk digital. Sebelum ini, pengembangan inovasi digital dilaksanakan lewat kendaraan Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TINC menjaring ide untuk diinkubasi dan diakselerasi dari startup lokal, sedangkan TMI masuk melalui pemberian investasi ke startup tahap awal (early stage).

Namun, kali ini Telkomsel mencoba mengeksplorasi vertikal yang belum pernah digarap oleh telekomunikasi sebelumnya. Telkomsel mengembangkan platform Kuncie dan Fita yang sama-sama masuk ke segmen digital lifestyle tahun lalu. Kemudian, masuk Majamojo yang didirikan lewat skema patungan oleh TED dan GoTo pada Februari kemarin.

Dalam wawancara terdahulu DailySocial.id dengan Kuncie dan Fita, pendekatan ini tercermin dari langkah Telkomsel mendapuk CEO Kuncie dan Fita dari luar lingkungan perusahaan dan induk usaha. Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan untuk mengembangkan bisnis dengan model growth hacking, dan punya potensi untuk di-spin-off. Model ini tentu bertentangan dengan model bisnis telekomunikasi yang berorientasi pada Return of Investment (ROI).

Gandeng Cicilsewa, Rentfix Perlengkap Skema Pembayaran Properti

Bertujuan untuk memudahkan proses pembayaran penyewa properti, Rentfix menggandeng Cicilsewa menyediakan skema pembayaran sewa bulanan. Caranya dengan membantu memberikan dana talangan untuk satu hingga dua tahun, sehingga di sisi penyewa bisa tetap mencicil dengan skema bauar bulanan.

Bersama dengan Cicilsewa, Rentfix ingin membantu masyarakat untuk menyewa properti seperti rumah, apartemen, ruko, toko, kios, kantor dengan pembayaran yang lebih terjangkau. Dengan sistem ini, kebutuhan penyewa untuk memiliki hunian dan tempat usaha yang layak akan lebih ringan tanpa harus membayar sewa yang besar di awal. Saat ini fitur cicilan sewa ini sudah tersebar di Jabodetabek

“Kami berharap melalui kerja sama Rentfix dengan Cicilsewa dapat terus meningkatkan transaksi sewa properti di Rentfix pascapandemi. Kami juga optimis terhadap permintaan sewa properti yang sudah mulai tumbuh kembali dengan peningkatan jumlah transaksi sewa di Rentfix yang tampak terus naik saat ini,” kata CEO Rentfix Effendy Tanuwidjaja.

Cara kerja yang ditawarkan oleh Rentfix melalui fitur ini adalah, Cicilsewa akan membayarkan penuh satu tahun ke pemilik properti sehingga penyewa dapat dengan mudah membayar sewa per bulan. Ini akan mengatasi kesenjangan di pasar sewa properti dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum memiliki sarana untuk memenuhi pembayaran di muka 12 bulan untuk sewa properti.

“Adapun proses kurasi penyewa yang berhak mendapatkan kesempatan cicilan sewa properti di Rentfix, pertama penyewa dapat memberikan kelengkapan data maupun dokumen, lalu survei unit properti, dan laporan hasil persetujuan serta pembayaran biaya awal (DP, Cicilan Pertama),” kata Effendy.

Pihaknya juga dapat menghitung dan menyesuaikan biaya sewa sesuai dengan kemampuan keuangan penyewa. Kemudian penyewa dapat melakukan skema cicilan yaitu minimal uang muka sebesar 30% dari total sewa. Skema ini memudahkan dan membantu arus kas penyewa.

Untuk meminimalkan risiko, pihaknya mematok tenggang waktu pembayaran sewa dan denda keterlambatan membayar sewa ditetapkan hanya 0,3% per hari dari jumlah tagihan di bulan tersebut.

“Kami melihat bahwa sebagian besar para penyewa properti kerap kali mengeluh lantaran harus membayar lunas sewa properti selama setahun. Maka, Rentfix menyediakan skema pembayaran sewa bulanan dengan membantu memberikan dana talangan sehingga penyewa bisa membayar secara bulanan,” kata Effendy.

Pertumbuhan bisnis Rentfix

Meluncur tahun 2017, Rentfix mengklaim sejak Maret s/d Mei 2022 pertumbuhan bisnisnya mengalami peningkatan hingga 70-100%. Kenaikan tersebut terjadi pada kebutuhan properti salah satunya residensial seperti rumah yang mendapatkan hasil yang baik dengan banyaknya permintaan per bulan. Rentfix juga terus menjajaki kerja sama dengan mitra-mitra baru.

Hingga saat ini Rentfix mengklaim telah memiliki sekitar lebih dari 3000 pengguna dan 55 jumlah mitra penyewa maupun pembeli. Akhir tahun 2020 lalu Rentfix meluncurkan fitur “Rentfix Jual Beli”. Bisnis jual-beli ini diluncurkan karena banyaknya permintaan dari para pengguna yang ingin memiliki hunian dengan cara dan proses yang mudah. Tahun 2021 lalu Rentfix juga telah memperluas cakupan bisnis ke Singapura.

Sempat mengalami kendala saat pandemi, kini platform proptech sudah mulai banyak mengalami pertumbuhan. Mulai dari sisi jumlah properti yang ditawarkan, hingga jumlah peminat yang masih terus meningkat hingga kini. Selain platform proptech seperti Rentfix, layanan yang mengedepankan teknologi untuk bisnis properti juga mulai banyak muncul. Di antaranya adalah Pintuitive, Jendela360, dan Pinhome.

