Sembrani Nusantara’s Structure Resembles Mutual Fund, BRI Ventures to Launch Venture Debt

BRI Ventures (BVI) last week announced the closing of the first round of the Sembrani Nusantara Venture Fund. This fund booked 150 billion Rupiah in managed funds from a number of investors. Not just ordinary managed funds, Sembrani has a relatively new structure in the landscape of Indonesia’s digital industry. The structure is in the form of a Joint Investment Contract (KIB), which takes a similar concept to a Collective Investment Contract (KIK) in mutual funds. The Net Asset Value (NAV) calculation index will be issued quarterly by the custodian bank.

As a fund registered with the OJK, BVI wants to comply with the applicable legal rules. Meanwhile, currently in Indonesia, there are no official rules regarding limited partnership agreements (Limited Partners) which venture capitalists usually adopt to manage their funds. A form similar to mutual funds is expected to make it easier for the public to accept the concept that Sembrani has adopted.

This fund structure is very unique, because participating investors can subscribe and redeem from the Sembrani Nusantara Ventura Fund on every window of subscription that is opened every quarter. That is something limited partners cannot do with the existing VC fund model,” BVI’s VP of Investment Markus Liman Rahardja said.

With this structure, BVI is said to offer a level of flexibility and liquidity that cannot be owned by existing VC funds (from abroad). Fund backers can choose to deposit and redeem their funds for a certain period. This mechanism encourages Sembrani’s claim to be similar to a mutual fund with a scheme that is common among Indonesians.

In addition, he hopes that this venture fund can be a more effective way for organizations or individuals with a high net worth (high net worth individual) to take part in investing in the fast-growing Indonesian tech startup ecosystem. Previously, when investing in Indonesian startups, their most common practice was to enter into limited agreements with venture capitalists registered in Singapore.

“For now, we are still selecting investors who join. Given the very early age of the venture capital industry and its high risk, we limit it to those who have experience investing in startups. Investors continue to discuss with us to increase industrial development. venture capital in Indonesia,” BVI’s CEO Nicko Widjaja added.

Venture debt with Investree

Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree
Adrian Gunadi with Nicko Widjaja in Series C virtual conference last April 2020 / Investree

BVI has also signed a partnership with Investree to offer capital in the form of venture debt. In the early phase, BVI has prepared 60 billion Rupiah through Sembrani. Investree is BVI’s portfolio and is also an investor in Sembrani Nusantara.

The productive financing model is considered to be able to provide solutions for early-stage startups, especially for those yet to have tangible assets and sufficient cash flow for submission to traditional debt instruments.

This option can be an option for founders to obtain capital funds while maintaining ownership of their business, plus simpler governance. They do not need to allocate board seats for investors, provide voting rights to multiple stakeholders, and so on.

Investree plays a role in performing the initial screening process and due diligence for the startup submissions. Later, startups that successfully paid off the first stage loan can apply for a return to the next stage with a greater value.

There are several benchmarks for startups in order to pass. First, the purpose of capital must be related to company expansion, which means it must have a valid business model.

Second, startups must not have an alarming debt history for the past 12 months and must pass risk and credit assessments according to the requirements set by PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

“Venture debt will be in the form of productive financing. Investree, as experienced in productive financing, will assist us in conducting initial screening and KYC assessments for startups. Funds will come from the Sembrani Nusantara Venture Fund,” Nicko said.

According to Investree’s Co-Founder & CEO Adrian Gunadi, productive financing is often the preferred initial financing option for startups over equity investment. If a company is truly healthy, it can pay back its round of debt without sacrificing business ownership. Usually, equity (which has been given) is very difficult for startups to recover.

“There are not many debt financing options available for technology startups, because of their risk. [..] We believe that our ability to provide an assessment allows us to capture the risk profile of startups,” said Adrian.

Markus added, “In recent years, there have been several players who claim to have offered venture debt in Indonesia, but in fact, they are not active in the market. For that, we are confident that we can call ourselves the first local VC to offer productive financing. ] This is one way of identifying early on which companies are achieving sustainable growth and real profitability. It will also help us better understand which startups will be eligible for IPOs in the near future.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Struktur Sembrani Nusantara Mirip Reksa Dana, BRI Ventures Juga Luncurkan “Venture Debt”

BRI Ventures (BVI) minggu kemarin mengumumkan penutupan putaran pertama Dana Ventura Sembrani Nusantara. Dana ini membukukan dana kelolaan 150 miliar Rupiah dari sejumlah investor. Tidak sekadar dana kelolaan biasa, Sembrani memiliki struktur yang terbilang baru di lanskap industri digital Indonesia. Strukturnya berbentuk Kontrak Investasi Bersama (KIB), yang mengambil konsep mirip Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di reksa dana. Indeks perhitungan Net Asset Value (NAV) akan dikeluarkan tiap kuartal oleh bank kustodian.

Sebagai dana yang terdaftar di OJK, BVI ingin patuh dengan aturan hukum yang berlaku. Sementara saat ini di Indonesia belum ada aturan resmi mengenai perjanjian kemitraan terbatas (Limited Partner) yang biasanya diadopsi pemodal ventura untuk mengelola fund mereka. Bentuk yang mirip dengan reksa dana diharapkan memudahkan masyarakat menerima konsep yang diadopsi Sembrani ini.

“Struktur dana ini sangat unik, karena investor yang berpartisipasi dapat subscribe dan redeem dari Dana Ventura Sembrani Nusantara pada setiap window of subscription yang dibuka setiap triwulan. Itu hal yang tidak bisa dilakukan oleh limited partner dengan model VC fund yang sudah ada,” jelas VP of Investment BVI Markus Liman Rahardja.

