Dapat Pendanaan Awal, Charged Indonesia Segera Rilis Motor Listrik Perdananya Oktober 2022 Mendatang

Bertujuan menghadirkan platform yang memiliki dampak untuk lingkungan dan membantu masyarakat luas menikmati kendaraan motor listrik, Charged Indonesia baru meluncur awal tahun 2022. Mereka berencana untuk meluncurkan motor listrik perdana bulan Oktober tahun ini.

Charged didukung sebuah kompleks industri zero energy (menggunakan sumber daya energi berkelanjutan) seluas 16.000 meter persegi di Jabodetabek. Nantinya lokasi tersebut akan digunakan untuk pusat penelitian dan pengembangan, experiential center, serta sebagai pusat produksi. Dalam waktu dekat, perusahaan juga memiliki rencana untuk mendirikan showroom dengan konsep ramah lingkungan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Produk awal

Untuk tahap awal Charged Indonesia akan merilis 3 model sepeda motor listrik yang praktis dan terjangkau untuk memenuhi berbagai kebutuhan termasuk transportasi pribadi, logistik, armada perusahaan, dan layanan ride-hailing.

Selain itu mereka juga akan menyediakan adaptor untuk pengisian baterai yang bisa digunakan oleh pengguna di rumah. Untuk mengontrol kondisi motor, melalui aplikasi nantinya bisa dilihat perkembangan dari motor tersebut, sehingga memudahkan pengguna untuk melakukan perawatan motor.

“Kami berkomitmen untuk mendorong perubahan besar menuju penggunaan sepeda motor listrik yang terjangkau, praktis dan juga diminati penggunanya di Indonesia, dan berusaha untuk meningkatkan pengalaman berkendara yang dirasakan oleh jutaan pengendara dan penumpang sepeda motor,” kata Direktur Komersial Charged Indonesia Stephanus Widi.

Tahun ini Charged Indonesia memiliki target untuk memperkenalkan lebih luas lagi motor listrik garapan mereka kepada target pengguna. Dengan mengedepankan konsep ramah kepada lingkungan, mereka berharap motor listrik mereka bisa digunakan oleh lebih banyak lagi masyarakat di Indonesia.

Pendanaan awal

Sebagai langkah awal Charged Indonesia telah mengantongi pendanaan tahapan awal dari DeClout Ventures senilai $4,5 juta (sekitar Rp68 miliar). Menurut CEO DeClout Ventures Lim Swee Yong, kemitraan strategis yang dijalin bersama Charged Indonesia diharapkan dapat mendorong penggunaan sepeda motor berbasis listrik di Asia Tenggara, dimulai dari Indonesia.

“Investasi ini merupakan investasi yang strategis bagi kami karena kami melihat keselarasan dan sinergi yang kuat antara bisnis Charged Indonesia dan perusahaan portofolio yang kami miliki dalam bidang infrastruktur kota cerdas, IoT, dan teknologi bersih.”

Didirikan pada tahun 2016, DeClout Ventures merupakan anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh Exeo Global Pte. Ltd., sebagai kantor pusat regional dari Exeo Group, Inc. yang terdaftar di Bursa Efek Tokyo. Perusahaan dimulai sebagai platform dua tingkat yang terdiri dari inkubasi dan fasilitasi penggalangan dana untuk startup dan growth-enterprise.

Pada bulan Februari 2020, DeClout Ventures berinvestasi kepada ICHX Technologies (iSTOX), platform Pasar Modal blockchain yang menawarkan penerbitan, penyelesaian, penyimpanan, dan perdagangan sekunder sekuritas digital.

Pengembangan motor listrik di Indonesia

DailySocial.id mencatat beberapa tahun terakhir, perusahaan teknologi dan energi hingga pemodal ventura ramai-ramai menggarap proyek kendaraan listrik. Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara dengan target produksi 600 ribu mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

Sejak tahun 2019 pengembangan distribusi motor listrik atau yang dikenal dengan electric vehicle sudah cukup marak kehadirannya di Indonesia. Mulai dari perusahaan teknologi seperti Grab hingga GoTo yang kemudian berinvestasi melalui usaha patungan atau joint venture (JV) bernama Electrum tahun 2021, lalu kemudian melalui anak usaha PT Rekan Anak Bangsa (RAB) melepas aset motor listrik, perlengkapan baterai, dan merek dagang senilai 23,6 miliar Rupiah kepada PT Energi Kreasi Bersama (EKB).

Selain pengembang motor listrik ada juga startup yang telah mendapatkan pendanaan dari venture capital yaitu SWAP Energy perusahaan teknologi yang membangun infrastruktur pertukaran baterai di Indonesia. Tercatat saat ini SWAP telah memiliki lebih dari 400 swap station yang ditempatkan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), dan Bali. Sampai akhir tahun 2022, mereka berencana menempatkan lebih dari 1500 stasiun pengisian baterai di beberapa kota besar di Indonesia.

Ada pula ION Mobility yang merupakan perusahaan pengembang motor elektrik pintar. Pintar di sini karena mereka turut tanamkan perangkat lunak kecerdasan buatan untuk beberapa tugas, seperti penghematan daya dan kemudahan penggunaan. Perusahaan ini berbasis di Singapura, Shenzhen (Tiongkok), dan Jakarta.

Startup Agritech Gokomodo Peroleh Pendanaan Seri A 386 Miliar Dipimpin East Ventures

Startup rantai pasok agribisnis Gokomodo hari ini (6/9) mengumumkan pendanaan seri A sebesar $26 juta (lebih dari 386 miliar Rupiah) dipimpin oleh East Ventures. Investor lain juga berpartisipasi dalam pendanaan ini, yakni SMDV, Eight Capital, K3 Ventures, Triputra, Waresix, Indogen Capital, Sahabat Group, dan Sampoerna Financial.

Diklaim putaran ini merupakan salah pendanaan seri A dengan nilai terbesar di Indonesia. Pengumuman ini dilakukan relatif singkat pasca dikabarkan peroleh pendanaan tahap awal pada Juli 2022. Berdasarkan informasi dari data regulator, perusahaan mengantongi pendanaan sebesar $1 juta dari East Ventures dan Waresix. Akan tetapi, pihak yang terkait tidak memberikan respons terkait pemberitaan ini.

