Perusahaan Label Rekaman “Trinity Optima” Rambah Bisnis Esports Melalui Investasi ke GPX

Perusahaan label rekaman dan manajemen artis Trinity Optima Production (TOP) mengumumkan investasi ke perusahaan esports PT Generasi Tangguh Luar Biasa atau GPX (Generation of Power and Xtraordinary). Investasi strategis dengan nominal dirahasiakan ini dilakukan melalui anak usaha TOP, yakni Trinity Optima Plus (TOP+).

GPX sendiri merupakan tim esports sekaligus perusahaan talent management dan entertainment. Pendirinya adalah mantan pro player di skena kompetisi Mobile Legends Professional League (MPL), yakni Eko Julianto (Oura), Yurino Putra Angkawijaya (Donkey), dan Steven Kurniawan (Marsha).

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (11/10), CEO TOP Yonathan Nugraha menyampaikan perusahaannya tengah mengarah ke transformasi, salah satunya dengan mengembangkan ekosistem hiburan yang komprehensif di Indonesia. “Guna menuju ke arah itu, kami ingin masuk ke beragam sektor yang strategis dan tentunya punya value jangka panjang, salah satunya industri esports,” kata dia.

CEO GPX Eko Julianto menyampaikan apresiasinya kepada TOP+ atas investasi strategis ini. Bagi dia, kolaborasi strategis yang tepat dengan bisnis berpengalaman seperti TOP tentunya berperan penting dalam manajemen klub. “Ke depan, harapannya tim GPX bisa semakin profesional dalam mengelola bisnis internal dan eksternal juga, tidak hanya sebagai pemain,” ucap Eko.

Juru Bicara Muda Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) Yudistira Adipratama mengatakan, terdapat sekitar 465 juta penonton esports di seluruh dunia, angka ini naik 6,7% dari tahun sebelumnya. Di Indonesia saja, terdapat lebih dari 53 juta gamers dengan mayoritas usia berada di kelompok generasi muda.

Saat ini tercatat sejumlah perusahaan, mulai dari startup sampai perusahaan blue chip sudah menjajaki peluang bisnis di industri esports, baik sebagai sponsor maupun investor. Misalnya, Grup Djarum melalui perusahaan venture capital GDP Venture yang kini memegang saham untuk Indonesian Esports Premier League (IESPL), selaku penyelenggara Piala Presiden Esports.

Rencana sinergi kedua perusahaan

Kedua perusahaan akan saling bersinergi untuk menciptakan nilai tambah di industri esports. Menurut Direktur TOP+ Dwi Santoso, keahlian perusahaan turut disumbangkan untuk membesarkan GPX dan komunitasnya, selaras dengan core bisnis utamanya yang bergerak di artist management.

“Misalnya, saat melakukan rekrutmen pemain dan talent, pengelolaan perusahaan, aspek legal, dan good governance practice. Ke depan, kami akan menyelenggarakan event Talent Hunt dan juga turnamen berbasis komunitas yang menarget setidaknya 50 tim peserta dari seluruh Indonesia,” kata Dwi.

Dwi menambahkan, keputusan untuk masuk ke bisnis esports adalah bagian dari strategi agar tetap relevan di kalangan generasi muda. GPX sendiri dinilai punya pengaruh besar. “Banyak talenta baru yang tumbuh dengan melihat permainan Oura, Donkey, dan Marsha yang berkali-kali menang di liga esports dunia. Ketiga founder juga menyalurkan visi misi yang cocok dengan TOP+ lewat GPX, yaitu bisnis yang jujur dan talent oriented.”

Potensi bisnis esports tidak hanya terbatas pada kompetisi, lantaran yang terlihat jelas di mata konsumen adalah ketika ada kompetisi dan figur para roster (pemain), sukses mendorong brand masuk ke sana. Tapi di luar itu juga menawarkan banyak area yang bisa digarap untuk dimaksimalkan melalui penguatan ekosistem.

Saat ini area pendapatan dari esports terbagi ke dalam beberapa segmen, antara lain sponsor, iklan, merchandise, streaming, hak siar, publikasi, hingga kemungkinan cross sector brand extension. Pihaknya sudah lama melakukan pemetaan ini agar setiap talent dan partner yang dikelola punya daya saing dan nilai jual tinggi untuk karya atau skill mereka. “Termasuk untuk GPX, banyak rencana kolaborasi konten dan program di media digital yang masih kita eksplor,” pungkasnya.

Platform Manajemen Tenaga Kerja Harian “Workmate” Diakuisisi PERSOL Asia Pacific

Platform yang menghadirkan solusi manajemen staf dan tenaga kerja garis depan (frontline) Workmate secara resmi telah diakuisisi oleh PERSOL Asia Pacific.

Dengan akuisisi ini ke depannya Workmate bersama dengan PERSOL ingin mengakselerasi solusi tenaga kerja on-demand di Asia Pasifik. Meskipun telah diakuisisi, namun nantinya Workmate akan menjalankan bisnis secara independen.

PERSOL Asia Pasifik adalah bagian dari PERSOL Holdings, terdaftar di Bursa Efek Tokyo, Prime Market, dan salah satu perusahaan SDM terbesar di Jepang dengan penjualan 1,1 triliun Yen pada FY2021. PERSOL telah secara aktif berinvestasi di perusahaan teknologi SDM yang inovatif di Asia, termasuk Glints.

“Kami sangat senang bergabung dengan PERSOL pada tahap ini dalam perjalanan kami. Kami memiliki visi besar untuk mengubah cara pekerja kerah biru mencari pekerjaan. Menggabungkan teknologi Workmate dengan keahlian PERSOL dan infrastruktur regional menempatkan kami pada posisi yang lebih tinggi untuk bisa mewujudkan visi tersebut,” ujar Founder & CEO Workmate Mathew Ward.

