Perluas Tanggung Jawab Jabatan, Teddy Oetomo Ditunjuk Jadi Presiden Bukalapak

Bukalapak mengumumkan penunjukan Teddy Oetomo sebagai Presiden Bukalapak, menggantikan posisi Fajrin Rasyid yang resmi diangkat menjadi Direktur Digital Business Telkom Group. Dengan posisi baru ini, Teddy nantinya bersama dengan Rachmat Kaimuddin (CEO), Willix Halim (COO), dan Natalia Firmansyah (CFO) akan memimpin manajemen perusahaan.

“Dengan tugas utama yang nantinya bakal diterapkan adalah, untuk terus mendorong dan mempersiapkan Bukalapak menjadi sebuah organisasi yang kokoh, dengan tugas harian menjaga Bukalapak secara terus menerus, baik dari segi bisnis dan reputasi, agar dapat terus tumbuh berkembang menjadi perusahaan yang sustainable, yang pada akhirnya dapat berhasil merealisasikan misi Bukalapak, yakni a fair economy for all,” kata Teddy kepada DailySocial.

Teddy mengawali kariernya sebagai dosen, juga memiliki lebih dari 11 tahun pengalaman di bidang pasar modal dan manajemen aset. Di luar dari itu, Teddy juga telah mempublikasikan 7 tulisan di jurnal akademik internasional. Dia mendapatkan gelar PhD di bidang Ekonomi dari University of Sydney di tahun 2005.

Sebelum bergabung dengan Bukalapak, Teddy adalah Head of Intermediary Business di Schroders Indonesia. Teddy juga menempati posisi selama 8 tahun (2006-2014) sebagai Head of Equity Research di Credit Suisse Indonesia.

Ekspansi posisi dan tanggung jawab

Teddy menempati posisi Chief Strategy Officer sejak tahun 2018 membawahi fungsi strategi dan investasi, corporate finance, customer satisfaction management, investment solutions & financing; akan diperluas meliputi fungsi legal.

“Kalau perusahaan sudah besar, tidak mungkin semua role dipegang satu orang. Di Bukalapak juga sama [..] strategi itu kadang butuh diam, take a step back, jangan diganggu. Kalau tidak, tidak bisa berpikir,” ujarnya.

Teddy menegaskan, corporate finance dan corporate communication menjadi bagian yang diurusnya. Termasuk di dalamnya adalah M&A yang akhir-akhir ini menghangat. Sejak tahun 2018 Bukalapak agresif menjalankan strategi M&A, meskipun cara yang ditempuh terbilang cukup unik. Langkah strategis yang dilakukan oleh Bukalapak tahun 2018 di bawah kepemimpinannya sebagai CSO adalah, melakukan akuisisi terhadap talenta dan teknologi Prelo.

Application Information Will Show Up Here

4 Hal Seputar Membangun Bisnis Furnitur Melalui Platform Digital

Perkembangan e-commerce di Indonesia berhasil membentuk ekosistem yang matang bagi pelaku startup lain yang ingin menjajal bisnis baru. Jika e-commerce sempat didominasi oleh marketplace di kategori produk fashion, kini semakin banyak startup yang bermain di vertikal bisnis yang berbeda.

Salah satunya adalah platform jual-beli produk furnitur. Pemainnya terus bertambah dan bisnisnya kian bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Ini menandakan adanya antusiasme pasar terhadap pembelian furnitur dengan cara yang tidak lagi konvensional.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial membahas seputar membangun bisnis furnitur yang sustain melalui platform digital. Simak selengkapnya sharing menarik dari Co-founder dan CEO Fabelio Marshall Tegar Utoyo.

Tantangan bisnis furnitur via platform digital

Bagi Marshall, bisnis akan selalu berkembang, demikian juga masalah yang akan dihadapi kemudian. Dalam membangun furnitur dengan brand Fabelio dan memasarkannya lewat platform digital, ia mengaku bahwa standarisasi produk yang akan dijual menjadi salah satu tantangan terbesar. Ia harus memastikan mitranya dapat memproduksi furnitur dengan kualitas konsisten.

Tantangan lainnya adalah persoalan logistik untuk memudahkan pengiriman dan penerimaan barang. “As we grow, kami sadar bahwa furnitur itu barang besar. Pengirimannya tidak bisa begitu saja menggunakan kurir instan dan ditinggal di lobi. Di sini kami berupaya untuk memudahkan proses pengiriman hingga penerimaan barang bagi customer,” tuturnya.

Adopsi teknologi yang punya impact bagi pembeli

Dukungan teknologi canggih sering diklaim dapat meningkatkan sebuah layanan. Implementasi Artificial Intelligence (AI) atau Virtual Reality (VR) banyak disebut dapat meningkatkan customer experience, terutama pada produk retail besar, seperti furnitur.

Marshall menilai hal tersebut bisa saja benar, dengan catatan teknologi tersebut dapat memberikan dampak terhadap customer. Menurutnya, apabila sebuah teknologi punya high impact ke customer, proses switch-nya bakal lebih mudah. Ambil contoh, teknologi AI dapat menganalisis apakah customer memiliki high intent/low intent saat browsing barang.

“Kami tidak ingin membebankan customer dengan jargon semacam itu agar terlihat smart. Bagi kami yang terpenting adalah menghadirkan platform yang nyaman untuk bertransaksi. Ini kenapa kebanyakan inovasi kami tidak monumental, seperti AI atau VR,” ungkap Marshall.

