Janji dari Awan untuk Kemajuan Digital di Indonesia

Pandemi COVID-19 secara tiba-tiba datang dan memaksa manusia untuk menerima dan beradaptasi terhadap berbagai kebiasaan baru. Kebijakan physical distancing mendorong masyarakat untuk beraktivitas secara online demi mengurangi penyebaran penyakit. Perubahan kebiasaan baru ini, secara langsung berdampak pada percepatan penetrasi digital di Indonesia. Banyak perusahaan konvensional yang mulai mempertimbangkan investasi pada infrastruktur dan teknologi demi kelancaran usaha.

Percepatan penetrasi digital tentu tidak terlepas dari janji teknologi komputasi awan sebagai pembuka peluang pengembangan bisnis dengan pemanfaatan dan pengelolaan data dengan lebih optimal. Hal tersebut tampaknya menjadi angin segar bagi bisnis konvensional yang mengharapkan operasional bisnis dapat berjalan efektif dan inovasi-inovasi baru dapat terjadi dengan cepat. Lebih jauh lagi, keinginan pemerintah agar pemulihan ekonomi di Indonesia pasca pandemi juga dapat segera terlaksana. Namun semudah apakah janji tersebut dapat terpenuhi?

Akhir tahun 2020 lalu, Boston Consulting Group (BCG) bersama dengan Amazon Web Services (AWS) mengeluarkan hasil studi yang menyatakan bahwa kehadiran teknologi komputasi awan dibutuhkan dalam membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk bertransformasi digital. Pemanfaatan komputasi awan dapat memangkas 15-40 persen biaya pembangunan infrastruktur teknologi informasi (TI) di suatu perusahaan. Tidak hanya itu, dengan memanfaatkan komputasi awan, produktivitas perusahaan diperkirakan juga akan melonjak hingga 25-50 persen karena automasi proses bisnis.

Kehadiran teknologi komputasi awan ini di klaim memberikan tiga manfaat dalam transformasi digital yakni efisiensi waktu, efisiensi biaya, dan kecepatan inovasi serta penetrasi pasar yang lebih baik.

BCG memperkirakan jika industri komputasi awan di tanah air tumbuh sesuai dengan jalurnya atau dengan skenario normal, maka dampak terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan mencapai US$36 miliar sepanjang 2019-2023.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebanyak 270,20 juta jiwa dan telah menguasai 40% dari total nilai ekonomi berbasis internet di Asia tenggara pada 2019, semakin menunjukkan potensinya sebagai raja ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara. Indonesia juga memiliki nilai ekonomi berbasis internet Indonesia mencapai 40 miliar dolar atau Rp567,9 triliun. Angka tersebut diproyeksikan bakal melonjak 32 persen menjadi 133 miliar dolar pada 2025 mendatang.

Di era digital, kebutuhan perusahaan terhadap kemudahan akses dan integrasi data menjadi keharusan agar tetap relevan. Ditambah saat pandemi, di mana hampir sebagian besar masyarakat memilih untuk beraktivitas secara online, kebutuhan terhadap penerapan komputasi awan ini menjadi semakin dibutuhkan, dan akselerasi bisnis komputasi awan juga semakin menuju langit. Karena teknologi ini bisa menjadi jembatan di tengah masyarakat memilih untuk tetap produktif di tengah keterbatasan. Komputasi awan sendiri tidak terbatas menyediakan layanan di internet publik, tapi bisa juga untuk mengatur jaringan infrastruktur yang dimiliki oleh perusahaan atau disebut jaringan privat. Walaupun tidak semudah layanan awan publik, tapi perusahaan masih bisa mendapatkan berbagai benefit yang ditawarkan oleh komputasi awan.

Penerapan komputasi awan telah lama diadaptasi oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Salah satu kisah yang menarik ada pada Gojek. Kemampuan Gojek untuk beradaptasi dengan cepat menghadirkan solusi bagi masyarakat di tengah pandemi ini juga dimungkinkan dengan kemudahan teknologi untuk pengelolaan dan optimalisasi data, seperti fitur geofencing untuk memastikan layanan tidak dapat beroperasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai Wilayah Pengendalian Ketat (PSBB) serta memperingatkan dan bahkan menindak secara otomatis mitra-mitra yang secara sistem terindikasi sedang berkerumun khusus di area Jabodetabek, rekomendasi dan search engine untuk GoFood, mengurangi potensi fraud, contactless delivery, dan masih banyak inovasi lainnya yang dimudahkan berkat layanan komputasi awan.

Komputasi awan juga membantu dalam algoritma penentuan tarif untuk pemerataan supply dan demand di titik-titik tertentu, misalnya tarif di titik tertentu akan menyesuaikan jika demand penggunanya meningkat dan membutuhkan lebih banyak jumlah mitra driver. Dengan adanya penyesuaian tarif tersebut, maka waktu tunggu konsumen menjadi lebih cepat. Pengalaman pengguna menjadi lebih baik dan pendapatan harian mitra driver juga meningkat dengan adanya pemerataan titik demand.

Dengan jutaan pengguna yang menggunakan aplikasi Gojek, maka penting untuk memastikan performa aplikasi berfungsi dengan baik. Dengan menggunakan beberapa fitur keandalan dan keamanan dari luasnya layanan yang disediakan komputasi awan, maka engineers dapat mendeteksi potensi-potensi gangguan dengan cepat. Inovasi juga semakin dimudahkan dengan kemampuan komputasi awan untuk memudahkan pembuatan model machine learning untuk pengolahan data. Pemanfaatan komputasi awan tentunya memudahkan Gojek untuk fokus pada produk inti (core product) dan mendorong percepatan inovasi. Kecepatan Gojek untuk berinovasi mendorong pertumbuhan Gojek secara eksponensial bahkan di tengah situasi yang sulit.

Kesuksesan tersebut tentunya sangat mungkin diadaptasi oleh perusahaan dan organisasi lainnya seperti rumah sakit, banking, layanan transportasi publik, maupun pemerintahan. Sektor pemerintahan pun telah meningkatkan pelayanan publik dengan komputasi awan, terutama demi keamanan siber. Sebagai contoh, website DPR telah memanfaatkan layanan komputasi awan dari Balai Sertifikasi Elektronik, untuk memastikan keamanan informasi elektronik, sehingga potensi peretasan informasi bisa dikurangi.