Akuisisi ini akan memungkinkan Workmate untuk mempercepat investasinya ke teknologi dan penjualan serta mempercepat peluncuran mereka ke negara lainnya. Saat ini Workmate telah beroperasi di Thailand dan Indonesia, dan rencananya akan meluncur di Singapura bulan Oktober ini.

“Saya senang menyambut Workmate di PERSOL Group. Kami terkesan dengan nilai yang diberikan platform kepegawaian on-demand all-in-one Workmate kepada kandidat, pekerja, dan pemberi kerja dan sangat antusias untuk bermitra dengan mereka untuk mempercepat inovasi mereka dan memperluas layanan mereka ke pasar lain di Asia,” kata CEO PERSOL Asia Pacific Takayuki Yamazaki.

Hadirkan teknologi terkini

Pada tahun 2025, pasar rekrutmen tenaga kerja informal diprediksi meningkat 2x lipat. Namun, di balik potensi besar ini, metode pencarian tenaga kerja masih berkutat pada cara tradisional, seperti sosialisasi mulut ke mulut.

Secara khusus teknologi yang dihadirkan oleh Workmate adalah mendisrupsi agen kepegawaian tradisional untuk memungkinkan perusahaan dengan cepat mengakses para pekerja berkualitas tinggi yang telah diperiksa sebelumnya untuk pekerjaan kontrak jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam prosesnya platform ini memanfaatkan data yang dimiliki dalam algoritma penilaian kandidat yang didukung AI untuk meningkatkan kualitas pencocokan dan memberikan tingkat kehadiran, retensi pekerja, dan produktivitas yang lebih tinggi.

Didirikan pada tahun 2016, Workmate diluncurkan dengan tujuan untuk membantu bisnis menemukan dan mengelola staf frontline yang andal, dan bagi pekerja untuk mendapatkan pekerjaan yang konsisten di perusahaan terkemuka.

Tahun 2019 lalu perusahaan sebelumnya dikenal dengan Helpster berganti nama menjadi Workmate. Saat ini Workmate mengklaim telah membantu lebih dari 120 ribu pekerja frontline menemukan pekerjaan dan lebih dari 800 perusahaan telah menggunakan layanan dan teknologi dari Workmate.

Terakhir pada tahun 2019 Workmate telah membukukan pendanaan seri A senilai $5,2 juta yang dipimpin oleh Atlas Ventures dengan partisipasi Gobi Partners, Beacon Venture Capital, dan investor sebelumnya.

Di Indonesia sendiri, platform job marketplace yang mengkhususkan untuk pasar blue collar memang berkembang pesat. Baru-baru ini sejumlah startup debut dengan pendanaan awal, seperti Atma, Pintarnya, Lumina, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Dikabarkan Galang Pendanaan Seri D Lebih dari 2,5 Triliun Rupiah

Induk pengembang layanan paylater Kredivo, FinAccel, dikabarkan tengah menggalang pendanaan seri D. Menurut sumber, saat ini total dana sekitar $140 juta atau setara 2,5 triliun Rupiah telah terkumpul dari sejumlah investor termasuk Mirae Asset, Square Peg, Jungle Ventures, Openspace Ventures, dan beberapa nama lainnya.

Dengan pendanaan ini, diperkirakan valuasi FinAccel telah menyentuh $1,6 miliar. Pendanaan ekuitas terakhir yang diumumkan FinAccel adalah seri C pada akhir 2019, membukukan dana $90 juta dari MDI Ventures, Square Peg, Telkomsel Mitra Inovasi, dan investor lainnya.

Setelah itu mereka lebih banyak menerima pendanaan debt dan loan channeling untuk meningkatkan kemampuan layanan lending yang dimiliki. Salah satu yang terbesar adalah pinjaman 1,4 triliun Rupiah dari Victory Park Capital. Mereka juga mendapat komitmen joint financing dari DBS Indonesia senilai 2 triliun Rupiah pada tahun 2021 lalu.

Di Indonesia, FinAccel mengoperasikan dua unit bisnis utama, yakni paylater lewat Kredivo dan fintech cashloan lewat Kredifazz. Berdasarkan keterbukaan yang diinformasikan, per Agustus 2022 Kredifazz telah menyalurkan pinjaman 31,51 triliun Rupiah dengan pemberi peminjam di kisaran 4,23 juta akun dan peminjam aktif 1,6 juta akun.

Adapun aplikasi Kredivo saat ini sudah diunduh puluhan juta kali di Google Playstore. Layanannya juga telah terintegrasi di lebih dari 50 layanan marketplace dan e-commerce populer di Indonesia.

Potensi paylater masih besar

Menurut data yang dihimpun DSInnovate dalam “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021“, adopsi layanan paylater di Indonesia terus meningkat dari 2021-2028 dengan CAGR 27,4%. Di tahun 2021, kapitalisasi pasar yang berhasil dibukukan bisnis ini telah mencapai $1,5 miliar. Tingkat awareness layanan paylater juga sudah sangat baik, dari survei yang dilakukan 95% responden mengatakan telah memahami bagaimana mekanisme kerjanya.

Kredivo berhasil menjadi unicorn pertama dari segmen paylater di Indonesia. Kendati demikian, kini ia tengah bersaing dengan sejumlah platform lain mulai dari Akulaku, Gopaylater, Indodana, SPaylater, dan lain sebagainya.

Di tengah persaingan pasar ini, masing-masing mencoba menghadirkan proposisi nilai yang kuat. Beberapa pemain mengandalkan basis pengguna di platformnya — misalnya SPaylater untuk pengguna Shopee dan Gopaylater untuk pengguna Tokopedia/Gojek.