Menurutnya, adopsi teknologi dapat dikatakan memberikan impact apabila dapat memberikan hasil secara organik dari transaksi. Pada kasus Fabelio, pihaknya selalu melakukan upgrade berkala pada website-nya agar customer nyaman browsing produk sebelum berinteraksi dengan virtual assistant buying.

Strategi mendongkrak repeat purchase

Seperti disebutkan sebelumnya, business nature produk furnitur cukup berbeda dengan produk-produk yang biasa kita temui di e-commerce. Hal ini karena furnitur merupakan produk berukuran besar.

Demikian juga dengan customer behavior-nya. Menurut Marshall, produk furnitur cenderung dibeli dari hasil browsing, bukan searching. Nilai pembeliannya juga besar untuk satu barang.

Lalu, bagaimana strategi untuk menjaga repeat purchase agar tetap tinggi? Menurut Marshall, sebetulnya average order value bisa saja dikurangi, tetapi harus ada ekspansi kategori produk sehingga memperluas segmen pasar. Alhasil, konsumen bisa melakukan pembelian lebih sering.

“Ini sebetulnya soal permainan product management. Dalam capital business, ini bisa dilakukan jika ada modal. Bagi kami, saat ini Fabelio ingin manage supaya customer ada high purchase. [Jika ingin ekspansi kategori], ini bisa kolaborasi dengan mitra supply chain lain, seperti produsen gelas. Mereka lebih jago dibandingkan jika kami harus produksi sendiri,” jelasnya.

Bisnis furnitur di masa Covid-19 dan new-normal

Di masa pandemi ini, Marshall mengaku ada banyak penyesuaian dilakukan untuk menjaga agar bisnis tetap berjalan. Apalagi, bagi bisnis ritel yang utamanya bergantung pada engagement di toko fisik.

Pada kasus Fabelio yang juga memiliki offline, Marshall menyebutkan bahwa pihaknya terpaksa harus menutup sekitar 20 tokonya selama masa pandemi ini. Akan tetapi, pihaknya melakukan inovasi dengan mengembangkan virtual assistant buying atau check agent untuk meningkatkan customer experience tanpa harus tatap mukaInovasi lain yang dapat dilakukan pada bisnis ini adalah menyediakan protokol khusus pada pengiriman dan penerimaan barang.

“Di situasi sekarang, tidak mungkin kita linger lama-lama di toko. Kami harus tahu apa yang nyaman bagi customer. Makanya, pengiriman barang pun harus disesuaikan dengan kondisi tertentu, seperti waktu instal furnitur dan memastikan situasi rumah tidak dalam keadaan ramai. Harusnya, strategi ini bisa berhasil untuk semua brand retail,” ungkapnya.

Saoraja Hub Kembali Digelar, Program Inkubator Bisnis dan Startup di Indonesia Timur

Setelah tahun lalu Saoraja Hub meluncurkan program inkubasi startup batch pertama, tahun ini mereka melanjutkan batch kedua. Rencananya akan digelar akhir bulan Juli 2020. Program yang diinisiasi oleh Kalla Group tahun 2018 lalu ini, ingin menyaring lebih banyak ide segar dan inovasi digital terutama bagi pelaku startup di Indonesia Timur.

VP of Business Development Kalla Group, Saoraja Hub Damoza Nirwan mengungkapkan, berbeda dengan tahun lalu yang hanya fokus kepada startup, tahun ini Saoraja Hub ingin mengundang lebih banyak masyarakat di Indonesia Timur yang memiliki ide menarik dari berbagai kalangan. Mulai dari pelajar hingga ibu rumah tangga, jika mereka memiliki ide segar yang nantinya memiliki potensi untuk dikembangkan, berhak untuk mengikuti kegiatan ini.

“Berbeda dengan investasi yang diberikan oleh perusahaan modal ventura lainnya yang hanya fokus kepada investasi, batch kedua ini kami ingin mengajak lebih banyak masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan ide mereka yang relevan dengan kondisi pandemi dan new normal,” kata Damoza.

Nantinya startup yang beruntung serta ide dari peserta yang lolos dari proses penyaringan, berhak mendapatkan bimbingan berupa mentoring dari pihak internal Kalla Group dan Kalla Business School. Mereka juga bisa mendapatkan pendanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan hingga kesempatan networking dengan ekosistem di Kalla Group.

Kategori ide dan startup agnostik

Disinggung startup atau ide seperti apa yang menarik perhatian dari Saoraja Hub batch kedua tahun ini, Damoza menyebutkan secara khusus mereka tidak hanya mengincar pada satu atau dua kategori saja. Selama ide tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan, Saoraja Hub akan menerima semua ide yang masuk. Demikian pula dengan startup yang saat ini mungkin masih dalam tahap early stage dan membutuhkan networking hingga pendanaan untuk tumbuh, Saoraja Hub siap membantu.

“Jika nantinya ada ide dari peserta atau model bisnis dari startup yang relevan dengan lini bisnis dari Kalla Group, menjadi tidak mungkin proses akuisisi akan kami lakukan. Namun sesuai dengan misi awal Saoraja Hub, kami ingin mengajak lebih banyak masyarakat di Indonesia Timur lebih kreatif menghadirkan inovasi baru,” kata Damoza.

Saoraja Hub juga mengundang investor di luar dari Kalla Group, seperti yang telah dilakukan di batch pertama melibatkan Mandiri Capital Indonesia (MCI) untuk berinvestasi di startup yang mengikuti program inkubasi mereka. Di batch yang pertama beberapa startup terpilih yang mengikuti program inkubasi Saoraja Hub di antaranya adalah Aidu (Education), Digital Desa (Government), Mall Sampah (Environment), Panen Mart (Agricultural) dan Perawat.Id (Health).