Co-founder dan CEO Gokomodo Samuel Tirtasaputra menyampaikan, dukungan dari East Ventures dan investor lainnya akan digunakan untuk mengembangkan Gokomodo. Gokomodo melakukan pendekatan ganda, yakni menggabungkan platform digital yang kuat dengan infrastruktur yang strategis. Hal ini untuk memastikan bahwa perusahaan dapat mendukung penetrasi di area yang minim akan infrastruktur digital.

“Sejalan dengan tujuan kami untuk memajukan perusahaan agribisnis dan petani kecil di seluruh Indonesia, serta penyediaan akses yang sama bagi semua pemangku kepentingan melalui teknologi. Dengan hadir lebih dekat dengan para petani, kami berharap dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan membantu mereka membangun praktik agrikultur yang lebih berkelanjutan,” ucap Samuel.

Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyampaikan, Gokomodo hadir sebagai solusi inovatif yang dapat mengatasi masalah rantai pasok di sektor agribisnis. Sejalan dengan besarnya potensi agribisnis di Indonesia, pihaknya percaya Gokomodo memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan produktivitas dan output signifikan menuju perekonomian Indonesia yang lebih baik. “Kami menantikan perkembangan dan inovasi Gokomodo ke depannya,” kata dia.

Agribisnis adalah sektor pemberi kontribusi terbesar kedua terhadap PDB Indonesia, dengan cakupan lebih dari 42 juta hektar lahan agrikultur dengan total pasar untuk input pemasukan pengadaan senilai $30 miliar. Terlepas dari ukuran dan potensi yang dimiliki, sistem rantai pasok di Indonesia masih terfragmentasi dan jauh dari kata efisien. Sehingga menimbulkan kesulitan bagi perusahaan dan petani kecil dalam mengakses produk kebutuhan agrikultur, seperti pupuk dan peralatan pertanian.

Produk Gokomodo

Gokomodo menawarkan solusi melalui platform pengadaan digital, perdagangan digital, dan distribusi. Ketiganya hadir untuk meningkatkan efisiensi pada proses pengadaan dan mempermudah pencarian vendor, disertai peningkatan transparansi dan kemudahan pengendalian yang seluruhnya berbasis digital untuk perusahaan agribisnis dan petani kecil.

Selain itu, lini bisnis e-commerce Gokomodo menghadirkan produk agribisnis dengan harga bersaing. Pengirimannya didukung oleh Waresix, sehingga menjamin pengantaran yang jelas dan tepat waktu. Tak hanya korporat, para petani kecil juga dipermudah karena dapat mengakses produk agribisnis yang dibutuhkan dengan harga dan ketersediaan yang lebih optimal di platform Gokomodo.

Startup ini didirikan pada 2019 oleh Samuel Tirtasaputra (CEO) dan William Pramana (CTO). Jaringannya cukup luas, mayoritas melayani sektor perkebunan. Diklaim ada lebih dari 3 ribu perusahaan yang telah bergabung dalam ekosistem, di antaranya perusahaan agribisnis Sinar Mas, First Resources, dan Sampoerna Agro.

“Gokomodo telah membuktikan bahwa kami dapat menjadi mitra terpercaya bagi perusahaan agribisnis dan petani, dengan menawarkan solusi terbaik dalam memberikan akses mudah terhadap komoditas agrikultur yang berkualitas. Tujuan kami adalah memanfaatkan teknologi untuk menjembatani kesenjangan antara perusahaan dan petani kecil, dengan memanfaatkan daya beli dan infrastruktur milik Gokomodo untuk kepentingan bersama,” ucap Co-founder dan CTO Gokomodo William Pramana.

Ke depannya, perusahaan akan memprioritaskan pertumbuhan, meliputi penambahan pilihan produk yang tersedia pada platform, mengembangkan basis pelanggan, memperkaya platform digital serta secara agresif membangun pusat distribusi terutama di daerah terpencil. Inisiatif tersebut bertujuan untuk menguatkan kehadiran Gokomodo baik di ranah digital maupun secara offline, hingga mampu mendorong penetrasi dan menjangkau daerah yang masih kurang terlayani, termasuk pelanggan di luar Jawa sebagai lokasi dari mayoritas perusahaan agribisnis dan petani.

Pada April lalu, Gokomodo meresmikan hub pertamanya dengan menggandeng Koperasi Unit Desa (KUD) Mesuji, Sumatera Selatan sebagai mitra. Hub ini berfungsi sebagai perpanjangan bisnis yang memungkinkan KUD dan toko tani memesan produk pertanian secara online. Produk tersebut selanjutnya akan dikirim dari gudang untuk diambil pembeli di hub Gokomodo di seluruh Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Pemodal Ventura Dorong Startup untuk Ubah “Playbook” Bisnis

Para pemodal ventura (venture capitalist) di Indonesia tak henti-hentinya menekankan para startup untuk tetap resilient di tengah berbagai gejolak ekonomi dunia tahun ini. Apalagi, di sepanjang tahun ini, kita telah menyaksikan sejumlah startup melakukan efisiensi, ada yang menutup layanan dan ada juga yang merumahkan banyak karyawannya.

Gejolak ekonomi yang terjadi diketahui merupakan salah satu langkah antisipasi global untuk menghadapi resesi dengan adanya inflasi dan kenaikan suku bunga tinggi. Bahkan, gejolak baru bertambah pasca-pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga BBM.

Sebetulnya, CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro menilai sentimen yang terjadi tak selalu berarti buruk, baik itu tren bullish, bearish, atau market correction. “It’s a market adjusting itself. Apalagi valuasi [startup] mahal dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya pada sesi Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, founder startup juga untuk jangan terlalu overlook pada cash management yang dapat memicu startup menjadi lalai terhadap penggunaan modal mereka. Startup perlu menahan diri melakukan shopping spree, bakar uang untuk kegiatan promo, atau menambah banyak tim.

“Kita lihat startup mulai melakukan efisiensi, bisa berupa mengurangi biaya marketing atau human resource. Startup harus mengubah playbook di situasi saat ini. Cobalah untuk fall in love dengan produk yang mereka kembangkan,” tutur Eddie.

Senada dengan di atas, Co-founder dan Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe berpendapat bahwa situasi ‘tech winter‘ dapat menjadi momentum founder untuk merefleksi dan fokus kembali pada pengembangan produk. Para founder juga perlu mengubah cara mereka untuk membangun bisnis.