Application Information Will Show Up Here

Nexticorn 2022 akan Angkat Web3 sebagai Topik Unggulan

Salah satu fokus dari acara NXC International Summit 2022 (Nexticorn) adalah pembahasan dan pemahaman lebih mendalam tentang potensi teknologi Web3 dan turunannya. Diharapkan dengan diundangnya para pakar dari lokal hingga mancanegara bisa menjelaskan lebih mendalam dan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh kepada ekosistem startup di Indonesia.

Pada acara Founders Meetup & Kickoff yang digelar virtual Rabu (18/5) lalu, Chairman Nexticorn Foundation Rudiantara menjelaskan, topik web3 menjadi menarik untuk diikuti. Hal ini dilihat makin banyaknya peluang dan potensi startup untuk mulai mengembangkan dan menerapkan teknologi tersebut ke dalam produk mereka.

“NXC diciptakan sejak awal dengan tujuan untuk melahirkan startup unicorn berikutnya di Indonesia. Tahun ini dengan tujuan dan misi yang sama, diharapkan bisa dilahirkan kembali startup unicorn. Bali kemudian menjadi tempat yang ideal bagi NXC untuk menjadi lokasi digelarnya NXC Internation Summit 2022,” kata Rudiantara.

Sementara itu menurut Edward Ismawan Chamdani yang merupakan salah satu Committee Nexticorn dan juga Co-Founder & Managing Director Gayo Capital  menambahkan, web3 menjadi sektor yang menarik untuk dibahas secara tuntas dalam gelaran tahun ini.

Selain banyak yang bisa dimanfaatkan, mulai dari blockchain, NFT, metaverse, AR/VR, DAO, dan sebagainya, penting bagi startup dan pemodal ventura untuk memahami bagaimana cara yang tepat untuk mengadopsi teknologi tersebut secara tepat. Menurutnya, web3 merupakan masa depan, memungkinkan manusia dan mesin bisa berinteraksi dengan data, nilai, dan pihak terkait lainnya.

Berbagi pengalaman di acara Nexticorn

Banyak manfaat yang ternyata sudah di dapat oleh para pendiri startup yang pernah mengikuti acara Nexticorn di tahun sebelumnya. Selain kesempatan untuk bertemu secara langsung dengan pemodal ventura, mereka juga berhasil menjalin kolaborasi strategis dengan sesama startup hingga mendapatkan klien.

Dalam hal ini menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi yang pernah mengikuti gelaran acara Nexticorn tahun 2018 dan 2019, startup yang telah terkurasi yang mengikuti kegiatan tersebut demikian juga dengan VC pilihan, menjadi poin lebih bagi dirinya untuk bisa menjalin komunikasi secara langsung. Dilihat dari pengalamannya sebelum pandemi mengikuti kegiatan ini, tahun 2022 diharapkan bisa menjadi peluang untuk reuni dan bertemu kembali dengan sesama penggiat startup di Indonesia.

“Dari sisi kolaborasi, ini menjadi acara yang tepat bertemu dengan banyak teman. Bukan hanya melakukan penggalangan dana tapi juga bisa menjalin kolaborasi strategis dengan startup lainnya,” kata Adrian.

Sementara itu menurut Founder & CEO Ralali Joseph Aditya, pengalaman dirinya saat mengikuti kegiatan Nexticorn tahun 2018-2019 lalu, menjadi ajang yang tepat untuk bertemu dengan VC yang sesuai. Karena sebelumnya sudah dihadirkan informasi lengkap dan minat serta latar belakang dari masing-masing VC, demikian juga dengan startup yang hadir, menjadikan pertemuan tersebut tepat dan relevan.

“Menurut saya ajang Nexticorn menjadi ajang yang paling efisien. Lanjutan setelah acara tersebut bukan hanya peluang untuk melakukan penggalangan dana, namun juga bisa bertemu dengan mitra yang memiliki potensi, meskipun kegiatan tersebut dilakukan secara formal namun tetap santai,” kata Joseph.

Bagi Founder & CEO Jojonomic Indrasto Budisantoso, kehadirannya di acara Nexticorn sebelumnya adalah peluang dirinya untuk bertemu dengan investor yang sesuai. Dengan mengikuti acara Nexticorn, Indrasto juga mengklaim bisa bertemu dengan potensial lead client demikian juga bisa menjalin kolaborasi dengan penggiat startup lainnya.

NXC International Summit 2022 akan kembali hadir di Bali pada bulan Agustus-September 2022 mendatang. Mengusung tema “Decentralizing The Future of Internet”, acara kali ini akan mengedepankan “experience” dari ekosistem teknologi tanah air bagi para partisipan.

Acara ini turut didukung oleh Amvesindo, Asosiasi Fintech Indonesia, Ernst & Young Indonesia, Ideosource, DailySocial.id, Kadin Indonesia, dan G20 Indonesia 2022.

Dirut Bank Neo Commerce: Kami Tetap Bank, Tapi Menawarkan Cara Baru

Hampir dua tahun sudah PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB) meramaikan industri bank digital Indonesia. Dalam perjalanan singkat ini, Bank Neo Commerce (BNC) menyebut telah mencatat pencapaian yang cukup signifikan.

Salah satunya adalah pertumbuhan pengguna. Di awal peluncurannya pada Maret 2021, aplikasi banking Neobank meraup satu juta unduhan. Kini penggunanya melesat menjadi 17,4 juta pengguna.

