Laporan DSResearch: Tren Inovasi dan Transformasi Digital di Korporasi 2020

Korporasi selalu dihadapkan dengan tantangan bisnis yang dinamis yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kebiasaan konsumen yang berubah, relevansi produk/layanan, hingga disrupsi teknologi dari pemain baru. Kondisi tersebut membuat perusahaan harus gesit menyusun langkah-langkah transformatif kaitannya dengan strategi, model bisnis, tatanan organisasi, hingga digitalisasi.

Kondisi tersebut tentu juga dialami para korporasi di Indonesia. Untuk melihat bagaimana para perusahaan di Indonesia mengagendakan transformasi, DSResearch menyusun laporan bertajuk Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020. Di dalamnya peneliti melakukan wawancara lebih dari 20 narasumber dari perusahaan berskala besar, baik di posisi C-Level maupun Mid-Level.

Adapun perusahaan yang disurvei dipilih lima sektor berbeda meliputi perbankan, keuangan non-perbankan, telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, serta FMCG. Beberapa perusahaan tersebut termasuk BCA, Bank Mandiri, Zurich Insurance, Telkom, XL Axiata, Blue Bird, Garuda Indonesia, HM Sampoerna dll.

Selain membahas mengenai tren transformasi bisnis terkini, laporan ini banyak menampilkan studi kasus proses transformasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber. Peneliti menggunakan tiga komponen identifikasi untuk menemukan pola-pola transformasi yang dilakukan, meliputi komitmen pemangku kebijakan, perjalanan inovasi, dan produk inovasi; dibungkus dengan kerangka kerja yang relevan untuk pengukuran.

Berikut ini beberapa poin menarik yang dirangkum dalam laporan:

  • Di tingkat korporasi, penempatan transformasi bisnis difokuskan untuk dua hal, yakni peningkatan pangsa pasar atau pelayanan konsumen; dan pengembangan produk atau aset bisnis. Dimulai dari meningkatkan sumber daya yang sudah dimiliki, dilanjutkan dengan eksplorasi dan membuka peluang-peluang baru.
  • Covid-19 memberikan pukulan untuk beberapa jenis bisnis, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata. Namun beberapa celah masih bisa dioptimalkan dengan baik, misalnya untuk bisnis logistik. Sementara untuk sektor lain seperti perbankan, pandemi menjadi momentum untuk adaptif dengan implementasi teknologi.
  • Di sektor perbankan, beberapa tahun terakhir kegiatan transformasi mengarah pada realisasi “open banking platform”. Pendekatan digital juga terus dimaksimalkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih baik. Kolaborasi dengan fintech juga makin dioptimalkan – misalnya dengan membuka layanan API untuk diintegrasikan oleh para pengembang aplikasi.
  • Perusahaan telekomunikasi di Indonesia tidak lagi hanya terpaku pada bisnis utama mereka, tapi juga mulai banyak mengeksplorasi peluang lain khususnya terkait layanan OTT. Namun tidak sedikit yang gagal. Pendekatan kolaboratif akhirnya dipilih dengan membentuk CVC, lab inovasi, atau program akselerasi.
  • Perusahaan FMCG sudah merasakan adanya disrupsi, namun kebanyakan belum memiliki komitmen yang serius untuk melakukan transformasi digital. Ditandai dengan tidak adanya roadmap digital atau sumber daya khusus yang disiapkan untuk mengarah ke sana. Mereka merasa masih cukup mengandalkan kanal-kanal distribusi yang sifatnya “terbuka”, seperti dengan menghadirkan lapak di platform online marketplace.

Selain itu, dalam laporan turut dirangkum tentang kultur organisasi, perjalanan inovasi, hingga inovasi teknologi dari tiap perusahaan yang menjadi narasumber, dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan. Selengkapnya, unduh laporan: Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020 (versi Bahasa Indonesia) dan Corporate Digital Transformation Report 2020 (English version).


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo)

Welcoming the Digital Bank in Indonesia

Banking, the oldest financial industry in the world, is now demanded to transform towards digital, both in service to consumers and in its operations. While on the external side they are also required to work closely with fintech startups so as not to be increasingly eroded by technological trends.

Many recognize, by utilizing digital technology can provide efficiency, because it does not merely rely on the quantity of physical and non-physical assets. So most of the solutions offered are disruptive, disrupting old habits.

Banks cannot rely on cooperation with third parties forever so that business does not erode. They are demanded to be more efficient by fully adopting digital, finally a newer banking model is known as digital bank (or virtual bank).

According to IBM, digital banks are different from other forms of digital banking because they are only online, do not have branch offices in a country. Consumer expectations from here are savings on bank facilities and staff which ultimately translates into higher interest rates for savings and lower interest rates for loans.

The most noticed difference is the emotional connection when visiting the branch office to interact, rent a safe, ask for bankers’ advice and so on.

Digital bank in Indonesia: Awaiting for legal umbrella

Indonesia is yet to have a legal umbrella related to the digital bank. The discourse has been spoken yet the formal framework is yet to be drafted. Currently, the most active digital banks are still under the name of conventional banks, such as BTPN Jenius (2016) and DBS Digibank (2017).

jenius 2019

Legal regulation regarding digital bank is accommodated by POJK Number 12 of 2018. As stated, the definition of digital banking services is a service developed by optimizing the utilization of customer data in order to serve customers faster, easier and in accordance with demands; and to be run independently by the customer, by taking into account the security aspects.

OJK also mentioned that providers are limited to banks that were at least categorized as commercial banks (BUKU) II or core capital ownership between IDR1 trillion to IDR5 trillion. Regulations regarding virtual banks or banks without physical presence have not been accommodated in the POJK.

dbsbank

The limitation aims for the regulator wants to ensure that all fundamentals carried out are in the guidelines of banking regulations. Entering the BUKU II category can influence the scope of business activities of the bank itself, the most influential is that they can start the payment system and e-banking activities without having to be limited if they are still in BUKU I category.

