Seandainya Gojek dan Grab Merger

Rumor potensi merger antara dua pemain terbesar on-demand Asia Tenggara Grab dan Gojek kembali mengemuka. Setelah The Ken (paywall) dan Tech In Asia (paywall), kini The Information (paywall) juga menginformasikan adanya “pembicaraan awal” tentang potensi ini.

Disebutkan bahwa manajemen kedua perusahaan telah bertemu selama dua tahun terakhir dan semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir, termasuk kabar pertemuan antara President Grab Ming Maa dan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo.

Sejauh ini dikabarkan belum ada titik temu antara valuasi kedua perusahaan dan siapa yang bakal menjadi pihak yang dominan.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa. Bukannya keduanya sama-sama ingin memenangi pasar Asia Tenggara? Jawabannya jelas. Kunci dominasi adalah monopoli dan kasus ini tidak unik.

“Bakar uang” dan rencana menuju keuntungan

Dalam 4-5 tahun terakhir, pertarungan antara pemain di industri ini diwarnai dengan strategi jor-joran “bakar uang” demi akuisisi pasar yang sangat cepat. Meski memiliki pasar yang sangat besar di Asia Tenggara, keduanya belum mencapai titik mencapai profit. Dengan dana investor yang semakin terbatas, tahun 2020 ini promo-promonya sudah semakin sedikit, keduanya harus “mengganti permainan”. Mereka harus mencapai level profitabilitas dan menyenangkan para investor.

Uber sudah melakukannya di Tiongkok. Rusia, dan Asia Tenggara. Merasa tidak mampu bersaing, win win solution-nya adalah diakuisisi–dengan syarat nilai kepemilikan saham yang signifikan. Pun bagaimana Didi di Tiongkok dibentuk sebagai hasil merger dua pemain besar lokal.

Dengan adanya monopoli, satu pemain yang tersisa adalah pemenang, bersama semua investor di belakangnya.

Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat
Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat

Memonopoli pasar Asia Tenggara, potensi merger antara Gojek dan Grab menjadi sajian yang sangat lezat. Keduanya secara bersama sudah mendominasi pasar transportasi on-demand, pengantaran makanan (food delivery), dan pembayaran online (GoPay dan Ovo). Nilainya mungkin lebih besar dari kombinasi valuasi kedua perusahaan (lebih dari $20 miliar).

Bayangkan kalau keduanya memonopoli pasar. Tidak ada lagi namanya perang harga. Hanya ada satu biaya yang harus dibayar konsumen dan itu tidak akan lagi murah demi mencapai nilai keekonomian. Tidak ada lagi pilihan yang tersisa (kecuali mungkin taksi, tapi Blue Bird dan Gojek pun baru melakukan aliansi strategis).

Kompetisi bagus untuk konsumen, tapi tidak untuk para pemain di dalamnya. Apa yang terjadi jika posisinya dibalik. Tidak ada lagi kompetisi?

Contoh nyata bisa dilihat ketika Didi mengakuisisi bisnis Uber di Tiongkok tahun 2016. Setelah akuisisi, Didi menguasai 90% pasar. Di tahun 2018, keluhan yang sering muncul adalah semakin rendahnya insentif yang diterima mitra pengemudi.

Di sisi lain, konsumen merasa kesulitan untuk mendapatkan kendaraan dengan cepat dan harganya dirasa semakin tinggi. Survei tahun 2017 menyebutkan 81,7% responden percaya mereka semakin sulit mendapatkan kendaraan dibanding tahun sebelumnya (ketika Uber masih beroperasi), sedangkan 86,6% menganggap harganya lebih mahal dibanding sebelumnya.

Tantangan

Tantangan utama adalah tiga hal. Pertama adalah soal ego. Sebagai sesama pemimpin pasar, tidak mudah menyatukan kedua perusahaan dengan satu arahan. Pasti ada yang ingin menjadi pihak yang dominan. Menyelesaikan hal ini bakal menjadi kunci sukses krusial.

Kedua adalah urusan regulasi. Urusan monopoli pasar di Indonesia ada di domain KPPU. Biasanya hal seperti ini pasti tidak luput dari pemeriksaan KPPU, tapi berkaca dari pengalaman di negara lain dan kasus lain, misalnya akuisisi Grab terhadap Uber di negara-negara Asia Tenggara, ujung-ujungnya semua hanya berakhir di denda. Tidak ada sanksi yang lebih keras dari hal ini.

Tantangan terakhir ada di sisi stakeholder. Ini terkait dengan mitra pengemudi dan konsumen. Risiko yang terjadi jika tidak ada persaingan adalah pengurangan jumlah mitra pengemudi (bayangkan yang ada di jalanan hanya berasal dari satu perusahaan) dan biaya layanan yang lebih sesuai dengan unit ekonominya (baca: lebih mahal karena tanpa subsidi).

Pertanyaan yang lebih besar bukan soal apakah Grab dan Gojek bisa melakukan merger. Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah apakah kita siap jika kebutuhan berbagai layanan dimonopoli satu perusahaan saja. Dapatkah kita menjawabnya?

Melihat Potensi YouTube sebagai Sumber Penghasilan

Jika ada yang masih ragu atau menganggap remeh Youtuber bisa menjadi profesi yang menjanjikan, mungkin belum pernah ngobrol dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya; atau belum melihat statistik dan insight yang valid. Bahkan boleh dibilang, Youtube is a serious business!

Banyak alasan mengapa YouTube menjadi platform yang semakin besar dan dijadikan sumber monetisasi andalan oleh para kreator konten. Mulai dari infrastruktur yang makin baik, harga gadget yang makin terjangkau, paket data unlimited yang menggoda, menjadikan YouTube makin tak terhentikan.

Alasan utama adalah hingga saat ini Youtube masih menjadi satu-satunya platform yang langsung memberikan penghasilan dalam bentuk pendapatan iklan Adsense kepada konten kreator — di samping tentu saja pendapatan dari luar seperti brand deal atau placement. Hal ini yang membedakan YouTube dengan platform lain yang hanya mengandalkan endorse atau brand deal, tapi belum ada bentuk payment dari platform yang bersangkutan.

Faktor lainnya, brand memang lagi fokus spending anggarannya buat influencers, KOL (key opinion leader), vlogger dan seterusnya, di mana Youtube tetap menjadi platform utama yang dibidik. Brand memanfaatkan influencer dalam mengkampanyekan dan mempromosikan produk dan layanan barunya, baik yang fokus pada branding, eksposur, story telling maupun yang mengincar konversi dan aktivasi.

Momentum yang tepat dan didukung oleh ekosistem yang makin baik inilah yang menjadikan YouTube platform yang efektif bagi industri dalam menyampaikan pesan dan merangkul target audiensenya.

Melihat potensi YouTuber di Indonesia

Saat ini di Indonesia sudah banyak nama populer di kalangan YouTuber. Belum lagi ada sederet selebritas yang banting setir mau nyemplung ke Youtube juga.

Ini artinya apa? Jelas, Youtube adalah sebuah bisnis besar — jika paham platform, produksi konten dan komunitas.

Memang tak semua orang bisa masuk ke Youtube dalam artian mampu menjadikan platform ini sebagai sumber pendapatan, tapi peluangnya sama dan terbuka lebar: siapa pun bisa jadi bintang di era Youtube ini.

Seberapa besar pendapatan Youtuber ini? Sekadar contoh dan simulasi sederhana, untuk kreator yang memiliki 1 juta subscriber —dengan asumsi video-videonya diunggah secara reguler; jumlah video views yang konsisten; dan user engagement yang memadai; plus tergantung nilai CPM (cost per miles) dari vertikal/bidang yang menjadi tema video-videonya— yang bersangkutan bisa mendapatkan di kisaran Rp20 juta – 80 juta per bulannya dari YouTube! Ya, itu baru dari YouTube, belum lagi dari endorse ataupun dari brand deal lainnya.

Konten edukasi, inspirasi dan hiburan

Konten apa yang sukses di YouTube? Paling ada tiga strategi konten yang efektif di Youtube: 1) to educate, 2) to inspire, 3) to entertain. Selama sebuah channel memiliki salah satu, dua atau ketiga unsur tersebut, biasanya komunitasnya mulai terbentuk dan video views-nya akan secara konsisten berkembang dengan baik.

Bahkan, jika ingin berbicara secara lebih teknis, diperlukan variasi konten yang disebut sebagai hero content, hub content dan help content.

