Tren Perlambatan Iklim Investasi Startup Indonesia di Semester II 2020

Pandemi Covid-19 belum usai, perekenomian juga belum pulih. Indonesia bisa masuk ke periode resesi apabila perekonomian masih mencatat pertumbuhan minus di kuartal III 2020 .

Seluruh sektor bisnis dan industri saat ini sedang mengalami masa sulit karena pandemi. Meskipun demikian, ada juga yang melihat situasi ini sebagai momentum untuk mengakselerasi peran digitalisasi. Ini juga menjadi salah satu manuver terhadap perubahan pasar dan perilaku konsumen di tengah pandemi.

Bagaimana pencapaian transaksi pendanaan startup di Indonesia di semester I 2020 dan seperti apa tren selanjutnya di penghujung 2020?

Pendanaan di semester I 2020

Sebagaimana diberitakan Nikkei, tren investasi di Asia Tenggara justru melonjak pada kuartal II 2020 (periode April-Juni). Pandemi menjadi momentum bagi pelaku bisnis e-commerce dan fintech untuk memperoleh traksi layanan besar seiring dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembatasan sosial dan Work From Home (WFH).

Menurut data DealStreetAsia, Indonesia menyumbang transaksi terbanyak pada periode tersebut dengan 45,8 persen dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Terbanyak kedua dan ketiga adalah Singapura (33,2%) dan Vietnam (7,9%).

Pada semester I 2020, DailySocial mencatat sebanyak 52 transaksi pendanaan startup Indonesia yang diumumkan. Apabila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, memang ada peningkatan dari sebanyak 50 transaksi pendanaan, tetapi tidak signifikan.

Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial
Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial

Jumlah transaksi ini sebetulnya bisa lebih meningkat lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu. Hanya saja pandemi juga mengakibatkan sejumlah kesepakatan pendanaan menjadi mundur dari target semula.

Misalnya, Paxel awalnya menargetkan dapat mengantongi pendanaan baru di kuartal II 2020. Namun, rencana ini terpaksa diundur pada kuartal III 2020. Sementara, Mbiz mengaku kesulitan mencari investor baru karena situasi ini. Bahkan perusahaan di bidang e-procurement ini harus merevisi target penggalangan dana.

Dari sisi tahapan, startup pemula (seed) masih mendominasi transaksi pendanaan. Sementara, startup fintech dan edtech menjadi vertikal bisnis yang paling banyak memperoleh suntikan investasi di semester I 2020.

Tren investasi di kuartal III mulai melambat?

Kuartal ketiga 2020 memang belum berakhir. Namun, berdasarkan data yang dirangkum DailySocial, tren investasi pada kuartal ini terbilang cukup melambat.

Pada periode Juli hingga saat ini (year-to-date), terdapat sebanyak 19 transaksi pendanaan startup di Indonesia. Sebagai gambaran, pada kuartal ketiga 2019 terdapat 30 transaksi pendanaan yang diumumkan sebagaimana dirangkum pada Startup Report 2019.

Beberapa di antaranya berasal dari startup unicorn dan tahap lanjut, yaitu Traveloka dengan perolehan dana sebesar Rp3,6 triliun dan Sociolla sebesar Rp841 miliar.

Valuasi Traveloka sendiri diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir Rp40 triliun) demi memperoleh suntikan dana segar ini. Aksi down round ini terpaksa diambil karena bisnis perusahaan terpukul akibat Covid-19 sehingga mengakibatkan penurunan layanan.

Lebih lanjut, perolehan investasi periode Juli hingga awal September ini masih didominasi oleh beberapa vertikal bisnis yang mendapatkan keuntungan dari situasi saat ini, misalnya beautytech, e-commerce, logistik, dan fintech.

Startup Vertikal Bisnis Pendanaan
Sociolla Beautytech Series E
Payfazz  Fintech Series B
TiinTiin E-commerce Seed
SYCA Beautytech Seed
Kiddo  Edtech  Seed
Traveloka  OTA Series Unknown
Ayoconnect  Fintech Pre-Series B
Wahyoo  Social Enterprise Series A
CrediBook  Fintech  Seed
eFishery  Aquatech Series B
IUIGA E-commerce Series Unknown
BukuKas SaaS Pre-Series A
Tjetak Others Series A
SIRCLO E-commerce Enabler Series B
PasarPolis  Insurtech Series B
PropertyGuru Group Proptech Series Unknown
Webtrace Logistik Seed
CredoLab  Fintech Series A

Akselerasi digital picu optimisme iklim investasi

Dihubungi secara terpisah, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa tren pendanaan startup di kuartal keempat 2020 diprediksi tetap lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengingat situasi pandemi masih berlanjut dan perekonomian belum pulih.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen (year-on-year). Pertumbuhan ini terburuk sejak krisis 1998 di Indonesia. Belum lagi, Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua mulai pekan ketiga September ini.

Kendati demikian, Kenneth mengaku optismistis terhadap tren investasi ke depan mengingat ada banyak vertikal bisnis startup yang justru terdampak positif dari kondisi ini. Hal ini terutama berkaitan dengan akselerasi kapabilitas digital menjadi lebih cepat dan urgent.

Ia juga melihat ke depannya bisa saja jadi momentum konsolidasi lewat merger dan akuisisi (M&A) bagi industri startup. “Ini karena sekaligus mengevaluasi apakah para founder startup tersebut memiliki kemampuan untuk bertahan. Cara bertahan itu banyak, bisa lewat galang pendanaan baru, pivot, dan konsolidasi,” ujarnya kepada DailySocial.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. “Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.

Burn Less Money, Bukalapak Is on The Right Track to Profitability

Bukalapak sets foot in the right position as a sustainable company and towards profitability as a local unicorn compared to its competitors. The company’s business sources are said to be dominated by outside first-tier cities, through its business units, Buka Procurement, Bukalapak Partners, and virtual products.

In Bukalapak’s performance review for the second quarter of this year, Bukalapak’s President, Teddy Oetomo, explained the total processing value (TPV) growth for almost 400% compared to the first quarter of 2018. It is claimed that more than 50% came from transactions outside the first-tier cities.

Related to EBITDA, it was said to increase by more than 60% compared to the fourth quarter of 2018. The company’s burn rate is still in a rational rate. This means that the company continues to make efforts to acquire new users by providing promotions, but in rational numbers. In terms of growth, market share is said to remain stable even during the pandemic.

“Our main key is healthy growth that is in line with the industry and what we have done for 18 months is to continue to increase monetization, rationalize spending so that our income can be more robust,” he explained during a virtual press conference, Friday (11/9).

In terms of the burn-money strategy, Teddy mentioned that promotion is not a bad thing. All newly opened stores must use this strategy. The thing is, too much promotion can be an issue. He said a business considered successful when it can provide the services that users need.

“The key is in added value. Promotions can accelerate growth, but if you are not disciplined you will definitely get headaches. [..] There are our peers who maybe what they spent in that month, is enough for us for a year. ”

Bukalapak CEO Rachmat Kaimuddin also emphasized, “Not all businesses only focused on growth. The solution is to provide added value to encourage the company’s sustainability. ”

Teddy continued, with the company’s focus on Mitra Bukalapak – in line with the plan for the next five years – is in accordance with the current conditions. That e-commerce services are really needed by consumers who are in lower-tier cities, not in the first tier.

“Since 3-4 years ago, we started to make partners in Bukalapak because they need financial inclusion. People just come to the shop to pay for virtual products. In Indonesia alone, there are 5 million stalls. ”

Bukalapak’s main business contributor

On this occasion, also participated in the officials of each Bukalapak’s main business. Regarding Mitra Bukalapak, in the last year, the number of stalls and individuals joining has tripled to a total of around 5 million partners.