In terms of the services provided, either Jenius or Digibank have not really targeted the unbanked. The map of its distribution is strategically not directly mass but slowly entering big cities. For example, Jenius by the end of 2019, opened booths in Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, and of course Jakarta in its pilot project.

However, this is no longer an issue because Jenius is now facilitated with video call KYC, therefore, one can create an account without having to visit the booth. It’s an innovative feature, but it does not enough.

There must be an impact on unbanked society. It’s different from the current situation, fintech lending or payment expansion intends to make fast customer acquisition because there’s business “pie” where the banking industry has yet to cover.

Although the legal umbrella is yet to be drafted, based on the issued regulation, the digital bank map is getting crowded. Marked by the entrance of conglomerates, big-name investors, and startups are acquiring small banks since last year.

Salim Group took Bank Ina Perdana, Jerry Ng (senior banker) and Patrick Walujo (Northstar Group) towards Artos Bank, BCA to Bank Royal and Rabobank (to be merged into one of BCA’s subsidiaries), Akulaku to Bank Yudha Bhakti.

All actions above are yet to come to its peak, except Akulaku and Bank Yudha Bhakti. However, the preparations have begun. BCA, for example, has targeted Bank Royal to start a pilot project in the second half of this year and is ready to add Rp3 trillion capital to boost up its movements.

Meanwhile, Bank Artos has been occupied by BTPN’s former employees, effective as per November 15, 2019. They are Jerry Ng (President Commissioner), Anika Faisal (Board of Commissioners), Kharim Indra Gupta Siregar (President Director), Arief Harris Tandjung (Deputy Directors Main) and Peterjan van Nieuwenhuizen (Directors). This succession marks great hope to repeat the success of Jenius under the same leadership.

The close relationship between Patrick Walujo and Gojek has started a rumor of Bank Artos to become GoBank (Gojek’s banking). He said the rumor was not true. In a panel discussion forum, he mentioned there was a discussion to make use of the Gojek ecosystem with the employment of Bank Artos with expertise in banking.

However, it turned out the concept of Bank Artos did not exclusively involved as Gojek bank. Although, banks are specifically directed to become digital banks. “Because we see a demand that market alone cannot fulfill, in terms of the digital bank,” Patrick said while being a speaker at a conference in late January 2020.

Before investing in Bank Artos, Patrick had previously invested in BTPN in 2008, through TPG Nusantara, a joint venture with Trans Pacific Group. He bought 71% of  BTPN’s shares for $195 million (around Rp1.8 trillion then). The shares were released gradually until 2015, they secured Rp5.3 trillion by releasing 17.5% shares.

“I invite Jerry Ng to join and work on BTPN’s business. The bank entered the mass market, those small traders in traditional markets whose markets are large and well-developed, until the state-owned banks entered,” Patrick added.

When Bank Royal, Bank Artos, and Bank Yudha Bhakti have started, they’re expected to offer more variant products and facilitate the unbanked population.

According to the latest report of e-Conomy SEA 2019 by Google, Temasek and Bain & Company, there is 51% Indonesian population in the unbanked class, 26% underbanked, and 23% banked.

“There are lots of business players in need of funding, yet have difficulty in getting a loan from the bank due to collateral issues. The demand is quite potential for digital bank services,” Walujo said.

Hong Kong might be the best example, with eight digital banks actively run since the license has been issued in 2019. ZA Bank offers interest for a time deposit at a maximum of 6.8% for three months tenor for savings of 100 thousand Hong Kong dollar (around Rp176 million).

Unlike conventional banks, such as HSBC and Standard Chartered, which offers 2%-3% interest for high amount savings.

Managing Director VC Asset Management, Louis Tse Ming-Kwong said this is an effort of new players to increase brand awareness and acquire the customer base.

“the interest war is not limited to virtual banks, but encouraged conventional banks to respond in order to maintain market share,” he said.

Different cities, different growth

Regarding virtual banks, Indonesia is yet to create a legal umbrella. The requirement to create a digital bank can only available with a banking license. It’s unlike the two neighbor countries, Singapore and Malaysia.

Singapore issued five licenses for non-banking digital banks, two of those with full license and three for wholesale bank licenses. The announcement will be made in June 2020 and the five selected companies are expected to start their business immediately in mid-2021.

Requirements given by the Central Bank of Singapore are also different for each license. For a full license must meet the capital of 1.5 billion Singapore dollars and must be controlled by local people. They are allowed to provide a variety of financial services as well as to save savings from retail customers.

Meanwhile, wholesale banks allow those who want to serve SMEs and other non-retail segments. With minimum capital of 100 million Singapore dollars. Submissions are open to local and foreign companies.

There are 21 candidates competing for the license, both in the form of consortium and individuals. The interesting part, most of the submissions came from technology companies from China because the Central Bank of Singapore has opened this opportunity for non-banking.

lisensi singapura

The entrance of new players in the Merlion Country is not highlighting on the “new kid”, it’s rather the kind of service to offer. As the Professor of Information Systems at Nanyang Business School Boh Wai Fong said, new players are expected to be able to serve low-income people or new companies that cannot meet traditional bank credit requirements.

There are 38% of adults in Singapore who are underbanked, even though the country has been mature in terms of the financial industry, according to the 2019 e-Conomy report compiled by Google, Temasek, and Bain & Company.

In a helicopter view, the high interest of foreign technology players in Singapore indicates further penetration to the Southeast Asian market. Although this license will only be valid in Singapore, the business model is considered very feasible to be replicated in the region.