Bidang atau vertikalnya bisa beragam: bisa komedi, musik, gaming, kuliner, wisata, ilmu pengetahuan, kecantikan —asalkan penyajian videonya dilakukan dengan menghibur, mengedukasi atau menginspirasi, bisa dipastikan channel tersebut akan berkembang.

Intinya adalah, setiap channel harus fokus dan konsisten. Hindari mencampuradukkan berbagai vertikal atau topik dalam mengelola channel YouTube Anda. Hal tersebut akan membuat bingung algoritma YouTube sehingga video Anda luput ditampilkan dalam gerbong rekomendasi oleh Youtube dan itu berarti Anda akan kehilangan potensi tsunami traffic/views dari pengunjung non-subscribers!

Selain itu, campur aduk topik akan membuat bingung komunitas juga. “Ini sebenarnya channel apaan sih?” begitu mungkin gerutuan pengunjung channel Anda.

Tak ubahnya seperti memiliki produk atau layanan yang mau dijual, channel Anda juga harus fokus sehingga target audience-nya juga jelas, brand yang mau masuk juga tidak kebingungan dan Anda sendiri akan terbantu dalam menciptakan konten karena fokus dan terarah.

Di atas itu semua, cara yang paling ampuh untuk terjun dalam industri konten ini adalah dengan memulai eksekusinya. Mulailah bikin channel, bikin dan upload video dan see how it goes.

Pada gilirannya kita memang butuh data, statistik dan insight soal video mana yang berhasil atau gagal. Jika Anda tak mulai mengunggah video, Anda tentu tak punya statistiknya sama sekali.


Artikel ini ditulis oleh Budi Putra, Country Manager Indonesia untuk Collab Asia.

Keruntuhan Industri P2P Lending, Akankah Terjadi di Asia Tenggara?

Ekosistem P2P lending di Indonesia tengah berkembang dalam tiga tahun terakhir membawa optimisme bagi para investor serta secercah harapan untuk ekonomi UMKM di tanah air. Pada kenyataannya, pertumbuhan yang eksplosif ini juga menahan langkah para regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal membedakan perusahaan yang benar-benar bernilai bagi sektor finansial dari perusahaan yang sarat resiko dan cenderung ilegal, yang bisa menjanjikan keuntungan besar bagi para investor.

Dalam laporan KPMG tahun 2018, industri P2P lending Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 800% sejak tahun 2016, dengan jumlah pinjaman yang disalurkan mencapai 25 triliun Rupiah di akhir tahun 2018. Melihat tren P2P lending saat ini, akan lebih bijaksana bagi investor untuk melihat pola pada pasar yang lebih matang dan menahan diri untuk terjun dalam permainan sampai isu-isu mulai mereda. Naik turunnya ekonomi P2P lending telah berulang sebanyak dua kali; pertama di Republik Rakyat Tiongkok, lalu di Amerika Serikat.

Berbeda dengan di Tiongkok atau Amerika, P2P lending bukanlah konsep baru di Indonesia. Usaha patungan yang biasa dijalankan secara kolektif sudah ada selama berabad-abad lalu dalam bermacam bentuk. Perbedaan budaya ini merupakan faktor penentu utama dalam pertumbuhan ekosistem P2P lending di Indonesia. Keakraban budaya dengan gagasan keuangan mikro memudahkan pemberi pinjaman dan peminjam untuk beradaptasi dengan model-model baru yang diperkenalkan oleh para pengusaha.

Di satu sisi, adopsi P2P lending yang siap pakai oleh penduduk Indonesia yang belum terjangkau produk perbankan turut memicu pertumbuhan ekosistem ini. Di sisi lain, kurangnya regulasi seputar pertumbuhan ini menimbulkan risiko tinggi bagi semua orang yang terlibat dalam industri, termasuk investor, pemberi pinjaman, dan peminjam.

Faktanya adalah tanpa dukungan dari sektor keuangan formal, tidak ada infrastruktur yang cukup untuk menopang operasi bisnis P2P lending. Tingginya rasio kredit bermasalah (NPL), yang mencapai di atas 3%, adalah hal umum. Tanpa metode penilaian kredit yang akurat dan modal yang cukup untuk melakukan penjadwalan utang, sangat sulit–hampir tidak mungkin–bagi pemain P2P lending untuk mengkurasi para peminjam dengan baik dan menjamin para investor memperoleh nilai pengembalian yang dijanjikan.

Kejatuhan industri

Di balik eksistensi model bisnis P2P yang legit yang telah terdaftar di OJK, kurangnya pengawasan secara menyeluruh menciptakan ruang untuk praktik penipuan.

Menurut daftar yang telah dirilis pada 30 September 2019, hanya sekitar 13 dari 127 aplikasi pinjaman terdaftar yang telah dilisensi oleh OJK. Di luar dari sekitar 100 yang terdaftar, ratusan lainnya beroperasi secara ilegal di wilayah ini.

Sejumlah platform P2P lending ilegal ini menjadi pusat perhatian selama beberapa tahun terakhir karena serangkaian skandal yang melibatkan kebangkrutan, suku bunga absurd, serta metode pengumpulan tak lazim untuk NPL. Secara bergilir, skandal ini telah memicu gerakan perlawanan menyeluruh dari para peminjam. Dari sisi investor, ada banyak kasus di mana platform P2P lending, salah satunya di Tiongkok, melalaikan kewajiban setelah akhirnya ditutup, sama halnya dengan Yindou, yang ditutup pada Juli 2018 dengan saldo pinjaman 4,4 miliar yuan (sekitar US$ 640 juta) lalu meninggalkan investor tanpa kejelasan terkait investasi mereka.

Mengingat rekam jejak negatif dari platform P2P lending di Tiongkok dan Amerika Serikat, tidak dapat dihindari bahwa cepat atau lambat, kejatuhan industri P2P lending akan menyebar di Asia Tenggara.

Sebuah titik terang

Tentu saja, selalu ada pengecualian. Pemain P2P yang memberikan studi kasus untuk sektor keuangan formal menawarkan nilai jangka panjang sebagai contoh sebuah transisi ke ekosistem keuangan mikro yang lebih berkelanjutan. Pengecualian seperti itu biasanya beroperasi dalam ceruk tertentu, seperti pembiayaan faktur atau pembiayaan UKM dalam sektor e-commerce.

Salah satu contoh dari startup pemberi pinjaman P2P yang telah berhasil beralih ke model keuangan mikro yang lebih berkelanjutan adalah Danamas. Perusahaan ini, sebagai bagian dari grup Sinarmas, secara eksklusif berurusan dengan peminjam yang merupakan pelanggan Traveloka atau yang membutuhkan kredit ponsel. Dengan tingkat default rendah dan keuntungan 14% hingga 20%, Danamas adalah pemberi pinjaman P2P pertama di Indonesia yang terdaftar dan dilisensi penuh oleh OJK.

Salah satu yang bisa dikaitkan dengan keberhasilannya adalah integrasi dengan ekosistem keuangan. Peminjam dapat membuka rekening Bank Sinarmas, memperoleh kredit ponsel, bahkan membeli asuransi melalui aplikasi, semua didukung entitas dalam sektor keuangan formal.

Setelah isu mulai reda

Sekalipun P2P lending menjelma menjadi bom waktu, hal ini tidak ada kaitannya dengan perkembangan sektor finansial di Indonesia.

Para pemain smart P2P lending memahami bahwa mereka perlu melakukan diversifikasi jika ingin menjelma menjadi yang terbaik. Ini adalah wujud Darwinisme yang paling murni. Saya telah menyaksikan beberapa perusahaan menunjukkan studi kasus baru yang menarik ke sektor keuangan formal yang sudah ada di Indonesia. Sejumlah platform P2P lending baru menunjukkan bahwa mereka dapat memanfaatkan peluang yang tidak dimiliki bank besar.

Investree adalah salah satu contoh menarik dari perusahaan P2P lending. Mereka membuat studi kasus yang menarik untuk pembiayaan faktur, yaitu di industri kreatif di mana jaminan fisik masih sulit didapat. Dalam satu kurun waktu, startup pinjaman P2P Modalku menunjukkan daya tarik dengan pembiayaan pedagang daring, bahkan masuk ke pembiayaan perdagangan (contohnya pembiayaan rantai pasokan). Peluang lateral ini lahir dari pinjaman P2P dan ada kemungkinan memiliki nilai jangka panjang bagi bank-bank besar serta lembaga keuangan formal di ASEAN.