“Tahun ini karena ada dua kategori yaitu startup dan idea innovation harapannya akan lebih banyak lagi peserta yang tertarik untuk mengikuti kegiatan ini, terutama bagi semua kalangan di Indonesia Timur,” kata Damoza.

Kolaborasi Strategis dengan Startup untuk Mendukung Inovasi Korporasi

Makin menjamurnya startup berbasis teknologi secara langsung telah mengubah kebiasaan masyarakat luas mengadopsi layanan digital. Didukung dengan digital native company yang mulai banyak bermunculan dan secara langsung men-disrupt berbagai bisnis, termasuk finansial dan berbagai sektor lainnya. Tidak dapat dipungkiri, dengan tetap relevan dan inovatif kini menjadi kunci sukses korporasi.

Melihat tren tersebut, dalam sesi #SelasaStartup teranyar, DailySocial mencoba mengupas potensi kerja sama strategis antara korporasi dengan startup dan perusahaan teknologi. Ada tiga narasumber yang dihadirkan, yakni VP of Investor Relation & Strategy BRI ventures Markus Liman Rahardja, VP of Dgital Business Partnership & Development PT Pegadaian (Persero) Herdi Sularko, dan Plt. Direktur Ekonomi Digital Kominfo I Nyoman Adhiarna.

Upaya untuk tetap relevan

Salah satu alasan mengapa pada akhirnya korporasi harus dengan cepat mengadopsi teknologi ke dalam proses dan sistem mereka adalah agar tetap relevan. Baik di mata pelanggan hingga pihak terkait lainnya. Untuk mencapai hal tersebut, korporasi mulai banyak melakukan perubahan dan inovasi baru yang secara keseluruhan menyentuh teknologi. Apakah yang terkait dengan produk hingga potensi untuk kolaborasi dengan pihak eksternal.

“Kami menyadari sepenuhnya perubahan perilaku dari masyarakat luas saat ini yang terjadi karena mulai banyaknya fintech yang menawar layanan seperti p2p lending, asuransi teknologi, hingga wealth management. Sebagai perusahaan yang sudah menginjak usia 120 tahun, kami juga memiliki beragam produk lainnya di luar bisnis utama kami yaitu gadai, dengan mengadopsi digital kami ingin memperluas eksistensi perusahaan,” kata Herdi.

Sama halnya dengan bank dan pasar, Pegadaian memiliki jumlah cabang yang cukup besar. Tentunya menjadi menarik ketika sumber daya tersebut dimanfaatkan sepenuhnya dengan mulai mengadopsi digital dengan tujuan untuk menyentuh kepada transformasi digital.

Hal serupa juga disampaikan oleh BRI Ventures, yang selama ini mencoba untuk terus menghadirkan inovasi agar bisa tetap relevan, terutama untuk perusahaan yang sudah berusia sekitar 100 tahun. Bukan hanya inovasi saat ini saja namun juga ke depannya. Dalam hal ini Markus menegaskan, ada dua jalur yang kemudian ditempuh oleh BRI Ventures, yaitu eksploitasi dan eksplorasi.

“Untuk eksploitasi kami ingin sistem yang saat ini ditingkatkan lagi, dan untuk eksplorasi menjadi kesempatan bagi kami untuk menyambut ekosistem digital baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk dijajaki oleh kami,” kata Markus.

Dalam hal ini BRI Ventures ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki misi dan visi yang sejalan dengan perusahaan, sebagai corporate venture capital (CVC). Apakah itu dalam bentuk inovasi, teknologi hingga jaringan yang dimiliki. BRI Ventures ingin menjalin kolaborasi dengan startup yang high scaling dan high growing.

Kolaborasi dengan startup

Saat ini BRI Ventures menjadi salah satu CVC yang cukup aktif berinvestasi kepada beberapa startup fintech di Indonesia. Mulai dari Investree hingga Modalku, yang keduanya dinilai bisa memberikan keuntungan lebih untuk BRI maupun BRI Ventures sendiri.

“Inilah yang kemudian membedakan antara ‘vendoring’ dengan ventures. Sebagai CVC idealnya kami ingin melakukan kolaborasi yang strategis demi menghadirkan teknologi yang relevan dan bermanfaat bagi kedua pihak,” kata Markus.

Bukan hanya di sektor finansial, BRI Ventures juga telah berinvestasi kepada TaniHub yang merupakan agritech terkemuka di tanah air. Tujuannya tentu saja masih bersentuhan dengan pembiayaan, namun memanfaatkan channel baru yang lebih efektif.

Di sisi lain bagi Pegadaian yang selama ini belum bermain dalam hal investasi, untuk bisa memberikan inovasi baru dan mengadopsi teknologi dengan cepat, kolaborasi atau kerja sama strategis dengan digital native startup, secara masif sudah dilakukan oleh mereka. Mulai dari menjalin kemitraan dengan Tokopedia, hingga mempekerjakan tenaga profesional, yang tujuannya untuk membantu perusahaan melakukan transformasi digital.

“Selama ini kebanyakan korporasi hanya mengandalkan konsultan ketika ingin melakukan perubahan atau menghadirkan inovasi baru. Melalui kerja sama dengan startup dan perusahaan teknologi, paling tidak bisa menyegarkan mindset tim internal kami sekaligus mempercepat proses transformasi digital,” kata Herdi.