Adapun Atome memilih konsep O2O, mereka mengoptimalkan kehadiran untuk melayani pembayaran di ritel offline. Saat ini 60%+ total transaksi Atome berasal dari ritel offline. Meskipun demikian, Kredivo pun juga mulai melakukan penetrasi di ranah offline. Terbaru Kredivo menggandeng jaringan ritel Ramayana.

Application Information Will Show Up Here

ALAMI Kantongi Pendanaan Pra-Seri B, Dipimpin East Ventures

Startup platform p2p lending syariah ALAMI Group mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri B yang dipimpin oleh East Ventures, melalui growth fund. Tidak disebutkan nominal yang diterima perusahaan dalam putaran ini. Sejumlah investor dari putaran sebelumnya turut berpartisipasi, di antaranya AC Ventures, Quona Capital, dan FEBE Ventures.

Terdapat investor baru yang masuk, yakni Capria Ventures, VC berbasis Amerika Serikat. Investasi yang mereka kucurkan ini menandai debut perdananya untuk kawasan Asia Pasifik.

ALAMI akan menggunakan dana segar tersebut untuk memperkuat basis bisnisnya dengan memberikan akses layanan pembiayaan dan keuangan yang lebih baik dan mengikuti prinsip-prinsip Islam di Indonesia. Caranya dengan terus menciptakan teknologi keuangan berbasis syariah kelas dunia.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (10/10), Founder dan CEO ALAMI Group Dima Djani menyampaikan putaran pra-seri B ini menjadi validasi dan dukungan yang kuat dari para investor atas dampak positif yang diciptakan ALAMI di Indonesia. Terdapat potensi jangka panjang yang dilakukan ALAMI Group dengan membuka akses perbankan dan pembiayaan syariah, salah satunya melalui Bank Hijra untuk menghubungkan 230 juta umat Muslim dan UMKM di Indonesia.

“Kami akan berkomitmen dengan terus memberikan lebih banyak energi dan sumber daya ke depannya. Besar keyakinan kami akan potensi pasar yang dapat terlayani oleh produk dan layanan produk-produk kami,” kata Dima.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana turut mengatakan, keuangan syariah adalah salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat dalam industri keuangan dan perbankan. “Kami sangat percaya bahwa keahlian dan integritas yang kuat dari Dima dan tim, dibuktikan melalui pertumbuhan positif perusahaan dan target yang terlampaui, akan terus mengembangkan dan memberdayakan industri perbankan di Indonesia, menggerakkan laju inklusi keuangan menuju keberlanjutan,” ucapnnya.

Dima melanjutkan, UMKM Indonesia telah berangsur-angsur pulih dari pandemi, namun nyatanya masih terdapat kebutuhan pembiayaan dan akses pembiayaan bagi UMKM mencapai $108 miliar. P2P lending menawarkan solusi pinjaman keuangan yang cepat dan mudah sebagai solusi baru.

Pertumbuhan bisnis ALAMI

Sejak didirikan pada 2019, ALAMI telah menyalurkan Rp3,5 triliun dengan NPF sebesar 0% dan Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB90) mencapai 100%. ALAMI memiliki lebih dari 111 ribu investor p2p lending yang terlibat pada 10 ribu proyek UMKM, yang berfokus pada pertumbuhan eksponensial bagi UMKM Indonesia.

Kinerja yang ciamik ini diklaim karena didukung oleh rangkaian produk pembiayaan di ALAMI yang mampu menekan laju NPF dan kerja sama dengan BPRS untuk pembiayaan channeling maupun referral.

Kolaborasi antara ALAMI dengan BPRS dapat menjadi peluang bagi BPRS untuk menyalurkan pembiayaan kepada pelaku UMKM ke berbagai sektor dengan metode account receivable (AR) financing, purchase order (PO) Financing, maupun ecosystem financing, tentunya menggunakan akad syariah. Menejkan laju NPF ini adalah salah satu tantangan di BPRS. Berdasarkan data statistik perbankan syariah OJK per Februari 2022, NPF BPRS berada di level 7,27%.

Dari 165 BPRS yang ada di Indonesia, perusahaan sudah bekerja sama dengan 11 BPRS untuk pembiayaan dengan skema channeling dan referral dengan total plafon sebesar Rp108 miliar. Pembiayaan tersebut disalurkan ke berbagai industri, seperti human resources, logistik, healthcare, halal food, dan IT.

ALAMI memiliki beberapa produk pembiayaan, di antaranya Account Receivable (AR) Financing, Account Payable (AP) Financing, dan Ecosystem Financing. Dalam metode AR Financing, pembiayaan ditujukan bagi UMKM yang menyelesaikan proyek/pekerjaan dan telah melakukan penagihan pada pemberi kerja (klien), namun belum dilakukan pembayaran. Melalui produk ini, UMKM tersebut tetap mampu memastikan cash flow dan dapat mengerjakan pekerjaan lainnya tanpa khawatir atas keterlambatan pembayaran.

Sedangkan dalam metode AP Financing, pembiayaan diberikan berdasarkan invoice financing yang diterbitkan oleh supplier kepada penerima pembiayaan. ALAMI juga menyalurkan pembiayaan dengan metode Ecosystem Financing, yaitu pembiayaan berbasis ekosistem kepada anggota dari suatu ekosistem.

Anggota ekosistem merupakan pihak perorangan yang menjalankan aktivitas usaha tertentu untuk kemandirian ekonomi. Proses pengajuan hingga pencairan pembiayaan secara end to end dilakukan melalui platform digital, sehingga proses yang dilalui oleh calon penerima pembiayaan menjadi lebih cepat dan mudah.