As important, Singapore does not have a digital bank at all. The country has been dominated by large banks such as DBS, UOB, and OCBC. The three, according to Boh, are already “too good for too long” and monopolize the market.

Malaysia also conducted the same contest by issuing five digital bank licenses. Submission is open to non-banks, bank is capable whether they want to separate the digital banks through joint ventures.

The neighbor country issued a draft exposure on the License Framework for Digital Banks as a way to promote the development of digital banks in line with directions taken by regulators in Singapore and Hong Kong. Both have issued similar work license frameworks in the past two years.

The Central Bank of Malaysia said the draft will be finalized in the first half of this year. At the same time, the application for a new license can be made for interested candidates.

Meanwhile, the Philippines has granted four digital bank licenses to CIMB Bank and ING Bank, Tonik and Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Except for RCBC, digital banks are run by regional banks. Thailand has already formed a digital bank named Timo which was established in 2016.

bankdigital


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Selamat Datang Bank Digital

Perbankan, industri finansial tertua di dunia, kini dituntut untuk bertransformasi menuju digital, baik dalam layanan kepada konsumen maupun pada operasionalnya. Sembari di sisi eksternal mereka juga dituntut untuk bekerja sama dengan startup fintech agar tidak semakin tergerus dengan tren teknologi.

Banyak yang mengakui, dengan memanfaatkan teknologi digital dapat memberikan efisiensi, karena tidak melulu mengandalkan kuantitas aset fisik maupun non-fisik. Makanya sebagian besar solusi yang ditawarkan bersifat disruptif, mengganggu kebiasaan lama.

Bank tidak bisa selamanya mengandalkan kerja sama dengan pihak ketiga saja agar bisnis tidak terkikis. Mereka dituntut untuk semakin efisien dengan sepenuhnya mengadopsi digital, akhirnya muncul model perbankan yang lebih baru  dikenal dengan bank digital (atau bank virtual).

Menurut IBM, bank digital berbeda dengan bentuk perbankan digital lain karena mereka hanya berbentuk online, tidak memiliki kantor cabang dalam suatu negara. Ekspektasi konsumen dari sini adalah penghematan fasilitas dan staf bank yang akhirnya diterjemahkan sebagai suku bunga yang lebih tinggi untuk tabungan dan suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman.

Perbedaan yang paling mereka rasa adalah hubungan emosional saat mendatangi kantor cabang untuk berinteraksi, menyewa brankas, meminta saran bankir atau sebagainya.

Bank digital di Indonesia: Masih menunggu payung hukum

Indonesia belum memiliki payung hukum terkait bank digital. Wacana pembuatan sudah ada, tapi kerangka kerja formal yang sayangnya belum ada. Saat ini, bank digital yang beroperasi masih di bawah bendera bank konvensional, yakni BTPN Jenius (2016) dan DBS Digibank (2017).

Payung mengenai bank digital baru diakomodasi oleh POJK Nomor 12 Tahun 2018. Dijelaskan, definisi layanan perbankan digital adalah layanan yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka melayani nasabah secara lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan; serta dapat dilakukan secara mandiri sepenuhnya oleh nasabah, dengan memperhatikan aspek pengamanan.

OJK juga menyebut bahwa penyedia ini hanya bisa dilakukan oleh bank yang minimal masuk kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) II atau kepemilikan modal inti antara Rp1 triliun sampai Rp5 triliun. Peraturan mengenai bank virtual atau bank tanpa kehadiran fisik belum diakomodasi dalam POJK tersebut.

Limitasi ini dimaksudkan bahwa regulator ingin memastikan seluruh fundamental yang dilakukan berada dalam rambu-rambu aturan perbankan. Masuk BUKU II berpengaruh pada lingkup kegiatan usaha bank itu sendiri, yang paling berpengaruh adalah mereka dapat memulai kegiatan sistem pembayaran dan e-banking tanpa harus dibatasi apabila masih di BUKU I.

Dari segi layanan yang ditawarkan, Jenius maupun Digibank belum ada yang benar-benar menyasar kalangan unbanked. Peta persebarannya secara strategis tidak langsung massal melainkan perlahan-lahan masuk ke kota-kota besar. Misalnya, Jenius per akhir 2019, buka booth di Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, dan tentu saja Jakarta pada pilot project-nya.

Meski demikian, ini tidak lagi menjadi isu karena pembukaan rekening di Jenius sudah difasilitasi dengan layanan video call KYC, sehingga tanpa harus datang ke booth pun bisa menjadi nasabah. Fitur yang cukup inovatif, tapi tidak bisa berhenti di situ.

Harus ada dampak yang diberikan untuk nasabah unkanked. Beda ceritanya dengan kondisi saat ini, ekspansi startup fintech lending atau payment yang terlihat lebih cepat dalam menggaet target nasabahnya karena ada “kue bisnis” yang belum dijamah oleh perbankan.

Meski payung hukum belum ada, dengan berbekal aturan yang sudah diterbitkan, kini peta bank digital mulai ramai. Ditandai masuknya para konglomerasi, investor kelas kakap, hingga startup ramai-ramai akuisisi bank kecil sejak tahun lalu.

Salim Group sudah mencaplok Bank Ina Perdana, Jerry Ng (bankir senior) dan Patrick Walujo (Northstar Group) ke Bank Artos, BCA ke Bank Royal dan Rabobank (akan dilebur ke salah satu anak usaha BCA), Akulaku ke Bank Yudha Bhakti.

Seluruh aksi di atas belum menunjukkan taringnya, kecuali Akulaku dan Bank Yudha Bhakti. Namun persiapannya sudah mulai terasa. BCA misalnya sudah menargetkan Bank Royal mulai pilot project pada paruh kedua tahun ini dan siap menambah modal hingga Rp3 triliun agar geraknya semakin lincah.