Dukungan pemerintah

Sebagai regulator dalam hal ini pemerintah memiliki peranan yang cukup krusial. Bukan hanya untuk melancarkan bisnis yang dimiliki oleh startup dan korporasi, namun juga memudahkan mereka untuk melakukan dialog hingga diskusi dengan para regulator. Meskipun masing-masing sektor ditangani langsung oleh kamenterian terkait, namun Kominfo bisa mendukung semua dalam hal teknologi dan inovasi terkait.

“Salah satu contoh menarik yang kemudian wajib untuk dicermati adalah saat pandemi berlangsung, layanan konsultasi dokter online yang ditawarkan oleh startup healthtech menjadi sangat relevan,” kata I Nyoman.

Namun demikian tidak dapat dipungkiri dengan luasnya persoalan yang dihadapi di berbagai sektor, teknologi dan startup yang mencoba untuk menawarkan layanan terkait harus menunda atau bersabar, karena prioritas dari masing-masing kementerian.

Sebagai contoh teknologi smart farming dan IoT yang bisa bermanfaat bagi para petani dan nelayan, menjadi hal yang tidak diprioritaskan oleh kementerian terkait karena fokus mereka lebih kepada pembiayaan dan hal lain yang lebih dibutuhkan oleh petani saat ini.

“Masing-masing kementerian memiliki prioritas dan cara pandang berbeda. Namun ada baiknya bagi pemerintah untuk mendengarkan permintaan dari startup, perusahaan teknologi atau korporasi yang ingin menghadirkan solusi baru memanfaatkan teknologi,” kata I Nyoman.

HappyFresh Hadir di Aplikasi Bukalapak, Lengkapi Fitur “Online Groceries” [UPDATED]

Bukalapak menggaet HappyFresh untuk perilisan fitur baru online groceries yang sudah bisa diakses melalui aplikasi Bukalapak. Perilisan ini merupakan dalam rangka mendongkrak bisnis online groceries di Bukalapak yang meningkat semenjak pandemi Covid-19.

Sebelum hadir di aplikasi Bukalapak, layanan HappyFresh dapat diakses melalui Grab (untuk fitur Groceries) dan Line (untuk fitur LINE MAN) yang baru hadir di Thailand per awal tahun ini. Rencana tersebut sudah dipersiapkan perusahaan pada tahun lalu berdasarkan wawancara terakhir bersama DailySocial.

Dalam keterangan resmi, Bukalapak mencatat sejak awal Maret ini ada kenaikan transaksi bahan pokok hingga 3,5 kali lipat dari bulan sebelumnya. Hingga saat ini, kategori tersebut menjadi paling banyak dicari konsumen.

“Agar terus dapat memenuhi kebutuhan ini dengan baik, kami terdorong untuk terus mengembangkan produk dan layanan Bukalapak. Hal inilah yang melatarbelakangi kerja sama kami dengan HappyFresh, di mana seluruh pengguna kami sekarang dapat berbelanja di grocery stores pilihan mereka sambil tetap menjalankan protokol physical distancing,” ucap Director of Fintech, Payment, and Virtual Products Bukalapak Victor Lesmana, Senin (13/7).

Bukalapak sendiri sebelumnya merilis fitur online groceries berkonsep O2O BukaMart sejak tahun lalu. Sasaran tujuan dan pengguna dari layanan ini berbeda dengan Groceries HappyFresh. Secara terpisah, kepada DailySocial, Victor menerangkan BukaMart diinisiasi untuk menciptakan ekonomi yang adil untuk semua lapisan masyarakat melalui platform online.

BukaMart adalah fitur yang diluncurkan untuk menyediakan berbagai kebutuhan barang sehari-hari melalui kerjasama dengan sejumlah penyedia barang yang resmi dan terpercaya. BukaMart juga bekerjasama dengan warung Mitra Bukalapak untuk melayani kebutuhan masyarakat.

Mitra BukaMart ini tersebar di beragam lokasi di kota besar dan kecil, di antaranya Balikpapan, Ngawi, Blitar, Madiun, Jember dan sebagainya. Produk yang dijual berasal dari penyuplai resmi dan dapat dikirim di hari yang sama dengan mitra kurir logistik.

Pengalaman berbelanja di HappyFresh melalui Bukalapak, tidak jauh berbeda dengan GrabFresh, misalnya. Di halaman utama, pengguna akan disuguhkan dengan supermarket yang terdekat dari lokasi mereka sebelum mulai berbelanja.

Di aplikasi HappyFresh sendiri, telah terintegrasi dengan Dana untuk pilihan metode pembayarannya. Mereka telah bekerja sama dengan lebih dari 150 supermarket dan toko-toko khusus yang tersebar di Jadetabek, Bandung, Surabaya, dan Malang. Di samping itu di tiap lokasi, HappyFresh memiliki tim internal diberi nama Personal Shoppers yang telah dilatih dan diantarkan oleh kurir sendiri.

“Kami senang dapat bermitra dengan Bukalapak [..] Pengguna Bukalapak sekarang dapat berbelanja bahan makanan dan kebutuhan sehari yang praktis dan aman, dengan tetap menjaga norma social distancing [..],” imbuh Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini.

Industri paling “hijau”

Bisa dikatakan online groceries menjadi salah satu industri yang tumbuh paling “hijau” di tengah pandemi Covid-19. Oleh karenanya, industri ini menjadi ajang bagi perusahaan lain untuk melirik dan mencari peruntungan di sana dan meramaikan peta persaingan online groceries.

