Zenius to Implement AI Technology by Introducing ZenCore

Edutech startup Zenius introduces ZenCore to improve general knowledge of three fundamental subjects, mathematics, verbal logic, and English. In developing this latest feature, they implemented AI and machine learning technology to learn the capabilities of each user based on their answers to questions in Core Practice.

CorePractice is a site on ZenCore containing hundreds of thousands of questions from three main branches of concentration. Users can take advantage of CoreInsight to learn about existing topics for greater insight as it contains explanations of practice questions, in the form of easy-to-understand concept videos.

Zenius system will automatically determine the user’s basic level of ability from these answers by calculating an algorithm that is designed as accurately as possible. The accuracy of users’ answers will determine their level on the ZenCore scoreboard.

Zenius’ Chief Education Office, Sabda P.S. explained, one of Indonesia’s common problem today is the basic understanding of the community as it is too focused on specific sciences. Moreover, each person has different ability from one another. This is why we cannot create the same subject provision for all, because each person must learn with their respective abilities.

“We equipped ZenCore with a ranking and scoring scheme to ignite a competitive attitude in every user. Through the gamification approach, we expect that users will share their values ​​on social media, and invite friends to compete in a positive way,” he said in an official statement, Thursday (1/7).

This feature is also part of the company’s efforts to optimize retention on its platform because just like games, ZenCore will make users curious to get a better score. With the gamification format, he wants to emphasize that the learning process does not always have to be serious and rigid.

In a study that Sabda quoted from ScienceDirect, the concept of gamification applied in education was proven to be able to increase the average score of students by 34.75%. Meanwhile, students who were educated using gamification-based materials also experienced an increase in performance of up to 89.45% compared to students who only received one-way material.

Sabda also mentioned, ZenCore can be accessed for free. Users who want to deepen their basic skills can try to complete 100 levels containing more than 135 thousand questions. All of these questions are compiled by the curriculum development team at Zenius based on basic questions from mathematics, verbal logic, and English that are familiar in everyday life.

“ZenCore is the beginning of our focus on maximizing the implementation of AI technology into the Zenius platform. Going forward, we will continue to develop features that utilizes AI technology to provide related learning experiences for all users,” Sabda said.

It is said that during the 2019/2020 school year, Zenius has been accessed by more than 16 million users from rural and urban areas throughout Indonesia. Zenius has more than 90 thousand learning videos and hundreds of thousands of practice questions for elementary-high school levels that have been adapted to the national curriculum.

Additional technology in the edtech industry

Prior to Zenius, tmany edutech players have started to use the latest technology to provide added value for its users. Its closest competitor, Ruangguru, has released Roboguru which is designed to help students answer questions from various subjects by providing discussions and recommendations for learning videos.

Roboguru takes advantage of Photo Search and User Generated Content capabilities. Users only need to send photos of questions that they feel are difficult to do, then the system will provide material recommendations that can help solve the problem.

There is also Cakap, which embeds AR-based content to make the learning process more interactive. This technology was developed with AR&Co., through ISeeAR technology. Learning sessions conducted through video teleconferencing are equipped with interesting animations to increase children’s interest in learning.

Furthermore, ELSA Speak which utilizes artificial intelligence combined with voice recognition to help users pronounce English. The application will assess the user’s pronunciation and provide scores or recommendations for improvement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Zenius Mulai Terapkan Teknologi AI, Perkenalkan ZenCore

Startup edutech Zenius memperkenalkan ZenCore untuk meningkatkan pengetahuan umum terkait tiga materi fundamental, yakni matematika, logika verbal, dan Bahasa Inggris. Dalam pengembangan fitur teranyar ini, mereka mengimplementasikan teknologi AI dan machine learning untuk mempelajari kemampuan masing-masing pengguna berdasarkan jawaban mereka dari pertanyaan yang ada di Core Practice.

CorePractice ialah tempat latihan yang ada di dalam ZenCore berisi ratusan ribu pertanyaan dari tiga cabang konsentrasi utama. Pengguna bisa memanfaatkan CoreInsight untuk mempelajari tentang topik-topik yang ada agar wawasan lebih luas karena berisi penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan latihan, dalam bentuk video konsep yang mudah dipahami.

Dari jawaban-jawaban tersebut, sistem Zenius secara otomatis akan menentukan tingkatan kemampuan dasar pengguna dengan penghitungan algoritma yang dirancang seakurat mungkin. Akurasi jawaban pengguna akan menentukan kenaikan level mereka di papan skor ZenCore.

Chief Education Office Zenius Sabda P.S. menjelaskan, selama ini salah satu masalah umum yang ditemui di Indonesia adalah pemahaman dasar masyarakat yang belum terlalu terasah karena terlalu fokus pada ilmu-ilmu yang spesifik. Terlebih, kemampuan tiap orang juga berbeda satu sama lain. Hal inilah yang membuat pemberian materi pelajaran tidak bisa dipukul rata, sebab tiap orang harus belajar dengan kemampuan masing-masing.

“Kami melengkapi ZenCore dengan skema peringkat dan penilaian (ranking and scoring) untuk memantik sikap kompetitif pada setiap pengguna. Melalui pendekatan gamifikasi, kami berharap para pengguna akan membagikan nilai mereka di media sosial, dan mengajak teman untuk berkompetisi dalam hal yang positif,” ucapnya dalam keterangan resmi, Kamis (1/7).

Fitur ini juga bagian dari upaya perusahaan untuk mengoptimalkan retensi di dalam platformnya karena selayaknya game, ZenCore akan membuat para pengguna penasaran untuk mendapatkan skor yang lebih baik. Dengan format gamifikasi pula, ia ingin menekankan bahwa proses belajar tidak harus selalu serius dan kaku.

Dalam suatu studi yang Sabda kutip dari ScienceDirect, konsep gamifikasi yang diterapkan dalam dunia pendidikan terbukti mampu meningkatkan rata-rata nilai siswa sebesar 34,75%. sementara itu, siswa yang dididik menggunakan materi berbasis gamifikasi juga mengalami peningkatan performa hingga 89,45% dibandingkan dengan siswa yang hanya menerima materi satu arah.

Sabda melanjutkan, ZenCore dapat diakses secara gratis. Pengguna yang ingin mengasah kemampuan mendasarnya dapat mencoba untuk menyelesaikan 100 level yang berisi lebih dari 135 ribu pertanyaan. Seluruh pertanyaan ini disusun oleh tim pengembang kurikulum di Zenius berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dasar dari matematika, logika verbal, dan Bahasa Inggris yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari.

“ZenCore merupakan sebuah awal dari fokus kami untuk memaksimalkan implementasi teknologi AI ke dalam platform Zenius. Ke depannya, kami akan terus mengembangkan fitur-fitur yang memanfaatkan teknologi AI untuk memberikan pengalaman belajar terkait untuk seluruh pengguna,” pungkas Sabda.

Diklaim sepanjang tahun ajaran 2019/2020, Zenius telah diakses oleh lebih dari 16 juta pengguna dari pedesaan dan perkotaan di seluruh Indonesia. Zenius memiliki lebih dari 90 ribu video pembelajaran dan ratusan ribu latihan soal untuk jenjang SD-SMA yang telah disesuaikan dengan kurikulum nasional.

Teknologi lainnya dalam dunia pendidikan

Sebelum Zenius, pemanfaatan teknologi termutakhir juga mulai dikembangkan banyak pemain edutech untuk memberikan nilai tambah bagi para penggunanya. Kompetitor terdekatnya, yakni Ruangguru merilis Roboguru yang didesain untuk membantu siswa menjawab soal dari berbagai mata pelajaran dengan memberikan pembahasan dan rekomendasi video pembelajarannya.

Roboguru memanfaatkan kapabilitas Photo Search dan User Generated Content. Pengguna hanya perlu mengirim foto soal yang dirasa sulit dikerjakan, kemudian sistem akan memberikan rekomendasi materi yang dapat membantu menyelesaikan soal tersebut.

Berikutnya ada Cakap yang menyematkan konten berbasis AR agar proses pembelajaran jadi lebih interaktif. Teknologi ini dikembangkan bersama AR&Co., melalui teknologi ISeeAR. Sesi pembelajaran yang dilakukan lewat medium telekonferensi video dilengkapi dengan animasi-animasi menarik untuk menambah minat belajar anak.