Sementara, Bank Artos telah ditempati oleh orang-orang eks BTPN, efektif per 15 November 2019. Mereka adalah Jerry Ng (Komisaris Utama), Anika Faisal (Dewan Komisaris), Kharim Indra Gupta Siregar (Direktur Utama), Arief Harris Tandjung (Wakil Direksi Utama) dan Peterjan van Nieuwenhuizen (Direksi). Suksesi ini menandai bahwa ada harapan besar untuk mengulang kesuksesan Jenius di bawah pimpinan yang sama.

Hubungan yang erat antara Patrick Walujo dengan Gojek santer dirumorkan Bank Artos akan menjadi GoBank (perbankan milik Gojek). Ia menegaskan bahwa rumor tersebut tidak benar. Menurut pengakuannya, dalam suatu forum diskusi panel, memang sempat ada obrolan untuk pemanfaatan ekosistem Gojek dan pendayagunaan tim Bank Artos yang berpengalaman di perbankan.

Namun, pada akhirnya diputuskan bahwa konsep Bank Artos tidak masuk secara eksklusif menjadi bank Gojek. Meski, perbankan memang secara spesifik bakal diarahkan menjadi bank digital. “Karena kami melihat ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar yaitu dari sisi bank digital itu,” kata Patrick saat menjadi pembicara di suatu acara konferensi, akhir Januari 2020.

Sebelum berinvestasi ke Bank Artos, Patrick punya pengalaman berinvestasi di BTPN pada 2008, melalui TPG Nusantara, perusahaan patungan dengan Trans Pacific Group. Ia membeli 71% saham BTPN sebesar $195 juta (sekitar Rp1,8 triliun pada saat itu). Saham dilepas secara bertahap hingga 2015, nominal yang didapat adalah Rp5,3 triliun dengan melepas 17,5% saham.

“Saya mengajak Jerry Ng untuk bergabung dan membenahi bisnis BTPN. Bank tersebut masuk ke mass market yakni para pedagang kecil di pasar tradisional yang pasarnya besar dan berkembang dengan baik, sampai-sampai bank BUMN ikut masuk,” lanjut Patrick.

Apabila Bank Royal Bank Artos, dan Bank Yudha Bhakti mulai beroperasi, diharapkan ada penawaran produk yang lebih variatif dan mudah dipakai oleh masyarakat unbanked.

Menurut laporan termutakhir e-Conomy SEA 2019 yang disusun Google, Temasek dan Bain & Company, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%.

“Ada banyak pelaku usaha yang membutuhkan pendanaan, namun kesulitan meminjam dana ke bank di antaranya karena tidak memiliki jaminan untuk diagunkan. Kebutuhan ini bisa jadi potensi layanan bagi bank digital,” sambung Patrick.

Hong Kong bisa menjadi contoh terbaik, lantaran di negara ini sudah ada delapan bank digital yang beroperasi sejak lisensi diberikan sejak tahun 2019. ZA Bank menawarkan bunga deposito maksimal 6,8% selama tiga bulan untuk simpanan hingga 100 ribu dolar Hong Kong (setara Rp176 juta).

Dibandingkan penawaran dari bank konvensional seperti HSBC dan Standard Chartered, bunga deposito yang ditawarkan antara 2%-3% untuk simpanan dengan nominal tinggi.

Strategi awal ini, menurut Managing Director VC Asset Management Louis Tse Ming-Kwong, merupakan upaya pemain baru unntuk meningkatkan brand awareness, sekaligus mendapatkan basis konsumen.

“Perang tarif mungkin tidak hanya terbatas pada bank virtual, tetapi mendorong bank konvensional untuk merespons mempertahankan pangsa pasar mereka,” ujarnya.

Beda negara, beda perkembangan

Bicara bank virtual, Indonesia memang belum punya payung hukumnya. Persyaratan untuk membuat bank digital baru bisa dilakukan apabila izin dasarnya adalah perbankan. Beda halnya dengan dua negara tetangganya, yakni Singapura dan Malaysia.

Singapura membuka lima lisensi sebagai bank digital untuk non perbankan, dengan rincian dua izin untuk lisensi penuh dan tiga lisensi bank wholesale. Pengumuman akan dilakukan pada Juni 2020 dan kelima perusahaan terpilih diharapkan dapat segera memulai bisnisnya pada pertengahan 2021.

Persyaratan yang diberikan Bank Sentral Singapura pun berbeda untuk masing-masing lisensi. Untuk lisensi penuh harus memenuhi modal senilai 1,5 miliar dolar Singapura dan harus dikendalikan oleh orang lokal. Mereka diizinkan untuk menyediakan berbagai layanan keuangan serta menyimpan tabungan nasabah ritel.

Sedangkan, bank wholesale memungkinkan mereka yang ingin melayani UKM dan segmen non ritel lainnya. Modal minimum 100 juta dolar Singapura. Pengajuan terbuka untuk perusahaan lokal dan asing.

Ada 21 calon kandidat yang bersaing untuk mengantongi izin tersebut, baik berbentuk konsorsium maupun individu. Menariknya, kebanyakan pengajuan berasal dari perusahaan teknologi asal Tiongkok karena memang Bank Sentral Singapura membuka kesempatan ini untuk non perbankan.

Masuknya pemain baru di Negeri Singa ini bukan menitikberatkan pada “anak baru”, melainkan layanan seperti apa yang bakal mereka tawarkan. Menurut Profesor Sistem Informasi di Nanyang Business School Boh Wai Fong, pemain baru diharapkan bisa melayani orang-orang berpenghasilan rendah atau perusahaan baru yang tidak dapat memenuhi persyaratan kredit bank tradisional.

Ada 38% orang dewasa di Singapura yang masuk kategori underbanked, meski negara tersebut sudah masuk dalam tahap dewasa untuk industri keuangannya, menurut laporan e-Conomy 2019 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company.