The majority of them are still concentrated in Java with 4.5 million partners, then Sumatra (550 thousand partners), East Indonesia (226 thousand partners), and Kalimantan (128 thousand partners). This expansion is supported by additional wholesale stock distribution coverage to more than 50 cities, working with national and local distributors to ensure the availability of goods for partners.

In terms of payment innovation, transactions at Mitra stalls using the QRIS payment method increased by more than 50%. “We have also launched products based on financial inclusion, therefore, our hope goes with product diversification in the shop partners can get more turnover and become agents of change,” Howard Gani, SVP of Mitra Bukalapak said.

Virtual products are the second flagship product at Bukalapak. During the pandemic, the average growth of virtual products reached more than 60% compared to before the pandemic period. This increase occurred for pulses and data packages, bill payments, streaming vouchers, study vouchers for online courses, and gift card purchases.

The company alone provides more than 30 types of digital products, which are available on the marketplace platform or the Bukalapak Partners application. This virtual product category includes investment products; bill payments, credit cards, and BPJS; travel, purchase of credit and electricity tokens; and credit loans.

“There are various kinds of virtual products, some have dropped due to the impact of the pandemic, such as travel tickets, events, and transportation,” Bukalapak’s Director of Payment, Fintech & Virtual Products, Victor Putra Lesmana said.

Moreover, there is BukaPengadaan product that has been released since 2017. The director of BukaPengadaan Hita Supranjaya said that the growth in the number of customers was more than 48% and more than 32% of sellers who joined from the beginning of the year to August 2020. The most sought-after products were MRO tools. , masks, disinfectants, PPE & rapid tests, electricity vouchers, pulses, shopping vouchers, smartphones, and laptops.

“As well as supporting products for lifestyle such as bicycles and medical devices are the list of top corporate or government needs that are fulfilled by SME players,” he explained.

Eventually, the marketplace becomes the oldest service at Bukalapak. VP of Marketplace at Bukalapak. Kurnia Rosyada said, during this pandemic, the company was recorded as receiving around 20 thousand new traders who registered every week. Now it is noted that Bukalapak has around 6 million pelapak and users of more than 90 million people. The platform has also been integrated with 26 financial institutions and 12 logistics partners.

Regarding shopping trends, Kurnia explained that there is currently a shift in online shopping time activity. Before the pandemic, the biggest increase was at night when I came home from work, now it is evenly distributed every day. Even the products that are widely purchased are also more dynamic, the beginning of a pandemic, the most sought-after products are health-related.

“The currently rising products are in the category of bicycles, sports equipment, games for children, such as tents, swimming pools, and gardening tools. This cycle of market changes is much faster than before the pandemic,” he concluded.

Competitor’s performance

Bukalapak’s enthusiasm is quite different from its competitors. Shopee is the closest, considering that the company also boasted of its achievements in the second quarter of 2020.

In the performance exposure of Shopee’s parent company, SEA, it is said that the company’s adjusted revenue growth was $ 510.6 million, up 187.7% YoY from the same period in the previous year.

Indonesia is Shopee’s biggest source of business, recording more than 260 million transactions during the second quarter. On average, Shopee manages to record more than 2.8 million transactions a day. Compared to the second quarter of 2019, Shopee recorded an increase of more than 130%.

However, the company is yet to be profitable. It is due to the adjusted loss at $305.5 million or greater than the previous year’s $248.3 million. However, the company is making progress towards profitability, adjusted EBITDA loss per order from $1.01 to $ 0.5.

Looking at the GMV number, there was a drastic growth of 109.9% or $ 8 billion, compared to the previous quarter in the first quarter with an increase of 74.3% YoY.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kurangi Bakar Uang, Bukalapak Dalam Posisi Tepat Menuju Profitabilitas

Bukalapak membuktikan posisinya dalam posisi yang tepat sebagai perusahaan berkelanjutan dan menuju arah profitabilitas sebagai unicorn lokal dibandingkan kompetitornya. Sumber bisnis perusahaan dikatakan didominasi dari kota-kota di luar tier 1, melalui unit-unit bisnisnya yakni Buka Pengadaan, Mitra Bukalapak, dan produk virtual.

Dalam paparan kinerja Bukalapak untuk periode kuartal II tahun ini, President Bukalapak Teddy Oetomo menerangkan pertumbuhan total processing value (TPV) hampir 400% dibandingkan dari kuartal pertama 2018. Diklaim pertumbuhan TPV ini mayoritas lebih dari 50% datang dari transaksi yang berasal di luar kota tier 1.

Berikutnya, terkait EBITDA tercatat naik hingga lebih dari 60% dibandingkan kuartal IV 2018. Burn rate perusahaan berada dalam posisi yang masih rasional. Artinya, perusahaan tetap melakukan upaya akuisisi pengguna baru dengan memberikan promosi, akan tetapi dalam angka yang rasional. Dari sisi pertumbuhan marketshare dikatakan tetap stabil walau di masa pandemi.

“Kunci utama kami adalah pertumbuhan sehat yang selaras dengan industri dan yang kita lakukan selama 18 bulan adalah terus meningkatkan monetisasi, merasionalkan pengeluaran sehingga penghasilan kita bisa lebih robust,” terangnya saat konferensi pers secara virtual, Jumat (11/9).

Terkait strategi bakar uang, Teddy bilang bahwa memberikan promosi itu bukanlah hal yang salah. Semua toko yang baru buka pasti menggunakan strategi tersebut. Hanya saja, promosi yang kebablasan tersebut bisa menjadi masalah. Menurutnya, bisnis yang berhasil itu kalau kita bisa memberikan layanan yang dibutuhkan pengguna.

“Kuncinya ada di value added. Untuk percepat pertumbuhan bisa dengan promosi, tapi kalau enggak disiplin pasti akan pusing kepala. [..] Ada peers kita yang mungkin apa yang mereka spent dalam sebulan itu, cukup buat kita selama setahun.”

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin turut menegaskan, “Enggak selalu bisnis berharap ke growth semata. Solusinya adalah memberikan nilai tambah yang bisa membuat perusahaan dapat sustain.”

Teddy melanjutkan, dengan fokusnya perusahaan ke Mitra Bukalapak -sesuai dengan rencana sampai lima tahun mendatang- telah sesuai dengan kondisi apa yang paling dibutuhkan konsumen. Bahwa sejatinya layanan e-commerce ini sangat dibutuhkan konsumen yang berada di kota lapis bawah, bukan di tier 1.

“Sejak 3-4 tahun lalu kita mulai bergerak dengan membuat Mitra Bukalapak karena mereka butuh inklusi keuangan. Masyarakat tinggal datang ke warung untuk bayar produk virtual. Di Indonesia sendiri ada 5 juta warung.”

Kontributor bisnis utama Bukalapak

Dalam kesempatan ini turut hadir dalam paparan tersebut oleh petinggi di masing-masing bisnis utama Bukalapak. Untuk Mitra Bukalapak, dalam setahun terakhir jumlah warung dan individu yang bergabung naik hingga tiga kali lipat dengan total sekitar 5 juta mitra.

Lokasinya mayoritas masih terpusat di Jawa dengan angka 4,5 juta mitra, lalu Sumatera (550 ribu mitra), Indonesia Timur (226 ribu mitra), dan Kalimantan (128 ribu mitra). Perluasan ini didukung oleh tambahan cakupan distribusi stok grosir ke lebih dari 50 kota, bekerja sama dengan distributor nasional dan lokal untuk memastikan ketersediaan barang untuk para mitra.

Dari sisi inovasi pembayaran, transaksi di warung Mitra yang menggunakan metode pembayaran QRIS naik lebih dari 50%. “Kami juga meluncurkan produk-produk berbasis inklusi keuangan, sehingga harapan kami dengan adanya diversifikasi produk di warung, mitra bisa mendapatkan omzet lebih banyak dan jadi agen perubahan,” kata SVP of Mitra Bukalapak Howard Gani.

