Mengatasi Tantangan di Industri Peternakan dan Perikanan dengan Teknologi

Butuh waktu delapan tahun bagi e-Fishery membuktikan bahwa industri akuakultur adalah “the sleeping giant” lewat penggalangan dana seri C yang diikuti investor kelas kakap. Produksi akuakultur di Indonesia masih menjadi yang ketiga di dunia setelah China dan India. Pada 2018, produksi akuakultur mencapai 5,4 juta ton senilai $11,9 miliar (FAO 2020).

Tak hanya akuakultur, peternakan pun juga tak kalah besar potensinya. Konsumsi daging ayam di Indonesia pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita atau sekitar 3,5 juta kg per tahun. Diperkirakan pada 2029 nanti konsumsi ayam akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita. Kendati begitu, menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Di samping itu, industri ini masih ditimpa sejumlah isu klasik. Mulai dari akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Meski demikian, budidaya hewan tetap menjadi sektor yang menarik, seiring dengan meningkatnya permintaan protein hewani dan banyak startup yang mencoba mengurai berbagai masalah yang ada di setiap segmen. Para pendiri startup ini, datang dari multi disiplin, tidak hanya dari bidang akuakultur atau perunggasan. Mereka adalah Chickin Indonesia, Fistx, Delos, dan Pitik.

Bersama DailySocial.id, mereka berbagi pandangan mengapa inovasi di di sektor ini cenderung lambat di Indonesia dan bagaimana menyelesaikan tantangan tersebut dengan teknologi.

Co-founder dan CEO Chickin Indonesia Tubagus Syailendra Wangsadisastra mengatakan, inovasi digital di sektor ini lambat karena lanskap rantai pasoknya yang masih terfragmentasi dan banyak tengkulak yang membuat tidak adanya transparansi data. Hal ini mendorong ketidakcocokan antara permintaan dan ketersediaan stok.

Inovasi di segmen ini lambat, karena berinteraksi dengan petani dan peternak yang secara umum belum adaptif.

“Dari sisi market adoption, belum semasif di industri lain. Wave-nya baru-baru ini akan jadi emerging industri ke depannya. Saya yakin ini akan besar setelah melewati fase-fase tertentu. Fasenya e-commerce, fintech sudah lewat. Orang-orang di tier 3 dan 4 sudah pakai teknologi, baru kita mudah masuk ke budidaya,” kata Tubagus.

CEO Delos Guntur Mallarangeng menambahkan dari perspektif lain. Ia menjelaskan, sebenarnya jawabannya sederhana namun rumit. Sederhana, karena tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain.

Jawaban rumitnya berkaitan dengan masalah sistemik yang perlu dilihat secara makro. Mereka adalah kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia, kurangnya inklusi finansial, kurangnya adopsi teknologi terkini, dan tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri perikanan.

“Gabungan dari ke-4 poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya financial inclusion dari institusi-institusi finansial di negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan tidak terjangkau,” kata Guntur.

Dia melanjutkan, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi, membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”

Gabungkan IoT dengan teknologi lain

Berdasarkan tantangan tersebut, pendekatan IoT dengan gabungan teknologi lainnya menjadi langkah awal untuk memperkenalkan dunia digital di segmentasi ini. Contoh perusahaan yang fokus pada sensor dan perangkat berbasis IoT untuk memeriksa parameter air dengan cepat dan tepat adalah Jala, FisTx, Delos, dan eFishery. Selain itu, ada juga yang fokus pada pengolahan air seperti NanoBubble, Venambak, dan Banoo yang menyediakan mesin untuk mengoptimalkan oksigen terlarut (DO).

Dengan perangkat ini, parameter kualitas air dapat disajikan secara real time atau sebagai rangkaian data, sehingga memungkinkan memprediksi kualitas air lebih tepat dan mengambil tindakan jika ada tren yang tidak biasa. Terobosan ini membuat budidaya ikan dan udang lebih mudah diprediksi dan mudah dipraktikkan bagi pemula. Hal ini juga membuat sektor akuakultur menjadi lebih menarik bagi kaum muda.

Namun, menurut COO FisTx Rico Wibisono, hal yang paling menantang dalam penyediaan alat pemeriksa kualitas air, selain memastikan data yang cepat dan akurat, adalah bagaimana memberikan saran yang tepat kepada petani tentang langkah apa yang harus diambil dari hasil pengukuran. Dia mengatakan bahwa mengumpulkan data kualitas air adalah satu hal, tetapi menggunakan data dengan benar adalah hal lain.

FisTx mengembangkan teknologi khusus untuk budidaya udang yang fokus pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan. Contohnya adalah mobile water steriliser dengan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dan didukung sinar ultraviolet tanpa residu. Teknologi tersebut, bila dibandingkan dengan bahan kimia, bisa mengefisiensikan biaya desinfektan antara 35-53%.

“Kemudian kami juga mengembangkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan industri, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limba lebih sedikit. Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak.”

Tubagus menambahkan, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting dalam mengatasi permasalahan mereka. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B.

Pihaknya melakukan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Perangkat IoT digunakan untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Keberhasilan panen ditentukan dari seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI Support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Temptron yang dikembangkan Chickin / Chickin

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Pendekatan di lapangan

Di tengah literasi yang belum mumpuni di seluruh pelosok, maka dalam proses memperkenalkan kepada para petani memilki tantangan tersendiri. Tubagus menjelaskan, sebenarnya para peternak sudah paham dengan konsep climate control. Target pengguna produk ini adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad.

Dengan demikian, dari sisi Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time. Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya.

Co-founder dan CEO Pitik Arief Witjaksono menambahkan, dalam memperkenalkan solusi Pitik, pihaknya rutin mengadakan pelatihan baik lewat daring maupun luring. Bekerja sama dengan Edufarmers Foundation, lembaga non profit dari Japfa, mereka memperkenalkan aplikasi Pitik di Jawa Timur.

