Sejumlah Rencana Strategis Jagofon Setelah Kumpulkan Investasi Lanjutan dari Angel Investor

Jagofon, platform marketplace gadget bekas (preloved) berhasil mengumpulkan pendanaan awal senilai $549 ribu atau setara 8 miliar Rupiah. Putaran investasi ini diikuti sejumlah investor individu, meliputi Antoine de Carbonnel (CMO Gojek), Gregoire Dumoulin (CEO Bak2 Group), dan Pascal Viguie. Sebelumnya perusahaan telah mengantongi pendanaan pre-seed senilai $254 ribu dari investor individu lainnya.

Tahun 2022 ini Jagofon tengah menjajaki putaran pendanaan selanjutnya ke pemodal ventura. Ditargetkan hingga akhir tahun ini bisa mengumpulkan dana hingga $2 juta.

“Dengan dana segar tersebut, kami ingin melakukan ekspansi di kota-kota lainnya di Indonesia. Meskipun saat ini Jakarta masih menjadi fokus utama dan mulai merambah ke Bandung, namun target kami adalah bisa menjangkau di seluruh Indonesia,” kata Founder & CEO Jagofon Stéphane Becquart kepada DailySocial.id.

Meluncur pada masa awal pandemi 2020 lalu, Jagofon sempat mengalami hambatan pertumbuhan, akibat sulitnya untuk menemukan distributor dan mitra terkait lainnya. Namun demikian kondisinya sudah membaik, sejumlah rencana pun telah disiapkan untuk mengakelerasi pertumbuhan bisnis.

“Dalam hal teknologi kami juga ingin mengaplikasikan machine learning dan artificial intelligence. Harapannya dengan memanfaatkan data yang kami kumpulkan, bisa memberikan rekomendasi yang tepat kepada pengguna dan prediksi penjualan gadget second hand dan preloved kepada para mitra,” kata Stéphane.

Kembangkan solusi logistik terintegrasi

Saat ini Jagofon mengklaim telah memiliki sekitar 45 mitra dan lebih dari 50 ribu pengguna. Untuk bisa memberikan layanan yang menyeluruh, mereka juga telah menempatkan tim customer support selama tujuh hari dalam seminggu. Selain melalui situs web yang dikembangkan, Jagofon juga hadir di beberapa platform marketplace ternama.

“Saat awal banyak pengguna kami yang melakukan pembelian produk Jagofon di official store kami di marketplace seperti Shopee hingga Tokopedia. Namun saat ini karena makin besarnya kepercayaan di antara mereka sekitar 95% trafik datang dari mobile web kami,” kata Stéphane.

Untuk memberikan layanan lebih baik lagi, Jagofon tengah melakukan integrasi dengan beberapa platform logistik di Indonesia.

“Kami bermitra dengan solusi logistik Indonesia, nantinya akan dilakukan proses agregator dengan beberapa perusahaan. Misalnya Gojek dan Grab untuk wilayah Jakarta dan JNE di luar kota. Semua akan terkoneksi dengan backend. Kami juga akan memberikan notifikasi kepada pengguna terkait dengan lokasi pengiriman barang,” kata Stéphane.

Di sisi pembayaran, Jagofon juga mulai menghadirkan pilihan paylater berkolaborasi dengan Kredivo, Akulaku, dan Cicil.co.id. Selain itu mereka juga memberikan pilihan pembayaran split payment, pembeli bisa menggabungkan pilihan pembayaran uang tunai, cicilan, dan lainnya.

“Sebagai platform kami memiliki proses quality control yang ketat. Semua produk yang sudah melalui proses tersebut kami berikan sertifikasi Jagofon. Dengan demikian bisa dipastikan kualitas dan jaminan semua smartphone hingga tablet yang kami hadirkan kepada pengguna,” kata Stéphane.

Ke depannya Jagofon juga ingin bertransformasi menjadi marketplace produk elektronik untuk konsumen. Bukan hanya menyediakan smartphone preloved, namun juga pilihan seperti PC, gaming console, dan perangkat lainnya.

“Untuk memberikan opsi lebih kepada pengguna, asuransi juga sudah menjadi bagian dari pipeline kami dalam waktu dekat,” tutup Stéphane.

SwipeRx Tutup Pendanaan Seri B 396 Miliar Rupiah, Siap Akselerasi Bisnisnya di Indonesia

SwipeRx (sebelumnya bernama mClinica Pharmacy Solutions) mengumumkan pendanaan seri B sebesar $27 juta atau sebesar 396 miliar Rupiah dalam bentuk ekuitas dan pinjaman. Pendanaan ini dipimpin oleh MDI Ventures serta partisipasi dari Bill & Melinda Gates Foundation, Johnson & Johnson Impact Ventures, Susquehanna International Group (SIG), dan sejumlah investor terdahulu.

Rilis ini sekaligus mengonfirmasi pemberitaan kami pada Desember 2021 lalu. MDI sendiri sudah mendukung mClinica sejak pendanaan awal mereka di tahun 2014, kemudian masuk ke pendanaan lanjutan di tahun 2017. Sementara layanan SwipeRx juga sudah mulai debut di Indonesia sejak tahun 2017.

Disampaikan oleh Founder & CEO SwipeRx Farouk Meralli, dana segar yang didapat akan digunakan untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis mereka di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Rencananya SwipeRx akan menambah jaringan apotek, memperluas layanan logistik kesehatan untuk memenuhi kebutuhan B2B, hingga menambah jumlah talenta baru.