Selanjutnya, ELSA Speak yang memanfaatkan kecerdasan buatan yang dipadukan dengan voice recognition untuk membantu pengguna melafalkan Bahasa Inggris. Aplikasi akan menilai pengucapan pengguna dan memberikan skor atau rekomendasi perbaikan.

Application Information Will Show Up Here

Perusahaan Percakapan Neuro.net Asal Eropa Timur Beroperasi di Indonesia, Persiapkan Tim Lokal

Sejak lima tahun belakangan, ekonomi digital Indonesia telah berkembang pesat. Banyak sumber yang menobatkan Indonesia sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara. Akan tetapi, level adopsi kecerdasan buatan di sini belum menyeluruh di tiap industri.

Mengutip penelitian dari McKinsey & Company, adopsi tertinggi AI ada di industri telekomunikasi, manufaktur, transportasi, logistik, dan edukasi. Padahal, AI sebenarnya juga dapat diterapkan untuk industri yang berhubungan dengan jasa, termasuk sektor keuangan dan perbankan.

Kesempatan tersebut ingin digarap oleh Neuro.net perusahaan percakapan yang memiliki kantor pusat di Eropa Timur untuk ekspansi ke Indonesia. Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO Neuro.net Nikolay Kravchuk menyampaikan, ekspansi ke Indonesia adalah bagian dari rencana global perusahaan. Di sini, mereka akan fokus membangun digitalisasi call center di berbagai sektor industri seperti keuangan, telekomunikasi, dan ritel.

CEO dan Co-Founder Neuro.net Nikolay Kravchuk / Neuro.net
CEO dan Co-Founder Neuro.net Nikolay Kravchuk / Neuro.net

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, SEA Regional BD Manager Neuro.net Yustin Noval menambahkan, pada tahap awal ini perusahaan membangun tim lokal yang akan fokus pada bisnis, kemitraan, dan tim dukungan lokal untuk produksi. Secara paralel, juga mulai membangun bisnis langsung ke klien perusahaan, serta kemitraan dengan perusahaan strategis lokal untuk percepat penetrasi pasar.

“Dalam waktu dekat kami berencana untuk memperkuat dan mengembangkan tim produksi dan teknologi kami untuk memberikan pengalaman yang luar biasa kepada pelanggan kami,” kata Yustin.

Lebih lanjut dijelaskan, Indonesia memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara, dengan pertumbuhan ekonomi digital dan beberapa sektor yang paling berkembang dan terkemuka seperti teknologi perbankan dan keuangan, e-commerce, dan logistik. “Indonesia memiliki pasar yang besar dan potensial untuk teknologi berbasis AI, termasuk AI yang menangani urusan percakapan.”

Kravchuk menuturkan, teknologi automasi berbasis AI memainkan peran penting dalam transformasi digital setiap negara, termasuk di Indonesia. Sebagai pengembang AI, Neuro.net saat ini tengah mempelajari transformasi digital dan adopsi teknologi baru, khususnya pada praktik percakapan yang digerakkan oleh AI (conversational AI).

Oleh karenanya, perusahaan menjalin sejumlah kerja sama dengan mitra bisnis untuk menjajakan penerapan konsep baru ini untuk skala yang lebih besar. “Indonesia punya potensi besar untuk meningkatkan adopsi inovasi AI, terutama di sektor keuangan dan perbankan yang kini terlihat sangat berkembang. Hal ini diikuti oleh karakter konsumen mereka yang sangat loyal, di mana hal ini cukup memberikan tekanan tambahan bagi setiap institusi keuangan dan perbankan untuk meningkatkan lagi standar pelayanan pelanggan,” tuturnya.

Beberapa tantangan dalam memberikan pengalaman pelanggan terbaik adalah kemampuan untuk mengoptimalkan contact center, yang memiliki tingkat panggilan tinggi dan masalah pelanggan yang kompleks. Kravchuk bilang, ketika pelanggan menuntut pelayanan lancar dan selalu siaga 24 jam sehari, hal ini bisa berdampak pada kualitas kerja agen manusia di dalamnya.

Agen manusia lebih terpapar pada risiko human error, emosi, belum lagi ketidakmampuan untuk mengikuti skrip dan bekerja secara omnichannel. “Di sinilah peran kami memberikan solusi percakapan AI, sehingga agen virtual kami dapat memperkuat contact center mereka.”

Dalam conversational AI, umumnya digunakan untuk beberapa fungsi seperti menjawab pertanyaan nasabah, menghubungkan nasabah dengan produk keuangan yang tepat, dan bisa menjalankan interaksi dua arah dengan pelanggan ketika ada transaksi mencurigakan. Pelanggan pun tidak hanya bisa mendengarkan informasi, tapi bisa langsung mengonfirmasi atau menolak transaksi, dan langsung bertanya pada agen virtual.

Pekerjaan dasar ini dapat dialihkan ke agen virtual karena mereka sudah dibekali kemampuan untuk melakukan ratusan ribu panggilan setiap hari selama 24×7. Agen virtual juga dapat berkomunikasi secara natural kepada konsumen, misalnya membangun perbincangan dasar sampai yang kompleks, memberikan solusi keuangan, dan menyesuaikan intonasi dan jeda bicara.

Neuro.net mengembangkan teknologi ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan peran manusia. “Teknologi kami dapat membuat call center mengautomasi tugas-tugas rutin dalam waktu tiga minggu saja, seperti memberikan notifikasi pembayaran jatuh tempo, informasi kantor cabang bank terdekat. Dengan begitu, para human agent bisa lebih fokus pada tugas-tugas yang lebih kreatif dan kompleks yang dibutuhkan nasabahnya.”

Salah satu perusahaan yang bermitra dengan Neuro.net adalah Hi-Tech Smart Solutions (HTTS) asal Singapura. Perusahaan ini fokus pada inovasi digital pada sektor keuangan di Asia Tenggara dengan memanfaatkan agen virtual untuk automasi pengelolaan kredit macet.

Untuk di Indonesia, Neuro.net akan terus berdiskusi dan mengeksplorasi bagaimana solusi dari pain point sudut pandang dari pelanggan. Adapun target pengguna Neuro.net di sini adalah industri keuangan (perbankan), telekomunikasi, logistik, dan sektor lainnya, termasuk UKM.

“Pendekatan kami adalah bagaimana dapat memberikan solusi dari berdasarkan penggunaan kasus bisnis yang berbeda, seperti bagaimana kami dapat meningkatkan percakapan penjualan, bagaimana kami dapat menghasilkan prospek/kualifikasi yang efisien, bagaimana teknologi kami dapat menghasilkan wawasan dari survei serta bagaimana kami dapat memberikan pengalaman pelanggan yang mulus di contact centre,” pungkas Yustin

Nvidia Umumkan Grace, CPU Berbasis ARM Pertamanya untuk Data Center

Saat Nvidia mengumumkan rencananya untuk mengakuisisi ARM tahun lalu, banyak yang menilai langkah tersebut sebagai upaya Nvidia untuk merebut pangsa pasar di segmen chipset smartphone. Namun kala itu Jen-Hsun Huang (CEO Nvidia) menjelaskan bahwa yang bakal menjadi fokus mereka dalam waktu dekat justru adalah di bidang data center dan cloud.

Beliau rupanya tidak asal bicara. Nvidia baru saja memperkenalkan CPU berbasis ARM anyar yang mereka juluki Grace, diambil dari nama salah satu pionir dunia pemrograman komputer, Grace Hopper. Grace merupakan CPU pertama Nvidia yang dirancang untuk digunakan di komputer-komputer server pada sebuah data center, kurang lebih sama seperti lini CPU Intel Xeon maupun AMD EPYC.

Alasan mereka merancang Grace sebenarnya cukup sederhana. Nvidia membutuhkan CPU server yang mendukung interface NVLink, yang memungkinkan komunikasi antara CPU dan GPU dalam kecepatan yang sangat tinggi (minimal 900 GB/s), jauh di atas yang interface PCI Express tawarkan saat ini (kurang lebih 30x lebih cepat).

Dengan bandwith sekaligus kecepatan yang amat tinggi yang Grace tawarkan, Nvidia pun memandangnya sebagai CPU yang paling ideal untuk ditandemkan dengan generasi selanjutnya dari GPU kelas server buatan mereka. Untuk menggambarkan kinerja komputer server yang menggunakan Grace secara keseluruhan, Nvidia memakai skenario melatih sistem natural-language processing dengan satu triliun parameter.

