Startup Budidaya Unggas “Chickin” Terima Pendanaan Tahap Awal Dipimpin East Ventures

Startup agritech budidaya unggas Chickin menerima pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh East Ventures. Kabar ini langsung dikonfirmasi oleh petinggi Chickin saat dihubungi DailySocial.id.

Dalam informasi yang kami dapat, selain East Ventures dalam putaran tersebut juga terdapat investor lain, seperti 500 Startups dan GK-Plug and Play.

Pada saat yang bersamaan, petinggi Chickin juga menyampaikan pihaknya sedang menggalang putaran seri A bernilai berkali-lipat dari yang diperoleh saat ini. Rencananya proses tersebut bakal rampung pada kuartal ketiga tahun ini.

Menurut perusahaan, dana segar ini akan dimanfaatkan untuk mempercepat misi Chickin meningkatkan ketahanan pangan Indonesia dengan meningkatkan kinerja pertumbuhan, manusia, teknologi, akuisisi mitra, pemberdayaan petani untuk menghasilkan produksi dalam jumlah dan kualitas yang maksimal.

Sebelumnya startup budidaya ternak Pitik juga telah membukukan pendanaan seri A $14 juta. Inovasi mereka turut membantu peternak unggas untuk memaksimalkan produktivitasnya.

Solusi yang ditawarkan Chickin

Chickin didirikan pada 2018 di Klaten, Jawa Tengah oleh tiga kawan, yakni Ashab Al Kahfi, Tubagus Syailendra, dan Ahmad Syaifulloh yang sebelumnya adalah peternak unggas. Dari pengalaman yang dirasakan sebagai pembudidaya, data adalah isu terpenting untuk mengatasi permasalahan di lapangan.

Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa. Terlebih itu, adopsi teknologi sangat penting bagi peternak karena burung itu sangat rentan terhadap risiko penyakit. “Forecasting di supply chain dapat membantu proses matchmaking antara supply dan demand,” ucap Tubagus dalam wawancara bersama DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Isu lainnya yang turut menjadi perhatian adalah indeks konsumsi daging protein hewani yang masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

Dalam menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B. Dengan teknologi digitalnya, Chickin menawarkan solusi untuk peternak unggas di Indonesia tentang cara mengurangi kesalahan manusia, limbah pakan, dan biaya listrik. Solusi membantu mereka berubah dari manajemen tradisional hingga manajemen berbasis digital.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI support, mereka memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Untuk model bisnisnya, Chickin menyediakan suplai daging ayam berkualitas ke konsumen B2B (Chickin Fresh). Ibaratnya seperti e-commerce B2B untuk daging ayam saja, seperti Aruna yang menjadi B2B untuk ikan. Kemudian, monetisasi terjadi di sektor hilirnya. Para mitra bisnis Chickin datang dari beragam vertikal, ada e-grocery, ritel, kuliner, korporasi, hingga jaringan waralaba.

Menurut data terbaru yang dibagikan perusahaan, diklaim perusahaan telah mengakuisisi ribuan peternak dan lebih dari 150 lokasi peternakan dengan kapasitas populasi lebih dari 2,6 juta ayam. Chickin juga telah dipercaya oleh lebih dari 200 klien yang terdiri dari brand F&B terkemuka, katering, dan juga food processing. Kinerja yang kinclong ini terefleksi langsung dengan pendapatan yang diklaim tumbuh 50 kali lipat dalam setahun terakhir.

Tubagus juga menyampaikan ambisi Chickin ke depannya untuk membidik pertumbuhan dari bisnis vertikal, lewat akuisisi dari hulu ke hilir. Kemudian, masuk ke downstream dengan menguasai demand agregasi ayam. Selanjutnya masuk ke midstream (rumah potong), ke upstream (kandang ayam).

“Tujuannya agar kami bisa supply farm input, seperti pakan dan bisnis, sembari masuk ke sektor horizonal di luar ayam. Sebab kami rencananya mau leading meat e-commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

TipTip Resmi Diluncurkan, Bercita-cita Bangun Ekosistem Konten Kreator Indonesia

Platform monetisasi untuk kreator konten, TipTip, meresmikan kehadiran mereka pada Rabu (13/7) setelah sebelumnya telah mengantongi pendanaan yang dipimpin oleh East Ventures. Dalam acara peluncuran yang diadakan di Sheraton Gandaria City ini, turut diumumkan Triawan Munaf sebagai Presiden Komisaris TipTip.

TipTip sendiri memosisikan diri sebagai layanan yang mengisi kesenjangan akan beberapa fitur penting yang dihadapi oleh kreator konten di negara-negara berkembang di wilayah Asia Tenggara, seperti kurangnya peluang monetisasi, pembayaran lokal & integrasi KYC (know-your-customer) yang terbatas, serta tantangan terkait pembuatan & distribusi konten melalui perangkat smartphone.

Albert Lucius selaku Founder & CEO TipTip mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki berbagai talenta dan konten yang berkualitas, namun besarnya potensi dari ekosistem ekonomi kreatif di Indonesia masih belum tersalurkan secara optimal karena sulitnya membangun target audiensi. Platform ini hadir dengan peluang monetisasi untuk para konten kreator tanpa memerlukan audiensi yang besar.

Meskipun platform ini mengedepankan monetisasi, konten yang tersedia bukan berarti tanpa kurasi. Perusahaan mengaku memiliki tim terpisah untuk kurasi para kreator dan memastikan bahwa kualitas konten yang disajikan tidak menyalahi aturan terlebih untuk setiap monetisasi yang berlangsung dalam platform. Hal ini menjadi salah satu proposisi nilai yang ditawarkan TipTip.