Menurutnya, tantangan besar justru akan dialami pada startup di tahap seri A, B, dan C, bukan di early stage. Berkaca dari pengalamannya, Jefrey menilai tidak semua startup mampu menunjukkan profitabilitas di tahapan tersebut. Startup harus kembali fokus pada fundamental dan tidak perlu terjebak pada tekanan harus segera profit selama bisnisnya solid.

“Tahun lalu, kami pikir pasar sangat bullish, banyak founder dapat funding, tim bertambah. Tiba-tiba tahun ini bearish sangat ekstrem. Where’s the money, where’s the profit? Maka itu, startup yang dapat pendanaan harus take it slow. Mereka harus berubah, salah satunya mencapai product-market-fit sampai lima tahun untuk bisa achieve profitabilityWe’ll see a lot of potential growth dalam 3-5 tahun ke depan,” jelasnya.

Ekspansi regional

Pada kesempatan sama, DailySocial.id juga sempat berbincang dengan sejumlah startup unicorn menanggapi isu IPO maupun rencana ekspansi. Sebagian besar mengaku merampungkan tahun 2022 dengan fokus terhadap pengembangan produk dan ekspansi regional.

Kopi Kenangan, misalnya, akan membuka gerai regional pertamanya di Malaysia pada kuartal IV 2022. Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengungkap bahwa ini merupakan bagian dari rencana ekspansi ke Asia Tenggara yang akan dilakukan secara bertahap.

Ia mengaku telah mematangkan rencana ekspansi sejak lama dengan memperhitungkan potensi kenaikan harga bahan baku. Namun, situasi tersebut diatasi dengan melakukan integrasi dari sisi upstream. Per 2021, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir. Kini, total outlet-nya telah mencapai 672 outlet di 45 kota di Indonesia.

Demikian juga Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya yang mengaku fokus terhadap ekspansi regional alih-alih memikirkan rencana melantai di bursa saham sebagaimana telah dilakukan oleh GoTo dan Bukalapak. Sekadar informasi, Xendit telah memulai ekspansi regionalnya sejak 2020.

“Saat ini, kami baru hadir di dua tenggara dan impian kami adalah menguasai Asia Tenggara. Mungkin selanjutnya, kami melirik Malaysia, Thailand, dan Vietnam untuk [ekspansi] ini karena ada permintaan dari customer. Indonesia semakin disorot, banyak global company yang berkembang. Mereka ingin suatu produk tidak cuma di Indonesia, tapi di Asia Tenggara,” jelasnya.

Adapun,  J&T Express tengah melakukan ekspansi ke Tiongkok dan Amerika Latin. Menurut CEO J&T Robin Lo, pasar J&T telah berkembang besar di Indonesia, tetapi belum merambah ke Asia Tenggara. Per 2021, J&T telah menyandang gelar decacorn dengan valuasi sebesar $20 miliar.

“Banyak perusahaan luar masuk ke Indonesia membawa investasi super raksasa. Kalau tidak menjajal negara lain, ketika diserang luar, kita akan sulit survive karena cuma punya market di Indonesia. Once we survive in Asia Tenggara dan Tiongkok, [kita] akan mudah survive di mana saja.” Tutupnya.

Strategi Credibook dalam Bertahan dan Mengembangkan Bisnis

Perkembangan industri UMKM di Indonesia terbilang cukup signifikan. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,97% atau senilai 8.573,89 triliun Rupiah. Tingginya jumlah UMKM di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan serta kondisi pandemi Covid-19 yang mendorong perubahan pada pola konsumsi barang dan jasa menjadi momentum untuk mengakselerasi transformasi digital.

DailySocial.id melalui sesi #SelasaStartup, mengundang salah satu sosok yang sudah berkecimpung lama dalam menghadirkan solusi digitalisasi UMKM di tanah air, Co-Founder & CEO Credibook Gabriel Frans. Patut diketahui, sebelum membangun Credibook, Gabriel juga terlibat dalam pengembangan produk GrabKios atau Kudo, yang juga menargetkan digitalisasi warung di Indonesia.

Secara garis besar, Gabriel memaparkan, dibandingkan tahun 2015-2016, pasar industri UMKM saat ini jauh lebih matang. Banyak pemain yang sudah melek teknologi serta memanfaatkan teknologi untuk operasional bisnisnya. Hal ini juga didorong oleh pandemi yang secara tidak langsung memaksa para stakeholder untuk beradaptasi dengan situasi terkini.

“Namun, dengan total lebih dari 60 juta UMKM yang ada di Indonesia, ini bukanlah tugas yang bisa diselesaikan sendiri,” ujarnya.

Dorong kolaborasi

Bicara tentang UMKM, ujar Gabriel, melibatkan pasar yang sangat luas. “Menurut kami di Credibook, kunci untuk bisa berhasil di industri ini adalah kolaborasi,” tambahnya. Credibook sendiri sudah banyak sekali melakukan kolaborasi baik dengan pemerintah, Kemenkop, Pemkab dan komunitas UMKM. Belum lama ini, perusahaan menjalin kemitraan strategis dengan Universitas Warmadewa Bali melalui penandatanganan nota kesepahaman untuk mendukung pengabdian masyarakat bagi pelaku UMKM.

“Kita juga bukan startup yang ingin menyelesaikan semua masalah, jadi kita butuh kolaborasi dengan startup lain di sektor terkait,” ujar Gabriel.

Tantangan yang sering ditemukan di lapangan termasuk literasi digital yang belum menyeluruh dan literasi keuangan yang tepat sasaran. Dalam rangka menanggulangi hal ini, Credibook bekerja sama dengan Kemenkop UKM Indonesia untuk menggencarkan literasi digitalisasi keuangan di Indonesia. Selain itu juga memberi edukasi untuk UMKM dalam membuat laporan keuangan yang baik dan benar agar bisa membuka jalan untuk kapital.

Disinggung mengenai biaya transformasi digital UMKM di Indonesia, Gabriel mengungkapkan bahwa untuk menjangkau daerah-daerah yang amsih belum terjangkau infrastruktur digital, akan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Begitu pula sumber daya manusianya, membutuhkan edukasi yang inklusif dan usaha yang tidak sedikit, maka dari itu kita mendorong kolaborasi untuk bersama-sama menciptakan solusi dalam transformasi digital ini.