Tim ALAMI kini mencapai lebih dari 484 orang yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, juga di luar negeri, seperti Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat yang seluruhnya berkebangsaan Indonesia. Pada awal berdiri tim ALAMI diisi oleh 38 orang.

eFishery Peroleh Pinjaman 500 Miliar Rupiah dari Bank DBS Indonesia

Startup aquatech eFishery dan Bank DBS Indonesia mengumumkan kerja sama dalam bentuk pinjaman jangka pendek (loan) senilai Rp500 miliar. Hal ini merupakan perdana bagi kedua perusahaan. Bagi DBS Indonesia ini adalah pinjaman pertama untuk sektor aquatech, sementara bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank sejak perusahaan didirikan pada 2013.

Terkait penyaluran pinjaman melalui platform fintech lending, DBS sudah bekerja sama dengan sejumlah startup lokal. Di antaranya bersama Zenius dengan komitmen 100 miliar Rupiah, kemudian limit joint financing dengan Kredivo senilai 2 triliun Rupiah.

Dalam konferensi pers yang digelar Jumat (7/10), Co-founder dan CEO eFishery Gibran Hufaizah mengucapkan rasa terima kasihnya atas kepercayaan Bank DBS Indonesia terhadap perusahaannya untuk menyalurkan pinjaman dana demi merealisasikan rencana strategisnya. Dana tersebut akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi revolusi sektor akuakultur dan meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan dan udang di Indonesia.

“Dengan adanya dukungan ini, kami akan mengembangkan produk dan layanan kami ke kancah internasional dan memberikan dampak yang lebih besar lagi ke sektor pangan,” kata dia.

Director of Institutional Banking Group Bank DBS Indonesia Kunardy Lie menyampaikan, pihaknya sangat senang bisa menyalurkan pinjaman modal kerja kepada eFishery yang sangat visioner dalam memanfaatkan inovasi teknologi untuk memodernisasi ekosistem akuakultur dengan berfokus pada tambak udang dan ikan.

“Komitmen Bank DBS Indonesia untuk bermitra dengan eFishery merupakan salah satu bentuk fokus kami untuk menumbuhkan industri ekonomi digital di Indonesia dan juga bagian dari keseriusan kami dalam mengelola bisnis dengan memerhatikan isu environment, social, dan governance (ESG),” ucap Kunardy.

Ditanya lebih jauh, pertimbangan eFishery mengambil dana pinjaman dari bank ketimbang menggalang dana dari modal ventura, alasannya karena dana dari bank bila dihitung untuk jangka panjang termasuk dana murah. Bila mengambil ekuitas, ada saham bernilai yang harus dilepas dari perusahaan buat investor. Yang mana, bila perusahaan bertumbuh dengan naik, untuk kembali membeli saham tersebut di kemudian hari, maka harga yang dikeluarkan lebih mahal daripada saat pertama dilepas.

Kondisi sebaliknya, bila menghitung dari pinjaman bank, justru biayanya lebih murah karena hanya melihat dari bunga yang harus dibayarkan. Terlebih itu, berhasil mendapat pinjaman dari bank membuktikan bahwa kini eFishery, sebagai startup aquatech berada diposisi yang berhasil dinilai bankable oleh bank. Baginya, saat ini eFishery berada dalam fase yang membutuhkan tidak hanya VC, tapi juga institusi finansial lain yang bisa mendukung bisnis bisa bertumbuh lebih cepat.

Gibran juga menginginkan eFishery ke depannya dapat menjadi perusahaan-perusahaan taipan yang kini menjadi pemimpin di industri, yang dalam proses awalnya mengandalkan institusi finansial dalam mengembangkan bisnis. “Sekarang kami berada di titik yang mature, skala bisnisnya besar, profit terlihat, risiko lebih mature, sehingga kita bisa tumbuhkan revenue di market yang predictable buat kita. Ini juga jadi bukti sebagai company yang dirasa sudah matang.”

Ambisi eFishery cukup besar dalam mengembangkan solusi aquatech-nya ke pasar global. Perusahaan mengincar ekspansi ke India, lalu secara bertahap ke Tiongkok atau Vietnam. Menurut Gibran, solusi yang dikembangkan eFishery ternyata lebih kompetitif dibandingkan yang sudah ada di pasar Tiongkok atau India. Kondisi tersebut sukses membuat kepercayaan diri eFishery bisa mereplikasi kisah suksesnya di Indonesia ke negara ekspansi selanjutnya cukup tinggi.

“Kalau ini bisa berjalan ini bisa jadi bersejarah karena biasanya perusahaan dari sana yang masuk ke Indonesia. Kita cukup ambisius bisa sukses di Indonesia, menciptakan kisah sukses sembilan tahun eFishery di Indonesia bisa dicapai dalam tiga tahun di India. Sebenarnya kita ada 10 negara yang ingin dimasuki dalam lima tahun ini, tapi Tiongkok dan Vietnam sudah pasti lebih dulu.”

Dukungan Bank DBS Indonesia untuk startup

Kunardy melanjutkan dalam proses mitigasi risiko, perusahaan sudah menilai berbagai aspek sebelum memberi pinjaman kepada perusahaan manapun, termasuk eFishery. Dari segi risiko, industri aquatech memang tidak lepas dari risiko, yang paling utamanya adalah risiko penyakit.

Namun dari sisi eFishery, mereka dapat menyeimbangkan risiko tersebut dengan data-data pendukung untuk mencegah terjadinya penyakit. Di antaranya, menyediakan platform eFarm untuk petambak udang yang di dalamnya tersedia disease prevention system. Fitur tersebut berisi program pencegahan wabah penyakit pada tambak udang dan solusi pengaturan kualitas air yang efektif serta ramah lingkungan dengan berbasis teknologi.