Triawan Munaf yang turut hadir dalam kesempatan tersebut juga mengungkapkan bahwa setelah hampir lima tahun ia mencoba membangun ekonomi kreatif bersama Bekraf, ia mengaku bahwa saat ini negara kita membutuhkan sebuah ekosistem lokal.  Menurutnya, TipTip memiliki semua dukungan yang terbaik untuk menciptakan ekosistem kreator yang kuat. “Dari Indonesia untuk Indonesia. Keep creating ideas, keep creating money,” tambahnya.

Selain dari sisi monetisasi, TipTip juga berperan sebagai jembatan untuk supply dan demand para kreator konten. Perusahaan juga sudah bekerja sama dengan beberapa korporasi. “Kuncinya, kita pemain lokal, kita identifikasi solusi lokal yang mengarah ke kominitas. Kita mengedepankan transparansi dari tipping para followers. Para kreator juga diharapkan untuk memperbaiki kualitas. Semakin banyak menyentuh komunitas, maka semakin banyak monetisasi,” tambahnya.

Willson Cuaca yang turut hadir dalam acara ini mengungkapkan bahwa krisis pandemi menimbulkan pergeseran kebiasaan, salah satunya konsumsi masyarakat akan media. Kini terjadi demokratisasi konten yang memungkinkan semua orang yang punya talenta bisa terfasilitasi.

“Namun kebanyakan platform yang hadir adalah dari luar negeri, TipTip bercita-cita ingin menciptakan ekosistem kreator ekonomi yang sudah terlokalisasi. Harapannya, perusahaan juga bisa membangun flywhee effect. Semakin banyak komponen yang dibangun, maka semakin banyak yang terjangkau dan berpartisipasi,” ungkapnya.

Untuk menikmati solusi TipTip, para pengguna baik konten kreator maupun masyarakat hanya perlu mengunjungi websitenya untuk melakukan registrasi. Aplikasi TipTip sendiri sudah tersedia dan bisa diunduh di platform Android, untuk para pengguna iOS bisa segera menikmati layanan ini di bulan Agustus 2022.

Strategi hyperlocal

Ketika disinggung mengenai platform global yang saat ini lebih banyak digunakan, Albert menjelaskan bahwa pihaknya mengedepankan strategi hyperlocal dan menjangkau komunitas. Suatu hal yang sulit untuk bisa dieksekusi oleh para pemain global. Strategi ini diharapkan bisa menjangkau komunitas serta kreator konten yang lebih luas lagi.

Albert mengambil contoh Amazon dengan layanan e-commerce global, namun tetap di tanah air yang merajai adalah platform lokal seperti Tokopedia. “Hal ini bisa terjadi karena mereka eksekusinya lokal. Kita di TipTip tidak hanya terintegrasi dengan sistem KYC dan Dukcapil, dari sisi pembayaran juga terintegrasi dengan bank lokal dan e-wallet. Kita juga menggunakan strategi dari komunitas ke komunitas,” ungkapnya.

Dalam diskusi singkat di sela-sela acara, Albert mengaku bahwa TipTip bukan hanya sekedar layanan live streaming. Lebih dari itu, platform ini menawarkan solusi yang sangat menyeluruh dan spesifik untuk setiap pasar para kreator kontennya. Perusahaan juga terlibat dalam penyediaan supply kreator dan konten untuk korporasi yang membutuhkan jasa (demand).

Menurut data TipTip, hingga saat ini sudah ada lebih dari 500 kreator yang tergabung. Masing-masing kreator disinyalir bisa membawa sekitar 20 pengikut yang menghasilkan sekitar 10 ribu pengguna. “Kita memproyeksikan pertumbuhan tiga kali lipan di tahun ini. Harapannya beberapa tahun ke depan bisa mencapai puluhan ribu pengguna,” ungkap Albert.

Industri kreator konten di Indonesia

Pertumbuhan konten kreator di Indonesia disebut mengalami pertumbuhan yang cukup besar, pasar industri ini di Indonesia diprediksi mencapai 4 triliun hingga 7 triliun Rupiah pada waktu mendatang. Berdasarkan Opus Creative Economy Outlook 20201, sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi sebesar 1,1 triliun rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap 17 juta tenaga kerja.

Selain TipTip, sudah ada beberapa platform yang menyediakan wadah untuk content creator, influencer, dan brand untuk memanfaatkan kegiatan pemasaran dengan konsep tersebut. Mulai dari platform seperti PartipostAnyMind GroupHiip, hingga Lynk.id yang bertujuan memberikan tools terpadu kepada kreator.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Pimpin Pendanaan Pra-Awal 82 Miliar Rupiah Startup Proptech “Tanaku”

Startup proptech Tanaku mengumumkan perolehan dana segar senilai $5,5 juta (lebih dari 82 miliar Rupiah) dalam putaran pra-awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dalam putaran ini mencakup ekuitas dan modal utang, dengan nominal tidak dirinci, dari bank internasional terkemuka.

Modal baru ini akan dimanfaatkan Tanaku untuk menghadirkan kepemilikan rumah yang mudah diakses dan mengubah pengalaman membeli rumah secara radikal, dengan fokus saat ini pada membangun produk, memperluas tim, memperoleh rumah, dan melaksanakan strategi go-to-market.

“Kami sangat menghargai investasi dan kepercayaan East Ventures dalam visi kami untuk menjembatani kesenjangan kepemilikan rumah dan mendorong inklusivitas keuangan di Indonesia,” ucap Co-founder & CEO Tanaku Jonathan Ma dalam keterangan resmi, Selasa (12/7).