Pada bulan April tahun ini, Credibook berhasil menutup pendanaan seri A senilai 116 miliar Rupiah dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Gabriel mengungkapkan bahwa dana ini akan difokuskan untuk ekspansi serta pengembangan CrediMart, layanan grosir digital mereka. Hingga saat ini, CrediMart sudah bekerja sama dengan lebih dari 50 toko grosir konvensional yang tersebar di 40 kota di Indoneesia, mencakup pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Perbaiki fundamental

Selain pengembangan bisnis melalui ekspansi layanan dan produk, Gabriel juga mengakui bahwa sebelum lebih jauh memikirkan investor, layaknya sebuah perusahaan lebih dulu membangun fundamental perusahaan. Ia juga mengungkapkan salah satu tantangan menjadi Founder dan membangun bisnis adalah ketika berusaha membangun kultur perusahaan yang kuat.

Di samping itu, proposisi nilai juga memiliki andil besar untuk bisa bertahan di tengah pasar yang semakin ramai. Credibook sendiri tengah fokus pada pemberdayaan usaha grosir konvensional dengan pendekatan teknologi rantai pasok. Kekuatan inilah yang menjadi landasan CrediMart untuk menjangkau lebih banyak pengusaha grosir dari lebih banyak sektor usaha.

Terkait pengembangan bisnis, Gabriel turut menambahkan, “Bisnis yang bagus itu adalah yang bisa memberi nilai tambah dan menghasilkan pendapatan atau membawa profit. Bangun terlebih dulu fundamental yang baik, setelah itu investor akan datang dengan sendirinya. Terkadang, menang dalam bisnis itu bukan hanya tentang persaingan, tetapi bagaimana bisa bertahan.”

Rencana Platform B2B Commerce “Eezee” Ekspansi di Indonesia

B2B commerce untuk produk MRO (Maintenance, Repair & Operations) memiliki potensi untuk berkembang secara global. Di Asia sendiri pertumbuhannya bisa meningkat hingga $616 miliar. dilihat dari potensi pertumbuhan 12% setiap tahunnya. Melihat besarnya peluang tersebut memberikan inspirasi bagi platform B2B commerce asal Singapura “Eezee” untuk kemudian melakukan ekspansi di negara lainnya di Asia Tenggara, salah satunya adalah Indonesia.

Rencana ekspansi ini dilancarkan oleh Eezee usai merampungkan penggalangan dana seri A senilai $7,5 juta atau setara 111,5 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin Ayala Corporate Technology Innovation Venture Fund (ACTIVE Fund). Sejumlah pemodal ventura juga terlibat, di antaranya Insignia Ventures, Wavemaker Partners, January Capital, HH Investments, Orange Venture Fund, serta beberapa angel investor.

Selain melakukan ekspansi, Eezee juga akan menggunakan dana segar ini untuk menambah jumlah tim, melakukan perluasan market share dan mengembangkan produk dan fitur baru untuk platform procurement B2B mereka.

“Rata-rata pelanggan kami melihat percepatan dalam proses pengadaan mereka sekitar 90%. Eezee menempatkan posisinya di pusat semua transaksi pengadaan, menciptakan win-win solution untuk semua pihak, termasuk pelanggan, pemasok, dan sistem ERP,” kata Founder dan CEO Eezee Logan Tan.

Sejak meluncur pada tahun 2018 lalu, perusahaan mencatat telah menjual lebih dari 130.000 item di lebih dari 600 kategori dari hampir 2.000 pemasok. Mengelola lebih dari 400 akun pelanggan perusahaan, termasuk perusahaan seperti ExxonMobil, Shell, Zuellig Pharma dan Resorts World Sentosa. Pada tahun 2021, perusahaan telah mencapai peningkatan Gross Merchandise Value (GMV) 5x lipat dari tahun sebelumnya.

Menurut President Kickstart Ventures Minette Navarrete, digitalisasi pengadaan
telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, karena penghematan biaya yang signifikan dan penyederhanaan proses yang sebelumnya manual dan tidak efisien. Digitalisasi tidak hanya menghasilkan efisiensi yang lebih besar, namun telah memungkinkan pembeli dan penjual untuk menganalisis data dan menghasilkan insight menarik untuk praktik pengadaan yang lebih kompetitif dan transaksi pembeli dan pemasok yang lebih baik.

Pertumbuhan B2B Procurement

Sejak awal Eezee dihadirkan untuk memudahkan proses pembelian pesanan, faktur, dan pesanan pengiriman di perusahaan. Secara khusus Platform pengadaan digital Eezee memungkinkan bisnis untuk mencari dan berbelanja secara online untuk beragam produk, mulai dari alat tulis kantor hingga peralatan keselamatan dan persediaan industri. Dengan merampingkan proses pengadaan, bisnis bisa menghemat uang dan waktu.

Eezee juga telah terintegrasi dengan sistem bisnis Enterprise Resource Planning
(ERP) seperti Oracle dan SAP. Tujuannya untuk memastikan proses pengadaan berjalan lancar dan sesuai dengan operasi bisnis. Selanjutnya, pemasok yang melakukan onboarding ke platform Eezee, bisa mendapatkan akses ke pelanggan baru.

Strategi bisnis yang kemudian akan menjadi fokus Eazee selanjutnya adalah melakukan ekspansi ke negara seperti Malaysia, Filipina dan Indonesia. Mereka juga memiliki rencana untuk menambah jumlah tim hingga dua kali lipat.

“Saat ini kami adalah platform pengadaan nomor saty di Singapura dan bertujuan untuk memperluas layanan kami di negara-negara Asia Tenggara lainnya, dengan fokus khusus pada Indonesia, Malaysia dan Filipina selama setahun ke depan,” kata Logan.

Tercatat dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah startup di Indonesia mulai melirik e-procurement sebagai vertikal bisnis yang menjanjikan. Layanan e-procurement dinilai layak dijajal karena model bisnis B2B mudah terukur.

Untuk memudahkan penetrasinya di pasar, startup ini menggabungkan konsep veteran di industri digital, yakni e-commerce/marketplace dengan layanan B2B. Secara global, layanan semacam ini telah mengantongi kesuksesan dari pemain besar, seperti Amazon Business dan Alibaba Business. Sejumlah startup Indonesia yang masuk ke bisnis marketplace B2B antara lain Mbiz, Bizzy, Bhinneka, Ralali, Bukalapak, dan ProcurA.

Sementara itu, Bhinneka dan Bukalapak sejak awal merupakan marketplace B2C dan C2C yang mulai mengembangkan vertikal baru ke B2B. Berbeda dengan yang lainnya, ProcurA tidak memiliki marketplace dan fokus ke pengembangan solusi e-procurement untuk perusahaan.