Menyegarkan ingatan kembali, Bank Neo Commerce merupakan hasil rebranding dari PT Bank Yudha Bhakti Tbk usai dicaplok oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang kini menggenggam mayoritas sahamnya sebesar 24,98%.

Selengkapnya, DailySocial.id merangkum beberapa catatan menarik dari Direktur Utama Tjandra Gunawan saat mengisi sesi Fortune Indonesia Summit 2022 dengan topik “How to Become a Game Changer”.

Pencapaian BNC

Selain basis pengguna, Tjandra juga menyebut pencapaian lain dari pertumbuhan produk keuangan. Bekerja sama dengan Akulaku per Desember 2021, BNC juga mencatat telah menyalurkan pinjaman digital sebesar Rp2,2 triliun, dengan outstanding Rp1,2 triliun.

Kemudian, dana pihak ketiga yang dikelola BNC telah mencapai lebih dari Rp10 triliun, sedangkan aset BNC melenting menjadi Rp14,5 triliun dari Rp4 triliun di 2020.

Menurut Tjandra, pencapaian ini tak serta merta membuat posisi BNC kian besar. Apalagi, sebanyak 70% pengguna Neobank masih terpusat di Pulau Jawa dan sekitarnya. Menurutnya, ini masih menjadi PR besar untuk menjangkau inklusi keuangan di seluruh Indonesia.

“Kami melihat 40%-50% masyarakat Indonesia masih masuk kategori unbanked dan underserved. Mereka adalah golongan orang yang tidak memiliki akses keuangan, dan punya rekening bank, tetapi hanya dipakai untuk menabung. Setelah kami pelajari [pasar], bukan salah konsumen [kalau tidak punya rekening bank], tapi mekanisme perbankan yang tanpa sadar meng-exclude mereka,” paparnya.

Di samping itu, ujarnya, lebih dulu meluncur ke pasar tidak serta-merta akan membuat pemain bank digital memenangkan pasar. Ia menekankan pada pemanfaatan momentum sebagai aspek penting menghadirkan layanan kepada masyarakat. Dalam konteks ini, pandemi Covid-19 memberikan dorongan besar bagi BNC untuk mendigitalisasi layanan perbankan, tetapi dengan konsep berbeda.

Gamifikasi pada banking

Untuk menjadi game changer, Tjandra meyakini harus datang dengan konsep berbeda dari kebanyakan bank digital di Indonesia. Dalam wawancara terdahulu dengan DailySocial.id, ia juga mengungkap hal yang sama di mana layanannya harus dapat relevan dengan keseharian masyarakat.

Ada dua hal yang ia soroti. Pertama, umumnya orang mengakses aplikasi banking hanya saat ingin bertransaksi atau mengecek uang masuk, tidak ada aktivitas lagi di luar itu. Untuk melekatkan aplikasinya dengan keseharian pengguna, Neobank menyematkan fitur gamifikasi. Kedua, mereka punya fitur chat untuk memudahkan interaksi antarpengguna.

“Lewat gamifikasi ini, pengguna bisa menghasilkan koin dan dapat ditukar dengan tambahan suku bunga, uang cash, cashback top up. Dengan begitu, fitur-fitur kami tak cuma sekadar finansial saja. Kami tetap sebuah bank tetapi kami menawarkan cara baru,” tuturnya.

Dengan konsep gamifikasi ini, Neobank berhasil mengantongi sebanyak 20 juta unduhan aplikasi, dengan 17,4 juta di antaranya merupakan pengguna aktif.

Keuntungan bank digital

BNC diklaim sebagai bank yang berani menawarkan bunga deposit tertinggi di Indonesia dengan kisaran 8% per tahun. Apa alasan BNC di balik langkah berani ini?

Menurut Tjandra, menjadi bank digital memungkinkan perusahaan untuk menghemat dan meningkatkan efisiensi biaya pada komponen tertentu. Berhubung Neobank meluncur ketika pandemi Covid-19, perusahaan dapat mengurangi sarana fisik (physical presence) karena fungsi kantor cabang menjadi kurang berguna. Alhasil, ada penghematan pada biaya operasional.

“Karena kami transformasi dari fisik menjadi digital, biaya [operasional] pun turun. Saat itu kami punya dua pilihan; apakah [penghematan biaya] ini kami kantongi saja sehingga kami bisa profitable, atau [biaya] ini dikembalikan ke customer? Kami ambil opsi kedua.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Rampungkan Pendanaan Seri D Senilai 4,3 Triliun Rupiah

Startup pengembang infrastruktur pembayaran Xendit mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri D senilai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Coatue dan Insight Partners, dengan partisipasi Accel, Tiger Global, Kleiner Perkins, EV Growth, Amasia, Intudo, dan Goat Capital.

Dana segar ini menambah total pendanaan ekuitas yang berhasil dikumpulkan Xendit sejauh ini senilai $538 juta. Capaian ini diperkirakan melambungkan valuasi perusahaan hingga lebih dari $2 miliar Rupiah. Sebelumnya Xendit menutup pendanaan seri C senilai $150 juta pada September 2021 lalu, berhasil membawa mereka menjadi unicorn selanjutnya dari Indonesia.

“Melalui pendanaan terbaru ini, kami berkomitmen untuk terus berinvestasi di pasar-pasar baru, mengembangkan platform, dan memperluas lini bisnis agar bisa memaksimalkan peluang yang ada. Nilai ekonomi digital Asia Tenggara akan mencapai $360 miliar pada tahun 2025 dan kami percaya Xendit telah berada di posisi yang tepat untuk bisa berkontribusi dan meraih manfaat dari pertumbuhan tersebut,” sambut Co-founder & CEO Xendit Moses Lo.