Jonathan, bersama rekan-rekannya, yakni Andries De Vos (Head of Product), Bhanu Prakash (Head of Marketing), dan Alwin Hajaning (Head of Commercial), merintis Tanaku pada tahun ini dengan latar belakang beragam, mulai dari properti, keuangan, hukum, produk, dan pertumbuhan.

Permasalahan kompleks di area ini juga membuat sejumlah startup lain tertantang untuk memberikan solusi serupa untuk pembiayaan kepemilikan properti — tentunya dengan model bisnis yang unik, di antaranya Ringkas dan Pinhome.

Solusi Tanaku

Sejak 2020, kepemilikan rumah di Indonesia terus menurun sebesar 2% tiap tahunnya. Sebanyak 70 juta generasi muda adalah segmen yang paling terdampak dengan 70% dari angka tersebut tidak mampu membeli rumah mereka sendiri.

Masalah tersebut bermula dari cara pembelian rumah, banyak anak muda tidak punya dana atau tabungan yang cukup untuk dijadikan sebagai uang muka awal (DP) dan bank akan menolak mayoritas pengajuan KPR. Pengembang properti sering menawarkan paket cicilan, tapi sering kali ada biaya tersembunyi yang mahal, suku bunga tinggi, dan persyaratan yang sulit dipenuhi.

Kondisi tersebut membuat mereka frustrasi dan beralih ke persewaan properti jangka panjang yang menyebabkan stabilnya penurunan kepemilikan rumah.

Jonathan menuturkan, Tanaku membangun solusi pra-hipotek untuk memiliki hunian. Tanaku akan membangun platform teknologi end-to-end unik untuk memfasilitasi pembelian dan transaksi rumah secara online untuk mengakomodasi berbagai startup proptech di Indonesia.

“Misi kami adalah memutarbalikkan penurunan kepemilikan rumah di Indonesia dan mewujudkan impian memiliki rumah. Dalam jangka panjang, kami ingin mendorong transisi Indonesia menuju perumahan hijau.”

Calon pembeli rumah bisa mendapatkan prakualifikasi bersama Tanaku dengan persyaratan yang jauh lebih sederhana daripada bank tradisional. Mereka cukup membayar 2% DP dan bisa menempati di rumah baru. Kemudian, mereka dapat fokus melunaskan sisa DP dengan cicilan bulanan dan memperbarui rumahnya dengan Tanaku atau mengakses pinjaman bank dengan persyaratan yang jauh lebih baik, berkat riwayat kredit yang sudah dikumpulkan.

Pada peluncuran awal, calon pembeli rumah dapat memilih rumah dari daftar properti pilihan Tanaku melalui situsnya. Ke depannya, Tanaku akan memfasilitasi pembelian rumah di pasar terbuka dengan berbagai agen mitra di beberapa kota di Indonesia.

“Kami percaya pada ambisi dan keahlian tim Tanaku dalam memberikan solusi alternatif pembiayaan rumah untuk membantu jutaan masyarakat Indonesia dalam menjadi pemilik rumah yang bertanggung jawab secara finansial. Kami bersemangat untuk dapat menjadi bagian dari perjalanan tim Tanaku dalam menyambut era baru kepemilikan rumah di Indonesia,” kata Principal East Ventures Devina Halim.

Startup Konstruksi AMODA Terima Suntikan Dana Pra-Awal dari East Ventures

Startup properti dan konstruksi AMODA, hari ini (8/7) mengumumkan telah meraih pendanaan pra-awal dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin East Ventures. Perusahaan akan memanfaatkan dana untuk meningkatkan fasilitas manufaktur, perbesar tim, dan berinvestasi pada R&D.

Co-founder dan CEO AMODA Robin Yovianto menuturkan, selama ini konstruksi komersial adalah sektor yang telah lama ada dan menyimpan banyak potensi untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. AMODA hadir untuk merevolusi sektor ini dengan menyediakan integrasi konstruksi dan teknologi yang lebih baik.

“Kami percaya bahwa AMODA berada pada barisan terdepan yang membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, melalui jaminan dari ketenangan pikiran. Dana dari East Ventures akan mempercepat misi kami untuk membawa lebih banyak dampak sosial dan ekonomi untuk Indonesia,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Ia merinci beberapa masalah di konstruksi, seperti kurangnya tenaga kerja terampil, minimnya transparansi dan keandalan spesifikasi, pengawasan, dan dokumentasi, serta tidak ada standarisasi bahan, anggaran dan estimasi waktu. Seluruh masalah ini menyebabkan eksekusi yang berisiko tinggi, inefisiensi waktu dan biaya, dan pengalaman keseluruhan yang tidak menyenangkan.

Oleh karena itu, Robin dan rekannya Agusti Salman Farizi (President) terdorong untuk merintis AMODA pada 2021. AMODA menghilangkan masalah dalam proses konstruksi konvensional dengan menyederhanakan proses melalui integrasi teknologi digital, sehingga hemat biaya, bebas kerumitan, dan efisien secara waktu. Solusi ini hadir untuk individu dan bisnis, baik skala kecil maupun skala besar.

Layanan AMODA

Produk AMODA adalah ErgaPods dan ErgaBox. Keduanya mengadopsi konsep prefabrikasi, yakni metode konstruksi yang dilakukan dengan memfabrikasi komponen-komponen bangunan di pabrik dan kemudian dibawa ke lokasi untuk pemasangan dan pendirian bangunan.

