Raena’s Target in Indonesia Post Series A Funding and Business Pivot

The impact of the pandemic can significantly drive startup businesses, especially for those who promote online services and trending products among communities. One that has experienced an increase during the pandemic is Raena. The platform helps promotional activities take advantage of social media influencers.

In order to increase traction, the company’s decided to pivot (in the sense of turning a business direction to widen market share), by providing integrated solutions not only for influencers but also for women who want to have additional income to become beauty entrepreneurs.

Raena’s Founder & CEO, Sreejita Deb revealed to DailySocial, from the beginning to the end of 2020, Raena’s new business line has experienced massive growth. One of the reasons is the increasing number of people who make online transactions during the pandemic.

“Even though many claims pivoting is something negative, for us, it is an opportunity for business to be more flexible. Previously, we only provide a platform to influencers, now, we want to provide a comprehensive solution for those who want to have their own business,” Sreejita said.

Raena’s new concept is social commerce, managing all the needs and processes that are usually performed by online sellers. Starting from managing stock of goods, suppliers, selecting brands, to logistics. For those who want to join Raena and want to become a seller, they can focus more on developing their number of followers on social media, WhatsApp, marketplace channels such as Shopee, Lazada, Tokopedia, and others.

“Previously, we have a one-to-one model that links one supplier to one influencer. Now, we offer a many-to-many model, which connects various brands and various suppliers to various influencers,” she added.

Series A funding

In order to massively grow business, Raena has completed a $9 million Series A fundraising activity led by Alpha Wave Incubation and Alpha JWC Ventures. Other investors involved in this year’s funding include AC Ventures, Beenext, Beenos, and Strive. In 2019, Raena secured $1.8 million in early-stage funding.

“To date, we have not spent too much money on marketing activities. That’s why we are not too aggressive in raising funds. Our focus is to increase the value of influencers or those who join Raena,” Sreejita said.

With this fresh fund, Raena’s future plans are to increase the number of sellers, increase the number of brands, and the internal team. Currently, Raena has a team consisting of 15 people in Indonesia. And until the end of next year, the number is planned to be increased. Raena also sees the Indonesian market as the main target.

Alpha JWC Ventures said the reason they were interested in investing was Raena’s vision to empower female entrepreneurs throughout Indonesia by opening access to high-quality beauty products. In addition, Raena is a solution for brands that expect to enter Southeast Asia, especially Indonesia, and for entrepreneurs who are looking for business consistency.

“By serving these two segments, Raena is entering a large market that continues to grow along with the growing middle class in Indonesia and Southeast Asia. With the expertise of Raena’s founding team and our support, we are confident that Raena can grow into a leading player in the Southeast Asian beauty industry,” Alpha JWC Ventures’ Co-founder & General Partner, Chandra Tjan said.

Previously, DailySocial had reviewed the beautytech trend in Indonesia, which is defined as a new model for actors in the beauty industry to reach consumers. Its business model no longer revolves around conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fokus Raena di Indonesia Setelah Kantongi Pendanaan Seri A dan Lakukan Pivot

Dampak pandemi bisa mendorong bisnis startup secara signifikan, terutama bagi mereka yang mengedepankan layanan online dan produk yang menjadi tren di kalangan masyarakat. Salah satu yang mengalami peningkatan selama pandemi adalah Raena. Platform tersebut membantu kegiatan promosi memanfaatkan influencer media sosial.

Guna meningkatkan traksi, kini memutuskan untuk melakukan pivoting (dalam artian berbelok haluan bisnis untuk memperlebar pangsa pasar), dengan memberikan solusi terpadu bukan hanya untuk influencer, namun juga untuk kalangan perempuan yang ingin memiliki penghasilan tambahan menjadi beauty entrepreneur.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Raena Sreejita Deb mengungkapkan, sejak awal hingga akhir tahun 2020, bisnis baru yang dikembangkan oleh Raena telah mengalami pertumbuhan yang cukup masif. Salah satu alasan adalah makin besarnya jumlah masyarakat yang melakukan transaksi secara online selama pandemi.

“Meskipun banyak yang mengatakan pivoting adalah sesuatu hal yang negatif, namun bagi kami justru menjadi peluang agar bisnis bisa menjadi lebih fleksibel. Jika di awal kami hanya ingin memberikan platform kepada influencer, kini kami ingin memberikan solusi menyeluruh kepada mereka yang ingin memiliki bisnis sendiri,” kata Sreejita.

Konsep baru yang ditawarkan oleh Raena adalah social commerce, mengelola semua kebutuhan dan proses yang biasanya dilakukan oleh penjual secara online. Mulai dari pengelolaan stok barang, supplier, pemilihan brand, hingga logistik. Untuk mereka yang ingin bergabung dengan Raena dan ingin menjadi penjual, selanjutnya bisa lebih fokus mengembangkan jumlah pengikut mereka di media sosial, WhatsApp, kanal marketplace seperti Shopee, Lazada, Tokopedia dan lainnya.

“Sebelumnya model kita adalah oneto-one yang menghubungkan satu supplier ke satu influencer saja. Sekarang konsep yang kita tawarkan adalah many-to-many model, yang menghubungkan berbagai brand dan berbagai supplier kepada berbagai influencer,” kata Sreejita.

Kantongi pendanaan seri A

Untuk mengembangkan bisnis lebih masif lagi, Raena telah merampungkan kegiatan penggalangan dana tahapan seri A senilai $9 juta yang di pimpin oleh Alpha Wave Incubation dan Alpha JWC Ventures. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan kali ini di antaranya AC Ventures, Beenext, Beenos, dan Strive. Tahun 2019 lalu Raena telah mengantongi pendanaan tahap awal senilai $1,8 juta.

“Selama ini kita tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk kegiatan pemasaran. Karena itu kami tidak terlalu gencar untuk melakukan penggalangan dana. Fokus kami adalah meningkatkan nilai para influencer atau mereka yang bergabung dengan Raena,” kata Sreejita.