Menurut indeks keuangan global Bank Dunia, 48,9% orang dewasa Indonesia memiliki rekening bank, sementara hanya 17,3% yang meminjam dari lembaga keuangan formal. Hal ini dapat dibandingkan dengan tingkat penetrasi internet negara yang mencapai 72,4% untuk wilayah perkotaan, area yang paling banyak dihuni UKM, di mana terdapat kesenjangan mencolok antara kedua statistik. Aplikasi pinjaman P2P menawarkan cara untuk menjembatani jurang ini dengan menmungkinkan konsumen dengan basis mobile untuk melancarkan aktivitas keuangan online.

Dengan kata lain, teknologi pinjaman P2P membantu menyosialisasikan populasi yang tidak memiliki rekening bank kepada gagasan keuangan mikro, sehingga meningkatkan tingkat melek finansial di Indonesia. Ini terutama benar setelah OJK mengeluarkan peraturan pada tahun 2016 yang mewajibkan platform pinjaman P2P untuk menyediakan seminar eksternal dan program sosialisasi untuk mempromosikan inklusi keuangan dan literasi di pasar.

Dengan cara ini, aplikasi menyediakan prekursor yang diperlukan untuk sektor keuangan formal untuk masuk dan memberikan solusi keuangan mikro yang lebih berkelanjutan.

Para pemain yang bertahan

Seperti yang sudah saya sebutkan, pemain P2P dengan penawaran studi kasus paling menarik pada sektor keuangan formal akan memimpin pasar. Pemberi pinjaman P2P berlisensi cenderung bertahan karena sudah terintegrasi dalam sektor keuangan formal dan mengisi ceruk tertentu. Namun, hal ini tidak berlaku untuk ratusan bisnis pinjaman P2P tanpa izin yang kini beroperasi di Indonesia, karena mereka akan berangsur-angsur runtuh dengan model bisnis yang tidak berkelanjutan.

Mungkinkah ekosistem pinjaman P2P Indonesia akan mengalami nasib yang berbeda dari ledakan yang terjadi di Tiongkok dan AS? Mungkin, tapi itu tidak mungkin. Kesehatan industri dapat diukur dengan tingkat NPL, dan dengan demikian, akan bijaksana untuk mengawasi indikasi-indikasi bahaya untuk saat ini.


Artikel ini ditulis oleh Nicko Widjaja, CEO BRI Ventures. Pertama kali diterbitkan oleh Forbes Indonesia (edisi Januari 2020) dan diterjemahkan dengan izin penulis.

Cerita Chatbot di Indonesia

Lima tahun terakhir teknologi chatbot mencuri banyak perhatian. Tak heran jika akhirnya banyak perusahaan beramai-ramai mengimplementasi chatbot mereka sendiri lengkap dengan nama yang keren dan terkesan ramah. Namun banyak chatbot yang masih terkesan kaku, dan butuh banyak “latihan”. Terlebih chatbot yang ditempatkan pada posisi customer service.

Chatbot bekerja dengan cara menganalisis kata yang dikirimkan pengguna melalui kanal pesan. Kemudian kata-kata yang dikirimkan dan dicocokkan dengan sistem yang ada untuk kemudian memberikan respon yang sudah ditentukan.

Dalam beberapa kasus banyak chatbot yang tidak bisa mengenali kalimat yang dimaksud, hal ini terjadi karena kalimat tidak menggunakan bahasa/kata yang terdaftar dari sistem atau perbendaharaan kata di sistem tidak lengkap.

Chatbot bisa jadi solusi alternatif pengganti UI/UX. Alih-alih melakukan tap atau menghafal langkah untuk mencari sebuah info di aplikasi ataupun website, pengguna tinggal menuliskan apa yang mereka cari di platform percakapan. Chatbot dengan “ramah” akan mencarikan informasi yang dimaksud. Dalam kasus ini chatbot bisa menuntun pengguna jika tidak mendapati maksud dari kalimat yang diberikan.

Namun, untuk kasus customer service, chatbot harus bekerja “lebih keras dan ramah”. Pasalnya tidak semua pengguna puas dengan jawab template atau informasi umum. Bisa jadi pengguna yang menghubungi adalah mereka yang menunggu mengapa ada gangguan di akun mereka atau transaksi yang tak kunjung rampung.

Seringkali komplain tidak dituliskan dengan kalimat yang lengkap dan runtut. Bahkan lebih sering ditulis dengan menggebu dan emosi sehingga kadang kalimat bisa jadi tidak runtut. Selain harus memahami, chatbot harus juga dilatih untuk bisa lebih sopan. Jadi, kendala terbesarnya ada pada pemahaman bahasa dan database solusi yang disediakan.

Jika chatbot dilengkapi dengan mesin pembelajar yang memungkinkan chatbot bisa dilatih maka banyak chatbot di Indonesia masih butuh banyak dilatih untuk bisa memahami lebih banyak pilihan kata, susunan kalimat, dan yang paling penting database solusi.  Itu mengapa banyak chatbot di posisi customer service masih sering didampingi agen pelayanan pengguna demi tetap memberikan sentuhan manusia.

Berbagai macam inovasi chatbot di Indonesia

Di Indonesia perusahaan teknologi yang bergerak di bidang chatbot dan AI tidak banyak. Dua nama yang konsisten dalam pengembangan bisnis dan inovasi adalah Kata.ai dan Botika. Keduanya saling susul dalam hal inovasi.

Kata.ai yang digawangi Irzan Raditya mulai memperkenalkan Kata Platform Conversational. Sebuah platform yang didesain untuk memberikan solusi lengkap bagi pengguna Kata.ai. Di dalamnya ada berabgai macam fitur, di antaranya Kata Omnichat, Kata Assist, Kata Voice, dan beberapa fitur lainnya.

Kata.ai mulai merajut asa untuk menjadi “super app” dalam hal chatbot dan AI dengan mulai menawarkan beragam solusi. Di tahun 2020 sinergi dan kemitraan diharapkan bisa memperkuat Kata.ai dan solusi yang dibangunnya.

“Kami percaya kolaborasi dengan penyedia jasa dan platform lain adalah kunci strategi pertumbuhan kami, seperti halnya yang sudah kami lakukan di dua tahun terakhir dengan tech startup lainnya, seperti Qiscus dan Halosis, ataupun juga mitra system integrator seperti Accenture, Medlinx, Sprint, Telkom Infomedia, dan lain-lainnya. Kami sangat terbuka dalam menyambut lebih banyak lagi sinergi dan kemitraan yang bisa dihasilkan di tahun 2020,” terang Irzan beberapa waktu lalu.

Botika juga melakukan hal yang sama, inovasi. Ada dua layanan baru dari Botika, yakni Voicebot dan Omnibotika. Voicebot merupakan asisten virtual yang bisa diperintah melalui pesan suara, sedangkan Ominbotika merupakan dashboard yang mampu mengontrol berbagai macam saluran komunikasi mulai dari WhatsApp, Line, Telegram, WeChat, email, hingga telepon.

Di tahun 2019 kemarin, kurang lebih ada 20 juta lalu lintas pesan yang melalui sistem Botika. Lebih dari 1500 download untuk aplikasi Chatbotika untuk online shop dan menangani lebih dari 2000 perusahaan sebagi klien. CEO Ditto Anindita Botika menyebutkan di tahun 2020 ini pihaknya akan mengembangkan kemampuan Voicebot dan menambah jumlah saluran komunikasi untuk dintegrasikan dengan sistem Botika.

“Botika melakukan konsorsium dengan beberapa perusahaan dan membuat Smart Speaker yaitu Widyawicara direncanakan akan diluncurkan tahun 2020 ini. Melalui anak perusahaan kami, ARSA technology, kami melakukan inovasi AI Chip, yang memungkinkan komputasi machine learning bisa dilakukan pada sisi hardware IOT secara mandiri [edge computing]. Ini akan menaikan kecepatan proses komputasi dan menurunkan beban server,” terang Ditto.

Tugas berat chatbot memuaskan pelanggan Indonesia

Meski sudah banyak diimplementasi di Indonesia, nyatanya chatbot masih punya banyak pekerjaan rumah, terutama terkait pemahaman pesan yang terkendala bahasa di Indonesia yang beragam dan kemampuan AI di dalamnya menyediakan solusi yang sesuai–tidak hanya memberikan tautan artikel FAQ.

Kendati merupakan salah satu teknologi canggih, chatbot menyimpan peluang untuk gagal. Terlebih jika data-data yang digunakan sebagai “latihan” kurang atau tidak akurat, tidak bisa memahami percakapan dengan baik, dan yang tak kalah pentingnya, melindungi data pribadi.