Serta, bangunan modular, yakni bangunan yang dibentuk melalui proses panelisasi. Setiap komponen bangunan akan di rakit di pabrik (off site) dalam bentuk panel, dan kemudian panel-panel ini akan disatukan menjadi sebuah bangunan. Pada konstruksi ini, panel/modul juga sangat memungkinkan untuk dikustomisasi. Sehingga keunggulan dari kedua konsep tersebut adalah proses simpel, efisien secara waktu, hemat biaya, kualitas andal, fleksibel, dan sedikit limbah.

“AMODA telah membawa dampak yang berarti bagi siapa pun yang ingin memulai bisnis, dengan mengurangi risiko yang harus ditanggung oleh para pengguna karena memungkinkan mereka untuk melakukan trial and error; hingga berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.”

Robin melanjutkan, dalam mengembangkan R&D ada dua fokus yang akan dilakukan perusahaan. Pertama, dari sisi produk, ingin perluas batas aset konstruksi, menciptakan lebih banyak produk untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda, dan menghadirkan produk yang semakin hemat secara waktu dan biaya. Kedua, dari sisi teknologi, menghadirkan lebih banyak fitur untuk memudahkan pengalaman digital pengguna secara end-to-end.

“Kami bersemangat akan inovasi yang dihadirkan oleh tim AMODA ke pasar desain dan konstruksi properti di Indonesia. Para pendiri AMODA memiliki pengalaman relevan dan kuat baik secara lokal maupun global. Hal tersebut membuat kami yakin bahwa era pembangunan properti yang lebih efisien di Indonesia akan segera hadir,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

Hingga pertengahan tahun ini, AMODA mengklaim telah melipatgandakan pendapatannya dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kemajuan ini juga turut dikombinasikan dengan pertumbuhan adopsi pengguna, ditandai dengan pemerolehan klien 50% lebih cepat. Rata-rata kliennya adalah usaha kuliner, namun juga tak lepas dari bisnis korporat, pengembang properti, dan startup.

Startup Fintech EWA “Kini” Dapat Suntikan Dana 64 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Startup fintech penyedia solusi earned wage access (EWA) Kini mengumumkan perolehan dana tahap awal sebesar $4,3 juta (lebih dari 64 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures, dengan partisipasi dari investor lainnya, seperti Ten13, OurCrowd, K50 Ventures, dan Goodwater Capital.

Menariknya, ini adalah portofolio kedua bagi East Ventures di vertikal EWA, setelah berinvestasi di wagely pada Maret 2022.

Kini akan memanfaatkan dana baru tersebut untuk membangun rangkaian produk HR-tech, memperluas kemitraan, dan menyediakan teknologi HR untuk memperkuat solusi HR-fintech mereka melalui satu API.

“Kami sangat senang dapat bermitra dengan East Ventures dan semua investor kami. Dukungan mereka akan mempercepat misi kami untuk menciptakan hidup yang lebih baik bagi 99% pekerja di Indonesia, terutama bagi para pekerja yang hidup dari gaji ke gaji,” terang Co-Founder & CEO Kini Jordan Fain dalam keterangan resmi, Kamis (7/7).

Kini didirikan pada 2021 oleh Fain bersama Sidnei Budiman (CTO), veteran fintech di Indonesia. Berkat pengalamannya selama di Uber, Fain menyadari bahwa memperketat siklus pembayaran untuk pengemudi meningkatkan retensi dan akuisisi. Oleh karenanya, ia meyakini Kini dapat berguna dalam memberdayakan bisnis, terutama saat mengelola tenaga kerja kerah biru dalam skala besar.

Di Asia Tenggara sendiri, terutama di Indonesia, terdapat jutaan pekerja kerah biru yang masih underbanked, hidup dari gaji ke gaji, dan memiliki akses terbatas ke kredit, sehingga rentan terhadap pinjaman predator dari pemberi pinjaman.

“Kebutuhan akan inklusi keuangan bagi masyarakat Indonesia semakin penting dari sebelumnya. Kami percaya pada misi Kini untuk merevolusi cara jutaan pekerja mengelola uang mereka untuk mencapai kesehatan finansial yang lebih baik. Kami yakin bahwa tim Kini dapat menjadi mitra yang tepat bagi banyak perusahaan di Indonesia,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

Diklaim, Kini mampu mencetak pertumbuhan volume transaksi bulanan rata-rata sebesar 70% dengan mitra lebih dari 50 perusahaan. Beberapa nama penggunanya adalah Ismaya Group, Asaba, DOKU, dan lainnya; termasuk berbagai perusahaan publik. Perusahaan juga telah terintegrasi dengan berbagai HRIS (Human Resources Information System). Total tim Kini sendiri baru beranggotakan 10 orang.

Model bisnis EWA

Seperti kebanyakan pemain EWA lainnya, Kini menyediakan layanan gaji on-demand (EWA) untuk membantu karyawan dari mitra perusahaan mengatur keuangan mereka. Pencairan gaji lebih cepat ini dapat mereka manfaatkan untuk membayar tagihan, membeli asuransi mikro.

Kini turut menambahkan fitur lainnya yang diperuntukkan untuk HRD perusahaan, termasuk di antaranya pencairan insentif atau tunjangan secara instan, voucher diskon, telekomunikasi, layanan penggajian, integrasi API, integrasi API dengan sistem informasi HR, dan sistem pelacakan waktu karyawan.

Tidak seperti fintech lending yang menerapkan bunga sebagai revenue stream, EWA punya pendekatan berbeda. Untuk layanan pencairan gaji cepat sendiri, mereka menggunakan biaya flat untuk besaran nominal yang telah ditentukan. Misalnya yang dilakukan Kini dengan mengenakan admin fee Rp30 ribu untuk setiap Rp1,2 juta gaji dicairkan.