“Teknologi kami terbukti membantu peternak [Kawan Pitik] dalam mengurangi tingkat mortalitas ayam sebesar 50% dan meningkatkan penggunaan pakan lebih dari 12%. Sejauh ini respons mereka positif dalam menggunakan teknologi dari Pitik,” terangnya.

Secara khusus, perusahaan memberikan dukungan menyeluruh kepada seluruh mitra peternak dalam mensuplai kebutuhan sapronak (sarana produksi peternakan) dengan kualitas terbaik. “Pitik menyediakan teknologi farm management agar peternak dapat melakukan proses produksi dengan lebih efisien, dan mengambil seluruh hasil produksi dengan harga yang kompetitif. Seluruh hal ini kami lakukan dengan skema kontrak yang transparan agar kami dapat menjadi mitra peternak terbaik.”

Sementara itu, FisTx melihat proses edukasi di petambak itu sangat bergantung pada psikologis dan psikografi di mana mereka berada. Untuk lokasi yang benar-benar baru, pertama kali yang dilakukan perusahaan adalah mencari early adopter dan terus kawal hingga ada hasil yang memuaskan. Dari situ, harapannya muncul domino effect, ditandai dengan mouth-to-mouth branding. “Alhamdulillah hingga saat ini kami memiliki lebih dari 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi,” kata Rico.

Model bisnis FisTx, sambungnya, cukup beragam tergantung produknya. FisTx 360 membantu para petambak dengan sesi konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, dari persiapan hingga panen tiba. Produk ini menganut model berlangganan untuk semua budidaya baik dari aqua input hingga teknologi. Kendati begitu, perusahaan juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen yang belum dapat dijangkau tim lapangan.

Tim FisTx / FisTx

Perjalanan di masa depan

Guntur mengakui solusi yang dikembangkan DELOS secara teoritis dapat diimplementasikan tidak hanya untuk tambak. Dalam kerangka ilmiahnya, dari satu spesies ke spesies lain sebenarnya tidak jauh berbeda, tetapi ada banyak variabel dan asumsi ilmiah yang harus disesuaikan.

“Ini semua seharusnya bisa diselaraskan dengan riset yang lebih banyak, tetapi itu akan menjadi fokus jangka panjang yang sekunder [bagi DELOS]. Fokus utama kami adalah budidaya spesies udang, yang merupakan komoditas laut Indonesia yang paling besar dan berharga.”

Ia mengatakan demikian karena, menurut data yang dia kutip, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun.

“Bahkan bisa lebih dari itu kalau Indonesia memiliki industri pertambakan yang bisa menghasilkan panen yang optimal dan stabil, sebab negara kita memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.”

Pendapat serupa juga diungkapkan Rico. Ia mengatakan, pada dasarnya potensi akuakultur di Indonesia luar biasa besar dan FisTx ingin memberikan hak kepada setiap spesiesnya agar dapat dibudidayakan secara luas di Indonesia. “Untuk saat ini kami fokus pada udang, namun teknologi kami ke depan bisa dipakai pada kepiting, belut, lobster, dan sidat.”

Tubagus menambahkan, berkaca pada pengembangan solusi sejenis Chickin di Israel, bernama Agrologic, perusahaan tersebut mengembangkan perangkat temptron untuk kandang babi, sapi, dan hewan ternak lainnya. Tidak menutup kemungkinan bagi Chickin untuk mereplikasinya di Indonesia, sebab menurutnya pada intinya iklimlah yang menentukan keberhasilan panen.

“Dalam timeline, kami sekarang ke vertical growth akuisisi dari hulu ke hilir, coba ke downstream dengan memegang demand agregasi ayam. Setelah itu ke midstream (rumah potong), upstream (kandang ayam) agar kami bisa supply farm input, dari pakan, bibit. Sembari masuk ke sektor horizontal di luar ayam, karena kami rencananya mau jadi leading meat commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Google Umumkan Dana Kelolaan Khusus “Impact Startup” di Asia Pasifik, Indonesia Masuk Radar

Google, melalui lengan nonprofit Google.org, mengumumkan dana kelolaan baru “Sustainability Seed Fund” yang difokuskan pada pendanaan hibah untuk startup impact di kawasan Asia Pasifik. Fund ini memiliki dana kelolaan sebesar $6 juta (lebih dari 86 miliar Rupiah), akan mengincar startup yang menyeriusi sektor-sektor berdampak, seperti polusi udara, keanekaragaman hayati, energi terbarukan, limbah sampah, dan ekonomi sirkular.

Lembaga nonprofit di Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk ke dalam radar Google untuk menerima pendanaan hibah tersebut, meski tidak disebutkan alokasi dana yang disiapkan Google.

Kepada DailySocial.id, Lead Google.org APAC Marija Ralic menuturkan, kawasan Asia Pasifik sangat rentan terhadap perubahan iklim, oleh karenanya pihaknya terus mencari cara untuk memajukan keberlanjutan dan memberdayakan orang lain untuk melakukan hal yang sama.

“Melalui Sustainability Seed Fund Google.org, kami berharap dapat mendukung lembaga nonprofit yang inovatif melalui pendanaan hibah dan sumber daya, untuk meningkatkan skala teknologi yang menjanjikan dan mengatasi tantangan keberlanjutan yang paling mendesak di kawasan ini.”

Dia melanjutkan, Google.org telah banyak menyaksikan berbagai organisasi dan lembaga nonprofit nan inovatif di seluruh Asia. Salah satunya, Indonesia menggunakan teknologi untuk mengatasi perubahan iklim. Contohnya adalah Gringgo Foundation, yang sebelumnya telah didukung melalui Google.org.

Sebagai catatan, Gringgo mendapat dana hibah dari Google.org sebesar $500 ribu pada 2019 setelah dinobatkan sebagai salah satu dari 20 peserta Google AI Impact Challenge. Gringgo merupakan yayasan yang didirikan pada 2017 oleh Febriadi Pratama. Yayasan ini mengadopsi teknologi untuk membantu mengatasi permasalahan sampah di Indonesiaa, khususnya Bali dengan pemanfaatan AI.