Budidaya udang terkenal menjanjikan namun lebih rentan penyakit, makanya fitur-fitur di eFarm lebih kompleks daripada solusi eFishery untuk ikan. “eFishery bisa menjembatani risk appetite perbankan dengan menyediakan data-data untuk bisa mengurangi risiko dalam bisnisnya. Hal ini yang bisa memberikan kami kenyamanan sebagai bank untuk menyalurkan kredit,” ucap Kunardy.

Sebagai catatan, pemberian pinjaman kepada startup digital sebenarnya bukan pertama kali bagi Bank DBS Indonesia. Sebelumnya, perbankan telah menyalurkan pinjaman untuk online travel agent (OTA) dan Broom, startup penyedia platform bisnis showroom.

“Dalam menyalurkan pinjaman kita selalu lihat dari berbagai sisi, kebetulan banyak startup yang masih cetak loss. Meski loss, kita tetap berikan karena kita lihat potensi ke depannya. Apakah startup ini sudah menggurita di komunitasnya dan bisa berikan pengaruh. Kita bisa bantu mereka untuk terus grow.”

Sampai tutup tahun ini, Bank DBS Indonesia akan menyalurkan dua pinjaman untuk startup. Meski tidak bisa disebutkan identitasnya, namun startup tersebut satu bergerak sebagai superapp dan satu lagi di OTA. “Yang pertama, pinjamannya senilai Rp1,4 triliun dan satunya lagi sekitar Rp200 miliar.”

Adapun pinjaman khusus ESG, eFishery masuk sebagai startup pertama dalam outstanding pinjaman di Bank DBS Indonesia. Sudah ada beberapa inisiatif yang dilakukan perbankan, salah satunya pinjaman untuk anak usaha Indika Energy, yakni PT Jaya Bumi Paser sebesar $275 juta. Perusahaan ini bergerak di energi terbarukan berbasis biomassa.

Application Information Will Show Up Here

Wahyoo Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B

Platform digitalisasi warung “Wahyoo” dikabarkan tengah menggalang pendanaan seri B. Dari data yang sudah dimasukkan ke regulator, saat ini putaran tersebut telah membukukan sekitar $6 juta atau setara 92 miliar Rupiah.

Sejumlah investor berpartisipasi di pendanaan ini, seperti Eugene Investment, Intudo Ventures, Asia Horizon, PT Trinity Optima, East Ventures, Indogen Capital, dan sejumlah lainnya.

Terakhir, Wahyoo secara resmi mengumumkan pendanaan dalam putaran seri A senilai 73 miliar Rupiah dipimpin Intudo Ventures pada Agustus 2020 lalu. Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer mengungkapkan, strategi bisnis dan rencana startupnya adalah memberikan dampak sosial kepada pelaku UMKM di Indonesia, khususnya pemilik warung makan.

Melansir data di situsnya, sejak didirikan tahun 2017 saat ini sudah ada lebih dari 27 ribu usaha F&B dengan sekala mikro s/d menengah yang telah dilayani Wahyoo. Salah satu layanan yang kini digenjot adalah e-commerce pemenuhan bahan baku, menyediakan lebih dari 2000 bahan segar — dengan area cakupan baru di seputar Jabodetabek dan Karawang.

Selain itu, Wahyoo telah mengembangkan unit bisnis “Bikin Tajir Group” untuk memanfaatkan aset dapur mitra UMKM kuliner guna mengoperasikan usaha cloud kitchen. Beberapa brand yang telah berjalan seperti Bebek Goreng Bikin Tajir dan Bakso Bikin Tajir yang dapat dioperasikan oleh mitra UMKM kuliner Wahyoo.

Untuk menambah potensi bisnis, Wahyoo juga telah lakukan sejumlah aksi penting. Salah satunya pada awal tahun 2022 mereka mengakuisisi Alamat.com — sebuah startup yang telah membantu 35 ribu pemilik bisnis offline mengadopsi teknologi online. Kolaborasi kedua startup dinilai dapat meningkatkan kehadiran warung dan pemilik usaha F&B naik kelas lewat platform digital yang dikembangkan bersama.

Di tengah pandemi, Wahyoo juga sempat menghadirkan platform online grocery B2C Langganan.co.id. Namun demikian, platform tersebut ditutup tahun lalu dengan dalih fokus Wahyoo ingin menggarap segmen B2B.

Dalam sebuah wawancara bersama DailySocial.id, Peter pernah mengatakan, “Memang warung makan tradisional terlihat kecil, tapi ternyata banyak sekali permasalahan yang perlu dibenahi dan mereka perlu dibantu. Kami percaya ketika mereka terbantu, efek ekonomi, efek lingkungan, efek sosial budaya yang lebih baik akan secara otomatis membuat Indonesia lebih baik.”

“Saat ini kami menargetkan [membantu] seluruh UMKM Kuliner, tidak hanya warung makan tapi juga mungkin tempat makan dan rumah makan yang skalanya kecil dan menengah. Dengan adanya infrastruktur yang sudah terbangun selama 4 tahun, dengan pengalaman dan kemampuan yang kami miliki, kami ingin dampak yang lebih luas lagi,” kata Peter.

Application Information Will Show Up Here

GajiGesa Tawarkan Akses Pencairan Gaji Instan Melalui WhatsApp

Platform penyedia akses gaji lebih awal atau earned wage access (EWA), GajiGesa, meluncurkan inovasi terbarunya yang memungkinkan karyawan untuk mengakses pendapatan mereka secara real-time, serta mencairkan sebagian upah mereka melalui WhatsApp. Inovasi ini diklaim menjadi yang pertama, kendati solusi berbasis EWA memang tengah ramai-ramai dikembangkan oleh banyak startup di Indonesia dan dunia.

Platform GajiGesa sendiri memungkinkan perusahaan mitra mengelola data karyawan dan arus kas secara efektif dan mudah, baik untuk manfaat keuangan, kesehatan, dan pendidikan holistik kepada karyawan. Karyawan pun dapat menarik gaji yang mereka peroleh sesuai permintaan dan lebih cepat dari siklus pembayaran tradisional pada akhir bulan.