Secara helicopter view, tingginya minat para pemain teknologi asing ke Singapura menandakan bahwa disinilah gerbang masuknya ke pasar Asia Tenggara lebih jauh. Meski lisensi ini hanya akan berlaku di Singapura, tapi model bisnisnya dianggap sangat layak untuk direplikasi di regional.

Perlu dicatat, Singapura belum memiliki bank digital sama sekali. Selama ini negara tersebut didominasi oleh bank besar seperti DBS, UOB dan OCBC. Ketiganya, menurut Boh, sudah “too good for too long” dan memonopoli pasar.

Malaysia juga melakukan kontes yang sama dengan Singapura, membuka lima lisensi bank digital. Pengajuan terbuka untuk non perbankan, perbankan itu sendiri apabila ingin memisahkan bank digitalnya dengan membentuk perusahaan patungan.

Negeri Jiran ini mengeluarkan draf paparan tentang Kerangka Lisensi untuk Bank Digital sebagai cara mempromosikan pengembangan bank digital sejalan dengan arahan yang diambil regulator Singapura dan Hong Kong. Keduanya telah menerbitkan kerangka lisensi kerja yang serupa dalam dua tahun terakhir.

Bank Sentral Malaysia menyatakan pihaknya akan menyelesaikan draf tersebut pada paruh pertama tahun ini. Bersamaan dengan itu, pengajuan lisensi baru bisa dilakukan untuk calon kandidat yang berminat.

Sementara itu, Filipina telah memberikan empat lisensi bank digital untuk Bank CIMB dan ING Bank, Tonik dan Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Kecuali RCBC, bank digital dijalankan oleh bank regional. Thailand pun juga sudah memiliki bank digital bernama Timo yang dirilis pada 2016.

[Panduan Pemula] Cara Memblokir Kartu ATM dan Kartu Kredit di BCA Mobile Banking

Kartu ATM dan Kartu Kredit adalah barang yang rawan akan kehilangan karena selain bentuknya yang kecil, benda yang selalu terletak di dompet ini pun sering jadi target incaran pelaku kejatahan.

Beberapa orang yang mengalami kejadian seperti kehilangan ATM atau Kartu Kredit banyak yang belum tahu harus berbuat apa. Padahal untuk menjaga keamanan saldo Anda, Anda harus segera memblokir kartu ATM atau Kartu Kredit yang hilang tersebut.

Cara untuk memblokir ATM dan Kartu Kredit untuk BCA dapat dilakukan dengan dua cara yakni datang langsung ke Bank BCA atau bisa juga dengan BCA Mobile Banking. Cara kedua ini cocok sekali untuk Anda yang tidak punya waktu untuk datang ke Bank langsung. Dengan BCA Mobile Banking, Anda bisa langsung memblokir ATM atau Kartu Kredit dimanapun dan kapanpun di Smartphone Anda.

Untuk mengakses layanan blokir kartu ATM dan Kartu Kredit, Smartphone Anda harus terdaftar di BCA Mobile. Bagi yang sudah memiliki BCA Mobile boleh melewati bagian ini dan langsung ke bagian bawah.

Selain itu, kartu kredit Anda juga sebaiknya sudah terdaftar di BCA Mobile Banking. Jika belum, daftarkan sekarang untuk jaga-jaga, caranya sebagai berikut:

  • Koneksikan Kartu Kredit Anda di BCA Mobile
  • Buka aplikasi BCA Mobile kemudian pilih m-BCA.
  • Masukkan kode akses kemudian pilih menu m-Admin.
  • Pilih Koneksi Kartu Kredit, pilih Daftar.
  • Masukkan nomor kartu kredit.
  • Klik send.

Cara Blokir Kartu ATM dan Kartu Kredit

  • Buka aplikasi BCA Mobile.
  • Klik m-BCA kemudian m-Admin.

Screenshot_20200111-091522_BCA mobile

  • Klik pada menu Blokir Kartu ATM atau Blokir Kartu Kredit.

Screenshot_20200111-091525_BCA mobile

  • Pilih salah satu yang ingin Anda blokir, baca dan setujui ketentuan yang berlaku.

Screenshot_20200111-091535_BCA mobile

  • Untuk kartu kredit, caranya hampir sama.

3-langkah-blokir-kartu-via-bca-mobile-600x600-4

  • dan klik OK.

Setelah proses ini dilalui, sistem akan mengambil tindakan yang diperlukan sehingga mencegah siapapun untuk bertransaksi menggunakan kartu ATM ataupun kartu kredit Anda.

Referensi tambahan dan gambar header BCA.

Realisasi Kerja Sama dengan BCA Diundur, Alipay dan WeChat Pay Baru Bisa Hadir di Indonesia Awal 2020

BCA masih merampungkan proses kerja sama dengan Alipay dan WeChat Pay untuk kehadirannya di Indonesia. Diharapkan pada kuartal pertama tahun depan dapat segera dirilis.

Mulanya, perseroan menargetkan kerja sama ini bakal terealisasi pada September 2019. Namun terpaksa harus diundur karena harus memenuhi semua urusan teknis.

“Masih terus kami proses secara teknikal. Kami harapkan awal tahun depan mudah-mudahan kuartal pertama tahun 2020 sudah bisa kerja sama,” kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim menjelaskan, dalam kerja sama ini perseroan hanya akan menjadi penyedia fasilitas (acquiring), bukan penyelenggara fasilitas (issuing).

BCA akan menyediakan mesin EDC di merchant yang banyak dikunjungi turis Tiongkok, seperti kawasan wisata, untuk bertransaksi dengan Alipay atau WeChat. “Karena mereka sudah terbiasa tidak bawa kartu kredit, hanya bawa ponsel. Jadi nanti bisa pakai mesin EDC kami,” kata Vera.