Dalam pantauan DailySocial, sejumlah perusahaan tersebut antara lain startup solusi iklan berjalan Ubiklan yang merilis UbiFresh; startup proptech Travelio masuk dengan TravelioMart; startup pemberdayaan UKM Titipku; startup logistik Deliveree; startup logistik last mile Paxel; hingga perusahaan penyedia ISP Greenet merilis NetBli.

Upaya dari startup di atas adalah bagian dari pilihan agar tetap relevan dengan situasi dengan keadaan agar perusahaan tetap hidup. Besar kemungkinan bisnis tersebut akan dilanjutkan karena saat new normal, kebutuhan belanja sehari-hari bakal tetap ada peminatnya.

 

*Update: Kami menambahkan penjelasan mengenai BukaMart

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Satgas Waspada Investasi Tutup Hampir 700 Fintech Ilegal di Paruh Pertama 2020

Satgas Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan telah menutup 694 fintech lending ilegal pada paruh pertama tahun 2020. Dibandingkan tahun lalu saja, angka ini sudah hampir separuh dari jumlah perusahaan yang ditutup SWI sebesar 1493 perusahaan.

Momentum pandemi, menjadi kesempatan para pemain ilegal itu lebih berkembang lebih liar, terlihat dari jumlahnya yang berlipat ganda dibandingkan sebelum pandemi. SWI mencatat sepanjang Maret-Juni 2020 telah menutup 574 perusahaan ilegal. Adapun pada Januari saja ada 120 perusahaan. Bila ditotal secara akumulatif dari 2018 hingga sekarang SWI telah menutup 2591 entitas.

“Dengan kemajuan teknologi yang memudahkan orang buat aplikasi, sebar SMS, fintech ilegal ini jadi semakin sulit diberantas. Jadi yang kita rutin lakukan setiap hari adalah cyber patrolling bersama Kemenkominfo sebelum jatuh korban lagi,” terang Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing dalam konferensi pers secara online, Senin (13/7).

Dia merinci lebih jauh dari temuan SWI, fintech ilegal tersebut memiliki server mayoritas dari luar negeri. Server dari lokasi tidak terdeteksi jumlahnya mencapai 44%, lalu dari Amerika Serikat (14%), Singapura (8%), Tiongkok (6%), Malaysia (2%), lain-lain (3%), dan sisanya dari dalam negeri (22%).

Seluruh fintech ini menurutnya tidak melakukan kegiatan pinjam meminjam uang seperti apa yang dilakukan oleh perusahaan p2p lending yang sudah tercatat di OJK. Mereka justru bertindak kurang lebih seperti perusahaan pembiayaan (multifinance). Ditambah itu, mayoritas aduan yang diterima berasal dari sisi peminjam, bukan pemberi pinjaman.

“Dari sisi pendana tidak pernah ada yang mengadu, yang mengadu adalah korban yang sering kena tipu karena persyaratan sering berubah-ubah, denda tidak terbatas, dan ada tindakan intimidasi saat mereka tidak mampu membayar,” tambahnya.

Dalam menjalankan kegiatan penutupan ini, SWI mengaku telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, mulai dari perbankan, antar kementerian, kepolisian, hingga Google. Dengan perbankan misalnya, SWI meminta untuk memblokir rekening yang terdeteksi melakukan transaksi yang dicurigai dan tidak melayani fintech lending sebelum mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede mengingatkan masyarakat agar sebelum melakukan pinjaman, perlu dipastikan pihak yang menawarkan pinjaman online tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.

“Yang legal itu harus terdaftar di OJK dan sudah menjadi anggota AFPI. AFPI adalah asosiasi resmi dan mitra OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada anggota bila terbukti melanggar aturan dan kode etik,” ujar Tumbur.

Kesulitan karena tidak ada payung hukum

Tongam mengaku, dalam praktiknya pelaku memanfaatkan celah dari kekosongan hukum. Adapun perangkat hukum yang dibutuhkan antara lain ketiadaan UU Fintech untuk menjerat yang ilegal dan penyebaran data pribadi dan penagihan tidak beretika dengan KUHP, UU ITE, dan lainnya.

Dari sisi korban, mereka cenderung tidak melapor ke polisi malah lebih memilih lapor ke media sosial yang sebenarnya tidak akan memberi efek jera untuk pelaku fintech ilegal. Pun dari sisi SWI sendiri sulit untuk mencatat nilai valid kerugian ekonomi buat negara dari potensi pajak yang berhasil lari ke luar dari negara. Juga data rill jumlah peminjam dan investor tidak berhasil diperoleh.

Berikutnya, dari sisi penegak hukum belum ada prioritas penanganan perkara. Proses hukum lebih ke arah desk collection. Ditambah, biaya perkara tidak sebanding dengan kerugian yang diderita konsumen. “Kerugian ada di masyarakat, selain rugi materil ada juga psikis karena mereka diteror dan intimidasi saat penagihan.”

Langkah preventif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengetahui ciri-ciri fintech lending, antara lain tidak terdaftar di OJK; bunga dan jangka waktu pinjaman tidak jelas; alamat peminjaman tidak jelas dan sering berganti nama; media yang digunakan tidak hanya memakai aplikasi, tapi juga link unduh yang disebar melalui SMS atau dicantumkan dalam situs milik pelaku.