Bisnis marketplace B2B dianggap menjadi konsep yang tepat untuk menuntaskan beragam masalah usang yang terjadi pada korporasi, yakni rendahnya efisiensi dan transparansi.

Eddi Danusaputro Paparkan Tesis Investasi BNI Ventures

PT BNI Modal Ventura atau BNI Ventures memaparkan fokus investasi startup pada ajang Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu. BNI Ventures mengincar startup yang dapat mendukung misi induk usaha PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) untuk mengglobal.

Diungkapkan CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro, pemerintah telah memberi mandat masing-masing kepada Corporate Venture Capital (CVC) BUMN lain. Misalnya, BRI Ventures (BRI) fokus pada sektor mikro dan Mandiri Capital Indonesia (Mandiri) pada sektor korporasi dan ritel.

“Sementara mandat ke BNI berbeda. BNI akan bergerak menjadi international bank demi mendukung diaspora dan perusahaan yang punya bisnis di luar. Kami mencari startup yang mendukung customer BNI, seperti layanan remitansi di Hong Kong atau tenaga kerja di Arab Saudi. Ini coba kami capture,” ungkap Eddi.

Namun, tambahnya, bukan berarti BNI Ventures selalu mengincar portofolio dari luar Indonesia. Pihaknya juga mencari startup yang dapat mendukung pelaku UMKM yang ingin mengekspor produknya ke luar negeri. “Paling tidak ada komponen itu, ekspor kan bisa dari lokal,” tuturnya.

Adapun, BNI Ventures mengincar sektor agnostik pada pendanaan startup di tahap seri A atau early stage yang belum masuk ke pasar.

Sebagai informasi, BNI menyetorkan dana Rp500 miliar atau setara 500 ribu lembar saham yang menjadi pemegang kendali mewakili 99,98% kepemilikan di BNI Ventures. Sementara, sisanya dipegang oleh PT BNI Asset Management.

Adapun, rencana terjunnya BNI ke ekosistem digital mencuat usai pendirian Merah Putih Fund. Saat didirikan, Merah Putih Fund akan didukung oleh lima BUMN melalui CVC masing-masing, terdiri dari Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, dan BNI. Namun, saat itu hanya BNI yang belum memiliki CVC.

Merah Putih Fund

Dalam wawancara terpisah, Eddi yang juga menjabat sebagai Chief PMO Merah Putih Fund, menargetkan pendanaan startup melalui Merah Putih Fund dilakukan pada awal 2023. Saat ini, pihaknya masih menyiapkan proses administrasi.

“Ada lima investor awal, tetapi [dana] dari masing-masing tidak bisa di-disclose karena tidak semua porsinya sama. Di kuartal I 2023 kami enter market, sekarang sedang proses, sudah tunjuk bank kustodian, legal counsel. Dana $300 juta ini perlu diinjeksi ke rekening Merah Putih Fund,” kata Eddi.

Menurutnya, saat ini ia sudah mulai menjajaki startup potensial meski belum ada yang pasti. Dalam pipeline-nya, ia menargetkan lebih dari 30 pertemuan dengan startup dari berbagai startup. Perlu dicatat, untuk mendapat pendanaan dari Merah Putih Fund, seluruh founder dan operating company harus berasal dari Indonesia.

“Perlu diketahui pula, kami terbuka [dengan startup apapun]. Bukan berarti [mencari] startup yang sudah pernah didanai oleh MDI atau MCI, terus dapat jalur cepat, tidak juga. Tidak harus portofolio existing dari lima investor itu. Kita harus adil.” Tutupnya.

Startup Skoring Kredit “SkorLife” Raih Dana Pra-Awal 32 Miliar Rupiah

Startup fintech penyedia skoring kredit SkorLife mengumumkan telah mengumpulkan dana tahap pra-awal senilai $2,2 juta (lebih dari 32,8 miliar Rupiah) dari sekelompok investor. AC Ventures bersama Saison Capital berpartisipasi dalam putaran ini, bersama jajaran angel investor di Asia.

Nama-nama angel investor yang berpartisipasi di antaranya, pendiri OneCard (FPL Technologies), Jefferson Chen (Advance.ai), Willy Arifin (KoinWorks), Krishnan Menon (Lummo), Arip Tirta (Evermos), Harshet Lunani (Qoala), Achmad Zaky (Init-6), dan beberapa eksekutif dari Northstar Group, Stripe, Google, Boston Consulting Group, Gojek, dan CreditKarma.

Modal segar akan dialokasikan untuk pengembangan produk, perekrutan karyawan baru, dan peningkatan awareness.

Startup ini didirikan oleh Ongki Kurniawan (CEO) dan Karan Khetan (COO). Keduanya merupakan veteran di dunia teknologi. Sejumlah posisi penting pernah diduduki Ongki, di antaranya Country Head Stripe Indonesia, Executive Director di Grab, Managing Director di LINE, dan menjabat berbagai posisi senior di XL Axiata, BCG, dan lainnya. Sementara itu, Khetan adalah salah satu pendiri di 5x, BookMyShow Southeast Asia, Lamudi, mantan MD di Rocket Internet, dan banyak lagi.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (5/9), Ongki menjelaskan SkorLife adalah pembuat kredit pertama di Indonesia yang masih berada dalam tahap awal. Dengan dukungan dari berbagai investor, dari hasil validasi yang telah dilakukan, ia meyakini bahwa SkorLife berada di posisi yang tepat untuk memimpin beban kredit konsumen di tanah air.

“Melalui layanan kami, individu akan dapat membangun dan meningkatkan profil kredit mereka dengan fitur-fitur seperti tip dan saran yang dipersonalisasi. Kami juga akan membantu membawa lebih banyak pengguna NTC (New to Credit),” kata Ongki.

Solusi SkorLife

SkorLife berada dalam posisi yang unik karena membangun apa yang disebut dengan pemangku kepentingan sebagai “pembangun kredit” di bidang kredit konsumer. Kelayakan kredit kurang dimanfaatkan di Indonesia, sampai sat ini bank dan lembaga keuangan lainnya bergantung pada “kelayakan pendapatan” ketika memutuskan apakah mereka dapat menawarkan kredit kepada peminjam atau tidak.