Selain BCA, kedua pemain uang elektronik raksasa asal Tiongkok ini juga menjajaki kerja sama dengan bank BUKU IV lainnya. Bank tersebut antara lain BNI, BRI, Bank Mandiri, Bank Panin, dan CIMB Niaga.

Ini sesuai dengan ketentuan BI yang menyatakan, setiap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) harus bekerja sama dengan perusahaan domestik, jika ingin berbisnis di tanah air.

Di samping itu, PJSP asing dan lokal juga harus menyesuaikan layanannya dengan implementasi QRIS sampai akhir tahun ini. Dengan begitu, QRIS bisa diimplementasikan menyeluruh mulai awal tahun depan.

“(Saya dengar) perusahaan asing masih melakukan (pembayaran dengan kode QR). Dalam waktu sampai akhir tahun ini mereka harus ikut QRIS. Kalau ada yang melakukan di luar pakai QRIS, kami tertibkan,” terang kata Deputi Gubernur BI Sugeng.

Sasar Nasabah Milenial, BCA Rilis Aplikasi “Wealth Management”

BCA merilis aplikasi Welma untuk menjangkau nasabah milenial yang belum awam dengan produk keuangan. Strategi ini adalah cara perbankan dalam mendongkrak bisnis wealth management.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, peluncuran aplikasi Welma adalah salah satu cara perseroan dalam meningkatkan literasi keuangan.

“Aplikasi ini memiliki fungsi menarik bagi masyarakat, khususnya generasi milenial untuk mulai berinvestasi. Melalui ini, BCA ingin menumbuhkembangkan semangat dan kemauan masyarakat untuk gemar berinvestasi,” terangnya saat peluncuran Welma, Selasa (8/10).

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto menjelaskan, maraknya aplikasi sejenis Welma tentunya permudah masyarakat mendapatkan akses terhadap produk keuangan. Sehingga tidak hanya mengenal instrumen keuangan dan deposito saja.

“Ini semakin bagus jadi tidak hanya bagaimana kami mengelola investasi tapi bagian dari peningkatan literasi keuangan, pendalaman sektor keuangan, sehingga masyarakat diberi banyak pilihan untuk investasi,” terangnya.

Bisnis wealth management bisa dikatakan cukup menggiurkan bagi bank, lantaran ada pendapatan non bunga (fee based income) yang diambil dari setiap transaksinya. Ini adalah mesin pencetak laba yang kini diandalkan bank di tengah gempuran era teknologi. Akan tetapi, wealth management sangat identik didesain buat nasabah kaya saja.

Di BCA sendiri, bisnis wealth management ini telah memiliki dana kelolaan (AUM) mencapai Rp55 triliun. Total nasabahnya sekitar 153 ribu orang, yang terbagi atas nasabah prioritas (saldo minimal Rp500 juta) 150 ribu orang dan solitaire (saldo lebih dari Rp10 miliar) 3 ribu orang. Sementara, secara keseluruhan BCA punya 18 juta rekening.

“Nilai tersebut tumbuh 40% (dibandingkan tahun sebelumnya), dengan Welma yang menawarkan kemudahan penggunaan, tentu kami mengharapkan bisa tumbuh lebih baik lagi,” tambah SEVP Wealth Management BCA Christine Setyabudhi.

Sebelum aplikasi ini hadir, dalam menawarkan produk wealth management BCA menempatkan orang di kantor cabang untuk melayani nasabahnya.

Fitur aplikasi Welma

Wakil Presiden Direktur BCA Suwignyo Budiman menambahkan, peluncuran aplikasi menegaskan komitmen perusahaan sebagai bank yang menawarkan solusi kebutuhan keuangan untuk seluruh nasabahnya, tidak hanya buat nasabah kaya saja.

Aplikasi ini mengakomodasi transaksi produk investasi seperti reksa dana, obligasi, dan bancassurance. Nasabah dapat membeli atau menjual produk investasinya, memantau portofolio investasi, dan mencari produk asuransi dengan mudah.

Nominal investasi mulai dari Rp1 juta sampai Rp3 miliar. Hanya saja, untuk bisa menikmati seluruh fasilitas tersebut hanyalah mereka yang sudah terdaftar sebagai nasabah BCA dan memiliki BCA ID untuk login.

Berikutnya, perlu memiliki SID yang terdaftar di sistem BCA untuk membeli reksa dana atau obligasi. Bila belum bisa mengunjungi cabang BCA terdekat untuk mendaftarkan diri.

Produk reksa dana yang dijual di Welma cukup beragam, ada Ashmore Asset Management, BNP Paribas, Batavia Prosperindo Aset Manajemen, Bahana TCW, Danareksa, Eastpring, dan sebagainya. Bila tertarik untuk membeli, akan terpotong langsung dengan saldo rekening.

Sementara untuk membeli produk bancassurance, nasabah harus menghubungi BCA dengan menelepon atau datang ke cabang terdekat. Produk asuransi yang dijual cukup bervariasi mulai dari asuransi kesehatan, pendidikan, warisan, pensiun, kecelakaan, harta benda, dan masih banyak lagi.

“Nasabah bisa membandingkan tiga produk asuransi sekaligus untuk melihat manfaat mana yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka,” kata Suwignyo.

Sedangkan untuk membeli obligasi, baru tersedia untuk pasar perdana saja. Suwignyo memastikan ke depannya BCA akan merilis tambahan fitur untuk penjualan obligasi di pasar sekunder. Dengan demikian, nasabah bisa semakin mudah mengelola portofolio keuangannya.

Welma juga memungkinkan nasabah untuk berinvestasi secara rutin dengan fitur auto debet setiap bulannya.

