Koltiva Umumkan Pendanaan Seri A Dipimpin oleh AC Ventures

Startup agritech Koltiva mengumumkan pendanaan seri A dipimpin oleh AC Ventures. Tidak disebutkan spesifik nilai pendanaan yang diterima, namun dalam putaran ini sejumlah investor turut terlibat, di antaranya Silverstrand Capital, Planet Rise, Development Finance Asia, dan Blue 7, serta investor  sebelumnya The Meloy Fund.

Dana segar akan dimanfaatkan Koltiva untuk mengembangkan SaaS yang memungkinkan perusahaan multinasional untuk memiliki sistem pelacakan rantai pasokan dari benih hingga ke tangan konsumen (from seed to table). Sebelumnya Koltiva telah mengantongi pendanaan awal pada September 2022 lalu dipimpin Silverstrand Capital.

Sejak didirikan tahun 2013, Koltiva menghadirkan beberapa solusi, seperti pemetaan lahan dan profil produsen, ketertelusuran benih hingga ke tangan konsumen, serta pelatihan dan bimbingan ke petani. Kini layanan mereka turut diperluas ke solusi climatetech. Koltiva mengembangkan produk yang dapat membantu dalam pengukuran dan penilaian gas rumah kaca (greenhouse gas/GHG).

Melalui platform digitalnya, Koltiva menawarkan aplikasi web dan mobile untuk mengurus berbagai aktivitas pertanian, seperti pendaftaran produsen, survei, pemantauan transaksi pertanian, pemetaan deforestasi, hingga pengukuran emisi gas rumah kaca di perkebunan. Dengan basis di Indonesia, Koltiva kini tim mereka bekerja dengan produsen di 52 negara, dan hampir setengah dari mereka adalah petani kecil di Indonesia.

“Saat bisnis multinasional semakin menuju keberlanjutan, Koltiva yang berbasis di Indonesia siap menjadi pemain utama dalam memastikan rantai pasok yang transparan. Dengan meningkatkan kesejahteraan petani skala kecil di pasar negara berkembang, dan membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim, Koltiva adalah bukti nyata tentang bagaimana teknologi modern dapat membentuk ulang industri konvensional, memberikan dampak global, dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan secara lingkungan untuk generasi mendatang,” sambut Managing Partner AC Ventures Helen Wong.

Terobosan baru Koltiva

Koltiva turut memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani mitra / Koltiva
Koltiva turut memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani mitra / Koltiva

Koltiva tengah mengembangkan perangkat lunak yang menyediakan pelacakan dari benih hingga ke tangan konsumen. Perusahaan ingin memastikan bahwa perjalanan produk pertanian dari bahan baku, menuju ke operasi pertanian dan distribusi, hingga ke tangan konsumen dilakukan secara transparan. Inovasi ini membantu perusahaan multinasional dapat melacak asal-usul pasokan produk mereka yang sebagian besar berasal dari produsen kecil di Indonesia, dan negara-negara lain tempat Koltiva beroperasi.

Model bisnis ini dinilai semakin relevan, apalagi dengan adanya regulasi seperti Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang diamanatkan oleh Dewan Uni Eropa. Peraturan ini mewajibkan perusahaan membuktikan ketiadaan deforestasi dalam produk mereka dan mematuhi standar hukum tertentu. Akibatnya, lebih dari 50.000 perusahaan berbasis Uni Eropa sekarang wajib mematuhi regulasi ini, dan perusahaan non-UE yang terlibat secara signifikan dalam aktivitas di UE juga harus memastikan kepatuhan mereka.

“Kami membantu korporasi multinasional menavigasi secara bijak lanskap yang dinamis serta regulasi yang terus berkembang akan kepatuhan praktik pertanian berkelanjutan, serta meningkatkan kehidupan para petani dan produsen kecil. Bisnis kami bertujuan untuk membentuk ekosistem yang memberikan manfaat kepada merek global, serta turut meningkatkan dan memperbaiki kondisi penghidupan dan kesejahteraan dari tingkat paling dasar di proses rantai pasok. Kami membayangkan dunia di mana perdagangan yang transparan dan berkelanjutan menjadi sebuah standar,” Co-Founder & CEO Koltiva Manfred Borer.

Application Information Will Show Up Here

MAKA Motors Peroleh Pendanaan Awal Rp564 Miliar Dipimpin AC Ventures, East Ventures, dan SV Investment

Startup produsen kendaraan listrik MAKA Motors mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal senilai $37,6 juta (lebih dari 564 miliar Rupiah). Putaran yang dipimpin oleh AC Ventures, East Ventures, dan SV Investment (investor asal Korea Selatan).

Perolehan ini diklaim sebagai pendanaan tahap awal terbesar yang pernah ada di Indonesia, sekaligus menjadi yang terbesar di Asia Tenggara untuk vertikal kendaraan listrik. Sebelumnya titel pendanaan awal terbesar didapat oleh TipTip senilai $10 juta tahun 2022 lalu.

Jajaran investor strategis lainnya turut serta dalam putaran tersebut, di antaranya Northstar Group, Provident, AlfaCorp, Skystar Capital, Peak XV Partners (sebelumnya dikenal Sequoia India and SEA), Openspace Ventures, Shinhan Ventures Investment, BEENEXT, Kinesys Group, dan M Venture Partners.

Dana jumbo ini rencananya akan digunakan perusahaan untuk mengeskalasi operasinya, memperluas kemampuan dan fasilitas R&D, serta mempercepat produksi sepeda motor listrik inovatifnya.

Startup ini didirikan pada 2021 oleh Raditya Wibowo dan Arief Fadillah berambisi ingin mempercepat adopsi sepeda motor listrik di Indonesia dengan menjawab kebutuhan unik pasar yang belum sepenuhnya diakomodasi oleh pemain yang ada.

Visi perusahaan adalah menyediakan sepeda motor listrik yang menawarkan perpaduan antara jangkauan berkendara, tenaga, kegunaan, dan daya tahan dengan harga yang kompetitif dibandingkan dengan sepeda saat ini, yang secara khusus memenuhi permintaan pengendara Indonesia.

Founder & CEO MAKA Motors Raditya Wibowo menyampaikan, pihaknya senang dapat bermitra dengan mitra yang memahami dan mendukung pendekatan R&D-first dan lokal. Langkah tersebut membuat perusahaan dapat mengatasi keterbatasan yang dihadapi oleh banyak perusahaan EV 2W (kendaraan listrik roda dua) saat ini yang mengalihdayakan R&D mereka dan akhirnya kehilangan wawasan pengguna yang penting, kontrol atas rantai pasokan, dan potensi efisiensi biaya.