Untuk mengatasi hal ini, SkorLife bertujuan untuk memberikan kontrol kembali kepada konsumen dengan membuat mereka mengambil peran lebih aktif dalam membangun dan mempertahankan nilai kredit mereka.

SkorLife membuat aplikasi pembangun kredit bagi orang-orang untuk mengakses dan memantau skor kredit, laporan kredit, dan data relevan lainnya dari biro kredit – secara instan dan gratis. SkorLife juga menawarkan mekanisme untuk membantu konsumen membantah informasi yang tidak akurat pada laporan kredit mereka.

Untuk konsumen yang sudah memiliki riwayat kredit, SkorLife akan membantu mereka mengakses dan meningkatkan skor mereka. Bagi mereka yang belum memiliki riwayat kredit (lulusan baru, pekerja lepas, pembuat konten, dll), aplikasi akan membantu mereka mulai membangun skor mereka. Dalam kedua skenario ini, SkorLife menawarkan tip yang digerakkan oleh AI dan dipersonalisasi untuk membantu pengguna membuka akses kredit yang lebih luas.

Tanpa pesaing langsung di pasar, SkorLife beroperasi di ruang ‘ladang hijau’. Indonesia saat ini memiliki 92 juta catatan kredit di biro-bironya. Sementara itu, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini tidak memiliki akses terhadap informasi tersebut. SkorLife mengharapkan sekitar 2,5 juta pengguna New to Credit (NTC) per tahun ke depan.

Khetan menambahkan, pihaknya memecahkan masalah yang sebenarnya dari ratusan feedback yang telah diterima, disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan yang jelas dalam siklus hidup kredit di Indonesia. SkorLife adalah satu-satunya layanan yang berfokus pada konsumen, gratis, dan instan.

“Saat ini, orang Indonesia tidak mengetahui pinjaman yang mereka miliki atau rencanakan terkait dengan kelayakan kredit mereka. Akses ke kredit ‘benar’ akan menjadi bagian besar dari percakapan selanjutnya. Kami percaya SkorLife akan berperan penting dalam mendorong literasi dan inklusi keuangan di negara ini,” ucapnya.

Saat ini, SkorLife memiliki 19 orang dalam timnya, direncanakan akan ditambah menjadi 40 orang. Produk SkorLife versi alpha telah diunduh lebih dari 3 ribu kali dan berkembang oleh 50 hingga 60 pengguna baru per hari, secara organik. Statistik adopsi pribadi ini melampaui target internal SkorLife lebih dari 7 kali lipat. Perusahaan akan segera membuat aplikasinya tersedia untuk diunduh ke publik.

Founder dan Managing Partner AC Ventures, mengungkapkan keyakinannya terhadap SkorLife. Dia bilang, peluang di Indonesia ini sangat besar, meskipun ruang tersebut relatif belum dimanfaatkan. Ukuran pasar kredit konsumen sudah berada di angka $185 miliar. Karena itu, selalu menjadi tantangan di sini karena pemberi pinjaman tidak pernah dapat menarik kesimpulan yang benar-benar holistik tentang peminjam berdasarkan informasi yang terbatas dan terfragmentasi.

“Tetapi dengan kumpulan data ini hanya menunggu untuk dibuka dan digunakan secara bermakna dalam aplikasi konsumer. Kami sangat senang dengan visi dan misi SkorLife untuk mengembalikan orang-orang yang bertanggung jawab atas masa depan keuangan mereka,” kata Adrian.

Dia menambahkan, “Kami juga percaya dalam mendukung pendiri yang kuat sejak dini. Keuntungan tidak adil yang dibawa Ongki dan Karan ke meja adalah apa yang membuat AC Ventures begitu ingin berada di sudut SkorLife sejak awal.”

Application Information Will Show Up Here

Pemerintah Arab Saudi Siap Berinvestasi ke Startup Indonesia

Pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi Teknologi setempat bersama Yayasan Nexticorn menjalin kemitraan sinergis untuk mendanai startup unicorn dan soonicorn (centaur) di Indonesia. Ini adalah kerja sama business-to-government (B2G) yang ditandai melalui penandatanganan nota kesepahaman untuk membentuk dana patungan (joint fund). 

Penandatanganan note kesepahaman ini dilakukan oleh Ketua Yayasan Nexticorn Rudiantara dan perwakilan dari Center of Digital Entrepreneurship Kementerian Komunikasi dan Informasi Teknologi Arab Saudi di Nusa Dua, Bali (2/9). 

Sebagai informasi, startup unicorn dan soonicorn masing-masing dikategorikan sebagai startup dengan valuasi mencapai $1 miliar dan mendekati $1 miliar. Saat ini, Indonesia sudah memiliki 14 unicorn. 

Adapun, komitmen investasi ini bertujuan untuk mendorong startup unicorn dan soonicorn mengembangkan pasarnya, tak hanya di Indonesia, tetapi ke Timur Tengah melalui dukungan dari Arab Saudi.

“Kita nantinya akan punya perusahaan [startup] multinasional, tapi di bidang digital. New economy adalah melalui digital. Salah satunya J&T Express yang kini sudah ada di Arab Saudi,” ujar Ketua Yayasan Nexticorn Rudiantara ditemui usai MoU.

Adapun, Yayasan Nexticorn akan berperan sebagai organizer dalam kegiatan investasi ini. Sementara, modal akan tetap berasal dari pemodal ventura (VC). Ia menolak merincikan nilai investasi yang digelontorkan, tetapi angkanya berkisar ratusan juta dolar dengan porsi masing-masing 50:50. 

“Ratusan juta dolar pasti. Kita lihat nanti, soonicorn atau nexticorn karena nexticorn tidak [akan] berhenti funding-nya. Sebelum ini, kami berjanji ini harus konkret. Untuk realisasi investasi, tadinya mereka minta cepat, dalam satu tahun modalnya sudah masuk. Jadi, tahun depan sudah investasi ke startup,” ungkapnya.

Vertikal investasi

Ada lima vertikal yang akan menjadi fokus investasi antara lain umrah, logistik, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Komitmen investasi ini dapat dimanfaatkan sebagai launchpad bagi startup unicorn di Indonesia untuk masuk ke Timur Tengah.

Dalam paparannya, Menteri Komunikasi dan Informasi Teknologi Arab Saudi Abdullah bin Amer Alswaha menilai potensi digitalisasi pada sektor logistik sangat besar. Ia meyakini Indonesia dapat menjadi global hub mengingat sebanyak 20%-30% PDB Indonesia berasal dari logistik.