Selain itu, SwipeRx juga fokus untuk memperluas basis komunitas dan solusi pengadaan stok obat-obatan untuk apotek di Asia Tenggara.

“Kami ingin merealisasikan visi kami untuk membangun jaringan farmasi terbesar di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Pendanaan ini memperkuat komitmen kami untuk mendisrupsi dan mendukung sektor farmasi yang sangat tersegmentasi agar dapat meningkatkan layanan kesehatan publik,” ujar Meralli dalam keterangannya resmi.

Sementara itu, CEO MDI Ventures Donald Wihardja menambahkan bahwa SwipeRx memiliki potensi besar untuk dapat menjawab tantangan di industri farmasi dengan menghubungkan berbagai pengusaha/pemilik apotek dalam satu platform.

“Perusahaan farmasi dapat memanfaatkan sistem pembelian ritel, kapasitas logistik bertaraf nasional, opsi pembiayaan usaha, dan platform B2B yang terintegrasi sebagai keunggulan layanan SwipeRx,” tuturnya.

SwipeRx merupakan platform farmasi asal Singapura yang didirikan oleh Farouk Meralli, veteran di industri kesehatan masyarakat dan farmasi. Dengan pengalamannya, Meralli berupaya membawa SwipeRx sebagai aplikasi all-in-one B2B commerce dan komunitas para ahli farmasi terbesar di Asia Tenggara.

SwipeRx menghadirkan fitur untuk meningkatkan kapasitas manajemen apotek dan menjadikan jalan satu pintu untuk berbagai keperluan, mulai dari edukasi, pembelian, hingga pembiayaan inventaris. Layanan ini memungkinkan para pemilik apotek kecil untuk meningkatkan kapasitas, ketersediaan, dan keterjangkauan obat, hingga mengakses opsi pendanaan usaha.

Melalui forum online, pengguna SwipeRx dapat terhubung untuk saling berkomunikasi maupun memperoleh edukasi dan informasi tentang obat-obatan melalui platform. Selain itu, pengguna juga dapat bergabung dalam jaringan pembelian untuk pengadaan stok apotek.

Digitalisasi farmasi

SwipeRx berupaya mengatasi tantangan di industri farmasi, salah satunya adalah terjadi fragmentasi di mana banyak apotek kecil yang belum terdigitalisasi dan bergabung ke dalam jaringan yang lebih luas.

Dihubungi DailySocial.id secara terpisah, Farouk Meralli menyebutkan bahwa digitalisasi di industri farmasi diperlukan untuk dapat meningkatkan akses healthcare kepada konsumen, terlebih jika melihat skala pasar di Indonesia. Di samping itu, perluasan channel pada produk farmasi penting agar pemilik apotek dapat meningkatkan skala bisnis dan kinerja keuangan.

Saat ini, SwipeRx telah merekrut lebih dari 235 ribu mitra apoteker profesional dan bermitra dengan 45 ribu apotek di Asia Tenggara. Di Indonesia, SwipeRX telah memiliki lebih dari 8000 mitra apotek ritel. Adapun 5000 di antaranya tercatat telah bertransaksi di platform B2B. Utamanya, SwipeRx membidik pasar apotek (mom-and-pop store) yang beroperasi secara silo dan belum terdigitalisasi.

“Indonesia merupakan pasar terbesar SwipeRx di Asia Tenggara, di mana 70% dari total tim kami berasal dari Indonesia. Saat ini, SwipeRx mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia berkat akselerasi penambahan jumlah mitra apotek. Mitra kami melihat ada nilai unggul dari solusi yang ditawarkan SwipeRx dan hal ini dapat membantu mereka meningkatkan bisnisnya,” ungkap Meralli.

Lebih lanjut, ia memastikan bahwa SwipeRx bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, BPOM, dan perusahaan farmasi milik BUMN, termasuk Biofarma, Indofarma, Kimia Farma, dan Phapros sehingga memungkinkan SwipeRx untuk memperkuat ekosistem farmasinya di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Platform Lowongan Kerja KitaLulus Tutup Pendanaan Seri A, Segera Ekspansi Bisnis

KitaLulus, platform lowongan kerja berorientasi komunitas, hari ini (24/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin oleh Tiger Global. Selain itu, Goodwater Capital, Rocketship.vc, Indogen Capital, FEBE Ventures, dan Go-Ventures turut berpartisipasi dalam putaran ini..

Putaran ini diraih selang kurang dari tiga bulan sejak diumumkan perolehan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Go-Ventures.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar ini untuk tiga hal. Yakni, menskalakan platform teknologinya; membangun tim produk dan teknik kelas dunia; dan memperluas posisi terdepan pasarnya di Indonesia dengan merambah ke 20 kota baru, seperti Balikpapan, Kediri, dan Cirebon. Saat ini KitaLulus hadir di 15 kota di seluruh Indonesia.

Diklaim, perolehan dana segar ini didukung oleh traksi kuat yang berhasil dicapai KitaLulus dibandingkan pemain sejenisnya dalam waktu enam bulan sejak diluncurkan pertama kali di tahun lalu. Terdapat lebih dari satu juta pengguna aktif yang menggunakan KitaLulus untuk mencari pekerjaan, meningkatkan keterampilan, dan jaringan.

Platform ini memfasilitasi hampir dua juta lamaran pekerjaan yang memenuhi syarat setiap bulan, dengan lamaran pekerjaan meningkat dua kali lipat dari bulan ke bulan sejak diluncurkan. Berbagai perusahaan berbondong-bondong bergabung dengan KitaLulus dan rata-rata menemukan kandidat yang cocok dalam tiga hari. Nama-namanya, mulai dari Shipper, Mustika Ratu, Japfa Group, Segari dan Trans F&B.