Meski bukan sesuatu yang baru, chatbot masih menyimpan pontensi untuk berkembang. Tugas utama chatbot adalah memuaskan pelanggan dengan membuat dirinya seolah-olah manusia sebenarnya.

Sinkronisasi Regulasi Muluskan Demokratisasi Teknologi

PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) telah resmi berlaku sejak diundangkan pada 25 November 2019. Beleid ini terdiri dari 19 bank dan 82 pasal, menjelaskan pelaksanaan transaksi dari sisi pelaku usaha, konsumen hingga produk.

Banyak poin yang menarik jadi bahasan, salah satunya tertuang di pasal 15 yang intinya pelaku bisnis (dalam hal ini termasuk pedagang) wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan PSME. Padahal menurut data Asosiasi E-commerce Indonesia 95% pelaku UKM masih berjualan di media sosial dan hanya 19% yang sudah menggunakan marketplace. Lantas, bagaimana praktik pengawasannya?

Aturannya memang baru dirancang akhir-akhir ini, sementara bisnis e-commerce mulai menggeliat tahun 2010. Sebelum melalui portal yang lebih terstruktur, model customer-to-customer (C2C) marketplace sudah berjalan melalui forum online seperti Kaskus FJB dan media sosial. Pada tahun 2005 Tokobagus didirikan dan makin populerkan mekanisme belanja online. Berbagai platform bermunculan, mulai dari Tokopedia (2009), Bukalapak (2011) dan lain-lain. Sementara aturannya serius diundangkan satu-dua tahun terakhir ini.

Masih banyak vertikal bisnis lain

Fintech juga jadi model bisnis digital yang mendapat perhatian khusus regulator di tengah kemunculan berbagai jenis aplikasi penunjang. Secara spesifik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertindak mengayomi platform berbasis pinjaman, investasi dan asuransi. Sementara Bank Indonesia (BI) lebih fokus ke platform transaksi dan pembayaran.

Tahun 2016 OJK meresmikan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, menjadi payung hukum utama layanan p2p lending yang secara kuantitas jadi dominan di sektor finansial digital. Melihat kondisi pasar yang ada, tahun 2018 BI memperbarui aturan soal e-money dalam PBI Nomor 20/6/PBI/2018, memperketat kriteria perusahaan penyelenggara platform.

Sayangnya fintech tidak sebatas aplikasi pembayaran atau pinjaman online. Lantas untuk menyiasati inovasi yang terus berlanjut di sektor keuangan, sekitar tahun 2017 mulai diperkenalkan “regulatory sandbox”, yakni ruang uji coba terbatas untuk produk atau layanan yang belum terakomodasi aturan.

Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf
Peresmian “OJK Infinity” sebagai pusat inovasi keuangan digital oleh OJK, Kominfo dan Bekraf

Beralih ke vertikal lain ride-sharing, yakni skema C2C yang mengakomodasi jasa transportasi secara online. Di awal popularitasnya sekitar tahun 2015-2016, belum ada regulasi khusus yang menaungi. Bahkan karena dinilai “mengganggu” tatanan transportasi yang sudah mapan, banyak pihak vokal menyatakan penolakan.

Apadaya, membendung inovasi teknologi adalah keniscayaan, seiring pergeseran kebiasaan masyarakat yang semakin bergantung aplikasi digital. Negosiasi pun terus dilakukan, menghasilkan berbagai kesepakatan dan kerja sama.

Pemerintah akhirnya menelurkan regulasi untuk taksi online melalui Permenhub Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus. Di dalamnya mengatur batasan tarif, wilayah operasional hingga spesifikasi kendaraan yang digunakan. Bahkan untuk ojek online, pemerintah tempuh jalur diskresi. Pasalnya sepeda motor tidak termasuk dalam kategori kendaraan angkutan umum.

Apa yang disebut dengan disrupsi digital tidak berhenti di situ saja, berbagai platform baru bermunculan, menyerbu sektor-sektor penting lainnya.

Sinkronisasi regulasi

Dari perjalanan startup digital sepanjang satu dekade tersebut di atas ada dua pelajaran penting yang bisa diperhatikan. Pertama, regulasi selalu tertinggal beberapa langkah di belakang inovasi teknologi. Dan kedua, inovasi teknologi (di sektor publik) tanpa dipayungi regulasi yang tepat akan menimbulkan kegaduhan dan isu di kalangan masyarakat.

Melihat tren perkembangan sub-sektor bisnis digital yang begitu kencang, tampaknya regulasi tidak bisa berdiri secara standalone untuk mengatur kategori bisnis tertentu. Perlu adanya sinkronisasi antarlembaga pembuat aturan.

Sebagai contoh, saat mengatur tentang layanan kesehatan digital (healthtech), selain Permenkes mengenai telemedicine, perlu juga memperhatikan aturan Kominfo tentang transaksi elektronik, bahkan terkait tanda tangan digital.

Model “regulatory sandbox” mungkin  perlu diterapkan di setiap kementerian, untuk mengantisipasi lahirnya platform baru yang menghadirkan disrupsi proses bisnis tertentu. Karena pada dasarnya regulator juga membutuhkan waktu untuk mempelajari dan mengkaji mengenai beragam mekanisme baru sebelum benar-benar dibuat aturannya.

Sinkronisasi juga perlu diselenggarakan untuk mengakomodasi kebutuhan beragam pihak, dalam hal ini pelaku bisnis startup, pelaku bisnis konvensional, konsumen dan pemerintah. Langkah ekosistem membentuk asosiasi di tiap vertikal jadi upaya positif untuk membatu regulator dalam mengkaji setiap aturan yang berdampak pada bisnis terkait.

Efektivitasnya sudah terbukti, memungkinkan menyeimbangkan perspektif regulator dari sudut pandang industri. Sudah terbukti di banyak hal, misalnya Kemenkeu yang akhirnya membatalkan rencana aturan yang mewajibkan pedagang online memiliki NPWP, pasalnya menurut asosiasi e-commerce banyak yang pendapatannya masih di bawah PTKP. Pun demikian yang dilakukan AFPI untuk membantu OJK mengurus legalitas bisnis fintech lending.

Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce
Konferensi pers pasca pertemuan Menkeu dengan asosiasi bahas pajak e-commerce

Teknologi baru terus dilahirkan

Proyeksi kami, selanjutnya yang akan menjadi populer adalah startup di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pengembang teknologi kecerdasan buatan. Lantas sudah siapkah aturan-aturan yang bakal menaungi bisnis tersebut saat mulai masif digunakan pengguna?

Belum lagi saat berbicara teknologi secara spesifik yang berkembang saat ini. Blockchain misalnya, mekanisme ini mulai banyak digunakan untuk kebutuhan transaksi data dan aset digital. Namun saat blockchain benar-benar diaplikasikan ke dalam proses bisnis tertentu sudah siapkah payung hukumnya?

Contoh kasusnya, di tengah peastnya startup legaltech teknologi blockchain bisa diaplikasikan untuk memindahkan dokumen legal seperti surat atau sertifikat dari satu pihak ke pihak lagi tanpa terjadi duplikasi data. Lantas bagaimana jika terjadi kegagalan sistem yang mengakibatkan kerusakan dokumen? Atau terjadi penyalahgunaan yang disebabkan karena unsur nonteknis? Adanya aturan sebenarnya untuk melindungi dan memastikan proses bisnis berjalan sebagaimana mestinya.

The best regulation is less regulation

Mengutip istilah yang dipakai Rudiantara selaku Menkominfo periode sebelumnya saat membahas regulasi untuk ekosistem startup, “the best regulation is less regulation”.

Simplifikasi regulasi memang jadi upaya penting yang harus dilakukan pemerintah. Pasalnya dengan regulasi yang rumit juga akan menghambat perkembangan bisnis. Namun regulasi tetap penting dijadikan landasan untuk memastikan industri tetap berjalan secara sehat. Jadi kesimpulannya, ekosistem membutuhkan regulasi tepat sasaran dan tepat takaran.

Untung Rugi Pemblokiran Netflix di Indonesia

Sejak merilis film orisinal pada tahun 2015, pengembang platform video streaming Netflix terus tingkatkan kualitas produksi. Salah satu yang jadi takaran mutunya, di ajang Oscars 2020 karya yang mereka produksi berhasil menggaet 24 nominasi. Dua di antaranya, yakni The Irishman dan Marriage Story, masuk di jajaran kategori film terbaik.

Tak ayal kini perusahaan publik yang awalnya startup Silicon Valley tersebut dijajarkan dengan studio besar Hollywood layaknya Warner Bros, Universal Pictures dan lain-lain. Kualitas konten tersebut juga yang membuat para pengguna rela untuk membayar biaya berlangganan lebih (dibanding platform serupa), termasuk di Indonesia.