Indonesia punya generasi perempuan dan anak muda hebat yang dapat menyelesaikan tantangan di sektor ini. Ia mencontohkan bagaimana posisi Arab Saudi berdekatan dengan Laut Merah yang menjadi lokasi di mana 10% dari kegiatan perdagangan global terjadi. “As you perfect the South East Asia global hub for logistics, that’s a parallel that we could work together,” tuturnya.

Lebih lanjut, pendanaan tersebut nantinya tak hanya ditujukan untuk pasar Indonesia, tetapi juga Arab Saudi sebagai hub untuk Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA). Menurutnya, pasar Arab Saudi sangat terbuka dalam mengikuti tren dari inklusi keuangan, healthcare, hingga edtech.

“Kami ingin mengeksplorasi dan melihat bagaimana kami dapat melihat kesuksesan ini di Timur Tengah. Maksudnya begini, Indonesia punya 14 unicorn, sedangkan Timur Tengah dengan total populasi 400 juta, baru punya enam unicorn, mengagetkan bukan. Tapi ini menunjukkan potensi kami,” paparnya.

Pihaknya menekankan untuk memanfaatkan keahlian dan pengalaman dalam mengembangkan inovasi bersama. Menurutnya, kemitraan ini menjadi kesempatan sekaligus tantangan untuk melakukan reskilling dan upskilling.

Xfers “Rebrand” Jadi Fazz Business, Perkuat Misi sebagai Penyedia Solusi B2B [UPDATED]

Unit bisnis Fazz Financial Group (FFG), Xfers mengumumkan rebrand menjadi Fazz Business. Dalam situs resminya disampaikan, perubahan nama ini menjadikan fokus perusahaan lebih dari sekadar pembayaran, tapi juga tabungan dan kredit. Rangkaian produk keuangan ini diharapkan dapat mendukung dan mengembangkan berbagai bisnis di Asia Tenggara.

“Perubahan ini kami lakukan unutk dapat terus membantu Anda membangun, menjalankan, dan mengembangkan bisnis,” tulis manajemen.

Sementara itu, StraitsX tetap menjadi cabang kripto independen di bawah Fazz Business yang mendukung infrastruktur pembayaran untuk aset digital. StraitsX itu sendiri didirikan pada 2019 sebagai pengembang platform aset digital untuk memajukan ekosistem keuangan terbuka di Singapura yang didukung oleh Zilliqa.

Secara terpisah, kepada DailySocial.id, manajamen perusahaan menyampaikan tak hanya Xfers yang rebrand, nama induk perusahaannya, yakni FFG juga turut diubah menjadi Fazz.

“Fazz sendiri merupakan ekosistem layanan finansial yang terdiri atas: Fazz (akun bisnis di Asia Tenggara), dengan Fazz Business sebagai komponen dari Fazz. Fazz Business merupakan rebrand dari Xfers, yang melayani usaha menengah dan startup-startup dengan pertumbuhan cepat di Singapura dan Indonesia dan StraitsX (infrastruktur pembayaran bagi aset digital),” tulis manajemen.

Didirikan pada tahun 2015, Xfers membawa misi untuk mempercepat akses keuangan di Asia Tenggara dengan memungkinkan bisnis menerima pembayaran dan mengirim uang. Xfers menawarkan berbagai jalur keuangan last-mile, termasuk Xfers Send, Xfers Accept, Xfers Wallet, dan StraitsX.

Di Singapura, Xfers telah mengantongi lisensi yang dikeluarkan oleh Monetary Authority of Singapore untuk penerbitan uang elektronik. Di Indonesia, Xfers menghubungkan bisnis ke berbagai metode pembayaran yang mencakup transfer bank, e-wallet, dan saluran offline seperti jaringan perbankan agen dan toko serba ada.

Sejak Xfers diakuisisi oleh Payfazz, keduanya punya independensi dalam mencapai tujuan. Payfazz akan fokus ke pasar Indonesia karena cakupannya yang luas, sementara Xfers berfungsi sebagai layanan B2B dari FFG (Fazz Financial Group), fokus menghubungkan pelanggan eksternal ke infrastruktur pembayaran dan jaringan pengguna yang sudah dikumpulkan oleh grup.

Selain itu, Xfers juga bakal menjadi kendaraan bagi grup untuk ekspansi ke sejumlah negara di Asia Tenggara, mengingat perusahaan sudah hadir di tiga negara.

Enam tahun Fazz

Pada waktu yang berdekatan, induk grup dari Xfers mengumumkan hari jadinya yang ke-6 yang dirayakan dengan pergantian logo. Dalam paparannya, CEO Fazz Hendra Kwik menyampaikan saat perusahaan dirintis, ia harus mengunjungi warung satu per satu dengan motor. Banyak usaha kecil yang membayar tagihan dengan uang tunai, komputer dengan hardware jadul untuk transfer dan menerima dana, dan mencatat pengeluaran dengan cara kuno, pakai pensil dan kertas.

Solusi yang dikembangkan Fazz diklaim berhasil membantu lebih dari 200 ribu bisnis yang tersebar di Singapura dan Indonesia, permudah pengiriman dan penerimaan dana, pencatatan dan laporan keuangan secara otomatis, menerima kredit, bahkan mengakses blockchain lewat smartphone. “Bagi pemilik bisnis kecil, ini mengubah hidup mereka,” kata Hendra.

Akan tetapi, sambungnya, masih banyak usaha kecil yang belum terjamah. Usaha kecil ini merupakan kontributor penting bagi perekonomian di Asia Tenggara yang mewakili antara 97% dan 99% dari perusahaan dan antara 60% dan 80% dari ketenagakerjaan di negara-negara ASEAN.

“Mereka adalah sumber kehidupan ekonomi Asia Tenggara – dan mereka berada di bawah ancaman. Ketika pemilik usaha kecil terpaksa tutup, ada keluarga di belakang mereka yang kehilangan penghasilan. Jika kita tidak membantu mereka untuk berhasil, kemajuan yang telah kita buat selama ini akan sia-sia.”

Untuk itu, dalam dua tahun mendatang perusahaan akan menjadi periode penting dalam meningkatkan dampak secara lebih luas, melayani lebih banyak kategori bisnis, dan memperluas jangkauan layanan keuangan, mengingat masih banyak ruang yang bisa digarap di industri keuangan.