Menurutnya, pekerjaan ini dapat dilakukan dengan kecepatan 10x lebih tinggi daripada jika menggunakan lini komputer server besutan mereka saat ini, yakni Nvidia DGX yang mengandalkan CPU berbasis arsitektur x86.

Anggap saja sekarang kita membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk melatih suatu sistem natural language processing. Dengan Grace, waktu yang diperlukan bisa dipangkas hingga menjadi tiga hari saja. Tidak heran apabila kemudian Nvidia langsung mendapatkan klien besar meski Grace sendiri sebenarnya baru akan dirilis di tahun 2023.

Ilustrasi superkomputer Alps / Nvidia
Ilustrasi superkomputer Alps / Nvidia

Klien yang dimaksud adalah Swiss National Supercomputing Centre (CSCS), yang saat ini tengah membangun sebuah superkomputer AI bernama Alps. Prediksinya, Alps bakal menjadi superkomputer dengan performa AI tercepat (20 exaflop) saat sudah rampung dibangun di tahun 2023 nanti.

Selain itu, Nvidia juga sudah punya niatan untuk menggunakan Grace pada Atlan, sebuah chipset baru yang Nvidia rancang untuk mobil kemudi otomatis, yang estimasinya bakal hadir di tahun 2025.

Apa yang Nvidia lakukan ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dari Apple. Apple, seperti yang kita tahu, memutuskan untuk merancang sendiri prosesor laptop berbasis ARM karena tidak puas dengan keterbatasan yang mereka jumpai pada prosesor berbasis arsitektur x86. Nvidia juga demikian, hanya saja konteksnya untuk komputer server ketimbang consumer.

Sumber: Engadget dan AnandTech.

Microsoft Akuisisi Perusahaan Spesialis Speech Recognition, Nuance

Akuisisi demi akuisisi terus dilancarkan oleh Microsoft demi mengembangkan bisnisnya. Yang terbaru, Microsoft baru saja mengumumkan akuisisinya terhadap Nuance Communications, perusahaan software yang menggeluti bidang speech recognition dan artificial intelligence (AI).

Produk Nuance yang paling terkenal adalah software speech recognition bernama Dragon. Selama bertahun-tahun, Dragon sudah dipakai oleh berbagai perusahaan besar melalui sistem lisensi. Salah satu klien Nuance yang paling dikenal mungkin adalah Apple, yang memanfaatkan teknologi speech recognition beserta natural-language processing milik Dragon dalam pengembangan asisten virtual Siri.

Tidak heran apabila kemudian Microsoft rela mengucurkan dana sebesar $19,7 miliar (± Rp288,79 triliun) untuk meminang Nuance. Nuance bisa dibilang merupakan salah satu pemimpin di bidang speech recognition, dan Microsoft tentu dapat memanfaatkannya di banyak produk dan layanan yang mereka tawarkan.

Salah satu yang langsung terpikirkan mungkin adalah menggunakan teknologi speech recognition untuk menghadirkan fitur transkrip audio secara otomatis di Microsoft Teams, kurang lebih mirip seperti yang ditawarkan oleh Zoom maupun Google Meet melalui integrasi layanan pihak ketiga bernama Otter. Itu baru satu contoh, sebab potensi pengaplikasian speech recognition dan natural-language processing di bidang enterprise — bidang yasng sangat dikuasai oleh Microsoft — tentu amat luas.

Pada kenyataannya, langkah pertama yang bakal Microsoft ambil pasca akuisisi Nuance adalah menggenjot inovasinya lebih jauh lagi di industri pelayanan kesehatan alias health care. Ini dikarenakan Microsoft sebenarnya sudah bermitra dengan Nuance sejak tahun 2019 untuk membantu memperlancar tugas-tugas administratif di industri pelayanan kesehatan.

Software besutan Nuance sendiri sudah digunakan di lebih dari tiga perempat (77%) rumah sakit di Amerika Serikat. Salah satu yang banyak digunakan adalah Dragon Medical One, yang dirancang untuk membantu para dokter mendokumentasikan pekerjaannya secara efisien.

Proses akuisisinya diperkirakan bakal rampung pada akhir tahun 2021 ini juga. Akuisisi ini merupakan akuisisi terbesar kedua yang dilakukan Microsoft setelah LinkedIn di tahun 2016 dengan nilai $26 miliar.

Sumber: Microsoft.

Mengupas Otak Kecerdasan Buatan: Di Balik Cara Berpikir Artificial Intelligence di Game

Apa yang muncul di benak Anda ketika Anda mendengar istilah kecerdasan buatan alias artificial intelligence? Mesin pembunuh seperti Terminator? Atau justru robot yang lucu seperti Wall-E? Menurut Oxford Languages, artificial intelligence adalah sistem komputer yang dapat melakukan tugas yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh manusia, seperti mengambil keputusan, menerjemahkan bahasa, atau mengenali gambar dan suara.

Sekarang, AI sebenarnya telah banyak digunakan di dunia nyata, walau pengaplikasian AI mungkin tidak sedramatis Detroit: Become Human. Salah satu contoh penggunaan AI di dunia nyata adalah asisten digital, seperti Siri, Cortana, Alexa, dan Google Assistant. Selain pada asisten digital, Google juga menggunakan AI pada mesin pencari mereka. Tak hanya Google, perusahaan e-commerce seperti Amazon pun sudah menggunakan AI.

Lalu, bagaimana AI diterapkan dalam game? Dan, bagaimana caranya jika Anda ingin mencoba berkreasi membuat AI sendiri di game?

 

AI Di Game dan Di Kehidupan Sehari-Hari

Jika Anda pernah bermain game, Anda pasti pernah berinteraksi dengan AI, tak peduli genre game yang Anda mainkan. Dalam game, salah satu penggunaan AI adalah untuk membuat Non-Player Characters alias NPC menjadi terlihat manusiawi. Ketika Anda berinteraksi dengan NPC — baik lawan atau kawan — dia akan bereaksi sesuai dengan aksi yang Anda lakukan.

Misalnya, dalam game shooter seperti Borderlands, jika Anda berlari ke arah musuh begitu saja, tentu musuh akan menembak Anda. Sementara dalam game yang fokus pada cerita, dialog dan aksi yang Anda pilih akan memengaruhi persepsi NPC pada Anda. Dalam Stardew Valley atau game serupa, jika Anda ingin memenangkan hati para love interest, maka Anda harus memberikan item yang mereka sukai.

Dalam membuat AI di game, salah satu metode yang developer biasa gunakan adalah Finite State Machine (FSM), menurut laporan Harvard. Pada dasarnya, dengan metode ini, sang developer akan mempertimbangkan semua interaksi yang mungkin terjadi antara AI dengan pemain dan memprogram semua reaksi yang mungkin dilakukan oleh sang NPC. Misalnya, ketika seorang pemain berada tidak jauh dari musuh, maka musuh akan menyerang. Dan ketika pemain berlari menjauh, musuh akan mengejar sang pemain.

Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard
Ilustrasi model FSM. | Sumber: Harvard

Metode FSM telah digunakan dalam game sejak tahun 1990-an. Beberapa contoh game yang menggunakan metode ini antara lain Call of Duty, dan Tomb Raider. Namun, metode ini tetap punya kelemahan, yaitu respons AI akan tindakan pemain terbatas. Jadi, setelah memainkan game yang menggunakan FSM beberapa kali, pemain mungkin akan merasa bosan.

Selain FSM, metode lain yang bisa digunakan untuk membuat AI dalam game adalah Monte Carlo Search Tree (MCST). Model algoritma ini digunakan pada Deep Blue, AI pertama yang bisa mengalahkan juara catur pada 1997. Dengan MCST, AI akan mencoba untuk memecahkan masalah dengan melakukan tindakan secara random sebelum mempertimbangkan semua opsi tindakan yang bisa ia ambil.

Dalam kasus Deep Blue, sebelum mengambil langkah, ia akan mempertimbangkan semua langkah yang bisa ia ambil. Kemudian, ia akan memperkirakan semua langkah bisa dilakukan lawannya sebagai respons. Setelah itu, ia akan kembali mempertimbangkan semua opsi yang ia punya, dan begitu seterusnya. Deep Blue kemudian akan mengambil langkah yang dianggap memberikan hasil paling baik. Lalu, ia akan kembali mempertimbangkan langkah yang bisa ia dan musuhnya ambil. Contoh game yang menggunakan metode MCST adalah Civilization.