Memasuki pertengahan dekade lalu, sekitar tahun 2014-2016, model bisnis Netflix mulai direplikasi startup di Asia Tenggara. Sebut saja iflix (2014), Hooq (2015), dan Viu (2015). Mereka menyuguhkan layanan serupa termasuk untuk pengguna di Indonesia. Selain membeli lisensi penayangan, mereka juga memproduksi serial filmnya sendiri.

Penolakan keras sejak awal

Pada 7 Januari 2016, Netflix memutuskan untuk melakukan ekspansi global, hadir di 130 negara termasuk Indonesia. Rencana tersebut lantas mendapatkan beragam tanggapan dari banyak pihak. Dari regulator, Kominfo memaparkan serangkaian persyaratan administratif yang harus dilakukan pemain OTT (Over The Top). Dua yang terus ditekankan adalah pembentukan badan usaha tetap dan komitmen sensor konten.

Sebagai informasi, OTT mencakup konten berupa data, informasi dan multimedia yang berjalan dan diakses melalui medium internet. Secara regulasi, konten-konten tersebut dianggap “menumpang” beroperasi di atas jaringan internet milik perusahaan telekomunikasi.

“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten,” ujar Rudiantara selaku Menkominfo kala itu.

Tidak hanya pemerintah, asosiasi juga memberikan sinyal penolakan kehadiran perusahaan berkode saham NFLX tersebut. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengatakan ada beberapa aturan yang tidak terpenuhi, yakni Perpres No. 39 tahun 2014 pada poin yang menyoal ketentuan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar. Selain itu juga UU No. 32 tahun 2002 dan UU No. 33 tahun 2009 tentang pembentukan badan hukum.

Hingga akhirnya per 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Tetap jadi pilihan

Mengutip data yang dihimpun Statista, per tahun 2019 total estimasi pelanggan aktif Netflix di Indonesia sekitar 418 ribu orang, diproyeksikan akan meningkat jadi 906 ribu tahun ini. Dari riset yang berbeda, misalnya mengutip laporan yang baru dirilis AppAnnie bertajuk “State of Mobile 2020”, Netflix masih masuk ke dalam 5 besar aplikasi streaming pengguna ponsel pintar di Indonesia.

Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie
Aplikasi video streaming populer di berbagai negara / AppAnnie

Di luar jaringan telekomunikasi yang disediakan Telkom, pelanggan masih leluasa untuk menggunakan Netflix. Pada umumnya operator non-plat merah baru melakukan pemblokiran jika suatu situs atau aplikasi sudah ada di TrustPositif – kanal untuk daftar situs yang resmi dicekal Kominfo.

Di Indonesia sendiri memang ada cukup banyak layanan serupa, seperti iflix, Viu, Hooq, Genflix, bahkan pemain lokal seperti Vidio, Go-Play.

Beberapa platform global setara Netflix juga mulai hadir, misalnya HBO Go dan Amazon Prime, bahkan layanan konten spesifik seperti beIN Sports dan NBA League Pass di kategori olahraga.

Daftar harga layanan video streaming populer di Indonesia / DailySocial

Dikutip dari pemberitaan Tirto, Direktur Konsumer Telkom Dian Rachmawan mengatakan, “Pemain OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.”

Nyatanya, layanan video on-demand asing lain, seperti Hooq, iflix dan Viu, memang menjalin kerja sama B2B dengan operator lokal agar memberikan manfaat bisnis satu sama lain. Beberapa juga dengan koporasi pemilik media, misalnya iflix dengan MNC Group.

Namun demikian, Telkom pun punya argumentasi lain terkait pemblokiran, yakni terkait konten pornografi khususnya dikaitkan dengan beleid UU Pornografi dan UU ITE.

Potensi untung dari pajak

Sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Keuangan tengah giat untuk mengupayakan penarikan pajak dari OTT asing yang beroperasi di Indonesia. Tidak hanya layanan video, mereka juga mulai “memburu” perusahaan besar seperti Google, Facebook dan lain-lain.

Belum adanya beleid yang mengatur pajak perusahaan OTT membuat mekanismenya belum detail. Rencananya di Omnibus Law, rancangan regulasi yang akan diupayakan DPR RI, akan mulai mengakomodasi kondisi tersebut.

Dikutip dari Kompas, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi menyontohkan regulasi di Singapura dapat diterapkan di sini. Perusahaan digital tidak wajib bikin kantor di sini, namun tetap dikenakan pajak dari biaya langganan dari konsumen Indonesia.

Demikian pula disampaikan Hestu Yoga Saksama selaku Direktur Penyluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, “Makanya di Omnibus Law nanti, kita atur bahwa tidak harus ada physical presence, tapi ada substansial atau significant economic presence.”

Umumnya bagi perusahaan yang berdomisili di Indonesia, pemerintah mewajibkan untuk melakukan pembayaran pajak, baik berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari produk yang dijual, maupun Pajak Pengasilan (PPh) dari ketenagakerjaan.

Potensi rugi dari sektor kreatif

The Night Comes for Us jadi film orisinal Indonesia pertama yang dipublikasikan Netflix pada tahun 2018. Untuk meningkatkan kuantitas film lokal, pertengahan tahun lalu, perusahaan juga mulai membangun kemitraan dengan konten kreator hingga penggiat film di Indonesia untuk menciptakan konten lokal yang secara khusus ditayangkan di Netflix.

Director of Product Innovation Netflix Ajay Arora mengungkapkan, investasi tersebut menjadi fokus Netflix di Indonesia demi menghadirkan konten yang bisa disukai oleh pelanggan di tanah air.

Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud
Acara peresmian kerja sama Netflix dengan Kemendikbud / Kemendikbud

Hingga pada tanggal 9 Januari 2020 kemarin, Netflix meresmikan kemitraan strategis dengan Kemendikbud untuk mendukung pengembangan talenta perfilman Indonesia.

Secara spesifik, akan berfokus pada pengembangan kemampuan penulisan kreatif (creative writing), pelatihan pasca-produksi, serta lomba film pendek. Selain itu, akan ada juga pelatihan di bidang keamanan online serta tata kelola untuk menghadapi pertumbuhan industri kreatif yang dinamis. Di kemitraan tersebut, Netflix mengucurkan dana setara $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah.

Sejatinya sinergi seperti ini menjadi corong yang sangat baik bagi industri kreatif di Indonesia untuk berkembang pesat. Selain menghadirkan pengetahuan global – dalam hal ini ilmu film dari Hollywood – peran OTT juga bisa dimanfaatkan sebagai kanal bagi pelaku kreatif untuk merangkul pasar internasional. Terlebih Netflix kini jadi salah satu takaran kualitas untuk produk film. Tidak hanya film sebenarnya, platform seperti Spotify bahkan TikTok memungkinkan beragam kreativitas digital dipasarkan secara luas.

Sehingga idealnya kemitraan dengan OTT tidak hanya dipandang dari sudut regulasi finansial, melainkan perlu berunding dengan kementerian lain, dalam hal ini misalnya Kemenparekraf.

Harapan untuk akses yang lebih bebas

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo bahwa masyarakat bisa mempersoalkan pemblokiran ke layanan OTT tertentu apabila dirasa merugikan. Karena pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk memilih.

“Yang pertama, hak untuk mendapat informasi, right to know. Kalau pemblokiran itu menghambat konsumen mendapat informasi, mestinya dapat dipersoalkan,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia.

Pasalnya, aturan model pemblokiran ini seperti sudah jadi warisan turun-temurun. Bahkan untuk mendorong inisiatif ini, pada tahun 2017 lalu Kominfo menganggarkan 211 miliar Rupiah untuk membeli mesin sensor internet. Kendati sudah jadi rahasia umum, situs-situs yang diblokir tetap bisa diakses mekanisme tertentu.

Tentu kita punya harapan, bahwa internet bisa menyuguhkan konten-konten berkualitas, baik untuk hiburan maupun pendidikan. Selain pemblokiran, ada satu hal yang terus kami coba tawarkan untuk pemerintah, yakni penguatan literasi digital masyarakat. Beberapa aktivitas riil yang dapat dilakukan seperti:

  • Melakukan sosialisasi aktif memanfaatkan jaringan institusi pemerintah (sampai level desa) untuk memberikan pemahaman tentang literasi digital. Materi literasi digital yang diajarkan mendorong kalangan masyarakat memahami batasan konten relevan yang bisa mereka akses.
  • Memberikan akses dan dukungan kepada pelaku industri kreatif digital untuk mengisi ekosistem internet nasional dengan konten-konten berkualitas, dengan beragam bentuk.