“Pendanaan yang signifikan ini tidak hanya memvalidasi visi kami, tetapi juga mempercepat misi kami untuk melampaui ekspektasi pengendara Indonesia dengan sepeda motor listrik kami. Kami berkomitmen untuk mendorong batas-batas jarak tempuh, tenaga, kegunaan, daya tahan dan keterjangkauan di ranah sepeda motor listrik,” terangnya, Kamis (20/7).

Co-Founder & CTO MAKA Motors Arief Fadillah turut menambahkan, sejak awal perusaahaan melakukan R&D internal yang ketat, merekrut anggota tim terbaik dengan pengalaman luas bekerja dengan perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia, Jepang, dan Jerman bekerja sama dengan mitra teknis dan pemasok kelas dunia.

“Selain menciptakan kendaraan yang unggul, kami bermimpi untuk membangun kemampuan rekayasa perangkat keras yang luar biasa di Indonesia dan membawa pulang talenta lokal kami yang brilian untuk bergabung dengan kami dalam misi kami,” ujarnya.

Masing-masing perwakilan investor juga memberikan pernyataannya dalam mendukung visi dan misi MAKA Motors. Mereka sepakat bahwa dengan pengalaman tim dan riset yang mendalam tentang industri ini dapat mendukung pertumbuhan mobilitas listrik, sekaligus mengurangi karbon transportasi di Indonesia.

Peluang pasar

Raditya menuturkan, negara ini merupakan rumah bagi lebih dari 127 juta sepeda motor, sekaligus pasar global terbesar ketiga untuk kendaraan roda dua. Sebagian besar kendaraan ini mengandalkan bensin sebagai sumber bahan bakarnya, dengan jumlah yang sedikit sekitar 43.000 sepeda motor listrik terdaftar.

Mengingat penjualan tahunan yang mengejutkan dari 6 hingga 8 juta kendaraan roda dua baru, terdapat peluang besar untuk elektrifikasi di segmen ini. Tidak hanya berkontribusi pada lingkungan yang lebih hijau, tetapi juga membantu pengendara Indonesia dalam mengurangi pengeluaran harian mereka

Meskipun industri EV 2W di Indonesia masih dalam tahap awal, banyak merek telah memperkenalkan modelnya sendiri sementara pemerintah berupaya untuk mempromosikan dukungan lebih lanjut, termasuk potongan pajak dan bantuan bisnis.

Dengan potensi dan persaingan yang berkembang, perusahaan memprioritaskan penelitian dan pengembangan. Kucuran investasi juga telah disalurkan untuk tim engineer dan kemampuan litbang demi mendorong komitmen yang kuat terhadap inovasi.

Dedikasi ini memungkinkan perusahaan menghasilkan produk unggulan yang mengungguli pesaing, sekaligus memastikan struktur biaya yang efisien karena mengadopsi rantai nilai terintegrasi secara vertikal, melalui R&D, desain produk, perakitan, dan penjualan/layanan purna jual.

Pendekatan tersebut berbeda dengan kebanyakan pemain otomif yang fokus padda perakitan dan penjualan/layanan purna jual.

Produk pasar massal pertama MAKA Motors saat ini dalam tahap pengembangan dan dijadwalkan diluncurkan pada 2024, dengan batch pertama kendaraan percontohan siap untuk digunakan pada bulan ini. Tak hanya itu, pabrik juga akan dibangun yang berlokasi di Jawa Barat mulai akhir tahun ini.

Saat ini tercatat sejumlah perusahaan lokal hingga asing masuk ke industri kendaraan listrik ini, baik untuk penyediaan hardware maupun software. Beberapa di antaranya ION Mobility, Charged Indonesia, Alva One, Swap Energi, Viar, Elvindo Rama, Selis E-Max, Honda PCX, serta produsen lokal yang motornya sempat dicoba presiden yakni Gesits.

IFC Bergabung sebagai LP di Dana Kelolaan AC Ventures

International Finance Corporation (IFC) kembali bergabung sebagai limited partner (LP) untuk dana kelolaan terbaru milik AC Ventures. Dikutip dari situs IFC, total komitmen dana yang akan diberikan IFC mencapai $40,35 juta (lebih dari 605 miliar Rupiah).

Rinciannya, dana kelolaan pertama akan diberikan berbentuk ekuitas hingga $20,35 untuk Fund V. Kemudian dana terpisah hingga $20 juta untuk diinvestasikan bersama dana kelolaan ACV.

Dalam keterangannya, ACV Fund V menargetkan dana kelolaan senilai $200 juta yang akan digunakan untuk pendanaan tahap awal sampai Seri A dan investasi lanjutan (follow-on investment) untuk seri B. Sektor startup yang menjadi incaran bergerak pada sektor teknologi iklim, fintech, UKM, e-commerce, edtech, dan healthtech.

Dihubungi oleh DailySocial.id, pihak AC Ventures menolak untuk memberikan komentarnya terkait informasi ini.

Sebelumnya, penggalangan ACV Fund V sudah diumumkan sejak tahun lalu. Dalam keterangan yang disampaikan perusahaan, ACV telah mengumpulkan 65% atau sekitar $162,5 juta dari target sebesar $250 juta dalam dana kelolaan ini.

Ini adalah kedua kalinya IFC berpartisipasi sebagai LP untuk dana kelolaan AC Ventures. Sebelumnya, IFC pernah menaruh komitmen dana sebesar $16 juta untuk ACV Fund III pada 2021. Dana kelolaan ini berfokus menyuntikkan startup yang berfokus pada vertikal e-commerce, D2C, logistik, fintech, edtech, healthcare, dan B2B SaaS.

Selain IFC, Disrupt AD milik Abu Dhabi Developmental Holdings bergabung sebagai LP. Sebagian dari Fund III sudah diinvestasikan sejak penutupan pertama pada Maret 2020. Sementara, dana kelolaan keempat (Fund IV) dijalankan oleh tim berbeda dengan fokus pada Malaysia.

Secara keseluruhan, total portofolio ACV di Indonesia dan Asia Tenggara telah mencapai 120, termasuk Xendit, Shipper, Aruna, Carsome, dan Stockbit.

Selain menjadi LP, IFC turut berinvestasi secara langsung ke startup, baik dalam bentuk pendanaan ekuitas ataupun debt. Beberapa startup yang mendapatkan kuncuran dana dari IFC termasuk Evermos, Amartha, Kitabisa, AwanTunai, eFishery, AnterAja, dan PasarPolis.