Skema MCST. | Sumber: Harvard
Skema MCST. | Sumber: Harvard

AI dalam game mungkin bisa bertindak layaknya manusia. Namun, AI dari NPC stagnan. Ia tidak akan bisa berevolusi atau mengubah strategi yang ia gunakan berdasarkan gaya bermain para pemain. Padahal, sejatinya, salah satu karakteristik AI adalah kemampuan untuk belajar. Fakta bahwa AI dalam game bersifat stagnan membuatnya jauh berbeda dari Ai yang bisa kita temukan sehari-hari, seperti pada Google Search. Ketika seseorang menggunakan Google Search untuk mencari kata kunci tertentu, hasil pencarian biasanya akan disesuaikan dengan kebiasaan browsing orang tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa AI dalam game dan AI dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Salah satunya adalah karena AI pada game dan AI di kehidupan nyata punya fungsi dan tujuan yang berbeda. Dalam game, fungsi AI hanya satu, yaitu membuat pengalaman bermain para gamer menjadi lebih seru. Sementara dalam kehidupan nyata, AI punya fungsi yang berbeda-beda.

Contohnya Google, yang menggunakan AI pada berbagai produk mereka, mulai dari Search, Gmail, Maps, sampai Assistant. Walau sama-sama menggunakan AI, tapi fungsi AI pada masing-masing produk Google itu berbeda-beda. Di Gmail, AI berfungsi untuk mendeteksi email spam. Sementara di Search, fungsi AI adalah untuk menampilkan hasil yang paling relevan dengan kata kunci yang digunakan seorang pengguna. Dalam Maps, AI berfungsi untuk mencari rute terbaik atau memperkirakan kemacetan. Sementara Assistant harus bisa memahami perintah suara yang diberikan pengguna.

Alasan lain mengapa AI dalam game berbeda dari AI di kehidupan nyata adalah karena ruang lingkup game yang jauh lebih sempit. Jika dibandingkan dengan dunia nyata, dunia game jauh lebih kecil. Hal itu berarti, data yang bisa diakses oleh AI dalam game juga terbatas. Jadi, jangan heran jika AI dalam game cenderung stagnan sementara AI di kehidupan nyata akan terus berevolusi.

Selain itu, besar dana yang dikeluarkan perusahaan untuk membuat AI juga akan memengaruhi kualitas AI itu. Developer punya dana yang terbatas dalam membuat game. Sementara itu, perusahaan seperti Google atau Amazon punya dana yang jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, pemasukan Alphabet, perusahaan induk Google pada 2020 mencapai US$182,5 miliar. Sementara sepanjang 2020, pemasukan Nintendo hanya mencapai US$12,12 miliar. Selain itu, performa AI pada Search atau situs e-commerce Amazon juga akan berdampak langsung pada pemasukan perusahaan. Karena itu, tidak heran jika mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mengembangkan AI mereka.

Tak hanya di dunia gaming, AI juga pernah digunakan di ranah esports. Pada 2019, OpenAI mengadu AI buatan mereka — OpenAI Five — melawan OG, tim Dota 2 terbaik dunia ketika itu. Dalam pertandingan best-of-three, OpenAI berhasil menang 2-0.

Satu hal yang membedakan OpenAI Five dengan kebanyakan AI pada game adalah OpenAI Five bisa belajar. Faktanya, perusahaan OpenAI tidak memprogram Five agar bisa bermain Dota 2. Mereka membuat AI itu agar ia bisa belajar. Pada awalnya, AI itu sama sekali tidak mengerti bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah “latihan” selama 45 ribu tahun, AI tersebut dapat mengalahkan OG. Kemampuan OpenAI Five untuk belajar memungkinkan AI itu untuk terus berevolusi dan menyesuaikan strateginya dengan gaya bermain musuh.

Kabar baik bagi para pemain esports, OpenAI Five tidak dibuat untuk menggantikan posisi para pro player. Tujuan OpenAI membuat AI yang bisa bermain Dota 2 adalah untuk membuktikan bahwa sebuah AI bisa mengerjakan sesuatu yang kompleks, seperti bermain game MOBA. Dan jika AI bisa belajar bermain game, hal itu berarti AI juga akan bisa belajar cara untuk mengerjakan tugas kompleks di dunia nyata, lapor The Verge.

 

Bagaimana Cara Membuat AI?

Dalam membuat AI, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi masalah yang hendak diselesaikan. Di sini, seorang programmer harus bisa memjawab pertanyaan: masalah apa yang ingin saya selesaikan dengan AI? Memang, AI terbukti bisa mengerjakan tugas yang kompleks. Namun, hal itu bukan berarti AI bisa menyelesaikan semua masalah. Biasanya, AI digunakan untuk menyelesaikan satu masalah tertentu. Misalnya, di dunia kedokteran, ada AI yang digunakan untuk mendeteksi kanker paru-paru. Alasannya, kebutuhan akan radiologi semakin meningkat, sementara jumlah radiolog yang ada tidak mencukupi. Selain itu, AI ini dapat mendeteksi kanker paru-paru dengan lebih akurat.

Ketika seseorang hendak membuat AI untuk game atau AI yang bisa bermain game, langkah pertama yang harus dilakukan pun sama, yaitu mengidentifikasi masalah. Berikut video penjelasan tentang bagaimana seorang programmer membuat AI yang bisa bermain Fall Guys.

Dalam video di atas, Clarity Coders menjelaskan bahwa dia ingin membuat AI yang bermain layaknya manusia. Hal itu berarti, AI yang dia buat tidak akan mengeksploitasi bug dalam game. Dia juga menjelaskan bahwa dia akan membatasi aksi yang bisa diambil oleh AI. AI yang dia buat hanya bisa melakukan tiga hal, yaitu bergerak ke kiri dan ke kanan, serta melompat. AI itu tidak bisa melakukan aksi lain seperti dive.

Langkah kedua dalam membuat AI adalah menyiapkan data untuk melatih AI. Semakin banyak data yang Anda gunakan, semakin baik performa dari AI yang Anda buat. Pada dasarnya, ada dua jenis data yang bisa Anda gunakan. Pertama adalah data yang terstruktur, seperti nama, tanggal lahir, alamat dan sebagainya. Kedua adalah data tidak terstruktur, seperti gambar, audio, infografis, percakapan di email atau platform chatting, dan lain sebagainya. Dalam video Clarity Coders, data yang digunakan untuk melatih AI masuk dalam kategori data tak terstruktur, karena data berupa gambar screenshot dari beberapa ronde yang sang YouTuber mainkan.

Jika Anda menggunakan data tidak terstruktur untuk melatih AI, maka Anda harus “membersihkan” data itu terlebih dulu. Contohnya, ketika Anda ingin membuat AI yang bisa membedakan gambar antara kucing dan anjing, Anda tidak hanya harus menyiapkan sekumpulan gambar dari anjing dan kucing, tapi juga melabeli sekumpulan gambar tadi, untuk membedakan mana gambar kucing dan mana gambar anjing. Jadi, AI akan bisa mempelajari perbedaan antara gambar kucing dan anjing. Menurut Becoming Human, membersihkan data yang hendak digunakan untuk melatih AI merupakan salah satu bagian tersulit dalam membuat AI. Tidak sedikit AI designers yang menghabiskan 80% waktu mereka untuk melabeli, merapikan, dan memeriksa data yang hendak mereka gunakan untuk melatih AI.

Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle
Proses pembuatan AI. | Sumber: IT Chronicle

Mengapa membersihkan data training set penting? Karena data itulah yang akan menentukan seberapa akurat/cerdas AI yang Anda buat. Dalam contoh di atas, AI bisa salah mengenali seekor anjing atau kucing jika data yang digunakan untuk melatihnya juga tidak akurat. Padahal, semakin akurat sebuah AI, semakin baik, apalagi jika AI digunakan untuk tugas penting, seperti mendeteksi kanker.

Ketika membuat AI yang bisa bermain Fall Guys, Clarity Coders mengumpulkan data training set dengan memainkan Fall Guys sambil menjalankan script Python untuk mengambil screenshot dan mencatat tombol yang dia tekan selama bermain. Tujuannya, agar AI bisa belajar kondisi dari keadaan sekelilingnya dan tahu kapan harus memencet tombol apa.