Dengan dana segar ini rencana Raena ke depannya adalah menambah jumlah penjual, menambah jumlah brand, dan tim internal. Hingga kini Raena telah memiliki tim di Indonesia sebanyak 15 orang. Dan hingga akhir tahun depan, jumlah tersebut rencananya akan ditambah. Raena juga melihat pasar Indonesia sebagai fokus utama yang disasar oleh mereka.

Alpha JWC Ventures menyebutkan, alasan mereka tertarik untuk berinvestasi adalah visi Raena untuk memberdayakan entrepreneur perempuan di seluruh Indonesia dengan cara membuka akses pada produk kecantikan berkualitas tinggi. Tidak hanya itu, Raena menjadi solusi bagi brand yang ingin masuk ke Asia Tenggara, terutama Indonesia, dan untuk entrepreneur yang mencari konsistensi usaha.

“Dengan melayani dua segmen ini, Raena memasuki pasar besar yang terus berkembang seiring pertumbuhan kelas menengah di Indonesia serta Asia Tenggara. Dengan keahlian tim pendiri Raena serta dukungan kami, kami yakin Raena dapat tumbuh menjadi pemain unggul di industri kecantikan Asia Tenggara,” kata Co-founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Sebelumnya DailySocial sempat mengulas tren beautytech di Indonesia, yang didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Layanan Paylater Asal Singapura “Pace” Mengudara, Mulai Melirik Pasar Indonesia

Sebuah startup fintech baru Pace Enterprise meluncur di Singapura. Didirikan oleh Turochas “T” Fuad yang juga dikenal sebagai pendiri Spacemob [diakuisisi oleh WeWork pada tahun 2017], startup ini menawarkan paylater yang bertujuan untuk menghadirkan akses dan inklusi keuangan pada segmen yang kurang terlayani di wilayah Asia Pasifik.

DailySocial mewawancara pihak Pace terkait peluncuran layanan ini, mereka menyinggung tentang industri BNPL (buy-now-pay-later) yang masih sangat baru di Asia Tenggara namun optimis bahwa ini hanya masalah waktu sebelum paylater mendominasi sebagai metode pembayaran. Hal ini didorong oleh keinginan konsumen untuk memiliki kendali lebih besar atas pengeluaran mereka.

Dikutip dari e27, “Alasan kami meluncurkan Pace –dan tujuan jangka panjang kami– adalah untuk menciptakan platform fintech digital yang lebih luas dan lebih inklusif yang memberdayakan populasi yang kurang terlayani. Untuk mencapai hal ini, BNPL adalah langkah pertama yang tepat yang secara fleksibel dan mulus memperluas batas pembelian pelanggan sambil memberi pedagang akses ke alternatif pembiayaan dan segmen pelanggan yang sama sekali baru,” ujar Founder & CEO Pace T. Fuad.

Layanan ini telah berhasil mengumpulkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang disebut “high seven-figure” atau sekitar $6 juta hingga $9 juta yang dipimpin oleh Vertex Ventures dan Alpha JWC Ventures. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan platformnya lebih baik dan menawarkan layanan dan solusi progresif kepada konsumen dan pedagang.

Model bisnis

Pace mulai bergulir pada November 2020, menggunakan algoritma pembuatan profil keuangan. Platform ini akan mencocokkan profil pelanggan dengan batas pengeluaran paling sesuai yang memungkinkan mereka membagi pembelian menjadi tiga cicilan tanpa bunga.

Perusahaan juga mengklaim telah dengan cepat menambahkan lebih dari 300 titik penjualan dari lebih dari 200 mitra pedagang, termasuk Goldheart, OSIM, Sincere Watch, Carousell, Reebonz, dan FJ Benjamin.

BNPL dipercaya sebagai salah satu solusi yang bisa diimplementasi oleh berbagai kalangan, karena memberikan cara bagi bisnis untuk meningkatkan pendapatan dengan menjangkau audiens baru di semua industri.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

Pihaknya menambahkan “Kami juga percaya bahwa budaya unik setiap negara akan mendorong perbedaan penggunaan BNPL di antara berbagai sektor. Meskipun demikian, kami telah melihat banyak daya tarik dalam kategori layanan, fesyen, dan olahraga & kebugaran yang semuanya pasti akan terus tumbuh seiring popularitas BNPL di antara konsumen.”

Target ke depan

Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, pasar paylater global diperkirakan akan tumbuh dari US$5 miliar pada 2019, menjadi $33.6 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) lebih dari 21.2%.

Pihaknya turut menyatakan bahwa selain layanan BNPL, Pace juga berencana mengembangkan seluruh rangkaian solusi fintech yang akan membantu bisnis dan konsumen. Perusahaan menargetkan untuk menjangkau 5000 mitra pedagang pada akhir 2021 melalui ekspansi geografisnya ke Asia Utara dan seluruh Asia Tenggara.

Saat ini Pace telah tersedia di Malaysia, Thailand, dan Hongkong. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan melebarkan sayapnya ke Indonesia, mengingat keterlibatan Alpha JWC dalam putaran awalnya.

“Kami sangat percaya pada Indonesia dan potensi dampak yang dapat kami sumbangkan di sana. Kami memiliki ambisi untuk menjadi pemain global suatu hari nanti, tetapi kami tahu bahwa kami harus ultra lokal (dari produk hingga layanan) ketika kami memasuki setiap pasar. Kami melakukan yang terbaik untuk berkembang dengan cepat dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk sampai ke Indonesia secepat mungkin,” ujar representatif Pace.

Seperti kebanyakan produk fintech, pangsa pasar akan selalu berubah-ubah, dengan peluang bagi pemain baru dan inovasi baru yang bermunculan. Pihaknya menambahkan, “Yang penting bagi kami adalah bahwa produk dan penawaran kami dikembangkan dengan mempertimbangkan pengeluaran yang berkelanjutan. Kami percaya itu adalah kunci untuk mencapai inklusi keuangan dan aksesibilitas bagi semua orang.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Credibook Receives 21 Billion Rupiah Pre-Series A Funding Led by Wavemaker Partners

Fintech startup CrediBook announced $1.5 million (over 21 billion Rupiah) pre-series A funding led by Wavemaker Partners. Alpha JWC Ventures participated in this round along with Insignia Ventures as an investor in the previous round.