Dengan cakupan global, sebuah keniscayaan internet untuk bersih dari konten negatif. Memberikan pemahaman tentang konten negatif itu sendiri akan menjadi aksi visioner yang membentuk pribadi bangsa yang lebih baik. Tanpa harus diblokir, masyarakat menjadi tahu bahwa suatu konten negatif tidak layak diakses.

Memaknai Peran Teknologi untuk Membantu Menyelesaikan Masalah Pendidikan di Indonesia

Masih ada banyak permasalahan yang harus dihadapi Indonesia di sektor pendidikan. Kehadiran teknologi dianggap belum sepenuhnya bisa mengentaskan masalah yang sudah terjadi puluhan tahun. Dua hal yang banyak dipersoalkan adalah masalah kualitas dan efektivitas pembelajaran. Secara perlahan sudah sudah banyak solusi ditawarkan startup pendidikan Indonesia.

Dulu, perbedaan kualitas pendidikan selalu dikaitkan dengan pembangunan yang tidak merata. Distribusi informasi seperti buku ajar dan bahan materi selalu terganggu akibat infrastruktur yang belum merata di semua daerah. Sekarang, ketika internet sudah mulai hadir di daerah-daerah akses informasi menjadi mudah. Kendati masih belum sepenuhnya, distribusi materi sudah mengalami kemajuan.

Startup seperti Ruangguru, Zenius, HarukaEdu, dan semacamnya harusnya mendapat perhatian khusus oleh para regulator. Kehadiran mereka berperan aktif mengubah budaya masyarakat Indonesia dalam belajar. Serupa dengan apa yang dilakukan Gojek, Bukalapak, atau Tokopedia yang telah mengubah atau bahkan menciptakan budaya baru di masyarakat Indonesia dalam bertransaksi.

Kecakapan berteknologi

Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi menyumbang banyak solusi di berbagai bidang. Internet dengan segala kemudahan akses informasi bisa jadi perpustakaan paling lengkap di dunia, atau bahkan bisa jadi ruang kelas paling menyenangkan yang begitu luwes. Tapi hal itu terjadi jika, semua dari kita, semua yang terlibat dalam ekosistem pembelajarannya melek dan paham bagaimana memanfaatkan teknologi.

Cepat tersebarnya hoaks dan perundungan yang masih marak di media sosial dan platform semacamnya menjadi bukti bahwa kecakapan berteknologi di Indonesia masih dipertanyakan. Belum lagi teknologi dan internet yang harusnya menjadi sumber belajar malah dimanfaatkan sebagai sumber bocoran soal ujian. Di titik ini teknologi berhasil mengubah pendidikan di Indonesia, sayangnya dalam konteks negatif.

Perayaan kemudahan teknologi seperti ini yang patut menjadi perhatian. Budaya belajar mandiri masih sangat kurang. Terbentuknya group atau komunitas berbagai bocoran soal ujian juga sangat memperihatinkan. Sementara banyak yang berjuang menjadikan teknologi sebagai kendaraan revolusi pendidikan, di sisi lain teknologi menjadi penghambat proses pendidikan yang jujur dan berkualitas.

Dengan kondisi demikian sebaik apa pun solusi yang dihadirkan tidak akan berarti apa-apa. Teknologi kadung dimaknai dan disemarakan sebagai sebuah alat untuk mencapai sebuah tujuan singkat dengan cara yang tidak tepat, bukan sebagai solusi penunjang belajar dan solusi meningkatkan kemampuan belajar.

Solusi yang dihadirkan startup pendidikan

Ruangguru dan Zenius adalah dua startup yang memberikan solusi pembelajaran berbasis digital yang tak hanya berkualitas tetapi juga menyenangkan. Kata kuncinya ada pada bisa diakses dari mana saja dan dibuat berjenjang dengan beragam pendekatan, seperti kehadiran materi berbentuk multimedia hingga gamifikasi.

Selain pembelajaran formal startup pendidikan juga banyak bermunculan untuk pendidikan non formal atau bisa dikatakan sebagai pengembangan keterampilan. Mulai dari teknis seperti pemrograman, pengolahan data, marketing, public speaking, presentasi, dan banyak lainnya.

HarukaEdu adalah salah satu layanan yang menghadirkan solusi belajar online dengan pilihan yang cukup lengkap. Didukung dengan berbagai macam lembaga pendidikan mereka juga bisa mengeluarkan sertifikat sebagai bukti kompetensi.

Nama-nama seperti SkillAcademy, Kode.id, MauBelajarApa, Dicoding, dan semacamnya juga memiliki semangat yang sama untuk meningkatkan kemampuan masyarakat Indonesia. Setidaknya untuk bisa membekali diri dengan keterampilan dengan minat yang disesuaikan.

Teknologi untuk semua elemen pendidikan

Dalam dunia pendidikan sudah banyak elemen teknologi mulai masuk menggantikan sistem yang lama. Mulai dari pengurusan data pokok pendidikan, ujian nasional, dan beberapa proses lainnya. Sayangnya teknologi belum menyentuh secara keseluruhan proses belajar mengajar, yang seharusnya menjadi hal paling penting untuk mengubah budaya belajar.

Teknologi harusnya tak sebatas layar proyektor yang menampilkan materi presentasi, tetapi juga proses diskusi dan pembelajaran. Untuk mampu membuat sebuah budaya belajar baru yang lebih baik dengan memanfaatkan teknologi orang-orang yang terlibat di dalamnya harus lebih dulu cakap dalam menggunakan teknologi. Dalam hal ini siswa, guru, bahkan wali murid. Teknologi menawarkan kemudahan dan transparansi di banyak bidang, harusnya dalam dunia teknologi pun demikian.

Semua rencana belajar, perkembangan setiap siswa, dan komunikasi dengan orang tua murid harusnya berada dalam satu wadah yang sama. Mungkin akan butuh waktu lama untuk bisa langsung serentah mengaplikasinya di Indonesia. Tapi bukan tidak mungkin dilakukan.

Kesenjangan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri selalu disebut jadi permasalahan kunci yang harus dihadapi. Tapi adopsi materi dari industri kadang tersandung masalah administrasi atau bahkan kompetensi pengajar yang ada. Guru dan murid harus melek teknologi. Teknologi harus dimaknai lebih dari sekadar alat, tapi juga budaya untuk pengembangan diri dan kompetensi. Bukan sebuah jalan pintas untuk mengetahui jawaban apa lagi bocoran soal.

Warisan Pekerjaan Lama Buat Menteri Baru Terkait Startup dan Ekonomi Digital

Perubahan kabinet yang rutin terjadi tiap lima tahun sekali di Indonesia merupakan dinamika biasa dalam proses politik yang berujung pada bagaimana visi Presiden mewujudkan tujuan politiknya.

Tantangan di tiap periode jabatan selalu berubah. Banyak faktor eksternal dan internal di berbagai sisi yang selalu terjadi. Baik itu kondisi ekonomi yang selalu dinamis, pun demikian sosial, politik, teknologi, juga perilaku masyarakatnya.

Menghadapi kondisi demikian, perlu tokoh-tokoh berbeda yang punya kapasitas dan kemampuan yang sesuai untuk menghadapi tantangan tersebut. Presiden punya kepercayaan pada menteri yang ia tunjuk untuk menyelesaikannya.

Tidak ada visi menteri, yang ada hanya visi Presiden dan Wakil Presiden. Begitu tukas Presiden yang kembali ia ulang saat Sidang Kabinet Paripurna, pekan lalu. Sebelumnya pernyataan ini ia utarakan sesaat mengumumkan kabinet Indonesia Maju.

Bicara ekonomi digital, Presiden begitu ambisius untuk mengembangkan Indonesia sebagai macan baru Asia sejak pertama kali memimpin di periode sebelumnya. Di periode kedua sekarang, arah kebijakannya ke ekonomi digital dipertajam dengan merekrut orang-orang profesional di bidangnya yakni Nadiem Makarim, Wishnutama, dan Erick Tohir.

Lahirnya lima unicorn dari Indonesia, sejak Joko Widodo memimpin, membuktikan bahwa memang sudah saatnya pemerintah untuk lebih serius mengembangkan ekonomi digital yang menyimpan potensi besar. Makanya pemerintah perlu mendorong investasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.