Namun, dengan berbagai keunggulan dan janji manis yang dihadirkan komputasi awan, ada banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam mengadaptasi komputasi awan. Pertama, tidak sedikit yang meragukan keamanan data pelanggan apabila disimpan dalam komputasi awan karena data harus diserahkan ke pihak ketiga. Padahal, mayoritas penyedia komputasi awan besar sudah memiliki sertifikasi ISO 27001 yang menjamin kerahasiaan data pelanggan dan memastikan kerahasiaan data transaksi dan pembayaran terjamin dan sesuai standar industri.

Dari sisi keamanan siber, komputasi awan telah memiliki keamanan yang berlapis, baik secara fisik di gedung data center mereka, maupun keamanan dari sisi software, sehingga lebih sulit untuk diretas dibandingkan dengan server yang dikelola sendiri di gedung perkantoran. Misalnya, infrastruktur komputasi awan melakukan enkripsi data, mengintegrasikan policy keamanan, dan juga memonitor secara terus-menerus semua aktivitas di sistem, sehingga bisa mendeteksi kejahatan siber sebelum peretas meluncurkan serangannya.

Kedua, regulasi pemerintah terkait penyimpanan dan pemrosesan data Indonesia harus lebih diperjelas untuk mendukung percepatan digital di Indonesia dan menjaga kedaulatan data. Pemerintah saat ini sedang membangun layanan komputasi awan milik negara yang direncanakan rampung pada 2022 untuk menjaga data-data strategis pemerintah dan juga pihak lainnya.

Pemerintah perlu mematangkan perencanaan penyediaan layanan komputasi awan dan mempertimbangkan mengenai apakah rencana tersebut akan efektif untuk menunjang kebutuhan besar di era digital. Membangun infrastruktur komputasi awan sendiri merupakan pekerjaan berat, karena keandalan dan keamanan sistem harus terus dijaga 24 jam setiap harinya, tidak boleh mengalami gangguan sedikit pun, apalagi jika harus diakses oleh puluhan bahkan ratusan juta pengguna di Indonesia. Namun hal ini bukan berarti mustahil untuk direalisasikan demi menunjang percepatan digital dan pemulihan ekonomi pasca pandemi di Indonesia.

Tulisan ini disusun oleh Giri Kuncoro selaku Senior Software Engineer Gojek. Sebelumnya ia pernah bekerja di beberapa perusahaan internasional seperti VMware, General Electric, dan Toshiba Corporation. Ia juga sudah membukukan dua paten terkait algoritma untuk mengontrol distribusi dan efisiensi penambahan daya baterai di sistem penyimpanan.

Gambar Header: Depositphotos.com

Menyusuri Tanah Berbatu: Perjalanan Gojek Menuju Bursa Saham

Gojek lahir dari rasa frustrasi co-founder dan mantan CEO Nadiem Makarim. Pada tahun 2008 dan 2009, Nadiem adalah seorang konsultan manajemen muda bercita-cita tinggi yang bekerja untuk McKinsey. Untuk beranjak dari rumahnya ke kantor setiap hari, dia membutuhkan transportasi cepat untuk bisa melalui kepadatan lalu lintas Jakarta. Mobil pribadi bukanlah pilihan yang tepat, karena jalanan ibu kota sering macet. Nadiem, 25 tahun, menjadi pelanggan setia ojek. Dia bahkan menyimpan nomor beberapa pengemudi ojek di ponselnya sehingga dia bisa menjadwalkan tumpangan.

Namun, dia frustasi karena kualitas layanan yang tidak konsisten. “Terkadang ojek langganan saya [ojek reguler] ada di tempat lain dan tidak bersedia,” sebutnya dalam wawancara tahun 2019 dengan mantan menteri Gita Wirjawan. “Hanya teknologi yang bisa meningkatkan skala itu.”

Itulah benih-benih Gojek, sebuah perusahaan yang berawal dari call center ojek yang sederhana. Tapi Nadiem membuat beberapa manuver sebelum perusahaan itu akhirnya menjadi decacorn pertama di Indonesia.

Nadiem meninggalkan McKinsey untuk mengampu ilmu di Harvard Business School selama dua tahun. Setelah lulus, ia bergabung dengan Zalora pada tahun 2011. Gojek telah berdiri dan berjalan, dengan 450 pengemudi pada saat itu. Setelah Nadiem merasa telah mendapat cukup pengetahuan dan pengalaman untuk menjalankan startupnya sendiri, dia mengundurkan diri dari Zalora pada tahun 2012, dan menuangkan seluruh kemampuannya untuk Gojek. Penduduk urban Indonesia sudah memahami aplikasi pemesanan kendaraan, berkat Uber dan Grab (yang saat itu disebut GrabTaxi). Variasi Gojek yang berfokus pada sepeda motor diterima dengan baik karena lebih praktis bagi kebanyakan orang untuk melintasi Jakarta dengan roda dua daripada empat.

Nadiem menggaet rekannya di Zalora, Kevin Aluwi, untuk mengelola perusahaan bersamanya. Andre Soelistyo, yang sebelumnya menjadi bagian dari investor Gojek, Northstar Group, juga bergabung dengan perusahaan secara penuh sebagai presiden. Dengan dana awal sebesar USD2 juta dari Openspace Ventures dan Capikris Foundation, aplikasi Gojek online pada Januari 2015. Itu merupakan kejayaan dalam semalam.

Sekarang, Gojek memiliki pengaruh yang tak tergoyahkan di Asia Tenggara. Perusahaan ini kian membentuk laju bepergian penduduk, dan bagaimana orang menggunakan ponsel mereka untuk serangkaian fungsi — pembayaran, pesanan makanan, pembelian bahan makanan, dan banyak lagi — hanya dengan membuat lebih dari 20 jenis layanan dalam satu aplikasi. Merger dengan perusahaan e-commerce Tokopedia sedang dikerjakan untuk M&A terbesar dalam sejarah sektor teknologi Indonesia, dan kemungkinan akan go public akhir tahun ini.

Para pendiri awal Gojek, Andre Soelistyo (kiri), Nadiem Makarim (tengah), dan Kevin Aluwi (Kanan). Dokumentasi oleh Go Figure di channel Youtube Gojek

Bukan sekedar ride-hailing

Lintasan Uber menawarkan gambaran sekilas kepada anggota pendiri Gojek tentang masa depan. Mereka tahu bahwa layanan tumpangan mereka akan populer, tetapi ada sisi negatifnya: model bisnis tersebut melibatkan pembakaran modal awal yang gila-gilaan untuk diskon dan subsidi demi membangun basis pengguna yang cukup besar. Pada 2019, Uber dan Lyft melakukan IPO yang sulit, dengan valuasi di bawah kisaran yang diharapkan. Jika Gojek ingin memutus siklus, perusahaan akan membutuhkan banyak kaki untuk berdiri.