Hadir menyajikan layanan utama berupa payment gateway, Xendit memudahkan startup dan UMKM untuk bisa memproses pembayaran digital dan meningkatkan skala bisnis mereka. Xendit konsisten melanjutkan performa positifnya, dengan peningkatan penjualan lebih dari 10% month-on-month semenjak diluncurkan tahun 2016.

Selama satu tahun terakhir, jumlah transaksi yang tahunan difasilitasi Xendit melonjak 3x lipat, dari 65 juta menjadi 200 juta dan meningkatkan total nilai pembayaran dari $6,5 miliar (setara dengan Rp95 triliun) menjadi $15 miliar (setara dengan Rp219 triliun). Saat ini sudah ada sekitar 3 ribu bisnis yang menjadi klien Xendit.

Penguatan strategi bisnis

Sejumlah pengembangan strategi dilakukan Xendit beberapa waktu terakhir. Yang terbaru, mereka mengumumkan investasinya di Bank Sahabat Sampoerna serta menawarkan layanan banking-as-a-service (BaaS).

Pada bulan Maret lalu juga meluncurkan XENSClub, komunitas resmi penjual online Xendit yang memiliki banyak program edukatif untuk membantu anggotanya mengembangkan diri. Xendit juga melakukan investasi strategis di DragonPay, sebagai bagian dari ekspansinya ke Filipina.

“Xendit akan terus berekspansi ke wilayah baru  seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam, di mana kami bisa mengidentifikasi kebutuhan pelaku usaha di sana dan memberikan solusi infrastruktur pembayaran yang tepat. Kami pun berencana untuk menghadirkan layanan yang lebih luas dan bervariasi, misalnya seperti program pinjaman yang telah kami jalankan di Indonesia,” imbuh Co-Founder & COO Xendit Tessa Wijaya.

Untuk mendekatkan diri ke segmen UMKM, sejak tahun 2021 Xendit meluncurkan sejumlah inovasi produk. Di antaranya ada layanan SaaS untuk membantu pelaku usaha mengatur inventori produk; ada juga aplikasi bisnis “Online Store” untuk memfasilitasi kegiatan social commerce.

Kendati layanan fintech ini memiliki peluang besar di tengah digitalisasi bisnis yang kian masif, namun untuk memenangkan pasar sebuah platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat. Di layanan payment gateway, Xendit berhadapan langsung dengan sejumlah pemain. Di antaranya ada Midtrans yang saat ini berada di bawah naungan grup GoTo Financial. Ada juga DOKU, Xfers (bagian dari Fazz Financial Group), Faspay, Duitku, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

CT Tunjuk Indra Utoyo untuk Memimpin Allo Bank

Konglomerat sekaligus pemilik CT Corp Chairul Tanjung resmi mengumumkan Indra Utoyo sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI). Indra Utoyo dipercaya untuk membawa Allo Bank bersaing di industri bank digital Indonesia.

Penunjukan Indra Utoyo disampaikan CT dalam konferensi pers, dan baru disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang juga diselenggarakan pada hari yang sama, Kamis (19/5).

Seperti diketahui, Indra Utoyo bukanlah sosok asing lagi industri telekomunikasi dan perbankan. Ia merupakan tokoh penting dan telah meninggalkan legacy signifikan pada transformasi digital dua perusahaan besar milik BUMN, yakni Telkom dan BRI.

Di Telkom, Indra berkarier selama 17 tahun dengan posisi terakhirnya sebagai Chief Innovation and Strategy Officer (CSO). Ia juga pelopor program Indigo Incubator yang meluncur pada 2016. Sementara di BRI, Indra menjabat sebagai Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi.

Melalui Allo Bank, Indra memiliki misi untuk membangun kapabilitas dan talent digital serta teknologi data sehingga dapat menghadirkan customer experience yang lebih personalized dan lekat dengan pengguna.

“Begitu juga dengan visi seperti disampaikan Pak CT, Allo Bank ingin dapat berkembang melalui ekosistem dan berkolaborasi dengan cepat dan aman. Secara bertahap, kami akan menghubungkan Allo Bank dengan ekosistem di bawah CT Corp nantinya, baru berkolaborasi dengan partner lain,” tutur Indra usai konferensi pers.

Sebagai informasi, CT mencaplok Allo Bank (sebelumnya bernama Bank Harda Internasional) dengan mengambil alih sahamnya sebesar 73,71% pada akhir 2020. Kemudian, Allo Bank melakukan right issue yang melibatkan perusahaan digital seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka.

Target Allo Bank

Lebih lanjut, CT mengatakan aplikasi Allo Bank akan resmi mengudara pada Jumat (20/5). Ia menargetkan dapat mengantongi satu juta pengguna dalam satu minggu dan sepuluh juta dalam tahun pertamanya.

Untuk mencapai target tersebut, CT bilang akan memanfaatkan kekuatan ekosistem yang dimilikinya. Saat ini, CT Corp punya tiga unit bisnis besar yang terdiri dari Mega Corp (keuangan), Trans Media (media), dan Trans Corp (fashion, ritel, F&B, hospitality, dll).

Ini pun belum termasuk dengan ekosistem dari mitra strategisnya, seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka. Namun, integrasi dan kolaborasi dengan mitra strategis akan dilakukan secara bertahap.

