Startup Logistik Indonesia Tunjukkan Traksi Luar Biasa, Peroleh Investasi 8,4 Triliun Rupiah Selama Tiga Tahun Terakhir

Ada banyak sektor penunjang dalam pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Logistik menjadi salah satu yang memiliki peran krusial menjadi tulang punggung bisnis e-commerce, yang menyumbang GMV terbesar pada ekonomi digital nasional.

Menurut data Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo), saat ini ada 561 bisnis logistik yang terdaftar, terdiri dari beragam jenis layanan, dengan mayoritas berfokus pada jasa pengiriman [penyedia armada]. Pada kenyataannya, kebutuhan logistik Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi – belum mengimbangi laju bisnis e-commerce yang mencapai ~14,8% CAGR antara 2020-2023.

Jika melihat isu yang lebih spesifik, masih banyak friksi di vertikal bisnis ini. Ambil contoh soal bagaimana angkutan barang dapat meningkatkan efektivitas. Sejauh ini, ketika sebuah armada berangkat ke tujuan membawa angkutan penuh, pulangnya harus mendapati bak yang kosong. Padahal. jika dapat terisi ketika pulang dan pergi, biaya operasional yang dikeluarkan dapat lebih efektif.

Belum lagi masalah klasik pebisnis, yakni menemukan solusi logistik yang tepat dan paling murah. Secara geografis, Indonesia menghadirkan tantangan unik bagi bisnis logistik – tidak jarang proses pengiriman harus menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Pebisnis mendapatkan tantangan tersendiri untuk menemukan mitra logistik yang tepat, khususnya menangani pengiriman di penjuru daerah.

Isu-isu tersebut kemudian melahirkan gebrakan dalam industri logistik yang berwujud inovasi teknologi. Selama tiga tahun terakhir, DailySocial mengamati adanya tren pertumbuhan yang konsisten dari perusahaan logistik berbasis teknologi, baik yang dikembangkan oleh inovator lokal maupun ekspansi layanan luar negeri untuk menyelesaikan permasalahan yang sangat spesifik.

Dukungan kapital yang kuat

Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta (Rp8,38 triliun dengan kurs hari ini).

Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.

Perusahaan Putaran Tahun
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A 2020
Series B 2021
Kargo Technologies Seed Funding 2019
Series A 2020
Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding 2019
Series A 2020
Series B 2021
SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding 2018
Pre-Series A 2018
Series A 2019
Series A+ 2020
Series B 2020
Webtrace Seed Funding 2020

Dukungan kapital ini menjadi pembuktian tersendiri bagi pemain teknologi logistik di Indonesia. Sejauh ini pemodal ventura lokal menjadi yang paling aktif berinvestasi di vertikal ini.

Investor Putaran Investasi
East Ventures 6
AC Ventures 5
Insignia Ventures Partners 4

Ukuran pasar yang besar

Managing Partner AC Ventures Adrian Li mengatakan, saat ini sektor logistik di Indonesia diperkirakan telah bernilai $275 miliar, tumbuh pada ~16% CAGR antara 2015-2020. Institusinya terlibat dalam pendanaan Shipper dan Kargo — termasuk di jajaran investor awal.

Ia berpendapat, saluran e-commerce memang menjadi aspek penting dalam pertumbuhan industri logistik. Secara khusus ia menyampaikan adanya peningkatan pesat pengiriman ke kota tier-2 dan 3 yang mengharuskan perluasan saluran logistik.

“Pertumbuhan konsumsi, perdagangan, dan pengembangan infrastruktur akan mendorong inovasi logistik untuk menghadirkan solusi yang lebih efisien dan hemat biaya […] Kami memproyeksikan sektor ini akan menghasilkan gelombang unicorn berikutnya. Dan kami memiliki keyakinan kuat bahwa ruang ini akan menunjukkan pertumbuhan substansial dalam dekade berikutnya,” ujar Adrian.

Di kesempatan terpisah, Co-Founder & COO Shipper Budi Handoko menyampaikan, empat tahun lalu ketika menginisiasi Shipper ia melihat permasalahan yang nyaris dihadapi semua pelaku UMKM ketika berdagang secara online. Shipper hadir menjadi sebuah aplikasi agregator logistik dan layanan warehousing, membantu pebisnis melakukan manajemen pengiriman secara tepat.

Menyinggung soal investasi di bisnis logistik, Budi menilai saat ini selain investor lokal, banyak pemodal ventura global yang juga tertarik berinvestasi ke startup Indonesia. Hal ini dibuktikan Shipper dengan keterlibatan sejumlah investor luar negeri di setiap tahapan pendanaannya. Ia menegaskan, permasalahan logistik Indonesia memang unik dan inovator lokal punya posisi kuat untuk menyelesaikan masalah ini.