Dengan struktur ini, BVI mengklaim bisa menawarkan tingkat fleksibilitas dan likuiditas yang tidak dapat dimiliki VC fund yang ada (dari luar negeri). Penyokong dana bisa memilih menaruh dan menebus dananya selama periode tertentu. Mekanisme ini mendorong klaim Sembrani mirip reksa dana dengan skema yang sudah umum di kalangan masyarakat Indonesia.

Selain itu, harapannya dana ventura ini bisa menjadi cara yang lebih efektif untuk organisasi atau individu dengan kekayaan tinggi (high net worth individual) untuk turut andil berinvestasi di ekosistem startup teknologi Indonesia yang tengah bertumbuh pesat. Sebelumnya, ketika ingin berinvestasi ke startup Indonesia, praktik paling umum mereka harus membuat perjanjian terbatas dengan pemodal ventura yang terdaftar di Singapura.

“Untuk saat ini memang kami masih menyeleksi investor yang tergabung. Mengingat usia industri modal ventura yang masih sangat dini dan risiko yang cukup tinggi, maka kami batasi kepada mereka yang telah berpengalaman berinvestasi kepada startup. Para investor pun terus berdiskusi dengan kami untuk menambah perkembangan industri modal ventura di Indonesia,” imbuh CEO BVI Nicko Widjaja.

Venture debt bersama Investree

Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree
Adian Gunadi dan Nicko Widjaja dalam virtual press conference pendanaan seri C pada April 2020 lalu / Investree

BVI juga telah menandatangani kerja sama dengan Investree untuk menawarkan permodalan dalam bentuk venture debt. Di fase awal, BVI telah menyiapkan dana 60 miliar Rupiah melalui Sembrani. Investree merupakan portofolio BVI dan turut menjadi investor dalam Sembrani Nusantara.

Model productive financing dinilai dapat memberikan solusi bagi startup tahap awal, terutama bagi mereka yang masih belum memiliki aset berwujud dan arus kas memadai untuk pengajuan ke instrumen utang tradisional.

Opsi ini dapat menjadi pilihan bagi founder dalam mendapatkan dana modal dengan tetap mempertahankan kepemilikan bisnis mereka, plus tata kelola yang lebih sederhana. Mereka tidak perlu mengalokasikan kursi board untuk investor, memberikan hak suara kepada banyak pemangku kepentingan, dan lain-lain.

Investree berperan melakukan proses penyaringan awal dan uji tuntas startup yang mengajukan. Nantinya startup yang berhasil melunasi pinjaman tahap pertama bisa mengajukan kembali ke tahap berikutnya dengan nilai yang lebih besar.

Ada beberapa tolok ukur yang harus dipenuhi startup agar lolos. Pertama, tujuan permodalan harus terkait ekspansi perusahaan, yang berarti harus memiliki model bisnis yang telah tervalidasi.

Kedua, startup tidak boleh memiliki riwayat utang yang mengkhawatirkan selama 12 bulan terakhir dan harus melewati penilaian risiko dan kredit sesuai persyaratan yang diatur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

Venture debt dilakukan dalam bentuk productive financing. Investree, sebagai yang berpengalaman dalam melakukan productive financing, akan membantu kami dalam melakukan assessment yang sifatnya initial screening dan KYC bagi para startup. Dana untuk hal tersebut akan berasal dari Dana Ventura Sembrani Nusantara,” ujar Nicko.

Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, pembiayaan produktif sering kali jadi opsi pembiayaan awal yang disukai startup daripada investasi ekuitas. Jika sebuah perusahaan benar-benar sehat, ia dapat membayar kembali putaran utang tanpa mengorbankan kepemilikan bisnis. Karena, biasanya ekuitas (yang sudah diberikan) jadi hal yang sangat sulit diperoleh kembali oleh startup.

“Tidak banyak opsi pembiayaan utang yang tersedia untuk startup teknologi, karena risiko mereka. [..] Kami percaya bahwa kemampuan kami dalam memberikan penilaian memungkinkan untuk menangkap profil risiko dari startup,” ujar Adrian.

Markus menambahkan, “Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pemain yang mengklaim telah menawarkan utang ventura di Indonesia, tapi sebenarnya mereka tidak aktif di pasar. Untuk itu, kami yakin dapat menyebut diri kami sebagai VC lokal pertama yang menawarkan pembiayaan produktif. [..] Ini adalah satu cara untuk mengidentifikasi sejak awal perusahaan mana yang mencapai pertumbuhan berkelanjutan dan profitabilitas riil. Ini juga akan membantu kami lebih memahami startup mana yang akan layak IPO dalam waktu dekat.”

Application Information Will Show Up Here

BRI Ventures Bukukan 150 Miliar Rupiah dalam Penutupan Pertama Sembrani Nusantara

BRI Ventures hari ini (25/11) mengumumkan penutupan pertama Dana Ventura Sembrani Nusantara. Nilai yang berhasil dibukukan mencapai 150 miliar Rupiah; capai setengah dari total dana yang ditargetkan saat peluncurannya Juni 2020 lalu. Selain BRI selaku general partner, beberapa investor tergabung dalam pendanaan ini termasuk Celebes Capital, Grab Holding, Fazz Financial Group, Investree, dan Pandu Sjahrir.

Dikatakan tesis investasinya “beyond fintech”, yakni menyasar area bisnis di luar sektor teknologi finansial – menyesuaikan pilar sektor “EARTH” (education, agro-maritim, retail, transportation/logistic, health). Sembrani juga akan fokus pada pemberdayaan UMKM; yang akan berdampak pada penguatan BRI sebagai lembaga keuangan mikro terbesar di dunia.

Sejauh ini sudah ada dua startup yang bergabung menjadi portofolio Sembrani, namun belum disebutkan namanya.