CrediBook’s Co-Founder & CEO Gabriel Frans said to DailySocial, fresh funds will be channeled to strengthen the company’s new business to provide financial solutions for MSMEs with new features and expanding its presence outside Jabodetabek and Bandung.

“We want to digitize the manual process in MSMEs, for many are still using paper and books, by introducing more robust products and expanding the distribution network of retailers and suppliers,” he said, Tuesday (26/1).

These solutions for the MSME segment, he continued, are not just debt managers or invoices automation. They also need solutions such as sales management, therefore, their business activities can be slowly digitized.

Jooalan is one example of MSME solutions that the company released. It has a number of features for MSMEs, such as making it easier for warung merchants to transact at wholesalers without having to queue at the location.

“Credibook wants to be a catalyst, therefore, retailer business activities can be less manual. We also want to support retailers and wholesalers with more features and financial products to support their business activities.”

CrediBook debuted last year, targeting micro-businesses with simple financial recording solutions for micro-businesses, such as shops, with features for recording debt, complete reports, and sending bills via WhatsApp/SMS, telephone.

Gabriel claims that CrediBook users have reached 500 thousand people throughout Indonesia.

After obtaining funding from Payfazz, the two companies are aggressively expanding their financial products from one another to provide added value to each of their users. “We have several partnerships with lending, including Payfazz, to support users. In the future, there will be more financing products in collaboration with Payfazz.”

From a business perspective, this kind of service is considered very helpful for entrepreneurs to go digital, starting with digital financial records as historical data that can be carried off when applying for loans to financial institutions. The low penetration of micro-entrepreneurs is aware of the importance of this matter, making it an attractive business for many tech companies to do.

In the similar segment, apart from CrediBook, there were BukuKas and BukuWarung which also announced the acquisition of funding during the pandemic. Interestingly, these three startups got funding together last year throughout the pandemic. Apart from them, there are other players who have joined, including Moodah, Teman Bisnis, Akuntansiku, Lababook, Akuntansi UKM, and many more.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

CrediBook Terima Pendanaan Pra-Seri A 21 Miliar Rupiah Dipimpin Wavemaker Partners [UPDATED]

Startup pencatatan keuangan CrediBook mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $1,5 juta (lebih dari 21 miliar Rupiah) yang dipimpin Wavemaker Partners. Alpha JWC Ventures turut berpartisipasi dalam putaran ini, serta diikuti Insignia Ventures yang merupakan investor di putaran sebelumnya.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO CrediBook Gabriel Frans menuturkan, dana segar akan dimanfaatkan untuk perkuat bisnis baru perusahaan yang kini mulai menyediakan solusi keuangan di UKM dengan fitur baru dan perluas kehadirannya, tidak hanya di Jabodetabek dan Bandung saja.

“Kami ingin digitalisasi proses manual di SME, masih banyak yang pakai paper and book dengan memperkenalkan produk yang lebih robust dan perluas jaringan distribusi retailer dan supplier,” ujarnya, Selasa (26/1).

Solusi yang dihadirkan untuk segmen UKM, lanjutnya, tidak hanya sekadar pencatatan utang atau pengiriman tagihan saja. Mereka juga membutuhkan solusi seperti manajemen penjualan agar aktivitas bisnisnya dapat terdigitalisasi secara perlahan dari sepenuhnya masih manual.

Jooalan menjadi salah satu contoh solusi untuk UKM yang sudah dirilis perusahaan. Ia memiliki sejumlah fitur untuk para UKM, seperti permudah pedagang warung bertransaksi di wholeseller tanpa harus repot antre datang ke lokasi.

“Credibook ingin menjadi katalis, sehingga aktivitas bisnis retailer bisa less and less manual. Kami juga ingin dukung retailer dan wholeseller dengan lebih banyak fitur dan produk keuangan agar bisa dukung aktivitas bisnis mereka.”

CrediBook pertama kali beroperasi pada tahun lalu, menyasar usaha mikro dengan solusi pencatatan keuangan sederhana untuk usaha mikro, seperti warung, dengan fitur pencatatan utang, laporan lengkap, dan pengiriman tagihan melalui WhatsApp/SMS, telepon.

Gabriel mengklaim kini pengguna CrediBook tembus di angka 500 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pasca peroleh pendanaan dari Payfazz, kedua perusahaan gencar melakukan perluasan produk finansial dari satu sama lain untuk memberikan nilai tambah kepada masing-masing penggunanya. “Kami ada beberapa partnership dengan lending, termasuk dari Payfazz, untuk support user. Ke depannya akan ada lebih banyak produk financing bersama Payfazz.”

Dari segi bisnis, kehadiran layanan seperti CrediBook dianggap sangat membantu pengusaha untuk go digital dimulai dari pencatatan keuangan secara digital sebagai data historis yang bisa diboyong saat mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan. Masih rendahnya penetrasi pengusaha mikro untuk sadar dengan pentingnya hal ini, menjadi bisnis yang menarik digeluti oleh banyak perusahaan teknologi.

Di segmen yang sama, selain CrediBook sebelumnya ada BukuKas dan BukuWarung yang juga mengumumkan perolehan pendanaan selama pandemi. Menariknya, ketiga startup ini kompak mendapat pendanaan pada tahun lalu sepanjang pandemi berlangsung. Selain mereka, masih ada pemain lain yang ikut masuk, diantaranya Moodah, Teman Bisnis, Akuntansiku, Lababook, Akuntansi UKM, dan masih banyak lagi.

*Kami melakukan revisi terkait tahapan pendanaan dari Seri A menjadi Pra-Seri A

Application Information Will Show Up Here

Chandra Tjan: Indonesia’s Digital Ecosystem Is Quite Green, Momentum for Investors and Startups

Alpha JWC Ventures becomes one of the most active venture capital in Indonesia. After pouring investment for 10 startups in the past year, the list goes up to 41 portfolios by the end of 2020. This year, they plan to close the third fund that is said to worth much bigger than the previous one in order to aggressively contribute to Indonesia’s startup landscape.