AC Ventures dan BCG Rilis Laporan Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Indonesia

Salah satu peluang yang paling menjanjikan untuk green growth di Indonesia adalah renewable energy. Indonesia memiliki sumber daya renewable energy yang melimpah, termasuk energi surya, angin, hidro, dan panas bumi. Dengan berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi renewable energy, Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan beralih ke sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Hal ini tidak hanya membantu mitigasi perubahan iklim, tetapi juga menciptakan peluang kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi.

Dalam laporan yang dirilis AC Ventures dan Boston Consulting Group mengenai Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Derkabonisasi di Indonesia terungkap, peluang yang besar bagi Indonesia dalam strategi, pengurangan gas rumah kaca, dan penyeimbangan emisi, dengan meminta partisipasi luas dari perusahaan, pemangku kepentingan pemerintah, dan investor dalam transisi ekonomi yang kritis.

Tiga kategori penentu keberhasilan solusi Green Growth

Green growth adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jalur pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan. Untuk mencapai ambisi Indonesia dalam memenuhi net zero emission maksimal pada 2060, diperkirakan pengeluaran publik dan swasta di negara ini akan mencapai $350 miliar per tahun pada 2030.

Dalam laporan tersebut terungkap, terdapat tiga kunci sukses agar dekarbonisasi bisa berjalan sukses di Indonesia. Di antaranya adalah solusi energi, solusi pengelolaan limbah dan yang terakhir adalah solusi agrikultur.

Khusus untuk solusi energi selain electric vehicle (EV), platform seperti Xurya dinilai mampu membantu Indonesia melancarkan gerakan dekarbonisasi.

Meskipun masih ada banyak tantangan dalam pengelolaan limbah di Indonesia, upaya yang dilakukan saat ini menunjukkan komitmen pemerintah dan berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Beberapa startup yang telah menghadirkan solusi pengelolaan limbah di antaranya adalah Waste4Change dan Surplus.

Sementara itu solusi agrikultur di Indonesia dinilai masih sulit untuk ditangani secara menyeluruh. Namun demikian, fungsinya menjadi penting karena mendukung ekonomi untuk mengadopsi dan mendorong praktik pertanian berkelanjutan. Kompleksitas sisi teknik agrikultur itu sendiri hingga perubahan tanaman dan sistem makanan merupakan fundamental dari pertanian yang harus diselesaikan lebih lanjut. Perusahaan yang mencoba menghadirkan solusi untuk agrikultur di Indonesia di antaranya adalah, iGrow (diakuisisi LinkAja tahun 2021), Aruna dan Neurafarm.

Platform dan organisasi pendukung ekosistem startup berdampak

Selain startup yang menyasar kepada lingkungan dan renewable energy, platform seperti Ecoxyztem yang merupakan venture builder khusus untuk climate tech dan startup berdampak di Indonesia, dinilai juga dapat membantu pemerintah melancarkan kampanye peduli lingkungan. Meskipun belum banyak investor yang tertarik untuk memberikan dana segar kepada startup berdampak, namun saat ini mulai banyak platform seperti Ecoxyztem dan lembaga lainnya yang tertarik untuk berinvestasi di startup berdampak Indonesia.

“Namun, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk beralih ke ekonomi hijau. Perubahan ini merupakan peluang bagi startup, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan investor untuk memainkan peran utama dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim,” kata Principal – Head of ESG AC Ventures Lauren Blasco.

Kekurangan talenta digital

Meskipun saat ini sudah mulai banyak perusahaan yang menghadirkan solusi dengan target dan layanan yang berbeda untuk mendukung green growth, kebanyakan dari mereka masih kesulitan untuk mencari talenta yang relevan. Dalam laporan tersebut terungkap, Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan terkait akses terhadap talenta yang tersedia dan sesuai.

Laporan RGF pada tahun 2019 mencatat bahwa sekitar 50% dari para pengusaha Indonesia di 10 sektor menghadapi kekurangan talenta yang signifikan. Kekurangan talenta ini terutama dirasakan di ruang startup, dengan pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa Indonesia bakal membutuhkan sembilan juta talenta di bidang teknologi pada tahun 2030 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang pesat. Ini mewakili peningkatan 10x lipat dari sekitar 900 ribu pekerja talenta digital yang berada di Indonesia pada tahun 2020.

Menurut laporan tersebut Indonesia dapat melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini dengan lebih baik menarik pekerja asing berbakat, namun masih ada hambatan-hambatan yang signifikan termasuk hambatan bahasa, proses aplikasi yang kompleks dan restriktif, serta upaya untuk meningkatkan kemampuan talenta yang ada saat ini, atau menarik kembali talenta Indonesia yang tersebar di luar negeri. Untuk jangka pendek, para pemangku kepentingan di sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk memahami cara menarik, melatih, dan mempertahankan talenta terbaik saat ini.

Pengembangan EV di Indonesia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan diproyeksi menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050, Indonesia memiliki kepentingan yang besar dalam melakukan transformasi menjadi pertumbuhan ekonomi hijau. Transformasi ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, melainkan juga merupakan peluang bisnis yang sangat signifikan. Laporan tersebut memperkirakan nilai peluang pertumbuhan hijau di Indonesia sebesar $400 miliar yang mencakup pendapatan industri dan potensi kompensasi karbon.

Menurut Managing Director dan Partner BCG Singapura Marc Schmidt, khusus untuk Indonesia solusi energi, pengelolaan limbah hingga agrikultur memainkan peranan penting, namun demikian jika pemerintah Indonesia bisa memprioritaskan solusi yang ingin dihadirkan lebih dulu, solusi energi menjadi opsi yang ideal.

“Dengan fokus kepada solusi energi memberikan kesempatan kepada EV yang memiliki low emission zero emission untuk berkembang menjadi sistemik untuk diselesaikan. Yang nantinya bukan hanya fokus kepada energy generation namun juga transmission yang membutuhkan infrstruktur untuk semua.”

Saat ini tercatat sudah banyak perusahaan lokal hingga asing yang menghadirkan motor listrik serta produk pendukungnya di Indonesia. Di antaranya ION Mobility yang berbasis di Singapura, Tingkok dan Indonesia. Sementara untuk produk lokal di antaranya adalah Viar, Elvindo Rama, Selis E-Max, Honda PCX, serta produsen lokal yang motornya sempat dicoba presiden yakni Gesits.

Salah satu perusahaan lokal yang sedang merintis solusi di sektor EV adalah MAKA Motors. Dalam pendekatan alternatif dibandingkan dengan kebanyakan pemain otomotif Indonesia yang fokus pada perakitan dan penjualan/layanan purna jual, Maka Motors mengadopsi rantai nilai terintegrasi secara vertikal melalui R&D, desain produk, perakitan, dan penjualan/layanan purna jual.