Ralic melanjutkan, sebelumnya pihaknya menyampaikan di konferensi iklim global COP26 pada tahun lalu, bahwa dalam hal keberlanjutan, swasta, pemerintah, dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama, menjalin kemitraan baru, dan bertindak sekarang. “Untuk alasan ini, kami memberikan $6 juta Google.org Sustainability Seed Fund di Asia Pasifik.”

Dana tersebut akan digunakan untuk membantu lembaga nonprofit lokal di seluruh kawasan untuk mengembangkan teknologi yang menjanjikan, mengatasi tantangan seperti kualitas udara, pelestarian air, dan meningkatkan akses ke energi terbarukan di Asia Pasifik dan sekitarnya.

Melalui dana ini, Google.org tidak hanya akan mendukung lembaga nonprofit dan organisasi dengan dukungan pendanaan dan dukungan dalam bentuk barang seperti kredit iklan gratis, tetapi juga teknologi dan pikiran, untuk mengatasi beberapa tantangan keberlanjutan yang paling mendesak di wilayah ini.

“Kami berharap dapat berbagi lebih banyak detail tentang dana tersebut dan bagaimana lembaga nonprofit dapat mengajukan permohonan dalam beberapa minggu mendatang,” pungkasnya.

Investasi berdampak vs filantropi

Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.

Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan. Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.

Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya,” ujar Soukhasing.

Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut , saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.

Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.

Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.

“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini.”

Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

Perluas Layanan Digital, Bank Mandiri Jajaki Metaverse

Saat ini layanan digital menjadi pilihan terbaik yang dapat ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan terutama perbankan kepada seluruh nasabahnya. Hal ini mendorong bank untuk terus update dan adaptif terhadap semua perkembangan teknologi, tidak terkecuali Bank Mandiri.

Bank Mandiri sebagai salah satu bank terkemuka di Indonesia yang memiliki layanan finansial digital terkini, saat ini mulai menjajaki bisnis di ekosistem metaverse. Metaverse sendiri merupakan sebuah platform yang menggabungkan terknologi AR, VR, dan AI untuk dapat berinteraksi di dunia virtual yang unik selayaknya urban lifestyle di kehidupan nyata.

Kolaborasi Bank Mandiri dengan WIR Group, dalam mengembangkan Metaverse

Baru-baru ini (16/3), Bank Mandiri menandatangani nota kesepahaman bersama dengan WIR Group untuk mengembangkan layanan perbankan berbasiskan teknologi virtual di dunia metaverse.

“Dengan adanya Bank Mandiri di Metaverse, tentunya akan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, ini sejalan dengan visi pemerintah Indonesia,” Darmawan Junaidi, Direktur Utama PT Bank Mandiri, Tbk (Persero), mengatakan dalam sambutannya.

Meskipun saat ini baru memasuki tahap awal pengembangan, Bank Mandiri meyakini bahwa kedepannya Metaverse bisa menjadi platform yang tepat untuk mewujudkan visi beyond banking.  Metaverse menjadi tempat yang ideal untuk melakukan ekspansi bisnis perbankan digital tanpa dibatasi oleh ruang fisik. Tentu kedepannya future banking yang berbasis advanced technology tersebut akan didambakan oleh masyarakat.

Layanan Perbankan Digital di Metaverse

Perbankan digital bukanlah hal yang baru bagi Bank Mandiri. Jauh sebelum ide untuk mengeksplorasi Metaverse, Bank Mandiri telah lebih dahulu memiliki layanan digital. Salah satunya adalah financial super app  Livin’ by Mandiri yang diluncurkan kepada publik pada tahun 2021 silam.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator juga mendukung pengembangan bisnis di sektor keuangan dengan perantara teknologi digital seperti metaverse ini. Bahkan regulator berencana untuk menyediakan sandbox sebagai tempat pelaku industri bereksplorasi agar bisa lebih yakin dalam mengembangkan layanan baru sebelum akhirnya dinikmati masyarakat.

Metaverse kedepannya akan jadi perpanjangan layanan digital Bank Mandiri. Dengan pemanfaatan segala teknologi yang ada, tentunya layanan perbankan digital di metaverse akan menjangkau masyarakat yang lebih luas dan semakin mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ekosistem metaverse diharapkan dapat memberikan value proposition dan banking experience yang terbaik bagi pengguna dan tentunya lebih fresh lagi.

FishLog Kantongi Pendanaan Awal Dipimpin Insignia Ventures Partners

Platform marketplace perikanan B2B “FishLog” mengumumkan telah merampungkan pendanaan tahap awal. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi yang diterima, pendanaan ini dipimpin oleh Insignia Ventures Partners.

Turut terlibat dalam investasi ini Arise, KK Fund, Ango Ventures, startup dari India bernama Captain Fresh, dan sejumlah angel investor seperti Co-founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, Co-founder AwanTunai Windy Natriavi, CMO Shipper Jessica Hendrawidjaja, dan beberapa nama lainnya.

Dana segar tersebut rencananya akan digunakan oleh perusahaan untuk memperluas ekosistem produk digital dan layanan perikanan di Indonesia, melakukan scale-up jaringan regional di seluruh negeri, sehingga memungkinkan bagi mitra baru untuk bergabung dengan ekosistem, dan membangun tim dan kemampuannya. FishLog sempat mengikuti sejumlah kompetisi dan program akselerasi, termasuk DSLaunchpad ULTRA.

“Melalui Fishlog, kami membangun penggerak pasar masuk untuk semua pemangku kepentingan perikanan di Indonesia, merampingkan proses rantai pasokan mereka menjadi lebih efisien dan transparan dalam cara yang lebih berkelanjutan”, ujar Co-Founder & CEO Bayu Anggara.

Serupa dengan layanan logistik lainnya, seperti Ritase hingga Shipper, FishLog ingin fokus di middle-chain logistik. Saat ini FishLog telah menjalin kemitraan dengan 25+ penyimpan sisi pasokan di daerah pesisir. Mereka telah melayani 10+ kota, dari Aceh hingga Papua. Ada sekitar 100 nelayan yang diklaim sudah terbantu layanan yang ditawarkan FishLog.