“[..] Seluruh tim kami bekerja sangat keras untuk mengikuti pertumbuhan yang cepat ini, dan memastikan pemberi kerja dan pengguna senang. Ini termasuk memperkuat tim produk dan teknik kami di Indonesia untuk membangun platform yang sangat skalabel untuk melayani jutaan pengguna”, kata Co-Founder KitaLulus Wei Chuan Chew (Wibowo) dalam keterangan resmi.

Platform berbasis komunitas

KitaLulus adalah platform pekerjaan berorientasi komunitas pertama yang disetujui oleh Kementerian Tenaga Kerja di Indonesia. Melalui platform, pengguna dapat membuat profil, melihat pekerjaan yang tersedia, mengikuti tes penyaringan singkat, dan melakukan kontak langsung dengan calon pemberi kerja melalui WhatsApp.

Pengguna juga dapat bergabung dengan komunitas profesional atau pendidikan yang relevan di mana mereka dapat terlibat satu sama lain, bertukar catatan untuk tampil lebih baik dalam wawancara, dan berbagi kiat untuk meningkatkan pekerjaan mereka.

Selain itu, KitaLulus memungkinkan pengguna untuk mengambil kursus online untuk mempersiapkan diri mereka menghadapi ujian pemerintah dan profesional, dengan ribuan siswa yang membayar telah mendapat manfaat dari kursus di platform.

Co-Founder KitaLulus Stevien Jimmy menambahkan, Indonesia memiliki salah satu populasi usia kerja terbesar di dunia. Sayangnya, banyak orang kehilangan pekerjaan selama pandemi. Dengan tingkat perekrutan yang mulai bangkit, semua bisnis pun turut mempekerjakan kembali. Timnya berkomitmen untuk membangun KitaLulus demi membantu Indonesia kembali bekerja dengan memungkinkan orang untuk memperluas jaringan, meningkatkan keterampilan, dan menemukan pekerjaan impian mereka.

“Seiring waktu, kami juga bercita-cita untuk memberi mereka akses ke layanan keuangan dasar. Solusi tradisional termasuk media sosial, papan pekerjaan, dan agen perekrutan sama sekali tidak cocok untuk memecahkan tantangan yang dihadapi oleh massa”, kata Stevien.

“Kami terkesan dengan pertumbuhan organik KitaLulus yang kuat. KitaLulus berada di posisi yang tepat untuk membangun platform pekerjaan yang menentukan kategori di Indonesia, pasar internet terbesar ke-4 di dunia, dan kami sangat antusias untuk bermitra dengan mereka,” tambah Partner Tiger Global Griffin Schroeder.

Platform lowongan kerja di Indonesia

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak platform lowongan kerja yang menawarkan layanan perekrutan dengan nilai tambah yang berbeda. Misalnya Kalibrr yang menggabungkan platform perekrutan berbasis AI dan layanan employer branding untuk membantu perusahaan menunjukkan nilai-nilai mereka, menarik kandidat tepat, dan merealisasikan proses yang mulus.

Untuk pemain lokal juga ada beberapa platform yang menangani kebutuhan serupa seperti Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, dan beberapa lainnya. Selama pandemi mereka juga cukup aktif membantu perusahaan untuk melakukan digitalisasi sistem HR. Misalnya, Urbanhire, kini mereka tidak hanya memosisikan diri sebagai portal lowongan pekerjaan saja, tetapi HR technology dan talent solutions, berkat kemitraan strategisnya dengan Mercer.

Sementara dengan pendekatan berbasis komunitas, Atma juga belum lama ini meluncur dengan fokus di kalangan blue collar. Debut mereka turut diiringi pendanaan pre-seed 73 miliar Rupiah dari sejumlah investor strategis.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Terlibat di Pendanaan Pebble, Merevolusi Model Bisnis Dompet Digital Lewat Blockchain

Hari ini (24/5) East Ventures mengumumkan keterlibatannya di pendanaan awal Pebble, startup fintech pembayaran berbasis di New York. Putaran investasi ini menyusul debut produk Pebble pasca-bergabung di program akselerasi Y Combinator.

Selain East Ventures, pendanaan $6,2 juta atau setara 91 miliar Rupiah ini juga  didukung Y Combinator, Lightshed Ventures, LD Capital, Soma Capital, Cadenza Capital, Eniac Ventures, dan Global Founders Capital. Sejumlah investor individu juga terlibat, di antaranya Odell Beckham Jr. (superstar NFL), Matthew Bellamy (vokalis Muse), Richard Ma (CEO Quantstamp), dan Leore Avidar (CEO Alt).

Pebble mengembangkan sebuah aplikasi dompet digital berbasis blockchain, memungkinkan pengguna menyimpan, membelanjakan, dan mengirim uang secara efisien. Bahkan lewat mekanisme tertentu, pengguna bisa mendapatkan benefit berupa kredit bernilai tertentu atas nominal atau transaksi yang terjadi di dalam aplikasi.

“Pebble didirikan untuk memperkenalkan standar baru pada keuangan pribadi. Melalui dompet digital Pebble, pengguna dapat memperoleh 5% keuntungan dari persentase hasil tahunan atau Annual Percentage Yield Rewards dari uang mereka, serta cashback sebesar 5% tanpa batas di 55 merchant rekanan seperti Amazon, Domino, AirBnB, Adidas, dan banyak lagi,” jelas Co-founder & CTO Pebble Sahil Phadnis.