Bagi pengguna yang memiliki akses atau pemahaman terbatas dengan teknologi, fitur WhatsApp dapat memudahkan akses hanya dengan mengirim pesan ke GajiGesa menggunakan nomor yang sudah berhasil terdaftar. Setelah proses tersebut, pengguna akan mendapatkan instruksi yang mudah dilakukan dan dapat langsung melakukan transaksi.

Co-Founder GajiGesa Martyna Malinowska mengungkapkan fakta bahwa terdapat lebih dari 70% populasi orang dewasa di Asia Tenggara hidup dengan akses keuangan yang terbatas. Indonesia, dengan penduduk mencapai 270 juta jiwa, menyumbang setidaknya 6% populasi dunia yang tidak memiliki rekening bank.

Selama beberapa dekade, pasar ini disebut telah terpengaruh oleh rendahnya tingkat literasi keuangan, tidak adanya biro kredit formal sehingga menghasilkan data kredit yang buruk, bahkan tidak ada sama sekali. Semua itu belum termasuk kendala infrastruktur yang signifikan.

“Kami sangat antusias dalam mempelopori upaya untuk memastikan layanan keuangan inovatif yang didukung oleh teknologi memiliki potensi untuk mempercepat inklusi keuangan pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penetrasi WhatsApp di pasar seperti Indonesia akan membantu GajiGesa membuat sistem EWA ini lebih terjangkau bagi jutaan orang di seluruh Asia Tenggara,” tambahnya.

Sejak didirikan pada pertengahan 2020, solusi GajiGesa telah menjadi alat pemberdayaan yang sangat berharga bagi pengusaha dan karyawannya di berbagai sektor termasuk pabrik, perkebunan, manufaktur, ritel, restoran, rumah sakit, dan perusahaan teknologi. Hingga saat ini, perusahaan telah bermitra dengan lebih dari 300 perusahaan dan telah membantu sekitar 750 ribu karyawan.

Platform salary-on-demand di Indonesia

Solusi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan finansial karyawan kian banyak bermunculan di ranah perusahaan fintech. Secara global, banyak perusahaan rintisan, penyedia layanan perbankan serta payment gateway yang berinisiatif menyediakan solusi untuk tekanan finansial yang cukup signifikan selama pandemi.

Laporan PwC yang bertajuk “Employee Financial Wellness” pada tahun 2022 menyebutkan bahwa di antara karyawan yang mengaku memiliki tekanan finansial merasakan dampak negatif yang cukup signifikan pada produktivitas, sekitar 67% berjuang untuk memenuhi pengeluaran rumah tangga mereka tepat waktu setiap bulan, 71% memiliki utang pribadi, dan 64% menggunakan kartu kredit untuk membayar untuk kebutuhan yang tidak mampu mereka beli.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa situasi pandemi yang masih berlangsung telah berdampak negatif pada keadaan ekonomi para pekerja berpenghasilan rendah dan menengah, sehingga banyak perusahaan membutuhkan solusi untuk membantu mengurangi tekanan finansial dari banyak pekerjanya.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan yang menawarkan layanan serupa, seperti wagely, Gajiku, Kini, dan GetPaid yang berambisi menyehatkan keuangan karyawan dengan akses gaji lebih awal. Kehadiran layanan seperti ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pinjaman konsumtif yang dianggap merugikan karena bunganya yang tinggi.

Di samping itu, beberapa perusahaan fintech juga mulai memperluas layanan mereka ke ranah salary-on-demand, di antaranya KoinGaji dari KoinWorks, Halogaji dari Halofina, serta pengembang layanan SaaS untuk bisnis Mekari melalui produk Mekari Flex. Pada akhirnya, semua layanan ini memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan fleksibilitas kepada pekerja untuk mengakses gajinya lebih dini.

Application Information Will Show Up Here

Menilik Perkembangan Bisnis ShopBack Setelah Bukukan Pendanaan Lebih dari 1,1 Triliun Rupiah

Setelah mengantongi putaran pendanaan seri F sebesar $80 juta atau sekitar 1,18 triliun rupiah bulan Juni 2022 lalu, startup agregator cashback ShopBack dikabarkan memiliki rencana untuk melakukan IPO. Putaran pendanaan tersebut membawa total modal yang dikumpulkan oleh ShopBack menjadi lebih dari $310 juta, membawa valuasi perusahaan di angka [sekitar] $900 juta.

Teranyar, salah satu unit milik Temasek, yakni 65 Equity Partners Holdings Pte akan bergabung ke dalam putaran seri F tersebut. Disebutkan juga oleh perwakilan dari 65 Equity Partners, investor yang terlibat dalam putaran pendanaan Seri F ini, nantinya akan mendapatkan board seat di ShopBack.

Rencana IPO di Singapura

Dilansir dari Bloomberg, ShopBack berencana melakukan IPO di Singapura. Perusahaan juga melirik potensi IPO di negara lain seperti Hong Kong, Australia, dan New York.

Sebelumnya, ShopBack mendapat pendanaan sebesar $45 juta (Rp643,5 miliar) yang dipimpin oleh EV Growth dan Rakuten serta partisipasi EDBI dan investor lainnya.

Galuh menyebutkan, saat ini perusahaan masih baru memasuki proses di tahap awal, dan ke depannya akan terbuka menyampaikan berbagai kemungkinan yang ada.

Saat ini ShopBack mengantongi 35 juta pengguna dan beroperasi di 10 negara, termasuk Singapura, Indonesia, Korea Selatan, dan Australia. Tahun lalu, ShopBack memperluas layanannya dengan mencaplok platform “Buy Now, Pay Later” (BNPL) Hoolah asal Singapura.