Produk virtual menjadi produk andalan kedua di Bukalapak. Selama pandemi berlangsung, pertumbuhan rata-rata produk virtual mencapai lebih dari 60% dibandingkan sebelum masa pandemi. Kenaikan ini terjadi untuk produk pulsa dan paket data, pembayaran tagihan, voucher streaming, voucher belajar untuk kursus online, dan pembelian gift card.

Perusahaan sendiri menyediakan lebih dari 30 jenis produk digital, yang tersedia di platform marketplace ataupun aplikasi Mitra Bukalapak. Kategori produk virtual ini mencakup produk investasi; pembayaran tagihan, kartu kredit, dan BPJS; perjalanan, pembelian pulsa dan token listrik; dan pinjaman kredit.

“Produk virtual ini beraneka macam, ada juga yang turun karena berdampak pada pandemi, seperti tiket perjalanan, event, dan transportasi,” tutur Director of Payment, Fintech & Virtual Products Bukalapak Victor Putra Lesmana.

Berikutnya adalah produk BukaPengadaan yang telah dirilis sejak 2017. Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya mengatakan, pertumbuhan jumlah pelanggan lebih dari 48% dan lebih dari 32% penjual yang bergabung dari awal tahun hingga Agustus 2020. Produk-produk yang paling banyak dicari adalah alat-alat MRO, masker, desinfektan, APD & rapid test, voucher listrik, pulsa, voucher belanja, smartphone dan laptop.

“Serta pendukung gaya hidup seperti sepeda dan alat-alat kesehatan menjadi daftar kebutuhan teratas korporasi atau pemerintah yang dipenuhi oleh para pelaku UMKM,” terangnya.

Terakhir untuk produk marketplace yang menjadi produk tertua di Bukalapak. VP of Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada mengatakan, hingga pandemi ini tercatat perusahaan menerima sekitar 20 ribu pelapak baru yang mendaftar setiap minggunya. Kini tercatat Bukalapak memiliki sekitar 6 juta pelapak dan pengguna lebih dari 90 juta orang. Platformnya juga telah terintegrasi dengan 26 institusi keuangan dan 12 mitra logistik.

Terkait tren belanja, Kurnia memaparkan bahwa saat ini terjadi pergeseran waktu belanja online. Sebelum pandemi, kenaikan terbesar adalah saat malam hari ketika pulang kerja, sekarang justru lebih merata setiap harinya. Pun dari produk yang banyak dibeli juga lebih dinamis, awal pandemi produk yang paling banyak dicari berkaitan dengan kesehatan.

“Sekarang yang naik justru kategori sepeda, alat-alat olahraga, permainan untuk anak, seperti tenda, kolam renang, dan alat berkebun banyak dicari. Siklus perubahan pasar ini jauh lebih cepat daripada sebelum pandemi,” tutup dia.

Kinerja kompetitor

Semangat yang digelorakan Bukalapak memang berbeda dengan apa yang terjadi di kompetitornya. Shopee menjadi yang terdekat, mengingat perusahaan tersebut juga sempat sesumbar dengan pencapaiannya di kuartal II 2020.

Dalam paparan kinerja induk Shopee, Sea, dikatakan pertumbuhan pendapatan yang disesuaikan (adjusted revenue) perusahaan sebesar $510,6 juta atau naik 187,7% secara yoy dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Indonesia menjadi sumber bisnis terbesar Shopee, mencatatkan pencapaian transaksi lebih dari 260 juta transaksi selama kuartal II. Jika di rata-rata dalam sehari Shopee berhasil mencatatkan lebih dari 2,8 juta transaksi. Dibandingkan dari kuartal II 2019, Shopee mencatat adanya peningkatan lebih dari 130%.

Kendati demikian, perusahaan ini masih mencatat rugi. Lantaran, kerugian yang disesuaikan (adjusted loss) sebesar $305,5 juta atau lebih besar dari tahun sebelumnya $248,3 juta. Tetapi perusahaan membuat ada kemajuan untuk menuju profitabilitas, kerugian EBITDA yang disesuaikan per pesanan dari $1,01 menjadi $0,5.

Melihat dari angka GMV, tercatat terjadi pertumbuhan yang drastis mencapai 109,9% atau senilai $8 miliar, dibandingkan sebelumnya pada kuartal pertama dengan kenaikan 74,3% secara yoy.

Application Information Will Show Up Here

Menyenangkan Hati Konsumen dengan Gamifikasi

Gamifikasi kini menjadi barang yang lumrah untuk kalangan perusahaan teknologi dalam rangka meningkatkan engagement dengan pengguna. Hampir semua platform e-commerce di Indonesia menerapkannya.

Shopee menjadi platform paling gencar merilis rangkaian gamifikasi ke strategi pemasarannya. Strategi ini berbentuk in-app game dan pertama kali diinisiasi pada 2018. Gamifikasi melengkapi rangkaian pengalaman yang berbeda yang ingin ditawarkan perusahaan ke para pengguna.

Game pertama yang dirilis adalah Goyang Shopee yang diklaim dimainkan 500 juta kali hingga pertengahan tahun lalu. Strategi ini kemudian disusul Shopee Tanam, Shopee Tangkap, dan Shopee Lempar. Saat ini rangkaian permainan terbaru mencakup Shopee Candy, Shopee Poly, Shopee Joget, dan Shopee Capit.

Gameplay dan instruksi setiap game tersebut cenderung mudah diikuti. Misalnya Shopee Candy memiliki konsep serupa permainan populer Candy Crush.

Game lainnya yang cukup populer adalah Shopee Tanam. Pengguna harus rajin menyiram tanaman dengan air sampai panen untuk mendapat hadiah yang diinginkan. Mereka harus sabar menunggu sampai wadah air terisi penuh selama tiga setengah jam atau saling membantu tanaman milik teman-temannya agar tujuan cepat tercapai.

shopee tanam

Hadiahnya bervariasi, mulai dari koin untuk berbelanja di Shopee, gratis ongkos kirim, voucher belanja, dan sebagainya. Strategi ini dianggap berhasil membuat konsumen rajin mengunjungi aplikasi sekadar untuk melanjutkan game yang ia tinggalkan.

“Dengan adanya berbagai inovasi tersebut, aplikasi Shopee terbukti meraih peringkat pertama untuk aplikasi e-commerce dengan pengguna aktif terbanyak, jumlah download dan total time spent in-app on Android berdasarkan App Annie,” kata Direktur Shopee Indonesia Handhika Jahja saat konferensi pers secara virtual beberapa waktu lalu.

Secara terpisah, dalam wawancara bersama DailySocial, PR Lead Shopee Indonesia Aditya Maulana menambahkan, inisiatif ini juga dimanfaatkan mitra brand dan mitra penjual sebagai salah satu strategi yang dapat meningkatkan online presence dan menarik minat pengguna dengan menghadirkan hiburan saat berbelanja.

Dalam merilis game-game tersebut, Aditya menuturkan, perusahaan mendengarkan tanggapan dan permintaan pengguna. Salah satunya dengan inovasi layanan terbaik yang sesuai dengan preferensi belanja masing-masing pengguna.

“Berangkat dari pemahaman tersebut, setiap in-app games yang dihadirkan Shopee bertujuan untuk memberikan pengguna pengalaman menyenangkan, serta dapat memberikan keuntungan saat berbelanja seperti koin Shopee atau potongan belanja langsung pada pembelanjaan berikutnya.”

Dia melanjutkan, “Seperti salah satu in-app game kesayangan para pengguna yaitu Shopee Tanam. Inisiatif ini merupakan cerminan sisi kreatif dan inovatif Shopee yang juga mengakomodir waktu luang panga pengguna selama berada di rumah.”