Langkah ketiga dalam mendesain AI adalah menentukan jenis algoritma yang akan digunakan. Salah satu tipe algoritma yang sering digunakan adalah reinforcement learning. Tipe algoritma ini digunakan dalam OpenAI Five. Pada dasarnya, reinforcement learning memungkinkan AI untuk belajar dari kesalahannya dan terus berevolusi. Dalam kasus OpenAI, ia pada awalnya tidak tahu bagaimana cara bermain Dota 2. Namun, setelah berlatih selama puluhan ribu tahun, ia bahkan bisa mengalahkan tim OG.

Setelah menentukan algoritma yang hendak Anda gunakan, tahap berikutnya adalah memilih bahasa programming untuk membuat AI. Ada berbagai bahasa programming yang bisa digunakan untuk membuat AI, seperti C++, Java, Python, dan lain sebagainya. Kemudian, Anda tinggal memilih platform yang hendak Anda gunakan. Kabar baiknya, semakin banyak perusahaan yang membuat platform untuk membuat AI, seperti Microsoft Azure Machine Learning dan Google Cloud Prediction API.

 

Bahasa Programming dan Platform Apa yang Bisa Digunakan?

Python merupakan salah satu bahasa programming yang paling populer untuk membuat AI. Salah satu alasannya adalah karena Python sederhana dan mudah dipahami. Alasan lainnya adalah karena Python punya komunitas yang besar. Menurut Developer Survey 2018 oleh Stack Overflow, Python masuk dalam daftar 10 bahasan programming paling populer. Hal itu berarti, Anda bisa bertanya pada komunitas ketika Anda menemui masalah.

Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist
Hasil pencarian dari bahasa programming. | Sumber: Economist

Alasan ketiga, dan yang paling penting, mengapa Python populer sebagai bahasa programming untuk AI adalah karena Python punya banyak library. Library adalah sekumpulan kode yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah umum. Dengan menggunakan library, Anda tidak perlu membuat kode dari nol. Anda tinggal mencari library yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Misalnya, Anda ingin membuat AI yang bisa mengolah gambar, Anda bisa menggunakan library Python seperti NumPy atau OpenCV. Sementara jika Anda ingin mendesain AI yang fungsi utamanya melibatkan audio, ada library Librosa.

Dalam video Clarity Coders, dia menggunakan library Pandas dan fast.ai. Pandas library biasanya digunakan untuk pemprosesan dan analisa data. Sementara fast.ai library menyediakan komponen-komponen yang bisa dibongkar-pasang sesuai kebutuhan pengguna. Soal platform, dia menggunakan Google Colab. Platform Google Colab memungkinkan Anda untuk menulis kode berdampingan dengan teks biasa. Tak hanya itu, Google Colab juga bisa digunakan untuk melatih AI menggunakan data training set yang telah Anda siapkan. Dengan begitu, Anda tidak perlu lagi membeli komputer seharga puluhan juta untuk melatih AI Anda. Yang lebih menarik, Google Colab bisa Anda gunakan secara gratis.

Selain Google Colab, platform lain yang bisa Anda gunakan untuk membuat AI adalah Gradient. Sama seperti Colab, Gradient juga bisa digunakan secara gratis. Meskipun begitu, keduanya juga menyediakan opsi berbayar. Memang, jika Anda menggunakan versi gratis, daya komputasi yang bisa Anda gunakan pun terbatas. Meskipun begitu, daya komputasi yang Gradient sediakan dalam versi gratis pun sudah cukup memadai jika Anda hanya tertarik untuk belajar tentang AI dan machine learning. Opsi Free-GPU dari Gradient menawarkan CPU 8 core, RAM 30GB, dan NVIDIA Quadro M4000 sebagai GPU.

 

Penutup

Elon Musk sempat berpendapat bahwa AI lebih berbahaya dari nuklir. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan AI memang membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Salah satu contoh penggunaan AI pada kehidupan sehari-hari adalah pada fitur face detection di smartphone Anda. Tak hanya itu, AI juga digunakan oleh perusahaan transportasi untuk mengatur jadwal. Dan AI sudah muncul dalam game sejak lama.

Dalam game, keberadaan AI membuat pengalaman bermain menjadi lebih seru. Menariknya, game terkadang digunakan sebagai tolok ukur kecanggihan sebuah AI. Karena itulah, ada perusahaan yang tertarik untuk membuat AI yang bisa bermain go atau bahkan Dota 2. Tak hanya perusahaan, masyarakat secara luas pun semakin tertarik dengan AI. Buktinya, di YouTube, Anda bisa menemukan banyak video yang menunjukkan cara membuat AI sederhana, seperti AI yang bisa bermain Flappy Bird dan 2048.

Popularitas AI yang terus naik berarti semakin banyak perusahaan yang bersedia untuk membuat platform pengembangan AI. Beberapa platform itu bahkan bisa digunakan secara gratis. Hal ini akan membuat pembelajaran dan pengembangan AI menjadi lebih mudah diakses oleh lebih banyak orang. Pasalnya, melalui platform ini, Anda bisa membuat dan melatih AI Anda tanpa harus punya komputer mahal.

Irzan Raditya tentang Masa Depan Industri: AI Berpotensi Memanusiakan Teknologi

Manusia adalah makhluk yang rumit, jikalau sebuah mesin akan menggantikan perannya jelas bukan perkara sederhana. Irzan Raditya menyadari sepenuhnya fakta ini, namun ia tetap percaya bahwa kekuatan teknologi dapat membuat ekosistem manusia menjadi lebih baik. Dia, melalui Kata.ai, memungkinkan teknologi untuk berinteraksi dengan orang-orang dengan cara yang mirip manusia, dengan percakapan AI (Artificial Intelligence).

Perjalanan awal

Sebagai seseorang yang berprivilese untuk mengakses teknologi sejak usia dini, Irzan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ayahnya memegang peran penting dalam tumbuh kembang minatnya pada teknologi. Ia mulai jatuh cinta dengan menggambar sejak sekolah dasar, Paint menjadi pintu gerbang pertamanya dalam dunia komputer. Sekitar usia yang sama, mulai tumbuh keyakinan untuk belajar tentang IT dan menjadi seorang programmer suatu saat nanti.

Bakat bisnisnya sudah terlihat sejak kelas 6 SD. Kegemarannya terhadap video game semakin mempertajam sisi kreatifnya. Menggunakan perangkat yang ada serta pengetahuan teknologi dari rumah, ia berhasil mengumpulkan uang dari membuat game mod untuk teman-temannya. Ketika ia mulai mengenal internet broadband, sekitar akhir SMP dan awal SMA, ia bisa mendalami minatnya terhadap musik dengan menjual bot game [ragnarok]. Semua yang ia lakukan semata-mata otodidak, berkat eksistensi internet.

Perjalanan membangun karir di bidang TI dimulai ketika ia diterima di Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin dalam perjuangan meraih gelar sarjana di bidang Ilmu Komputer. Di tahun 2009, perusahaan teknologi Jerman tidak semarak di AS. Irzan suka menggambar, tetapi dalam hal karier dan bisnis, ia memutuskan untuk mengambil jurusan aplikasi seluler daripada desain grafis.

Dia memanfaatkan waktunya di Jerman dengan mengeksplorasi pengalaman yang berharga, dia menjadi teknisi magang di Zalando (anak perusahaan dari Rocket Internet). Di sinilah ia belajar bahwa pemrograman bukanlah bakat terbaiknya, tetapi dia memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Ia menemukan banyak sekali pertanyaan tanpa jawaban pasti dan akhirnya dari rasa penasaran itu mempelajari peran/skill dalam manajemen produk, karena Anda bekerja tidak hanya dari segi teknis tetapi juga dari sisi bisnis dan desain.