Di luar itu, sebagai startup yang menyasar segmen B2B, biasanya platform EWA juga memiliki revenue stream lain, misalnya dari fee atas penggunaan platform HR-tech, API, dan pembayaran yang ada di dalamnya (seperti bill payment, QR payment dll).

Pendanaan dari VC untuk startup EWA

Selain Kini, sudah ada sejumlah perusahaan yang tertarik menggarap konsep serupa di Indonesia. Beberapa namanya, ada GajiGesa, wagely, Gigacover, GajiKoin yang diusung KoinWorks, Vinmo, Mekari Flex, Halogaji dari Halofina, GetPaid, dan Gajiku. Mayoritas dari pemain ini sudah didukung dalam bentuk investasi dari VC. Berikut daftarnya:

Startup Tahun berdiri Pendanaan terakhir Investor
GajiGesa 2020 Pra-Seri A ($6,6 juta) MassMutual Ventures, January Capital, Wagestream, OCBC NISP Ventura, Bunda Group, Patrick Walujo, Nipun Mehram, dll
wagely 2020 Pra-Seri A ($8,3 juta) East Ventures (Growth Fund), Central Capital Ventura, Integra partners, ADB, FGC, Trihill Capital, dll.
Gigacover 2020 (masuk ke Indonesia) Tahap awal (2019) Vectr Fintech, Quest Ventures Partners, Alto Partners, dll
GajiKoin 2020 Melalui KoinWorks, Seri C (ekuitas $43 juta dan debt $65  juta) MDI Ventures, Quona Capital, Triodos Investment Management, ACV, EV, dll
Vinmo September 2021
Mekari Flex 2020 Melalui Mekari, tahap lanjutan ($50 juta) Money Forward Inc, East Ventures, Beenect, MCI, Alto Partners, Prastia, dll.
Halogaji Agustus 2021 Tahap awal (2019) MCI, Finch Capita, Plug and Play Asia Pacific, Rekanext
GetPaid September 2021 (masuk ke Indonesia) Tahap awal ($1,15 juta) Grovey Pay dan Nityo Infotech Service
Gajiku Januari 2022 Tahap awal ($1,1 juta) AC Ventures, Agung Ventures, Monk’s Hill Ventures Scouts Program, Sampoerna, dll.

East Ventures Kembali Pimpin Pendanaan Seri A Startup SaaS Logistik McEasy

Startup SaaS untuk operator logistik dan pelacakan kendaraan McEasy mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $6,5 juta (setara 97 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures, investor sebelumnya yang memimpin putaran tahap awal pada September 2021.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar untuk meningkatkan teknologi inovasi, mengembangkan produk yang memberikan nilai tambah bagi konsumen (product-market fit) dan meningkatkan eksistensi di kota lapis dua dan tiga.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (5/7), Co-founder McEasy Raymond Sutjiono menuturkan, lebih dari 85% bisnis di sektor transportasi dan rantai pasok mengandalkan kertas dan pena dalam menjalankan operasi mereka. Rendahnya kesadaran di tengah kalangan pemilik usaha kecil dan menengah akan teknologi untuk meningkatkan efisiensi logistik, menandakan masih banyak pemilik usaha bertahan dengan proses manual yang pastinya memakan waktu.

Dia melanjutkan, dalam mengatasi tantangan sehari-hari, di antaranya mengelola sopir dan pengeluarannya, mengatur konsumsi bahan bakar, dan mengoptimasi rute, dapat memakan waktu hingga dua kali lebih lama.

“Karenanya, pendanaan ini kami alokasikan untuk mengembangkan teknologi membantu para business owner meningkatkan efisiensi. Penggunaan teknologi dapat meningkatkan efisiensi pengiriman dan menghemat biaya operasional hingga 30%,” ungkap Raymond.

Co-founder McEasy Hendrik Ekowaluyo turut menambahkan, East Ventures adalah investor yang menyadari potensi McEasy dalam memberikan dampak positif bagi ekosistem rantai pasok Indonesia.

“Selain melayani perusahaan besar, kami juga fokus memberikan dukungan teknologi kepada mitra UKM. Mereka adalah tulang punggung perekonomian kita, dan potensi sektor ini sungguh tidak terbatas – sekitar 900.000 unit dan lebih dari lima juta unit mobil angkutan komersial,” kata dia.

Pencapaian McEasy

Startup yang dirintis sejak 2017 ini mengklaim telah tumbuh lebih dari 12x lipat selama 18 bulan terakhir. Perusahaan kini menjadi solusi transportasi dan rantai pasok yang andal bagi lebih dari 200 perusahaan, termasuk Cleo Pure Water, KMDI Logistics, MGM Bosco Logistics, Rosalia Indah, dan Tanto Intim Line.

Solusi yang dikembangkan perusahaan berguna bagi penyedia jasa logistik, termasuk bus penumpang, jasa pengiriman barang, hingga kendaraan berpendingin untuk pengiriman komoditi dengan temperatur tertentu seperti farmasi, daging, makanan laut, produk susu, dan makan beku.

McEasy memiliki tiga pilar utama untuk memecahkan tantangan di sektor ini: 1) Mobility Softwareas-a-Service guna mendigitalkan kendaraan dan memungkinkan pelacakan real-time; 2) Solusi vertikal untuk meningkatkan efisiensi dan proses bisnis mitranya; dan 3) Ekosistem Open-API guna mengintegrasi pelaku sektor transportasi dan rantai pasok.