“Kami percaya [dengan strategi] O plus O atau Offline plus Online–bukan O2O ya–sebagai sebuah keniscayaan. Semakin ke sini pasar tak cuma ingin jumlah customer saja, tetapi juga [startupnya] bisa profitable. Maka itu, kami terbuka terhadap kolaborasi untuk memperkuat ekosistem. Kami ingin menjadi layanan yang inklusif,” ujarnya.

Adapun, CT menyebut layanan pinjaman sebagai salah satu strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan Allo Bank. Pengguna nantinya dapat mengajukan pinjaman di aplikasi Allo Bank, yakni Paylater dan Instant Cash dengan limit hingga Rp100 juta.

“Saat ini kami belum fokus di fee based karena masih menggratiskan [biaya], tidak ada iuran bulanan. Tentu kami pikirkan strategi untuk dapat fee based dari sumber lain. Misal, Paylater tidak ada bunga, tapi ada fee based berupa biaya administrasi. Semua ada hitungannya. Jadi kami incar pertumbuhan signifikan dari produk pinjaman,” tuturnya.

Bank digital

Fenomena bank digital di Indonesia masih terus bergulir. Setelah Bank Jago, BNC, Seabank, dan BCA Digital, pasar akan menantikan beberapa pemain dengan identitas/wajah baru yang diyakini akan masuk ke bank digital maupun neobank.

Dalam catatan kami, BNI tengah merampungkan akuisisinya terhadap Bank Mayora. BNI menggandeng Sea Group, induk Shopee, sebagai mitra untuk menyusun model bisnis dan merancang infrastruktur IT.

Tak hanya bank besar, akuisisi bank kecil ini juga dilakukan oleh startup fintech. baru-baru ini, Investree juga mengumumkan akuisisi saham minoritas di Amar Bank sebesar 18,84% beberapa waktu lalu. Aksi korporasi juga dilakukan Grup Modalku bersama Carro untuk berinvestasi saham (co-investment) di Bank Index.

Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa aksi akuisisi bank kecil memungkinkan upaya rebranding dengan lebih mudah karena bank kecil tidak memiliki infrastruktur, kantor cabang, dan nasabah yang besar.

Dari sudut pandang pelaku fintech, akuisisi bank mini memungkinkan mereka untuk menawarkan plafon pinjaman yang lebih tinggi kepada nasabah dari batasan pinjaman fintech lending dengan maksimum sebesar Rp2 miliar.

Application Information Will Show Up Here

BNI Resmi Dirikan CVC, Ramaikan Ekosistem Pemodal Ventura di Dalam BUMN

PT Bank Negara Indonesia Tbk. mengumumkan pendirian entitas modal ventura bernama “PT BNI Modal Ventura”. Corporate Venture Capital (CVC) tersebut bertujuan untuk mendukung langkah perseroan dalam melakukan transformasi digital.

Dari keterbukaan yang diunggah di BEI, perusahaan menyetorkan dana 500 miliar Rupiah atau setara 500 ribu lembar saham, menjadikan 99,98% kepemilikan CVC oleh induk BNI — sisanya oleh PT BNI Asset Management.

Kabar tentang rencana terjunnya BNI ke ekosistem digital sebenarnya sudah terdengar sejak akhir tahun lalu. Tepatnya saat kabar Merah Putih Fund (MPF) mencuat. Seperti diketahui, dana kelolaan tersebut didukung oleh 5 BUMN lewat CVC-nya masing-masing, meliputi Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia. Waktu itu cuma BNI yang belum memiliki CVC, sementara 4 lainnya sudah.

Hingga saat ini belum diketahui, siapa yang akan menakhodai unit CVC milik BNI tersebut, juga thesis investasi yang akan digaungkan.

Mengutip Kontan, Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini menyatakan, dalam rangka mendorong penciptaan inovasi dan pertumbuhan digital di Indonesia, BNI bermaksud untuk turut aktif sektor ekonomi digital. Diharapkan dengan didirikannya BNI Modal Ventura akan memberikan dampak positif terhadap kinerja konsolidasi dan posisi BNI di industri.

CVC dari BUMN

Selain mandat untuk menemukan mitra bisnis yang tepat dalam melakukan transformasi digital dan sinergitas antarperseroan, beberapa BUMN menghadirkan unit CVC juga untuk memberikan nilai bisnis lebih bagi perusahaan. Hal ini ditengarai jalur exit yang semakin terukur atas investasinya di startup teknologi.

Kehadiran CVC BUMN juga bersaing dengan pemodal ventura yang ada di ekosistem startup. Mereka tidak hanya bergantung pada dana awal yang digelontorkan dari perusahaan induk, beberapa di antaranya membentuk dana kelolaan baru bersama mitra bisnis lainnya untuk memperluas cakupan startup yang dapat didanai.

BUMN CVC Dana Kelolaan Tambahan Portofolio (per Q1 2022)
Telkom MDI Ventures
    • Bio Health Fund ($20 juta bersama Bio Farma)
    • Centauri Fund (~$200 juta bersama KB Financial Group)
    • Arise ($40 juta bersama Finch Capital)
50+ startup di Indonesia, Asia Tenggara, dan Global
Telkomsel Telkomsel Mitra Inovasi n/a 12 startup di Indonesia
Bank Mandiri Mandiri Capital Indonesia Indonesia Impact Fund (undisclosed bersama UNDP) 15 startup di Indonesia
Bank Rakyat Indonesia BRI Ventures
    • Fundnel Secondaries Fund ($50 juta bersama Fundnel Group)
    • Sembrani Kiqani (undisclosed)
    • Sembrani Nusantara (~$10 juta)
18 startup di Indonesia dan Asia Tenggara

Hadirnya CVC ini jelas menjadi angin segar bagi ekosistem. Selain berinvestasi, beberapa dari mereka juga menghadirkan program pembinaan, seperti MDI melalui Indigo, BRI Ventures melalui beberapa kolaborasi program akselerasi, juga TMI melalui TINC.