Solusi untuk rantai pasok perikanan

Meskipun sudah ada solusi yang dikembangkan oleh startup yang berfokus pada nelayan atau sisi petani dari rantai pasokan, Fishlog ingin membawa teknologi ke dalam rantai pasokan perikanan, menyediakan saluran distribusi yang kuat bagi nelayan, dan akses mudah untuk B2B mendapatkan ketersediaan ikan secara real-time.

FishLog hadir dari sisi logistik dan mendukung supply chain perikanan di Indonesia. Platform tersebut juga dilengkapi aplikasi yang bisa membantu mitra untuk pencatatan operasional gudang, akses bahan baku, dan akses pasar. Sejak menerapkan model ini, FishLog telah meningkatkan pendapatan hampir 20 kali lipat dari tahun ke tahun selain keunikan ini pendekatan terhadap rantai pasokan Indonesia yang terfragmentasi.

Mereka juga telah menyediakan solusi digital untuk gudang penyimpanan dingin untuk meningkatkan utilitasnya dengan terhubung dengan lebih banyak pemasok dan pembeli, juga memungkinkan pemasok ini menjadi lebih mudah akses ke barang.

“Dengan pengalaman di lapangan dan jaringan lokal dari tim pendiri, momentum yang cepat yang telah mereka capai sejak diluncurkan, dan fokus mereka pada digitalisasi distribusi cold storage, Fishlog berada di posisi yang tepat untuk memimpin dalam mengatasi inefisiensi yang sudah berlangsung lama dalam industri perikanan Indonesia,” kata Insignia Ventures Partners Founding Managing partner Yinglan Tan.

Application Information Will Show Up Here

Rencana Linktree Dukung Kreator dan Bisnis di Indonesia

Berfungsi sebagai alat untuk mendukung para kreator dan bisnis dalam melakukan pemasaran di media sosial, platform link-in-bio Linktree memiliki rencana bisnis di Indonesia usai menerima pendanaan $110 juta. Pendanaan ini juga telah menjadikan mereka sebagai perusahaan unicorn asal Australia dengan nilai valuasi sekitar $1,3 miliar.

Kepada DailySocial.id, Country Manager Linktree Indonesia Michael Wijaya mengungkapkan keunikan pengguna Linktree di pasar ini dan potensi Indonesia sebagai negara yang masuk dalam top 5 pasar terbesar secara global.

Alat pendukung kegiatan pemasaran

Berkantor pusat di Melbourne, Australia, Linktree didirikan oleh
Alex Zaccaria, Anthony Zaccaria, dan Nick Humphreys pada tahun 2016. Mereka mengklaim sebagai platform link-in-bio pertama yang memungkinkan para pengguna menampilkan identitas online dengan mudah dan mengkomersialisasi profil mereka.

Dengan satu tautan, pengguna dapat mengarahkan audiens mereka ke banyak tautan lain yang ingin mereka promosikan, seperti tautan ke situs website, toko online, dan juga dokumen.

Pandemi juga dikatakan telah mendorong pertumbuhan Linktree secara global. Di Indonesia sendiri sejak tahun 2020 jumlah pengguna sudah meningkat hingga 10 kali lipat. Penggunanya pun beragam, mulai dari influencer, konten kreator, hingga pegiat komunitas.

“Khusus untuk Indonesia akibat dari pandemi banyak pola penggunaan yang mulai bergeser, yang tadinya secara offline akhirnya pindah ke online dan mempengaruhi pertumbuhan pengguna pengguna. Ini terjadi secara organik, karena word of mouth, cukup menarik untuk produk yang tumbuh dari referral, kita melihat kondisi ini menjadi signal yang positif di sebuah pasar,” kata Michael.

Ditambahkan olehnya, dengan sifatnya yang agnostik memungkinkan bagi Linktree untuk melayani dari tipe pengguna yang beragam. Mulai dari kalangan individu, organisasi, brand, hingga pemerintah.  Linktree mencatat lebih dari 1,2 miliar klik ke situs yang berhubungan dengan bisnis dan penjualan di tahun lalu.

“Selain komersial, Linktree banyak juga digunakan untuk alat organisir, misalnya mereka ingin membuat presentasi dengan meninggalkan konsep lama dan menggunakan Linktree yang dilengkapi dengan video. Sejumlah kelompok kerja atau kegiatan workshop juga banyak yang menggunakan Linktree untuk distribusi sertifikat dan formulir pendaftaran acara,” kata Michael.

Untuk strategi monetisasi secara umum semua fitur bisa digunakan oleh pengguna secara gratis, termasuk penggunaan QR Code yang sudah dihadirkan oleh Linktree. Namun bagi pengguna yang ingin menikmati fitur tambahan, bisa berlangganan dengan memilih 4 paket yang telah diluncurkan  mulai tahun ini.

“Harga yang kami tawarkan sangat terjangkau dan kompetitif. Mulai dari Rp39 ribu hingga sekitar Rp200 ribu. Berdasarkan riset yang kami lakukan, harga tersebut termasuk kompetitif dibandingkan dengan platform serupa lainnya,” kata Michael.

Di Indonesia sendiri platform atau tools yang menawarkan opsi hampir serupa di antaranya adalah Lynk.id  Desty, dan  Oneblink yang dikembangkan MTARGET.

Rencana Linktree usai pendanaan

Hingga saat ini tercatat pengguna Linktree yang beragam terdiri dari 250 vertikal di seluruh dunia. Pada 2020 s/d 2021, vertikal kreator, pemusik, dan pelaku bisnis kecil masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata lebih dari 300%. Mereka juga mengklaim sebagai salah satu platform dengan pertumbuhan tercepat di dunia dengan lebih dari 24 juta pengguna.