Produk unggulan McEasy adalah Vehicle Smart Management System (solusi digital pelacak pintar untuk membantu operasi logistik dan pelacakan lokasi kendaraan secara real-time), Transportation Management System (perangkat lunak terintegrasi untuk merencanakan, mengimplementasikan, memantau, dan mengoptimalkan proses logistik, memungkinkan seluruh proses logistik menjadi lebih efisien) dan Smart Driver Apps.

“McEasy mencatatkan pertumbuhan positif di era pasca pandemi ini. Mereka menyinergikan dua hal terbaik dari dua bidang – logistik dan teknologi – untuk mengembangkan penawarannya, memperkuat keberadaan mereka secara nasional, serta pada saat yang sama mempertahankan tingkat profitabilitas. McEasy melakukan investasi pada teknologi secara masif untuk memastikan implementasi solusi digital terbaik bagi para pelaku sektor transportasi & rantai pasok. Kami senang dapat menjadi bagian dari setiap kesuksesan McEasy. Kami yakin mereka akan terus membawa berbagai dampak nyata bagi masyarakat,” jelas Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Perusahaan menargetkan dapat mengintegrasikan setidaknya satu juta kendaraan roda empat ke dalam ekosistem digital McEasy pada 2025 mendatang.

Fresh Factory Raih Pendanaan Tahap Awal Senilai 66 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Startup penyedia solusi fulfillment rantai dingin (cold chain) Fresh Factory berhasil meraih pendanaan tahap awal atau seed funding senilai $4,5 juta atau setara 66 milliar Rupiah dipimpin East Ventures. Putaran ini juga diikuti oleh beberapa investor lainnya, termasuk PT. Saratoga Investama Sedaya TBK, Trihill Capital, Indogen Capital, Prasetia Dwidharma, Number Capital, Y Combinator, dan beberapa investor angel lainnya.

Dana segar ini rencananya akan dialokasikan untuk ekspansi gudang ke semua kota sekunder di Jawa serta kota-kota utama di Sumatera dan Sulawesi.  Selain itu, investasi kali ini juga akan digunakan untuk memperkuat tim dan teknologi guna meningkatkan adopsi dan pencapaian operasional perusahaan.

Didirikan pada tahun 2020 oleh Larry Ridwan (Founder & CEO), Widijastoro Nugroho (Co-Founder & CCO), dan Andre Septiano (Co-Founder & CFO), Fresh Factory menyadari besarnya masalah pada logistik rantai dingin di Indonesia. Maka dari itu, perusahaan berkomitmen menyediakan jaringan pusat fulfillment rantai dingin hiperlokal, transformasi, dan sistem manajemen fulfillment cerdas yang memungkinkan pelaku bisnis untuk menyimpan, mengambil, mengemas, dan mengirimkan produk mereka ke pelanggan dengan lebih baik, cepat dan efisien.

Sebagai negara dengan sumber daya yang melimpah dari pertanian dan akuakulturnya, Indonesia memiliki kebutuhan logistik rantai dingin yang efisien untuk penyimpanan dan pengiriman dari pusat produksi ke pelanggan. Namun, masih ada kesenjangan besar dalam lingkaran distribusi yang hanya berfokus pada gudang pusat tanpa memperhatikan logistik mid dan last mile. Fresh Factory ingin menjembatani hal ini dengan mendirikan cold storage cerdas di berbagai lokasi dekat dengan pelanggan.

Beberapa solusi teknologi yang telah terintegrasi ke dalam layanan mereka termasuk GeoTagging dan GeoLocation dalam menyimpan produk di gudang, Artificial Intelligence (AI) untuk proyeksi dan pengelolaan stok di gudang, serta Internet of Things (IoT) untuk memantau suhu freezer dan chiller.

Venture Partner East Ventures Avina Sugiarto mengungkapkan, “Melihat kesenjangan besar dalam solusi rantai dingin dan bagaimana hal tersebut menyebabkan berbagai masalah terkait food loss dalam rantai pasokan, kami percaya Fresh Factory hadir seagai solusi untuk memperbaiki logistik rantai dingin untuk produk makanan yang mudah rusak dan membantu para UMKM. Kami yakin Fresh Factory telah dan akan terus memberi manfaat dan menciptakan masyarakat yang lebih tangguh.”

Hingga April 2022, Fresh Factory telah mencapai $10 juta GMV tahunan dan fulfillment tahunan untuk lebih dari 1 juta pesanan. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 30% MoM dalam tiga bulan terakhir. Perusahaan juga telah memiliki lebih dari 20 gudang cabang yang tersebar di berbagai kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Bali dengan solusi penyimpanan barang beku hingga dingin.

Layanan fulfillment di Indonesia

Pertumbuhan e-commerce sedikit banyak telah mempengaruhi lanskap layanan pemenuhan atau fulfillment. Indonesia saat ini menjadi pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara dengan kontribusi hingga 50% dari seluruh transaksi yang tercatat. Pertumbuhan ini menandakan kontribusi besar e-commerce terhadap perekonomian digital di Indonesia.

Dikutip dari laporan e-Conomy SEA 2021, ekonomi digital Indonesia mengalami peningkatan dari angka USD47 miliar di 2020 menjadi USD70 miliar di 2021, ditambah dengan penetrasi digital yang terus meningkat berjumlah 158 juta pengguna e-commerce di Indonesia.

Sementara itu, berdasarkan laporan dari Research and Markets, pasar layanan fulfillment secara global diperkirakan akan mencapai $198,62 miliar pada tahun 2030, tumbuh pada CAGR sebesar 9,5% selama periode perkiraan. Penetrasi layanan internet yang cepat dan peningkatan jumlah pembeli online merupakan faktor utama yang mendorong permintaan akan layanan fulfillment di seluruh dunia.