Model terintegrasi secara vertikal ini diklaim memungkinkan mereka untuk merancang dan memproduksi produk kendaraan listrik yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar Indonesia dan memungkinkan perusahaan memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan produk whitelabel dengan spesifikasi serupa (ukuran baterai, daya motor) karena struktur biaya yang lebih efisien.

“Kami percaya bahwa kendaraan listrik merupakan kunci perjalanan dekarbonisasi Indonesia, membuka jalan menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Untuk mengajak konsumen Indonesia beralih dari kendaraan bensin mereka, para pemain kendaraan listrik harus menyediakan total biaya kepemilikan yang lebih rendah tanpa mengorbankan apa yang sudah diperoleh konsumen dari kendaraan bensin saat ini yaitu, jarak tempuh, daya, kegunaan, daya tahan, dan keterjangkauan,” kata Founder & CEO Maka Motors Raditya Wibowo.

Pasar Kendaraan Listrik Indonesia Ditaksir Capai Lebih dari Rp300 Triliun

AC Ventures dan Asosiasi Ekosistem Mobilitas Listrik (AEML) baru saja merilis laporan bertajuk “Indonesia’s Electric Vehicle Outlook: Supercharging Tomorrow’s Mobility” yang mengulas berbagai topik kunci terkait kendaraan listrik, mulai dari pelaku industri, infrastruktur, produksi lokal, rantai pasok, hingga kebijakan dan regulasi.

Laporan ini menyoroti potensi kendaraan listrik di Indonesia dengan proyeksi nilai sebesar $20 miliar atau lebih dari Rp300 triliun secara keseluruhan yang didukung sejumlah faktor kunci, antara lain peningkatan permintaan konsumen, kebijakan pemerintah, dan perkembangan teknologi baru yang mendorong performa dan mengurangi biaya secara keseluruhan.

Per 2020, pemakaian kendaraan listrik di Indonesia baru mencapai 26.000 unit roda dua dan 7.600 unit roda empat. Pemakaian ini utamanya didorong dari kemitraan B2B dan pembelian langsung. Secara persentase, saat ini motor listrik tercatat baru menyumbang 0,2% dari total pasar sepeda motor di Indonesia. Persentase ini dapat meningkat hingga 10% dalam lima tahun mendatang apabila pemangku kepentingan publik dan swasta bekerja sama untuk mendorong kendaraan listrik lokal.

Ekosistem pendukung, seperti cell manufacturing and battery management system ditaksir mengantongi nilai pasar sebesar $3 miliar-$4,5 miliar hingga 2030. Sementara, auto R&D and manufacturing diproyeksi menembus $12,5 miliar-$15 miliar. Kendati begitu, sejumlah tantangan ikut menyelimuti pengembangan kendaraan listrik di tanah air, mulai dari mahalnya biaya produksi kendaraan dan komponen baterai hingga rantai pasok.

Pemangku kepentingan di Tanah Air telah mengeluarkan sejumlah kebijakan di sisi permintaan, suplai, hingga infrastruktur untuk memberikan subsidi financing/insentif ke manufaktur, pengembang infrastruktur, hingga pengguna.

Sumber: Indonesia’s Electric Vehicle Outlook: Supercharging Tomorrow’s Mobility

Sebagai perbandingan, penetrasi penggunaan kendaraan listrik roda dua di Vietnam sudah mencapai 9,7% di 2021. Ini tidak termasuk penggunaan sepeda listrik. Tiongkok dan negara-negara di Eropa mencatat penetrasi lebih besar, masing-masing 15% dan 16,1% untuk kendaraan listrik roda empat di 2021. Adapun, Tiongkok mendominasi penggunaan kendaraan listrik roda dua dengan 19,7%.

Tantangan, sentimen, dan ekosistem lokal

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membidik sebanyak 1,76 juta kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dan 400 ribu unit untuk roda empat dapat mengaspal pada 2025. Dalam realisasinya, pemerintah tercekal sejumlah tantangan karena keterbatasan ekosistem untuk mendukung produksi, infrastruktur, hingga rantai pasok secara lokal.

Salah satunya adalah jaringan stasiun pengisian (charging station) dan penukaran baterai (BSS) pada kendaraan listrik. Per 2022, baru ada 439 high-powered general charging station yang terdapat di 328 titik lokasi dan 961 BSS di Indonesia.

Keterbatasan ini dikarenakan biaya investasi untuk membangun infrastruktur pengisian/penukaran baterai kendaraan listrik masih mahal. Tantangan lainnya adalah harga kendaraan listrik tidak murah, sedangkan opsi financing kendaraan listrik belum banyak. Di samping itu, spesifikasi yang terbatas juga belum dapat memenuhi kebutuhan pengendara.

Selain itu, minat terhadap kendaraan listrik juga dinilai belum tinggi. Berdasarkan survei terkait sentimen atau persepsi masyarakat terhadap kendaraan listrik, sebanyak 95% dan 84% responden masing-masing memiliki impresi positif pada aspek fuel efficiency dan biaya pemeliharaan yang rendah. Namun, impresi negatif terbesar tertuju pada aspek model kendaraan listrik (84%), infrastruktur pengisian baterai (81%), dan ukuran kendaraan listrik (79%).

“Banyak yang berminat switch ke kendaraan listrik karena merasa terlalu banyak menghabiskan biaya untuk bahan bakar. Namun, bagi kami, ini bukan hanya persoalan penghematan biaya, tetapi bagaimana mengembangkan produk yang punya kinerja yang sama dan dapat diandalkan seperti kendaraan yang sudah mereka miliki. Makanya, kami merancang produk dari pengalaman kami yang disesuaikan dengan pengguna Indonesia. Kami kembangkan kapabiitas R&D dengan tim yang kami miliki,” Founder dan CEO Maka Motors Raditya Wibowo saat sesi panel paparan laporan ini, Senin (3/7).

Lebih lanjut, laporan ini menyoroti inisiatif sektor pemerintahan dan swasta dalam mendukung ekosistem kendaraan listrik dalam negeri. Pemerintah mendirikan holding Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk membangun industri baterai kendaraan listrik dari hulu ke hilir.

Di sektor swasta, raksasa manufaktur baterai kendaraan listrik Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) asal Tiongkok rencananya menggelontorkan investasi sebesar $5,6 miliar untuk mengembangkan bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia.