Di sisi hipotesis investasi, melalui dana kelolaan yang dimiliki juga variannya sudah sangat meluas. Misalnya yang dilakukan BRI Ventures, tidak hanya fintech, kini mereka juga berinvestasi ke D2C dan kripto. Mandiri Capital juga memperluas hipotesisnya ‘beyond fintech’, mendukung startup yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam sektor keuangan. Ukuran tiket pendanaannya pun beragam, mulai dari seed sampai tahap akhir.

MCash dan SiCepat Berinvestasi ke Lenna.ai, Startup Pengembang Platform Chatbot dan Omnichannel

PT SiCepat MCash Indonesia, perusahaan patungan PT M Cash Integrasi Tbk (IDX: MCAS) dan PT SiCepat Ekspres Indonesia (SiCepat), berinvestasi ke PT Sinergi Digital Teknologi (Lenna.ai) dengan mengakuisisi 40% saham. Lenna.ai adalah startup yang fokus pada pengembangan teknologi AI, dengan produk berupa chatbot.

Sebelum investasi ini, Lenna.ai sudah mendapatkan investasi dalam angel round dan seed round dari investor yang dirahasiakan.

Lenna.ai didirikan sejak 2017 oleh Alen Boby. Selain chatbot, mereka turut mengembangkan platform omnichannel untuk memudahkan bisnis mengelola berbagai akun pesan instan di satu kanal terpusat. Produk-produk tersebut dijajakan dengan model integrasi API dan no-code, sehingga memungkinkan pengguna non-pemrogram menjajal layanannya.

Adapun use case pemanfaatannya juga cukup luas. Selain untuk layanan pelanggan yang umum disediakan penyedia chatbot di Indonesia, Lenna.ai juga mengakomodasi fitur layanan yang lebih luas seperti salah satunya “Smart Parking System with Chatbot”. Fitur ini merupakan solusi penyederhanaan dan percepatan pelayanan publik berbasis teknologi digital untuk masyarakat luas yang kesulitan mencari tempat parkir.

“Kami optimis investasi yang dilakukan oleh MCAS Group akan membuat pertumbuhan teknologi AI yang dibangun Lenna.ai semakin maju dan tumbuh lebih progresif. Kami percaya bahwa jaringan bisnis MCAS Group yang luas dapat mengakselerasi inisiatif baru dalam ranah teknologi yang semakin inovatif. Besar harapan kami untuk bisa mengembangkan laju perkembangan bisnis melalui berbagai kolaborasi yang akan dilakukan dengan ekosistem MCAS Group, untuk dapat memberikan solusi yang lengkap dan terdepan bagi mitra kami,” ujar Founder & CEO Lenna.ai Alen Boby.

Sementara itu Managing Director M Cash Integrasi Jahja Suryandy mengatakan, “Melalui investasi ini, kami yakin lini teknologi AI MCAS Group akan semakin kuat. Kami berkomitmen untuk terus mengembangkan infrastruktur digital yang masif, mempercepat penetrasi AI ke dalam digitalisasi bisnis serta menyinergikannya dengan berbagai layanan yang telah ada.”

Potensi chatbot untuk bisnis

Produk teknologi serupa Lenna.ai sebenarnya sudah cukup bertebaran di Indonesia. Misalnya platform chatbot builder yang dikembangkan Kata.ai. Ada juga platform omnichannel chat dari Qiscus, dan lain sebagainya.

Potensi adopsi layanan chatbot oleh bisnis semakin meningkat seiring transisi tren konsumen yang semakin digital. Chatbot menyuguhkan layanan informasi yang cepat dan komprehensif. Menurut laporan Insider Intelligence, diproyeksikan ukuran pasar layanan chatbot global akan mencapai $142 miliar di tahun 2024 mendatang.

Namun demikian, ada tantangan fundamental yang harus dipecahkan para inovator. Chatbot akan sangat bergantung dengan kemampuan NLP (Natural Language Processing), sederhananya berupa sistem cerdas yang ditugaskan untuk memahami apa yang dituliskan oleh pelanggan. Pengembangan NLP adalah salah satu aspek paling menantang yang ditemui inovator chatbot, terlebih dalam konteks Bahasa Indonesia. Startup seperti Kata.ai, Bahasa.ai, Bot MD, Prosa.ai berinvestasi besar untuk menggarap sistem tersebut.

Di samping untuk memenuhi tujuan bisnis secara umum, beberapa startup juga melahirkan inovasi chatbot untuk produk yang lebih spesifik. Contohnya yang dilakukan Prixa dengan chatbot layanan kesehatan; atau HiPajak dengan chatbot konsultan pelaporan pajak.

Pitik Dapat Pendanaan Seri A 206 Miliar Rupiah Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup pengembang inovasi teknologi peternakan “Pitik” hari ini (19/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 206 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dengan partisipasi dari investor sebelumnya, yakni MDI Ventures dan Wavemaker Partners.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pitik resmi meluncur pada pertengahan 2021 diprakarsai oleh Arief Witjaksono dan Rymax Joehan. Mereka berambisi menghadirkan solusi teknologi end-to-end memberdayakan peternak unggas di Indonesia. Termasuk menghadirkan kemudahan dari sisi pembiayaan dan efisiensi rantai pasok.