“Kami senang sekali dengan tanggapan positif yang dihasilkan dari para investor Dana Ventura Sembrani Nusantara pada periode pendanaan pertama ini. Seluruh investor ini merupakan mereka yang memiliki pengalaman berinvestasi di perusahaan rintisan dan mereka yang percaya terhadap ekosistem digital di Indonesia. Mereka percaya pada tujuan kami membangun banyak sembrani masa depan dan perusahaan rintisan yang berkelanjutan,” sambut CEO BRI Ventures Nicko Widjaja.

Dana Ventura Sembrani Nusantara ini juga terdaftar dan diawasi oleh OJK. Dana ventura merupakan skema kontrak investasi antara PMV (Perusahaan Modal Ventura) itu sendiri dengan bank kustodian, yang dibuat OJK agar industri perusahaan modal ventura lebih berani untuk masuk ke penyertaan saham. Selama ini PMV  lokal mayoritas bermain di pembiayaan bagi hasil yang notabenenya tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan perusahaan pembiayaan.

Nicko dalam sebuah kesempatan wawancara berujar, peluncuran Sembrani salah satunya bertujuan untuk membangun ekosistem yang selama ini dikuasai PMV asing. Ia merasa, dulu PMV lokal memang belum siap, namun sekarang jadi momentum yang tepat untuk unjuk gigi di kancah nasional dan regional.

Tidak dimungkiri, sejauh ini venture capital memang cenderung memilih bernaung di bawah regulasi negara tetangga. Isu perpajakan yang tinggi di Indonesia jadi dalih utamanya. Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Sementara, pajak capital gain di Singapura hanya 5%.

Adapun mayoritas PMV lokal yang mendanai startup digital dan sudah terdaftar di OJK adalah bagian dari anak usaha bank, di antaranya Central Capital Ventura (CVC milih BCA), BRI Ventures, Mandiri Capital Indonesia, dan OCBC NISP Ventura.

Startup berkelanjutan lewat IPO

Sembrani adalah istilah yang dipakai BRI Ventures untuk menggambarkan startup lokal yang berkelanjutan setelah era unicorn. Sembrani juga diketahui sebagai kuda tunggangan Batara Wisnu di cerita pewayangan —  bisa dibilang merepresentasikan unicorn dengan kearifan lokal.

Salah satu langkah mewujudkan visi tersebut adalah memastikan semua aspek siklus investasi berjalan baik, lewat penawaran umum perdana (IPO) sebagai langkah awal untuk menjadi semakin sustainable. Hal ini dilaksanakan dengan penandatanganan MoU antara BRI Ventures dan Bursa Efek Indonesia pada 11 November 2020 yang lalu, dengan maksud membantu lebih banyak startup untuk IPO di bursa lokal.

BRI Ventures berharap melalui Sembrani, para stakeholders akan membuka diskusi untuk menjajaki model bisnis yang baru agar ke depan investor dapat berpartisipasi membangun dana ventura di Indonesia. Struktur dari Sembrani adalah Kontrak investasi Bersama (KIB) yang mirip dengan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam reksa dana yang sudah dikenal secara umum dan diawasi oleh OJK.

“Mengingat tujuan bersama kami adalah mendukung ekosistem digital lokal dan membangun Perusahaan rintisan yang layak IPO, kami menyadari bahwa Dana Sembrani Nusantara dapat berperan lebih aktif dalam lanskap pendanaan lokal di masa depan dan membangun industri modal ventura yang bersaing dengan Singapura,” ujar Nicko.

Komposisi investor yang sebagian besar berasal dari Indonesia dimaknai sebagai langkah besar membawa ekosistem startup lokal lebih kompetitif di kancah global. Nicko menerangkan, masing-masing investor akan memiliki sumbangsih besar pada realisasi visi tersebut.

Setelah BRI, Giliran BRI Agro Masuk sebagai “Lender Institusi” di Modal Rakyat

Setelah BRI, kini BRI Agro masuk ke dalam jajaran lender institusi di Modal Rakyat dengan komitmen awal pembiayaan sebesar Rp50 miliar. Bagi BRI Agro, langkah strategis ini menjadi cara diversifikasi pembiayaan untuk mendukung UKM dari berbagai sektor bisnis.

Direktur Utama BRI Agro Ebeneser Girsang menerangkan, inisiatif yang sudah dijalankan perusahaan pada tahun ini menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, akan terus diperluas jangkauannya dengan beberapa fintech lainnya, termasuk Modal Rakyat.

“Sejalan dengan strategi perusahaan untuk melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka cross selling produk-produk BRI Agro, maka kami memilih fintech/p2p lending untuk mengembangkan bisnis selagi kami mempersiapkan model bisnis baru untuk menjadi digital attacker sesuai dengan aspirasi BRI Group,” ungkap dia dalam keterangan resmi, kemarin (5/11).

CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik menambahkan, dukungan BRI Agro ini membuat mereka semakin mantap dan yakin pada model bisnisnya sebagai agregator modal kerja untuk para UKM yang membutuhkan.

“Bersama dengan dukungan bank sebagai institusi keuangan yang lebih dewasa, niscaya mimpi Modal Rakyat membantu terwujudnya inklusi keuangan di Indonesia yang semakin cepat tercapai,” ucapnya.

Pembiayaan yang diberikan BRI Agro akan diarahkan untuk membiayai pelaku UKM yang terdaftar di Modal Rakyat dengan nilai maksimal Rp2 miliar per pinjaman. Sektor bisnis tidak terbatas disalurkan ke agrikultur saja, namun juga bisa ke sektor lain seperti logistik, konstruksi, kesehatan, dan teknologi.

Sejak berdiri pada 2018, Modal Rakyat telah menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp640 miliar kepada lebih dari 20 ribu pelaku UKM di seluruh Indonesia. Sektor dengan pembiayaan terbesar datang dari IT (47%) dan perdagangan (29%).