Tren pendanaan logistik

Selama tiga tahun terakhir, nilai investasi untuk startup logistik di Indonesia juga terus mengalami pertumbuhan pesat. Hingga Juli 2021, artinya baru 7 bulan, nilai pendanaan yang dikucurkan investor meningkat hampir 2x lipat dibanding pendanaan sepanjang tahun 2020. Dari $182,9 juta menjadi $364 juta. Keyakinan investor masuk mendanai startup di late stage didasari traksi yang kuat di bisnis ini.

Hal ini diharapkan menjadi indikasi baik bagi ekosistem dan menjadi pemicu inovasi untuk memecahkan berbagai permasalahan logistik di negeri ini.

Pandemi nyatanya tidak menyurutkan ekspansi bisnis dan produk dari startup logistik di Indonesia. Menurut Budi, pandemi justru menjadi turning point karena jasa logistik meningkat seiring banyaknya permintaan pengiriman dari layanan e-commerce.

Gambar Header: Depositphotos.com

Aruna Umumkan Pendanaan Seri A 507 Miliar Rupiah

Startup aquatech Aruna mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan seri A senilai $35 juta atau setara 507 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Prosus Ventures dan East Ventures dengan partisipasi SIG serta investor sebelumnya seperti AC Ventures, MDI Ventures, Vertex Ventures, dan beberapa investor lainnya.

Pendanaan ini diklaim menjadi seri A terbesar di Indonesia saat ini, khususnya di sektor pertanian dan perikanan.

Sebelumnya tahun 2020 lalu Aruna membukukan tambahan untuk pendanaan awal senilai $5,5 juta dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Selanjutnya dana segar akan difokuskan Aruna untuk meningkatkan ekspansinya di lingkup nasional dan memperkuat infrastruktur rantai pasoknya. Selain itu mereka ingin membuka pasar baru dengan menambah varian komoditas, serta meningkatkan kapabilitas teknologi dan data analisisnya.

“Pendanaan ini akan membantu kami dalam meningkatkan jaringan nelayan dan penambak kami di seluruh Indonesia dalam memenuhi tingginya permintaan global. Aruna bercita-cita untuk menjadi solusi yang nyata dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir,” ujar Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam.

Bersamaan dengan ini, perusahaan juga menunjuk Budiman Goh sebagai President; dan salah satu co-founder mereka Utari Octavianty sebagai Chief Sustainability Officer.

“Aruna akan terus mengombinasikan kapabilitas teknologinya dengan local insights dan juga studi kasus dari pasar global, sembari menjaga ekosistem, memberdayakan masyarakat pesisir dan memenuhi permintaan dari pasar global,” imbuh Utari.

Seperti diketahui, Aruna didirikan sejak tahun 2016. Selain Farid dan Utari, ada juga Indraka Fadhlillah sebagai co-founder. Lewat teknologi mereka ingin mentransformasi rantai pasok perikanan untuk memenuhi pasar global. Diharapkan digitalisasi dapat memperpendek proses dan membuat prosesnya lebih ringkas plus terintegrasi.

Potensi sektor perikanan

Indonesia saat ini menjadi produsen ikan kedua terbesar di dunia dengan ukuran pasar mencapai $30 miliar. Industri ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan, terdaftar lebih dari 3 juta nelayan.

Berdasarkan data BPS, produksi perikanan di Indonesia memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2014 peningkatannya bahkan di atas 20%. Luas kawasan konservasi pun terus meningkat, data terakhir per tahun 2017 ada sekitar 19,14 juta hektar.

Tidak hanya dikonsumsi di dalam negeri, produk ikan juga menjadi salah satu komoditas ekspor yang menjanjikan. Sejak tahun 2012, pasar Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok menjadi tujuan ekspor yang terus digenjot.

Statistik industri perikanan nasional / Kementerian Kelautan dan Perikanan

Hadirnya Aruna dan startup perikanan lainnya memang menjadi angin segar bagi industri ini. Selain dalam hal produksi dan distribusi, idealnya efisiensi proses bisnis juga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang perikanan. Sejauh ini ada beberapa startup perikanan yang terus meningkatkan inovasinya, termasuk eFishery, Jala, hingga Danalaut dengan pendekatan bisnis dan produk yang berbeda-beda.

Oy! Raises 653 Billion Rupiah Funding, Soon to be Centaur

Afintech platform providing transfer service, Oy! reportedly raises series A funding worth of $45 million or equivalent to 653.4 billion Rupiah. Softbank Ventures Asia and MDI Ventures led the round with some investors including Pavilion Capital, AC Ventures, Alfamart, Central Capital Ventura, Wavemaker Partners.

Apart from already registered with the regulator, parties that involves in this agreement confirmed the new round. The total funding is said to take the company’s valuation to $108 million. AC Ventures entrance also brought one of its founding partners, Pandu Sjahrir, to the ranks of Oy!’s board members.

Oy!’s seed round has been raised from 2017 to 2020, several investors involved including MDI Ventures, Wavemaker Partners, Pavilion Capital, and Central Capital Ventures.

Oy! Indonesia offers several services, both for consumers and business. On the B2C sector, they have the Oy! Indonesia app to accommodate fund transfer between banks. Its capabilities also include remittances, enabling transfers between countries.