Bulan Maret tahun ini Linktree telah berhasil merampungkan penggalangan dana senilai $110 juta yang dipimpin oleh Index Ventures dan Coatue dengan valuasi $1,3 miliar. Investor Linktree sebelumnya turut terlibat dalam putaran pendanaan ini, di antaranya adalah AirTree Ventures dan Insight Partners, serta partisipasi baru dari Greenoaks Capital.

Selanjutnya Linktree akan menggunakan pendanaan terbarunya untuk memperluas pasar, membangun tim, sumber pendapatan, dan memberikan lebih banyak manfaat untuk para penggunanya melalui berbagai pengembangan fitur dan kemitraan. Resmi menyandang status ‘unicorn’, Linktree terus memprioritaskan kebutuhan kreator, bisnis, dan seluruh pengguna sebagai salah satu dari 300 situs terpopuler secara global dengan 1,2 miliar pengunjung unik per bulannya.

“Linktree siap memperkuat layanannya di Indonesia dan memenuhi kebutuhan para kreator, pelaku bisnis, dan pengguna layanan digital. Bersama masyarakat Indonesia, Linktree akan menghubungkan audiens, memfasilitasi dan memaksimalkan potensi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia,” kata Michael.

Vinmo Ramaikan Industri EWA, Usung Layanan Pencairan Gaji Lebih Cepat

Vinmo menambah jajaran pemain earned wage access (EWA) yang beroperasi di Indonesia, dalam upaya mengurangi ketergantungan karyawan terhadap pinjaman online berbunga. Startup ini diusung oleh tiga orang founder, meliputi Kristoforus Giovanni, Adhi Pranata, dan Sastra Hamidjaja, dengan latar belakang pengalaman yang saling mendukung dalam merintis hadirnya Vinmo.

Kirstoforus misalnya, dulunya adalah HR Manager yang kesehariannya menyaksikan langsung fenomena karyawan yang memerlukan dana darurat dan mengajukan kasbon. Perusahaan pun tidak bisa membantu mereka karena terbentur aturan dan birokrasi yang memakan waktu lama, itupun jika disetujui. Adapun Sastra, pernah bekerja di beberapa perusahaan asing yang menerapkan EWA dan ia pun terinspirasi untuk menghadirkannya di Indonesia, tanpa mengganggu cash flow perusahaan.

Hadir dengan branding “kasbon”

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Kristoforus menyampaikan Vinmo hadir di tengah maraknya pinjaman online ilegal dan masyarakat butuh uang untuk membayar kebutuhan mendesak. Banyak orang tanpa berpikir panjang mengambil pinjaman ke aplikasi online tanpa memerhatikan bunga yang tinggi. “Kami harus bekerja keras untuk edukasi ke khalayak, terutama HRD dan bagian finance di perusahaan agar mengerti sistem EWA,” katanya.

Berkaitan dengan itu, pihaknya memperkenalkan diri ke publik dengan branding kasbon digital, bukan EWA. EWA memang dianggap sebagai istilah terkini yang menjelaskan bisnis utama Vinmo, tapi kata tersebut kurang familiar bagi orang Indonesia. Oleh karenanya, penggunaan kata kasbon digital diharapkan bisa lebih diterima. “Namun karena sekarang sudah zaman digital, maka Vinmo hadir sebagai kasbon digital.”

Seperti kebanyakan pemain EWA lainnya, Vinmo fokus pada penyediaan akses gaji lebih awal untuk karyawan agar mereka lebih sejahtera. Perusahaan tidak memosisikan diri sebagai perusahaan pemberi pinjaman karena tidak ada kerangka waktu pembayaran, biaya bunga, jaminan, pemeriksaan kredit, atau biaya keterlambatan. Karyawan yang memanfaatkan Vinmo hanya dibebani biaya administrasi sebesar 3% apabila melakukan pencairan.

Kristoforus menuturkan, diferensiasi Vinmo dengan pemain lain adalah transparansi dan dalam hal pengembalian dana, Vinmo menawarkan jangka waktu pembayaran lebih lama kemudian biaya transaksi yang lebih fleksibel. “Agar cash flow perusahaan tidak terganggu, sumber dana kasbon diambil dari Vinmo. Saat gajian tiba, tim Vinmo akan memberikan data ke HRD terkait penggunaan fasilitas Vinmo dan nominal yang harus dibayarkan oleh karyawan untuk dipotong gajinya.”

Cara kerja Vinmo

Untuk proses pencairan gaji, perusahaan diperlukan menjadi mitra di Vinmo dan mendaftarkan karyawannya. Selanjutnya, karyawan cukup mengunduh aplikasi Vinmo, mengisi data, dan menunggu verifikasi. Setelah itu, dana akan ditransfer ke rekening sesuai data yang diisi berdasarkan aplikasi yang diajukan dalam durasi 1×24 jam.

Terhitung, sejak Vinmo beroperasi pada September 2021, diklaim ada 30 perusahaan yang bergabung dan karyawan yang telah mengunduh aplikasi Vinmo tembus lebih dari 1.000 orang. “Target kami tahun ini bisa mencapai 100 perusahaan untuk diajak kerja sama.”

Target tersebut akan ditempuh dengan berbagai strategi pemasaran dan pengembangan inovasi baru untuk aplikasi. Di antaranya, penambahan fitur baru, seperti e-wallet, digital payment, dan digital agregator. Dengan demikian, aplikasi Vinmo dapat memenuhi semua kebutuhan pembayaran karyawan, tidak sekadar akses gaji lebih cepat saja.

“Banyak sekali perusahaan di Indonesia dan belum semua digarap oleh EWA. Kekuatan kami sebagai perusahaan lokal menjadi nilai lebih karena sangat mengerti attitude, habit, dan history orang Indonesia.”