Nadiem memahami hal tersebut dan meletakkan dasar bagi diversifikasi Gojek sejak dini. Saat pertama kali diluncurkan, Gojek menawarkan empat layanan — fitur ride-hailing GoRide, yang menjadi tulang punggung perusahaan; layanan pengiriman GoSend; layanan grosir GoMart; dan layanan pengiriman makanan GoFood. Inisiatif ini membuat Gojek menjadi sosok yang sangat berbeda, karena GrabTaxi dan Uber berfokus penuh pada transportasi pada saat itu. Kemudian, pada 2016, Gojek meluncurkan cabang pembayaran elektroniknya, GoPay. Saat itu, Nadiem mengatakan hal itu karena banyak pengguna yang mengeluhkan pengemudi sering tidak memiliki cukup uang kembalian. Temannya dari Harvard, Aldi Haryopratomo, menjadi nahkoda GoPay hingga Januari 2021.

Tahun itu, Gojek menjadi unicorn pertama di Indonesia, perusahaan bernilai lebih dari USD1 miliar.

Bagi beberapa orang, memiliki andil dalam banyak lini mungkin merupakan proposisi yang berisiko, tetapi langkah pertama terbayar untuk Gojek. Perusahaan menjadi pemain terkemuka di sektor tersebut, bahkan mengalahkan saingan pengiriman makanan FoodPanda. Ride-hailing tidak lagi menjadi penghasil pendapatan utama perusahaan. Sebaliknya, biaya dari pengiriman makanan dan pembayaran adalah penghasil uang. Pada 2018, Gojek meraup USD9 miliar dalam nilai transaksi bruto (GTV) dari semua pasar, menurut siaran pers yang diterbitkan pada Februari 2019. GoPay berkontribusi USD6,3 miliar dalam total tersebut, sementara GoFood menyalurkan USD2 miliar. Pada 2020, GTV Gojek mencapai USD12 miliar, diperkuat dengan volume transaksi tiga kali lipat untuk GoPay dan layanan paylater perusahaan.

Perkembangan ini menarik perhatian investor asing. Google, Tencent, dan JD.com masuk untuk putaran Seri E Gojek pada tahun 2018, mendorong ekspansinya ke Vietnam, Singapura, dan Thailand.

Gojek memiliki satu keunggulan signifikan di Indonesia — timnya selaras dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat di tanah air. Populasi kelas menengah yang sedang tumbuh ingin melipatgandakan kekayaannya sebanyak mereka menghabiskan uangnya dengan cara baru, untuk hal-hal baru. Banyak yang berinvestasi di saham, reksa dana, bahkan emas. Perusahaan teknologi yang bergerak cepat dapat menyediakan sarana bagi banyak orang untuk menjelajahi jalur investasi ini, dan Gojek tidak mau ketinggalan.

Pada 2019, GoPay menambahkan opsi investasi reksa dana melalui kerja sama dengan Bibit. Dan pada Mei tahun itu, Gojek meluncurkan layanan investasi emas syariah GoInvestasi dengan aplikasi investasi Pluang.

Ketika Gojek membuat kemajuan ke banyak milieux, perusahaan kehilangan Nadiem, yang ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan di kabinet Presiden Joko Widodo. Kevin dan Andre pun menjadi co-CEO.

Kevin Aluwi (kiri) dan Andre Soelistyo, Gojek co-CEO. Dokumentasi oleh Gojek

Prioritas baru

Lebih jauh lagi, Gojek berinvestasi di perusahaan asuransi PasarPolis, yang kemudian mengikat keduanya, memungkinkan pengguna GoPay untuk membeli asuransi perjalanan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang ditawarkan oleh PasarPolis. Pada April 2020, Gojek mengakuisisi layanan POS Moka untuk memperluas jaringan B2B-nya. Moka digunakan oleh lebih dari 35.000 restoran, gerai ritel, dan kedai kopi di lebih dari 100 kota di Indonesia.

Pengembangan Gojek sejalan dengan perubahan pasar. Banyak orang Indonesia sekarang merasa sangat nyaman menggunakan ponsel mereka untuk pembayaran, makanan dan pemesanan bahan makanan, melakukan investasi dan mengambil polis asuransi, menurut laporan e-Conomy SEA 2020 yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company. Mereka dapat melakukan semua ini di satu tempat — aplikasi Gojek.

Untuk pedagang, GoPay dan akuisisi Moka membuat kurva pembelajaran penerapan pembayaran digital lebih halus. Mengintegrasikan sistem POS dan e-wallet membuat kegiatan bertransaksi menjadi lebih mudah.

Ketika skala Gojek meluas, pandemi menghantamnya dari berbagai sisi. Industri transportasi pada dasarnya menguap selama semi-lockdowns. Gaya hidup vertikal di mana pengguna dapat memesan layanan seperti pembersihan rumah dan pijat, GoLife, dipotong seluruhnya, dan perusahaan memangkas 9% dari total tenaga kerjanya. Kevin mengatakan transportasi, pengiriman makanan, dan pembayaran akan menjadi fokus utama perusahaan sejak saat itu. Fokus baru tersebut memicu perombakan manajemen.

Facebook dan PayPal berinvestasi di Gojek pada Juni 2020, memanfaatkan jejak Gojek yang luas di Indonesia untuk menghidupkan bisnis baru dengan UMKM negara. Hal ini menghasilkan peluncuran GoToko pada September 2020, yang menghubungkan warung yang kurang terlayani, atau toko lingkungan, dengan perusahaan barang konsumen. Sektor ini dipadati oleh pemain lain seperti Kudo, Mitra Bukalapak, dan mitra merger Gojek yang dikabarkan Tokopedia dengan program Mitra Tokopedia.

Untuk benar-benar memantapkan kehadiran Gojek sebagai broker keuangan mapan, perusahaan melakukan investasi di bank digital Bank Jago pada Desember 2020. Idenya adalah untuk memperluas layanan perbankan ke basis pelanggannya, yang beberapa anggotanya bukan klien lembaga keuangan konvensional.

Expedisi pinggiran

Klien inti Gojek pernah menjadi komuter di kota-kota besar di Indonesia. Tapi sekarang, bisnisnya didukung oleh pedagang kecil, biasanya pemilik toko yang menjual bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari melalui GoToko dan GoMart, atau operator F&B yang menggunakan GoFood. Indonesia adalah rumah bagi hampir 60 juta bisnis kecil, dan kegiatan Gojek sehari-hari menjadi langkah yang menguntungkan.