In order to discover Alpha JWC Ventures’ vision and goals, we had the opportunity to do an exclusive interview with one of their founders, Chandra Tjan. He’s not quite the newbie in this industry as he used to be the Co-Founder & Managing Partner in East Ventures’ first fund in 2009. His investment footprints included the seed funding of Tokopedia, Traveloka, Disdus (acquired by Groupon), Pricearena (acquired by Yello Mobile), and few others.

“In 2009, I’ve been living in Singapore for 10 years and already settled down, also had a career as a banker at Credit Suisse and Citigroup. I saw the huge potential and opportunities in the technology sector in other countries such as America, Japan, and China. I think Indonesia could’ve been that too. Technology and its social impact will advance Indonesia’s ecosystem, and I want to take part in that process,” he said.

He continued, “It turns out at that time, there were already several technology/startup companies in Indonesia, however, they have not enough capability to capture funds from foreign investors in order to grow. Therefore, I returned to Indonesia to focus on this technology sector. Together with several colleagues, I founded East Ventures and became a Managing Partner in its first fund. I was also East Ventures’ sole full-time  Partner focused in Indonesia [at that time].”

Later on, together with his two colleagues Jefrey Joe and Will Ongkowidjaja, Chandra founded Alpha JWC Ventures in 2015. To date, the team has managed two funds with a value of nearly $200 million or the equivalent of 2.7 trillion Rupiah. The funds were collected from LPs from Indonesia, Singapore, the United States, several European countries, Japan, China, and Korea. They mainly focused on early stage and every year they have target to invest in 8-10 startups. However, Alpha JWC Ventures is quite often involved in the follow-on investment for series B. The ticket sizes given vary from $200 thousand to $15 million.

“In 2013, they started to have a different vision in East Ventures resulting in me, Jefrey, and Will founded Alpha JWC Ventures in 2015. We did quite a different approach from investors in Southeast Asia, and still ongoing. Alpha JWC was founded as an institutional and independent fund. With strict discipline in investment strategy, every decision can be accounted for later. From previous experiences, I also learned the importance of assisting founders in the early days of startups, therefore, we apply a value-add approach and build a great value-creation team at Alpha JWC,” Chandra explained.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Alpha JWC Ventures’ Co-Founder Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Digital ecosystem is yet to bloom

With the existence of decacorn, unicorns, and dozens of centaurs in various business landscapes, Chandra said Indonesia’s digital ecosystem is quite green- even though it is starting to form. There are some factors to support the maturity of a digital startup ecosystem, among those, the competition between players will be tighter, the market will become saturated, and it will be difficult for companies to grow exponentially.

“Indeed, it is getting into shape, but it’s still a long way to go. Indonesia’s digital industry is still green, and this is good news for us as investors and startups. It means that the market holds enormous potential to be discovered and developed, and the growth projection is beyond great in almost all sectors and target markets. This is a very big momentum in Indonesia,” Chandra said.

The conditions brought Alpha JWC Ventures to adopt a sector-agnostic view. They invest in various business ideas in various sectors estimated to have great growth potential with a positive impact on society.

“In terms of investment, we always look at 3 factors: people, product, and potential — the quality of the founders who built the startup, products that provide solutions to real problems for people’s need, and the potential for the product to develop in terms of features and users. Among those three, the quality of the founder is the most important factor in our Point of View, because ideas and products can change at an early stage, but we can only hold on to the founder’s commitment and vision,” he explained.

In 2020, the startup ecosystem had to encounter Covid-19 pandemic. Startups and investors had to form many adjustments. On the other side, Chandra sees that the pandemic has succeeded in forcing investors to pay more attention to fundamentals and unit economics in startups – something that Alpha JWC Ventures has been implemented since the beginning. Also, a pandemic has accelerated digital adoption in Indonesia, therefore, startups will find it easier to introduce their products to the public.

“For us, higher digital adoption will bring high investment potential, and this is the right time to invest. However, being selective is crucial, whether these startups can survive and thrive despite a pandemic. Since the beginning of the year, we are actively invest in new companies and follow-on investments into our portfolio, and until now we are satisfied with the results,” Chandra explained.

Exit strategy

To date, Alpha JWC Ventures has scored 3 portfolio exits through acquisition. Exit, through M&A or IPO, is indeed one way for venture capitalists to get ROI from their investment expense. They will profit from an increase in the valuation, based on the growth of the related startup.

Regarding the exit strategy, Chandra said that they currently focus on becoming a long-term partner for their portfolio. “Exit is certainly important, but making exit the main focus will actually damage the dynamics with the portfolio. We will exit at the right time, and ‘right’ means a different thing for each startup.”

He added, “To date, we have successfully brought 3 startups to exit, Spacemob was acquired by WeWork less than a year from our investment; DealStreetAsia was acquired by Nikkei to realize their vision of bringing quality news from Asia to the world; and Jualo was acquired by our other portfolio, Carro, as an expansion path in Indonesia. All three happened at the right moment and we are proud of this achievement. ”

Indonesia’s digital ecosystem in the future

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan becomes one of Alpha JWC Venture’ signature portfolio of new retail / Kopi Kenangan

Chandra also revealed that investors need to read the future trends or even create the trend. “In 2010, for example, I saw that e-commerce would become an ‘idol’ in society, at that time people are getting familiar with fast and cheap internet connections. I started with Tokopedia and Traveloka. Then, 6 years ago, when we started Alpha JWC, we saw that people are getting more comfortable making transaction through digital applications and will definitely need a more practical way of payment and an affordable source of funds, that’s why we started investing in several fintech startups such as Kredivo and Modalku. Both have now become the leading players in Indonesia and part of people’s daily lives.”