Sementara ini, aplikasi baru tersedia untuk versi Android saja, sementara untuk iOS bakal hadir selambat-lambatnya pada tahun depan.

Application Information Will Show Up Here

Pelaku Industri Pembayaran Digital Sepakat Potensi Pasar di Indonesia Masih Sangat Besar

Penggunaan e-wallet atau aplikasi pembayaran digital memang tampak sudah umum di berbagai kota di Indonesia. Namun, di balik itu ruang untuk tumbuh bagi pembayaran digital ternyata masih besar — masih tersedia berbagai potensi dan peluang pasar yang dapat dioptimalkan.

Vice President Director BCA Armand Hartono memberikan gambaran, saat ini baru ada sekitar 50-60 persen penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank. Namun Di samping itu –memberi contoh dari BCA—sekitar 98 persen frekuensi transaksi terjadi secara elektronik. Kendati demikian 2 persen transaksi sisanya (non-elektronik) punya nominal lebih besar.

“Dua persen itu secara nilai berkontribusi 55 persen. Paham ya, faktanya Indonesia seperti apa tetap pada cash,” ujar Armand dalam acara Indonesia Lokadata Conference 2019.

CEO Dana Vincent Iswara membenarkan bahwa pasar pembayaran digital di Indonesia masih terbuka luas. Itu pula yang menyebabkan timnya meluncurkan Dana pada November 2018.

Dibanding dua pemain besar e-wallet seperti Gopay, OVO dan LinkAja (dulu Tcash), kemunculan Dana terbilang relatif terlambat. Namun ia mengaku tetap berani terjun ke industri ini karena potensi pasarnya masih terbuka lebar.

Ia mencontohkan pada 2017 lalu angka penetrasi pembayaran digital di Indonesia hanya kurang dari 3 persen. Dan hingga kini angka penetrasi tersebut baru merangkak hampir menjadi 7 persen.

Sebagai perbandingan, Vincent mencontohkan penetrasi pembayaran digital di Tiongkok mencapai 30 persen namun potensi pertumbuhannya masih ada.

“Jadi kenapa saya sangat antusias memasuki industri ini karena terlihat keuntungan yang jelas dari digital payment salah satunya adalah membentuk digital financial inclusion,” ucap Vincent.

Vincent pun mengakui kondisi masyarakat di Indonesia mulai bergeser ke digital meski masih perlahan. Kendati demikian, jalan menuju masyarakat nontunai dianggap masih cukup panjang dan memakan waktu.

Chief Data Officer OVO Vira Shanty menilai masih ada sejumlah pekerjaan rumah para pemain pembayaran digital. Salah satu yang disoroti adalah cara top up saldo e-wallet.

“Kenyataannya top up e-wallet masih banyak lewat cash dan untuk mengelola cash ini pun tidak murah ongkosnya,” imbuh Vira.


DailySocial adalah media partner Indonesia Lokadata Conference 2019

8 Startup Masuk Program “Synrgy Accelerator” Besutan BCA dan Digitaraya

BCA bekerja sama dengan Digitaraya mengumumkan delapan startup fintech yang berhak mengikuti program Synrgy Accelerator batch pertama. Mereka adalah Crowde, IndoGold, Amalan, AgenKan, Bizhare, Kendi, Bamms, dan Jari.

Dalam pengumuman ini, Wakil Presiden Direktur BCA Armand W. Hartono mengatakan, laju positif startup di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa karena terdiri dari segmen kreatif yang menjawab kebutuhan masyarakat saat ini.

“Oleh karena itu, Synrgy Accelerator hadir untuk mengakomodasi kebutuhan startup untuk dapat berkembang dan menjadi sumbangsih inovasi teknologi bagi kemajuan industri di Indonesia,” terangnya, kemarin (19/6).

Delapan startup tersebut selama tiga bulan ke depan akan mengikuti rangkaian bootcamp mulai dari 24 Juni 2019 sampai demo day yang digelar September 2019. Selama program berlangsung, startup akan mendapat mentor terpilih sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Saat demo day, ada kemungkinan BCA akan menjajaki peserta sebagai mitra bisnis untuk pengembangan bisnis perseroan ke depannya atau investasi dari para investor yang turut hadir.

Head of Accelerator Digitaraya Octa Ramayana menambahkan, keberagaman delapan startup ini menunjukkan ada peluang yang besar untuk memajukan ekonomi, serta meraih pasar yang baru dan lebih luas melalui teknologi. Dia juga menuturkan secara keseluruhan ada 45 startup fintech yang mendaftarkan diri sejak pendaftaran dibuka.

“Proses ke depan masih panjang, harapannya delapan startup ini dapat terus menciptakan solusi inovatif mutakhir dan mampu berdaya saing di tengah ketatnya persaingan global. [..] Dengan dukungan BCA, Digitaraya, dan Google, kami berharap startup dapat memiliki akses ke dalam jaringan mentor dan partner kami yang kuat,” katanya.

Berikut model bisnis yang diseriusi oleh delapan startup terpilih:

1. Crowde: merupakan platform p2p lending khusus untuk agrikultur, didirikan sejak September 2015. Crowde membantu pendanaan petani saat ingin mengembangkan usahanya lewat pendanaan didapat dari investor secara p2p.

2. IndoGold: adalah situs jual beli emas bersertifikat resmi Antam, juga dapat dimanfaatkan untuk investasi emas. Startup ini menjadi mitra Bukalapak untuk produk BukaEmas.

3. Amalan: startup yang menawarkan jasa mediasi antara debitur dengan pihak bank, agar debitur bisa mendapat diskon atau cicilan yang lebih rendah untuk utang yang sudah tertunggak.

4. AgenKan: aplikasi agen gadai untuk pemilik toko yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan dari gadai smartphone. Proses gadai sepenuhnya dilakukan lewat aplikasi.