Selain itu, mereka telah berkolaborasi dengan Mastercard untuk merilis kartu debit untuk setiap penggunanya.

Dengan visi untuk memberdayakan sebanyak mungkin orang secara finansial, Pebble akan menggunakan dana segar yang didapat untuk mendorong ekspansinya ke pasar global. Pebble berencana untuk merilis aplikasinya di Asia Tenggara pada akhir tahun 2022.

Pemanfaatan blockchain di sistem aplikasi

Dalam proses bisnisnya, saat pengguna menyetorkan uangnya ke aplikasi, Pebble mengubahnya menjadi sebuah mata uang berbasis blockchain dengan nominal US$ (stablecoin) yang disebut dengan USDC (US dollar-denominated blockchain-based currency). Kemudian, mereka akan meminjamkannya ke lembaga keuangan yang terdaftar secara resmi.

Teknologi USDC dinilai bisa memberdayakan transaksi global tercepat dan termurah, sehingga banyak lembaga keuangan besar di dunia bersedia untuk membayar lebih dalam mengakses stablecoin. Semua keuntungan ini dapat diakses pengguna tanpa harus memahami kompleksitas dari kripto.

Melalui website Pebble, para pengguna dapat mengumpulkan mata uang open rewards (diberi nama “Pebbles”) yang bertujuan untuk memudahkan perkenalan ekonomi blockchain bagi para pengguna yang belum memahami kripto. Pada dasarnya saat ini Pebbles belum memiliki nilai atau fungsi apa pun; namun mata uang tersebut akan menjadi kunci untuk menyelaraskan insentif tim, investor, mitra, merchant, dan para pengguna untuk membangun ekonomi global baru di atas blockchain — secara bersama-sama.

Meskipun aplikasi Pebble saat ini hanya tersedia di Amerika Serikat, Co-founder & CEO Pebble Aaron Bai mengatakan, “Komunitas Pebble telah menyatukan orang-orang di seluruh dunia yang bersemangat untuk membangun sistem keuangan berstandar global di blockchain.”

Tugas berat membangun kepercayaan

Para founder Pebble percaya bahwa adopsi massal dari teknologi blockchain akan terjadi jika para pengguna dapat melihat manfaat sebelum menilai kripto berdasarkan stereotipe.

Menurut analisis kami, dengan beberapa kejadian yang menimpa ekosistem keuangan global beberapa waktu terakhir — termasuk turunnya nilai beberapa stablecoin akibat krisis yang memberikan kesan bahwa jaminan stabilitas nilai tersebut gagal dibuktikan —menjadi salah satu pekerjaan terberat pemain seperti Pebble untuk membangun kepercayaan di publik. Apalagi basis utama layanan mereka adalah menggunakan stablecoin.

Namun demikian, konsep ini menarik. Sebelumnya platform cyrpto-earn lain membungkus layanan seperti itu melalui sebuah aplikasi wealthtech atau investasi, dengan konsep pengguna meletakkan terlebih dulu sejumlah kripto untuk diputar kembali. Sementara yang dilakukan Pebble lebih kepada menggantikan kebiasaan pengguna dengan dompet digital yang sehari-hari digunakan — yang secara tidak langsung turut mempromosikan blockchain kepada khalayak yang lebih luas.

[Video] RHL Ventures Jembatani Ekosistem Startup Indonesia dan Malaysia

DailySocial bersama Co-Founder & Managing Partner RHL Ventures Raja Hamzah membahas peran perusahaannya dalam mendukung ekosistem startup di Malaysia, Indonesia, dan Singapura, serta kriteria perusahaan yang menjadi fokus pendanaan RHL Ventures.

Untuk video menarik lainnya seputar modal ventura (venture capital) dan seperti apa dukungannya terhadap startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi VCTalks.

Telkom Group Suntik 292 Miliar Rupiah untuk INDICO

Telkom Indonesia melalui anak usahanya Telkomsel menyuntikkan modal sebesar Rp292 miliar kepada anak usahanya, PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) atau kini dikenal dengan Indonesia Digital Ecosystem (INDICO). Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Telkom melakukan transaksi afiliasi tersebut dalam rangka memperkuat platform digital yang dimiliki TED.

PGS Direktur Strategic Portofolio Telkom Bogi Witjaksono mengatakan, transaksi ini termasuk transaksi afiliasi mengingat Telkom merupakan perusahaan pengendali Telkomsel dengan kepemilikan sebesar 65%. TED merupakan anak perusahaan yang dikendalikan langsung Telkomsel dengan kepemilikan saham sebesar 99,99%.

“Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.42/POJK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Transaksi Benturan Kepentingan (POJK 42/2020), dengan ini kami sampaikan bahwa pada tanggal 18 Mei 2022 telah dilakukan Transaksi Afiliasi berupa Penyertaan Modal oleh PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) kepada PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED),” tulis Bogi.

TED merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultasi manajemen bisnis dan investasi atau penyertaan modal kepada sejumlah perusahaan. Selain itu, bisnis TED juga bergerak di sektor aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan yang berkaitan dengan periklanan.

TED resmi dibentuk pada awal Januari 2022 dan diposisikan sebagai perusahaan holding yang menaungi beberapa anak usaha dari emerging portofolio bisnis vertikal Telkomsel di bidang sektor digital, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sinergi seluruh keunggulan ekosistem aset yang dimiliki Telkomsel. Beberapa inovasi digital yang sudah berjalan di antaranya adalah Kuncie (edtech), Fita (healthtech), dan Majamojo (game).

Dalam peresmiannya beberapa waktu lalu, CEO TED Andi Kristianto menegaskan INDICO berkomitmen untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara inklusif dan berdampak. “INDICO akan memampukan kami untuk lebih engage dengan para inovator, investor, mitra strategis, dan stakeholder terkait,” tutur Andi.

Untuk jangka pendek, TED mengembangkan platform yang memungkinkan para inovator, investor, collaborator untuk menjangkau pasar lebih mudah dalam lima tahun ke depan. Pengembangan ini akan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan aset dan kapabilitas yang dimiliki induk usaha, yakni basis pelanggan sebanyak 170 juta dan lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota.

Pengembangan inovasi digital tersebut juga memanfaatkan pemahaman yang dimiliki, baik secara geografis maupun demografis. “Dengan demikian, aset kami tak hanya relevan bagi [pasar] telekomunikasi saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia, dengan strategi growth hacking. Indonesia sangat diverse, pemahaman terhadap lokal itu sangat berharga,” tambahnya.

Untuk tahap awal, lanjut Andi, pihaknya akan mendorong pengembangan produk digital yang sudah ada dalam enam bulan ke depan, yakni Kuncie, Fita, dan Majamojo. Apabila kapabilitas yang dimiliki sudah dimanfaatkan secara optimal, pihaknya baru akan mulai masuk ke vertikal lain.

Pendekatan baru Telkomsel

Merangkum perjalanan transformasi digitalnya, sejak tahun lalu Telkomsel mulai mengambil pendekatan berbeda dalam mengembangkan produk digital. Sebelum ini, pengembangan inovasi digital dilaksanakan lewat kendaraan Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TINC menjaring ide untuk diinkubasi dan diakselerasi dari startup lokal, sedangkan TMI masuk melalui pemberian investasi ke startup tahap awal (early stage).

Namun, kali ini Telkomsel mencoba mengeksplorasi vertikal yang belum pernah digarap oleh telekomunikasi sebelumnya. Telkomsel mengembangkan platform Kuncie dan Fita yang sama-sama masuk ke segmen digital lifestyle tahun lalu. Kemudian, masuk Majamojo yang didirikan lewat skema patungan oleh TED dan GoTo pada Februari kemarin.

Dalam wawancara terdahulu DailySocial.id dengan Kuncie dan Fita, pendekatan ini tercermin dari langkah Telkomsel mendapuk CEO Kuncie dan Fita dari luar lingkungan perusahaan dan induk usaha. Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan untuk mengembangkan bisnis dengan model growth hacking, dan punya potensi untuk di-spin-off. Model ini tentu bertentangan dengan model bisnis telekomunikasi yang berorientasi pada Return of Investment (ROI).

Xendit Rampungkan Pendanaan Seri D Senilai 4,3 Triliun Rupiah

Startup pengembang infrastruktur pembayaran Xendit mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri D senilai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Coatue dan Insight Partners, dengan partisipasi Accel, Tiger Global, Kleiner Perkins, EV Growth, Amasia, Intudo, dan Goat Capital.

Dana segar ini menambah total pendanaan ekuitas yang berhasil dikumpulkan Xendit sejauh ini senilai $538 juta. Capaian ini diperkirakan melambungkan valuasi perusahaan hingga lebih dari $2 miliar Rupiah. Sebelumnya Xendit menutup pendanaan seri C senilai $150 juta pada September 2021 lalu, berhasil membawa mereka menjadi unicorn selanjutnya dari Indonesia.

“Melalui pendanaan terbaru ini, kami berkomitmen untuk terus berinvestasi di pasar-pasar baru, mengembangkan platform, dan memperluas lini bisnis agar bisa memaksimalkan peluang yang ada. Nilai ekonomi digital Asia Tenggara akan mencapai $360 miliar pada tahun 2025 dan kami percaya Xendit telah berada di posisi yang tepat untuk bisa berkontribusi dan meraih manfaat dari pertumbuhan tersebut,” sambut Co-founder & CEO Xendit Moses Lo.

Hadir menyajikan layanan utama berupa payment gateway, Xendit memudahkan startup dan UMKM untuk bisa memproses pembayaran digital dan meningkatkan skala bisnis mereka. Xendit konsisten melanjutkan performa positifnya, dengan peningkatan penjualan lebih dari 10% month-on-month semenjak diluncurkan tahun 2016.

Selama satu tahun terakhir, jumlah transaksi yang tahunan difasilitasi Xendit melonjak 3x lipat, dari 65 juta menjadi 200 juta dan meningkatkan total nilai pembayaran dari $6,5 miliar (setara dengan Rp95 triliun) menjadi $15 miliar (setara dengan Rp219 triliun). Saat ini sudah ada sekitar 3 ribu bisnis yang menjadi klien Xendit.

Penguatan strategi bisnis

Sejumlah pengembangan strategi dilakukan Xendit beberapa waktu terakhir. Yang terbaru, mereka mengumumkan investasinya di Bank Sahabat Sampoerna serta menawarkan layanan banking-as-a-service (BaaS).

Pada bulan Maret lalu juga meluncurkan XENSClub, komunitas resmi penjual online Xendit yang memiliki banyak program edukatif untuk membantu anggotanya mengembangkan diri. Xendit juga melakukan investasi strategis di DragonPay, sebagai bagian dari ekspansinya ke Filipina.

“Xendit akan terus berekspansi ke wilayah baru  seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam, di mana kami bisa mengidentifikasi kebutuhan pelaku usaha di sana dan memberikan solusi infrastruktur pembayaran yang tepat. Kami pun berencana untuk menghadirkan layanan yang lebih luas dan bervariasi, misalnya seperti program pinjaman yang telah kami jalankan di Indonesia,” imbuh Co-Founder & COO Xendit Tessa Wijaya.

Untuk mendekatkan diri ke segmen UMKM, sejak tahun 2021 Xendit meluncurkan sejumlah inovasi produk. Di antaranya ada layanan SaaS untuk membantu pelaku usaha mengatur inventori produk; ada juga aplikasi bisnis “Online Store” untuk memfasilitasi kegiatan social commerce.

Kendati layanan fintech ini memiliki peluang besar di tengah digitalisasi bisnis yang kian masif, namun untuk memenangkan pasar sebuah platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat. Di layanan payment gateway, Xendit berhadapan langsung dengan sejumlah pemain. Di antaranya ada Midtrans yang saat ini berada di bawah naungan grup GoTo Financial. Ada juga DOKU, Xfers (bagian dari Fazz Financial Group), Faspay, Duitku, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

MCash dan SiCepat Berinvestasi ke Lenna.ai, Startup Pengembang Platform Chatbot dan Omnichannel

PT SiCepat MCash Indonesia, perusahaan patungan PT M Cash Integrasi Tbk (IDX: MCAS) dan PT SiCepat Ekspres Indonesia (SiCepat), berinvestasi ke PT Sinergi Digital Teknologi (Lenna.ai) dengan mengakuisisi 40% saham. Lenna.ai adalah startup yang fokus pada pengembangan teknologi AI, dengan produk berupa chatbot.

Sebelum investasi ini, Lenna.ai sudah mendapatkan investasi dalam angel round dan seed round dari investor yang dirahasiakan.

Lenna.ai didirikan sejak 2017 oleh Alen Boby. Selain chatbot, mereka turut mengembangkan platform omnichannel untuk memudahkan bisnis mengelola berbagai akun pesan instan di satu kanal terpusat. Produk-produk tersebut dijajakan dengan model integrasi API dan no-code, sehingga memungkinkan pengguna non-pemrogram menjajal layanannya.

Adapun use case pemanfaatannya juga cukup luas. Selain untuk layanan pelanggan yang umum disediakan penyedia chatbot di Indonesia, Lenna.ai juga mengakomodasi fitur layanan yang lebih luas seperti salah satunya “Smart Parking System with Chatbot”. Fitur ini merupakan solusi penyederhanaan dan percepatan pelayanan publik berbasis teknologi digital untuk masyarakat luas yang kesulitan mencari tempat parkir.

“Kami optimis investasi yang dilakukan oleh MCAS Group akan membuat pertumbuhan teknologi AI yang dibangun Lenna.ai semakin maju dan tumbuh lebih progresif. Kami percaya bahwa jaringan bisnis MCAS Group yang luas dapat mengakselerasi inisiatif baru dalam ranah teknologi yang semakin inovatif. Besar harapan kami untuk bisa mengembangkan laju perkembangan bisnis melalui berbagai kolaborasi yang akan dilakukan dengan ekosistem MCAS Group, untuk dapat memberikan solusi yang lengkap dan terdepan bagi mitra kami,” ujar Founder & CEO Lenna.ai Alen Boby.

Sementara itu Managing Director M Cash Integrasi Jahja Suryandy mengatakan, “Melalui investasi ini, kami yakin lini teknologi AI MCAS Group akan semakin kuat. Kami berkomitmen untuk terus mengembangkan infrastruktur digital yang masif, mempercepat penetrasi AI ke dalam digitalisasi bisnis serta menyinergikannya dengan berbagai layanan yang telah ada.”

Potensi chatbot untuk bisnis

Produk teknologi serupa Lenna.ai sebenarnya sudah cukup bertebaran di Indonesia. Misalnya platform chatbot builder yang dikembangkan Kata.ai. Ada juga platform omnichannel chat dari Qiscus, dan lain sebagainya.

Potensi adopsi layanan chatbot oleh bisnis semakin meningkat seiring transisi tren konsumen yang semakin digital. Chatbot menyuguhkan layanan informasi yang cepat dan komprehensif. Menurut laporan Insider Intelligence, diproyeksikan ukuran pasar layanan chatbot global akan mencapai $142 miliar di tahun 2024 mendatang.

Namun demikian, ada tantangan fundamental yang harus dipecahkan para inovator. Chatbot akan sangat bergantung dengan kemampuan NLP (Natural Language Processing), sederhananya berupa sistem cerdas yang ditugaskan untuk memahami apa yang dituliskan oleh pelanggan. Pengembangan NLP adalah salah satu aspek paling menantang yang ditemui inovator chatbot, terlebih dalam konteks Bahasa Indonesia. Startup seperti Kata.ai, Bahasa.ai, Bot MD, Prosa.ai berinvestasi besar untuk menggarap sistem tersebut.

Di samping untuk memenuhi tujuan bisnis secara umum, beberapa startup juga melahirkan inovasi chatbot untuk produk yang lebih spesifik. Contohnya yang dilakukan Prixa dengan chatbot layanan kesehatan; atau HiPajak dengan chatbot konsultan pelaporan pajak.

Pitik Dapat Pendanaan Seri A 206 Miliar Rupiah Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup pengembang inovasi teknologi peternakan “Pitik” hari ini (19/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 206 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dengan partisipasi dari investor sebelumnya, yakni MDI Ventures dan Wavemaker Partners.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pitik resmi meluncur pada pertengahan 2021 diprakarsai oleh Arief Witjaksono dan Rymax Joehan. Mereka berambisi menghadirkan solusi teknologi end-to-end memberdayakan peternak unggas di Indonesia. Termasuk menghadirkan kemudahan dari sisi pembiayaan dan efisiensi rantai pasok.