Sumber: Indonesia’s Electric Vehicle Outlook: Supercharging Tomorrow’s Mobility

Dari sisi penggunaan, perusahaan teknologi besar, seperti Grab dan Gojek, ikut ambil bagian dengan memperkenalkan pemakaian kendaraan listrik melalui layanan ride-hailing dan logistik sebagai entry point mereka. Grab Indonesia mengoperasikan 14.000 armada motor listrik, sedangkan Lazada Logistics menggunakan kendaraan listrik yang diproduksi PT Smoot Motor Indonesia untuk keperluan logistik.

Berdasarkan data yang kami himpun, ekosistem kendaraan listrik dalam negeri saat ini diisi oleh berbagai startup produsen motor listrik maupun pengembang baterai yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Beberapa di antaranya adalah Alva One, Charged Indonesia, ION Mobility, hingga Swap Energi.

Sumber: Indonesia’s Electric Vehicle Outlook: Supercharging Tomorrow’s Mobility

Korporasi dan pemodal ventura juga ikut terlibat dengan mendirikan perusahaan patungan (joint venture/JV) untuk menggarap kendaraan listrik, di antaranya ada Electrum (GoTo dan PT TBS Energi Utama Tbk) dan Ilectra Motor Group (PT Indika Energy Tbk, Alpha JWC Ventures, dan Horizons Ventures.

Sementara, anak usaha BUMN, Pertamina NRE ikut menggelontorkan dana kelolaan sebesar Rp7,7 triliun pada tahun lalu. Dana kelolaan bernama Energy Fund ini disiapkan untuk investasi pada inovasi di sektor energi.

Rosé All Day Siap Lebarkan Bisnis ke Global Usai Capai Profitabilitas

Seiring meningkatnya belanja produk online, pemilik merek kosmetik D2C memainkan peran signifikan dalam mendorong industri kecantikan di Indonesia. Dengan fokus pada inovasi, transparansi, dan keterlibatan konsumen, platform D2C siap mengubah standar industri kecantikan.

Rosé All Day Cosmetics (RADC) merupakan merek kecantikan Indonesia yang menghadirkan produk -produk yang disesuaikan dengan target pengguna. RADC mendapatkan suntikan pendanaan dari AC Ventures pada 2020.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial.id,  para pendiri RADC mengungkap rencana ekspansinya usai bisnisnya mencapai profitabilitas pada tahun lalu.

Eskpansi mancanegara

RADC didirikan di 2017 oleh Cindy Nyoto Gunawan, Tiffany Danielle, dan Samantha Wijaya. RADC mengklaim telah mencapai profitabilitas dengan pertumbuhan tahunan yang signifikan sejak 2021.

Pendapatannya mengalami peningkatan tahunan sebesar 4 kali lipat pada 2022, dan berada di jalur untuk mencapai pertumbuhan sebesar 6 kali lipat pada 2023. Pertumbuhan ini disebut menjadi kombinasi dari traksi produk, peningkatan jalus distribusi online dan offline, serta retensi pelanggan yang baik.

“Kami memulai dengan modal awal sebesar $10.000 (sekitar Rp148 juta). Selama tiga tahun pertama, RADC mengalami pertumbuhan organik dengan pengeluaran pemasaran yang minimal. Bahkan selama pandemi di 2020-2022, RADC mengalami pertumbuhan pesat dengan menjaga pengeluaran pemasaran di bawah 20% dari pendapatan,” kata CEO dan Co-Founder RADC Cindy Nyoto Gunawan.

Selanjutnya, RADC berencana memperluas distribusi ke seluruh Indonesia dan kehadiran omnichannel, serta melakukan rebranding pada koleksi perawatan kulitnya sebagai bagian dari strategi ekspansi. Untuk rencana jangka panjang, perusahaan berharap bisa membawa RADC ke tingkat global.

RADC juga akan melakukan perekrutan di berbagai bidang, termasuk pemasaran, media sosial, operasi, keuangan, supply chain, pengembangan produk, membangun komunitas, dan pengembangan kreatif. Saat ini, jumlah karyawannya sebanyak 50 orang.

“Kami percaya ada potensi besar yang belum dimanfaatkan dalam menempatkan brand Indonesia, seperti milik kami, di peta dunia. Ini bukan hanya tentang melebarkan sayap, tetapi membuktikan bahwa kami sebagai brand Indonesia, dapat berdiri tegak di samping nama-nama besar di global. Ini bukan hanya sekadar ide, tetapi juga menjadi bahan bakar yang mendorong setiap keputusan kami menuju ambisi kami,” kata Co-Founder, CMO & Head of Product Development RADC Tiffany Danielle.

Produk terjangkau dan berkualitas

Sumber: Rosé All Day Cosmetics

Dalam beberapa tahun terakhir, perilaku konsumen kecantikan telah mengalami pergeseran yang signifikan dengan munculnya platform Direct-to-Consumer (D2C). Pendekatan inovatif ini mendisrupsi jalur distribusi tradisional dengan memberdayakan akses yang mudah ke produk kecantikan berkualitas tinggi. Indonesia, dengan pasar kecantikannya yang beragam dan populasi tech-savvy yang ada saat ini, telah memberikan peluang bagi pertumbuhan kosmetik D2C.

Sejak awal, RADC telah mengidentifikasi kenaikan permintaan untuk produk kecantikan yang terjangkau dan berkualitas tinggi, yang belum terpenuhi di Indonesia. Terinspirasi oleh kesuksesan merek internasional, para pendirinya memutuskan untuk menciptakan Rosé All Day Cosmetics (RADC), merek kecantikan premium yang mudah diakses untuk wanita modern. Saat ini RADC telah memiliki sertifikasi halal sebagai merek kecantikan di Indonesia.

“Meskipun gaya hidup kami berbeda-beda, kami semua mengakui serangkaian ‘kebutuhan sehari-hari’ dalam rutinitas makeup kami. Wawasan ini mendorong kami untuk menciptakan produk-produk serba guna yang dapat menyederhanakan dan meningkatkan rutinitas kecantikan harian setiap wanita,” ujar Tiffany.

RADC meluncurkan lip and cheek duo, produk perawatan kulit yang multifungsi, mendukung tren lipstik matte yang tahan lama. Tujuan perusahaan adalah mendorong tampilan “no makeup” yang mendukung kecantikan alami. RADC kemudian mulai memperluas produk untuk perawatan kulit, memimpin tren skincare-infused makeup di Indonesia.

“Kami selalu mengutamakan transparansi, clean beauty, dan formulasi vegan, dengan komitmen yang kuat terhadap keterlibatan pelanggan. Tujuan kami adalah menawarkan produk inovatif, user-friendly yang dapat menjadi produk kecantikan sehari-hari bagi semua orang,” kata Tiffany.