Potensi bisnis EWA

Seperti diketahui, peluang EWA bertumbuh di Indonesia masih begitu besar karena memiliki segudang masalah, terutama dari sistem penggajian yang menjadi isu buat sebagian besar pekerja. Menurut data BPS, sekitar 129 juta pekerja menghadapi tekanan dan kesulitan finansial yang disebabkan oleh arus kas yang tidak teratur, jadwal pembayaran bulanan, pengeluaran tak terduga, dan akses finansial yang terbatas. Isu-isu di atas membuat mereka akhirnya “lari” meminjam uang dari lembaga tidak resmi, yang sering menetapkan bunga tinggi dan penagihan yang mencekam.

EWA hadir untuk untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pinjaman online yang dianggap merugikan karena bunganya yang tinggi. Mengutip dari studi Health Living Index oleh AIA, uang adalah sumber utama faktor stres di Indonesia. Keuangan rumah tangga menyebabkan orang Indonesia lebih stres daripada pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan fisik mereka.

Survei global lainnya yang diselenggarakan PwC pada 2019 menemukan bahwa sebanyak 67% pekerja melaporkan berjuang pada tekanan finansial, yang berarti lebih dari dua pertiga populasi pekerja rentan terhadap migrain, depresi, dan kecemasan. Banyak penelitian menyoroti efek stres keuangan karyawan terhadap kinerja bisnis.

EWA dapat menjadi solusi untuk mendapatkan gaji lebih awal, bukan dalam bentuk pinjaman karena tidak memiliki bunga atau biaya keterlambatan. Pun, tidak memerlukan lisensi khusus, tidak seperti mengajukan perusahaan lending pada umumnya karena jaminannya langsung ke payroll karyawan, sehingga dari kacamata bisnis sangat masuk akal.

Application Information Will Show Up Here

Berbasis Komunitas, Ini Tips Meniti Karir di Dunia NFT!

Kata NFT mulai banyak diperbincangkan oleh khalayak ramai di Indonesia. Walaupun terbilang cukup baru, komunitas penikmat karya seni digital ini pun sudah semakin mudah ditemui di Indonesia. Para kreator berbakat dari berbagai latar belakang dan kolektor seni pun mulai banyak merambah ke dunia NFT.

Di Indonesia sendiri, bisa dikatakan fenomena viralnya Ghozali Everyday yang meraup untung Rp1,5 Miliar dari penjualan NFT-nya membantu menyebarkan lebih luas konsep NFT dengan cepat ke berbagai kalangan.

Senada dengan hal ini, Irvin Domi selaku NFT Enthusiast & Gallery Keeper RURU Gallery pada acara #SelasaStartup 15 Maret 2022 lalu, mengatakan keunikan dan konsistensi dari kreator NFT lah yang membuat karya NFT bisa terkenal dan laku dijual.

Domi juga menambahkan, kriteria karya NFT yang bagus terkadang subjektif, tetapi poin krusial menurut pandangannya adalah bagaimana kreator NFT memperlakukan sesama kreator lain dan atau kolektornya. Menurutnya, NFT berbasiskan komunitas, sehingga penting untuk menjaga ekosistem dan menjalin hubungan di dalamnya bukan sekadar jual-beli dan ingin untung besar saja.

Proses, Istilah, dan Strategi

Bagi yang ingin mencoba menjadi kreator dan kolektor NFT, Domi bersama host #SelasaStartup Wiku Baskoro, Co-founder Hybrid.co.id, membahas secara runut alur proses masuk ke dunia NFT. Mulai dari persiapan membuka akun digital wallet khusus kripto, memilih marketplace NFT dan strategi bagaimana menjual dan membeli karya NFT.

Alur Proses

Dijelaskan oleh Domi, hal yang paling mendasar adalah mengerti terlebih dahulu konsep blockchain, lantas setelahnya membuat akun digital wallet kripto untuk bisa masuk ke marketplace NFT, ia menyontohkan memakai crypto wallet Kukai. Proses membeli koin kripto pun mudah seperti money changer saja di berbagai platform seperti Indodax ataupun Tokocrypto. Perlu di perhatikan juga dompet digital harus disesuaikan pula dengan jenis token yang tersedia. Seperti Kukai yang memakai koin tezos dan marketplace pun menyesuaikan yang bisa menerima koin tezos ini. Setelah dompet digital kripto siap, dengan mudahnya Anda bisa langsung berselancar hunting karya-karya NFT yang ingin dikoleksi.

Istilah-Istilah Dasar

Di rangkum dari #SelasaStartup berikut adalah beberapa istilah dasar dalam dunia NFT:
1. Flipper

Orang yang sering membeli karya NFT yang diprediksi akan populer dan menjualnya kembali ke kolektor yang tidak sempat ikut lelang.

2. Creator

Orang yang membuat karya NFT dan menjualnya tetapi terkadang membeli juga, namun fokusnya adalah menciptakan karya
3. Minting 

Mengunggah karya

4. Listing

Menjual karya

5. Marketplace

Seperti marketplace biasa pada umumnya, tempat jual-beli karya NFT.

6. Edisi

Kopi atau eksemplar bila di dunia penerbitan buku. Di NFT karya juga bisa ditentukan ingin dijual sedikit atau sebanyak apa.

7. Royalti

Yang menjadi ciri khas NFT dan berkontribusi baik bagi para kreator adalah sistem royaltinya. Kreator akan terus dapat royalti dari karya NFT yang dijual kembali oleh koletor.

Strategi Bermain di Dunia NFT

Bagi kreator pemula, Domi menyarankan membangun ‘nama’ dahulu dan selalu konsisten berprogres. Ketika ingin menjual pun, disarankan dimulai dengan harga rendah sehingga diharapkan lebih banyak yang tertarik membeli dan menyebarkan karya-karya NFT Anda. Satu yang Domi tekankan sebelum menutup sesi #SelasaStartup, NFT adalah sektor yang berbasiskan komunitas, sehingga perlu untuk menjaga ekosistem dengan menjalin hubungan dengan para pelaku di industri NFT.

Diprakarsai oleh hal ini, Anda bisa bertemu dan berkoneksi dengan berbagai komunitas NFT sekaligus menikmati karya NFT secara langsung di dunia nyata dengan mengikuti acara Indo NFT Festiverse yang akan berlangsung secara offline pada tanggal 9 – 17 April 2022 di Galeri R.J. Katamsi Yogyakarta secara gratis. Mendukung pameran NFT ini, NFT marketplace pertama di Indonesia, TokoMall, pun turut mensponsori acara ini.