Sembari mengampu pendidikan, ia berhasil memulai sebuah proyek kecil bernama Amplitweet, sebuah platform bagi para musisi agar musiknya bisa diunduh dengan cara menggunggah tweet dan follow. Dalam upaya pertama, Irzan merasakan bahwa menjadi pendiri solo membutuhkan kerja ekstra, ia kemudian berhenti dan fokus belajar. Namun, selalu ada perasaan gelisah ingin melakukan sesuatu di waktu senggangnya. Lalu terpikir sebuah ide, clothing line untuk para geek yang turut menampilkan ilustrator dari Indonesia, aplikasi ini bernama Cape & Fly. Rencananya sudah matang tetapi eksekusinya belum sempurna. Waktu yang tidak pas serta sempitnya peluang menjadi penghalang. Tidak berhenti di situ. Sekitar tahun 2012, Instagram mulai booming tetapi tidak ada satu platform pun yang menyediakan feed untuk fashion dan belanja. Styyli bisa jadi jawabannya, sayangya mereka bertemu partner yang salah dan produk pun jadi berantakan. Gagal maning.

Meskipun begitu, selalu ada hikmah di balik setiap kegagalan. Saat itu, ia menjabat sebagai Head of Mobile Product di sebuah platform pengiriman makanan di Jerman, ia bertanggung jawab atas lini bisnis di 11 negara dan menerima laporan dari sekitar 10 orang setiap harinya. Bosnya adalah seorang yang pantas menjadi panutan, muda dan ambisius, ia pun termotivasi. Percobaan terakhir Irzan di Jerman adalah Rumah Diaspora, sebuah platform yang menghubungkan orang-orang dari negara asal yang sama yang ingin tinggal bersama. Saat itu, ia berhasil, platform diluncurkan.

Dari perjalanan itu, Irzan belajar tiga hal, (1) Kamu tidak bisa melakukannya sendiri. Dia bekerja dengan Reynir [sekarang CMO Kata.ai] dan belajar banyak hal bersama melalui Styyli. Selain itu, ia menemukan dedikasi dan etos kerja yang baik pada Wahyu Wrehasnaya [sekarang COO Kata.ai] ketika bekerja bersama melalui Rumah Diaspora (2) Memecahkan masalah di tempat yang tepat, inilah alasan ia mendirikan Rumah Diaspora di Jerman. (3) Mulailah dengan apa yang Anda miliki, salah satu alasan kegagalan Styyli adalah karena merek fesyen biasanya digunakan oleh pengguna iOS, sedangkan Irzan memiliki latar berlatar belakang Android. Dengan kata lain, tidak cocok.

Mendirikan perusahaan teknologi

Pada tahun 2015, Irzan memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan berhasrat untuk membangun bisnis sendiri. Yang ia dengan, Indonesia adalah negara dengan banyak isu, dan hal itu merupakan surga bagi para pengusaha. Sementara itu, di Eropa, tidak ada cukup masalah. Sebagai wirausahawan, memang tidak seseksi di Indonesia.

Awalnya ia mempelajari pasar di Indonesia. Terinspirasi dari sebuah perusahaan di AS yang menyediakan asisten virtual yang kemudian dipadukan dengan budaya masyarakat Indonesia yang berbasis pada chat serta memegahkan segala sesuatu yang praktis. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendirikan YesBoss – sebuah perusahaan yang menawarkan layanan asisten virtual dengan dua Co-founder dari perusahaan sebelumnya, Reynir [Styyli] dan Wahyu [Rumah Diaspora].

“Saya percaya untuk membangun tim co-founder yang kuat, harus ada kepercayaan dan komitmen sebagai pondasi dasar, hal-hal lain bisa dipelajari dan akan berjalan seiring. Itu sebabnya saya bersyukur bisa tetap bertahan bersama Co-Founder saya. ” Kata Irzan.

YessBoss akhirnya mendapatkan eksposur dan berhasil membuat VC mengantre menawarkan term sheet. Salah satu VC di US yang fokus di tahap akhir bahkan bersedia menghubungkan mereka dengan Managing Partner di 500 Startups. Sejak hari pertama, tim kami menyadari bahwa teknologi ini sangat manual. Akan sulit untuk bisa scalable tanpa memiliki kemampuan dalam pembelajaran mesin dan NLP, yang merupakan bagian AI. Kami pun meminta Jim Geovedi untuk menjadi penasihat teknis untuk algoritma NLP. Perusahaan kemudian berhasil mengumpulkan dana dan dalam satu setengah tahun telah mengembangkan sayap ke Filipina [dengan mengakuisisi perusahaan serupa, HeyKuya] dengan total 100 karyawan.

Namun, semuanya tidak berjalan semulus yang direncanakan. Datanglah episode kelam, waktu berlalu dan perusahaan masih tidak dapat menemukan model bisnis yang berkelanjutan.

“Sangat sulit untuk menjadi scalable jika Anda mencoba menjadi segalanya untuk semua orang. Di sisi lain, kami memiliki kewajiban kepada investor dan untuk bisa bertahan. Akibat perubahan model bisnis, kami harus merumahkan 90% karyawan kami. Saat itu keadaan sangat sulit,” kata Irzan.

Anggota tim lainnya bekerja keras untuk mencari solusi, dan masa depan teknologi adalah AI. Pada akhir 2016, perusahaan secara resmi beralih ke bisnis B2B yang menawarkan teknologi percakapan AI untuk korporasi yang dinamai Kata.ai. Pertama kali mereka menjalin kerjasama dengan LINE dan Unilever untuk chatbot. Mereka mulai dengan 10 orang pada saat itu, dan mereka kembali ke 100 orang. Saat ini perusahaan telah mencapai pertumbuhan bisnis 3 kali dalam setahun dan masih terus bertambah.

Kiprah AI yang fenomenal

Irzan mengatakan bahwa pertemuannya dengan AI adalah tidak sengaja. Di Jerman, ia pernah bekerja paruh waktu, salah satunya menjadi agen call center. Dia bekerja sekitar 4-6 bulan untuk perusahaan outsourcing di Inggris dalam menerima keluhan dan pertanyaan. Ia selalu berpikir ini hanya pekerjaan yang berulang yang membuat orang-orang menderita karena teriakan dan tekanan. Kata.ai salah satunya hadir untuk bisa menjadi solusi terbaik dalam masalah semacam ini.

Dia juga menyebutkan, “AI sebenarnya adalah alat, bukan tongkat sihir. Selalu ada pihak yang melihat AI sebagai ancaman, sisi lain yang cukup ekstrim menganggap AI sebagai penyelamat. Saya berada di antara keduanya, dan lagi itu semua kembali kepada kita, sebagai manusia. Secanggih apapun teknologi yang kita miliki, semua akan jadi sia-sia jika kita tidak bisa memanfaatkannya dengan baik.”

AI akan menjadi hal fenomenal seperti internet dan listrik dalam 5-10 tahun mendatang. Setiap hari, kita berinteraksi dengan aplikasi yang didukung AI. Google speech to text, rekomendasi youtube, dan apa yang Kata.ai lakukan dengan percakapan AI melalui chatbot. Setiap produk/perusahaan yang tidak menggunakan AI akan segera tertinggal. Banyak masalah di luar sana yang bisa diselesaikan melalui AI, khususnya di Indonesia. Namun, kita belum cukup mengeksplorasi dan mengekspos lebih jauh tentang hal ini. AI dalam perawatan kesehatan, AI melalui pendidikan, AI bekerjasama dengan pemerintah, AI untuk pengembangan kota pintar. AI memiliki kemampuan untuk memanusiakan teknologi dan membuatnya lebih efektif.

Dari teknologi AI yang luar biasa, menjadi penting untuk mengetahui skenario terburuk yang bisa diakibatkan oleh teknologi yang menyinggung dunia manusia ini. Pertama, ketika Indonesia tertinggal jauh dalam pengadopsian teknologi AI, maka peluang beralih ke pemain lain dan mereka akhirnya memimpin pasar. Kedua, kita berbicara tentang AI yang menyebabkan hilangnya pekerjaan. Manusia memiliki perasaan, mereka selalu menemukan cara dan mencari peluang. Di era disrupsi, berbagai jenis pekerjaan baru ditemukan. Tidak akan ada pekerjaan yang hilang tetapi akan ada peralihan tugas. Menggunakan percakapan AI , tugasnya bisa sangat ‘manusiawi’. Manusia cenderung lupa dan mengira bahwa AI bisa belajar dengan sendirinya. Sementara itu, ada banyak pekerjaan dan kebutuhan tenaga manusia di balik pekerjaan AI yang luar biasa.