Menurut Tiffany, yang membedakan RADC dari pemain lainnya adalah, komitmen mereka terhadap inklusivitas, transparansi, kesederhanaan, kemudahan, dan harga terjangkau. Terkait dengan warna kulit masyarakat Indonesia, inovasi produk dan kualitas RADC diklaim tercermin dalam penawaran, seperti realest lightweight skin tint, skin tint vegan pertama di Indonesia yang juga melindungi dari polusi.

“Kami menawarkan kemudahan belanja online melalui berbagai platform dan saat ini sedang memperluas keberadaan offline kami di seluruh Indonesia. Kami menjaga harga terjangkau dengan memastikan produk berkualitas tinggi,” Tutupnya.

Tercatat saat ini sudah ada beberapa merek kosmetik hingga perawatan kulit wajah dan rambut lokal yang menawarkan pendekatan serupa. Di antaranya adalah NAMA Beauty, pemilik merek D2C produk perawatan kulit dan kecantikan.

Diri Care juga hadir menawarkan solusi perawatan kesehatan pribadi sesuai permintaan (on-demand) serta terjangkau kepada para pelanggan di seluruh Indonesia, Base dikenal sebagai brand skincare yang menawarkan personalisasi rekomendasi perawatan kulit dengan teknologi eksklusif .

Skorlife Raih Pendanaan Awal Senilai Rp59,5 Miliar Dipimpin Hummingbird Ventures

Startup pengecekan skor kredit Skorlife hari ini (24/05) mengumumkan pendanaan tahap awal senilai $4 juta atau lebih dari Rp59,5 miliar dipimpin oleh Hummingbird Ventures. Turut berpartisipasi dalam putaran ini investor baru QED Investors, serta investor terdahulu AC Ventures dan Saison Capital.

Rencananya, Skorlife akan menggunakan dana segar yang baru didapat ini untuk mengembangkan produk, memperluas tim, meningkatkan penetrasi pasar, dan mendorong pertumbuhan perusahaan secara umum. Sebelumnya, perusahaan sempat mengumumkan perolehan dana tahap pra-awal lebih dari Rp32,8 miliar pada September 2022 lalu.

Didirikan oleh para veteran terkemuka di ekosistem teknologi lokal, Ongki Kurniawan dan Karan Khetan, SkorLife menawarkan pembangunan kredit bagi individu untuk mengakses dan memantau skor dan laporan kredit mereka serta data terkait lainnya dari biro kredit secara instan dan gratis.

Sebagai salah satu pionir layanan credit builder di Indonesia, Skorlife mencoba mengatasi masalah akses terbatas terhadap kredit yang adil di Indonesia dengan menyediakan pendidikan kredit, alat untuk meningkatkan kredit, dan mempromosikan pinjaman yang bertanggung jawab.

Co-founder dan President SkorLife Karan Khetan menjelaskan, “Dengan dana yang kami peroleh, SkorLife siap untuk mempercepat misinya dalam mempromosikan pinjaman yang bertanggung jawab dan praktik kredit yang adil di Indonesia. Kami berkomitmen untuk mendorong literasi keuangan di kalangan individu dan komunitas.”

Skorlife mengungkap bahwa Indonesia memiliki peluang pasar mencapai $185 miliar yang akan terus berkembang. Namun, warga negara ini masih memiliki keterbatasan akses terhadap kredit yang adil disebabkan oleh pengetahuan terbatas pasar mengenai bagaimana kredit berfungsi, dan bagaimana menjadi peminjam yang bertanggung jawab.

Perusahaan mengklaim, ketika masyarakat memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang profil kredit mereka, maka mereka akan berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kelayakan kredit dan reputasi keuangan mereka. Hal ini akan memberikan mereka akses ke peluang kredit yang lebih adil, serta bermanfaat bagi masyarakat secara umum dalam jangka panjang.

Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, “SkorLife merevolusi pasar Indonesia dengan mengatasi masalah nyata mengenai ketimpangan keuangan, dan AC Ventures dengan bangga menjadi investor awal dan mitra generasional perusahaan ini. Melalui misi untuk membawa keadilan dan kebebasan keuangan ke pasar, SkorLife membuka jalan bagi masa depan yang lebih inklusif dan sejahtera bagi semua masyarakat Indonesia.”

Layanan skoring kredit di Indonesia

Di Indonesia, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk pengecekan skor kredit. Pertama, Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) sebagai Biro Kredit Konvensional. Selain itu, bisa melalui BI Checking, yang sekarang sudah berubah menjadi Informasi Debitur (iDEB) atau Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).

Data yang digunakan di sini utamanya bersumber dari basis data bank atau lembaga finansial lainnya. Namun, seiring perkembangan layanan fintech di Indonesia, industri perbankan juga mulai terbuka memanfaatkan sumber data alternatif demi memperluas jangkauannya ke segmen masyarakat unbankable dan UMKM.

Dengan begitu, penyelenggara fintech melalui model bisnis Innovative Credit Scoring (ICS) juga mencoba menyediakan solusi serupa dengan memanfaatkan sumber data alternatif yang tidak terbatas pada rekening bank. Contohnya, data belanja daring, data telekomunikasi, juga rekam jejak di media sosial dapat menjadi sumber alternatif.

Terkait regulasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membuat klaster khusus bernama Innovative Credit Scoring (ICS) sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD). Per Mei 2023, sudah ada 20 perusahaan yang tercatat dalam klaster credit scoring. Untuk Skorlife saat ini masih tercatat di klaster financial planner.

Beberapa layanan pengecekan skor yang juga beroperasi di Indonesia termasuk IdFintechScore yang diluncurkan AFPI dan PEFINDO, layanan CredoLab yang memanfaatkan metadata perangkat mobile, Tokoscore yang terafiliasi dengan Tokopedia, anak perusahaan Investree, AIForesee, dan Ascore.ai yang disediakan oleh layanan P2P Lending Amartha.

Application Information Will Show Up Here

BRIK Konfirmasi Tutup Pendanaan Pra Seri A Senilai 168 Miliar Rupiah

Startup konstruksi BRIK telah menutup putaran pendanaan pra seri A dengan nominal sebesar $11,5 juta (sekitar 168 miliar Rupiah). Hal ini telah dikonfirmasi oleh manajemen perusahaan menyusul pemberitaan terakhir terkait penggalangan dana mereka pada Desember 2022 silam.

Kepada DailySocial.id, pihak BRIK menyebut investor terdahulu, seperti Accel dan AC Ventures, kembali berpartisipasi dalam putaran ini. Kemudian, B Capital, Alter Global, Living Lab Ventures, perusahaan konstruksi asal Singapura Woh Hup, salah satu konglomerat lokal, dan beberapa angel investor yang mayoritas berasal dari India, juga ikut berinvestasi.

Sebelumnya, BRIK telah menerima pendanaan tahap awal senilai $4 juta atau Rp59,5 miliar pada Juli 2022, dipimpin oleh AC Ventures dengan keterlibatan Accel, Infra.Market, Alto Partners, BizOnGo, dan sejumlah angel investor.

Dana segar ini akan digunakan untuk memperluas jangkauan bisnis dan menambah lini produk BRIK. Dalam upaya mengembangkan bisnisnya, BRIK juga diketahui berencana untuk mempekerjakan beberapa individu di Singapura, Indonesia, dan India untuk menyediaan produk beton, pracetak dan nonstruktural, agregat berkualitas tinggi, dan bahan kimia konstruksi.

Di samping itu, perusahaan juga mendorong inovasi teknologi untuk dapat menurunkan harga. Hingga saat ini, BRIK telah tersedia di pulau Jawa, Bali, dan Lampung.

Saat ini, BRIK memiliki empat produk unggulan, yaitu beton, cat interior dan waterproofing dari Singapura, bata merah dan hebel brik, juga lem, thinner dan admixtures. Perusahaan segera menambah lini produk baru, seperti kayu untuk konstruksi, dan meningkatkan nilai produk dengan menuju ke green innovation.

Solusi BRIK

BRIK didirikan pada 2022 oleh empat orang founder, dua di antaranya mantan VP SEA Invesment di Jardines dan salah satu co-founder di iDexpress. BRIK merupakan perusahaan agregator bahan baku B2B yang memiliki fokus dalam membangun rumah produk bahan konstruksi.

Dalam operasionalnya, perusahaan memanfaatkan teknologi untuk memecahkan masalah di sektor konstruksi seperti kurangnya transparansi harga, kualitas bahan konstruksi yang tidak sesuai, basis vendor yang terfragmentasi, dan logistik yang tidak efisien. Dengan sistem bisnis ini, BRIK telah melayani klien institusional (B2B) dan juga pelanggan ritel.

BRIK mengembangkan produk konstruksi sendiri dengan kualitas dan karakteristik yang sesuai dengan riset yang telah dilakukan tim. Lewat mekanisme cloud manufacturing, perusahaan merangkul rekanan pemasok bahan bangunan untuk membantu perusahaan memproduksi barang. BRIK memberikan jaminan penjualan lewat kanal yang dimiliki.

Beberapa startup yang menyasar segmen konstruksi di Indonesia sebut saja GoCement yang berupaya mengefisiensikan bisnis konstruksi. Selain itu, ada Proglix yang menghadirkan solusi terpadu penyediaan raw material untuk konsumen infrastruktur dan manufaktur.

Menurut riset GlobalData, ukuran pasar bisnis konstruksi di Indonesia telah mencapai $234,6 miliar atau setara Rp3,591 triliun pada 2021 lalu. Diproyeksikan sektor ini akan mendapati average annual growth rate (AAGR) lebih dari 4% dalam periode 2023-2026 mendatang. Pertumbuhan ini berkorelasi langsung dengan sejumlah metrik perekonomian, termasuk PDB nasional yang pada 2022 berhasil tumbuh 5,31%.

Riset AC Ventures-BCG: Semakin Matang, Industri Fintech Indonesia Tumbuh 6 Kali Lipat

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah mengalami peningkatan enam kali lipat pada jumlah pemain fintech, dari 51 pada 2011 menjadi 334 pada 2022. Hal terungkap dalam laporan berjudul “Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise” yang disusun oleh AC Ventures dan Boston Consulting Group (BCG).

Laporan tersebut mengungkap, pada awalnya, pertumbuhan sektor ini didorong oleh segmen pembayaran. Namun, lanskap fintech semakin beragam dan dinamis, diisi oleh sektor pinjaman, pembayaran, dan wealthtech yang menjadi industri menjanjikan di masa depan.

Selain itu, segmen baru di sektor fintech, seperti SaaS dan insurtech yang kian bermunculan, menunjukkan bahwa industri fintech di Indonesia semakin matang dan bergerak menuju produk dan layanan yang lebih canggih.

Gelombang pertama fintech yang diisi oleh sektor pembayaran kini memiliki lebih dari 60 juta pengguna aktif pada 2020. Sektor ini diperkirakan mencapai tingkat CAGR sebesar 26% pada 2025. Sementara di sektor pinjaman, terdapat lebih dari 30 juta akun peminjam p2p yang aktif pada 2021.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Secara transaksi, nilai transaksi terus bertumbuh dengan lebih dari $20 miliar transaksi e-wallet selama 2017-2021. Adapun sektor pinjaman mencapai lebih dari $17 miliar yang disalurkan selama 2017-2022.

Selanjutnya, sektor wealthtech memiliki lebih dari 9 juta investor ritel pada 2022, mencapai nilai CAGR 56% sepanjang 2018-2022. Terakhir, adopsi platform SaaS juga semakin meningkat, dengan 6 juta UMKM menggunakannya dengan pertumbuhan 26 kali lipat dari tahun sebelumnya.

Sentimen investor

Laporan ini juga mengungkapkan bahwa sentimen investor tetap bullish terhadap sektor ini, terlihat dari kenaikan pendanaan ekuitas tahunan dari $353 juta pada 2020 menjadi $1,51 miliar pada 2021. Meskipun signifikan, sebagian dari pendanaan digunakan untuk menyuntik sektor pembayaran dan pinjaman.

Kemudian, tahun 2021 juga merupakan tahun pelarian bagi pemain wealthtech yang menerima dana lebih dari $500 juta. Ketika tahun 2022 menujukan sedikit penurunan dari total nilai pendanaan—dengan kekhawatiran makro-ekonomi global yang memengaruhi sentimen investor—Indonesia masih menarik pendanaan hampir $1,4 miliar yang menunjukkan ketahanan ekosistem.

“Investasi ke fintech di Indonesia pada periode 2020–2022 mencapai $3,2 miliar. Sebesar 4,6x lipat pertumbuhan pendanaan di periode 2017–2019 menunjukkan investor dengan komitmen kuat. Sebagian besar dana telah mengalir untuk perusahaan yang lebih matang di mana 60% dari volume kesepakatan masuk ke perusahaan tahap awal. Ini menunjukkan keinginan yang kuat untuk berinvestasi dalam inovasi baru,” tulis laporan tersebut.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Managing Partner AC Ventures Helen Wong menyampaikan, AC Ventures telah melihat bahwa beberapa vertikal di industri fintech, termasuk perusahaan pembayaran dan bank digital, lebih matang daripada yang lain.