Pembiayaan ini dilakukan secara gotong royong, memadukan pendana dari individu dan institusi. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 45 ribu pendana individu dan sembilan pendana institusi di Modal Rakyat.

Bagian dari sinergi

Masuknya BRI dan BRI Agro, sebenarnya adalah lanjutan dari hasil investasi yang dilakukan oleh BRI Ventures ke Payfazz beberapa waktu lalu. Dikonfirmasi oleh pihak BRI Ventures, unit CVC tersebut hanya masuk ke dalam holding Fazz Financial. Sehingga kemitraan di bawahnya dijalankan di bawah holding.

Fazz Financial adalah perusahaan holding yang menaungi Payfazz dan perusahaan lainnya, termasuk Modal Rakyat, mengingat masing-masing pimpinan saling-silang menjadi komisaris.

Payfazz yang digawangi oleh Hendra Kwik, juga menjabat sebagai komsiaris di Modal Rakyat, perusahaan yang dipimpin oleh saudaranya Hendoko Kwik. Hendoko juga menjadi komisaris di Verihubs, startup e-KYC.

Pun Payfazz juga kini memiliki portofolio sendiri yang ia investasi sendiri untuk startup pencatat utang Credibook pada awal tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

CEO MDI Ventures Donald Wihardja Berbicara tentang Dana Kelolaan Baru, “Exit”, dan Sinergi Startup dengan BUMN

MDI Ventures (MDI), corporate venture capital milik Telkom Group, makin meningkatkan produktivitas bisnisnya. Mereka mengumumkan penunjukan Fajrin Rasyid sebagai komisaris utama dan penggelontoran dana kelolaan baru sebesar $500 juta. Secara total, CVC ini berhasil membukukan $790 juta (setara 11,6 triliun Rupiah) yang menjadi dana kelolaan CVC terbesar, tak hanya di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara.

Sejak beroperasi tahun 2016, MDI telah berinvestasi ke 44 startup di 12 negara. Saat ini mereka juga memiliki unit bisnis yang dijalankan di Singapura dan Amerika Serikat. Dengan berbagai usaha ini, banyak target yang dicanangkan. Salah satunya membantu berbagai BUMN memaksimalkan transformasi digitalnya dengan memanfaatkan kapabilitas startup binaan yang kompeten.

Donald Wihardja di bulan Mei lalu ditunjuk menakhodai MDI Ventures. Bersama timnya, ia merumuskan berbagai agenda strategis untuk memastikan laju CVC Telkom tersebut “on-track”.

Berikut adalah wawancara DailySocial dengan Donald selengkapnya:

DailySocial: MDI Ventures saat ini mengelola dana $790 juta, menjadi dana kelolaan terbesar untuk venture capital di Indonesia saat ini. Bagaimana Anda memaknai capaian tersebut?

Donald Wihardja: MDI Ventures diberi kesempatan besar ini karena kami telah berhasil mengelola dana $100 juta pertama yang kami terima dari Telkom sejak tahun 2015. Kami berhasil melipatgandakan fund tersebut, bukan hanya secara valuasi di atas kertas, tetapi juga berupa likuitiditas di beberapa exit – baik di private exit maupun IPO – selama beberapa tahun belakangan ini. Kami juga berhasil memberikan Rp1,6 triliun synergy/revenue ke Telkom Group.

Tapi ini juga tugas besar untuk MDI. Dengan fund ini kami juga diminta memperluas target kerja sama atau sinergi, tidak hanya dengan Telkom Group tapi dengan seluruh BUMN. Ini kesempatan besar juga untuk startup yang kami bina, untuk membantu merevolusi BUMN di Indonesia, sekaligus meningkatkan kinerja startup tersebut. Sinergi yang kami berikan selalu win-win untuk Telkom Group dan startup.

Siapa saja limited partner yang terlibat dalam pendanaan $500 juta untuk MDI Ventures?

Dana $500 juta ini hanya dari PT Telkom. Fund MDI 500 adalah kelanjutan dari Fund MDI 100 yang kami mulai di 2015. Posisi kami adalah sebagai corporate venture capital Telkom, jadi LP-nya hanya Telkom.

MDI juga diminta oleh Telkom dan sudah berhasil untuk meluncurkan external fund lain, contohnya Telkomsel Mitra Inovasi (co-GP dengan Telkomsel) dan Centauri (co-GP dengan KB dari Korea). Tujuannya supaya kami atau Telkom bisa mempunyai dana lebih besar lagi untuk berinvestasi, sementara LP external juga turut dapat kesempatan meraih keuntungan dari peningkatan nilai startup yang kami asuh, jadi win-win juga.

Di tahun 2020 ini, adakah target khusus terkait berapa banyak investasi yang akan digelontorkan untuk startup?

Kami punya target yang sangat agresif untuk terus mendukung startup di Indonesia, terutama yang berhasil membuktikan mereka bisa beradaptasi di masa Covid-19 ini. Beda dengan banyak VC besar yang biasanya fokus terhadap startup global, kami sangat percaya tentang peran besar dari transformasi digital di Indonesia dan peran besar dari startup untuk mendukung itu. Karena itu kami menyiapkan dana yang cukup untuk mereka.

Tentunya kami tetap hati-hati dalam berinvestasi. Kami siap menyalurkan dana yang cukup tergantung dengan peluang yang ada dan berkualitas.

Banyak segmen yang terbukti berhasil bisa memanfaatkan kesempatan yang ada di dalam pandemi ini. E-commerce dan food delivery sangat membantu konsumer mendapatkan apa yang mereka perlu, dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Healthtech berhasil membuktikan bahwa telemedicine sangat diterima di Indonesia. Banyak fintech juga telah berhasil menavigasi kesulitan dalam Covid-19 secara baik.