Karya kecerdasan buatan telah ditangkap dan disalurkan melalui beberapa media. Misalnya, ada banyak film yang menyoroti karya-karya AI yang luar biasa, beberapa di antaranya memaparkan visi bahwa AI bisa begitu kuat, bisa tumbuh lebih besar dari manusia serta pemikirannya. Irzan mencoba menjelaskan dari sudut pandang pakar AI tentang masalah ini, Kai Fu Li dan Andrew Ng. Dia mengatakan kecerdasan buatan yang digunakan di beberapa film yang dapat melebihi kapasitas manusia disebut AGI (Artificial General Intelligence). Namun, dari status quo sekarang menuju visi yang utopis, kita masih dalam proses mencerna. Deep learning yang ada saat ini masih belum memadai, kurasi sudah baik namun fokus masih terpaku pada satu hal. Meskipun pertumbuhan terjadi secara eksponensial, masih membutuhkan kemampuan kognitif.

Selain AI percakapan dan AGI, teknologi ini memiliki cabang ilmu yang cukup luas. Neuroteknologi, misalnya, adalah disiplin ilmu lain yang cukup diminati Irzan. Ini adalah jenis proses di mana mesin dapat membaca pikiran orang. Penelitian ini masih berlangsung, tetapi idenya sendiri sangat mencengangkan sekaligus menakutkan.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Irzan Raditya on the Future of Tech: AI Has The Ability to Humanize Technology

Humans are complicated creatures, to say a machine can replace one is obviously not a simple matter. Irzan Raditya is fully aware of this fact, yet he still believes in the power of technology can make a better human ecosystem. He, through Kata.ai, allows technology to interact with people in a human-like way, with conversational AI (Artificial Intelligence).

Early ventures

As one of the privileged kids who have access to technology in early childhood, Raditya did not take it for granted. His father held an important role in the development of his interest in tech matters. Having a crush on drawing since elementary school, Paint was his first gateway to the computer. Around the same age, he gains the conviction to learn about IT and to become a programmer someday.

His flair for business has seen since 6th grade. Being obsessed with video games has sharpened his creative mind. Using all the tools and tech knowledge at home, he was able to collect money from creating some popular game mod for his friends. By the time he was introduced to internet broadband, sometimes around late junior and early high school, he can afford his passion for music by selling game [ragnarok] bot. Everything he did is self-taught, thanks to the internet.

The pursuit of a career in IT began when he entered Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin to get his bachelor’s degree in Computer Science. The year was 2009, German’s tech company was not as blooming as in the US. Raditya loves drawing, but when it comes to career and business, he decided to major in the mobile app instead of graphic design. 

He made the most of his time in Germany by exploring valuable experience, he became an intern Engineer at Zalando (a subsidiary of Rocket Internet). This is where he learned that programming wasn’t his best talent, but he kinda has the ability to see things from a different perspective. He discovered lots of questions without certain answers and finally intrigued with role/skill on product management, as you work not only from the technical view but also the business and design part. 

While busy studying, he managed to start a small project called Amplitweet, for musicians can have their music downloaded by users who tweet and follow. In the first attempt, Raditya gets that being the sole founder requires extra work, he then quit and focused on the study. However, there’s always this itch to keep doing something in his leisure time. Another idea comes to mind, a clothing line for geeks featuring illustrator from Indonesia called Cape&Fly. The plan was perfect but the execution flopped. Bad timing and lack of opportunity had to come in the way. Moving on to the next venture. Around 2012, Instagram started to boom but not a single platform provides people to have feeds for fashion and shopping. Styyli can be the answer, but they met the wrong partner and the product was a mess. Another failed story.

Anyway, there is always a pearl of wisdom behind every failure. At that time, he was the Head of Mobile Product in mobile food delivery in Jerman, in charge of 11 multiple business line countries with around 10 people reporting to him every day. His boss was quite the role model, young and ambitious, and he got motivated. Raditya’s last try in Germany was Rumah Diaspora, a platform that connects people from the same origin country who wants to live together. That time, it worked, it was launched.

From the journey, Raditya learned three things, (1) You cannot do it alone. He was working with Reynir [currently Kata.ai’s CMO] and learn many things together through Styyli. Also, he found dedication and good work ethic in Wahyu Wrehasnaya [currently Kata.ai’s COO] while trying to make things worked with Rumah Diaspora (2) Solve the problem in the right proximity, this is the reason he created Rumah Diaspora in Germany. (3) Start with what you have, one of the reasons for Styyli’s failure is because the fashion brand usually used by iOS users, while Raditya has a background in Android. In other words, It’s not a match.

Building a tech company

In 2015, Raditya decided to come home to Indonesia and exercised his passion to build his own business. He also heard that Indonesia is a country with lots of problems, it’s a paradise for entrepreneurs. Meanwhile, there are not as many problems in Europe. As an entrepreneur, it’s not as sexy as in Indonesia. 

At first, he studied the market in Indonesia. Inspired by a company in the US that provides virtual assistants, combined with the culture of Indonesian people that is chat-based and craving for anything practical. Eventually, he decided to create YesBoss – a company that offers virtual assistant services with two Co-founders from his previous companies, Reynir [Styyli] and Wahyu [Rumah Diaspora].

“I believe to building a strong co-founding team, there must be trust and commitment as the basic foundation, other things can be learned and will follow. That’s why I’ve been thankful to be able to stick with my Co-Founders.” Irzan said.

YessBoss finally gained exposure and have VCs lining up with term sheet. One of US’ VC for late-stage even does the favor to connect them with 500 startups’ Managing Partner. Since the first day, our team aware that this technology is not quite automatic. This will never be scalable without having the capability in machine learning and NLP, which is the AI part. We requested Jim Geovedi to be the tech advisor for the NLP algorithm. The company managed to raise funding and within a year and a half has expanded to the Philippines [by acquiring a similar company, HeyKuya] with 100 employees in total. 

However, things didn’t go as smoothly as planned. Here comes the dark episode, time passed and the company still can’t find a sustainable business model.

“It was very hard to scale if you tried to be everything for everyone. On the other side, we have an obligation to investors and to survive. As a result of changing business models, we have to lay off 90% of our employees. It was devastating,” Raditya said.

The rest of the team worked hard to figure out the solution, and the future is AI. In late 2016, the company officially pivots into a B2B business that offers conversational AI technology for corporations named Kata.ai. The first time they were approached by LINE and Unilever for a chatbot. They start with 10 people at that time, and they’re back to 100 people. Currently, the company has reached business growth 3 times a year and still counting.

The remarkable works of AI

Raditya said that he came across AI by accident. He used to do part-time jobs in Germany, one of which is becoming a call center agent. He was working around 4-6 months for an outsourcing company in England to receive complaints and inquiries. He thought this is just repetitive work and people are suffering from the shouting and pressure. Kata.ai can be the best solution for this kind of problem.

He also mentioned, “AI is actually a tool, it’s not a magic wand. There is always a side that sees AI as a threat, another side is quite extreme, considering AI as a savior. I’m somewhere in between, and it goes back to us, to people. With every kind of technology in our hand, if we can’t make it useful, it’ll just go up in smoke.”

AI will be the biggest thing just like the internet and electricity in the next 5-10 years. Every day, we interact with AI-powered apps. Google speech to text, youtube recommendation, and what Kata.ai’s been doing with conversational AI through the chatbot. Every product/company that didn’t use AI will soon be left behind. Many problems out there can be solved through AI, especially in Indonesia. The thing is, we are yet to explore and expose further on this. AI in healthcare, AI through education, AI featuring the government, AI for the smart city. AI has the ability to humanize technology and make it more seamless.

From the remarkable works of AI, it’s necessary to know the worst scenario of this thing that can affect the human world. First, when Indonesia far left in the adoption of AI technology, therefore, the opportunity goes to other players and they ended up leading the market. Second, we’re talking about AI to cost some job losses. People have compassion, they always find ways and look for opportunities. In the age of disruption, different kinds of new jobs are founded. There wouldn’t be any job lost but there will be a shift of task. Using conversational AI, the task can be quite high-touch works. People tend to forget and thought that AI can learn by itself. Meanwhile, there is a lot of work and the need for human labor behind AI’s remarkable work. 

The work of Artificial intelligence has been captured and channeled through some medium. For example, there are many films highlighting the remarkable works of AI, some of those are giving a vision that AI can be so powerful, it can outgrow the human as its brain. Raditya tried to explain from the AI experts’ view on this matter, Kai Fu Li and Andrew Ng. He said the artificial intelligence used in some of the movies that can outgrow the human capacity is called AGI (Artificial General Intelligence). However, from the present status quo towards the utopist vision, we still digest away. The current deep learning is yet to be sufficient, it performs good curation but still focuses only on a specific task.  With exponential growth, it still lacks the cognitive capability.