Dengan dana segar yang dibukukan ini, Pitik akan memperluas ekosistem layanannya ke lebih banyak peternak ayam di Indonesia. Termasuk dengan memperkuat tim di seluruh divisi yang ada.

Selain itu, Pitik akan terus mengembangkan teknologi canggih dan produk automasi yang akan meningkatkan produktivitas pertanian lebih jauh. Perusahaan juga menargetkan membangun kehadiran di seluruh wilayah Jawa tahun ini dan memperluas ke pulau-pulau lain pada tahun 2023. Perusahaan juga akan memperluas bisnisnya ke layanan hilir seperti pemrosesan dan distribusi ke pengguna akhir.

Permasalahan di peternakan unggas

Sektor peternakan di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Menurut data, konsumsi daging ayam pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita, setara 3,5 juta kg per tahun. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita pada tahun 2029.

Kendati demikian, Pitik masih melihat adanya inefisiensi dalam sistem produksi dan rantai pasok produk ayam segar. Sistem produksi yang buruk dinilai mengakibatkan tingkat kematian unggas nasional 5-8x lebih tinggi dari rata-rata global. Sementara manajemen yang buruk membuat kebocoran pendapatan tahunan hingga 2 miliar Rupiah di tiap peternakan.

Solusi yang dihadirkan Pitik berupa platform manajemen peternakan. Perangkat lunak tersebut turut terhubung dengan sensor berbasis IoT yang diterapkan di kandang — menghasilkan model smart farming. Sehingga peternak bisa melakukan pemantauan lebih akurat terkait kondisi kandang dan perkembangan unggasnya.

Perangkat IoT Box Pitik yang dipasang di peternakan / Pitik

Di sisi lain, platform juga mendemokratisasi layanan pasok, menghubungkan petani dengan mitra terpercaya untuk menjual hasil panennya. Layanan pembiayaan turut dihadirkan untuk meningkatkan kapabilitas bisnis petani — data-data yang dihasilkan dianalisis sebagai potensi ternak untuk menghasilkan skoring kredit yang lebih kredibel.

Berdasarkan data terbaru, pemanfaatan layanan tersebut oleh Kawan Pitik (sebutan untuk mitra petani) diklaim bisa menekan angka kematian hingga 50% dan meningkatkan rasio konversi pakan 12% dibandingkan rata-rata nasional, yang akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.

Dalam 6 bulan terakhir, Pitik telah meningkatkan ukuran jaringan pertaniannya lebih dari 10x lipat melalui kemitraan dengan ratusan petani di 53 kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari jaringan peternak ini, Pitik saat ini menjual lebih dari 16 juta ekor ayam per tahun.

“Kami telah membuktikan bahwa teknologi kami efektif dalam membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan ekosistem kami mampu memberikan layanan bernilai tambah bagi petani. Impian besar kami adalah memberdayakan semua peternak unggas di Indonesia melalui layanan terpadu kami dan memastikan kami dapat meningkatkan taraf hidup mereka,” kata Co-Founder & CEO Pitik Arief Witjaksono.

Pertumbuhan startup di bidang peternakan

Di tengah potensi Indonesia sebagai penghasil ternak, beberapa startup hadir memunculkan solusi inovatif. Baik untuk membantu petambak udang, ikan, hingga peternak unggas. Selain Pitik, ada pemain lain yang juga mencoba membantu efisienkan proses bisnis di peternakan ayam, salah satunya Chickin. Berawal dari sebuah B2B commerce daging ayam untuk horeka, kini mereka turut kembangkan teknologi IoT untuk optimalkan manajemen kandang.

Tentu ini menjadi angin segar untuk para pelaku bisnis. Dari banyak riset yang dilakukan, mereka memang masih menghadapi banyak isu klasik. Seperti akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Harapannya, tentu adanya teknologi pendukung ini benar-benar bisa mendemokratisasi model bisnis yang ada. Dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hasil ternak dan pemasukan dari para peternak. Di samping untuk memastikan supply dari pasar terpenuhi dengan baik dari produsen dalam negeri.

“Kami telah membuka peluang bisnis hulu di bidang peternakan unggas. Memperluas ke hilir berarti kami dapat membantu petani mengekstraksi margin yang lebih tinggi dari rantai nilai. Ini selaras dengan misi kami untuk menjadi mitra petani di semua titik perjalanan pertanian,” kata Co-Founder & COO Pitik Rymax Joehana.

Ia melanjutkan, “Tidak hanya itu, ini juga berarti kami dapat menyediakan ayam yang lebih sehat dan berkualitas tinggi untuk konsumen Indonesia karena produk yang dijual oleh Pitik bersumber dari jaringan petani kami dengan standar kontrol kualitas dan pemantauan produk yang paling ketat.”

Application Information Will Show Up Here

Pintarnya Umumkan Pendanaan Awal 93 Miliar Rupiah Dipimpin Sequoia India dan General Catalyst

Pintarnya adalah platform job marketplace yang menyasar kalangan pekerja kerah biru. Hari ini (19/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Capital India dan General Catalyst. Nilai investasi yang dapat dibukukan $6,3 juta atau setara 93 miliar Rupiah.

Startup tersebut didirikan oleh Nelly Nurmalasari, Henry Hendrawan, dan Ghirish Pokardas. Nelly dan Henry sebelumnya dikenal sebagai eksekutif senior di Traveloka, khususnya di divisi produk keuangan dan teknologi. Sementara Ghirish sebelumnya bekerja menjadi eksekutif senior di KKR yang juga fokus di layanan finansial.