In terms of business, they provide API services to facilitate transactions, both for sending and receiving funds. Based on our observation, with the development of existing features, Oy! Indonesia seems more serious in working on the B2B segment. The open finance service potential is really impressive as business are transforming and trying to provide efficiency in the financial transaction process on its platform.

In the interbank transfer feature for consumers, Oy! is in close competition with the Flip app. We have specifically conducted an analysis of the two platforms. The market share is quite large for this service, based on BI data throughout 2019, the volume of domestic transactions was recorded at more than 218.89 million with a nominal value of Rp84.47 trillion. The remittance business alone recorded 37.7 million transactions with a value of Rp90.67 trillion.

This service is also available to resolve the interbank transfer fees issue.  Alfamart entrance as a strategic partner shows interesting indication, regarding the potential of Oy! to enter the online-to-offline (O2O) model in selling its services. This is in line with one of fintech’s visions to serve the underbanked, which still a big number in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Oy! Kumpulkan Pendanaan 653 Miliar Rupiah, Jadi Centaur Selanjutnya

Platform fintech penyedia layanan transfer dana Oy! dikabarkan berhasil mengumpulkan pendanaan seri A dengan total hingga $45 juta atau setara 653,4 miliar Rupiah. Softbank Ventures Asia dan MDI Ventures memimpin putaran ini didukung sejumlah investor termasuk Pavilion Capital, AC Ventures, Alfamart, Central Capital Ventura, Wavemaker Partners.

Selain sudah tercatat di regulator, beberapa pihak yang dekat dengan kesepakatan ini mengonfirmasi adanya putaran baru tersebut. Akumulasi dari total pendanaan ditaksirkan membawa valuasi perusahaan di angka $108 juta. Masuknya AC Ventures juga membawa salah satu founding partner mereka Pandu Sjahrir di jajaran board member Oy!.

Sebelumnya putaran seed Oy! digalang sejak taun 2017 s/d 2020, beberapa investor yang terlibat termasuk MDI Ventures, Wavemaker Partners, Pavilion Capital, dan Central Capital Ventura.

Oy! Indonesia memiliki beberapa layanan, baik untuk konsumer maupun pebisnis. Di kancah B2C, mereka memiliki aplikasi Oy! Indonesia untuk membantu pengguna melakukan transfer dana antarbank. Kapabilitas mereka juga sudah mencakup remitansi, memungkinkan dilakukannya transfer antarnegara.

Kemudian untuk bisnis, mereka menyediakan layanan API untuk memudahkan transaksi, baik untuk pengiriman maupun penerimaan dana. Dari pengamatan kami, dengan melihat laju pengembangan fitur yang ada, Oy! Indonesia tampak lebih serius untuk menggarap segmen B2B ini. Potensinya layanan open finance memang begitu mengesankan di saat para pebisnis melakukan transformasi dan berusaha memberikan efisiensi proses transaksi finansial di platformnya.

Di fitur transfer antarbank untuk konsumen, Oy! berhadapan langsung dengan aplikasi Flip. Secara spesifik kami pernah melakukan analisis terkait kedua platform tersebut. Pangsa pasarnya cukup besar untuk layanan tersebut, menurut data BI sepanjang tahun 2019 volume transaksi domestik tercatat ada lebih dari 218,89 juta dengan nominal Rp84,47 triliun. Bisnis remitansi sendiri mencatat 37,7 juta transaksi dengan nilai Rp90,67 triliun.

Layanan tersebut juga hadir untuk menyelesaikan isu biaya transfer antarbank. Masuknya Alfamart sebagai mitra strategis juga menjadi indikasi menarik, khususnya terkait potensi Oy! masuk ke model online-to-offline (O2O) dalam menjajakan layanannya. Hal ini sejalan dengan salah satu visi fintech untuk melayani kalangan underbanked yang jumlahnya masih banyak di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Startup Perawatan Gigi KLAR Peroleh Investasi Awal dari AC Ventures dan Kenangan Fund

Startup teknologi perawatan gigi estetika KLAR mengumumkan investasi tahap awal yang dipimpin oleh AC Ventures dan diikuti oleh partisipasi dari Kenangan Fund. Perusahaan tidak menyebut nominal yang didapat dalam putaran ini.

Dana segar ini akan dimanfaatkan KLAR untuk mencapai empat tujuan bisnis utamanya. Pertama, pengembangan dan riset untuk mengoptimalkan biaya perawatan agar pasien dapat menikmati layanan kualitas internasional tanpa menguras banyak biaya. Kedua, memperbesar tim agar dapat menjadi pemimpin di pasar.

Ketiga, dana akan dialokasikan untuk memperkuat posisi KLAR sebagai brand andalan pasien dan dokter gigi mitra yang menginginkan solusi merapikan gigi tanpa proses yang rumit. Terakhir, KLAR akan menambah portofolio produk pendukung untuk merapikan gigi pasien secara menyeluruh.