MDI 500 ditargetkan untuk later stage investment (Seri B dan seterusnya) di perusahaan yang mempunyai revenue kuat, market fit yang terbukti, growth yang terjaga di masa Covid ini, dan tentunya siap berkolaborasi secara win-win dengan Telkom Group dan BUMN.

Telkom Group juga mempunyai beberapa fund lain di investment stages yang lebih awal. Indigo terus digelar untuk menginkubasi startup. Ada juga fund yang menargetkan seed stage, Seri A, dan Seri B. Dengan ini, Telkom Group melalui MDI terus berperan mendukung startup dari tahap awal sampai akhir.

Tahun lalu, kami mencatat MDI Ventures berhasil melakukan 5 exit. Bagaimana pandangan Anda terkait exit untuk MDI Ventures? Bagaimana strateginya?

Pada tahun ini, kami juga telah melakukan beberapa exit terhadap startup yang telah kami investasikan. Seiring dengan munculnya fund baru MDI 500, saat ini kami lebih fokus untuk mengejar nilai sinergi antara startup binaan dengan Telkom Group dan BUMN pada umumnya.

MDI Ventures
Aditia Narendra (GM Corporate Secretary & Legal Counsel), Aldi Adrian Hartanto (VP of Investments), Sandhy Widyasthana (COO & Portfolio Director), Fajrin Rasyid (Chairman), Donald Wihardja (CEO) / MDI Ventures

Di tengah Covid-19, apakah ada penyesuaian tesis investasi? Bagaimana MDI melihat prospek dan iklim investasi setelah pandemi?

Covid-19 adalah Chief Digital Transformation Officer terampuh di dunia dan di Indonesia. Karena itu sebenarnya banyak startup yang sangat layak diinvestasi. Tetapi banyak VC global yang tidak cukup kenal dan karena itu terlalu takut untuk berinvestasi di Indonesia. MDI sebagai pemain lokal sangat mengenal Indonesia dan percaya diri tentang growth di Indonesia, jadi kami terus berinvestasi tapi tentunya dengan hati-hati.

Seperti apa strategi yang akan diterapkan MDI untuk membantu para BUMN mencapai tujuan transformasi digitalnya?

Dana MDI 500 diberikan kepada dengan pesan bahwa MDI harus memperluas kerja sama, yang telah kami buktikan dengan Telkom, dengan seluruh BUMN lainnya. Kami lihat tantangan ini juga sebagai kesempatan, karena dengan ini, Kementerian BUMN juga membantu membuka pintu MDI ke para BUMN tersebut.

Inisiatif yang kami lakukan adalah bekerja sama dengan beberapa CVC BUMN lain dalam menyiapkan solusi untuk mendukung bisnis dari beberapa strategic BUMN cluster. Bersama-sama kami akan mendukung transformasi digital dari BUMN menggunakan startup-startup kami.

Saat ini Telkom juga memiliki inisiatif dana kelolaan seperti Centauri; bahkan anak perusahaannya juga sudah memiliki CVC sendiri seperti TMI. Bagaimana posisi dan peran MDI Ventures? Apa yang menjadi diferensiasi?

Peran MDI di Telkom Group saat ini adalah mempunyai fungsi “scouting”, “investing” dan “build partnership” antara Telkom dan startup (yang sudah proven dan establish). MDI membantu Telkom dalam mengelola Indigo Incubator dan Indigo Accelerator yang fokus untuk mengembangkan startup lokal di seed stage. MDI juga membantu TMI dalam mengelola fund Telkomsel yang akan fokus untuk mendukung sinergi bisnisnya. MDI juga membuka peluang untuk mengelola dana pihak ketiga di luar Telkom Group untuk dapat memperkuat ekosistem startup di Indonesia,

Bagaimana kabar MDI Ventures di Singapura dan Amerika Serikat?

Fund MDI yang diperoleh dari Telkom dikelola menggunakan PT MDI di Indonesia. MDI Pte Ltd di Singapura adalah fund structure yang kami gunakan untuk fund external kami. Karena kebanyakan LP kami adalah dari luar, kami menggunakan fund structure yang lebih cocok untuk kebutuhan mereka. MDI US kami gunakan untuk mencari teknologi dari startup di Silicon Valley yang cocok untuk kebutuhan Telkom dan BUMN.

MDI Ventures Terus Diperkuat, Strategi CVC Semakin Relevan untuk Transformasi Digital

Pekan lalu, tepatnya di hari Jumat (14/8), Direktur Utama Telkom Group Ririek Adriansyah mengumumkan penunjukan Fajrin Rasyid sebagai Komisaris Utama MDI Ventures. Fajrin juga akan menjadi penasihat Centauri Fund. Sebelumnya diketahui, mantan Presiden Bukalapak tersebut telah menduduki jabatan Direktur Digital Business perseroan per Juni 2020 lalu.

Penunjukan Fajrin didasari pengalamannya berkecimpung di ekosistem startup Indonesia. Sekaligus diharapkan menjadi upaya strategis perusahaan mencapai transformasi digital secara menyeluruh, dalam rangka memperluas potensi pendapatan digital.

“Telkom memproyeksikan peningkatan yang signifikan di pendapatan digitalnya di beberapa tahun mendatang. Namun hingga saat ini, baru sekitar 10 persen pendapatan perusahaan tersebut yang berasal dari bisnis digital. Dengan bantuan MDI Ventures, misi saya adalah membangun sinergi yang nyata dan membuat kontribusi pendapatan meningkat dengan tajam,” sambut Fajrin

Suksesi kepemimpinan corporate venture capital milik Telkom tersebut sebenarnya juga belum lama terjadi. Bulan Mei 2020 lalu Donald Wihardja masuk menduduki jabatan CEO, menggantikan Nicko Widjaja yang telah berpindah menggarap BRI Ventures.