5. Bizhare: adalah platform equity crowdfunding untuk bantu buka usaha baru atau waralaba. Skema pembagian hasil yang ditawarkan adalah bagi hasil secara berkala.

6. Kendi: merupakan singkatan dari “Keuangan Digital” dengan produk yang baru dirilis adalah Kendi POS, mengubah fungsi HP sebagai mesin kasir, melaporkan hasil penjualan sampai pelaporan pajak. Startup ini adalah besutan dari Pandu Sastrowardoyo yang merupakan Sekjen Asosiasi Blockchain Indonesia.

7. Bamms: adalah aplikasi mobile untuk tenant yang ingin memperoleh informasi seperti tagihan, pengumuman, jadwal perawatan, dan sebagainya. Pengelola gedung pun akan semakin efisien dalam memantau seluruhnya karena disediakan dasbor yang intuitif.

8. Jari: merupakan startup yang fokus solusi mobile pekerja lapangan berbasis cloud yang berbentuk aplikasi. Pekerja pun akan dipermudah saat survei lapangan dengan tools yang disediakan dan terpantau langsung oleh internal.

Biometric Platform Developer Element Inc Debuts in Indonesia

Element Inc partners with BCA for its debut in Indonesia. In its release, the New York-based biometric platform developer said, BCA is to implement authentication solution using facial recognition. Before Jakarta, Element Inc also has an operational base in Singapore, Manila, Nairobi, and Lagos.

The mobile software base biometric technology implementation from Element Inc is expected to ignite banking service development, to open the digital banking innovations and provide a convenient process. It includes improving customer acquisition for BCA by offering a safe and user-friendly experience through biometric authentication. It goes along with BCA’s main focus in its technology innovation.

“BCA’s reputation and success as the biggest private bank in Southeast Asia reflect the company’s leading technology innovation, giving the customers high-quality products and services in digital banking,” Head of Element Inc Indonesia, Suluh Adi said.

“By 2025, 284 million Indonesians are projected to have 410 million smartphone connection, that allows mobile banking to have the next breakthrough in digital financial. We’re proud to be partners with BCA in order to develop digital initiatives and take a closer step to the frictionless future,” he added.

Indonesia and target in 2019

Element Inc is supported by far with some investors, including GDP Venture, PTB Ventures, Central Capital Ventura, MDI Venture, and BRI investment arm. The Artificial Intelligence and biometric solution of Element Inc offer palm, fingerprint, and face recognition in the simplest and safest way.

The strategy for new markets, including Indonesia, is to adjust and form partnerships. Starts from the national-scale company for financial service, health and communication, also innovation companies with rapid growth in the market.

Their focus in Indonesia begins with providing high quality, streamlined, and scalable software service to be used by partners, including requirements and market demand. Their team believes the KPI on user growth and revenue will be discovered once the partner’s success metric achieved.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pengembang Platform Biometrik Element Inc Debut di Indonesia

Element Inc jalin kerja sama dengan BCA untuk debutnya di Indonesia. Dalam rilisnya, startup pengembang platform biometrik berbasis pusat di New York tersebut menuliskan, BCA akan menerapkan solusi autentikasi menggunakan facial recognition. Selain di Jakarta, Element Inc juga sudah memiliki basis operasi di Singapura, Manila, Nairobi dan Lagos.

Penerapan teknologi biometrik berbasis perangkat lunak mobile dari Element Inc diharapkan bisa memicu pertumbuhan layanan perbankan, membuka kunci untuk seluruh inovasi digital banking dan memberikan keamanan yang lebih baik. Termasuk meningkatkan akuisisi pelanggan BCA dengan menawarkan sebuah pengalaman yang nyaman dan aman melalui autentikasi biometrik. Sesuai dengan fokus BCA dalam inovasinya di bidang teknologi.

“Reputasi dan kesuksesan BCA sebagai salah satu bank swasta terbesar di Asia Tenggara mencerminkan kepemimpinan inovasi teknologinya, memberikan pelanggan mereka produk dan layanan berkualitas tinggi dalam perbankan digital,” ujar Head of Indonesia Element Inc Rizki Suluh Adi.

“Pada tahun 2025, diproyeksikan 284 juta orang Indonesia diperkirakan memiliki 410 juta koneksi ponsel cerdas, memungkinkan mobile banking untuk membuka terobosan berikutnya dalam layanan keuangan digital. Kami bangga dapat bermitra dengan BCA untuk memajukan inisiatif digitalnya dan melangkah selangkah lebih dekat untuk membangun frictionless future,” imbuhnya.

Indonesia dan target di tahun 2019

Element Inc sejauh ini didukung oleh sederet investor seperti GDP Venture, PTB Ventures, Central Capital Ventura, MDI Venture, hingga unit investasi BRI. Teknologi kecerdasan buatan dan solusi biometrik Element Inc menjanjikan solusi pengenalan wajah, sidik jari, hingga telapak tangan yang dikemas dengan kemudahan dan aman.

Strategi yang diusung Element Inc untuk pasar-pasar baru, termasuk Indonesia adalah dengan penyesuaian dan kerja sama. Mulai dari perusahaan skala nasional untuk penyedia jasa finansial, kesehatan dan komunikasi hingga perusahaan inovasi yang bertumbuh dengan pesat di pasar.

Fokus mereka di Indonesia dimulai dengan menyediakan layanan perangkat lunak berkualitas tinggi, streamlined dan scalable yang bisa dimanfaatkan oleh mitra-mitra, termasuk dengan pemenuhan persyaratan dan kebutuhan pasar. Pihak Element percaya bahwa KPI mereka tentang pertumbuhan pengguna dan juga pendapatan akan didapatkan setelah metrik keberhasilan para mitra tercapai.