Solusi yang paling dasar dari situ adalah mempermudah pembuatan izin usaha. Pada Juli 2019, pemerintah merilis sistem OSS (Online Single Submission) yang sebelumnya dilakukan melalui PTSP (Perizinan Terpadu Satu Pintu).

Itikadnya sungguh mulia karena menggabungkan seluruh proses izin ke dalam satu platform. Impiannya untuk proses perizinan usaha baru bisa selesai satu jam saja. Sayang, praktiknya belum bisa sampai di tahap itu.

Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Kuasa pemerintah daerah masih begitu kental sejak reformasi. Alhasil, OSS belum sinkron dengan perizinan di level daerah, khususnya izin wilayah. Padahal seharusnya OSS ini bisa menghubungkan kementerian/lembaga dan daerah di seluruh Indonesia.

Posisi EODB masih di belakang

Dampaknya, Indonesia masih termasuk ke dalam peringkat terbelakang dibanding negara tetangga untuk kemudahaan berbisnis (ease of doing business / EODB) yang dirilis Bank Dunia. Indonesia ada di peringkat ke-73, tidak berubah baik untuk peringkat di 2019 maupun tahun 2020. Peringkat ini terpaut jauh dari yang ditargetkan Presiden yaitu ke-40.

Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia masih di bawah Singapura (2), Malaysia (12), Vietnam (70), Thailand (21), dan Brunei Darussalam (66). Bila dibandingkan tiga tahun lalu tentu ada peningkatan. Saat itu Indonesia masih menempati posisi ke-114.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mencontohkan, untuk mengurus dokumen ekspor-impor butuh 61 hari dan border compliance sebanyak 53,3 hari. Pengusaha di Indonesia perlu meluangkan waktu 207 jam per tahun untuk memenuhi administrasi perpajakan jika dibandingkan Malaysia, misalnya, yang hanya 118 jam.

Menurutnya, kuasa ini ada di tangan BKPM. Meskipun demikian, BKPM tidak bisa bermain sendiri karena harus di-backup oleh Kementerian Koordinator yang tepat.

“Sayangnya, aneh bin ajaib ada angin apa urusan investasi kini di bawah Kemenko Maritim dan Investasi. Seperti dipaksakan sehingga fungsi koordinasi justru kurang nyambung dengan kebutuhan penguatan BKPM,” kata Bhima.

Aturan modal ventura kurang ramah startup teknologi

Rendahnya peringkat ini, menurut kacamata investor kurang tertarik masuk ke Indonesia ketika harus berurusan dengan perdagangan lintas batas dan pembayaran pajak.

Tren investasi ke sektor digital pada 2020 akan terus berlanjut untuk startup lokal. Akan tetapi, bila indikator EODB saja mandeg, kekhawatiran yang terbesar adalah berkurangnya channel penerimaan pajak buat negara.

Contoh terdekat yang bisa diambil adalah kehadiran pemain modal ventura (VC) asing ke Indonesia, namun tidak berizin sebagai modal ventura di bawah OJK. Sebagian dari mereka malah tidak berbadan hukum lokal.

Managing Partner Ideosource Edward Chamdani pernah mengatakan kepada DailySocial bahwa Ideosource belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan. Mereka harus menyetor modal minimal Rp50 miliar untuk memproses perizinan menurut POJK No.34 Tahun 2015.

Aturan ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, karena kebanyakan dari mereka menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun dana ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

OJK mencatat jumlah PMV yang mengantongi izin ada 65 perusahaan per Oktober 2019, sementara anggota di Amvesindo ada 75 perusahaan. MCI dan CCV termasuk ke dalam daftar OJK. Sedangkan, MDI dengan nama badan hukum PT Metra Digital Investama, tidak termasuk di dalamnya.

Kejadian di lapangan ini tidak sepenuhnya salah karena seluruh investasi yang diterima startup lokal harus melapor ke BKPM untuk didata sebagai investasi PMA. Masalahnya, mengapa investornya belum sepenuhnya taat dengan aturan pemerintah?. Jawabannya adalah besarnya pajak yang harus mereka bayarkan ke negara.

Maka, perlu insentif yang menarik di sini. Edward yang juga menjabat di Amvesindo menerangkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang besar masih jadi tantangan terbesar untuk investor lokal untuk kompetisi dengan pemodal asing.

PMK No.48 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura pada Perusahaan Mikro, Kecil, dan Menengah dianggap belum ramah mengakomodir aturan tentang pajak capital gain.

Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Besarnya angka ini membuat investor asing selama ini lebih memilih untuk menyalurkan modalnya melalui PMA, ketimbang kolaborasi dengan PMV lokal.

Padahal, menurutnya, sebetulnya banyak pemain PMV lokal yang tertarik untuk berpartisipasi dengan investor asing untuk bentuk pendanaan baru. Salah satunya yang cukup besar adalah komitmen Softbank untuk menyuntik $2 miliar kepada Grab.

“Kalau mereka [Softbank] masuk full $2 miliar sebagai PMA, langsung ke Grab sebetulnya tidak ada salahnya, tetapi itu jadi peluang yang mesti ditangkap IKNB OJK untuk menawarkan struktur dana ventura yang melibatkan investor lokal juga,” terangnya dikutip dari Bisnis.com.

Solusi untuk keluar dari masalah ini adalah mengubah UU, padahal kita tahu tidak mudah jika tidak ada yang mengajukannya ke prolegnas.

Lain-lain

Ini baru urusan investasi, belum bicara soal perusahaan teknologi global yang membuka kantor di Indonesia. Pemerintah di negara manapun sedang bersatu padu mencari cara memajaki raksasa teknologi. Google, Facebook, Amazon, Apple, Netflix juga termasuk dalam incaran.

Banyak cara buat para raksasa teknologi tersebut mengelabui pemerintah di tiap negara untuk bebas bayar pajak. Sekecil apapun persentase pajak yang harus mereka bayar, nilainya akan sangat besar karena begitu raksasa pemasukannya. DailySocial pernah membahas hal ini dan tak kalah serunya.

Warisan pekerjaan rumah ini patut menjadi perhatian para menteri baru. Perlu ada revolusi relaksasi aturan untuk meningkatkan gairah investor untuk tertib dengan aturan main di Indonesia, agar setiap investasi yang masuk tetap berkualitas dan tetap menjunjung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengkritik Facebook Adalah Cara Memelihara Dampak Positifnya

Dewasa ini sulit mencari pembanding yang sepadan dengan Facebook sebagai platform media sosial. Sebagai platform tunggal, belum ada yang sanggup menandingi jangkauan dan kegunaannya. Sebagian orang bahkan menganggap Facebook adalah internet itu sendiri

Pengaruh masif Facebook ini tentu juga terjadi di Indonesia. Dengan populasi mencapai ratusan juta jiwa, Indonesia adalah salah satu pasar yang paling “disayang”.

Sekitar dua pekan lalu, Facebook baru saja merilis studi yang menghitung dampak sosial dan ekonomi yang mereka hadirkan di Indonesia. PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagai penyusun studi merangkum dampak sosial-ekonomi kehadiran Facebook ke dalam empat kategori yakni individu, bisnis, komunitas organisasi, dan pemerintah.

Dalam spektrum individu studi itu menyebut Facebook berperan menjadi ruang menjalin silaturahmi dengan orang yang sudah dikenal (84%), juga jadi wadah bertemu orang-orang yang belum mereka kenal sebelumnya baik yang berada di kota yang berbeda (80%), luar negeri (69%), atau mereka yang punya hobi serupa (81%), atau yang punya hobi berbeda (63%).

Koneksi yang terjalin antar individu tersebut melahirkan sejumlah komunitas di Facebook yang perannya kian besar. Salah satu contoh terbaiknya adalah Masyarakat Indonesia Anti-Hoax (Mafindo) yang aktif melawan disinformasi, berita palsu, dan hoaks di jagat maya Indonesia. Maka tak heran studi ini mendapati dari 1.220 orang yang tercatat sebagai sampel, sebagian besar mengaku mendapat pengetahuan baru seperti kemampuan digital (79% persen), kemampuan bahasa (73%), vokasional (67%), literasi (75%), soft skill seperti komunikasi (69%).

Dari aspek bisnis, dampak Facebook tampak begitu menjanjikan. Studi tersebut mencatat bisnis UKM merasa terbantu terutama dalam hal pemasaran dan jangkauan pasar. Sebanyak dari 1.022 bisnis mengaku engagement dengan pelanggan mereka meningkat (92%), bisnis berhasil memotong ongkos pemasaran (75%), dan membantu usaha mendapat pelanggan lebih banyak (92%). Terakhir dari sektor pemerintahan, layanan Facebook membantu 410 kantor pemerintahan daerah dan pusat dengan rincian: terbantu dalam menginformasikan kebijakan (75%), menjalankan praktik transparansi dan keterbukaan (84%), serta memudahkan menerima masukan publik (95%).