Selain Fajrin, Yusuf Wibisono juga ditunjuk sebagai Komisioner MDI Ventures. Saat ini ia menjabat sebagai VP  Strategic Investment Department Telkom Group.

Genjot investasi, tingkatkan aset

Di waktu yang sama, MDI Ventures turut mengumumkan perolehan dana investasi baru senilai $500 juta atau setara 7,3 triliun Rupiah. Sehingga total aset kelolaan yang telah dibukukan mencapai $790 juta atau setara 11,6 triliun Rupiah.

Dana tersebut akan diinvestasikan ke startup teknologi yang memiliki fokus khusus pada pasar Indonesia. Termasuk untuk dikolaborasikan dengan BUMN yang ada di Indonesia.

“Untuk mempertahankan pijakan yang kuat di pasar hingga ke depannya, BUMN Indonesia memahami bahwa mereka harus mengadopsi model bisnis digital dengan lebih mendalam dibandingkan sebelumnya. Dengan mengalokasikan dana ini sesuai dengan misi transformasi digital dari pemerintah, dan dengan bermitra langsung dengan inovator teknologi lokal, BUMN Indonesia menempatkan diri mereka untuk terus berkembang,” ungkap CEO MDI Ventures, Donald Wihardja.

Tercatat, sejak tahun 2016 beroperasi, MDI telah berinvestasi di 44 startup dari 12 negara. Di tahun 2019, mereka berhasil catatkan “exit” lima kali melalui M&A dan IPO oleh portofolionya.

Daftar exit pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019 / DSResearch
Daftar exit pemodal ventura lokal sepanjang tahun 2019 / DSResearch

Strategi CVC makin relevan

Dalam laporan DSResearch bertajuk “Transformasi Digital Korporasi 2020” dikemukakan mengenai berbagai strategi yang diadopsi perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam membina kultur inovasi di lingkungannya. Dipaparkan juga bagaimana Telkom Group mengorkestrasi inovasi internal dan eksternal untuk menjalankan proses ideation, incubation, dan value creation guna menghasilkan produk/layanan yang terus relevan dengan pangsa pasar.

 

Kendaraan transformasi digital Telkom Group / Telkom
Kendaraan transformasi digital Telkom Group / Telkom

Dalam kerangka tersebut, jelas MDI memiliki peran penting untuk menjembatani apa yang ada di luar dengan apa yang dibutuhkan di internal bisnis. Sebagai CVC ia juga berperan menangkap peluang sinergi strategis yang ada di luar, baik dari dalam atau luar negeri. Karena walau bagaimanapun jika mengandalkan di sisi internal saja, banyak aspek yang membatasi ruang gerak. Hal tersebut seperti diungkapkan EVP Digital and Next Business Telkom Joddy Hernady.

Ia mengatakan, “Sekarang R&D saja tidak cukup karena inovasi dan produk baru lebih banyak, itu juga multi-disiplin. Makanya startup perlu memiliki tiga kapabilitas, yaitu orang yang paham teknis, desain, dan bisnis. Makin ke sini, kami harus open innovation, kami juga harus mengundang ide dari luar, tidak cukup dari dalam.”

Joddy juga menyebutkan, perjalanan inovasi seperti yang terlihat di bagan tidak dirumuskan secara instan. Perjalanannya sejak tahun 2013 dan terus berkembang dengan tesis-tesis baru yang sesuai dengan kebutuhan perseroan.

Tidak hanya Telkom, keberhasilan CVC sebagai kendaraan menuju transformasi digital juga diharapkan oleh berbagai perusahaan lain di Indonesia. Melalui unit ventura masing-masing, para perusahaan berharap dapat membuka peluang sinergi dengan startup-startup yang mampu mendemokratisasi lanskap bisnis yang ada.

Unit CVC yang dioperasikan perusahaan di Indonesia / DSResearch
Unit CVC yang dioperasikan perusahaan di Indonesia / DSResearch

Kiddo Bags Seed Funding from OCBC NISP Ventura

In order to strengthen its position as an edutech platform for children (5-12 years), Kiddo technology startups officially announce seed funding from OCBC NISP Ventura. The value is undisclosed. Previously, Kiddo was selected by the Ministry of Research and Technology / BRIN as one of the technology startups to receive grant funding and business training in Armenia and London.

“Indonesia will be one hundred years old by 2045 and one-third of Indonesia’s population is currently aged 0-12 years, twenty-five years from now will be at the peak of productive working age. They are the next generation leaders, and this is the best moment to help them optimize their potential to compete in the global industry,” Kiddo.id’s Co-Founder and CEO, Analia Tan said.

Launched in early 2020, OCBC NISP Ventura is an OCBC NISP’s corporate venture capital (CVC). Head of Strategy & Innovation at OCBC NISP, Ka Jit told DailySocial that this CVC aims to create a digital ecosystem to drive the transformation of the banking sector. The 400 billion Rupiah funds are prepared as authorized capital, with 99.9% ownership by Bank OCBC NISP.

“We established OCBC NISP Ventura to create transformative value by utilizing Indonesia’s entrepreneurial potential and startup spirit with an extensive banking network to answer the evolving needs of the community,” Ka Jit said.

Positive growth during the pandemic

Last May, Kiddo had formed a strategic partnership with GogoKids from Malaysia. Through this collaboration, users can take online classes from both countries. Providers of child activity services from Indonesia can also market their classes broadly to Malaysian customers.

During the post-pandemic situation, Kiddo presented a selection of quality activities for Indonesian children. The current classes can still be practiced virtually and booked through the platform. Kiddo has partnered with more than hundreds of child service providers in several major cities in Indonesia. To date, hundreds of activity providers have joined the platform.