Sementara bagi sekian banyak pengemudi yang membangun reputasi Gojek? Dalam beberapa kasus, pandemi merusak mata pencaharian mereka, dan upaya bantuan perusahaan tampaknya tidak konsisten. Yang lain bekerja untuk berbagai platform agar tetap bertahan. Namun banyak yang masih menggunakan sepeda dan memakai helm hijau berlogo Gojek, bekerja sebagai pembeli dan kurir.

Diversifikasi awal perusahaan memberinya sarana untuk menangkis serangan dari saingan dengan amunisi yang jauh lebih besar. Gojek memiliki langkah awal dalam membangun basis pengguna dan memperoleh mitra pedagang di Indonesia. GoFood telah ada sejak 2015, sementara GrabFood mulai beroperasi tiga tahun kemudian. (GrabFood akhirnya maju pada 2019.) Selain itu, Gojek memiliki layanan yang tidak ditawarkan Grab, seperti vertikal streaming, GoPlay.

Gojek GoPay juga menjadi saluran pembayaran elektronik kedua yang paling banyak digunakan pada Q1 2021, dengan sedikit unggul dari Ovo yang didukung Grab, menurut survei yang dilakukan oleh firma riset pasar Snapcart. Namun, di beberapa bidang, layanan cepat Gojek masih kalah dengan operasional Grab, seperti pengiriman makanan dan tumpangan pada tahun 2020.

Langkah selanjutnya dalam peta Gojek adalah meningkatkan bisnis kecil yang menggunakan platformnya. Gojek mengadakan kegiatan edukasi untuk komunitas mitra GoFood, yang menerima lebih dari 67.000 pendatang baru dalam satu tahun terakhir. Serangkaian modul pembelajaran dan diskusi virtual memberikan petunjuk tentang cara mengembangkan bisnis kecil. Tapi Gojek juga harus menghadapi Grab di sini. Saingannya dari Singapura telah berkomitmen untuk membangun basis pengguna ini juga.

Gojek mengincar wilayah di luar kota metropolitan Indonesia. Pada Maret 2021, perusahaan berinvestasi di e-wallet LinkAja, yang memiliki kekuatan di kota-kota kecil di Indonesia. Hal ini dapat membantu memperkuat kehadiran Gojek di area tersebut, di gawai individu maupun terminal transaksi bisnis lokal.

Fokus pada UMKM ini menjadikan merger Gojek dengan Tokopedia sebuah perspektif bagus, karena Tokopedia juga berupaya untuk meningkatkan jangkauannya di luar kota-kota besar di Indonesia. Perpaduan antara keduanya dapat memberi Gojek pintu masuk yang alami ke e-commerce, sementara Tokopedia dapat memperkuat kemampuan logistiknya. Kesatuan ini akan menjadi lebih besar dari total bagiannya, dan mungkin menarik lebih banyak perhatian dari investor asing saat perusahaan mengejar simbol ticker mereka pada tahun 2021.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Sepanjang 2020 Unicorn Indonesia Dominasi Perolehan Pendanaan di Asia Tenggara

Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.

Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.

Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.

Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.

Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.

Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.

Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.

Asia Tenggara paling resilient

Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.

Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.

Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.

Tren “exit

Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.

Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.

Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.

Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).

Gambar Header: Depositphotos.com

Bank Jago Aims for Ecosystem Collaboration to Accelerate Growth

The public is currently waiting for the commercialization of mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) to be launched in late March. Quoting Bloomberg, this application will offer some financial services, including loans. This service will be available in the Gojek application, therefore, millions of users can open accounts and manage their finances automatically.

When announcing Gojek’s arrival as a shareholder, Bank Jago emphasized its vision to connect financial and lifestyle solutions into one platform. Gradually, this vision has begun to be reflected in Bank Jago’s efforts to embrace digital platforms from various business verticals to enter its ecosystem.

Prior to Gojek, Bank Jago had collaborated with Akulaku to launch digital-based financing in November 2020. Another partnership followed, such as Smart Credit and Akseleran. This number will continue to grow from other business verticals, including e-commerce retailers, travel, entertainment, and insurance.

By embracing ecosystem partners, Bank Jago is showing a full picture in building a digital bank. This is also reinforced by the statement of senior banker and founder of Bank Jago, Jerry Ng, who highlighted collaboration as one of the keys to the development of a digital bank.

Organic vs Collaboration

In the 2021 Indonesia Data and Economic Conference session by Katadata, Jerry said that it would be difficult for banks to grow if they did not have a unique business model. Especially in the digital era, all services will eventually collaborate with other lines. One of the goals is to accommodate the emergence of a new digital literate generation. Unlike the situation 5-10 years ago, there was no digital service ecosystem such as Gojek, Tokopedia, and Traveloka.

Jerry said this collaboration can be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. For instance, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboration, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.

This has proven Bank Jago’s various strategic partnership actions of several verticals since 2020. Also, he said this model is different from digital banks in Europe and the United States which focus on developing life-centric services.

“We have to create a unique value proposition. What we are doing is combining the two as they both have advantages. The bank is no longer the center of the ecosystem, but it is part of the ecosystem made by consumers, in the end it is all about payment,” Jerry said.

This strategy is different from Jenius, he said, which is oriented towards organic development. Therefore, he rejects the notion that Bank Jago is a continuation of Jenius development. This assumption is often carried away as he used to be the President Director of BTPN, and also the brains behind Jenius development.

Looking at the competitive map, it seems that Bank Jago is the one which aggressively expanding its collaboration partners. However, this strategy is up for other banks that have transformed digitally. For example, the Bank Neo Commerce (BNC). In addition to Akulaku’s entry as a shareholder, BNC also collaborates with the fintech platform Crowdo for SME financing.

Challenges of tech-based bank

In terms of technology, Bank Jago claims that all of its service infrastructures is digital-based. Even Jerry dared to claim to be the first tech-based bank in the region. In becoming a digital bank, Jerry admitted to have several criteria in selecting a bank.

Bank Artos (before Bank Jago) was considered to meet the criteria as it did not have a legacy and only had few human resources. Based on the condition, his team can develop technology from scratch. This criteria indeed will fail if they use bank with big legacy. For example, a bank with thousands of branch offices.

“We consider Bank Artos fit as it is yet to develop the technology with only few human resources. In the case of Covid-19, all banks considered digitalization. We [Artos Bank] have no problem because the balance sheet is small. This makes it easier for us to make strategic decisions and the Bank Artos fit the criteria,” he explained.

He considered post-pandemic conditions could make the banking industry in Indonesia aware, banks have built too many branch offices. “Branches is not really necessary. I closed 600 branches once and it was not easy. Hence, changing the existing technology will be more difficult,” he added.