Berikutnya, ada penyebaran data pribadi peminjam; dan terakhir, tata cara penagihan tidak hanya kepada ke peminjam, tapi juga kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan, penyebaran fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual, dan biasanya penagihan sebelum jatuh tempo.

Gojek Tambah Layanan GoService, Tawarkan Solusi Pengurusan Kendaraan Bermotor

Gojek bersama JumpaPay mengumumkan layanan teranyar GoService untuk memudahkan pelanggan membayar kewajiban pajak dan mengurus administrasi surat-surat kendaraan bermotor secara online. GoService melengkapi rangkaian layanan bersama pihak ketiga (third party platform) yang telah dirintis Gojek bersama beragam mitra sejak tahun lalu.

Head of Third Party Platform Gojek Sony Radityo menjelaskan, GoService memberikan solusi efisiensi waktu dari sisi first mile saat pengajuan proses pembayaran pajak, perpanjangan (tahunan dan lima tahunan), balik nama, hingga blokir STNK.

“Efisiensi merupakan kunci penting kehadiran GoService dalam ekosistem kami, sehingga pelanggan bisa lebih produktif dengan menghemat waktu hingga 24 kali lebih cepat,” tutur Sony dalam konferensi pers online, Senin (13/7).

Pengguna cukup mengisi form secara online dari aplikasi Gojek. Seluruh proses pengajuan ini hanya memakan waktu 5-10 menit dari semula bisa memakan waktu antara 2-4 jam bila secara manual. Berikutnya, tim agen dari JumpaPay yang akan memroses seluruh permintaan pengguna hingga selesai.

Adapun biaya jasa GoService, adminsitrasi, dan biaya pengiriman dipatok mulai dari Rp40 ribu untuk biaya dasar jasa pengurusan perpanjangan tahunan dan lima tahunan untuk roda dua, dan Rp60 ribu untuk roda dua. Untuk jasa lainnya seperti pengurusan balik nama, biaya jasanya mulai dari Rp125 ribu untuk roda, dan sebagainya.

Seluruh biaya ini akan dipaparkan secara transparan di aplikasi dan cukup membayarnya melalui GoPay. Proses pengurusan akan tergantung jasa yang dipilih pengguna, misalnya untuk perpanjangan STNK tahunan dan lima tahunan kurang lebih tiga hari kerja, atau balik nama sekitar 3-5 hari kerja.

Layanan JumpaPay

Dalam kesempatan yang sama, CEO dan Founder JumpaPay Zulfan Fajar menambahkan perusahaan pertama kali dirintis pada tahun 2018 sebagai penyedia jasa profesional untuk sejumlah perusahaan besar yang telah terdaftar secara resmi di beberapa Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat).

Konsumen dari JumpaPay pada saat itu datang dari korporasi yang membutuhkan solusi pengurusan perpanjangan kewajiban pajak kendaraan dan surat-surat kendaraan terkait lainnya yang sarat dengan tantangan dan hambatan.

“Lalu kita survei ternyata ada kebutuhan yang tinggi dari sisi pemilik kendaraan pribadi terutama yang tinggal di kota besar. Akhirnya kita kembangkan teknologi dan solusi yang kita tawarkan sejalan dengan apa yang Gojek jalankan,” ujar Zulfan.

Perusahaan juga sempat masuk ke program inkubasi dan akselerator milik Telkom, Indigo pada tahun lalu. Zulfan mengaku pada saat itu perusahaan mulai merambah layanan untuk konsumen individu. Diklaim hampir 70% dari jumlah konsumennya datang dari sana.

Sony melanjutkan pihaknya menunggu masukan dari para pengguna Gojek untuk pengembangan GoService ke depannya. “Spirit kita adalah membawa sesuatu yang bisa mempermudah hidup pengguna Gojek. Jadi kita ingin mendengarkan suara pengguna sebelum membawa layanan baru.”

Sebelum diresmikan ke publik, Gojek telah melakukan uji coba per Mei kemarin. Hasil yang didapatkan, meski tidak menyebutkan angka detailnya, telah terjadi ratusan transaksi dengan kenaikan antara 3-4 kali lipat sejak bulan pertama dirilis.

Saat ini GoService sudah bisa diakses pengguna Gojek dalam bentuk shuffe card di halaman utama aplikasi. Hanya saja, cakupan layanan baru bisa digunakan untuk kendaraan dengan kode plat B yang meliputi wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Layanan bersama pihak ketiga lainnya yang telah dirilis Gojek, antara lain GoGive, GoMed, GoMall, GoFitness, GoSure, dan GoInvestasi. Sony mengatakan jangkauan aplikasi dan keandalan teknologi Gojek melalui konsep bisnis ini telah menjadikan ekosistemnya sebagai platform efektif untuk mendorong para mitra bisnis dalam mengembangkan cakupan dan skala bisnis mereka.

“Hal ini dibuktikan dengan total transaksi berbagai layanan third party platform secara kumulatif tumbuh lebih dari tiga kali lipat dalam satu tahun terakhir,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Menyimak Dukungan Venture Capital kepada Portofolio di Tengah Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan terpaksa harus menunda kegiatan penggalangan dana yang biasanya secara aktif dilakukan oleh venture capital asing dan lokal di Indonesia. Meskipun demikian masih ada beberapa VC yang tetap melakukan kegiatan tersebut, dengan menerapkan proses kurasi startup yang lebih ketat dan fokus, menyesuaikan kondisi saat ini.