Co-Founder & CEO KLAR Ellen Pranata menyampaikan, pendanaan ini adalah langkah awal mengembangkan KLAR. Ia melihat semakin banyak pasien yang ingin memiliki gigi yang rapi dan senyum yang menarik untuk menambah rasa percaya diri, namun menginginkan proses yang nyaman tanpa mengorbankan estetik.

“Kami dan investor sedari awal sepakat bahwa tujuan bisnis kami adalah untuk memberikan solusi teknologi perawatan gigi yang reliable bagi masyarakat Indonesia,” kata Ellen dalam keterangan resmi, Selasa (29/6).

Potensi pasar untuk aligner di Indonesia diestimasi bisa mencapai $3 miliar (Rp43 triliun). Dengan pertumbuhan PDB per kapita dan meningkatnya minat perawatan diri dan estetika, KLAR yakin permintaan aligner di Indonesia akan terus meningkat. Di Indonesia, selain KLAR, ada RATA yang bermain di segmen yang sama.

“KLAR mencoba menyelesaikan masalah yang selama ini ada dengan solusi yang lebih baik, terjangkau, dan lebih nyaman. Didukung dengan tim pendiri yang solid dan jaringan industri yang kuat, kami percaya KLAR memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin di industri estetika gigi di Indonesia,” ucap Founder & General Partner AC Ventures Michael Soerijadji.

Model bisnis KLAR

Salah satu varian produk yang ditawarkan KLAR untuk perawatan gigi / KLAR

KLAR sendiri dirintis pada September 2020 oleh Ellen Pranata, Adelia Susanto, dan David Sugiharta. Ellen sebelumnya adalah Direktur Cobra Dental, salah satu perusahaan importir dan penjual peralatan dental. Bersama Ellen, Adelia Susanto (Chief Orthodontist KLAR) merupakan spesialis ortodonti yang memiliki banyak pengalaman terkait perawatan dengan clear aligners.

Sementara, David (COO) adalah dokter gigi yang ahli di bidang prosthetics, aesthetics, dan full mouth rehabilitations. Ketiga eksekutif ini juga didampingi oleh penasihat senior, seperti Gita Prihanto (eks-COO RuangGuru dan eks-Senior Director Grab Indonesia) dan Adrian Susanto (CEO Cobra Dental).

KLAR mengandalkan model bisnis B2B2C, melengkapi layanan yang ditawarkan dokter gigi mitra dengan menghadirkan teknologi aligner berkualitas, sehingga mereka dapat menawarkan produk tersebut ke pasien. Dokter gigi dan pasien dapat berinteraksi dan memantau status perawatan dari jarak jauh dengan aplikasi KLAR Smile.

Nilai tambah tersebut menobatkan KLAR sebagai pembeda di industri karena dapat mengurangi jumlah kunjungan dan waktu yang dihabiskan untuk kontrol berkala. Dalam waktu kurang dari setahun, perusahaan telah bermitra dengan lebih dari 600 dokter gigi (dokter gigi umum dan spesialis) di seluruh penjuru negeri.

Untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat terhadap gigi yang rapi dan senyum yang menarik, KLAR telah hadir di lebih dari 100 klinik gigi yang tersebar di 32 kota. Jakarta, Bali, dan Surabaya menjadi tiga kota paling strategis bagi perkembangan bisnis KLAR. Beroperasi di tengah pandemi Covid-19, startup ini tetap mampu meningkatkan pendapatan dengan pesat.

KLAR mengelola operasional perusahaan dari hulu ke hilir secara mandiri, bahkan mereka telah memiliki fasilitas produksi khusus untuk memproduksi aligner transparan, KLAR Aligner. Dengan pendekatan ini, maka KLAR dapat menjaga kualitas serta menekan biaya produksi.

KLAR Aligner dikembangkan oleh spesialis ortodonti berpengalaman. Setiap set produk KLAR dibuat secara personal, sesuai dengan kebutuhan khusus setiap pasien. Bahkan, ultra-clear aligner dari KLAR menjadi satu-satunya produk aligner lokal buatan Indonesia yang terdaftar secara resmi di Kementerian Kesehatan RI. Alhasil, produk ini terjamin aman dan nyaman untuk digunakan. KLAR Aligner juga menawarkan perawatan maloklusi gigi secara menyeluruh untuk memastikan tata letak gigi dan gigitan yang sehat setelah perawatan.

“Kami menawarkan kualitas perawatan estetik gigi kelas dunia, tetapi kami mampu menawarkannya dengan harga yang lebih terjangkau karena keseluruhan proses produksi dan perawatan kami dilakukan di Indonesia,” tambah Ellen.

Saat ini KLAR didukung oleh 20 orang profesional berencana untuk terus menambah jumlah tim menjadi setidaknya 80 orang di tahun 2021, demi memenuhi permintaan yang kian meningkat.