The above hypothesis is relevant as its competitor used the same strategy, acquiring BUKU I and II as Sea Group, the parent company of Shopee did with Bank Kesejahteraan Ekonomi and Akulaku towards BNC (formerly Bank Yudha Bhakti).

With a collaboration-based business model, Jerry said that the challenges are quite difficult in harmonizing visions. Moreover, the collaboration partners are digital platforms from various business verticals that bring their respective technologies or innovations.

“Banks are synonymous with slow processes, strong bureaucracy, and always refer to risk management or compliance. Meanwhile, startups innovate quickly and as in a hurry. However, we learn a lot to solve problems and get the latest technology. It has to be at the expense of carelessness, we can achieve both. To date, we feel pretty good doing it at Jago Bank.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Jago Berkiblat pada Kolaborasi Ekosistem untuk Akselerasi Pertumbuhan

Saat ini, publik tengah menanti komersialisasi mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang ditargetkan meluncur akhir Maret ini. Mengutip Bloomberg, aplikasi ini akan menawarkan sejumlah layanan keuangan, termasuk pinjaman. Layanan ini juga akan hadir di aplikasi Gojek, sehingga puluhan juta pengguna bisa otomatis membuka rekening dan mengelola keuangannya.

Saat mengumumkan masuknya Gojek sebagai pemegang saham, Bank Jago sempat menekankan visinya untuk menghubungkan solusi keuangan dan gaya hidup ke dalam satu platform. Secara bertahap, visi ini mulai tercermin dari upaya Bank Jago merangkul platform digital dari berbagai vertikal bisnis agar masuk ke dalam ekosistemnya.

Sebelum Gojek, Bank Jago telah berkolaborasi dengan Akulaku untuk menghadirkan pembiayaan berbasis digital pada November 2020. Kemudian menyusul kemitraan strategis lainnya, seperti Kredit Pintar dan Akseleran. Jumlah ini tentu akan terus bertambah dari vertikal bisnis lainnya, antara lain e-commerce retailer, travel, entertainment, hingga asuransi.

Dengan merangkul mitra ekosistem satu demi satu, Bank Jago semakin memperlihatkan full picture dalam membangun bank digital. Hal ini turut diperkuat dari pernyataan bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng yang menyoroti kolaborasi sebagai salah satu kunci pengembangan bank digital.

Organik versus kolaborasi

Dalam sesi Indonesia Data and Economic Conference 2021 oleh Katadata, Jerry menilai perbankan akan sulit bertumbuh apabila tidak memiliki model bisnis yang unik. Apalagi di era digital, semua layanan pada akhirnya saling berkolaborasi. Salah satu tujuannya adalah mengakomodasi kemunculan generasi baru yang melek digital. Berbeda dengan situasi di 5-10 tahun lalu, saat itu belum ada ekosistem layanan digital seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka.

Menurut Jerry, kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.

Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Di sisi lain, model ini menurutnya berbeda dengan bank digital di Eropa dan Amerika Serikat yang fokus pada pengembangan layanan bersifat life centric.

We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.

Strategi ini menurutnya berbeda dengan Jenius yang berkiblat pada pengembangan organik. Maka itu, ia menampik anggapan bahwa Bank Jago adalah kelanjutan pengembangan dari Jenius. Anggapan ini kerap terbawa mengingat Jerry sebelumnya merupakan Presiden Direktur BTPN, yang juga merupakan otak di balik pengembangan Jenius.

Jika melihat peta persaingannya, saat ini tampaknya baru Bank Jago yang agresif memperbanyak mitra kolaborasi. Namun, strategi ini juga dapat dilakukan oleh bank-bank lain yang baru bertransformasi digital. Misalnya, Bank Neo Commerce (BNC). Selain masuknya Akulaku sebagai pemegang saham, BNC juga berkolaborasi dengan platform fintech Crowdo untuk pembiayaan UKM.

Tantangan menjadi tech-based bank

Dari sisi teknologi, Bank Jago mengklaim bahwa seluruh infrastruktur layanannya berbasis digital. Bahkan Jerry berani mengklaim sebagai tech-based bank pertama di regional. Untuk menjadi bank digital, Jerry mengaku menggunakan beberapa kriteria dalam pemilihan bank.

Bank Artos (sebelum berganti nama menjadi Bank Jago) dinilai memenuhi kriteria saat itu karena tidak memiliki legacy dan SDM-nya sedikit. Dengan kondisi itu, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari scratch. Tentu kriteria ini akan patah apabila yang dicaplok adalah bank-bank besar dengan legacy lama. Misalnya, bank yang sudah memiliki ribuan kantor cabang.

“Kami lihat Bank Artos belum memiliki teknologi dan SDM-nya sedikit. Kalau kasusnya saat Covid-19, semua bank bicara digitalisasi. Kami [Bank Artos] tidak ada masalah karena balance sheet-nya kecil. Ini memudahkan kami untuk membuat strategic decision dan Bank Artos memenuhi kriteria yang kami cari,” paparnya.

Ia menilai, kondisi pasca-pandemi nanti dapat membuka mata industri perbankan di Indonesia bahwa selama ini bank terlalu banyak membangun kantor cabang. “Kebutuhan cabang itu tidak perlu. Saya pernah tutup 600 cabang dan itu tidak mudah. Makanya, mengubah teknologi yang sudah ada itu akan lebih sulit,” tambahnya.

Hipotesis di atas menjadi relevan karena dilakukan oleh kompetitor, yakni mencaplok bank BUKU I dan II sebagaimana dilakukan Sea Group, induk usaha Shopee, terhadap Bank Kesejahteraan Ekonomi dan Akulaku terhadap BNC (sebelumnya Bank Yudha Bhakti).

Dengan memilih model bisnis berbasis kolaborasi, Jerry mengungkapkan bahwa tantangannya cukup sulit dalam menyamakan visi. Apalagi, mitra kolaborasinya merupakan platform digital dari berbagai vertikal bisnis yang membawa teknologi atau inovasi masing-masing.

“Bank itu identik dengan proses lambat, birokrasi kuat, dan selalu mengacu pada risk management atau compliance. Sementara, startup itu berinovasi dengan cepat dan seperti tergesa-gesa. Tapi, kami banyak belajar solve problem dan mendapat teknologi baru mereka. Inovasi dan speed tidak harus di expense of ceroboh, we can achieve both. Sejauh ini, kami merasa cukup baik melakukannya di Bank Jago.”