Setelah akuisisi Hoolah, ShopBack menunjuk Hamish Moline, mantan CMO di perusahaan fintech Australia Zip Co., sebagai Managing Director untuk layanan keuangan.

Memperluas model bisnis

ShopBack didirikan di 2014 oleh Henry Chan dan Joel Leong. Sejak beberapa tahun lalu perusahaan juga mulai merambah ke bisnis model yang lain di luar online cashback. Misalnya, ShopBack Voucher, layanan yang memungkinkan pengguna ShopBack untuk membeli voucher dari rekanan, baik dengan pembayaran melalui debit/kartu kredit, ataupun dengan cashback yang ada di akun ShopBack pengguna. Layanan ini tersedia di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Selain itu, ada ShopBack Mart, yang menyatukan pengalaman belanja online to offline. Dengan ShopBack Mart, pengguna bisa berbelanja di toko offline, melakukan scanning terhadap struk belanja, dan mendapatkan cashback. Layanan ini tersedia di Taiwan.

Mulai akhir tahun lalu, mereka juga merilis ShopBack Pay dan ShopBack PayLater, yang memungkinkan pengguna untuk mendapatkan keringanan bayar 3x dengan bunga 0%. Saat ini, ShopBack Pay dan PayLater ada di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan Thailand. Di luar dari itu, perusahaan juga mempunyai beberapa prototype business model yang sedang diuji-coba, termasuk di Indonesia.

“Seperti semua business model, tantangannya adalah bagaimana agar produk yang kami luncurkan bisa sesuai dengan masyarakat dan diterima oleh kebanyakan orang,” kata General Manager ShopBack Indonesia Galuh Kirana.

Terkait dengan target ShopBack untuk pasar Indonesia, Galuh mengungkapkan untuk bisa menjadi aplikasi yang membuat belanja tidak hanya menyenangkan, tapi juga memberikan keuntungan. Perusahaan juga ingin terus membesarkan komunitas smart shopper di Indonesia.

Di luar hal tersebut, dari sisi bisnis, mereka ingin terus berkembang dan menjadi rekan bisnis yang dapat membantu partner mencapai tujuan untuk menjadi perusahaan yang profitable.

Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb situs ShopBack menempati peringkat 6 di antara platform e-commerce lainnya dengan kunjungan bulanan rata-rata hampir 600 ribu, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Mengindikasikan basis pengguna yang cukup besar ke layanan ini. Sementara di Google Play, untuk kategori Shopping, ShopBack menempati peringkat 19 — di bawah aplikasi e-commerce dan tertinggi untuk jenis aplikasi serupa.

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech Asal Singapura “Bolttech” Akuisisi Axle Asia, Perkuat Kehadiran di Indonesia

Startup insurtech asal Singapura Bolttech mengakuisisi kepemilikan saham mayoritas perusahaan broker asuransi Indonesia, yakni PT Axle Asia. Dengan aksi korporasi ini, Axle Asia resmi menjadi anak usaha dan selanjutnya akan melakukan rebranding.

Dalam keterangan resminya, akuisisi ini menjadi strategi untuk mengakselerasi distribusi kapabilitas Bolttech di Indonesia dalam menawarkan produk asuransi sekaligus melengkapi solusi bisnis existing.

Group CEO Bolttech Rob Schimek mengungkap, misi perusahaannya adalah membangun ekosistem perlindungan dan asuransi berbasis teknologi di dunia. “Angka pertumbuhan di Indonesia termasuk yang paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan ini membuka peluang bagi solusi-solusi insurtech dalam memenuhi kebutuhan konsumen lokal dan rekanan bisnis yang berubah secara dinamis,” ujarnya.

Diketahui, Bolttech tengah gencar mendorong ekspansi layanannya dengan mengakuisisi dua perusahaan di bidang asuransi selama hampir dua tahun terakhir. Bolttech mencaplok I-surance (Spanyol) di 2021 dan Ava Insurance Brokers (Singapura) di awal 2022.

Bolttech memperoleh status unicorn dalam kurun waktu 15 bulan sejak berdiri pada April 2020. Pendanaan Bolttech telah didukung oleh sejumlah investor, termasuk Alpha Leonis Partners, Dowling Capital Partners, B. Riley Venture Capital.

Sementara, Axle Asia adalah perusahaan broker asuransi berbasis di Jakarta yang berdiri di 2008. Axle Asia merupakan anak usaha dari aliansi strategis antara Axle Indonesia dan PT True Capital.

Komisaris Axle Asia Junaedy Ganie mengatakan, platform Bolttech saat ini memiliki posisi terdepan untuk membentuk masa depan distribusi asuransi. “Akuisisi ini akan memperkuat komitmen kedua perusahaan dalam menghasilkan inovasi dan menawarkan lebih banyak pilihan asuransi pada konsumen di Indonesia secara lebih cepat,” ungkapnya.

Adapun, pasca-akuisisi Axle Asia, Bolttech telah menunjuk Srinath Narasimhan sebagai General Manager untuk mengawasi pertumbuhan Bolttech di Indonesia.

Bolttech kini memiliki lebih dari 800 rekanan distribusi dan 200 perusahaan asuransi dalam jaringannya, serta resmi terdaftar pada 36 jurisdiksi internasional. Bolttech juga telah menawarkan premi asuransi bernilai lebih dari $50 miliar di seluruh dunia. Layanannya telah menjangkau 30 pasar di tiga benua, yakni Amerika Utara, Asia dan Eropa.

Pasar asuransi

Peluang untuk mendigitaliasi sektor asuransi masih sangat besar di Indonesia mengingat penetrasinya masih sangat rendah. Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), tingkat penetrasi asuransi jiwa saja di Indonesia pada 2020 berkisar 1,2%, tertinggal dari Thailand (3,4%), Malaysia (4%), Jepang (5,8%), Singapura (7,6%), dan Hong Kong (19,2%).

Rendahnya penetrasi asuransi salah satunya dikarenakan tingkat literasi dan inklusi keuangan yang minim. Mengacu Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) di 2019, tingkat inklusi keuangan di Indonesia memang telah mencapai 76,19% dan tingkat literasi keuangan menyentuh 38,03%. Namun, tingkat inklusi asuransi baru sebesar 13,15% dan tingkat literasinya 19,4%.

Sejumlah startup insurtech berupaya mengambil kue dari peluang pasar dengan menawarkan nilai proposisi yang berbeda-beda. Salah satu pemain insurtech lama, Qoala memosisikan platformnya untuk segmen retail. Sementara, Aigis membidik segmen bisnis melalui layanan manajemen asuransi yang dipadukan dengan fitur wellness. 

Ada pula Rey Assurance yang mengklaim sebagai platform penyedia asuransi jiwa dan kesehatan pertama yang terintegrasi dengan ekosistem kesehatan dan wellness.

PasarPolis Rilis Aplikasi “TAP Insure” untuk Jangkau Konsumen Ritel

Startup insurtech PasarPolis merilis aplikasi TAP Insure untuk menjangkau konsumen ritel sebagai bentuk perluasan jalur distribusi. Saat ini aplikasi sudah bisa diunduh melalui AppStore dan Google Play.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing menjelaskan, kehadiran TAP Insure menandai hadirnya brand terbaru PasarPolis, yang akan menjadi brand dari berbagai produk asuransi yang bakal di tawarkan ke depannya.

Proposisi TAP berbeda dengan bisnis yang selama ini diterapkan PasarPolis yakni B2B2C karena merupakan channel distribusi yang memungkinkan PasarPolis untuk dapat memasarkan produk asuransinya secara langsung kepada konsumen.

“Hal ini kami lakukan untuk mengeliminasi hambatan berasuransi yang kerap timbul karena kurangnya akses dan proses berasuransi yang cenderung rumit. Inovasi ini juga merupakan strategi PasarPolis untuk terus menciptakan pengalaman berasuransi konsumen yang jauh lebih mudah diakses, terjangkau, dan menyenangkan,” kata Cleosent, Kamis (6/10).

Lebih lanjut, ia melihat bahwa kebiasaan masyarakat yang serba digital juga menciptakan kebutuhan berasuransi yang serba digital dan seamless. Hal ini mengindikasikan kebutuhan berasuransi semakin melekat dengan kebutuhan sehari-hari, terlebih dengan potensi risiko yang selalu melekat.

“Kami optimis dengan kehadiran TAP Insure akan membuat pengalaman konsumen dalam berasuransi menjadi seamless dan relevan dengan kebutuhan masyarakat karena semua dilakukan dalam satu aplikasi semudah nge-TAP saja, mulai dari pemilihan produk asuransi, pembelian, hingga klaim, dan tentunya dengan biaya premi yang terjangkau.”

Sejauh ini, terdapat dua produk asuransi dalam aplikasi TAP Insure yang bisa diakses konsumen, yakni asuransi perjalanan dan kecelakaan diri. Untuk asuransi perjalanan, pelanggan akan mendapatkan perlindungan dari risiko finansial saat melakukan perjalanan di dalam dan luar negeri, seperti adanya penundaan/pembatalan/gangguan perjalanan, bagasi hilang/rusak/tertunda, dan lainnya. Harga premi yang dapat dibeli mulai dari Rp25 ribu dengan periode perlindungan mulai dari satu hari.

Kemudian, untuk kecelakaan diri, memberikan perlindungan yang mencakup cedera atau kematian yang timbul dari kecelakaan dengan premi yang dimulai dari kisaran Rp56 ribu dengan waktu perlindungan mulai dari enam bulan. Manfaat yang diterima juga berlaku pada keadaan cedera dan kematian yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan.

Perusahaan broker

Sebagai catatan, TAP Insure ini dihadirkan oleh PasarPolis bekerja sama dengan perusahaan pialang asuransi PT PasarPolis Insurance Broker, yang sebelumnya bernama PT Futura Finansial Prosperindo.

Saat dihubungi DailySocial.id, perwakilan perusahaan membenarkan perubahan nama tersebut. Namun, mereka tidak bersedia berkomentar lebih jauh alasan dibalik menggunakan brand yang sama dengan PasarPolis. Dalam catatan OJK, PasarPolis (PT Pasarpolis Indonesia) berada di bawah pengawasan sebagai IKD dengan model bisnis insurance hub.

Hubungan antara kedua perusahaan sebenarnya bukanlah hal baru. Sebelum badan hukumnya berubah, Futura Finansial sudah bekerja sama dengan berbagai inisiatif dari PasarPolis, misalnya saat peluncuran aplikasi khusus agen PasarPolis Mitra pada Desember 2020.

Langkah serupa sebetulnya juga dilakukan oleh kompetitor terdekatnya, Qoala. Startup tersebut juga bermitra dengan PT Mitra Jasa Pratama untuk ekspansi produk, salah satunya QoalaPlus, aplikasi keagenan milik Qoala. Dalam situs Mitra Jasa, COO Qoala Tommy Martin menjabat Komisaris Utama, mengindikasikan posisi perusahaan pialang tersebut terafiliasi dengan Qoala.

Seperti diketahui, dengan memegang lisensi sebagai perusahaan broker, perusahaan dapat ekspansi layanan dengan berbagai perusahaan asuransi, sekaligus upaya meningkatkan rasa kepercayaan dari nasabah asuransi mencegah tindakan moral hazard.

Application Information Will Show Up Here