Pihak Shopee tidak menyebutkan statistik dampak kehadiran in-app game ini.

Perbandingan engagement aplikasi e-commerce terpopuler di Indonesia selama Mei-Juli 2020 menurut SimilarWeb / SimilarWeb
Perbandingan engagement aplikasi e-commerce terpopuler di Indonesia selama Mei-Juli 2020 menurut SimilarWeb / SimilarWeb

Bukalapak juga melihat gamifikasi sebagai cara meningkatkan engagement dengan pengguna. “Fitur ini adalah sarana perusahaan untuk terus dekat dengan pengguna. Tentunya, melalui game, kami ingin pengguna kami bersenang-senang sambil berbelanja di aplikasi Bukalapak, sekaligus sarana menjadikan Bukalapak sebagai everyday platform,” tutur Head of New Customers and O2O Growth Bukalapak Hans Calvin.

Hans mengklaim kehadiran gamifikasi efektif menjadi pendukung terhadap kenaikan GMV. Dikatakan 80% pengguna Bukalapak yang terbiasa bermain in-app game secara otomatis menjadi pengguna aktif bulanan. Dari angka tersebut, sebanyak 30% pengguna di antaranya aktif dan rutin bertransaksi di aplikasi.

“Hal tersebut mendorong kami untuk memberikan banyak hadiah yang bernilai besar sebagai daya tarik games di aplikasi kami, agar kami dapat terus melanjutkan tekad kami, dekat dengan pengguna.”

Rangkaian in-app game yang dirilis perusahaan di antaranya Pencetmania, Roda Rejeki, Gosok-Gosok, Potongan Kakap, Contekan TTM, Serbu Seru, Ajak-ajak Berhadiah, Pohon Rejeki, Bonus Beruntun, dan Seru Berhadiah. Dalam menciptakan game tersebut, tim yang ia pimpin melihat setiap game memiliki siklus hidup seperti layaknya online game pada umumnya.

“Kemunculannya di awal biasanya banyak menarik para pengguna kami, tetapi perlahan kemudian traffic-nya menurun. Oleh karena itu, untuk mempertahankan antusiasme pengguna, kami merilis dan memperbarui aneka game tersebut setiap tiga bulan.”

Grab dan Gojek

Kedua kompetitor ini salip-menyalip dalam menyediakan fitur di dalam aplikasinya. Gojek lebih dahulu memperkaya fitur game GoGames lewat kerja sama dengan pihak ketiga platform online game lokal MainGame yang diresmikan pada Mei lalu. Sebelumnya, perusahaan telah bekerja sama dengan Area 120 (divisi eksperimental Google) bernama GameSnacks.

Dalam keterangan resmi, Head of Third Party Platform Gojek Sony Radhityo berharap ketersediaan permainan ringan ini dapat mengisi waktu luang pelanggan di tengah karantina mandiri yang telah dilakukan masyarakat selama pandemi.

Baik MainGame ataupun Gamesnacks sama-sama berbasis HTML 5 dan Progressive Web App yang dapat menjangkau semua kalangan karena relatif lebih efisien dan bersahabat untuk semua tipe gawai. Pengguna dapat memainkan berbagai game tanpa harus repot mengunduh aplikasi satu per satu.

Menurut data internal Gojek, pada periode Maret-Mei 2020, fitur GoGames mengalami kenaikan jumlah sesi permainan hingga 64 kali lipat dibandingkan periode Januari-Februari 2020. Jenis game yang paling banyak diakses adalah Bubble Woods (Gamesnacks) dan Cake Slider (MainGame).

Sedangkan Grab mulai menguji coba fitur serupa bernama First Games. Fitur ini baru digulirkan untuk sebagian pengguna dan hanya tersedia di platform Android. Perusahaan belum bersedia memberikan pernyataan lebih lanjut terkait ini.

“Kami secara berkala melakukan uji coba layanan baru di aplikasi kami untuk terus berusaha memberikan nilai tambah pagi pelanggan kami,” ujar juru bicara Grab Indonesia saat dihubungi DailySocial.

Grab menempatkan First Games sebagai cara meningkatkan engagement dengan pengguna karena menyediakan hadiah poin yang dapat ditukarkan dengan voucher, seperti Iflix, Grab, dan pulsa. Tersedia dua mode game yang dapat dipilih, permainan kasual dan arena games untuk melawan banyak pemain (multiplayer) yang memiliki dua subkategori: player vs player (PVP) dan turnament memperebutkan poin atau voucher.

Adapun genre game yang tersedia, mulai dari strategi, aksi, olahraga, puzzle, dan arcade, bisa langsung dimainkan tanpa memerlukan login. Pengguna dapat saling berkompetisi di satu turnamen untuk memperebutkan hadiah.

Grab saat ini mengembangkan fitur Play with Friends untuk bermain bersama teman, sementara baru tersedia untuk game Ludo.

Masih tahap awal

Secara industri, implementasi gamifikasi sebenarnya tidak hanya untuk kebutuhan pemasaran, khususnya meningkatkan engagement. Strategi ini juga dapat digunakan untuk kebutuhan berkaitan pelatihan karyawan atau HR. Di Eropa misalnya, gamifikasi mulai diterapkan untuk industri manufaktur karena masih jauh dari proses digitalisasi.

Sebuah webinar bertopik in-app games yang diselenggarakan British Council Indonesia mengundang Windo Hutabarat, seorang akademisi yang bekerja sebagai Research Associate in Digitalisation of Manufactoring Process University of Sheffield, Inggris. Salah satu kasus yang pernah ia tangani adalah membantu Airbus untuk proses training engineer baru yang perlu medium jig untuk pembelajarannya.

Permasalahan pada waktu itu adalah jumlah jig yang terbatas, namun pelatihan perlu tetap dilakukan karena merupakan komponen penting. Di samping itu, Airbus juga punya kendala bahasa karena jig tersebut dibuat di Tiongkok.

“Dari pain point tersebut, tantangannya adalah bagaimana mengurangi waktu training jig tanpa mengurangi kualitas latihan. Di situ kami memanfaatkan gamifikasi tanpa bermaksud ada proses pelatihan yang dihilangkan,” terang Windo.

Dari serangkaian proses gamifikasi yang dilakukan untuk Airbus, ada temuan menarik saat evaluasi antara karyawan yang melakukan pelatihan secara manual dengan memakai gamifikasi. Untuk masalah hafalan antara keduanya tidak ada bedanya. Tapi untuk interpretasi pengetahuan, orang yang dilatih dengan game punya skor jauh lebih tinggi

“Pada intinya di dunia aerospace, digitalisasi memegang peranan penting untuk meningkatkan produktivitas kerja di masa mendatang. Tapi proses transisinya sangat menantang, oleh karenanya gamifikasi dan industri game bisa dimanfaatkan untuk memperlancar transisi tersebut.”

Dia juga menekankan bahwa pada dasarnya dalam komponen gamifikasi itu harus disesuaikan dengan obyektif yang ingin dituju dan mengaitkannya dengan keinginan manusia untuk merangsang agar tertantang. “Harus menantang agar orang tertarik, punya unsur reward, dan punya aturan yang jelas agar bisa diikuti semua pemain.”

Sumber: Windo Hutabarat
Sumber: Windo Hutabarat

Bisnis gamifikasi B2B Agate

Implementasi gamifikasi di Indonesia sendiri, menurut Co-Founder dan Head Consultant Agate Vincentius Hening W. Ismawan, baru memasuki tahap awal dan dari sisi pemanfaatannya belum semasif di luar negeri. Dengan kata lain, ruang untuk bisnis gamifikasi di ranah enterprise masih terbuka luas.