Manuver dari para pemain e-commerce tanah air untuk masuk ke bisnis fulfillment dinilai sangat baik dengan memberikan pelayanan logistik secara terpadu. Langkah ini pertama kali diambil Tokopedia dengan meluncurkan layanan TokoCabang yang kini bertransformasi menjadi Dilayani Tokopedia. Layanan tersebut memungkinkan penjual menitipkan produk di “gudang pintar” pada wilayah dengan permintaan tinggi.

Selanjutnya, Bukalapak ikut menyasar segmen ini melalui layanan BukaGudang yang sudah dapat digunakan pelapak sejak Maret 2020. Buka Gudang memiliki dua mitra fulfillment, yakni PT IDCommerce dan startup penyedia jaringan pergudangan mikro Crewdible. Lalu, ada Shopee yang resmi masuk lewat layanan Dikelola Shopee pada September lalu. Layanan Dikelola Shopee memanfaatkan gudang milik sendiri dengan rata-rata pesanan diklaim dapat dikirim dua jam setelah pengguna menyelesaikan transaksi.

Selain para pemain e-commerce yang melakukan penetrasi di segmen fulfillment, sejumlah startup lokal juga fokus menggarap jaringan pergudangan mikro dan solusi pengadaannya untuk menciptakan dampak efisiensi. Beberapa diantaranya termasuk CrewdibleShipper, dan TokoTalk.

East Ventures Leads RPG Commerce’s Series B Funding

East Ventures is leading a $29 million or approximately 431 billion Rupiah series B funding round for RPG Commerce. In addition, this round was also led by UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), and RHL Ventures.

In his official statement, East Ventures’ Co-founder and Managing Partner, Willson Cuaca said, RPG Commerce has a unique position as it takes an approach by serving various categories, brands, and roll-up models in e-commerce sector.

He said this is an important strategy for D2C businesses to attract international interest in ensuring its success in the market. “RPG Commerce is capable to grow a loyal customer base in the United States, Canada, and Europe, through quality products and innovation in the supply chain,” Willson said.

RPG Commerce’s Co-founder & CEO, Melvin Chee said he would use the additional funding to add to the brand portfolio and the team numbers, encourage R&D innovation, also M&A. “We wanted to quickly add to our talent and leverage technology capabilities to expand our consumer landscape,” Melvin said.

On a general note, RPG Commerce is a D2C-based social commerce startup from Malaysia. The platform offers in-house brand products in the categories of daily necessities, clothing to basic household. Currently, RPG partners with more than ten brands, including Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, and Cosmic Cookware.

RPG manages various brands from product launch, operations, and optimization supported by end-to-end production and delivery. According to the company’s data, RPG is supported by state-of-the-art back-end technology and a visionary creative team that has been able to rapidly expand its brand portfolio and grow its customers by 300% over the past year.

With the spirit of supporting independent businesses with on-demand products, he aims to empower small business owners through incubation and acquisition programs to serve consumers in various verticals.

Investment climate and social commerce potential

In a recent interview with DailySocial.id, Willson Cuaca mentioned some interesting notes regarding the investment climate. Despite the negative sentiment in the Indonesian startup ecosystem, he believes that this has not changed his position in finding potential startups.

He said, there are still many startups with good fundamentals. “Remain calm and alert in dealing with this situation. Seek support from your investors, be more prudent in spending, and don’t do fundraising when your company needs money,” Willson advises the founders.

In the context of social commerce in Indonesia, this model shows the potential for great growth in the future. Bain & Co data recorded that transactions from social commerce contributed $12 billion to the total GMV of e-commerce in the country which amounted to $47 billion in 2020.

In addition, social commerce trends continue to develop considering that rural communities still have limited access to fulfill their needs through online platforms compared to people living in urban areas.

By empowering the distribution network model or reseller, social commerce can open access to products and wider job opportunities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Seri B di RPG Commerce

East Ventures memimpin putaran pendanaan seri B senilai $29 juta atau sekitar 431 miliar Rupiah kepada RPG Commerce. Selain East Ventures, putaran ini juga dipimpin oleh UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), dan RHL Ventures.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, RPG Commerce memiliki posisi unik karena mengambil pendekatan dengan melayani berbagai kategori, merek, dan model roll-up di sektor e-commerce.

Menurutnya, ini menjadi strategi penting bagi bisnis D2C untuk memiliki daya tarik internasional demi memastikan kesuksesannya di pasar. “RPG Commerce mampu menumbuhkan basis pelanggan loyal di Amerika Serikat, Kanada, hingga Eropa, melalui produk berkualitas dan inovasi di supply chain,” tutur Willson.

Co-founder & CEO RPG Commerce Melvin CHee menyebutkan akan menambah portofolio merek dan jumlah SDM, mendorong inovasi R&D, hingga M&A dengan tambahan pendanaan ini. “Kami ingin menambah talenta kami dengan cepat dan meningkatkan kemampuan teknologi untuk memperluas lanskap konsumen kami,” ujar Melvin.

Sebagai informasi, RPG Commerce merupakan startup social commerce berbasis D2C asal Malaysia. RPG menawarkan produk merek in-house pada kategori kebutuhan sehari-hari, pakaian hingga rumah tangga. Saat ini, RPG bermitra dengan lebih dari sepuluh merek, termasuk Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, dan Cosmic Cookware.