“We want to provide more children activities options for Indonesian parents that suit their children’s needs to develop their potential while at home #dirumahaja. On the other hand, we also want to help providers of children’s activities in Indonesia through this partnership to expand their business to the Malaysian market,” Analia said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kiddo Kantongi Pendanaan Awal dari OCBC NISP Ventura

Bertujuan memperkuat posisi sebagai platform edutech untuk anak (5-12 tahun), startup teknologi Kiddo resmi mendapatkan pendanaan awal dari OCBC NISP Ventura. Tidak disebutkan nominal dana yang didapatkan. Sebelumnya Kiddo terpilih sebagai salah satu startup teknologi pilihan Kemenristek/BRIN yang menerima dana hibah serta pelatihan bisnis di Armenia dan London.

“Indonesia akan berusia seratus tahun pada 2045 dan sepertiga populasi Indonesia yang saat ini masih berusia 0 – 12 tahun. Dua puluh lima tahun dari sekarang akan berada di puncak usia kerja produktif. Mereka adalah calon pemimpin penerus bangsa, dan saat inilah momen terbaik untuk membantu mereka dalam memaksimalkan potensi dirinya sehingga mampu bersaing di kancah global,” kata Co-Founder dan CEO Kiddo.id Analia Tan.

Diluncurkan pada awal tahun 2020 lalu, OCBC NISP Ventura merupakan corporate venture capital (CVC) Bank OCBC NISP. Kepada DailySocial, Head of Strategy & Innovation OCBC NISP Ka Jit menjelaskan, tujuan pembentukan CVC ini adalah menciptakan ekosistem digital yang mampu menggerakkan transformasi sektor perbankan. Dana senilai 400 miliar Rupiah disiapkan sebagai modal dasar, dengan kepemilikan 99,9% oleh Bank OCBC NISP.

“Kami mendirikan OCBC NISP Ventura untuk menciptakan nilai transformatif dengan memanfaatkan potensi semangat kewirausahaan dan startup di Indonesia dengan jaringan perbankan yang luas untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang,” ujar Ka Jit.

Pertumbuhan positif saat pandemi

Sebelumnya pada bulan Mei 2020 lalu, Kiddo telah menjalin kerja sama strategis dengan GogoKids dari Malaysia. Melalui kerja sama ini, pengguna dapat mengikuti kelas online yang berasal dari kedua negara. Penyedia layanan aktivitas anak asal Indonesia juga dapat memasarkan kelasnya lebih luas ke pelanggan Malaysia.

Di masa PSBB ini Kiddo menghadirkan pilihan aktivitas berkualitas bagi anak Indonesia. Kelas yang biasa diikuti oleh anak tetap bisa dilaksanakan secara virtual dan dipesan melalui platform. Kiddo telah bermitra dengan lebih dari ratusan penyelenggara layanan aktivitas anak beberapa kota besar di Indonesia. Saat ini, ratusan penyedia aktivitas sudah tergabung di platform.

“Kami ingin memberikan lebih banyak pilihan untuk orang tua di Indonesia dalam memilih aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan anaknya, sehingga si kecil dapat terus mengembangkan potensi dirinya meskipun harus #dirumahaja. Di sisi lain, kami juga ingin membantu para penyedia aktivitas anak di Indonesia untuk melebarkan sayap bisnisnya ke pasar Malaysia lewat kerja sama ini,” kata Analia.

Kolaborasi Strategis dengan Startup untuk Mendukung Inovasi Korporasi

Makin menjamurnya startup berbasis teknologi secara langsung telah mengubah kebiasaan masyarakat luas mengadopsi layanan digital. Didukung dengan digital native company yang mulai banyak bermunculan dan secara langsung men-disrupt berbagai bisnis, termasuk finansial dan berbagai sektor lainnya. Tidak dapat dipungkiri, dengan tetap relevan dan inovatif kini menjadi kunci sukses korporasi.

Melihat tren tersebut, dalam sesi #SelasaStartup teranyar, DailySocial mencoba mengupas potensi kerja sama strategis antara korporasi dengan startup dan perusahaan teknologi. Ada tiga narasumber yang dihadirkan, yakni VP of Investor Relation & Strategy BRI ventures Markus Liman Rahardja, VP of Dgital Business Partnership & Development PT Pegadaian (Persero) Herdi Sularko, dan Plt. Direktur Ekonomi Digital Kominfo I Nyoman Adhiarna.

Upaya untuk tetap relevan

Salah satu alasan mengapa pada akhirnya korporasi harus dengan cepat mengadopsi teknologi ke dalam proses dan sistem mereka adalah agar tetap relevan. Baik di mata pelanggan hingga pihak terkait lainnya. Untuk mencapai hal tersebut, korporasi mulai banyak melakukan perubahan dan inovasi baru yang secara keseluruhan menyentuh teknologi. Apakah yang terkait dengan produk hingga potensi untuk kolaborasi dengan pihak eksternal.

“Kami menyadari sepenuhnya perubahan perilaku dari masyarakat luas saat ini yang terjadi karena mulai banyaknya fintech yang menawar layanan seperti p2p lending, asuransi teknologi, hingga wealth management. Sebagai perusahaan yang sudah menginjak usia 120 tahun, kami juga memiliki beragam produk lainnya di luar bisnis utama kami yaitu gadai, dengan mengadopsi digital kami ingin memperluas eksistensi perusahaan,” kata Herdi.

Sama halnya dengan bank dan pasar, Pegadaian memiliki jumlah cabang yang cukup besar. Tentunya menjadi menarik ketika sumber daya tersebut dimanfaatkan sepenuhnya dengan mulai mengadopsi digital dengan tujuan untuk menyentuh kepada transformasi digital.