Dia mencontohkan, ada program loyalitas di luar negeri yang sudah memanfaatkan gamifikasi. Seperti diketahui, umumnya poin-poin yang dkumpulkan dari program ini punya masa berlaku. Namun dengan gamifikasi, pengguna bisa lebih legowo menerima kekalahan dan ikut merasakan keseruan dari bermain game.

“Orang akan less offended ketika kalah main game untuk mendapatkan poin karena itu adalah bagian dari keseruannya. Di Amerika [Serikat] juga menggunakan serious game untuk bagian simulasi militer. Di Indonesia belum sampai sejauh itu,” terangnya.

Dia melanjutkan, “Pemahaman orang Indonesia terhadap gamifikasi ini masih samar-samar. Mereka mengira punya game itu adalah something new yang bisa solve everything. Padahal baru bisa solve everything kalau diimbangi dengan konten yang bagus karena gamifikasi punya KPI untuk mengukur learning journey seseorang.”

Kiprah Agate menyeriusi gamifikasi ini sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu dengan mendirikan divisi sendiri bernama Agate Level Up untuk menangani klien B2B. Hampir separuh dari total tim Agate yang berjumlah 250 orang, ditempatkan untuk menangani bisnis ini.

Perusahaan cukup percaya diri dengan koleksi solusi gamifikasi yang mereka sediakan, tentunya berkat dari jam terbangnya. Solusi tersebut berupa platform manajemen pembelajaran karyawan, pelatihan, penilaian, dan simulasi. Juga, kebutuhan pemasaran buat konsumer, seperti kebutuhan gamifikasi untuk akuisisi konsumen baru, on-ground engagement, dan retention & loyalty game.

Jajaran penggunanya datang dari beragam industri, seperti FMCG, telekomunikasi, finansial, teknologi, farmasi, otomotif, F&B, kosmetik, hingga properti. Tak hanya Indonesia, penggunanya juga datang dari negara-negara kawasan Asia Pasifik dan Amerika Serikat. Bukalapak dan Tokopedia tercatat sebagai pengguna Agate untuk mengembangkan fitur gamifikasi di dalam aplikasi mereka.

Vincentius menjelaskan, implementasi gamifikasi yang paling banyak dimanfaatkan penggunanya adalah in-app enhancement yang memanfaatkan pustaka game versi HTML5 Agate yang luas dan dapat disesuaikan dengan aplikasi tanpa mengubah tampilan sama sekali. Solusi ini diarahkan untuk perusahaan yang sudah memiliki platform-nya sendiri.

“Makanya wajar bila in-app game ini banyak dimanfaatkan pemain e-commerce karena terbukti enggak hanya bisa meningkatkan time spent pengguna karena berkaitan erat dengan retensi. Secara umum, klien kami mengatakan cara ini mampu meningkatkan retensi hingga 30%. Retensi buat e-commerce itu penting karena dekat dengan MAU dan GMV. Jadi game itu punya andil kontribusi ke sana.”

Contoh lainnya yang pernah ditangani Agate adalah kebutuhan pelatihan karyawan untuk industri finansial. Dalam perbankan, terdapat aturan bahwa setiap perusahaan harus mengalokasikan dana sebesar 5% untuk mengadakan program pelatihan. Sekarang banyak perbankan yang memanfaatkan budget tersebut untuk membuat e-learning. Solusinya adalah micro learning & game based content.

“Ada solusi yang lebih kompleks lagi, seperti standalone game based learning untuk pelatihan SOP, VR simulation, dan game based assessment banyak kerja sama dengan psychometric expert untuk kebutuhan rekrutmen.”

Vincentius melanjutkan, dalam setiap solusi ini biasanya perusahaan membutuhkan tim expertise dari non engineer untuk penerapan gamifikasi di luar dunia hiburan. Untuk solusi game based assessment, misalnya, Agate membutuhkan expert di bidang psychometric expert untuk menerjemahkan data-data analitik yang sudah dikumpulkan setiap orang saat rekrutment.

“Game itu harus punya unsur adiktif, membuat orang jadi penasaran. Oleh karenanya, konten gamifikasi itu sangat diperhatikan. Biasanya kami banyak berdiskusi dengan best practice-nya, yakni platform owner-nya tersebut, pengamat industri, dan sebagainya,” tutupnya.

Perjalanan Umrah Berhenti Sementara, PergiUmroh Lakukan Penyesuaian Bisnis

Karena penyebaran Covid-19, Kerajaan Saudi Arabia memutuskan untuk menutup sementara kegiatan umrah dari luar Saudi sejak tanggal 27 Februari 2020. Kondisi ini berdampak langsung pada sejumlah agen perjalanan umrah, tak terkecuali PergiUmroh. Untuk tetap mempertahankan bisnis, sejumlah rencana sudah disiapkan.

Co-founder dan CEO PergiUmroh Faried Ismunandar berbagi cerita kepada DailySocial tentang kondisi ini. Menurutnya kondisi ini hadir di tengah industri perjalanan umrah yang sedang dalam tren pertumbuhan yang cukup signifikan. Sejak tahun 2018 jamaah umrah Indonesia disebut sudah mencapai 1 juta untuk tiap tahunnya. Termasuk juga pembelian melalui platform digital seperti PergiUmroh.

Di kuartal keempat tahun 2019, pertumbuhan terus terjadi. Bahkan sampai Januari 2020 pembelian mencapai rekor tertinggi. Namun sayang, setelah itu pembelian berhenti total.

“Industri secara keseluruhan juga mengalami goncangan, mungkin tidak semua travel agents umrah bisa bertahan. Salah satu yang masih kami syukuri adalah cancelation rate di PergiUmroh sendiri masih bisa dibilang manageable, hanya sekitar 30% yang melakukan cancel dan sisanya masih setuju untuk reschedule. Ini menandakan konsumen yang sudah mempersiapkan diri untuk umrah masih mempunyai keinginan untuk tetap menjalankan umrah walaupun harus tertunda,” terang Faried.

Mengantisipasi perubahan yang menerpa industri, pihak PergiUmroh tidak tinggal diam. Beberapa langkah mulai diambil di awali dengan memastikan semua konsumen mendapatkan informasi yang cukup dan memproses keinginan konsumen.

“Secara bisnis, issue terutamanya adalah main revenue source kami masih belum ada indikasi kapan lagi kita bisa dapatkan. Sehingga yang harus kami lakukan adalah revisit roadmap kami, dan hasilnya adalah kami menarik project yang rencananya kami baru lakukan tahun 2021 – yaitu e-commerce muslim –ke sekarang, karena dari analisa kami ini  salah satu yang feasible untuk menggerakkan perusahaan,” papar Faried.

Perubahan industri dan sejumlah layanan baru

Pandemi sudah berjalan lebih dari setengah tahun. Belum ada tanda-tanda penurunan angka penularan di Indonesia. Tentunya ini berakibat pada ketidakpastian industri umrah. Toh jika suatu saat dibuka perjalanan umrah akan terdapat banyak penyesuaian, seperti pembatasan umum, kuota dalam satu rombongan, dan semacamnya. Kondisi ini akan berdampak pada naiknya biaya umrah.

Sadar kondisi tampak belum segera membaik, PergiUmroh gerak cepat untuk mengupayakan dua hal, pertama mencari revenue stream baru dengan cepat, kedua menguatkan fitur dan layanan di platform. Sehingga ketika waktunya sudah tiba, umrah sudah dibuka, pengalaman dan perjalanan pengguna diharapkan bisa lebih baik lagi.

“Untuk revenue stream baru kami meluncurkan PergiBelanja, reward platform for muslim shoppers. Ini adalah cashback platform belanja dengan target produk dan konsumen muslim pertama. Setiap pembelian di brands partner melalui PergiBelanja, konsumen pasti akan mendapatkan ‘bagi hasil’  yang langsung didapatkan dan kemudian bisa dicairkan ke rekening bank, uang digital, ataupun pulsa. Kami bekerja sama tidak hanya dengan brand besar tapi juga penjual barang dan jasa yang selama ini mengoptimalkan melalui media sosial mereka. Harapannya selain konsumen dapat benefit yang lebih, partner kami juga terbantu dalam penjualan,” jelas Faried.