Tak ketinggalan, DailySocial.id juga akan turut serta hadir meliput dan menyajikan suguhan diskusi menarik dalam talkshow yang akan disiarkan melalui streaming pada akun Youtube Live dan Instagram Live DailySocial.id. Anda bisa berkunjung ke langsung ke laman art-popup.com untuk informasi dan pemesanan.

Bila ingin mengetahui lebih dalam terlebih dahulu, Anda juga bisa mengikuti webinar #SelasaStartup pada tanggal 22 Maret 2022 nanti yang akan menjelaskan lebih lanjut detil acara Indo NFT Festiverse ini di sini.

SS-Indo NFT Festiverse

Daftar #SelasaStartup “Art at The Junction With Tech”: http://dly.social/ssxnft3

Hangry Memulai Strategi “Brand Aggregator”, Akuisisi Merek Kuliner Lokal

Hangry memulai strategi ala brand aggregator untuk melengkapi sajian kuliner di dalam outlet-outletnya. Dalam debutnya, Hangry “House of Winning Brands” mengakuisisi penuh pengembang merek makanan khas India bernama Accha. Nantinya produk Accha akan masuk sebagai varian menu di layanan Hangry.

“Semuanya dimulai ketika Hangry melihat kemajuan yang pesat dalam pertumbuhan Accha. Setelah beberapa kali melakukan pembicaraan, Hangry dan Accha menemukan kesamaan visi, misi, dan filosofi dalam membangun sebuah brand. Kesamaan ini membuat kami percaya bahwa kami dapat tumbuh lebih cepat dan lebih efisien saat kami bergabung ke dalam satu perusahaan,” ujar Co-Founder & CEO Hangry Abraham Viktor menanggapi akuisisinya atas Accha.

Di sesi wawancara, Abraham mengatakan, ke depan Hangry akan mengakuisisi lebih banyak brand kuliner — kendati demikian mereka tidak akan berhenti memproduksi brand makanan baru secara mandiri. Seperti diketahui, saat ini di setiap outlet Hangry terdapat beberapa brand makanan yang bisa dipesan, mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Kopi Dari Pada, dan Ayam Koplo — keempatnya merupakan merek kuliner yang mereka kembangkan secara ‘in-house’.

Strategi menjadi brand aggregator juga diyakini bisa mendekatkan Hangry dengan cita-citanya untuk melayani pasar global, sehingga tidak menutup kemungkinan ke depan juga akan ada brand makanan di luar Indonesia yang akan diakuisisi dan dimasukkan ke dalam ekosistemnya.

Dalam kesempatan yang sama Abraham juga mengatakan, bahwa tahun ini akan menggencarkan penggalangan dana lanjutan, mengingat bisnis kuliner multi-brand seperti ini sedang meningkat pesat permintaannya di pasar. Menurut laporan terbaru Momentum Works, sepanjang 2021 layanan food delivery di Asia Tenggara mengalami pertumbuhan 24,3% menghasilkan GMV mencapai $4,6 miliar.

Pertumbuhan pasar tersebut turut didukung dengan penyedia layanan food delivery yang semakin beragam. Di Indonesia, untuk pemain skala nasional selain GoFood dan GrabFood, kini juga ada Shopee Food hingga Traveloka Eats Delivery.

“Ini adalah awal yang baik bagi kami di Hangry. Saat ini, kami memiliki empat brand yang dikembangkan sendiri dan Accha akan menjadi brand kelima dalam keluarga kami. Hangry juga membuka kesempatan ini bagi brand lain yang memiliki visi yang sama dengan kami untuk bekerja sama dalam satu perusahaan. Sila kunjungi website kami di ishangry.com/investment untuk informasi lebih lanjut,” imbuhnya.

Pertumbuhan bisnis Hangry

Sajikan produk makanan khas India yang diproduksi Accha / Accha

Sejak memulai bisnisnya di akhir tahun 2019, Hangry telah mengoperasikan 74 outlet yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Tahun lalu mereka juga mulai merambah ke restoran makan di tempat (dine-in), setelah sebelumnya hanya melayani pemesanan lewat aplikasi food delivery. Per Q4 2021 mereka juga melaporkan telah berhasil menjual 10 juta porsi makanan dan minuman melalui outlet yang dimiliki.

Ekspansi kencang ini dilakukan Hangry setelah berhasil membukukan pendanaan seri A 188 miliar Rupiah pada Mei 2021 lalu. Dengan pendanaan awal yang diterima, kurang lebih perusahaan berhasil membukukan dana modal dari investor hampir 250 miliar Rupiah. Alpha JWC Ventures, Sequoia Capital India, SALT Ventures adalah nama-nama yang turut menyokong dana.

Abraham turut meyakini, keberhasilan Hangry dalam bertahan dan melewati krisis akibat pandemi menjadi pembuktian tersendiri terhadap bisnis model yang mereka jalankan. Fundamental dari bisnis multi-brand sebelumnya dikenal dengan istilah cloud kitchen – yakni memungkinkan sebuah dapur terpusat mengelola beberapa jenis merek menu makanan sekaligus. Adanya platform pesan antar turut membuat bisnis ini bisa gesit melakukan perluasan.

Berbeda dengan bisnis restoran tradisional yang membutuhkan biaya operasional besar ketika ingin menambah kehadirannya di kota-kota baru, layanan seperti Hangry cenderung lebih efisien untuk diperluas. Justru tantangan mendasarnya adalah bagaimana mereka mampu menyajikan menu-menu yang relevan bagi pasar – di samping variasi menu yang ditawarkan.