Finantier Dapatkan Pendanaan Awal Dipimpin Global Founders Capital dan East Ventures, Fokus Perluas Akses “Open Finance”

Startup pengembang platform open finance Finantier mengumumkan telah menutup pendanaan awal (seed funding) yang dipimpin Global Founders Capital dan East Ventures. Tidak disebutkan spesifik nominal yang berhasil dibukukan, disampaikan dana 7-digit yang didapat melebihi target perusahaan dan diperoleh pada valuasi post-money 20x dibanding saat pre-seed di bulan November 2020 lalu.

Beberapa investor baru di putaran ini meliputi Future Shape, Partech Partners, Saison Capital, dan GMO VenturePartners. Sementara investor terdahulu seperti AC Ventures, Y Combinator, Genesia Ventures, Two Culture Capital, dan sejumlah angel investor turut berpartisipasi di putaran teranyar ini.

Pendanaan tersebut akan digunakan perusahaan untuk meningkatkan dan memperbesar penawaran produk, melakukan ekspansi di Indonesia dan sekitarnya, serta menggandakan jumlah karyawan. Disampaikan sejak awal tahun, perusahaan telah menambah timnya menjadi 50 karyawan dan memperbanyak klien serta kemitraan hingga lebih dari 50% per bulannya. Mereka juga telah bekerja sama dengan lebih dari 150 perusahaan dan memberikan akses ke beragam set data.

Selain itu, Finantier merekrut Co-Founder & CEO Truelayer Francesco Simoneschi untuk bergabung dalam jajaran kelompok penasihatnya.

Potensi open finance

Produk open finance yang ditawarkan Finantier berbentuk infrastruktur teknologi berbasis API yang dapat dimanfaatkan fintech untuk menghadirkan layanan keuangan inklusif. Contohnya produk “Finantier Score“, yakni platform credit scoring teregulasi yang dapat dimanfaatkan institusi keuangan digital dalam menunjang layanan pinjaman dengan memastikan kelayakan calon nasabah.

Open finance adalah perpanjangan dari open banking, memungkinkan pertukaran data finansial nonperbankan termasuk kredit dan hipotek secara aman. Selain itu open finance juga memfasilitasi pertukaran terbuka data konsumen sehingga perusahaan dapat memanfaatkannya untuk menjangkau lebih banyak pelanggan sekaligus menciptakan layanan yang lebih dipersonalisasi,” jelas Co-Founder & CEO Finantier Diego Rojas.

Tingginya persentase masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dinilai menghadirkan kesempatan baik bagi pemain open finance. Berbeda dengan open banking yang memfokuskan layanan yang terpusat di sekitar rekening bank, cakupan open finance lebih luas dan tidak terbatas di institusi keuangan berbasis bank.

“Finantier memudahkan akses ke layanan keuangan bagi jutaan orang yang tidak memiliki rekening bank, mulai dari warung-warung pinggir jalan (UKM), hingga pekerja gig economy, memperoleh keuntungan dari jejak data digital mereka. Dengan adanya akses ke layanan keuangan, kami dapat membantu mereka dan orang yang mereka cintai untuk memiliki kehidupan yang lebih baik,” imbuh Co-Founder & COO Finantier Edwin Kusuma.

Data Bank Indonesia mengatakan ada sekitar 90 juta orang dewasa di Indonesia yang tidak memiliki akses produk perbankan.

“Meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia sangatlah penting mengingat banyaknya orang yang belum memiliki akses ke lembaga keuangan. Dengan akses yang lebih baik ke layanan keuangan, mereka bisa hidup dengan lebih baik dan dapat ikut meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Kami punya harapan untuk Finantier sejak awal dan yakin bahwa mereka berperan penting dalam mewujudkan harapan tersebut dengan menghubungkan mereka yang tidak memiliki akses keuangan ke fintech dan institusi keuangan di berbagai negara,” kata Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Open finance di Indonesia

Layanan open finance di Indonesia cukup berkembang, hal ini ditengarai maraknya pemain fintech dan penerimaan masyarakat luas terhadap produk yang dihadirkan. Dengan bentuk yang berbeda, selain Finantier ada beberapa pemain lain yang juga menjajakan platform serupa. Misalnya Ayoconnecet untuk API bill-payment, Brankas untuk API BaaS, Instamoney untuk API remitansi, dan sebagainya.

Dari sisi pengembang, jelas ini menyajikan kemudahan yang sangat berarti. Dan yang terpenting adalah makna “open” dari istilah yang digunakan, menandakan adanya keterbukaan –dalam kaitannya dengan pengelolaan data– yang bisa menjadikan ekosistem keuangan digital tersebut jauh lebih sehat. Berbagai inisiatif serupa nyatanya juga terus digencarkan para pemain fintech di Indonesia, misalnya yang diinisiasi AFPI untuk membangun pusat data bersama.

Validasi Hipotesis Investasi Dorong Pemodal Ventura Lakukan “Follow-on Funding”

Dibandingkan dua tahun sebelumnya, pada Q1 2021 pendanaan startup di Indonesia terpantau mengalami peningkatan, baik dari sisi jumlah transaksi maupun nominal yang dibukukan. Dari catatan tim riset kami, di periode tersebut terdapat 40 transaksi, membukukan dana [dari 24 transaksi yang nilainya diumumkan] senilai $554,7 miliar atau setara 8 triliun Rupiah.

Secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan. Menjadi menarik untuk diulas lebih dalam, melihat bagaimana tren terkini pendanaan startup, khususnya yang dilakukan pemodal ventura lokal yang notabenenya lebih dekat dengan ekosistem. Kami mencoba membedah data pendanaan mengambil sampel data transaksi pendanaan 2019-2020 terhadap pemodal ventura lokal yang paling aktif: East Ventures, Alpha JWC Ventures, dan AC Ventures.

Temuan menarik pertama yang kami tangkap, ada kecenderungan investor melakukan follow-on funding (pendanaan lanjutan) kepada startup yang sudah didanai di tahun sebelumnya. Ambil contoh yang dilakukan oleh AC Ventures, sepanjang di periode tersebut mereka terlibat dalam pendanaan seri A kepada 5 startup yang pada tahun sebelumnya juga diberi pendanaan seed. Secara total dari 18 transaksi, 8 di antaranya merupakan lanjutan dari 6 pendanaan yang diberikan sebelumnya.

Hal tersebut juga menjadi sebuah indikasi bahwa para pemodal sangat disiplin dengan hipotesis investasi yang telah didefinisikan.

Besaran tiket dan sektor potensial

Mengambil rata-rata dari transaksi yang dilakukan 3 pemodal ventura lokal teraktif, nilai yang diberikan untuk follow-on funding seri A dari setiap fund cukup beragam, di rentang $100 ribu s/d $1,5 juta. Beberapa memberikan nominal yang sama dengan perolehan di seed, lainnya meningkatkan beberapa kali lipat.

Pada tahapan seed nilai minimum yang diberikan berada di kisaran $65 ribu dan nilai tertinggi yang diberikan di kisaran $2 juta. Menariknya, nilai tertinggi pendanaan diberikan pada periode tahun 2021, baik di tahapan seed maupun Seri A.

Dilihat dari ticket size yang diberikan, beberapa sektor mendapatkan nilai yang signifikan. Dari nilai maksimum pendanaan seed yang diberikan, masing-masing pemodal ventura memiliki preferensi berbeda di sisi vertikal bisnis.

Sebagai catatan, ticket size ini selain diukur dari potensi market size suatu bisnis juga dipengaruhi berbagai faktor, termasuk dari internal startup.

Fintech, cloud kitchen, SaaS memiliki kecenderungan untuk mendapatkan nominal seed yang lebih tinggi dari lainnya; pun demikian dalam follow-on funding yang diberikan. Kendati demikian, pemodal ventura kebanyakan masih sektor agnostik. Contohnya yang dilakukan East Ventures yang tetap berinvestasi dalam berbagai vertikal di luar tiga tersebut, yakni ke loyalty, e-commerce, social commerce, wellness, dan beberapa lainnya.

Data akumulasi 2019-2021, SaaS mendapat perhatian lebih dari investor lokal mengantongi jumlah transaksi pendanaan terbanyak [13], lalu disusul fintech [12]. Sektor lainnya memiliki jumlah yang relatif lebih kecil, mulai dari edtech, logistik, on-demand, dan sebagainya.

Pendanaan lanjutan

Potensi founder lokal yang masih terus bisa digali membuat sebagian besar investor lokal masih memfokuskan pada pendanaan tahap awal. Namun demikian, mereka tetap memiliki alokasi khusus untuk memberikan pendanaan lanjutan. East Ventures sebelumnya memisahkan jenis pendanaan tersebut dengan mendirikan EV Growth, namun pada akhirnya dilebur kembali dalam satu entitas.

Dari tiga pemodal ventura lokal tersebut, sepanjang periode tercatat 16 transaksi pendanaan lanjutan (seri B ke atas). Jika dilihat lebih hampir semua merupakan follow-on funding dari investasi sebelumnya yang sudah diberikan. Nilai yang diberikan rata-rata di angka $3,8 juta untuk setiap partisipasi pemodal ventura, dengan nilai maksimal mencapai $9 juta.

Startup di bidang e-commerce, coworking space, SaaS, dan fintech yang mendapatkan fasilitas pendanaan lanjutan dari ketiga investor. Jika didalami, mereka adalah startup yang sudah mencapai tahap kematangan model bisnis dan tengah gencar melakukan ekspansi pasar, baik domestik maupun regional.

Indonesia VC investment trend 2021

Proyeksi 2021

Paruh pertama tahun ini hampir ditutup, sejauh ini transaksi pendanaan ke startup masih terus mengalir. Pemodal ventura juga masih terus mengeksplorasi peluang baru dengan berinvestasi pada founder. Di sisi lain, dukungan lanjutan untuk startup juga terus mengalir — terlebih saat ini ekosistem di Indonesia sudah mendapatkan perhatian lebih dari investor global.