Hal serupa juga disampaikan oleh BRI Ventures, yang selama ini mencoba untuk terus menghadirkan inovasi agar bisa tetap relevan, terutama untuk perusahaan yang sudah berusia sekitar 100 tahun. Bukan hanya inovasi saat ini saja namun juga ke depannya. Dalam hal ini Markus menegaskan, ada dua jalur yang kemudian ditempuh oleh BRI Ventures, yaitu eksploitasi dan eksplorasi.

“Untuk eksploitasi kami ingin sistem yang saat ini ditingkatkan lagi, dan untuk eksplorasi menjadi kesempatan bagi kami untuk menyambut ekosistem digital baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk dijajaki oleh kami,” kata Markus.

Dalam hal ini BRI Ventures ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki misi dan visi yang sejalan dengan perusahaan, sebagai corporate venture capital (CVC). Apakah itu dalam bentuk inovasi, teknologi hingga jaringan yang dimiliki. BRI Ventures ingin menjalin kolaborasi dengan startup yang high scaling dan high growing.

Kolaborasi dengan startup

Saat ini BRI Ventures menjadi salah satu CVC yang cukup aktif berinvestasi kepada beberapa startup fintech di Indonesia. Mulai dari Investree hingga Modalku, yang keduanya dinilai bisa memberikan keuntungan lebih untuk BRI maupun BRI Ventures sendiri.

“Inilah yang kemudian membedakan antara ‘vendoring’ dengan ventures. Sebagai CVC idealnya kami ingin melakukan kolaborasi yang strategis demi menghadirkan teknologi yang relevan dan bermanfaat bagi kedua pihak,” kata Markus.

Bukan hanya di sektor finansial, BRI Ventures juga telah berinvestasi kepada TaniHub yang merupakan agritech terkemuka di tanah air. Tujuannya tentu saja masih bersentuhan dengan pembiayaan, namun memanfaatkan channel baru yang lebih efektif.

Di sisi lain bagi Pegadaian yang selama ini belum bermain dalam hal investasi, untuk bisa memberikan inovasi baru dan mengadopsi teknologi dengan cepat, kolaborasi atau kerja sama strategis dengan digital native startup, secara masif sudah dilakukan oleh mereka. Mulai dari menjalin kemitraan dengan Tokopedia, hingga mempekerjakan tenaga profesional, yang tujuannya untuk membantu perusahaan melakukan transformasi digital.

“Selama ini kebanyakan korporasi hanya mengandalkan konsultan ketika ingin melakukan perubahan atau menghadirkan inovasi baru. Melalui kerja sama dengan startup dan perusahaan teknologi, paling tidak bisa menyegarkan mindset tim internal kami sekaligus mempercepat proses transformasi digital,” kata Herdi.

Dukungan pemerintah

Sebagai regulator dalam hal ini pemerintah memiliki peranan yang cukup krusial. Bukan hanya untuk melancarkan bisnis yang dimiliki oleh startup dan korporasi, namun juga memudahkan mereka untuk melakukan dialog hingga diskusi dengan para regulator. Meskipun masing-masing sektor ditangani langsung oleh kamenterian terkait, namun Kominfo bisa mendukung semua dalam hal teknologi dan inovasi terkait.

“Salah satu contoh menarik yang kemudian wajib untuk dicermati adalah saat pandemi berlangsung, layanan konsultasi dokter online yang ditawarkan oleh startup healthtech menjadi sangat relevan,” kata I Nyoman.

Namun demikian tidak dapat dipungkiri dengan luasnya persoalan yang dihadapi di berbagai sektor, teknologi dan startup yang mencoba untuk menawarkan layanan terkait harus menunda atau bersabar, karena prioritas dari masing-masing kementerian.

Sebagai contoh teknologi smart farming dan IoT yang bisa bermanfaat bagi para petani dan nelayan, menjadi hal yang tidak diprioritaskan oleh kementerian terkait karena fokus mereka lebih kepada pembiayaan dan hal lain yang lebih dibutuhkan oleh petani saat ini.

“Masing-masing kementerian memiliki prioritas dan cara pandang berbeda. Namun ada baiknya bagi pemerintah untuk mendengarkan permintaan dari startup, perusahaan teknologi atau korporasi yang ingin menghadirkan solusi baru memanfaatkan teknologi,” kata I Nyoman.

BRI Ventures Contributes in Modalku’s Series C Funding

BRI Ventures agrees to invest in Modalku’s fintech lending company, Funding Societies. This is to be discussed directly by Modalku Co-Founder & CEO Reynold Wijaya. He mentioned to DailySocial, inviting BRI Ventures is part of the Modalku C series which was posted last April 2020.

“It is expected that we have announced that the Modalku group has raised commitments for the series C funding worth of US$ 40 million (or around 625 billion Rupiah) from the current investors and undisclosed investors. The fund with BRI Ventures contribution is part of our series C,” said Reynold.

This fresh fund will be increased by Modalku to realize the vision of increasing financial inclusion in Southeast Asia, as well as enhancing a positive vision for growth in Indonesia. Especially in the future of this pandemic, asking for this will support the company’s strategy to support SMEs to continue to grow and survive. In addition, Modalku is tocontinue innovation in providing new products.

“The company also has a target to be able to support more SMEs in various sectors and regions. However, our main focus now is to support SMEs whose business is increasing this pandemic. Supporting our main strategy now is better to promote restructuring.”

Pandemic effect

Pandemic made several technology startups do business operational efficiency, some of which even layoff to pivot business models. Meanwhile Reynold stressed, so far Modalku did not do that, including laying off employees. The wave of pandemic that occurred forced Modalku to make various internal and external anticipatory measures.

From the internal side, the company also conducts streamline operations to improve efficiency so that operational processes are simpler. According to Reynold, in these conditions, it is important for companies to stabilize the company’s pace and continue to grow in a healthy manner. Therefore, he was reluctant to call this a layoff.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian