Xendit Dikabarkan Bidik Bank Sahabat Sampoerna

Xendit turut berpartisipasi dalam gemuruh persaingan bank digital di Indonesia. Startup yang memperoleh status unicorn tahun lalu ini dikabarkan membidik  saham mayoritas di Bank Sahabat Sampoerna. Sumber DailySocial.id menyebutkan, aksi korporasi akan dilakukan secara bertahap sampai akhirnya menguasai 51%.

DailySocial.id berusaha menghubungi perwakilan Xendit untuk meminta respons, tapi hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan yang diberikan.

Akuisisi tersebut disinyalir menjadi pemulus langkah perusahaan melalui aplikasi bank digitalnya, Nex. Saat ini perusahaan tengah melakukan uji coba untuk internal dan membuka daftar tunggu (waitlist) untuk umum. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan mengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Sebelumnya, Xendit juga memiliki saham di BPR Xen. Mengacu di data OJK, BPR Xen (PT Bank Perkreditan Rakyat Xen) sebelumnya bernama BPR Arthakelola Cahayatama yang terletak di Depok, Jawa Barat.

Co-founder Xendit Theresa Sandra Wijaya (Tessa Wijaya) masuk sebagai pemegang saham di BPR Xen dengan kepemilikan 0,68% pada Juni 2021. Pemegang saham mayoritas dikuasai oleh PT Indo Digital Raya (99,32%). Theresa meningkatkan kepemilikannya menjadi 1% pada Desember 2021.

Tidak banyak informasi yang bisa didapat mengenai PT Indo Digital Raya ini. Namun bisa dipastikan terafiliasi perusahaan karena selokasi dengan kantor pusat Xendit. Sebelumnya, perusahaan sudah melayangkan penyangkalannya terlibat dengan BPR Xen.

“Xendit baru saja menjalin kemitraan strategis dengan PT BPR Xen, sebuah BPR yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. PT BPR Xen dan PT Sinar Digital Terdepan merupakan dua entitas terpisah dan tidak terafiliasi secara kepemilikan,” ujar juru bicara Xendit. Mereka pun mengaku masih dalam tahap eksplorasi terkait kemitraan tersebut bagaimana dapat membawa dampak yang baik buat UMKM.

Bank Sahabat Sampoerna

Secara terpisah, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Finance & Business Planning Director Bank Sahabat Sampoerna Henky Suryaputra menyampaikan bahwa perbankan tengah berusaha memenuhi ketentuan permodalan inti Rp3 triliun sampai akhir tahun ini. Opsi terdekat yang tengah dijajaki adalah menerima investor strategis baru.

“Kemungkinan besar ada beberapa investor strategis yang tertarik untuk join di Bank Sahabat Sampoerna,” ucapnya Henky pada 13 Januari 2022.

Aksi pemenuhan modal inti ini merupakan bagian dari dorongan regulator melalui POJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum menetapkan aturan modal inti minimal Rp3 triliun per Desember 2022.

Pada tahun lalu, Bank Sahabat Sampoerna telah memenuhi modal inti Rp2 triliun per November 2021. Penambahan ini dilakukan lewat injeksi modal secara langsung dari pemegang saham terdahulu, kehadiran investor baru, dan akumulasi dari perolehan laba. Tidak dirinci siapa investor baru tersebut karena Michael Joseph Sampoerna lewat PT Sampoerna Investama tetap menjadi pengendali bank.

Mengutip dari Kontan, mengacu pada laporan keuangan Bank Sahabat Sampoerna per September 2021 dibanding laporan per Maret 2021, ada satu investor baru, yakni Sutan Agung Mulyadi, pemiliki Serba Mulya Group, dengan kepemilikan saham 2,96%.

Pemilik mayoritas masih dikuasai PT Sampoerna Investama dengan kepemilikan 78%.

Bank Sahabat Sampoerna sendiri cukup aktif melakukan pengembangan produk digital. Sejumlah layanan fintech telah bermitra. Yang terbaru mereka bekerja sama dengan KoinWorks menghadirkan layanan KoinWorks NEO, Julo, Indodana, Kredivo (kartu kredit fisik paylater), Akulaku, dan lainnya.

Mereka juga berkolaborasi dengan berbagai perusahaan payment gateway, seperti Xendit, Instamoney, Safecash, dan Dhasatra untuk memfasilitasi berbagai transaksi digital.

Sebelumnya sejumlah platform fintech telah mengambil langkah serupa untuk menjadi pemilik bank, seperti Akulaku yang menjadi pengendali di Bank Neo Commerce, Kredivo yang menjadi pemegang saham mayoritas di Bank Bisnis Internasional, dan Ajaib yang memiliki saham terbesar di Bank Bumi Artha.

Ajaib Group Kini Miliki 40% Saham Bank Bumi Arta

Ajaib Group melalui PT Takjub Finansial Teknologi (TFT) kembali meningkatkan porsi kepemilikan sahamnya di PT Bank Bumi Arta Tbk (IDX: BNBA) sebanyak 443,52 juta saham atau setara 16 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), transaksi pembelian saham ini dilaksanakan pada 8 April 2022 dengan harga pelaksanaan Rp1.345 per saham.

Sebelumnya, Ajaib Group mencaplok sebanyak 665,2 juta saham atau mewakili 24 persen saham Bank Bumi Arta pada November 2021. Dengan penambahan ini, Ajaib kini menguasai 1,10 miliar saham atau setara 40 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Manajemen Ajaib Group mengungkap bahwa pihaknya ingin menjadi pemegang saham pengendali baru Bank Bumi Arta melalui penambahan kepemilikan saham ini.

Ekspansi produk

Dalam pemberitaan sebelumnya, Director of Stock Brokerage Ajaib Sekuritas Anna Lora sempat menyampaikan bahwa akuisisi ini akan memudahkan Ajaib untuk mengembangkan lebih banyak produk di masa depan.

Perusahaan mulai memperkenalkan layanan baru bernama Margin Trading Ajaib pada Maret. Sebagai informasi, margin trading merupakan pinjaman yang difasilitasi perusahaan sekuritas kepada nasabah pemilik rekening efek.

Margin Trading Ajaib memungkinkan pengguna untuk menebus jumlah saham lebih banyak dengan menggunakan pinjaman dana dari perusahaan sekuritas. Ajaib memfasilitasi Margin Trading dengan 0% pada biaya broker dan bunga margin.

Saat ini, bisnis utama Ajaib adalah platform investasi untuk saham dan reksa dana. Per Desember 2021, total investor Ajaib telah mencapai 1,4 juta orang. Dari angka tersebut, sebesar 96 persen merupakan investor pemula dan 90 persen masuk kelompok usia muda.

Sementara data BEI per akhir 2021 mencatat baru ada 7,48 juta investor retail di Indonesia. Namun, angka tersebut tumbuh signifikan sebesar 92,7 persen dibandingkan akhir 2020 yang hanya sekitar 3,88 juta investor.

Jika mengacu pada model bisnis Robinhood, platform trading dan investasi ini menerapkan komisi nol pada layanannya. Robinhood memonetisasi bisnis melalui sejumlah skema, termasuk margin trading, cash management fee, hingga Robinhood Gold.

Fintech akuisisi bank

Sempat dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan sejumlah faktor kuat yang melandasi aksi startup fintech mengakuisisi bank.

Akuisisi bank akan memampukan startup fintech untuk meningkatkan inklusi keuangan ke seluruh Indonesia. Salah satunya lewat fasilitas pinjaman modal usaha dengan plafon lebih tinggi. Dalam catatan kami, beberapa startup fintech yang mengakuisisi bank ini fokus di segmen UMKM.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial.id

Faktor lainnya, bank-bank yang diakuisisi ini merupakan bank kecil. Mereka dicaplok dengan harga murah karena tidak mampu memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK. Lagi pula, akuisisi bank kecil lebih memudahkan perusahaan untuk melakukan transformasi karena infrastruktur dan kantor cabangnya kecil.

Application Information Will Show Up Here

Kabar Rencana Amartha Akuisisi Bank Victoria Syariah dan Potensi Hal Strategis di Baliknya

Hampir sepekan pasca-dikabarkan akan mengakuisisi Bank Victoria Syariah, Amartha belum juga mengonfirmasi hal ini. Sebelumnya, DealStreetAsia melaporkan startup P2P untuk pengusaha perempuan mikro ini akan mengambil alih sebesar 70% saham milik Bank Victoria Syariah.

DailySocial.id telah mencoba menghubungi CEO dan Founder Amartha Andi Taufan untuk mengonfirmasi akuisisi tersebut. Namun, belum ada konfirmasi hingga berita ini diturunkan.

Mengutip Katadata, Andi tidak menampik maupun mengonfirmasi kabar akuisisi tersebut. Dia menyebut tengah berfokus mengakselerasi penyaluran pinjaman kepada pengusaha perempuan dengan digitalisasi layanan keuangan bagi mitra maupun pendana individu lewat fitur crowdfunding.

Adapun, sejak awal berdiri di 2010, Amartha memantapkan komitmennya untuk memberikan akses permodalan, khusus untuk pengusaha perempuan yang selama ini masuk ke dalam golongan unbanked dan underbanked.

Per saat ini. Amartha telah menyalurkan modal usaha sebesar Rp61,7 triliun ke 1.032.959 pengusaha perempuan mikro dengan total TKB90 97,16%.

Akuisisi, bank digital, dan akselerasi pinjaman

Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkap bahwa banyak bank kecil diakuisisi startup dengan harga murah karena tidak dapat memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK.

Dalam konteks di atas, Bank Victoria Syariah diketahui tengah menambah modal untuk memenuhi aturan OJK terkait modal inti sebesar Rp3 triliun. Per September 2021, Bank Victoria Syariah hanya punya modal inti sekitar Rp256,6 miliar.

Fintech masuk [lewat akuisisi] untuk membantu permodalan sehingga bank bisa bertahan. Bahkan tidak menutup kemungkinan bank ini diganti menjadi bank digital,” tutur Bhima.

Jika menilik akuisisi sebelumnya, sebagian besar bank kecil ini diakuisisi dan diubah identitasnya dengan branding baru. Alasan lainnya, bank kecil tidak memiliki infrastruktur, kantor cabang, dan nasabah yang besar sehingga lebih mudah untuk ditransformasi. Contoh, Bank Artos menjadi Bank Jago dan Bank Yudha Bhakti menjadi Bank Neo Commerce.

Yang perlu disoroti, ujar Bhima, tren akuisisi bank kecil oleh startup P2P memungkinkan mereka untuk menawarkan plafon pinjaman yang lebih tinggi kepada nasabah. Pasalnya, OJK mengatur batasan pinjaman fintech lending maksimum sebesar Rp2 miliar. 

Fintech tidak bisa terus-menerus berharap pada lender ritel karena biaya bunga yang diberikan cukup mahal. Sementara, pendanaan fintech yang bersumber dari institutional lender dibatasi OJK. Maka itu, fintech mengakuisisi bank sehingga sumber pendanaan dari simpanan nasabah bank dapat mendorong penyaluran pinjaman fintech,” paparnya.

Dalam gambaran menyeluruh, aksi korporasi di atas bermuara pada satu misi yang sama, yakni mendorong inklusi keuangan ke segmen underbanked dan unbanked. Perbankan mengalami kesulitan mendorong pinjaman ke segmen mikro karena biaya operasional terlalu mahal. Sementara, fintech banyak menggarap segmen mikro. 

Fintech dan bank saling membutuhkan. Contohnya, Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK arahnya akan lebih ke perbankan. Sementara, fintech butuh akurasi data calon debitur di SLIK OJK, untuk mengendalikan risiko kredit macet,” tambahnya.

Berdasarkan laporan Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini terdapat 64,19 juta UMKM di Indonesia, di mana 99,92% merupakan usaha di segmen mikro dan kecil. Dari total tersebut, sekitar 34% usaha menengah dijalankan perempuan, sedangkan 56% usaha kecil dan 52% usaha mikro dimiliki perempuan.

***
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Resmi Menguasai 75% Saham Bank Bisnis Internasional

PT FinAccel Teknologi Indonesia atau dikenal dengan induk Kredivo, resmi menguasai 75% saham PT Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI) setelah sebelumnya mengajukan penambahan kepemilikan saham ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Menurut mereka, aksi korporasi ini menjadi langkah signifikan perusahaan untuk menawarkan produk keuangan digital yang lebih variatif, dari kredit digital dan paylater hingga pinjaman dengan plafon lebih tinggi di masa depan.

Diberitakan sebelumnya, FinAccel mengakuisisi saham Bank Bisnis secara bertahap. Akuisisi pertama dilakukan pada Mei 2021 sebesar 24% dan menjadi 40% pada Oktober 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya sebesar 1,15 miliar lembar saham atau setara 35% pada Februari 2022.

Dengan demikian, struktur kepemilikan saham setelah pengambilalihan saham menjadi sebagai berikut; FinAccel Teknologi Indonesia memiliki 75% dengan kepemilikan 2,48 miliar lembar saham, Sundjono Suriadi memiliki 4,91% dengan 162,4 juta lembar saham, PT Sun Antarnusa 4,17% (138 juta lembar), dan publik 15,92% (526,3 juta lembar).

Dalam keterangan resminya, Group CEO & Co-founder FinAccel Akshay Garg menargetkan proses akuisisi rampung pekan ini. Semua persetujuan regulator untuk akuisisi Bank Bisnis, termasuk dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah diperoleh.

“Meski Kredivo telah memimpin penyedia kredit digital lewat bisnis paylater dalam beberapa tahun terakhir, digitalisasi layanan perbankan di Indonesia baru saja dimulai. Sejalan dengan misi kami untuk memberikan layanan keuangan dengan cepat, terjangkau, dan luas, kami siap melayani pengguna dengan produk perbankan bertaraf dunia ke depannya,” ungkap Akshay.

Sementara itu, perwakilan pemegang saham dari keluarga Suriadi menambahkan, “Bank Bisnis memiliki sejarah panjang dan membanggakan. Di saat sektor perbankan secara cepat mengarah ke digitalisasi, kami sangat senang menyambut FinAccel sebagai pemegang saham mayoritas baru Bank Bisnis. Kami mendukung visi mereka untuk membangun franchise digital bank terdepan di Indonesia,” demikian pernyataannya.

Fenomena fintech akuisisi bank

Sebagaimana dipaparkan pada artikel sebelumnya, akuisisi FinAccel akan memungkinkan Bank Bisnis untuk dapat memanfaatkan teknologi, data, dan customer base yang telah dimiliki oleh FinAccel untuk mengincar pasar yang selama ini belum terlayani oleh merchant-merchant online di Indonesia.

Saat ini, FinAccel menaungi produk paylater Kredivo dan lending Kredifazz. Kredivo tercatat punya 5 juta pengguna tahun lalu dengan ketersediaan layanan di lebih dari 1.000 merchant di Indonesia.

Dihubungi oleh DailySocial.id, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan ada sejumlah alasan mengapa startup fintech gencar mengakuisisi bank di Indonesia, terutama startup yang menyalurkan pinjaman, baik ke pengguna maupun modal bagi pelaku UMKM

Sebagai konteks, kami mencatat ada beberapa aksi serupa induk Kredivo, di antaranya Akulaku dan Bank Neo Commerce, WeLab dan Bank Jasa Jakarta, dan yang baru-baru ini diberitakan Amartha dan Bank Victoria Syariah (belum terkonfirmasi). Startup fintech di bidang investasi, Ajaib juga mengakuisisi Bank Bumi Artha pada November 2021.

Pertama, OJK mengatur batasan maksimum pinjaman oleh fintech lending sebesar Rp2 miliar. Apabila meminjam ke perbankan, plafon yang ditawarkan bisa lebih tinggi.

Fintech tidak bisa terus-menerus berharap pada lender ritel karena biaya bunga yang diberikan cukup mahal. Sementara, pendanaan fintech yang bersumber dari institutional lender dibatasi OJK. Maka itu, fintech mengakuisisi bank sehingga sumber pendanaan dari simpanan nasabah bank dapat mendorong penyaluran pinjaman fintech,” paparnya.

Jika dilihat, kebanyakan bank yang dicaplok adalah bank kecil. Selain lebih mudah untuk melakukan transformasi karena infrastruktur dan kantor cabangnya kecil, bank kecil dijual murah karena tidak mampu memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK.

Dalam gambaran menyeluruh, aksi korporasi di atas bermuara pada satu misi yang sama, yakni mendorong inklusi keuangan ke segmen underbanked dan unbanked. “Perbankan selalu kesulitan mendorong pinjaman ke segmen mikro karena biaya operasional terlalu mahal. Sementara, fintech banyak menggarap segmen mikro. Jadi, bank tidak perlu report channeling pinjaman mikro ketika merger dengan startup.”

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Jadi Pengendali Saham Bank Bisnis Internasional

PT FinAccel Teknologi Indonesia memantapkan langkahnya untuk masuk ke bank digital di tahun ini. Usai menambah kepemilikan sahamnya, induk usaha Kredivo dan Kredifazz ini resmi menjadi pengendali Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI).

Berdasarkan keterbukaan di Bursa Efek Indonesia pada 14 Februari 2022, FinAccel menambah kepemilikan saham di Bank Bisnis sebesar 1,15 miliar lembar saham atau setara dengan 35% saham.

Sebelumnya, FinAccel mencaplok 24% saham Bank Bisnis pada Mei 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya menjadi 40% pada Oktober 2021. Dengan demikian, FinAccel kini menguasai 75% saham Bank Bisnis.

Struktur kepemilikan saham setelah pengambilalihan saham menjadi sebagai berikut; FinAccel Teknologi Indonesia memiliki 75% dengan kepemilikan 2,48 miliar lembar saham, Sundjono Suriadi memiliki 4,91% dengan 162,4 juta lembar saham, PT Sun Antarnusa 4,17% (138 juta lembar), dan publik 15,92% (526,3 juta lembar).

“Pengajuan pengmbilalihan saham ini sudah disampaikan ke OJK pada 10 Februari 2022 dan telah disetujui oleh OJK,” demikian disampaikan dalam keterangan resmi Bank Bisnis.

Babak lanjutan kompetisi bank digital

Sebelumnya, strategi pengendali saham bank telah dilakukan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia terhadap PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB). Secara bertahap, Akulaku resmi menguasai kepemilikan saham BNC pada Juli 2021.

Akuisisi FinAccel akan memungkinkan Bank Bisnis untuk dapat memanfaatkan teknologi, data, dan customer base yang telah dimiliki oleh FinAccel untuk mengincar pasar yang selama ini belum terlayani oleh merchant-merchant online di Indonesia.

Saat ini, FinAccel menaungi produk paylater Kredivo dan lending Kredifazz. Kredivo tercatat punya 5 juta pengguna tahun lalu dengan ketersediaan layanan di lebih dari 1.000 merchant di Indonesia.

Kredivo telah terintegrasi di hampir seluruh e-commerce terkemuka di Indonesia, seperti Bukalapak, Lazada, Tokopedia, Blibli, Bhinneka, hingga Sociolla. Pencapaian di atas mengukuhkan posisi Kredivo sebagai penguasa pangsa pasar kartu kredit yang selama ini penetrasinya masih rendah di Indonesia.

Dalam rangkuman DailySocial.id, pertarungan bank digital telah dimulai sejak tahun lalu, setidaknya dimulai dari komersialisasi layanan dari Bank Neo Commerce (Neo+), Bank Jago (Jago App), Bank Seabank Indonesia (SeaBank), dan BCA Digital (blu). Untuk tahap awal, bank digital masuk lewat produk saving dan fitur pengaturan keuangan dengan target pasar rata-rata di segmen ritel, milenial, dan mass market.

Jelang akhir 2021, persaingan bank digital semakin kencang dengan semakin banyaknya aksi akuisisi bank mini untuk memenuhi kewajiban modal minimum bank dan transformasi anak usaha. Beberapa di antaranya adalah Bank BRI lewat anak usaha BRI Agro (sekarang Bank Raya), BNI mencaplok Bank Mayora, dan aksi right issue Allo Bank.

Dengan dinamika yang terjadi di sepanjang 2021, bisa jadi bank digital akan memulai babak baru dengan masuk ke produk pinjaman (lending). Tahun lalu, bank digital melakukan penetrasi pasar dengan produk saving sebagai upaya eksplorasi tahap awal untuk membangun basis pelanggan.

Salah satunya adalah Bank Jago yang berencana mendorong kemitraan layanan dan ekosistem produk, termasuk produk lending di tahun ini. Terakhir, Bank Jago tercatat telah bekerja sama dengan 19 mitra dari berbagai vertikal, mulai dari e-commerce, lending, dan investment.

BNI akan Akuisisi 63,92% Saham Bank Mayora, Langkah Strategis Bangun Bank Digital

PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) akan mengakuisisi PT Bank Mayora melalui pengambilalihan saham sebesar 63,92%. Aksi korporasi ini menjadi langkah strategis BNI untuk mendirikan bank digital.

Berdasarkan prospektus akuisisi yang diterbitkan pada 22 Januari 2022, BNI akan mengambil alih saham Bank Mayora melalui penerbitan saham baru sebanyak-banyaknya 1,02 miliar saham atau 54,9% dari saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh.

BNI juga akan mengambil sebanyak 169,08 juta saham Bank Mayora milik International Finance Corporation (IFC). Dengan demikian, BNI akan mengantongi 1,19 miliar saham Bank Mayora atau setara 63,92% dari total saham ditempatkan dan disetor ke Bank Mayora.

Sebelumnya, IFC pernah berinvestasi melalui penyertaan modal sebesar Rp290 miliar ke Bank Mayora untuk mendukung pembiayaan UMKM di Indonesia.

Perwakilan manajemen BNI mengungkap tren kemunculan produk digital, terutama pada layanan keuangan, mendorong perusahaan untuk mencaplok Bank Mayora. Dengan strategi anorganik ini, pihaknya dapat mendorong transaksi keuangan di kalangan masyarakat dengan layanan digital.

“Untuk dapat mendukung transaksi digital dan sejalan dengan transformasi BNI, perseroan akan membentuk suatu bank digital melalui strategi anorganik, yakni mengambil alih Bank Mayora yang selanjutnya akan ditransformasikan menjadi bank digital,” tulis manajemen BNI.

Adapun, saat ini saham Bank Mayora tersisa 36,98% yang struktur kepemilikannya terdiri dari Bank Mayora (80%) dan IFC (20%). Kesepakatan pengambilalihan saham telah disetujui oleh direksi dan dewan komisaris kedua bank terkait.

BNI akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 15 Maret 2022 untuk meminta persetujuan pemegang saham terkait akuisisi Bank Mayora. Pihaknya menargetkan dapat mengantongi izin OJK pada April 2022 sehingga akuisisinya terhadap Bank Mayora dapat efektif pada Mei 2022.

Sebagai informasi, Bank Mayora merupakan bank di bidang ritel dan konsumer yang menawarkan berbagai produk keuangan, mulai dari pinjaman (lending) dan simpanan (funding). Beberapa produk pinjaman yang ditawarkan di antaranya Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Multi Guna (KMG), dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Pengembangan produk keuangan UMKM

Sebagaimana diungkap Direktur Utama BNI Royke Tumilaar beberapa waktu lalu, bank digital baru ini akan membidik segmen UMKM dan menggandeng mitra strategis berpengalaman untuk mengembangkan produk keuangan digital.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sebesar 65,5 juta UMKM di 2019 atau naik 1,98% dari 64,2 juta di 2018. Sementara, baru sekitar 8 juta atau 13% UMKM yang terintegrasi atau memanfaatkan teknologi digital.

Apabila bicara strategi akselerasi, bank digital baru ini dapat memanfaatkan ekosistem jaringan rantai pasokan yang dimiliki Grup Mayora melalui produk lending dan saving sebagai langkah awal.

Bahkan, mengutip Kontan, Direktur IT & Operasi Bank BNI YB Hariantono mengungkap akan menggandeng Sea Group sebagai mitra strategisnya. Ia juga menyebut induk usaha Shopee ini akan menjadi pemegang saham di bank digital BNI. Ini menjadi menarik mengingat Sea Group sebelumnya telah masuk ke bank digital dengan mencaplok Bank Kesejahteraan Ekonomi (sekarang SeaBank).

Jika dipetakan dalam lingkup bank BUMN, BNI menyusul BRI yang menggunakan kendaraan bank bermodal kecil untuk mendirikan bank digital. Sebelumnya, BRI mentransformasikan anak usahanya BRI Agro menjadi Bank Raya. Berbeda dengan bank digital BNI, Bank Raya membidik target pasar pekerja informal atau gig economy di 2022.

Sementara itu, Bank Mandiri memilih untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank lewat akuisisi bank baru. Mandiri akan memperkuat segmen perbankan ritel dan wholesale dengan me-rebranding platform Mandiri Online menjadi Livin ‘by Mandiri. Mandiri akan menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan demi menyempurnakan konsep “super app“.

Grab dan Singtel Bergabung sebagai Investor Strategis Bank Fama

PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK) melalui PT Elang Media Visitama mengumumkan bergabungnya Grab dan Singtel sebagai investor strategis PT Bank Fama International (FAMA). Baik Grab dan Singtel mengakuisisi sebanyak 16,26% saham Bank Fama.

Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Grab Holdings Limited (Grab) dan Singtel Telecommunications Limited melalui Singtel Alpha Investments Pte. Ltd. melakukan penyertaan modal lewat penerbatan saham baru di Bank Fama.

Keduanya sepakat mengakuisisi masing-masing sebanyak 2,35 miliar lembar saham baru di Bank Fama atau setara 16,26% dari modal ditempatkan dan disetor Bank FAMA yang telah ditingkatkan.

Usai penerbitan saham baru kepada Grab dan Singtel, komposisi kepemilikan saham EMV di Bank Fama menjadi 62,76%, PT Nusantara Berkat Agung menjadi 4,72%, serta Grab dan Singtel masing-masing memiliki 16,26%.

“Investor strategis ini dalam rangka akselerasi dan pengembangan usaha serta ekosistem digital Bank Fama,” demikian pernyataan dalam keterbukaan informasi BEI.

Adapun, kesepakatan penyertaan saham Grab dan Singtel tertuang dalam Akta Pernyataan Keputusan Pemegang Saham PT Bank Fama International Nomor 2 pada 5 Januari 2022.

Sebelumnya, EMTEK telah mencaplok sebanyak 9 miliar lembar saham Bank Fama atau mewakili 93% dari seluruh modal yang ditempatkan dan disetor. Aksi korporasi ini telah dirampungkan pada Desember 2021. 

Sebagai informasi, Bank Fama berkantor pusat di Bandung dan berdiri sejak 1993 sebagai bank umum dengan modal awal disetor Rp10 miliar. Bank Fama memiliki beberapa jaringan kantor secara online di Bandung, Jakarta, dan Tangerang dengan fokus pasar pada segmen ritel, khususnya UKM. Pada Desember 2020, Bank Fama memiliki modal inti utama senilai Rp1,001 triliun.

Keterlibatan Grab di bank digital

Cukup menarik jika menilik sekilas tentang keterlibatan Grab sebagai salah satu investor strategis di bank digital milik Emtek. Apabila ditelusuri jejak perjalanan keduanya, Grab bukanlah nama baru bagi perusahaan konglomerasi media ini.

Tahun lalu saja, Emtek menyuntik PT Grab Teknologi Indonesia atau Grab Indonesia senilai Rp5,44 triliun sebagai tanda sinergi yang lebih dalam. Per Juni 2021, Emtek tercatat mengantongi 5,88% saham di Grab Indonesia.

Kemudian, baru-baru ini Grab dan Bukalapak ikut terlibat dalam penyerapan right issue di Allo Bank, yang notabene merupakan bank digital milik konglomerat Chairul Tanjung alias CT. Bukalapak kini memiliki 11,49% saham di Allo Bank.

Seperti diketahui, PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) merupakan entitas asosiasi melalui PT Kreatif Media Karya (KMK) yang adalah anak usaha Emtek di bidang media dan digital. Per 31 Maret 2021, Emtek melalui KMK telah menggenggam sebesar 34,88% saham di Bukalapak.

Afiliasi antara Emtek, Grab, dan Bukalapak tampaknya menunjukkan benang merah yang kuat untuk bersama-sama memperluas cakupan ekosistem produk, terutama pada layanan keuangan, melalui kendaraan bank digital di Indonesia.

Bergabungnya Grab juga memperkuat kabar sebelumnya tentang upaya integrasi ekosistem digital yang lebih luas dari commerce, online-to-offline (O2O), dan pembayaran digital di Bank Fama. Di Grab sendiri, super app ini memiliki ekosistem layanan lengkap yang dapat terintegrasi dengan layanan keuangan digital Bank Fama,

Demikian juga Bukalapak masuk melalui Allo Bank, yang mungkin akan menggunakan pendekatan berbeda. Bukalapak diketahui tengah fokus menggenjot jangkauan lini usaha Buka Mitra ke pelaku UMKM di daerah-daerah. Buka Mitra merupakan motor penggerak pertumbuhan kinerja Bukalapak. Keterlibatannya di Allo Bank dapat memampukan perusahaan untuk melakukan penetrasi ke lebih banyak pelaku usaha.

Namun, bukan tidak mungkin, ada potensi sinergi yang lebih besar terjadi antara Bank Fama dan Allo Bank.

CT Bidik 10 Juta Pengguna Allo Bank di Tahun Pertama

PT Allo Bank Indonesia Tbk (IDX: BBHI) akan meluncurkan aplikasi mobile banking secara komersial pada Maret 2022. Untuk tahap awal, perusahaan membidik satu juta pengguna di minggu pertama peluncurannya.

Disampaikan pemilik CT Corp Chairul Tanjung, aplikasi Allo Bank baru tersedia untuk uji coba bagi kalangan karyawan di seluruh anak usahanya. Saat ini, Allo Bank telah dipakai sebanyak 43.000 pengguna.

“Di tahun pertama, kami membidik sebesar sepuluh juta pengguna, tetapi target ultimate kami sebesar 50 juta pengguna,” ungkap pria yang karib disapa CT ini dalam Jumpa Pers Allo Bank, Selasa (1/11).

CT juga menjelaskan bahwa pihaknya masih berupaya membentuk manajemen Allo Bank secara bertahap. Diketahui saat ini jajaran direksi Allo Bank baru terdiri dari Harry Abbas dan Yohanes.

“Kami masih dalam tahap pembentukan manajemen yang solid, kuat, dan menggabungkan talenta Indonesia dan global. Kami harap sudah dapat memiliki manajemen yang utuh pada Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS Allo Bank berikutnya. Mitra strategis kami dapat memberikan usulan terkait kemungkinan [menempatkan] orangnya di manajemen Allo Bank,” tambahnya.

Lebih lanjut, CT mengungkap bahwa Allo Bank ditopang oleh kekuatan teknologi dan ekosistem yang menjadi elemen kunci dalam mendirikan bank digital. Dari aspek teknologi, CT menyebut telah bekerja sama strategis selama dua tahun terakhir dengan bank digital terbesar di dunia untuk mengembangkan sistem teknologi, baik software dan hardware di Allo Bank.

Ia enggan menyebut nama bank ini, tetapi diketahui mitra strategis tersebut adalah WeBank, bank digital milik raksasa teknologi Tencent asal Tiongkok. WeBank memanfaatkan teknologi AI, blockchain, cloud, hingga big data untuk menawarkan berbagai produk keuangan ke segmen UMKM. Saat ini, WeBank telah memiliki lebih dari 200 juta pengguna.

“Demikian juga ekosistem. Meski merasa ekosistem kami sudah kuat, kolaborasi tetap diperlukan di era digitalisasi. Ekosistem digital punya kelemahan, begitu juga ekosistem fisik. Dengan menggabungkan keduanya, kami bisa ciptakan ekosistem solid. Maka itu, kami mengajak ekosistem lain berkolaborasi. Kami yakin platform kami dapat menjawab tantangan dan dapat besar, baik secara transaksi, nasabah, maupun profitability,” ungkapnya.

Ekosistem raksasa Allo Bank

Menurut CT, Allo Bank akan diperkuat dengan ekosistem raksasa yang dimilikinya. Tak hanya dari ekosistem dari anak usahanya saja, Allo Bank akan didukung oleh ekosistem dari sejumlah mitra strategis, seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka.

Sebagai informasi, CT Corp memiliki tiga unit bisnis besar yang terdiri dari Mega Corp (keuangan), Trans Media (media), dan Trans Corp (fashion, ritel, F&B, hospitality, dll).

Pihaknya tengah mempersiapkan sejumlah produk/layanan Allo Bank yang terintegrasi dengan seluruh ekosistem di CT Corp. Sebagai contoh, pengguna Allo Bank dapat bertransaksi secara O2O di Transmart atau membuka rekening melalui media digital.

Ekosistem produk yang dimiliki oleh CT Corp / Sumber: CT Corp

“Kami mengusung konsep one-for-all yang memungkinkan pengguna Allo Bank terhubung dan terintegrasi ke seluruh ekosistem kami. Harapan kami [semua ekosistem] dapat terhubung karena [integrasinya] bertahap dan pasti ada yang diprioritaskan,” paparnya.

Lebih lanjut, CT juga menambahkan bahwa seluruh mitra strategisnya, termasuk Mega Corp dan CT Corp, telah terikat locked up agreement selama tiga tahun terhitung dari tanggal pencatatan. Artinya, selama tiga tahun ini mereka tidak boleh menjual sahamnya demi melindungi kepentingan dari investor retail.

Di sisi lain, CT juga menegaskan bahwa tidak ada upaya untuk menggabungkan Allo Bank dengan anak usaha di bidang perbankan Bank Mega. Menurutnya, Allo Bank dapat berperan sebagai perpanjangan tangan digital dan inovasi bagi anak usaha Mega Corp, seperti Bank Mega, Bank Mega Syariah, serta kepemilikan saham minoritas CT di Bank Pembangunan Daerah.

Baru-baru ini Allo Bank juga mengumumkan aksi penawaran umum terbatas (right issue) senilai Rp4,8 triliun dengan melepas 10,04 miliar saham atau setara 86% dari total modal BBHI seharga Rp478 per saham. Terdapat enam perusahaan yang terlibat sebagai investor, termasuk Bukalapak, Traveloka melalui Abadi Investments, dan Carro melalui Trusty Cars.

Dalam pernyataan sebelumnya, Komisioner Allo Bank Ali Gunawan mengungkap antusiasmenya untuk meluncurkan layanan pinjaman ke masyarakat Indonesia yang kurang dan tidak terlayani oleh produk keuangan, seperti pinjaman, investasi, dan asuransi.

Bukalapak, Carro, Grab, dan Traveloka Dukung Allo Bank; Tren Startup Digital yang Masuk ke Bank Berlanjut

Setelah melakukan rebranding dari Bank Harda pada bulan Juni 2021 lalu, Bank Allo mengalami pertumbuhan positif. Berbagai aksi strategis terus digencarkan untuk mengakselerasi bisnisnya, termasuk menjalin kemitraan dengan CT Group, Salim Group, Bukalapak, Grab, Carro dan Growtheum Capital Partners melalui rights issue yang baru saja diumumkan.

Bank Allo diakuisisi oleh CT Corp melalui perusahaan induknya di bidang jasa keuangan PT Mega Corpora pada bulan Maret 2021 lalu. Misinya akan dijadikan sebuah aplikasi bank digital. Dalam fase awalnya, aplikasi Allo akan dihubungkan dengan berbagai merchant dan layanan di ekosistem CT Corpora. Namun sampai saat ini aplikasi tersebut belum secara resmi meluncur ke publik.

Bukalapak sendiri mengakuisisi jumlah persentase saham terbanyak dalam aksi tersebut, yakni setara 11,49%. Abadi Investment sendiri merupakan entitas yang dimiliki Salim Group. Sementara H Holdings terindikasi lengan investasi yang terafiliasi dengan Grab.