Kemudian, tahun 2021 berpotensi membuka sejarah baru bagi ekosistem startup di Indonesia. Jika para unicorn berhasil melantai ke bursa, ada potensi exit besar bagi para pemodal ventura. Artinya ini memberi kesempatan dana-dana yang kembali bisa diputar untuk generasi pendiri berikutnya — mungkin dengan intensitas dan nominal yang jauh lebih besar.

Didasarkan tren yang ada sejauh ini, tahun 2021 diproyeksikan menjadi pembuka dekade yang baik. Pendanaan startup ditaksirkan mencatatkan nilai tertinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan hipotesis yang lebih matang, investasi pemodal ventura juga menjadi “seleksi alam” yang baik untuk melahirkan bisnis-bisnis digital yang lebih relevan dan tangkas.


Gambar Header: Depositphotos.com

Sequoia Capital India Leads Funding for Bibit, Securing 938 Billion Rupiah

The mutual fund investment platform startup, Bibit, today (03/5) announced the $65 million worth of funding equivalent to 938 billion Rupiah. Sequoia Capital India, previously led Bibit’s $30 million funding earlier this year, also leading this one. Prosus Ventures, Tencent, and Harvard Management Company are also participated in this round, also the previous investors AC Ventures and East Ventures.

Fresh funds will be focused on launching new products/features, developing technology, recruiting employees, and increasing public education regarding investment.

According to IDX and KSEI, the number of retail investors in Indonesia grew 78% YoY in 2020 to 3.2 million investors. This one was part of millennials contribution; 92% of new investors in 2020. In the first quarter of 2021, there are  1 million new mutual fund investors registered in the capital market. Despite the significant increase, Indonesian people contribution in the capital market is still less than 2%.

“Previously, Indonesian capital market was considered a frightening place to invest, and limited to certain groups. Bibit is leveraging technology to make investment more accessible to everyone, including novice investors. Therefore, we see a sharp increase in interest of retail investors in the capital market,” Bibit’s Director, Sigit Kouwagam said.

He also added, “We believe all Indonesians deserve a better future. Helping to increase financial inclusion and encouraging investment habits in the right way is one way to make it happen. We are very proud to have the support of our partners and investors to speed up the mission.”

Bibit has been acquired by Stockbit since 2019. Stockbit is known as an information service of the capital market. Bibit platform is designed as a “robo-advisor” for mutual funds in Indonesia, helping investors own portfolios according to their risk profile and investment objectives. Based on the data, 90% of Bibit users are millennial investors who previously had no experience with investing.

One of its rival for mutual fund applications is Ajaib. Recently, Ajaib announced Series A funding worth IDR 1.3 trillion led by Ribbit Capital. In addition, there is Bareksa, an investment platform that has joined and integrated with the OVO group. While Bukalapak, the unicorn, is preparing their “new ammo” PT Buka Investasi Bersama to focus on serving mutual fund investments for millions of customers on the online marketplace platform.

In a survey we conducted in mid-2020, mutual funds (67%) were the most popular investment instrument for digital purchase. Followed by gold (62.7%), stocks (44.5%), P2P lending (16.3%), and bonds (11.5%). Regarding the the type of investment, respondents shared one voice that this was based on the risk profile (48.8%), novice (24.4%), friend recommendations (10.4%), and most familiar (8.1%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sequoia Capital India Kembali Pimpin Pendanaan untuk Bibit, Kini Bukukan 938 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform investasi reksa dana Bibit hari ini (03/5) kembali mengumumkan perolehan pendanaan senilai $65 juta atau setara 938 miliar Rupiah. Sequoia Capital India kembali memimpin pendanaan ini, setelah sebelumnya mereka juga memimpin perolehan $30 juta Bibit pada awal tahun ini. Prosus Ventures, Tencent, dan Harvard Management Company turut terlibat dalam putaran ini, juga investor sebelumnya meliputi AC Ventures dan East Ventures.

Dana segar akan difokuskan untuk peluncuran produk/fitur baru, pengembangan teknologi, perekrutan karyawan, dan meningkatkan edukasi masyarakat terkait investasi.

Menurut data IDX dan KSEI, jumlah investor ritel di Indonesia tumbuh 78% secara YoY di 2020 menjadi 3,2 juta investor. Peningkatan ini disumbang oleh kalangan milenial; 92% investor baru pada tahun 2020. Pada kuartal pertama di tahun 2021 sendiri, ada penambahan sebanyak 1 juta investor reksa dana yang terdaftar di pasar modal. Meskipun adanya peningkatan yang signifikan, saat ini partisipasi dari masyarakat Indonesia di pasar modal masih kurang dari 2%.

“Sebelumnya, pasar modal di Indonesia dianggap sebagai tempat berinvestasi yang menakutkan, dan hanya untuk sebagian kalangan tertentu. Bibit mendayagunakan teknologi untuk membuat investasi semakin mudah untuk diakses oleh semua orang, termasuk investor pemula. Oleh karena itu, kami melihat adanya peningkatan yang tajam dalam minat investor ritel dalam di dalam pasar modal,” ujar Direktur Bibit Sigit Kouwagam.