Studi tersebut jelas memperlihatkan manfaat besar dari Facebook sebagai media sosial paling berpengaruh di dunia. Namun karena besarnya itu pula, kita tak bisa lagi melihat satu sisi saja. Dalam hal ini saya meyakini pemeo kekuatan yang besar mendatangkan tanggung jawab lebih besar. Tanpa mengesampingkan manfaat yang dibawa, Facebook punya pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum selesai.

Contoh pertama adalah potensi penyalahgunaan data seperti yang terjadi dalam skandal Cambridge Analytica. Skandal ini mencuat ke publik pada awal 2018. Data dari 87 juta pengguna Facebook menjadi korban dalam kasus ini. Sekitar 1,1 juta akun di Indonesia terimbas skalndal itu.

Meskipun tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepada Facebook di Indonesia, sejumlah negara bersikap lebih keras. Inggris misalnya menjatuhkan denda sebesar 500 ribu poundsterling atau sekitar Rp9 miliar terhadap Facebook karena lalai dalam melindungi data penggunanya. Sementara itu, FTC, sebuah badan regulasi di Amerika Serikat, menjatuhkan sanksi berupa denda US$5 miliar atau sekitar Rp70 triliun dan kewajiban membangun struktur privasi baru yang lebih baik bagi penggunanya. Dua negara itu menunjukkan bahwa Facebook bersalah dan punya tanggung jawab atas kelalaiannya.

Contoh buruk lainnya adalah misinformasi dan hoaks di Myanmar yang disebarkan melalui platform Facebook. Seperti di negara Asia Tenggara lainnya, Facebook adalah jejaring sosial terpopuler di sana. Popularitasnya jugalah yang membuatnya jadi alat bagi kaum ultranasionalis dan militer di sana untuk menyerang etnis Muslim Rohingya.

Persatuan Bangsa-Bangsa mencatat ada 700.000 warga Rohingya lari dari Myanmar untuk menghindari pembantaian akibat kobaran kebencian di sana. Sebuah kasus yang disebut PBB sebagai “contoh textbook pembersihan etnis”.

Masalahnya, berbeda dengan dampak sosial yang mereka banggakan, Facebook sebagai raksasa teknologi kerap lupa diri dan terkesan naif akan pengaruhnya dalam sejumlah konflik di dunia nyata. Dalam kasus Rohingya tadi, mereka mengaku lambat merespons insiden itu.

Kelambanan Facebook dalam menyikapi situasi genting seperti itu juga tercermin dari cara CEO Facebook Mark Zuckerberg saat dihujani kritik pascapemilu AS 2016. Kala itu berbagai pihak mencibir Facebook karena terkesan membiarkan misinformasi merajalela sehingga memengaruhi hasil pemilu AS yang akhirnya dimenangi Donald Trump.

“Setelah pemilu, saya membuat pernyataan yang saya pikir bahwa misinformasi di Facebook mengubah hasil pemilu itu sebagai ide gila. Menganggapnya sebagai hal yang gila itu meremehkan dan saya menyesalinya,” kata Zuckerberg dua tahun silam.

Harus terus dikritisi

Tak ada alasan untuk berpaling dari manfaat sosial-ekonomi yang dibawa oleh Facebook. Namun melihat sepak terjang mereka yang tak banyak berubah, rasa skeptis patut terus dipelihara.

Belum lama Zuckerberg menyatakan sikap bahwa iklan politik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Ini adalah contoh kesekian kali bos Facebook ini seakan tutup mata bahwa iklan politik membawa bom waktu yang sifatnya memecah belah publik dengan misinformasi dan hoaks.

Kita sudah kenyang dengan polarisasi opini yang begitu tajam dari sekian kali pemilu di Indonesia. Kita juga tahu kontraktor politik macam Cambridge Analytica punya peran dan siap memanfaatkan “dukungan” oleh Facebook tersebut. Ini sebabnya kita perlu sadar dan kritis terhadap apa yang Facebook berikan kepada publik.

Facebook setidaknya perlu bersikap seperti Twitter yang sudah tegas menolak iklan politik di platformnya. Kita tidak ingin misinformasi, berita palsu, dan hoaks mengotori beranda media sosial yang digunakan oleh 120 juta akun di Indonesia ini, yang nantinya malah menutupi dampak positif yang mereka usung.

(Masih Soal) Isu Kepercayaan di Transaksi Online

Pernah membeli barang di sebuah marketplace tapi selesai membayar, diinfokan penjual ternyata produknya kosong? Proses refund memakan waktu sampai 2-3 hari, padahal proses pembayaran yang kita lakukan selesai dalam satu atau dua menit.

Sepengetahuan kami, penjual online disediakan opsi memasukkan jumlah stok yang bisa mereka jual. Ketika sudah atau menjelang habis, penjual mendapatkan informasi atau pemberitahuan untuk restock.

Apapun alasan yang menyebabkan stok tidak diperbarui secara real time, isu ini sebenarnya minor. Ada potensi kesalahan manusia itu sendiri yang salah memasukkan jumlah stok, tapi jika terjadi terus menerus akan membuat pengguna jadi gusar. Hal ini adalah tipe keluhan umum yang sering terjadi.

Pemain e-commerce, apalagi yang bergerak di model C2C, menangkal masalah ini dengan membuat fitur tanya penjual (in app chat) untuk menepis keraguan konsumen dan menyediakan kolom diskusi, untuk tanya jawab langsung dengan penjual. Orang lain bisa melihat seluruh percakapan yang terekam.

Shopee bahkan menyediakan template pertanyaan yang umum dipakai saat menanyakan stok barang. Salah satunya, “Hi, apakah produk ini masih ada?” dan “Terima kasih.”

Kental suasana social commerce

Bila diperhatikan, solusi ini selalu berkaitan dengan berkirim pesan. Penyebabnya hanya satu: orang Indonesia itu senang mengobrol. Makanya selalu disematkan unsur chat untuk berdiskusi langsung dengan penjual.

Alhasil, konsep social commerce begitu laku. Setiap hal selalu ditanya, meski penjual (seharusnya) selalu memperbarui stok di kolom deskripsi barang. Menurut hemat kami, bila informasi barang yang dipajang dan penjelasan sudah jelas, kenapa harus ditanya lagi pertanyaan mendasar seperti ketersediaan barang?

Menurut riset yang dibuat Paxel dan Provetic, 87% responden memanfaatkan platform media sosial untuk berjualan online ketimbang platform e-commerce atau marketplace.

Bila dirinci, WhatsApp (84%) dan Instagram (81%) adalah aplikasi yang paling banyak dipakai responden untuk berjualan. Sisanya berjualan di Shopee (53%), Facebook (36%), Tokopedia (29%), dan Bukalapak (18%). Banyak rujukan riset lainnya yang menunjukkan social commerce ini memang begitu diminati.

Kami pernah menulis terkait alasan social commerce populer di Indonesia. Intinya, ada perbedaan gaya konsumen yang berbelanja lewat platform e-commerce dan media sosial.

Di media sosial, konsumen cenderung chatty karena takut salah beli dan ingin fleksibel untuk pembayaran dan metode pembayaran. Beda halnya dengan platform e-commerce. Konsumen sudah mandiri dan tahu apa yang mau dibeli.

Ada kecenderungan pemain e-commerce mencoba mengakomodasi konsumen yang chatty tersebut agar mereka, dengan kebiasaan yang ada, pindah ke platform yang lebih aman melalui fitur tanya jawab.

Hal ini memperlihatkan masih ada keraguan dari sisi konsumen untuk melakukan berbelanja online. Masih ada ketakutan yang menghantui, misalnya barang palsu, warna yaang berbeda dengan foto, atau ketakutan lainnya.

Sayangnya kabar jelek, misalnya kesalahan pengiriman barang atau bahkan “penipuan”, begitu cepat tersebar dan lebih mudah melekat di mindset orang-orang ketimbang kabar bagus.

Dengan penetrasi belanja e-commerce di Indonesia masih di bawah 10% dari total belanja ritel, isu ini perlu diselesaikan dengan inovasi baru agar tidak semakin bertumpuk dan akhirnya memengaruhi keputusan konsumen untuk beralih ke social commerce atau justru kembali secara offline.