Dalam sesi Startup Clinic kolaborasi antara Venturra Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia dan Alpha Momentum Indonesia, beberapa VC turut membagikan tips dan cerita manajemen portofolio mereka, dan bagaimana pandemi bisa menjadi momentum yang paling relevan, untuk melihat kekuatan dan potensi startup.

Waktu yang tepat untuk slow down

Jika sebelumnya mungkin kebanyakan VC memiliki target berapa startup yang diincar untuk bergabung dalam portofolio, menurut Senior Investment Analyst Monk’s Hill Ventures RJ Balmater, saat ini menjadi waktu yang tepat bagi VC untuk melonggarkan ikat pinggang sekaligus fokus kepada vertikal bisnis yang tepat dan terbaik untuk investasi. Di sisi lain RJ juga melihat bagi startup juga bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menyimak kembali keunggulan dari perusahaan dan tentunya model bisnis yang dimiliki.

“Pada akhirnya VC ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki bisnis yang sehat bukan sekadar apakah mereka bisa survive di kondisi saat ini,” kata RJ.

Hal senada juga diungkapkan oleh VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan, bukan hanya melihat key market, penundaan investasi yang sekarang banyak dilakukan juga bisa dimanfaatkan VC untuk melihat lebih mendalam, kekuatan yang dimiliki oleh startup, baik yang ada dalam portofolio atau mereka yang sebelumnya sudah dilirik dan memiliki potensi.

Sementara itu menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, memanfaatkan data yang ada, harus dilakukan analisis lebih mendalam untuk melihat potensi yang ada saat ini. Pastikan model bisnis yang dimiliki sudah menyesuaikan kondisi saat ini, dilihat dari pasar yang tidak pasti hingga kemungkinan perusahaan tidak bisa survive. Di sisi lain Arya melihat layanan seperti groceries dan delivery bisa tumbuh secara positif memanfaatkan momen saat ini.

“Untuk early stage startup saya melihat masih ada masa depan yang baik untuk melakukan penggalangan dana, namun ketika pandemi sudah mulai surut dalam waktu dua tahun ke depan,” kata Arya.

Dukungan moral dan jaringan VC

Hal lain yang kemudian menjadi prioritas VC saat pandemi adalah, dukungan moral hingga jaringan luas yang dimiliki, guna membantu startup hingga founder. Untuk Arya, semua founder yang tergabung dalam portofolio miliknya berhak untuk mendapatkan dukungan konsultasi secara one-on-one hingga konsultasi khusus oleh psikolog. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesehatan mental para founder, yang kerap tertekan mengurusi startup saat pandemi berlangsung.

“Kami juga mencoba membantu portofolio kami untuk mengembangkan cara baru yang bisa bermanfaat. Salah satunya adalah Ride Jakarta yang didirikan oleh Gita Sjahrir. Memanfaatkan layanan secara online, kini pengguna bisa menikmati pelatihan langsung dari para coach secara mudah dan dengan harga yang terjangkau. Bukan hanya pengguna di Indonesia, mereka yang tinggal di Singapura juga banyak yang mencoba layanan online tersebut,” kata Arya.

Sementara itu bagi Kejora dan SBI yang selama ini sudah menjalankan bisnis lebih dari sekedar VC, memastikan untuk terus memberikan dukungan kepada ekosistem. Bukan hanya kepada investasi baru namun juga mereka yang sudah masuk ke dalam pipe line.

“Kita tidak mau meninggalkan mereka, cara terbaik adalah menghubungkan mereka dengan ekosistem kita. Apakah melalui pengerjaan pilot project, hal ini kami lakukan untuk memastikan mereka bisa tetap menjalankan bisnis. Dari situ nantinya kita akan bicarakan kembali apakah ada langkah investasi lanjutan atau tidak,” kata Richie.

Memanfaatkan teknologi dan tools yang tepat, semua portofolio di Monk’s Hill bisa memanfaatkan jaringan komunikasi antar sesama founder untuk melakukan konsultasi dan kemungkinan untuk kolaborasi. Pihak VC juga siap untuk membantu semua startup agar terus bisa memberikan dukungan. Monk’s Hill juga melakukan organisasi data yang bertujuan untuk melihat secara keseluruhan portofolio yang dimiliki dan KPI dari masing-masing startup.

Diversifikasi dan keputusan untuk menutup bisnis

Saat pandemi mulai banyak startup yang melakukan diversifikasi dengan menghadirkan layanan baru atau melakukan pivoting menyesuaikan kondisi saat ini dan agar tetap bisa relevan. Menurut Richie, hal ini sah-sah saja dilakukan, asal startup bisa memastikan ketika pada akhirnya pandemi berakhir, bisnis baru yang dihadirkan bisa terus berjalan. Bukan sekedar memanfaatkan momentum saja.

“Menurut saya semua harus kembali kepada bisnis yang dimiliki. Jika tidak yakin melakukan pivot lebih baik tidak dilakukan, meskipun saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan uji coba. Saat krisis ini fokus kepada revenue dari pada mulai eksplorasi layanan baru,” kata Arya.

Di tambahkan olehnya, saat ini di Indonesia kebanyakan perusahaan mencontoh perusahaan lain, ketika ingin menghadirkan layanan baru. Pastikan semua merupakan keputusan yang tepat, bukan hanya memanfaatkan kondisi dan kesempatan yang ada.

Sementara itu menurut Arya hal penting yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai layanan atau bisnis baru yang dihadirkan bisa mengganggu jalannya bisnis. Jika memang startup memiliki kemampuan, tools hingga sumber daya untuk membangun layanan baru, bisa saja dilakukan.

Terkait dengan keputusan dari startup untuk memberhentikan bisnis mereka, akibat dari pandemi, masing-masing VC mengklaim mengalami beberapa kegagalan dari portofolio yang dimiliki. Kondisi ini memang tidak bisa dipungkiri, cara tepat yang kemudian bisa dilakukan adalah, apakah startup bisa menerapkan cara yang lean atau kemudian benar-benar memberhentikan startup mereka.

“Pada akhirnya ketika pengurangan pegawai atau keputusan lainnya yang harus diambil menjadi bijaksana untuk dilakukan. Jika proses atau langkah tersebut bisa membantu startup untuk bisa survive,” kata RJ.

Raksasa E-commerce Korea Selatan “Coupang” Akuisisi Aset Digital Hooq

Coupang Corp. selaku raksasa e-commerce Korea Selatan dikabarkan telah membeli aset platform video streaming Hooq. Kabar ini pertama kali dirilis Bloomberg, mengutip dari narasumber yang dekat dengan kesepakatan.

Tidak disampaikan detail mengenai nilai akuisisi. Yang jelas, aset digital Hooq akan dijadikan bahan bakar Coupang dalam berkompetisi di pasar OTT setempat. Sebelumnya Netflix (jadi yang terpopuler saat ini) juga sudah terlebih dulu hadirkan layanan video streaming di sana.

Di Korea Selatan, Coupang menjadi pemain kunci di sektor e-commerce. Startup yang didukung SoftBank Vision Fund, Sequoia Capital, dan sejumlah investor ini telah membukukan valuasi sekitar US$9 miliar. Tahun ini, perusahaan yang didirikan Bom Kim ini menginjak usia 10 tahun.

Di Asia Tenggara, Hooq menyudahi layanannya per April 2020 lalu. Disebabkan para pemegang saham mayoritas yang mengajukan likuidasi dengan dalih ingin fokus ke bisnis utama. Mereka menilai model bisnis video streaming yang dijalankan Hooq kurang signifikan hasilnya.

Cakupan Hooq fokus pada konten film dan serial televisi lokal. Termasuk memungkinkan pengguna untuk melakukan streaming tayangan televisi melalui aplikasi. Pendekatan konten orisinal juga sudah diupayakan, namun apa daya pasar kurang menyambut baik.

Hooq juga sajikan film Hollywood dan Asia, ini mungkin juga bisa jadi salah satu aset komplementer yang bisa dimanfaatkan Coupang untuk memulai layanan video streaming-nya, selain teknologi/perangkat lunak yang dimiliki Hooq itu sendiri.

Traveloka Dikabarkan Finalisasi Pendanaan Baru, Valuasi Turun di Angka $2,75 Miliar

Traveloka dikabarkan kembali mendapatkan pendanaan baru. Menurut sumber yang dikutip Bloomberg, perusahaan dalam negosiasi tahap akhir dengan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank dan FWD Group — juga investor terdahulu, seperti GIC dan East Ventures.

Kendati kesepakatan masih bisa berubah, dana yang akan diamankan berada di kisaran $250 juta (3,6 triliun Rupiah). Lebih besar yang dikabarkan DealStreetAsia, yakni $100 juta (sekitar 1,4 triliun Rupiah).

Untuk mendapatkan dana itu, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19.

Tahun lalu, beberapa sumber laporan mengestimasi valuasi Traveloka menyentuh angka $4,5 miliar (hampir 65 triliun Rupiah). Tahun lalu juga mereka menargetkan mendapatkan dana baru di angka $500 juta (7,2 triliun Rupiah).

Semua bisnis di lanskap OTA mengalami gangguan besar akibat pandemi. Selain Traveloka, Expedia (salah satu investor Traveloka), di Q1 2020 mengalami penurunan total pesanan hingga 39%. Perusahaan afiliasi Traveloka di sektor hotel budget, Airy, bahkan menutup bisnisnya karena tidak sanggup lagi menanggung operasional bisnis.

Traveloka sendiri sudah santer melakukan layoff terhadap pegawainya, meskipun tidak diumumkan secara pasti berapa banyak pegawai yang terdampak.

Selain Traveloka, sejumlah startup unicorn Indonesia memang terus mencari pendanaan baru. Gojek sedang menggenapkan pendanaan Seri F-nya, sedangkan Tokopedia dikabarkan tengah membicarakan investasi lanjutan dengan Temasek dan Google.

Traveloka didirikan pada tahun 2012 oleh Ferry Unardi, Albert Zhang, dan Derianto Kusuma. Yang terakhir, sudah “exit” sejak November 2018 dan melepas jabatannya sebagai CTO. Layanan Traveloka sudah tersedia di beberapa negara di Asia Tenggara dan Australia.

Adaptasi bisnis

Satu-satunya pengharapan investor adalah pulihnya kembali bisnis travel pasca pandemi. Nyatanya new normal memang sedang diupayakan di banyak wilayah, namun kekhawatiran hadirnya gelombang baru Covid-19 membuat banyak masyarakat mengurungkan niat bepergian – di samping berbagai destinasi juga belum membuka diri akibat pembatasan.

Perusahaan sendiri tidak tinggal diam. Mereka mencoba berbenah. Dengan aset yang dimiliki, Traveloka  meluncurkan opsi aktivitas online melalui Xperience. Mereka juga mencoba mengoptimasi layanan fintech melalui beberapa produk, termasuk Paylater yang dikelola perusahaan finansialnya sendiri.

Application Information Will Show Up Here