“Bagi Bukalapak, melalui bisnis Mitra dan konektivitasnya dengan vertikal vertikal baru di pasar UMKM, kerja sama ini dapat mengembangkan penawarannya serta aksesibilitas kredit bagi para pelaku usaha di area rural,” kata Pelaksana Tugas Direktur Utama Bukalapak Willix Halim.

Saat ini Bank Allo adalah bank berlisensi penuh yang menawarkan produk rekening pribadi, bisnis, dan rekening gabungan. Penambahan dana ini meningkatkan modal utama Bank Allo menjadi lebih dari Rp6 triliun dan membuat Allo menjadi salah satu bank digital dengan modal yang kuat di Indonesia.

“Kami antusias untuk meluncurkan layanan pinjaman kami di Indonesia, di mana terdapat hampir 280 juta jiwa, namun 50 persennya tidak memiliki rekening bank dan 15 persennya lagi masuk kategori underbanked dengan akses terbatas ke produk-produk pinjaman, investasi dan asuransi. Bank Allo berharap dapat menghadirkan akses yang mudah ke produk-produk finansial untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia melalui sebuah brand yang mereka ketahui dan percaya,” ujar Komisioner Bank Allo Ali Gunawan.

Traveloka juga masuk sebagai mitra strategis

Kemitraan antara sejumlah perusahaan ini juga dipandang oleh Managing Partner Growtheum Capital Partners Amit Kunal sebagai pendorong utama untuk membawa dampak positif bagi kebutuhan bisnis dan individu masyarakat Indonesia.

Kemitraan yang saling melengkapi antara perusahaan-perusahaan terpercaya seperti CT Corp dan Salim Group dengan pemain-pemain teknologi terdepan seperti Bukalapak, Carro, Grab, dan Traveloka akan memberikan Allo akses ke konsumen dan merchant dari semua kategori yang relevan yaitu retail, commerce, ride hailing, delivery, travel, dan auto.

“Kami antusias untuk bekerja sama dengan para manajemen dan pemegang saham untuk membuat produk-produk kredit sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia dan membantu mengembangkanbisnis-bisnis berkelanjutan hingga lintas siklus ekonomi dan generasi,” kata Amit.

Hal senada juga diungkapkan oleh Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi. Menurutnya pendekatan ekosistem terbuka dapat mengakselerasi digitalisasi industri finansial dan mendorong inklusi finansial di seluruh Indonesia. “Kemitraan ini akan membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia, termasuk para pelaku usaha dan bisnis-bisnis kecil dengan membantu mereka bertumbuh bersama sejalan dengan perkembangan ekonomi digital.

Sementara itu Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi menceritakan tujuan mereka dalam kerja sama ini. “Saya antusias untuk menyambut Allo di Traveloka. Sebagai superapp lifestyle, kami adalah platform independen dengan beragam penyedia kredit di Indonesia dan kami akan bekerja sama dengan Allo untuk menyesuaikan produk-produk pinjaman ini dengan kebutuhan gaya hidup dan aspirasi para pengguna kami.”

Sebagai platform, Carro mengklaim selama ini selalu berupaya melakukan inovasi dan menciptakan produk-produk sesuai kebutuhan para mitra dan konsumen. Melalui kemitraan ini dilihat sebagai kelanjutan dari perjalanan Carro dalam menyediakan pengalaman digital first yang kuat serta menggunakan big data untuk memberikan manfaat bagi para konsumen.

“Kemitraan ini akan memberikan kami akses ke produk-produk perbankan digital yang menarik untuk memenuhi kebutuhan mitra dan konsumen kami di Indonesia,” kata Co-founder & CEO Carro Aaron Tan.

Bank digital dan dukungan startup teknologi

Dukungan startup atau perusahaan teknologi terhadap realisasi bank digital terus bergulir di Indonesia. Konsep open ecosystem menjadi salah satu ciri khasnya, agar memungkinkan layanan finansial yang diusung bank tersebut dapat diintegrasikan dan menjadi sistem pendukung di platform teknologi terkait.

Strategi ini juga dinilai menjadi jalan terbaik untuk merangkul basis nasabah besar. Dengan terintegrasi di aplikasi konsumer tertentu, para bank tersebut berpotensi menjaring lebih banyak adopter — terlebih proses on-boarding juga sudah sepenuhnya dapat dilakukan secara digital. Hal ini mulai terlihat dengan acaranya penyematan proses pendaftaran bank ke aplikasi digital tertentu.

 

Nama Bank Mitra Strategis (Perusahaan Teknologi)
Allo Bank Bukalapak, Grab, Traveloka, Carro
Upbanx Ekosistem Fazz Financial
Bank Jasa Jakarta WeLab
Bank Sampoerna Koinworks
Bank Jago Ekosistem GoTo, Bibit
Bank Bumi Artha Ajaib
Bank Hijra Alami
Neo Commerce Akulaku
Bank Kesejahteraan Ekonomi Ekosistem Sea Group
Bank Hana LINE
Bank Bisnis Kredivo

Investasi ke bank digital oleh platform teknologi juga memiliki alasan kuat, pasalnya platform finansial akan menjadi landasan penting dalam proses bisnis mereka. Di tren awal, semua itu masih cukup terakomodasi dengan layanan e-money, namun adanya potensi perputaran uang yang lebih besar, intergasi secara langsung dengan sistem perbankan dianggap lebih menjanjikan.

Analisis Pendanaan, Merger GoTo, Bank Digital, NFT, dan Artikel Populer Lain Sepanjang 2021

Salah satu tujuan DailySocial.id adalah menghadirkan wawasan mendalam seputar industri kepada ekosistem kewirausahaan digital di Indonesia. Sepanjang tahun 2021 –masih di tengah suasana pandemi Covid-19—ekosistem startup masih memperlihatkan dinamika yang menarik untuk diikuti. Unicorn baru, konsep bisnis baru yang menjadi populer, hingga aksi-aksi penting perusahaan turut andil di dalamnya.