Bisnis turunan cloud kitchen

Dengan mengusung konsep dasar cloud kitchen, Lokalkitchen juga menjadi startup lokal lain yang fokus mengembangkan multi-brand kuliner. Sedari awal, strategi mereka dengan menjaring brand F&B yang dianggap potensial. Mereka berperan sebagai pusat akselerator, menyajikan dukungan pendanaan, pemasaran, teknologi, dan logistik untuk memajukan brand kuliner terkait.

Pendekatan menjadi brand aggregator juga sebenarnya mulai dilakukan pemain lain, termasuk Dailybox yang baru-baru ini mengakuisisi Breadlife; juga ada Foodstory.

Hal lain yang juga khas terhadap bisnis kuliner yang memanfaatkan konsep cloud kitchen adalah penerapan teknologi. Tujuan utamanya untuk memberikan pengalaman pengguna yang unik kepada para pelanggannya. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari penerapan konsep O2O (pesan di aplikasi, ambil di outlet), sistem keanggotaan, loyalitas, sampai dengan pembayaran.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Rencana-Rencana Sequoia Capital Mendukung Pertumbuhan Startup Indonesia

DailySocial dan Managing Director Sequoia Capital Abheek Anand berbincang mengenai ekosistem startup di Indonesia yang semakin bertumbuh dan bagaimana Sequoia Capital berperan merancang serangkaian program demi mendorong percepatan bisnis startup.

Untuk video menarik lainnya seputar modal ventura (venture capital) di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi VCTalks.

Sayurbox Umumkan Pendanaan Seri C Senilai 1,7 Triliun Rupiah

Sayurbox mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri C senilai $120 juta atau setara 1,7 triliun Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Northstar dan Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari International Finance Corporation (IFC). Investor sebelumnya turut terlibat, di antaranya Astra, Syngenta Group Ventures, Global Brain, dan beberapa investor lainnya.

Pendanaan seri C ini didapat kurang dari setahun setelah pendanaan Seri B senilai $15 juta yang dipimpin oleh Astra. Perolehan tersebut makin mengokohkan perusahaan di jajaran centaur lokal dengan estimasi valuasi sekitar $200 juta-$400 juta.

Dana segar yang didapat akan digunakan untuk mempercepat penetrasi layanan Sayurbox di kota-kota baru seperti Bandung dan beberapa kota lainnya, serta memperluas rantai pasokan end-to-end Sayurbox secara nasional.

Sayurbox mengatakan telah mengalami pertumbuhan eksponensial melalui penambahan produk, ekspansi cakupan wilayah dari Jabodetabek ke Surabaya dan Bali, serta membangun jaringan gudang mikro untuk layanan cepat (quick commerce) Sayurbox dan SayurKilat.

“Sayurbox didirikan dengan misi sosial untuk memberikan akses pasar kepada petani lokal melalui digitalisasi rantai pasok pertanian Indonesia. Sistem dan ekosistem yang kami kembangkan memungkinkan kami untuk memiliki visibilitas penuh dari seluruh rantai pasokan pertanian, memberikan pengalaman terbaik bagi pelanggan dalam hal pilihan produk, kesegaran, harga, dan pengiriman tepat waktu,” ujar Co-Founder & CEO Sayurbox Amanda Susanti.

Didirikan pada tahun 2017, Sayurbox kini menyediakan lebih dari 5.000 produk hasil pertanian, daging dan ikan, serta makanan jadi, dengan cakupan pengantaran di Jabodetabek, Surabaya, dan Bali. Sayurbox saat ini melayani sekitar 1 juta pelanggan serta bekerja sama dengan lebih dari 10.000 petani di seluruh Indonesia.

Online grocery di Indonesia

Sayurbox juga telah memulai model bisnis quick commerce / Sayurbox

Layanan online grocery menjadi salah satu model bisnis yang berkembang pesat selama pandemi. Mobilitas masyarakat yang terbatas membuat mereka mencari alternatif untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Namun demikian, untuk memenangkan pangsa pasar online grocery bukan perkara mudah. Tantangannya mulai dari penyediaan infrastruktur, sistem rantai pasok, sampai dengan persaingan yang semakin ketat – baik dengan para pendatang baru maupun raksasa ritel sebelumnya.

“Berkembang di sektor online grocery bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat risiko besar operasional dan logistik, serta perbedaan perilaku konsumen yang beragam. Namun, Sayurbox telah menemukan kunci dan solusi mengatasi tantangan ini dan berhasil berkembang pesat serta berkelanjutan. Sayurbox kini telah menjadi perusahaan berkelas dunia, tak kalah dengan startup-startup online grocery unggul lainnya di dunia, dengan operasional yang memungkinkan mereka mengantarkan produk segar dari petani ke konsumen hanya dalam 12 jam,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Sepanjang tahun 2022 ini, industri online grocrey di Indonesia memang menjadi lebih menarik untuk diperhatikan. Januari lalu, Kedai Sayur baru umumkan dana segar 50 miliar Rupiah dan mengokohkan diri menjadi bagian Triputra Group. Dilanjutkan CT Corp dan Bukalapak yang meluncurkan AlloFresh — terafiliasi dengan bisnis ritel Transmart. Astro dan Bananas juga bukukan pendanaan untuk penetrasi lebih dalam layanan quick commerce mereka. Terakhir Traveloka kenalkan fitur serupa online grocery sebagai bagian dari lifestyle superapp.

Menurut studi yang dilakukan L.E.K. Consulting, layanan online grocery di Indonesia nilai pasarnya telah mencapai $1 miliar di tahun 2021, diproyeksikan akan bertumbuh pesat sampai $6 miliar pada 2025 mendatang.

Potensi nilai yang besar tersebut turut dilihat raksasa teknologi lokal sebagai sebuah kesempatan. Misalnya dilakukan Blibli dengan mengakuisisi induk Ranch Market untuk perkuat penetrasi produk bahan makanan segar. GoTo sebelumnya mengakuisisi 6,74% saham jaringan ritel Hypermart untuk perkuat strategi omnichannel di kebutuhan pokok. Terakhir ada Traveloka yang mulai kenalkan fitur serupa online grocery di aplikasinya.

Application Information Will Show Up Here