Lebih lanjut ia menambahkan, “Kami percaya semua masyarakat Indonesia berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik. Membantu meningkatkan inklusi keuangan dan mendorong kebiasaan berinvestasi dengan cara yang benar adalah salah satu cara untuk mewujudkannya. Kami sangat bangga bisa mendapatkan dukungan dari partner dan investor kami untuk mempercepat misi tersebut.”

Bibit sendiri telah diakuisisi Stockbit sejak tahun 2019. Stockbit dikenal sebagai layanan informasi tentang pasar modal. Platform Bibit didesain sebagai “robo-advisor” reksa dana di Indonesia, membantu investor memiliki portofolio sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi. Dari data yang diberikan, 90% pengguna Bibit merupakan investor milenial yang sebelumnya tidak berpengalaman terkait investasi.

Salah satu rival untuk aplikasi reksa dana adalah Ajaib. Belum lama ini Ajaib baru mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai 1,3 triliun Rupiah yang dipimpin oleh Ribbit Capital. Selain itu ada juga Bareksa, platform investasi yang saat ini juga sudah bergabung dan terintegrasi bersama grup OVO. Sementara unicorn Bukalapak juga tengah menyiapkan “mesin baru” mereka PT Buka Investasi Bersama untuk fokus melayani investasi reksa dana bagi jutaan pelanggan di platform online marketplace.

Dalam survei yang kami lakukan pertengahan tahun 2020 lalu, reksa dana (67%) menjadi instrumen investasi yang paling diminati untuk dibeli secara digital. Dilanjutkan emas (62,7%), saham (44,5%), P2P lending (16,3%), dan obligasi (11,5%). Mengenai pertimbangan memilih jenis investasi tersebut, responden kompak menjawab bahwa ini sudah sesuai dengan profil risiko (48,8%), baru belajar (24,4%), rekomendasi teman (10,4%), dan paling familiar (8,1%).

Application Information Will Show Up Here

CoLearn Announces 143 Billion Rupiah Series A Funding, Heating up Local Edtech Competition

CoLearn edtech announced series A funding worth of $10 million or equivalent to 143 billion Rupiah. This investment round involved some investors, including Alpha Wave Incubation, GSV Ventures – as well as venture capitalists in their initial funding round, namely Surge (Sequoia Capital India) and AC Ventures. The company plans to use this fresh fund to develop products, technology and marketing.

“Despite having the fourth largest education ecosystem in the world with 50 million students, 3 million teachers and about half a million schools; the quality of education in Indonesia has remained far below its true potential for decades. A passion to motivate students and ensure them to be succeed in the global world is what drives us all at CoLearn,” CoLearn’s Co-Founder & CEO, Abhay Saboo said.

Abhay continued, “Many Indonesians do not realize that education is a means to improve the country’s economic strength. Parents have not connected the two points. However, it slowly changes. Our mission is to accelerate this change by improving the quality of education.”

Apart from Abhey, CoLearn was also founded by Marc Irawan and Sandeep Devaram. Since the application launching in August 2020, they currently claim to have 3.5 million students. In its debut, CoLearn was supported by several seed investors [apart from those already mentioned above], including Leo Capital, TNB Aura, S7V, January Capital, Alpha JWC Venutres, Taurus Ventures, Alter Global, and Mahanusa Capital.

One of its main features is to allow students asking for solutions in answering questions in a certain lesson (doing homework) – around 5 million questions in average are uploaded per month. There’s an AI technology embedded in the system, therefore, it automates the process of finding solutions.

CoLearn also provides educational content services packaged in on-demand video and live online class sessions, interactively delivered by experienced tutors. It also has a training program for teachers. They have target to train 200 teachers, especially in the STEM field in the next 2 years.

Other edtech startups offer similar services, for example, Ruangguru has a “Roboguru” feature, combining Photo Search and User Generated Content capabilities to help students do homework independently at home. In terms of learning, besides Ruangguru, there are other platform providers such as Zenius and Quipper competing in the field.

The edtech sector has been stepping up the game due to the pandemic. Educational activities are getting online, making edtech services an option to guide school from home activities. Investors can see this as a first step to get serious about working on this business landscape. During Q1 2020 there were at least 3 funding targeting the edtech business –  there were 10 transactions throughout 2020.

GSV Ventures, CoLearn’s investor, specializes in educational technology. In his remarks, Deborah Quazzo as Managing Partner said, “The opportunity to build successful learning solutions for the fourth largest country in the world is enormous. The best businesses are created when entrepreneurs take big and important problems and solve them. CoLearn is doing that thing.”

Until now, Ruangguru has become the edtech startup with the largest valuation in Indonesia. Our internal data says that they have reached the final stage of the unicorn aspiring (valuation is close to $1 billion). Earlier this week, they announced $55 million funding as a follow-on round of the series C.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here