Berikut ini kami rangkum sejumlah artikel populer di DailySocial.id sepanjang 2021. Daftar ini merupakan sajikan spesial, karena berisi ulasan/analisis mendalam seputar topik tertentu yang tengah banyak diperbincangkan oleh pemain industri.

Analisis Pendanaan

Data pendanaan selalu menjadi komoditas berita menarik dalam media bisnis dan startup teknologi. Kami memberikan rangkuman tren pendanaan setiap kuartal untuk melihat bagaimana sektor-sektor tertentu dalam industri mendapatkan perhatian dari para investor.

Banyak temuan menarik yang diungkapkan, sepanjang Q3 2021 ini pendanaan lanjutan (seri A dan di atasnya) mulai banyak mendominasi di ekosistem startup Indonesia, baik dari sisi nominal yang dibukukan ataupun jumlah transaksi.

Selengkapnya simak artikel-artikel berikut ini:

Bank digital mulai bersinar

Bisnis bank digital juga menjadi topik yang sangat hangat diperbincangkan sepanjang tahun 2021. Kehadiran model bisnis baru dalam perbankan tersebut digadang-gadang akan menjadi masa depan yang tengah dibentuk oleh pemain industri. Yang tak kalah menarik, banyak perusahaan digital turut andil di dalamnya, baik secara aktif dalam proses pengembangan maupun menjadi penyokong dana.

Untuk memahami perspektif industri bank digital, tahun lalu kami melakukan wawancara dengan sejumlah pemain bank digital yang sudah meramaikan industri. Konteksnya untuk mendalami, visi seperti apa yang akan mereka realisasikan dengan model bisnis tersebut. Berikut ini daftar artikelnya:

Selain itu, terdapat ulasan yang menyoroti tentang bagaimana sinergi mutualisme antara startup dan bank digital dapat berdampak pada peningkatan indeks inklusi keuangan di Indonesia. Di sini pembaca dibawa untuk memahami beberapa startup digital yang berinvestasi ke bank digital, seperti Gojek berinvestasi ke Bank Jago, Akulaku ke Bank Neo Commerce, dan Sea Group ke BKE. Selengkapnya di artikel berikut ini: Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan.

Dengan sudut pandang berbeda, editor DailySocial.id juga menyelami hiruk-pikuk kehadiran bank digital, mencoba satu per satu layanan yang sudah meluncur dan memberikan opini terkait impresi awal terhadap aplikasi tersebut. Hingga pada akhirnya disimpulkan bahwa bank digital itu saat ini baru sekadar nice to have, belum benar-benar menyajikan gebrakan yang signifikan hingga menjadi sesuatu yang mendesak untuk dimiliki. Simak cerita pengalaman tersebut melalui artikel ini: Bank Digital Masih Sekadar “Nice to Have”.

Merger GoTo

Dua startup lokal paling fenomenal (dibaca: terbesar dari sisi valuasi) memutuskan untuk merger. Gabungan antara unit bisnis Gojek dan Tokopedia digadang-gadang akan mampu menghasilkan nilai ekonomi yang sangat besar, mengingat keduanya memiliki basis pelanggan dan mitra yang sangat luas. Dalam artikel berjudul “Mendalami Potensi Integrasi Goto, Hasil Merger Gojek dan Tokopedia”, kami mencoba melihat dari sudut pandang lain, yakni potensi kolaborasi antarfitur yang mungkin saling melengkapi – atau saling bertabrakan karena keduanya memiliki unit yang sama.

Secara khusus kami membedah ekosistem layanan di masing-masing platform untuk mengetahui sejauh mana inovasi produk yang telah berhasil mereka telurkan. Di dalamnya termasuk integrasi-integrasi yang telah dilakukan bersama mitra strategisnya. Contohnya untuk studi kasus Gojek digambarkan dalam bagan berikut ini.

Di artikel tersebut di atas, kami juga mengulas dari sudut Tokopedia. Dengan memahami unit-unit produk dan bisnis yang dimiliki, beserta afiliasinya, diharapkan pembaca bisa mendapatkan gambaran tentang bagaimana roadmap produk GoTo ke depannya. Termasuk mendalami aspek-aspek apa saja yang akan menjadi kekuatan utama mereka atas gabungan dua kekuatan yang berbeda tersebut.

Model bisnis baru

Ekosistem startup syarat dengan inovasi layanan yang terus berkembang. Setiap tahun selalu ada model-model baru yang coba ditawarkan oleh para pemain. Salah satu yang cukup mendapatkan perhatian adalah Open Finance, konsep tersebut memungkinkan sebuah layanan fintech disematkan ke dalam berbagai jenis aplikasi digital. Tidak hanya itu, Open Finance dianggap menghilangkan berbagai friksi yang masih menjadi halangan dalam pengembangan ekosistem keuangan digital, misalnya dengan menghadirkan mekanisme skoring kredit yang lebih komprehensif. Ulasan tentang Open Finance kami tulis di sini: Mengenal Ragam Konsep “Open Finance” di Dunia Digital.

Selain Open Finance, NFT juga menjadi satu hal yang cukup menghebohkan menjelang akhir tahun. Selain kreator lokal yang mulai meramaikan ekosistemnya, mulai ada beberapa startup yang coba mengakomodasi kebutuhan di sisi bisnis. Pemahaman tentang NFT dan bagaimana cara konsep tersebut bekerja menjadi banyak dicari. Kami pun secara khusus berbincang dengan beberapa pakar untuk menyimpulkan tentang konsep NFT dan bagaimana potensi yang dapat diberikan untuk ekosistem lokal dalam artikel: Memahami Non-Fungible Token (NFT), Mempercepat Adopsi di Indonesia.

Wawancara eksklusif

Tahun 2021, DailySocial.id juga melakukan wawancara eksklusif dengan banyak pelaku industri. Beberapa di antaranya berhasil mendapatkan perhatian dari pembaca. Berikut ini daftar artikel wawancara paling populer sepanjang tahun lalu:

Kami terus berkomitmen untuk terus menghadirkan artikel-artikel berkualitas yang bermanfaat untuk pelaku industri. Untuk berbagai artikel pilihan lain yang sudah terbit dan yang akan datang dapat Anda nikmati melalui kanal DS Premium: https://dailysocial.id/premium-content.