“Ke depannya, kami akan berinvestasi di lebih banyak vertikal. Misalnya, kami telah melakukan satu investasi dalam pembiayaan mobil, pembiayaan properti, dan mungkin juga beberapa pendukung untuk penilaian kredit dan investasi di KYC,” kata Wong dalam paparan laporan ACV-BCG, kemarin (29/3).

Embedded finance

Poin menarik lainnya yang disampaikan dalam laporan tersebut adalah potensi besar yang dari embedded finance dan akan menjadi game changer di industri keuangan di regional ini.

Managing Director & Partner BCG Sumit Kumar menyampaikan regulasi dari Bank Indonesia mengenai BI FAST dan SNAP menjadi dorongan penting dalam menciptakan inovasi berikutnya di industri fintech, yakni embedded finance. Hal ini mempermudah bank agar tidak perlu buka cabang, memperbanyak kerja sama dengan banyak pemain, termasuk B2C yang biasa digunakan masyarakat umum, dengan memasukkan aktivitas keuangan dan perbankan secara lebih mudah.

“Sebagai masukan, regulasi ini tidak boleh terdiktasi karena ke depannya ada lebih banyak hal yang akan berubah,” kata Kumar.

Sumber: Indonesia’s Fintech Industry is A Sleeping Giant Ready to Rise Report

Banyak contoh implementasi dari open banking yang sukses di berbagai negara, misalnya inovasi UPI (Unified Payments Interface) di India. UPI memungkinkan pemegang rekening di seluruh bank untuk mengirim dan menerima uang dari smartphone mereka hanya dengan menggunakan nomor identitas unik Aadhaar (sebutan E-KTP di India), nomor ponsel, atau alamat pembayaran virtual tanpa memasukkan detail rekening bank.

Juga inovasi yang dihadirkan oleh GCash, pemain e-wallet asal Filipina. Startup unicorn ini mendapat popularitas yang sangat besar karena mereka masuk ke pasar ritel dengan nilai transaksi yang receh. Di pasar ritel, artinya konsumen lebih suka membeli produk dalam kemasan yang lebih kecil dan terjangkau daripada membeli dalam jumlah besar.

Jadi ketika GCash mulai mengembangkan dan memperluas layanan keuangannya (dengan open banking), GCash mempertimbangkan ekonomi sachet dan memperhatikan kebutuhan konsumen di pasar.

“Sebesar 30% dari estimasi aktivitas perbankan di regional akan masuk ke embedded finance. Jadi bank konvensional harus mengikuti tren tersebut atau [bakal] tertinggal. Lalu pada 10 tahun mendatang, seluruhnya akan masuk ke embedded finance.”

CEO ALAMI Group Dima Djani yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyampaikan, bahwa kehadiran SNAP dan BI-FAST ini sangat dibutuhkan industri fintech karena dapat menekan berbagai biaya. Misalnya, saat menghadirkan fitur transfer bank gratis, yang kini menjadi fitur yang harus ada di setiap aplikasi bank digital.

“Dari commercial finance ke social finance dan kebalikannya, open banking bisa menjadi salah satu solusi terjangkau yang bisa dimanfaatkan untuk menyalurkan kredit produktif ke sektor yang membutuhkan. Hal ini melandasi kami untuk masuk ke pembiayaan KPR dan segera masuk ke umroh dan haji.” Tutupnya.

Broom Peroleh Dana Segar Pra-Seri A Senilai 154 Miliar Rupiah [UPDATED]

*update 10 Maret 2023: kami memperbarui informasi dengan menyesuaikan nilai dan seri pendanaan

Platform digital untuk ekosistem mobil bekas Broom dikabarkan mendapat pendanaan pra-seri A senilai $10 juta atau sekitar 154 miliar Rupiah yang dipimpin Openspace Ventures. Berita ini pertama kali dikabarkan oleh DealStreetAsia.

Berdasarkan data yang dilaporkan ke regulator, AC Ventures dan Quona Capital (keduanya adalah investor terdahulu), serta MUFG Innovation Partners dan BRI Ventures turut berpartisipasi pada putaran ini. 

Sebelumnya, Broom mengantongi pendanaan pra-awal senilai $3 juta (Rp43 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, serta partisipasi dari Quona Capital dan beberapa angel investor, termasuk pendiri Kopi Kenangan dan Lummo.

DailySocial.id telah menghubungi manajemen Broom untuk mengonfirmasi berita ini, namun belum ada respons hingga berita ini diturunkan. 

Broom dirintis oleh Pandu Adi Laras (CEO), Pungky Wibawa (CBO), dan Andreas Sutanto (CFO) di 2021. Awalnya mereka mengembangkan solusi bagi pelaku UKM di bidang otomotif untuk memudahkan digitalisasi proses bisnis showroom dan memberikan fasilitas pembiayaan produktif. Kini Broom lebih fokus sebagai platform marketplace di sektor ini.

Digitalisasi proses kerja diler

Proses kerja diler kendaraan dinilai masih tradisional. Stok barang dicatat secara manual. Ketika mencoba go online, pemilik diler mengaku kesulitan menemukan pembeli yang tepat di lokasi mereka. Maka itu, solusi ini diharapkan dapat mengatasi masalah deadstock (stok yang belum terjual lebih dari satu bulan).

Dalam wawancara dengan DailySocial saat itu, Co-Founder dan CEO Broom Pandu Adi Laras mengatakan bahwa platform Broom memungkinkan pemilik diler untuk mengelola inventaris, pembukuan keuangan, hingga mengelola berbagai instrumen penjualan mereka.

“Startup ini bertujuan untuk menjadi pusat bagi digitalisasi jaringan diler di Indonesia,” tuturnya. Per Maret 2022, Broom memiliki lebih dari 2.000 diler mobil bekas di wilayah Jabodetabek.

Upaya digitalisasi di sektor otomotif terus berkembang. Awalnya, sektor ini banyak diisi oleh pemain car marketplace, seperti Carro, Carsome, dan LX Autos. Bahkan Moladin yang awalnya bermain di pembelian motor, sudah pivot ke jual-beli mobil bekas. 

Namun, pelaku startup mulai mengeksplorasi pain point lain di sektor otomotif yang dapat didukung dengan teknologi seiring tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Misalnya, solusi bengkel yang dikembangkan oleh Bengkel Mania, dan pembiayaan showroom Broom yang juga sama-sama membidik pelaku UMKM.

Adapun, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan mobil retail di mencapai 89.651 unit per Oktober 2022.

Application Information Will Show Up Here