He also mentioned, “It is likewise the new retail trend in the F&B sector. In 2018, we saw technology has made it easier for startups and consumers, therefore, we made a big investment in Kopi Kenangan. Many people considered this investment is a crazy act then. However, we can prove that not only did we make the right choice, but we are bringing the trend of VC investment for new retail startups – something that was unlikely in Indonesia. Always one step ahead, that’s the key. ”

Regarding the startup ecosystem, he thought that Indonesia is approaching an “inflection point”. The ecosystem has started to rise 10 years ago, and accelerated in the last 5 years; Supposedly, soon after the pandemic ends, the development will accelerate both in terms of quality, innovation, the quantity of startups, and cooperation between players.

Alpha JWC Ventures also has plans to expand its business in Southeast Asia. “After Indonesia, Singapore, and Malaysia, we believe Vietnam will become the next digital hotspot in Southeast Asia. The startup ecosystem in Vietnam is quite similar to Indonesia, only a little younger, that’s why we find it interesting.”

Regarding expansion for its startup portfolio, Chandra believes more that each portfolio has its own focus, and regional expansion is not always the best, especially with the Indonesian market that is quite large and still some space left to be discovered. “Some of our startups are going regional in the near future, but at the moment I can’t reveal much,” concluded Chandra


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Zenius Announces Pre Series B Funding; Revenue Boost Supported by “Live Class”

Zenius edtech startup today (05/1) announced the pre-series B funding round with an undisclosed amount. Alpha JWC Ventures and Openspace Ventures joined the list of new investors, participated also in this round the previous investors, Northstar, Kinesys, and BeeNext.

The fund is to be focused on platform development, amidst increasing market demand. Previously, Zenius has announced series A funding worth $20 million in February 2020.

In addition, the online learning platform claimed strong growth throughout 2020. In fact, per second semester last year, income has increased by 70% compared to the same period in 2019. Zenius provided loads of free learning content during the first half of 2020, to support the learning from home initiative in the midst of the Covid-19 pandemic.

In June 2020, along with rebranding and app updates, Zenius started adopting a freemium business model. Nearly 50% of Zenius’ revenue comes from the Live Class feature. Since its launch in March 2020, user growth is said to increase by 10 times with a retention rate of 90%.

Currently, Zenius receive an average rating of 4.9 (out of 5) for its classes, with attendance reaching 400 students, and breaking records with 10,000 users in one 60-minute math session.

Based on SimilarWeb data, the Zenius.net site gets an average of 3-4 million visits every month. On the Android platform, the application has been downloaded by more than one million users.

“Recently, we launched the Automated Doubt-Solving feature through our application and WhatsApp. This feature will provide a solution to students using only the camera on their cell phone. The system will then recommend a video and practice questions to explain the process behind the solution and allow students to actively apply it in a given set of practice questions. This will create a more immersive learning experience that contributes to students’ critical thinking and the ability to solve difficult problems and future concepts,” Zenius’ CEO Rohan Monga said.

“For more than a decade, they have made a track record of demonstrating successful learning outcomes and reinventing their core business as new mediums emerge. We believe this track record will be a key differentiating factor in the rapidly evolving education landscape, and we expect that the new funding round will drive Zenius’ growth even further,” Openspace Ventures’ Director Ian Sikora said.

Edtech in Indonesia

According to data summarized in the Edtech Report 2020 by DSResearch, there are currently some fast-growing education startup business models in Southeast Asia. Zenius alone is in the “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” category with several other players – including those from/already operating in Indonesia such as Ruangguru, Pahamify, and CoLearn.

Edtech in SEA

Since 2012, various types of edtech services have slowly but surely continued to emerge in Indonesia. Referring to the report above, there are dozens of local edtech startups that still running – in fact, each held a different value proposition. The market share is quite substantial, as for players like Zenius or Ruangguru that focused on K-12 students (elementary-high school level), there are more than 50 million students each year throughout Indonesia.

This opportunity has made several foreign players lining up to enter the Indonesian market. As of 2020, at least 6 foreign players have succeeded in planting a business in Indonesia – including having representative offices and local teams.

 

Foreign Edtech Players in Indonesia

The local edtech market continues to grow, not only serving students, various edtech startups are starting to target professionals and business customers. Recently, there as been some new models, one of which is related to fintech which focuses on education loans.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Umumkan Pendanaan Pra-Seri B; Pendapatan Naik Ditopang Layanan “Live Class”

Startup edtech Zenius hari ini (05/1) mengumumkan telah mendapatkan putaran pendanaan pra-seri B dengan nilai yang tidak diungkapkan. Alpha JWC Ventures dan Openspace Ventures masuk ke jajaran investor baru, investor sebelumnya yakni Northstar, Kinesys, dan BeeNext juga turut andil di putaran ini.

Dana akan difokuskan untuk pengembangan platform, di tengah permintaan pasar yang terus berkembang. Sebelumnya Zenius secara resmi mengumumkan pendanaan seri A pada Februari 2020 lalu senilai $20 juta.

Turut disampaikan, sepanjang 2020 platform pembelajaran online tersebut mengklaim pertumbuhan kuat. Bahkan, pendapatan per semester kedua tahun lalu naik 70% dibandingkan periode yang sama di 2019. Zenius sempat menggratiskan sebagian besar konten pembelajaran sepanjang paruh pertama 2020, guna mendukung inisiatif belajar dari rumah di tengah pandemi Covid-19.

Pada Juni 2020, bersamaan dengan rebranding dan pembaruan aplikasi, Zenius mulai mengadopsi model bisnis freemium. Hampir 50% sumber pendapatan Zenius berasal dari fitur Live Class. Sejak diluncurkan pada Maret 2020, jumlah pengguna diklaim telah naik 10 kali lipat dengan tingkat retensi mencapai 90%.

Saat ini, kelas-kelas di Zenius rata-rata menerima rating 4,9 (dari 5), dengan jumlah kehadiran mencapai 400 siswa, dan sempat memecahkan rekor dengan 10 ribu pengguna dalam satu sesi matematika selama 60 menit.

Berdasarkan data SimilarWeb, rata-rata situs Zenius.net mendapat 3-4 juta kunjungan setiap bulannya. Di platform Android, aplikasi sudah diunduh lebih dari satu juta pengguna.

“Baru-baru ini kami meluncurkan fitur Automated Doubt-Solving melalui aplikasi kami dan WhatsApp. Fitur ini akan memberikan solusi kepada siswa hanya dengan menggunakan kamera di ponsel mereka. Sistem kemudian akan merekomendasikan video dan pertanyaan latihan untuk menjelaskan proses di balik solusi tersebut dan memungkinkan siswa secara aktif menerapkannya dalam rangkaian pertanyaan latihan yang diberikan. Hal ini akan menciptakan pengalaman belajar lebih mendalam yang berkontribusi pada pemikiran kritis siswa dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang sulit dan konsep masa depan”, kata CEO Zenius Rohan Monga.

“Selama lebih dari satu dekade, mereka telah menunjukkan rekam jejak dengan memperlihatkan hasil pembelajaran yang terbukti berhasil dan menciptakan kembali core business-nya seiring dengan munculnya medium-medium baru. Kami percaya rekam jejak tersebut akan menjadi faktor pembeda utama dalam lanskap pendidikan yang berkembang pesat, dan kami berharap putaran baru pendanaan ini akan mendorong pertumbuhan Zenius lebih jauh,” sambut Direktur Openspace Ventures Ian Sikora.

Edtech di Indonesia

Menurut data yang dirangkum dalam Edtech Report 2020 oleh DSResearch, saat ini ada beberapa model bisnis startup pendidikan yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Zenius sendiri berada di kategori “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” bersama beberapa pemain lainnya – termasuk yang dari/telah beroperasi di Indonesia seperti Ruangguru, Pahamify, dan CoLearn.

Edtech in SEA

Sejak tahun 2012, perlahan tapi pasti, berbagai jenis layanan edtech terus bermunculan di Indonesia. Merujuk pada laporan di atas, saat ini ada puluhan startup edtech lokal yang masih beroperasi – tentu masing-masing memiliki value proposition berbeda. Pangsa pasarnya memang sangat besar, katakanlah untuk pemain seperti Zenius atau Ruangguru yang menyasar pelajar K-12 (setingkat SD-SMA), setiap tahunnya ada lebih dari 50 juta siswa/i yang tersebar di seluruh Indonesia.

Potensi tersebut membuat beberapa pemain asing pun berbondong-bondong melakukan ekspansi ke Indonesia. Per tahun 2020, setidaknya sudah ada 6 pemain luar yang berhasil membangun basis bisnis di Indonesia – termasuk memiliki kantor perwakilan dan tim lokal.

Foreign Edtech Players in Indonesia

Pasar edtech lokal pun terus berkembang, tidak hanya melayani pelajar, berbagai startup edtech juga mulai menyasar kalangan profesional dan pelanggan bisnis. Beberapa model baru juga dilahirkan beberapa tahun terakhir, salah satunya terkait fintech yang fokus pada pinjaman pendidikan.

Application Information Will Show Up Here

Chandra Tjan: Ekosistem Digital di Indonesia Belum Matang, Kesempatan Bagi Investor dan Startup

Alpha JWC Ventures menjadi salah satu pemodal ventura yang aktif di Indonesia. Tahun 2020, mereka berinvestasi di 10 startup. Jumlah ini menambah deretan perusahaan portofolio menjadi 41 buah. Tahun 2021 ini, mereka berencana menutup fund ketiganya yang diklaim memiliki nominal yang lebih besar sehingga bisa lebih agresif bermanuver di lanskap startup Indonesia.

Untuk mendalami visi dan tujuan Alpha JWC Ventures, kami berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu founder mereka, Chandra Tjan. Di ekosistem, ia bukan orang baru karena sebelumnya di tahun 2009 ia sempat menjadi Co-Founder & Managing Partner East Ventures dalam Fund 1-nya. Keterlibatannya termasuk dalam investasi awal Tokopedia, Traveloka, Disdus (diakuisisi Groupon), Pricearena (diakuisisi Yello Mobile), dan beberapa lainnya.

“Di 2009, saat itu saya sudah 10 tahun tinggal di Singapura dan sudah settle down dan berkarier sebagai bankir di Credit Suisse dan Citigroup. Di sana, saya melihat besarnya potensi dan kesempatan sektor teknologi di negara lain seperti Amerika, Jepang, dan Tiongkok. Saya rasa Indonesia harusnya bisa seperti itu juga. Teknologi dan social impact-nya akan memajukan Indonesia, dan saya ingin ikut berperan di proses tersebut,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, “Ternyata, saat itu di Indonesia sudah ada beberapa perusahaan teknologi/startup, tapi mereka tidak punya kemampuan menarik dana dari investor asing untuk berkembang lebih besar. Melihat kebutuhan itu, saya pulang ke Indonesia untuk fokus di sektor teknologi ini. Bersama beberapa rekan, saya mendirikan East Ventures dan menjadi Managing Partner di fund pertamanya. Saya juga menjadi satu-satunya Partner East Ventures yang full-time dan fokus di Indonesia [saat itu].”

Kemudian di tahun 2015, bersama dua rekannya Jefrey Joe dan Will Ongkowidjaja, Chandra mendirikan Alpha JWC Ventures. Hingga saat ini, ada dua fund yang dikelola dengan nilai hampir $200 juta atau setara 2,7 triliun Rupiah. Dana tersebut dibukukan dari LP yang berasal dari Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Jepang, Tiongkok, dan Korea. Setiap tahun, mereka memiliki target berinvestasi ke 8-10 startup dengan fokus utama pendanaan tahap awal. Kendati demikian, tak jarang Alpha JWC Ventures juga terlibat dalam follow on investment untuk seri B. Ticket size yang diberikan berkisar $200 ribu s/d $15 juta.

“Pada 2013, terjadi perbedaan visi di East Ventures dan akhirnya di 2015 saya bersama Jefrey dan Will mendirikan Alpha JWC Ventures. Pendekatan yang kami ambil cukup berbeda dengan investor-investor di Asia Tenggara, bahkan hingga saat ini. Alpha JWC didirikan sebagai fund yang independen dan institusional. Dengan disiplin ketat dalam strategi investasi sehingga setiap keputusan dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Dari pengalaman sebelumnya, saya juga belajar pentingnya mendampingi founder di masa-masa awal startup, karena itu di Alpha JWC kami menerapkan pendekatan value-add approach dan membangun tim value-creation yang besar,” terang Chandra.

Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures
Co-Founder Alpha JWC Ventures Chandra Tjan dan Jefrey Joe / Alpha JWC Ventures

Ekosistem digital belum matang

Kendati saat ini Indonesia sudah memiliki decacorn, unicorn, dan puluhan centaur di berbagai lanskap bisnis, menurut Chandra ekosistem digital di Indonesia masih belum matang–meski sudah mulai terbentuk. Ada beberapa indikasi untuk kematangan sebuah ekosistem startup digital, di antaranya kompetisi antarpemain akan semakin ketat, pasar akan menjadi saturated, dan sulit bagi perusahaan untuk berkembang secara eksponensial.

“Memang sudah semakin terbentuk, namun masih jauh dari matang. Industri digital Indonesia masih muda, dan ini adalah berita baik bagi kami selaku investor dan para startup. Artinya potensi pasar masih luar biasa besarnya untuk ditemukan dan dikembangkan, dan proyeksi growth masih sangat besar di hampir semua sektor dan target pasar. Ini adalah masa-masa yang sangat menarik bagi Indonesia,” kata Chandra.

Kondisi tersebut membuat Alpha JWC Ventures memilih mengadopsi pandangan sector-agnostic. Mereka berinvestasi pada berbagai ide bisnis di berbagai sektor yang ditaksirkan memiliki potensi pertumbuhan yang besar dan memberikan dampak positif di masyarakat.

“Dalam berinvestasi, kami selalu melihat 3 faktor: people, product, dan potential — kualitas founder yang membangun startup tersebut, produk yang memberikan solusi pada masalah riil yang dibutuhkan orang banyak, dan potensi berkembangnya produk itu secara fitur dan pengguna. Di antara ketiganya, kualitas founder adalah faktor yang paling penting dalam pertimbangan kami, karena ide dan produk bisa berubah di tahap awal, hanya founder yang bisa kita pegang komitmen dan visinya,” jelasnya.

Tahun 2020 ekosistem startup dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh pelaku startup maupun investor. Chandra sendiri di satu sisi melihat, bahwa pandemi berhasil memaksa investor untuk lebih memperhatikan fundamentals dan unit economics di startup — sesuatu yang sudah diterapkan sejak awal di Alpha JWC Ventures. Di sisi lain, pandemi membawa percepatan adopsi digital di Indonesia, sehingga startup-startup akan lebih mudah mengenalkan produknya ke masyarakat.

“Bagi kami, digital adoption yang semakin tinggi membawa potensi investasi yang tinggi pula, sehingga justru inilah saat yang tepat untuk melakukan pendanaan. Namun, selektif itu harus, termasuk apakah startup-startup ini bisa bertahan dan berkembang meski menghadapi pandemi. Sejak awal tahun, kami terus aktif melakukan investasi ke perusahaan baru dan follow-on investment ke portofolio kami, dan hingga saat ini kami merasa puas dengan hasilnya,” jelas Chandra.

Strategi exit

Sampai saat ini, Alpha JWC Ventures sudah melakukan exit di 3 portofolionya melalui akuisisi. Exit, melalui M&A atau IPO, memang menjadi salah satu cara bagi pemodal ventura untuk mendapatkan ROI dari apa yang telah diinvestasikan. Mereka akan mendapati untung dari peningkatan nilai valuasi, didasarkan pada pertumbuhan startup terkait.

Terkait strategi exit, Chandra mengatakan bahwa saat ini fokus mereka adalah menjadi mitra jangka panjang untuk portofolionya. “Exit tentu penting, tapi menjadikan exit sebagai fokus utama malah akan merusak dinamika dengan portofolio. Kami akan exit di waktu yang tepat, dan ‘tepat’ itu punya arti yang berbeda bagi setiap startup.”

Ia menambahkan, “Sejauh ini, kami berhasil exit dari 3 startup, Spacemob diakuisisi WeWork kurang dari satu tahun dari investasi kami; DealStreetAsia diakuisisi Nikkei untuk mewujudkan visi mereka membawa berita berkualitas dari Asia ke seluruh dunia; dan Jualo diakuisisi oleh portofolio kami lainnya, Carro, sebagai jalur ekspansi di Indonesia. Ketiganya terjadi di momen yang tepat dan kami bangga atas pencapaian ini.”

Proyeksi ekosistem digital Indonesia

Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio "signature" new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan
Kopi Kenangan menjadi salah satu portofolio “signature” new retail Alpha JWC Ventures / Kopi Kenangan

Chandra juga mengungkapkan, pentingnya bagi investor untuk membaca tren di masa mendatang atau bahkan menciptakan tren itu sendiri. “Di 2010 misalnya, saya melihat e-commerce akan menjadi ‘idola’ di masyarakat yang saat itu mulai akrab dengan koneksi internet cepat dan murah. Saya mulai dengan Tokopedia dan Traveloka. Lalu, 6 tahun lalu, saat kami memulai Alpha JWC, kami melihat bahwa masyarakat yang mulai nyaman dengan beberapa aplikasi digital sehari-hari pasti akan membutuhkan cara pembayaran yang lebih praktis serta sumber dana yang terjangkau, karena itu kami mulai investasi di beberapa startup fintech seperti Kredivo dan Modalku. Keduanya kini sudah menjadi salah satu pemain terbesar di Indonesia dan bagian hidup sehari-hari masyarakat.”

Lebih lanjut ia menambahkan, “Begitu juga dengan tren new retail di sektor F&B. Tahun 2018, kami melihat teknologi dapat memberikan kemudahan bagi startup dan konsumen, karena itu kami memberikan investasi besar pada Kopi Kenangan. Investasi ini dianggap gila oleh banyak orang pada saat itu. Tapi, saat ini, kami bisa membuktikan bahwa tak hanya kami melakukan pilihan tepat, tapi kami membawa tren pendanaan VC ke startup makanan — sesuatu yang tadinya tidak terpikirkan di Indonesia. Always one step ahead, itu kuncinya.”

Terkait ekosistem startup sendiri, ia menilai di Indonesia tengah mendekati “inflection point”. Ekosistem sudah mulai menanjak sejak 10 tahun yang lalu, kemudian mengalami akselerasi di 5 tahun terakhir; diyakini sebentar lagi setelah pandemi berakhir perkembangannya akan semakin melesat baik dari segi kualitas, inovasi, kuantitas startup, dan kerja sama antara para pemain.

Alpha JWC Ventures sendiri juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi bisnis di Asia Tenggara. “Setelah Indonesia, Singapura, dan Malaysia, kami percaya Vietnam akan menjadi digital hotspot selanjutnya di Asia Tenggara. Ekosistem startup di Vietnam juga mirip dengan Indonesia, hanya saja sedikit lebih muda, karena itu kami tertarik ke sana.”

Lalu terkait ekspansi untuk portofolio startupnya, Chandra lebih percaya bahwa setiap portofolio punya fokusnya masing-masing, dan tidak selalu ekspansi regional itu yang terbaik, apalagi dengan market Indonesia yang sangat besar dan masih bisa dieksplorasi lebih lanjut lagi. “Ada beberapa startup kami yang akan melakukan ekspansi regional dalam waktu dekat, tapi saat ini saya belum bisa cerita banyak,” tutup Chandra.

Segera Rampungkan Pendanaan Pra-Seri A, Rata Fokuskan Ekspansi Domestik

Sebagai satu dari sedikit pemain teledentistry di Indonesia, Rata kian serius untuk meraih pasar yang lebih luas. Keinginan tersebut semakin terlihat seiring putaran pendanaan pra-seri A yang tak lama lagi mereka kantongi sebagai bekal pengembangan bisnis.

Clear aligner adalah ujung tombak dari bisnis Rata. Teknologi Rata memungkinkan aligner mereka menggerakkan gigi hingga 0,25mm di setiap nomor. Sebelum mengirim aligner, tim Rata akan meminta pasien mengisi kuesioner untuk mengetahui kondisi gigi pasien. Setelah memperoleh data, Rata akan membuat simulasi pergerakan gigi menggunakan sistem AI, dan akhirnya mencetak clear aligner yang akan dikirim ke pasien.

Rata mengklaim, selain faktor biaya, penggunaan aligner untuk memperbaiki bentuk gigi dianggap lebih praktis dalam perawatan dan lebih nyaman secara penampilan dibanding behel.

Co-Founder & CMO Rata Deviana Maria menyebut, pangsa pasar untuk clear aligner di seluruh Asia Tenggara mencapai $47,78 juta (sekitar Rp676 miliar) pada 2018 dan diprediksi akan terus meningkat. Deviana menilai porsi Indonesia dalam pangsa pasar tersebut masih begitu kecil. Namun Deviana sadar keadaan tersebut sekaligus menandakan ada ruang kesempatan yang cukup besar untuk mereka eksplorasi.

Keinginan Rata dituangkan ke dalam ekspansi bisnis ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Deviana menyebut ekspansi pasar di dalam negeri ini menjadi fokus mereka dalam satu tahun ke depan. “Kita akan melakukan ekspansi secara digital serta offline, dan Rata akan fokus di nasional terlebih dahulu pada tahun 2021,” imbuh Deviana.

Segera amankan suntikan modal baru

Rata memperoleh pendanaan awal dengan nominal tak disebutkan pada Agustus 2019. Hanya berselang setahun lebih Deviana Maria (CMO), Edward Makmur (CEO), Danny Limanto (CSO), Jason Wahono (CFO) segera mengamankan kepercayaan investor untuk menyuntikkan modal melalui putaran pendanaan pra-seri A. Rata menolak menyebut nominal pendanaan dan informasi detail lainnya. Namun bisa dipastikan di antara partisipan terdapat sejumlah investor regional.

“Terkait investasi pra-Seri A, kita masih belum bisa umumkan nama-nama investornya. Akan tetapi Alpha JWC Ventures ikut di putaran ini dan bekerja sama dengan investor regional. Untuk detail akan kami infokan nantinya,” jelas Deviana.

Pendanaan tersebut memungkinkan Rata mengebut dan memperbesar cakupan bisnisnya ke level nasional. Di samping itu mereka juga akan memanfaatkan dana segar tadi untuk mengembangkan inovasi terbaru.

Salah satunya adalah aplikasi mobile. Rata yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui situs web, kini sudah bisa dijangkau dengan aplikasi. Namun Deviana menambahkan aplikasi Rata belum bisa diakses terbuka ke semua orang. “Sifatnya masih undangan untuk para konsumen kami.”

Deviana percaya pendanaan baru yang segera mereka kantongi akan mendorong pertumbuhan bisnis lebih cepat. Mengklaim sebagai yang pertama menciptakan clear aligner secara in-house, Deviana mengatakan inovasi-inovasi mereka berikutnya akan berkutat untuk meningkatkan pengalaman pelanggan.

Lebih dari itu, masa pandemi juga membawa berkah tersendiri bagi teledentistry ini. Sebagaimana diketahui luas, wabah Covid-19 memaksa orang-orang mencoba layanan digital untuk menghindari kemungkinan terpapar virus. Tak terkecuali bagi Rata. Deviana mengatakan layanan konsultasi teledentistry meningkat signifikan.

Lalu saat disinggung mengenai peta kompetisi di mana mulai bermunculan layanan teledentistry serupa, Deviana mengaku tak gentar. Menurutnya apa yang ditawarkan oleh pemain-pemain tersebut masih sebatas teledentistry secara umum saja.

“Rata fokus untuk aligner treatment. Diharapkan ke depannya Indonesia akan lebih melek terhadap kesehatan gigi dan mulut. Untuk persaingan, kami rasa model bisnis kami cukup berbeda,” pungkas Deviana.