Aside from conversational AI and AGI, this technology has quite a large branch of science. Neurotechnology, for example, is another discipline that Raditya quite has an interest in. It is the kind of process where machines can read people’s minds. The research is still ongoing, but the idea is breathtaking and frightening at the same time.

Kata.ai Announces Series B Funding, to Launch a Social Commerce Platform

Wednesday (25/11), the AI ​​and NLP powered conversational technology platform Kata.ai announced a series B funding led by the Trans-Pacific Technology Fund with the participation of MDI Ventures and Buana Investama. The nominal is still undisclosed. Funds will be focused on expanding and accelerating AI services in a broader industry, such as commerce, healthcare, and insurtech.

“The focus is on expanding services towards SMEs, particularly social commerce, as well as accelerating AI services in other industries such as healthcare and engineering. Kata.ai is here as an enabler to help players in this industry be more thriving with artificial intelligence technology,” Kata.ai’s CEO, Irzan Raditya said in the media pers conference for INTERACT 2020.

Irzan also said that Indonesia’s digital economy is projected to reach $125 billion in 2025. It is estimated that by 2030, the impact of artificial intelligence on Indonesia’s GDP could reach $ 366 billion. This number is quite massive considering the positive impact that AI can have on Indonesia.

In addition, with the challenges posed by the pandemic, businesses must find new ways to survive and sustain sales. As many as 125 million Indonesians have used WhatsApp and 70 million of them already have Instagram. This should be used by business people to create new experiences in shopping.

Launching Qios

The social commerce platform is predicted to have quite a big role in online commerce sales in Indonesia. McKinsey predicts that by 2022 the total Gross Merchandise Value (GMV) of social commerce in Indonesia will reach $ 25 billion. Looking at the problems and opportunities that exist, 2021 is predicted to be a momentum for conversational commerce, this solution is not only used for customer service but can also be a scalable sales service.

QIOS is a service for SMEs, especially social sellers who sell through social media to manage their business. Through this platform, SME players can create a virtual system via WhatsApp to serve inquiries, as well as payments to delivery.

This platform is integrated with e-wallets such as OVO, DANA Linkaja, and also logistics services such as Go-Send and Grab Express. Through this platform, SMEs are expected to be more focused on managing their business with the help of AI and chatbots.

“We see a lot of opportunities in this sector, apart from chatbot technology, we are also developing voice technology, and looking for ways to transform business actors in Indonesia at the micro, small and medium scale,” Irzan said.

Currently, Qios is still available in beta. The current business model is freemium, however, there will be a fee for each transaction made on the platform. There is no further information regarding the calculations. One of the merchants that have used Qios’s services is the Tuku Coffee Shop.

Business plan 2021

Since founded in 2016, Kata.ai has collaborated with various institutions on its mission to provide conversational AI services that are scalable and have a broad impact on the people of Indonesia. Some of these include launching a virtual assistant to accommodate the needs of BPJS users, also working with Prixa to provide an AI-based symptom check system.

Kata.ai has experienced very rapid growth. The growth rate in 2020 will increase by 5x from the previous year. To date, Kata.ai has processed more than 750 million conversations. In addition, there are 3 million Monthly Active Users who interact with chatbots created using Kata Platform.

The pandemic is said to be one of the supporting factors for business fertility that allows triple growth, which usually takes 18 months to become in just 6 months.

Regarding the business plan, Irzan said, “Our business plan remains to accelerate digital transformation in Indonesia for business people.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kata.ai Umumkan Pendanaan Seri B, Luncurkan Platform untuk Social Commerce

Rabu (25/11),platform teknologi percakapan bertenaga AI dan NLP Kata.ai mengumumkan pendanaan seri B yang dipimpin oleh Trans-Pacific Technology Fund dengan partisipasi MDI Ventures dan Buana Investama. Tidak disebutkan berapa nominal yang diterima. Dana akan difokuskan untuk ekspansi dan akselerasi layanan AI pada industri yang lebih luas, seperti commerce, healthcare, dan insurtech.

“Fokusnya untuk ekspansi layanan ke arah UKM, khususnya social commerce, juga akselerasi layanan AI di industri lainnya seperti healthcare dan insurtech. Kata.ai di sini sebagai enabler untuk membantu para pemain di industri ini bisa lebih thriving dengan adanya teknologi kecerdasan buatan,” ujar CEO Kata.ai Irzan Raditya dalam konferensi pers media INTERACT 2020.

Irzan turut menyampaikan bahwa ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $125 miliar di tahun 2025. Diperkirakan pada tahun 2030, dampak dari kecerdasan buatan untuk GDP Indonesia bisa mencapai $366 miliar. Angka tersebut sangat masif melihat dampak positif yang AI bisa berikan pada Indonesia.

Selain itu, dengan berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh pandemi, para pelaku bisnis harus mencari cara baru untuk bertahan dan menyambung penjualan. Sebanyak 125 juta masyarakat Indonesia telah menggunakan WhatsApp dan 70 juta dari mereka telah memiliki Instagram. Hal ini harusnya bisa dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk menciptakan pengalaman baru dalam berbelanja.

Luncurkan platform Qios

Platform social commerce memang diprediksi memiliki peran yang cukup besar dalam penjualan online commerce di Indonesia. McKinsey memprediksi pada tahun 2022 total Gross Merchandise Value (GMV) social commerce di Indonesia akan mencapai $25 miliar. Melihat masalah dan kesempatan yang ada, tahun 2021 diprediksi menjadi momentum untuk conversational commerce, solusi ini tidak hanya digunakan untuk layanan pelanggan namun juga bisa menjadi layanan penjualan yang scalable.

QIOS merupakan layanan untuk para pelaku UKM terkhusus social seller yang berjualan melalui media sosial untuk mengelola bisnis. Melalui platform ini, para pelaku UMKM bisa membuat asistem virtual via WhatsApp untuk melayani pertanyaan, juga pembayaran hingga pengiriman.

Platform ini terintegrasi dengan e-wallet seperti OVO, DANA Linkaja dan juga layanan logistik seperti Go-Send dan Grab Express. Melalui platform ini, pelaku UMKM diharapkan bisa lebih fokus untuk mengelola bisnis dengan bantuan AI dan chatbot.

“Kami melihat banyak sekali peluang dalam sektor ini, selain teknologi chatbot, kami juga tengah mengembangkan teknologi voice, dan mencari cara bagaimana bisa mentransformasi para pelaku bisnis di Indonesia pada skala mikro, kecil dan menengah,” ungkap Irzan

Saat ini, Qios tersedia masih dalam versi beta. Model bisnisnya saat ini adalah freemium, namun akan ada biaya yang ditarik dari setiap transaksi yang dilakukan dalam platform. Belum ada informasi lebih lanjut terkait perhitungan yang digunakan. Salah satu dari puluhan merchant yang sudah menggunakan layanan Qios ini adalah Toko Kopi Tuku.

Rencana 2021

Sejak diluncurkan tahun 2016, Kata.ai sudah berkolaborasi dengan berbagai institusi dalam misinya untuk memberikan layanan conversational AI yang scalable dan berdampak luas bagi masyarakat Indonesia. Beberapa di antaranya adalah dengan meluncurkan asisten virtual untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna BPJS, juga bekerja sama dengan Prixa untuk menyediakan sistem periksa gejala berbasis AI.

Kata.ai telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Angka pertumbuhan di tahun 2020 meningkat sebanyak 5x lipat dari tahun sebelumnya. Hingga saat ini, Kata.ai telah memproses lebih dari 750 juta percakapan. Selain itu, terdapat 3 juta Monthly Active Users yang berinteraksi dengan chatbot yang diciptakan dengan menggunakan Kata Platform.

Pandemi disebut menjadi salah satu faktor pendukung kesuburan bisnis yang memungkinkan pertumbuhan 3 kali lipat yang biasanya memakan waktu 18 bulan jadi hanya dalam kurun waktu 6 bulan.

Terkait rencana bisnis, Irzan menyampaikan, “Rencana bisnis kami tetap untuk mengakselerasi digital transformasi di Indonesia bagi para pelaku bisnis.”