“Tahun ini, kami memulai dengan kuat memperluas cakupan kami dari Indonesia ke Singapura, memperluas penawaran kategori kami untuk melayani bisnis yang lebih luas, termasuk FMCG, F&B, grosir, distributor, startup e-commerce, startup D2C, memperluas jangkauan layanan keuangan kami ke transfer, kredit, BNPL, manajemen biaya, tabungan hasil tinggi, dan pembukuan,” tutup Hendra.

*) Kami menambahkan pernyataan tertulis dari manajemen Fazz, termasuk rebrand FFG menjadi Fazz

Application Information Will Show Up Here

KoinWorks Perkenalkan Penilaian Profil Risiko Baru “Grade S”, Sasar Usaha Mikro dan Kecil

Startup fintech lending KoinWorks perkenalkan penilaian profil risiko baru, dinamai Grade S (Grade Spesial) untuk masuk ke pembiayaan usaha mikro dan kecil. Inisiatif ini sekaligus memperkukuh komitmen perusahaan dalam menjangkau lebih banyak pendana dari kalangan UMKM, setelah merilis KoinWorks NEO.

Dalam konferensi pers yang digelar kemarin (01/9), Co-founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyampaikan, Grade S ini diperkenalkan untuk menjangkau ekosistem UMKM yang sebelumnya peminjam di perusahaan dan terbukti sukses menjadi bankable dan level usahanya naik dari sebelumnya mikro dan kecil.

Dari ekosistem pendana tersebut, masih banyak usaha mikro dan kecil berikutnya yang unbankable dan bisa didanai untuk pertumbuhan bisnisnya. Selama ini mereka luput dari perhatian perusahaan keuangan konvensional.

“Baru semalam (31/8) kami perkenalkan Grade S, sebelumnya hanya ada Grade A-E. Konsep ini kita perkenalkan untuk para graduates UKM yang sudah step up dan punya ekosistem untuk mulai memberdayakan entrepreneur generasi berikutnya. Graduates ini bukan jadi peminjam lagi tapi jadi mitra penghubung,” ucapnya.

Saat meracik fitur baru dari produk personal KoinP2P ini, sambung Ben, perusahaan menyadari bahwa UMKM ini tipikal punya risiko gagal bayar yang besar. Berlaku pula konsep high risk, high return. Perusahaan mencari cara bagaimana bisa menjadi win-win solution bagi semua pihak. Setelah meriset lebih dalam, ada segmen niche di dalam UMKM dengan risiko tinggi yang dapat direndahkan. Caranya dengan masuk ke ekosistem dari UKM yang terbukti sukses tumbuh setelah dibantu oleh KoinWorks.

Dicontohkan, ada pembiayaan supply chain yang berhasil di danai perusahaan, ternyata memiliki enam ribu motorist di dalamnya. Artinya, usaha tersebut berpotensi memiliki calon pengusaha berikutnya yang bakal sukses karena didukung support system yang baik.

Para motorist tersebut dapat didukung dengan produk pembiayaan yang baik dan pendampingan tanpa pricing yang mahal. Kemudian, dari sisi pemberi pinjaman, mereka juga mendapat asuransi untuk melindungi imbal hasil yang bakal didapat.

Mitigasi seperti ini, memungkinkan KoinWorks untuk menyalurkan pendanaan Grade S kepada para pekerja sektor informal seperti salesman, toko kelontong, dan pedagang grosir untuk membantu mengembangkan usaha dan meningkatkan kesejahteraan sosial mereka.

“Kami tidak hanya mitigasi dari sisi bisnis tapi juga financial protection-nya. Kami ingin breaking the mold, jadi jangan lihat risk dan return saja. Para pemberi pinjaman juga bisa ikut serta, enggak cuma lihat return-nya berapa.”

Pada tahap awal, saat ini perusahaan baru menetapkan Grade S ini untuk kasus tertentu saja (case by case) bagi masing-masing UMKM yang layak didanai. Benedicto memastikan akan terus perluas Grade S ini ke lebih banyak UMKM karena ini berkaitan erat dengan inisiatif impact investing yang sedang digalakkan perusahan.

Disebutkan saat ini KoinWorks telah memiliki tim impact investing yang khusus mengukur dampak yang dihasilkan untuk ekonomi Indonesia, bisa dilihat dari penciptaan tenaga kerja baru, pemberdayaan perempuan, dan sebagainya.

Adapun, kisaran imbal hasil yang dapat diterima pemberi dana apabila turut berpartisipasi dalam pendanaan Grade S mulai dari 8%-10% per tahunnya. “Ini step pertama kami agar bisa berikan akses yang breaking the mold di industri finansial. Kami mau perluas impact investing, sebab pendana yang bergabung itu misinya adalah safety dan return. Tapi kami mau perlihat impact yang lebih nyata.”

Enam tahun KoinWorks

Sejak enam tahun berdiri, KoinWorks mengklaim telah memiliki lebih dari 2 juta pengguna, terdiri dari 1,5 juta pendana dan 500 ribu UMKM terdaftar. Perusahaan menyediakan delapan produk keuangan inovatif yang memberikan layanan manajemen UMKM, pengembangan finansial pribadi, pinjaman pendidikan, dan produk salary advance.

Hingga saat ini, KoinWorks telah mendistribusikan pembiayaan dengan total Rp13 triliun kepada UMKM di seluruh Indonesia. Dengan dana tersebut, UMKM telah berhasil mengembangkan usahanya dengan pendapatan rata-rata per bulan sebesar Rp70 juta.

“Kami berharap semakin banyak UMKM yang terdorong untuk mengambil langkah dalam mencapai potensi terbaik mereka melalui KoinWorks sebagai financial partner. Ini juga merupakan bukti lebih lanjut bagi para lenders bahwa impact investing dengan KoinWorks berdampak positif, tidak hanya untuk keuntungan mereka tetapi juga berdampak pada perekonomian Indonesia,” kata Ben.

KoinWorks juga merayakan keberhasilannya dengan menjaring talenta yang kompeten di berbagai bidang untuk bergabung. Sebanyak 950 karyawan KoinWorks saat ini tersebar di Indonesia dan beberapa negara Asia, antara lain Singapura, Vietnam, dan India. Dengan sumber daya yang kuat, KoinWorks optimis dapat terus memberikan dampak, tidak hanya bagi penggunanya tetapi juga bagi seluruh UMKM di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here