Sedangkan untuk peningkatan fitur dan layanan, ini mencakup produk (travel halal), metode pembayaran, dan perencanaan seperti tabungan, cara pemesanan, kanal penjualan hingga jumlah mitra yang bergabung. Menurut Faried, belum semua fitur di atas diluncurkan. Ada beberapa yang masih dalam proses. Tak hanya itu, PergiUmroh juga sudah memiliki sejumlah rencana untuk pendanaan.

“Jadi setelah tahun lalu kita masuk di Grab Ventures Velocity, tahun ini PergiUmroh juga masuk dalam program akselerasi oleh Telkom melalui Indigo Creative Nation. Kami sedang persiapan untuk melakukan raise fund juga, segera,” kata Faried.

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

idEA Under a New Successor, to Strengthen the Digital Economy Ecosystem

The Indonesian E-commerce Association (idEA) appointed Bima Laga as the new Chairman for the 2020-2022 management period, replacing the last one, Ignatius Untung. Bima currently serves as AVP of Public Policy and Government Relations at Bukalapak.

While at the association, he has joined the two previous management. First, as the Head of Tax, Cybersecurity, Infrastructure. Second, as Chair of Indonesia’s Digital Economy. Armed with his previous experiences, he wants to strengthen the digital economy and keep it as the focus of idEA’s work during his realm.

In a virtual interview with a limited number of media last week (4/9), Bima said that he wanted to achieve the mission to maintain the existence of idEA as an association in the digital economy, as a partner of the government and regions in the planning of regulations in the creation of Indonesian business climate.

Next, expand the opportunities for micro, small, and medium businesses to take advantage of the digital platform by facilitating onboarding activities and digital sales training. Another mission is to make idEA an independent and open association as a space for all lines of digital economy business.

“In the short term, we want to help make it easier for MSMEs onboarding to digital platforms, that’s one of them. For the long term, we want the marketplace to compete at the international level, therefore, exports will be much easier,” he explained.

In order to harmonize these missions, Bima arranged the management of idEA under 10 working groups (pokja). Each will represent issues and solutions to problems in the digital economy. The 10 working groups are a.l. trade and export sector, data and cybersecurity sector, consumer protection sector, MSME empowerment sector and creative economy, research, and development sector.

Next, the field of taxation and financial technology, the field of logistics and transportation, the field of manpower and human resources, the field of local government relations, and the field of public communication.

Basically the working group was much more detailed and specific than the previous management under Untung. At that time, Untung divided it into four, government relations, external relations, internal relations, and business development & supporting services.

Moreover, the preparation of this work program on these two management offices is a form of the widening focus of idEA’s work which is no longer just an association for e-commerce players, but for the digital economy. The membership contains not only by e-commerce players but also by verticals in other technology industries.

Bima will continue several programs that have been implemented during his previous management to support the plans he has made. One of them is the idEA Works job fair program to attract more digital talents in vocational schools who are ready to work and in accordance with industry needs.

In this regard, he continued, the association is in discussion with the edtech players to collaborate in order to support the mission of preparing new talents. Especially during this pandemic, the entire process of absorbing new workers has shifted to a digital platform. Therefore, talents must be prepared from the start.

“During the pandemic, according to BPS, the still-growing industries are pharmaceuticals and technology. The rest is minus, it means that the technology industry is promising and there is momentum for a rebound. ”

In terms of strengthening regulations such as PP Number 80 of 2019 concerning Trade Through Electronic Systems (PP PMSE), Bima said that his team would continue to oversee its implementation and participate in delivering more effective input. Cyber ​​issues and consumer data protection have recently become sensitive issues and need to be addressed immediately.

During this pandemic, associations played a role in encouraging MSMEs to go digital. You do this by actively holding online workshops that provide beneficial education and mobilizing the National Proud Movement of Indonesia (Gernas BBI). On this occasion, during the May-August 2020 period, it was said that there were 1.6 million new entrepreneurs who joined.

“This is a program of economic recovery by shopping. If people buy local products, then we can move the economy, regardless of what products they buy. The hope is that this will become a sustainable activity and become a roadmap for the country’s economic recovery in the future,” Bima concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

idEA di Bawah Pimpinan Baru, Kembali Lanjutkan Penguatan Ekosistem Ekonomi Digital

Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menunjuk Bima Laga sebagai Ketua Umum baru untuk kepengurusan periode 2020-2022, menggantikan Ignatius Untung yang telah berakhir. Bima saat ini menjabat sebagai AVP of Public Policy and Government Relation di Bukalapak.

Sementara di asosiasi, dia sudah bergabung dalam dua kepengurusan sebelumnya. Pertama, sebagai Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur. Kedua, sebagai Ketua Bidang Ekonomi Digital Indonesia. Berbekal dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, ia ingin menuangkan penguatan ekonomi digital sebagai fokus kerja idEA selama masa kepemimpinannya.

Dalam wawancara terbatas secara virtual bersama sejumlah media pada pekan lalu (4/9), Bima mengatakan misi yang ingin dicapai adalah mempertahankan eksistensi idEA sebagai asosiasi di bidang ekonomi digital sebagai mitra pemerintah dan daerah dalam perumusan regulasi dan pembentukan iklim usaha di Indonesia.

Lalu, memperluas peluang usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memanfaatkan platform digital dengan memfasilitasi kegiatan onboarding dan pelatihan penjualan secara digital. Misi lainnya adalah menjadikan idEA sebagai asosiasi yang independen dan terbuka sebagai bernaungnya semua lini bisnis ekonomi digital.

“Untuk jangka pendeknya, kami ingin bantu permudah UMKM onboarding ke platform digital, itu salah satunya. Kalau untuk jangka panjang, kami ingin marketplace bisa bersaing di tingkat internasional, sehingga ekspor jauh lebih mudah,” terangnya.

Untuk menyelaraskan misi-misinya tersebut, Bima menyusun kepengurusan idEA di bawah 10 kelompok kerja (pokja). Masing-masingnya akan mewakili isu-isu dan pemecahan masalahnya di dalam ekonomi digital. 10 pokja tersebut a.l. bidang perdagangan dan ekspor, bidang data dan keamanan siber, bidang perlindungan konsumen, bidang pemberdayaan UMKM dan ekonomi kreatif, bidang riset dan pengembangan.

Berikutnya, bidang perpajakan dan teknologi finansial, bidang logistik dan perhubungan, bidang ketenagakerjaan dan SDM, bidang hubungan pemerintah daerah, dan bidang komunikasi publik.

Pada dasarnya pokja tersebut jauh lebih rinci dan spesifik dari kepengurusan sebelumnya di bawah Untung. Pada waktu itu, Untung membaginya jadi empat, yakni government relation, external relation, internal relation, dan business development & supporting service.

Terlebih itu, penyusunan program kerja ini pada dua kepengurusan ini adalah bentuk dari meluasnya fokus kerja idEA yang tak lagi sekadar asosiasi untuk pemain e-commerce saja, melainkan untuk ekonomi digital. Pasalnya dalam keanggotaannya juga tidak hanya diisi oleh pemain e-commerce tapi juga vertikal di industri teknologi lainnya.

Bima akan melanjutkan beberapa program yang sudah dijalankan semasa kepengurusan sebelumnya untuk mendukung rencana-rencana yang sudah ia buat. Salah satunya adalah program job fair idEA Works untuk menjaring lebih banyak talenta digital di SMK yang siap kerja dan sesuai dengan kebutuhan industri.

Berkaitan dengan itu, sambungnya, asosiasi sedang berdiskusi dengan pemain edtech untuk berkolaborasi dalam rangka mendukung misi persiapan talenta baru. Terlebih dalam masa pandemi ini, seluruh proses penyerapan tenaga kerja baru mengalami pergeseran ke platform digital. Oleh karenanya, talenta harus dipersiapkan sedari awal.

“Selama masa pandemi, menurut BPS, industri yang masih tumbuh adalah farmasi dan teknologi. Selebihnya minus, artinya industri teknologi ini menjanjikan dan ada momentum untuk rebound.”

Dari segi penguatan regulasi seperti PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE), Bima menyebutkan pihaknya akan terus mengawal implementasinya dan turut berpartisipasi dalam menyampaikan masukan yang lebih efektif. Isu siber dan perlindungan data konsumen belakangan ini menjadi isu yang sensitif dan perlu penanganan segera.

Selama pandemi ini, asosiasi turut berperan dalam mendorong UMKM untuk go digital. Caranya dengan aktif menggelar workshop online yang memberi edukasi manfaat dan menggerakkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Dalam kesempatan tersebut, selama periode Mei-Agustus 2020 dikatakan ada 1,6 juta pengusaha baru yang bergabung.

“Ini adalah program pemulihan ekonomi dengan berbelanja. Bila masyarakat beli produk lokal, maka kita bisa menggerakkan ekonomi, terlepas dari apapun produk yang dibeli. Harapannya ini akan jadi kegiatan berkelanjutan dan jadi roadmap untuk pemulihan ekonomi negara ke depannya,” tutup Bima.

Arti Pandemi Bagi Masa Depan Industri “Beauty Tech” Indonesia

Pada 2019, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menyebutkan bahwa industri beauty tech bakal menjadi salah satu primadona di pasar ekonomi digital Indonesia.

Pasalnya industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) banyak dilirik oleh pelaku startup dalam beberapa tahun terakhir. Kekuatan e-commerce di Indonesia membuka peluang di berbagai vertikal bisnis baru dan ini adalah salah satunya.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar. Namun, apakah perkiraan ini akan tetap valid dengan situasi krisis kesehatan tak terduga yang muncul di awal 2020 ini?

DailySocial mewawancarai sejumlah pelaku beauty tech dan VC untuk mengetahui tren industri kecantikan di masa depan.

Beauty tech dan kebangkitannya di Indonesia

Beauty tech didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Di Indonesia, istilah beauty tech tak lepas dari kemunculan Sociolla di 2015. Para pendirinya, yakni John Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana, mengembangkan platform yang dapat menghubungkan konsumen dengan berbagai macam brand kecantikan. Sociolla mungkin jadi satu-satunya platform e-commerce kecantikan yang mampu bertahan dan berkembang hinggai saat ini.

Jauh sebelum istilah ini populer, Female Daily Network (FDN) sudah lebih dulu muncul dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelopor industri beauty tech Indonesia. FDN bermula dari blog pribadi seputar konten kecantikan yang didirikan oleh Hanifa Ambadar dan Affi Assegaf di 2005. Saat itu penetrasi internet dan teknologi saat itu belum semasif sekarang.

Selama 15 tahun terakhir, FDN telah bertransformasi menjadi platform berkumpulnya para beauty junkie. FDN memiliki basis komunitas kuat di Indonesia berkat rating system yang memampukan siapapun untuk mengulas produk dari berbagai brand. Bahkan, FDN kini mulai memonetisasi bisnisnya melalui platform e-commerce Beauty Studio.

Bagi Co-founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, perkembangan beauty tech dapat mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Artinya, brand kecantikan memiliki kesempatan untuk mendapat sorotan dari audiensi yang lebih luas. Teknologi justru memudahkan mereka memahami kebutuhan konsumen terhadap produknya.

“Suara konsumen tak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk berikutnya, tetapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran,” papar Hanifa di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

FDN dan Sociolla menjadi dua contoh nyata bagaimana teknologi mengubah industri kecantikan dan menjadi bisnis menjanjikan bagi industri digital Indonesia. FDN pernah mendapat suntikan investasi dari beberapa venture capital (VC) ternama, yaitu Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, dan Convergence Ventures. Kini, FDN telah diakuisisi CT Corp yang menaungi Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia).

Sociolla sendiri Juli lalu mengantongi pendanaan Seri E sebesar $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Adapun, East Ventures juga terlibat pada pendanaan seri sebelumnya. Data Crunchbase mencatat total pendanaan yang dihimpun Sociolla sejak 2015 hingga saat ini sudah mencapai $110 juta.

Pertumbuhan industri kecantikan tidak berhenti sampai di situ. Kemudahan akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Kemunculan mereka menandai adanya antusiasme positif pasar terhadap produk kecantikan. Perilaku pasar berubah. Penyebaran informasi dan pemasaran produk semakin mudah dilakukan dengan dukungan platform digital.

Pandemi ubah tren perilaku konsumen

Ekonomi digital digadang menjadi sektor yang bakal berkontribusi besar terhadap perekenomian Indonesia. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini, apa artinya bagi industri beauty tech di Indonesia?

Menurut Co-founder dan CMO Sociolla Chrisanti Indiana, pandemi tentu akan mengubah tren industri kecantikan. Selama enam bulan terakhir, Sociolla menemukan tiga tren baru. Pertama, pandemi mendorong peningkatan tren belanja online untuk produk kecantikan dan perawatan diri.

Kedua, pengguna mau tak mau memanfaatkan channel digital untuk membeli produk kecantikan. Ketiga, kebijakan Work From Home (WFH) di banyak perusahaan memotivasi masyarakat untuk melakukan perawatan diri.

Mengutip Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online di Indonesia meroket hingga 400 persen akibat pandemi pada Maret 2020. Bank Indonesia menyebutkan jumlah transaksi e-commmerce sejak Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Sementara, total nilai transaksi e-commerce naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun pada periode sama dibandingkan Februari 2020.

Mengacu pada tiga temuan di atas, Chrisanti menilai bahwa sektor kecantikan masih memiliki pertumbuhan stabil ke depan. Bahkan ia menyebut sektor ini menjadi sektor yang bertahan di era pandemi selama enam bulan terakhir.

“Memang ada perubahan perilaku dan konsumsi, tren make up, dan protokol kesehatan. Namun [perubahan perilaku] justru memperkuat industri kecantikan di situasi sulit saat ini. Perlu diketahui, self care adalah kebutuhan dasar orang. Kami optimistis industri kecantikan punya potensi besar untuk tumbuh di masa depan,” paparnya kepada DailySocial.

Pandemi dorong brand lokal dengan pendekatan DTC

Sebagaimana disebutkan di awal, perkembangan ekosistem digital turut mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis baru di Indonesia. Sejumlah brand kecantikan dalam negeri menggunakan pendekatan DTC untuk menjangkau konsumen secara mudah dan efisien.

Pada contoh kasus Base, misalnya, brand yang berdiri pada 2019 tersebut saat ini baru mengandalkan pemasaran produk melalui website. Sementara, brand Rose All Day hanya mengandalkan marketplace sebagai front-end penjualan online, yaitu melalui Tokopedia dan Shopee.

Generasi Z dan segmen milenial yang semakin lekat dengan gaya hidup seamless dinilai menjadi alasan bagi sejumlah brand lokal untuk menerapkan model ini. Terlebih toko fisik dinilai sudah tidak lagi relevan bagi segmen tersebut mengingat informasi dan ketersediaan produk dapat diakses kapanpun dan di manapun.

Dalam konteks pandemi, tren menjamurnya brand baru diprediksi terus berlanjut. Pandemi memang membatasi segala macam aktivitas offline. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kemunculan brand baru lainnya yang menerapkan model bisnis serupa.

“Sekarang kegiatan marketing tidak hanya dimiliki oleh big brand dan pemain existing, tetapi juga young and aspiring brand. Bagi kami, tren baru akan ada dan dibangun dari kehadiran brand baru yang berdiri karena ekosistem digital. Ini akan terus membentuk industri kecantikan di Indonesia,” papar Chrisanti.

Kepada DailySocial, CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menilai Indonesia punya peluang besar untuk mendorong pasar kecantikan dalam negeri. Apalagi jika melihat fakta bahwa konsumen Indonesia termasuk salah satu pasar besar bagi kiblat produk kecantikan di Asia, yakni Korea Selatan dan Jepang.

“Indonesia adalah salah satu pasar terbesar produk kecantikan di Asia Timur, yaitu K-Beauty dan J-Beauty. 15 tahun lalu belum banyak orang yang pakai jenis produk itu karena beberapa hal; ketersediaan dan distribusi. Maka itu, kami lihat Indonesia punya peluang untuk dongkrak penetrasi brand lokal ke regional. Kita punya banyak manufaktur kosmetik berstandar interasional,” jelasnya.

Meski tren tersebut akan memicu persaingan ketat, Yaumi menilai bahwa hal tersebut justru akan membuka kesempatan bagi konsumen bahwa brand lokal memiliki kemampuan dalam menciptakan produk berkualitas baik.

Tantangan bagi industri kecantikan

Di balik optimisme pertumbuhan brand lokal, Hanifa menekankan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan. Ia mengakui bahwa platform online memberikan akses lebih luas terhadap informasi produk kecantikan.

Akan tetapi, konsumen berpotensi mudah “terdistraksi” dan berpindah ke brand lain apabila tidak memiliki faktor pembeda yang kuat.

“Tanpa itu, orang tidak bisa lagi berlama-lama di satu situs karena sumber ‘distraksi’ semakin banyak. Berkaca dari hal ini, kami ingin menjadi satu ekosistem terpadu untuk produk kecantikan,” tambahnya.

Sementara Yaumi melihat model bisnisnya justru memiliki keuntungan kompetitif selama masa pandemi. Base diposisikan sebagai digitally native vertical brands (DNVB) yang channel penjualan utamanya adalah online. Maka itu, pengalaman belanja yang seamless menjadi PR besar bagi perusahaan.

“Karena sebagian besar konsumen saat ini belum sepenuhnya mobilisasi, ini memicu pergeseran perilaku konsumen untuk berbelanja online. Bagi DNVB seperti Base, kami harus memastikan dapat memberikan pengalaman belanja yang seamless di semua channel, tidak hanya website tetapi juga communication channel,” tuturnya.

Optimisme bisnis beauty tech di mata investor

Dari kacamata investor, Partner East Ventures (EV) Melisa Irene melihat ada beberapa temuan yang dapat memvalidasi optimisme bisnis beauty tech Indonesia di era pandemi.

Berdasarkan rekam jejaknya, EV merupakan salah satu VC yang memiliki ketertarikan besar di sektor ini. Sociolla merupakan portofolio pertama EV di sektor beauty tech. Sejalan dengan pertumbuhan dan posisi kuat Sociolla di sektor ini, EV melanjutkan investasinya ke brand DTC baru, yakni Base (2019) dan Nusantics (2020).

Kembali ke soal temuan, Melisa meyakini portofolio DTC-nya akan tumbuh di era pandemi. Menurutnya, e-commerce menjadi beneficial bagi pelaku DTC karena tren screen time pengguna semakin meningkat selama WFH. Sejumlah bisnis juga sudah mulai shifting penjualan dari offline ke online. Ini membuka peluang bagi brand untuk menjangkau receptive consumer. 

“Selain itu, peluang lainnya adalah banyak brand melakukan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen di masa pandemi. Produk kecantikan itu mudah dikonsumsi. Dengan semakin matangnya industri, mereka punya peluang untuk memberikan pengalaman belanja yang kuat, terutama dari produk wellness/kesehatan,” ungkapnya kepada DailySocial.

Tak heran sejumlah brand lokal existing maupun ramai-ramai mengeluarkan produk sanitizer dan masker, dua produk kesehatan yang sangat dicari selama pandemi beberapa bulan terakhir.

Cerita Tazbiya, Optimalkan Kanal Digital Kembangkan Brand Produk Busana Muslim

Meskipun sempat mengalami penurunan traksi saat awal menyebarnya Covid-19, namun saat ini penjualan produk fesyen baik online maupu offline sudah kembali menunjukkan peningkatan. Termasuk bagi Tazbiya Brands, sempat mengalami kendala saat pandemi, kini kembali menjalankan bisnis secara normal.

Founder Tazbiya Brands Ferdinand Aliwarga bercerita, bisnisnya mengedepankan konsep online to offline (O2O) dan direct to consumer (D2C). Bermula dari toko kecil di kawasan ITC Kuningan.

“Waktu itu kami jual macam-macam produk. Mulai dari gamis, daster, sampai terakhir kami mencoba menjual mukena motif. Ternyata mukena motif banyak peminatnya. Dan setelah riset pasar, ternyata untuk mukena, belum ada brand yang dominan di Indonesia. Jadi kami memutuskan untuk mulai serius je sana, dengan kanal penjualan offline maupun online,” kata Ferdinand.

Seiring berjalannya waktu, kini Tazbiya Brands telah menambah varian brand, seperti Oriana Homewear untuk baju sehari-hari, Baneska Official untuk fast fashion muslimah, Taruni Indonesia untuk batik anak muda, dan masih ada beberapa brand lainnya.

Tazbiya Brands melihat pasar fesyen di Indonesia masih sangat segmented. Akhirnya perusahaan mencoba secara perlahan untuk membuat brand baru. Terutama untuk kategori di pasar yang hingga kini belum terlayani dengan baik.

Ekspansi lewat e-commerce

Tim dan jajaran manajemen Tazbiya Brands
Tim dan jajaran manajemen Tazbiya Brands

Untuk setiap brand dalam naungan Tazbiya, target pasar dan kegiatan pemasaran yang dilancarkan juga berbeda. Sehingga tidak semua dipatok rata, tidak semua dioptimalkan lewat e-commerce. Contohnya adalah brand Baneska, yang memiliki target pasar ibu rumah tangga yang belum terbiasa berbelanja melalui layanan e-ecommerce.

“Untuk memudahkan mereka melakukan transaksi, 90% dari pembeliannya adalah transaksi dengan cara COD (cash on delivery) yang dilakukan melalui landing page khusus kemudian diarahkan langsung melalui WhatsApp,” kata Ferdinand.

Selain bisa diakses di website, Tazbiya Brands juga memanfaatkan channel official store di layanan marketplace terkemuka. Mulai dari Shopee, Tokopedia hingga Lazada. Sementara itu untuk produk yang harganya premium, perusahaan menjual produk tersebut melalui website sendiri dan hanya bekerja sama dengan Zalora.

“Rencananya tahun ini kami juga akan meluncurkan 2 brand baru dalam waktu dekat. Yaitu Aneeska yang berfokus kepada Gamis Syar’i, dan Lizari yang berfokus mukena premium,” kata Ferdinand.

Mereka saat ini telah memiliki sekitar satu juta pelanggan. Untuk pengiriman produk yang dibeli secara online, mereka menjalin kerja sama strategis dengan perusahaan logistik. Sementara untuk pembayaran secara online perusahaan memanfaatkan payment gateway Doku.

Guna mempercepat pertumbuhan bisnis, perusahaan juga memiliki rencana untuk meningkatkan kapasitas gudang dan peningkatan kualitas operasional.

“Kami juga mencoba untuk memperluas pasar ke luar Indonesia. Untuk produk mukena kami sudah menjadi seller kategori Shopee Mall di Malaysia dan Singapura,” kata Ferdinand.