Nelly sendiri juga menjadi bagian dari kohort pertama program mentoring Sequoia Spark — yang secara spesifik didesain Sequoia untuk calon pengusaha perempuan potensial di Asia Tenggara dan India.

Dengan pendanaan ini, Pintarnya akan mengakselerasi pertumbuhan bisnis dengan melakukan perekrutan tim di bidang pengembangan, produk, desain, pemasaran, operasional, dan bisnis di Jakarta.

Latar belakang pendirian Pintarnya

Di segmen kerah biru, untuk mencari pekerjaan biasanya seseorang akan bergantung dari informasi yang tersebar dari mulut ke mulut. Kanal online yang ada pun juga menyajikan banyak informasi lowongan, hanya saja banyak yang tidak terverifikasi — bahkan tidak sedikit yang berujung pada penipuan terhadap pencari kerja.

Namun, di sisi lain pemberi kerja juga memiliki gap yang cukup serius untuk menjangkau calon tenaga kerja. Mereka membutuhkan platform yang dapat diandalkan dalam mengidentifikasi, memverifikasi, hingga memperkerjakan pekerja. Demikian diceritakan oleh Nelly (CEO). Permasalahan tersebut dialami secara langsung.

“Dulu saya mempekerjakan staf salon kecantikan melalui platform iklan baris online atau referensi para pekerja lain. Sangat sulit untuk menyaring dan memverifikasi kandidat dan pengalaman kerjanya dengan cepat. Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa untuk para pencari kerja, sangat menjengkelkan untuk mencari dan melamar pekerjaan, lalu mereka menjadi korban penipuan dalam prosesnya,” ujar Nelly.

Ia melanjutkan, “Pintarnya bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut untuk kedua belah pihak. Lalu, 80% dari populasi memiliki smartphone, jadi ini saat yang tepat untuk meluncurkan sebuah platform digital. Perubahan perilaku yang dipicu oleh pandemi COVID-19 baru-baru ini dan bangkitnya Open Finance di Indonesia juga memberikan dorongan pada misi kami.”

Solusi yang dihadirkan Pintarnya

Pintarnya menyuguhkan layanan melalui situs web dan aplikasi mobile. Untuk saat ini layanan mereka baru bisa digunakan secara efektif untuk pengguna di Jabodetabek dan Bandung.

Dalam cara kerjanya, setelah pencari kerja mendaftar dan membuat profil, Pintarnya akan menggunakan informasi yang diberikan untuk merekomendasikan peluang pekerjaan yang relevan. Termasuk mempertimbangkan berbagai parameter termasuk namun tidak terbatas pada persyaratan pekerjaan, lokasi, dan keahlian. Pendekatan ini dinilai bisa memberikan akses tidak hanya ke prospek yang diverifikasi dan dikurasi.

Setelah itu Pintarnya akan bekerja sama dengan mitra pemberi kerja untuk mengkualifikasi dan merekrut pekerja kerah biru terkait.

“Misi dari Pintarnya tidak hanya membantu para pekerja mendapatkan pekerjaan. Dengan identitas digital dan riwayat pekerjaan yang terverifikasi, kami akan membuka akses untuk layanan finansial yang lebih baik untuk mereka dengan kemitraan bersama institusi keuangan, memungkinkan pekerja kerah biru meraih mimpi mereka untuk hidup yang lebih layak,” imbuh Henry.

Kendati tidak dijabarkan detailnya, dengan mekanisme berbasis data dan memanfaatkan platform Open Finance, Pintarnya juga berkomitmen untuk menyuguhkan layanan finansial formal bagi para pekerja tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dengan memperjuangkan literasi dan inklusi finansial.

Potensi platform job marketplace kerah biru

Tidak dimungkiri juga, potensi nilai ekonomi pekerja kerah biru sangat besar, namun sangat kompleks dan terfragmentasi. Di Indonesia, 60 juta pekerja kerah biru mencakup lebih dari 70% pekerja berbayar dan menyumbangkan 20% pada PDB.

Hal ini turut disampaikan oleh Alex Tran dari General Catalyst. Ia berujar, “Indonesia memiliki salah satu populasi termuda di dunia, yang merupakan hal langka dan potensi bonus demografi jika orang diberi kesempatan untuk menjadi produktif dan stabil secara finansial. Hal Ini adalah tantangan dan peluang besar yang dapat dipecahkan oleh teknologi.”

Alex melanjutkan, “Kami senang dapat mendukung tim di Pintarnya saat mereka memulai misi untuk membantu pekerja kerah biru menyesuaikan diri dengan pemberi kerja, membangun komunitas, dan meningkatkan keterampilan. Kami juga senang dengan peluang fintech yang dapat muncul dari sini. Pekerjaan mengarah ke pendapatan mengarah ke akses pada layanan keuangan, jadi kami pikir masuk akal bahwa satu platform harus memiliki seluruh hubungan ini.”

Sejumlah platform untuk pekerja kerah biru sebelumnya juga sudah banyak bermunculan. Sebut saja AdaKerja, Sampingan, MyRobin, Lumina, sampai yang terbaru ada Atma. Atma juga baru-baru ini mengumumkan pendanaan pre-seed untuk mendukung debutnya senilai $5 juta — mereka hadir dengan pendekatan berbeda, yakni dengan pemberdayaan komunitas.

Application Information Will Show Up Here