RPG mengelola berbagai merek mulai dari peluncuran produk, operasional, hingga optimalisasi yang didukung oleh produksi dan pengiriman secara end-to-end. Menurut perusahaan, RPG didukung teknologi back-end canggih dan tim kreatif yang visioner sehingga mampu melakukan ekspansi portofolio merek dengan cepat dan pertumbuhan pelanggan hingga 300% selama satu tahun terakhir.

Dengan semangat mendukung bisnis secara independen dengan produk sesuai permintaan, pihaknya berharap dapat memberdayakan pemilik bisnis kecil melalui program inkubasi dan akuisisi demi melayani konsumen di berbagai vertikal.

Iklim investasi dan potensi social commerce

Dalam wawancara dengan DailySocial.id baru-baru ini, Willson Cuaca memberikan beberapa catatan menarik terkait iklim investasi. Terlepas dengan adanya sentimen negatif di ekosistem startup Indonesia, ia menilai hal tersebut tidak mengubah posisinya dalam mencari startup yang potensial.

Menurutnya, masih banyak startup-startup yang memiliki fundamental yang baik. “Tetap bersifat tenang dan sigap dalam menghadapi situasi ini. Mencari dukungan dari para investor Anda, be more prudent in spending, dan jangan melakukan fundraising di saat perusahaan Anda memerlukan uang,” saran Willson untuk para founder.

Dalam konteks social commerce di Indonesia, model ini termasuk yang menunjukkan potensi pertumbuhan besar di masa depan. Data Bain & Co mencatat transaksi dari social commerce menyumbang $12 miliar terhadap total GMV e-commerce di tanah Air yang sebesar $47 miliar di 2020.

Di samping itu, tren social commerce terus berkembang mengingat masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan akses dalam memenuhi kebutuhannya melalui platform online dibanding masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Dengan memberdayakan model jaringan distribusi atau reseller, social commerce dapat membuka akses terhadap produk dan kesempatan kerja lebih luas.

Ismaya Group Terima Pendanaan 266 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Perusahaan yang bergerak di industri F&B dan lifestyle Ismaya Group mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $18,1 juta atau setara 266 miliar Rupiah dipimpin oleh East Ventures. Investor sebelumnya, Falcon House Partners turut berpartisipasi dalam putaran kali ini.

Rencananya, dana segar ini akan digunakan untuk memperluas jangkauan bisnis di area ritel F&B, produk gaya hidup eksklusif, dan layanan pengiriman makanan. Selain itu, perusahaan juga akan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dalam mengakselerasi pertumbuhan bisnis melalui personalisasi.

Didirikan pada tahun 2003, Ismaya mengawali bisnis dengan membuka gerai pertamanya yang fokus pada industri hiburan di wilayah Jakarta Selatan. Setelah itu, mulai meramaikan sektor F&B secara bertahap dengan restoran-restoran seperti Pizza e Birra, Kitchenette, Publik Markette, Tokyo Belly, dan lainnya.

Kemudian mereka melebarkan sayap ke industri event promotion dengan Ismaya Lieve. Di bawah bendera Ismaya, berbagai artis papan atas telah menunjukkan aksinya di panggung festival musik tanah air. Festival musik seperti Djakarta Warehouse Project dan We The Fest sukses menjadi kegiatan tahunan yang menggaet minat seantero Asia Tenggara.

Hingga saat ini, Ismaya Group telah menjadi salah satu pemimpin pasar dengan lebih dari 100 lokasi termasuk restoran, lounge, dan festival papan atas.

CEO Ismaya Group Bram Hendratta mengungkap fakta bahwa banyak orang yang sudah kehilangan human touch dan interaksi secara fisik selama lebih dari dua tahun dipenjara oleh lockdown akibat pandemi. Hal ini sangat mempengaruhi industri F&B dan lifestyle, terutama pengalaman makan di tempat atau mengikuti festival. Ia melihat sekarang merupakan momentum untuk bisa menghidupkan kembali interaksi ini.

Roderick Purwana selaku Managing Partner East Ventures mengatakan, dirinya percaya pada brand dan kemampuan operasional yang telah dibangun Ismaya selama bertahun-tahun. Mereka telah sukses membangun bisnis lifestyle, tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri.

“Kami telah menjadi saksi akan ketangguhan tim dalam menavigasi dan mengatasi krisis; kini di saat kita semua melangkah menuju keadaan yang kembali normal dan keluar dari pandemi, kami yakin akan pertumbuhan dan keseruan yang akan dibawa oleh Ismaya Group ke depannya,” ungkapnya.

Portfolio East Ventures di industri F&B

Telah berdiri sejak tahun 2009, East Ventures yang memiliki kantor pusat di Singapura ini telah berubah menjadi platform holistik yang menyediakan investasi multi-tahap, termasuk seed dan growth untuk lebih dari 200 perusahaan di Asia Tenggara.

Berdasarkan laporan terbaru yang dirilis oleh DSInnovate bertajuk “Startup Report 2021“, East Ventures menduduki peringkat teratas dalam hal kuantitas pendanaan partisipasi di kuartal tahun 2022 dengan 22 putaran pendanaan. Statistik ini tidak jauh berbeda dengan hasil pada tahun 2021.

Sumber: DSInnovate

Sebagai VC yang paling aktif di Asia Tenggara, East Ventures bergerak di sektor agnostik. Hampir semua sektor di industri teknologi tanah air sudah dipenetrasi oleh jaringan EV, termasuk salah satu yang cukup besar juga adalah F&B. Sebelum Ismaya Group, East Ventures sudah mengucurkan dana untuk beberapa nama termasuk YummyCorp, Kulina, Greenly, dan yang belum lama ini mendapatkan pendanaan tahap awal adalah Legit Group.