Gojek Logistik Perkuat Dukungan ke UMKM dengan Solusi “Hyperlocal On-Demand”

Pandemi telah mengakibatkan banyak konsumen membatasi mobilitas mereka untuk membeli barang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, mereka semakin beralih ke solusi on-demand yang bisa membantu memenuhi kebutuhan tersebut secara instan. Melihat momentum tersebut, industri logistik terus berupaya menciptakan model bisnis hyperlocal on-demand yang tangkas sehingga kebutuhan konsumen dapat terpenuhi.

Salah satu pemain yang terus mencoba mengeksplorasi pasar ini adalah lini logistik dari Gojek. Dari data yang disampaikan, unit logistik Gojek mencatat angka pertumbuhan sebesar 25% selama periode 2020. Hal ini salah satunya juga ditopang oleh pertumbuhan UMKM yang pesat dan segmen ritel untuk logistik e-commerce.

Fokus pada hyperlocal on-demand

Gojek memulai inisiatif logistik pada tahun 2015 dengan meluncurkan GoSend Instan dan GoBox untuk pengiriman barang besar. Lalu mulai merambah segmen B2B dengan meluncurkan GoKilat sebagai sistem API terintegrasi untuk rekanan e-commerce. Saat ini, perusahaan semakin menguatkan komitmen dalam mendukung UMKM dalam layanan logistik GoSend Intercity bekerja sama dengan Paxel dan GoSend Portal untuk memudahkan pengguna mengirim barang dalam jumlah besar.

Head of Business Logistics Gojek Steven Halim mengungkapkan, “Fokus kami adalah menyediakan solusi komprehensif untuk kebutuhan pengiriman hyperlocal on-demand, dengan mengedepankan pengiriman first dan last-mile melalui GoSend [..] Langkah ini sejalan dengan semangat kolaborasi GoSend sebagai agregator dan penyambung mata rantai logistik dengan para pemain logistik lainnya untuk bersama-sama membangun industri logistik di tanah air.”

Perkuat kolaborasi

Logistik termasuk salah satu industri yang akan selalu memberikan kontribusi positif bagi Indonesia. Berdasarkan keterangan Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), selama pandemi, sektor logistik memang mengalami tantangan dengan pembatasan sosial skala besar. Namun mengutip data BPS, pertumbuhan logistik tahun 2020 terkoreksi 16%, dengan sektor logistik e-commerce yang mengalami pertumbuhan sangat pesat dengan mencetak pertumbuhan mencapai 18,1%.

Pihaknya menyampaikan, kunci pertumbuhan sektor logistik ke depannya adalah memperkuat digitalisasi. Saat ini tantangan untuk digitalisasi industri logistik di Indonesia adalah proses yang masih mengandalkan pencatatan manual, data yang tidak terstandardisasi, dan tidak terhubung. Karenanya, kolaborasi menjadi sangat penting dan para pemain logistik perlu saling bahu-membahu dalam mereformasi struktur dan melakukan integrasi. Langkah tersebut dapat membantu meningkatkan kinerja logistik Indonesia, melalui efisiensi dan otomatisasi.

“Harapan kami, digitalisasi logistik tentu dapat menurunkan ongkos yang selama ini cukup tinggi, sehingga dengan harga yang lebih terjangkau dapat semakin memperluas jangkauan,” ungkap Steve kepada DailySocial.

Sebelumnya, Gojek juga telah mengumumkan kolaborasi dengan Garuda Indonesia untuk platform logistik antarkota dan mendirikan joint venture dengan JD.ID bersama layanan logistik J-Express (JX).

Target ke depan

Dengan banyak orang beralih menjadi pelaku UMKM via online serta pesatnya perkembangan sektor e-commerce, maka hal itu juga meningkatkan kontribusi logistik segmen B2C dan C2C. Semakin berkembang industri e-commerce di suatu negara, akan berdampak juga bagi pertumbuhan bisnis logistik di negara tersebut.

Untuk mendukung laju pertumbuhan e-commerce tanah air, pihaknya turut menyampaikan misi mereka untuk memperkuat kerja sama dan kolaborasi dengan penyedia platform demi mengoptimalkan layanan logistiknya. Hingga saat ini, perusahaan telah menjalin kerjasama dengan Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan JD.ID.

Perusahaan juga menyiapkan ragam inovasi baru untuk mendukung layanan pengiriman yang komprehensif, seperti menambah armada logistik (4w) serta memperluas area jangkauan GoBox dan GoSend Sameday di tahun ini.

Di samping itu, GoSend terus memastikan dan meningkatkan kualitas pengiriman yang lebih nyaman dan aman, para pengguna bisa menikmati layanan 24/7, door-to-door, terlindungi oleh asuransi untuk risiko barang rusak/hilang, dan dilengkapi fitur live tracking untuk mengetahui posisi mitra pengemudi yang membawa paket.

“Secara umum, tentunya inovasi-inovasi yang kami luncurkan selalu terarah pada kebutuhan logistik masyarakat. Kemudahan, kecepatan, dan keamanan yang sering kali menjadi tantangan logistik terus kami kembangkan di seluruh layanan kami,” tutup Steven.

Gambar Header: Depostitphotos.com

Application Information Will Show Up Here

In 2021, Gojek Singapore’s Focus Remains on Driver Acquisition

After officially launched in Singapore in late 2018, Gojek is said to experience significant growth in terms of drivers and users – although they avoid revealing the precise number. This year, the local decacorn  has some plans to be launched soon, with the same goal, to continue increasing the number of its driver-partners.

Gojek representatives revealed to DailySoial that Singapore has been a strategic market for Gojek. Of all the plans, one is to launch new transportation products to provide more benefits for users and drivers, including a convenient transportation platform for companies, as well as special features for ordering taxis and large vehicles.

In the future, Gojek intends to explore new potentials to launch relevant products and services to the Singapore market, both independently developed services and in partnerships with other startups.

Previously quoted from ChannelNewsAsia, Gojek’s Co-Founder & Co-CEO, Kevin Aluwi said Gojek has a goal of making a lasting impact in Singapore for the years to come and making “strategic investments” in developing the business this year.

Since its arrival in Singapore, Gojek has focused on ride-hailing services to provide new options to users. “We are also the first vehicle booking operator in the country to offer multi-purpose features for up to three destinations,” said a Gojek representative.

In Singapore, there are existing legacy players. The latest data from DBS Group Research, as of 2019 there are three key players in the Asia Pacific, including Grab (estimated number of active drivers: 2.8 million partners and trips: 2.4 billion times), Gojek (1 million partners/1,2 billion times), and Ola Cabs (1 million partners/1 billion times).

According to data from Google, Temasek Holdings, and Bain & Company, in 2020 there was a decline in GMV for ride-hailing services in Southeast Asia, from $13 billion in 2019 to $11 billion in 2020 due to social restrictions amid the pandemic. However, it is projected to grow beyond $42 billion by 2025. Indonesia was the highest contributor in 2020 valued at $5 billion, followed by Singapore at $2 billion.

By comparison, the global ride-hailing market value according to MarketsandMarkets reached $75.39 billion in 2020 and is expected to grow to $117.34 billion by 2021.

Gojek and digital talents

Before its operational launch, Gojek had already explored Singapore for its office base, especially to accommodate the data team. The office has been official since 2017.

Although based in Singapore, Gojek’s data science office supports all targeted markets in Southeast Asia. Its function is quite important to improve the efficiency and user experience on the Gojek platform, from improvements across automatic customer service, pricing algorithms, routing tools, and allocations.

To date, Gojek has made the office a data science hub because of the talent and existing technology infrastructure. Within three years, Gojek claimed the team had increased by over three times. Currently, the team has been developing some innovations, from data analytics, data science, machine learning, and others.

“We are expanding our Singapore-based technology talent, particularly in cybersecurity and data analytics, to support the growth of our business across the region. We will continue to promote Gojek’s dynamic values ​​and culture through various channels, including social media, as well as ecosystem players such as a university – to reach, train and recruit the best talent.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Tahun 2021, Gojek Singapura Masih Fokus Memperbanyak Mitra Pengemudi

Setelah resmi hadir di Singapura akhir tahun 2018 lalu, Gojek mengklaim telah mengalami pertumbuhan signifikan dari segi jumlah mitra dan pengguna — kendati tidak mau menyebutkan kisaran angka secara eksplisit. Tahun ini ada beberapa rencana yang akan dilancarkan decacorn lokal tersebut, dengan tujuan yang sama, yakni untuk terus menambah lebih banyak lagi jumlah mitra pengemudi mereka.

Kepada DailySocial, perwakilan Gojek mengungkapkan, Singapura selama ini telah menjadi pasar yang strategis bagi Gojek. Salah satu rencana yang akan dilakukan, mereka akan meluncurkan produk transportasi baru guna memberikan lebih banyak manfaat bagi pengguna dan pengemudi, termasuk platform transportasi yang nyaman untuk perusahaan, serta fitur khusus untuk memesan taksi dan kendaraan besar.

Ke depannya Gojek juga ingin menjelajahi lebih jauh potensi baru untuk meluncurkan produk dan layanan yang relevan untuk pasar Singapura, baik layanan yang dikembangkan secara mandiri maupun dalam bentuk kemitraan dengan startup lain.

Sebelumnya dikutip dari ChannelNewsAsia, Co-Founder & Co-CEO Gojek Kevin Aluwi mengungkapkan, Gojek memiliki tujuan untuk membuat dampak yang bertahan lama di Singapura untuk tahun-tahun mendatang, dan membuat “investasi strategis” dalam mengembangkan bisnis tahun ini.

Sejak awal peluncurannya di Singapura, Gojek fokus kepada layanan ride-hailing untuk memberikan opsi baru kepada pengguna. “Kami juga operator pemesanan kendaraan pertama di negara ini yang menawarkan fitur multi-tujuan hingga tiga tujuan,” imbuh perwakilan Gojek.

Di Singapura sendiri sudah ada beberapa pemain legasi. Data terbaru yang kami dapatkan dari DBS Group Research, per tahun 2019 ada tiga pemain kunci di Asia Pasifik yakni Grab (estimasi jumlah pengemudi aktif: 2,8 juta mitra dan perjalanan: 2,4 miliar kali), Gojek (1 juta mitra/1,2 miliar kali), dan Ola Cabs (1 juta mitra/1 miliar kali).

Kemudian menurut data dari Google, Temasek Holdings, dan Bain & Company, tahun 2020 sempat terjadi penurunan GMV untuk layanan ride-hailing di Asia Tenggara, dari $13 miliar di tahun 2019 menjadi $11 miliar di 2020 akibat adanya pembatasan sosial di tengah pandemi. Namun diproyeksikan tahun 2025 akan bertumbuh melampaui $42 miliar. Indonesia menjadi penyumbang nilai tertinggi di tahun 2020 dengan $5 miliar, disusul Singapura $2 miliar.

Sebagai perbandingan, nilai pasar ride-hailing secara worldwide menurut MarketsandMarkets mencapai $75,39 miliar di tahun 2020, dan diperkirakan akan tumbuh jadi $117,34 miliar di tahun 2021.

Gojek dan talenta digital

Sebelum resmi dijadikan sebagai pangsa pasar baru, Gojek sudah terlebih dulu menjajaki Singapura untuk basis kantor mereka, khususnya untuk mengakomodasi tim data. Kantor tersebut sudah diresmikan sejak tahun 2017.

Meskipun berbasis di Singapura, namun kantor data science Gojek mendukung semua pasar yang disasar di Asia Tenggara. Fungsinya pun menjadi penting dalam meningkatkan efisiensi dan pengalaman pengguna di platform Gojek, mulai dari mendorong peningkatan di seluruh layanan otomatis pelanggan, algoritma harga, alat perutean, dan alokasi.

Hingga saat ini kantor tersebut telah dimanfaatkan oleh Gojek sebagai data science hub karena talenta dan infrastruktur teknologi yang ada. Dalam waktu tiga tahun, Gojek mengklaim tim telah berkembang lebih dari tiga kali lipat jumlahnya. Saat ini terdapat beberapa bidang yang kemudian dikembangkan, mulai dari data analytics, data science, machine learning dan lainnya.

“Kami memperluas talenta teknologi kami yang berbasis di Singapura, terutama di bidang keamanan siber dan analitik data, untuk mendukung pertumbuhan bisnis kami di seluruh wilayah. Kami akan terus mengedepankan nilai dan budaya dinamis Gojek melalui berbagai kanal, termasuk media sosial, serta pemain ekosistem seperti universitas – untuk menjangkau, melatih, dan merekrut talenta terbaik.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Seriusi Bisnis “Online Grocery”, Gojek Fokuskan GoMart untuk Kebutuhan Belanja Mingguan

Pergeseran perilaku akibat pandemi membuat masyarakat mulai beralih ke platform online, salah satunya menggunakan aplikasi untuk belanja kebutuhan sehari-hari. GoMart sebagai salah satu layanan dari Gojek yang bermain di online grocery memanfaatkan momentum tersebut dengan merilis serangkaian fitur baru agar tetap relevan dengan kondisi.

Riset dari McKinsey & Company yang dipaparkan menunjukkan pergeseran perilaku masyarakat dalam berbelanja. Sembilan dari sepuluh orang Indonesia menyebut telah mencoba perilaku belanja baru dan sebagian besar berniat untuk melanjutkan berbelanja dengan metode baru tersebut setelah pandemi berlalu.

Laporan Asosiasi Pengusaha Ritel (APRINDO) menyatakan peningkatan 4 kali lipat transaksi dari aplikasi online dan metode pengiriman sejak menyebarnya Covid-19. Survei dari PWC “Indonesia Consumer Insights” juga menunjukkan 69% dari responden Indonesia menyatakan mereka membeli lebih banyak bahan baku makanan secara online setelah penerapan pembatasan jarak.

Dari ketiga riset di atas, memperkuat upaya GoMart untuk mendominasi pasar yang dibantu dengan armada pengemudi Gojek. Dalam wawancara terbatas bersama sejumlah media, Head of Groceries Gojek Tarun Agarwal menjelaskan GoMart pertama kali diinisiasi pada 2019 dengan menggaet Alfa Group sebagai mitra perdana.

Saat itu misinya adalah permudah konsumen membeli kebutuhan sehari-hari yang mendadak dan bisa dibeli di outlet Alfamart/Alfamidi. “Kemudian pada 2020 terjadi pandemi, fokus kita akhirnya semakin dipertajam untuk terus menambah merchant karena konsumen pasti mencari produk-produk rumah tangga yang biasa dibeli, seperti sayur mayur yang tidak bisa ditemukan di Alfamart,” katanya, Rabu (10/3).

Tepat saat terjadi pandemi, GoMart pertama kali fokus memenuhi kebutuhan belanja mingguan dengan menambah ragam pilihan merchant dan variasi produk yang bisa dipilih konsumen. Saat ini merchant GoMart adalah Lotte Mart, Foodhall, Sayurbox, Perum Bulog, dan Best Meat untuk menyediakan bahan makanan segar, serta Watson untuk menyediakan produk kecantikan dan kesehatan.

Seluruh merchant tersebut kini bisa dinikmati di 11 kota, termasuk Jabodetabek, Medan, Palembang, Makassar dan delapan kota besar di Jawa dan Bali.

Agarwal mengaku dengan penambahan merchant ini, di samping fitur-fitur baru lainnya, mampu mendongkrak kinerja GoMart. Disebutkan transaksinya naik antara 7-8  kali lipat pada periode Februari sampai Desember 2020. Penambahan merchant turut menambah jumlah barang per unit (SKU item) yang terjual di GoMart naik sebesar 19 kali lipat dan jumlah pengguna bulanan GoMart meningkat hingga 8 kali lipat.

“Kami turut membuat fitur Asisten Belanja EmakJago yang kita rekrut dari mitra Gojek untuk membantu mereka yang terdampak akibat pandemi. Mereka kami tempatkan di lokasi merchant, satu lokasi bisa ada tiga sampai enam orang tergantung tingkat demand.”

Fokus GoMart tahun ini

Agarwal menuturkan, pada tahap awal GoMart memang memfokuskan pada peningkatan pelayanan agar GoMart menjadi platform yang dapat diandalkan saat belanja kebutuhan mingguannya. Menurutnya, kata “dapat diandalkan” itu sangat menentukan pengalaman konsumen untuk kembali menggunakan jasa GoMart.

“Karena pakai GoMart untuk kebutuhan mingguan, jadi harus memberikan pengalaman yang bagus, sistem harus dapat diandalkan agar mereka mau kembali pakai. Sementara di sisi lain, belanja offline itu saat ini ada banyak pain point-nya.”

Oleh karena itu, sembari menambah lebih banyak pilihan merchant dan produk terutama yang menjual produk segar, dalam jangka panjang GoMart akan merambah merchant dari toko kelontong dan warung di sekitar rumah konsumen. Sebab, keduanya adalah bagian dari usaha mikro yang jumlahnya besar dan tersebar merata di seluruh Indonesia. Harapannya akan semakin banyak pilihan merchant yang dapat dipilih konsumen.

Dalam tahun ini, di tengah persaingan yang ketat dari pemain online grocery lainnya, GoMart akan merekrut lebih banyak asisten belanja di lebih banyak supermarket, memperluas layanan ke kota-kota baru, dan menghadirkan fitur baru selain fitur pengiriman tanpa kontak yang sudah hadir. “Dalam beberapa minggu ke depan kami akan meluncurkan fitur baru yang menarik di GoMart,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Gojek Invests in LinkAja

LinkAja announced a strategic investment from Gojek with an undisclosed value. Gojek joins the fundraising through the issuance of Series B preference shares. Previously mentioned, the company would raise a total investment of over $100 million  (more than Rp1.4 trillion) through this round.

This news confirms the first time both Grab and Gojek have invested in the same company, which is actually part of a state-owned company.

LinkAja’s CEO, Haryati Lawidjaja expressed his gratitude at Gojek’s entrance as a shareholder in LinkAja. “Gojek’s arrival as a strategic shareholder will provide LinkAja access to the Gojek ecosystem to support LinkAja’s mission to accelerate financial inclusion in Indonesia,” she said in an official statement, Tuesday (9/3).

Gojek’s Co-CEO, Andre Soelistyo added, “Our mission is to increase financial inclusion by providing the widest possible access to financial services for unbanked and underbanked people in line with LinkAja’s commitment […] This collaboration provides an opportunity to combine the power of technology and area coverage of ​​each company.”

As part of the partnership, LinkAja will expand payment method options for certain services in the Gojek application. Previously, LinkAja is available for transportation services and ticket reservations. Thus, users and business players can have more options for transactions, while providing added value for the millions of people who use Gojek and LinkAja services.

Both companies will complement each other. LinkAja focuses on payments for retail purchases, public services, and daily goods with 80% of its users coming from second and third-tier cities. Meanwhile Gojek, through GoPay, serves the needs of the retail and business sectors, especially MSMEs, as well as daily needs on the Gojek platform.

Previously, on November 10, 2020, LinkAja announced a Series B funding led by Grab. Followed by the previous investors, including Telkomsel, BRI Ventures, and Mandiri Capital. LinkAja’s current valuation is yet to be revealed. This is the first funding for LinkAja from non-state-owned companies.

LinkAja alone is increasingly focused on enriching features as collaborating with its ranks of investors. Recently, with Pegadaian to provide financial services such as Gold Savings for a new account and top up balances, Micro Installments, Collateral, and Repeated Lending.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here