Dengan dana segar yang dibukukan ini, Pitik akan memperluas ekosistem layanannya ke lebih banyak peternak ayam di Indonesia. Termasuk dengan memperkuat tim di seluruh divisi yang ada.

Selain itu, Pitik akan terus mengembangkan teknologi canggih dan produk automasi yang akan meningkatkan produktivitas pertanian lebih jauh. Perusahaan juga menargetkan membangun kehadiran di seluruh wilayah Jawa tahun ini dan memperluas ke pulau-pulau lain pada tahun 2023. Perusahaan juga akan memperluas bisnisnya ke layanan hilir seperti pemrosesan dan distribusi ke pengguna akhir.

Permasalahan di peternakan unggas

Sektor peternakan di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Menurut data, konsumsi daging ayam pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita, setara 3,5 juta kg per tahun. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita pada tahun 2029.

Kendati demikian, Pitik masih melihat adanya inefisiensi dalam sistem produksi dan rantai pasok produk ayam segar. Sistem produksi yang buruk dinilai mengakibatkan tingkat kematian unggas nasional 5-8x lebih tinggi dari rata-rata global. Sementara manajemen yang buruk membuat kebocoran pendapatan tahunan hingga 2 miliar Rupiah di tiap peternakan.

Solusi yang dihadirkan Pitik berupa platform manajemen peternakan. Perangkat lunak tersebut turut terhubung dengan sensor berbasis IoT yang diterapkan di kandang — menghasilkan model smart farming. Sehingga peternak bisa melakukan pemantauan lebih akurat terkait kondisi kandang dan perkembangan unggasnya.

Perangkat IoT Box Pitik yang dipasang di peternakan / Pitik

Di sisi lain, platform juga mendemokratisasi layanan pasok, menghubungkan petani dengan mitra terpercaya untuk menjual hasil panennya. Layanan pembiayaan turut dihadirkan untuk meningkatkan kapabilitas bisnis petani — data-data yang dihasilkan dianalisis sebagai potensi ternak untuk menghasilkan skoring kredit yang lebih kredibel.

Berdasarkan data terbaru, pemanfaatan layanan tersebut oleh Kawan Pitik (sebutan untuk mitra petani) diklaim bisa menekan angka kematian hingga 50% dan meningkatkan rasio konversi pakan 12% dibandingkan rata-rata nasional, yang akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.

Dalam 6 bulan terakhir, Pitik telah meningkatkan ukuran jaringan pertaniannya lebih dari 10x lipat melalui kemitraan dengan ratusan petani di 53 kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari jaringan peternak ini, Pitik saat ini menjual lebih dari 16 juta ekor ayam per tahun.

“Kami telah membuktikan bahwa teknologi kami efektif dalam membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan ekosistem kami mampu memberikan layanan bernilai tambah bagi petani. Impian besar kami adalah memberdayakan semua peternak unggas di Indonesia melalui layanan terpadu kami dan memastikan kami dapat meningkatkan taraf hidup mereka,” kata Co-Founder & CEO Pitik Arief Witjaksono.

Pertumbuhan startup di bidang peternakan

Di tengah potensi Indonesia sebagai penghasil ternak, beberapa startup hadir memunculkan solusi inovatif. Baik untuk membantu petambak udang, ikan, hingga peternak unggas. Selain Pitik, ada pemain lain yang juga mencoba membantu efisienkan proses bisnis di peternakan ayam, salah satunya Chickin. Berawal dari sebuah B2B commerce daging ayam untuk horeka, kini mereka turut kembangkan teknologi IoT untuk optimalkan manajemen kandang.

Tentu ini menjadi angin segar untuk para pelaku bisnis. Dari banyak riset yang dilakukan, mereka memang masih menghadapi banyak isu klasik. Seperti akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Harapannya, tentu adanya teknologi pendukung ini benar-benar bisa mendemokratisasi model bisnis yang ada. Dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hasil ternak dan pemasukan dari para peternak. Di samping untuk memastikan supply dari pasar terpenuhi dengan baik dari produsen dalam negeri.

“Kami telah membuka peluang bisnis hulu di bidang peternakan unggas. Memperluas ke hilir berarti kami dapat membantu petani mengekstraksi margin yang lebih tinggi dari rantai nilai. Ini selaras dengan misi kami untuk menjadi mitra petani di semua titik perjalanan pertanian,” kata Co-Founder & COO Pitik Rymax Joehana.

Ia melanjutkan, “Tidak hanya itu, ini juga berarti kami dapat menyediakan ayam yang lebih sehat dan berkualitas tinggi untuk konsumen Indonesia karena produk yang dijual oleh Pitik bersumber dari jaringan petani kami dengan standar kontrol kualitas dan pemantauan produk yang paling ketat.”

Application Information Will Show Up Here

Pintarnya Umumkan Pendanaan Awal 93 Miliar Rupiah Dipimpin Sequoia India dan General Catalyst

Pintarnya adalah platform job marketplace yang menyasar kalangan pekerja kerah biru. Hari ini (19/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Capital India dan General Catalyst. Nilai investasi yang dapat dibukukan $6,3 juta atau setara 93 miliar Rupiah.

Startup tersebut didirikan oleh Nelly Nurmalasari, Henry Hendrawan, dan Ghirish Pokardas. Nelly dan Henry sebelumnya dikenal sebagai eksekutif senior di Traveloka, khususnya di divisi produk keuangan dan teknologi. Sementara Ghirish sebelumnya bekerja menjadi eksekutif senior di KKR yang juga fokus di layanan finansial.

Nelly sendiri juga menjadi bagian dari kohort pertama program mentoring Sequoia Spark — yang secara spesifik didesain Sequoia untuk calon pengusaha perempuan potensial di Asia Tenggara dan India.

Dengan pendanaan ini, Pintarnya akan mengakselerasi pertumbuhan bisnis dengan melakukan perekrutan tim di bidang pengembangan, produk, desain, pemasaran, operasional, dan bisnis di Jakarta.

Latar belakang pendirian Pintarnya

Di segmen kerah biru, untuk mencari pekerjaan biasanya seseorang akan bergantung dari informasi yang tersebar dari mulut ke mulut. Kanal online yang ada pun juga menyajikan banyak informasi lowongan, hanya saja banyak yang tidak terverifikasi — bahkan tidak sedikit yang berujung pada penipuan terhadap pencari kerja.

Namun, di sisi lain pemberi kerja juga memiliki gap yang cukup serius untuk menjangkau calon tenaga kerja. Mereka membutuhkan platform yang dapat diandalkan dalam mengidentifikasi, memverifikasi, hingga memperkerjakan pekerja. Demikian diceritakan oleh Nelly (CEO). Permasalahan tersebut dialami secara langsung.

“Dulu saya mempekerjakan staf salon kecantikan melalui platform iklan baris online atau referensi para pekerja lain. Sangat sulit untuk menyaring dan memverifikasi kandidat dan pengalaman kerjanya dengan cepat. Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa untuk para pencari kerja, sangat menjengkelkan untuk mencari dan melamar pekerjaan, lalu mereka menjadi korban penipuan dalam prosesnya,” ujar Nelly.

Ia melanjutkan, “Pintarnya bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut untuk kedua belah pihak. Lalu, 80% dari populasi memiliki smartphone, jadi ini saat yang tepat untuk meluncurkan sebuah platform digital. Perubahan perilaku yang dipicu oleh pandemi COVID-19 baru-baru ini dan bangkitnya Open Finance di Indonesia juga memberikan dorongan pada misi kami.”

Solusi yang dihadirkan Pintarnya

Pintarnya menyuguhkan layanan melalui situs web dan aplikasi mobile. Untuk saat ini layanan mereka baru bisa digunakan secara efektif untuk pengguna di Jabodetabek dan Bandung.

Dalam cara kerjanya, setelah pencari kerja mendaftar dan membuat profil, Pintarnya akan menggunakan informasi yang diberikan untuk merekomendasikan peluang pekerjaan yang relevan. Termasuk mempertimbangkan berbagai parameter termasuk namun tidak terbatas pada persyaratan pekerjaan, lokasi, dan keahlian. Pendekatan ini dinilai bisa memberikan akses tidak hanya ke prospek yang diverifikasi dan dikurasi.

Setelah itu Pintarnya akan bekerja sama dengan mitra pemberi kerja untuk mengkualifikasi dan merekrut pekerja kerah biru terkait.

“Misi dari Pintarnya tidak hanya membantu para pekerja mendapatkan pekerjaan. Dengan identitas digital dan riwayat pekerjaan yang terverifikasi, kami akan membuka akses untuk layanan finansial yang lebih baik untuk mereka dengan kemitraan bersama institusi keuangan, memungkinkan pekerja kerah biru meraih mimpi mereka untuk hidup yang lebih layak,” imbuh Henry.

Kendati tidak dijabarkan detailnya, dengan mekanisme berbasis data dan memanfaatkan platform Open Finance, Pintarnya juga berkomitmen untuk menyuguhkan layanan finansial formal bagi para pekerja tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dengan memperjuangkan literasi dan inklusi finansial.

Potensi platform job marketplace kerah biru

Tidak dimungkiri juga, potensi nilai ekonomi pekerja kerah biru sangat besar, namun sangat kompleks dan terfragmentasi. Di Indonesia, 60 juta pekerja kerah biru mencakup lebih dari 70% pekerja berbayar dan menyumbangkan 20% pada PDB.

Hal ini turut disampaikan oleh Alex Tran dari General Catalyst. Ia berujar, “Indonesia memiliki salah satu populasi termuda di dunia, yang merupakan hal langka dan potensi bonus demografi jika orang diberi kesempatan untuk menjadi produktif dan stabil secara finansial. Hal Ini adalah tantangan dan peluang besar yang dapat dipecahkan oleh teknologi.”

Alex melanjutkan, “Kami senang dapat mendukung tim di Pintarnya saat mereka memulai misi untuk membantu pekerja kerah biru menyesuaikan diri dengan pemberi kerja, membangun komunitas, dan meningkatkan keterampilan. Kami juga senang dengan peluang fintech yang dapat muncul dari sini. Pekerjaan mengarah ke pendapatan mengarah ke akses pada layanan keuangan, jadi kami pikir masuk akal bahwa satu platform harus memiliki seluruh hubungan ini.”

Sejumlah platform untuk pekerja kerah biru sebelumnya juga sudah banyak bermunculan. Sebut saja AdaKerja, Sampingan, MyRobin, Lumina, sampai yang terbaru ada Atma. Atma juga baru-baru ini mengumumkan pendanaan pre-seed untuk mendukung debutnya senilai $5 juta — mereka hadir dengan pendekatan berbeda, yakni dengan pemberdayaan komunitas.

Application Information Will Show Up Here