Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Metrik Startup Tahap Awal yang Dipertimbangkan Investor

Untuk mengakselerasi bisnis, founder startup tahap awal biasanya melakukan penggalangan dana ke investor, baik kalangan angel ataupun venture capital. Mempelajari pengalaman startup terdahulu, ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan agar sukses mengantongi dana investasi pre-seed atau seed funding. Pertama, mereka bisa “menjual” pengalaman atau visi founder disertai dengan potensi besaran pasar yang akan digarap lewat produk/layanan yang dikembangkan.

Kedua, ini pendekatan yang lebih terukur, yakni menyuguhkan capaian bisnis kepada investor. Tentu konteksnya adalah penerimaan pasar terhadap minimum viable product (MVP) yang telah diluncurkan; untuk menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan sudah mencapai product-market fit. Di sini founder perlu menggunakan metrik yang tepat untuk menggambarkan situasi bisnis di fase early-adoption. Statistik tersebut bisa menjadi bekal bagi investor untuk melihat potensi startup di waktu mendatang saat disuntik modal untuk pertumbuhan.

DailySocial telah berbincang terhadap beberapa perwakilan venture capital untuk menanyakan metrik yang biasa mereka lihat ketika bertemu dengan startup tahap awal yang tengah mencari dana. Pertama, kami berbincang dengan Principal Indogen Capital Kevin Chandra. Ia mengatakan, bahwa metrik akan sangat bergantung pada model bisnis yang diadopsi oleh startup.

“Untuk B2B, di mana siklus penjualan cenderung bergerak jauh lebih lambat, kami cenderung melihat efisiensi penjualan berdasarkan channel di fase awal. Kemudian, untuk model bisnis yang memiliki elemen pendapatan berulang, salah satu metrik utama yang kami evaluasi adalah Net Monthly Recurring Revenue (Net MRR). Jadi tidak ada satu formula yang cocok untuk diterapkan ke semua,” ujarnya.

Net MRR adalah pendapat bersih bulanan yang didapatkan oleh startup. Perhitungannya didasarkan pada uang yang didapat kemudian dikurangi berbagai biaya-biaya yang menyertai. Misalnya di e-commerce, revenue ini baru dihitung dari total hasil penjualan barang dikurangi berbagai biaya seperti potongan untuk diskon atau pengembalian barang karena cacat.

Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi Kevin
Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi

Kevin melanjutkan, spesifik untuk startup tahap awal Indogen selalu melihat dua metrik utama, yakni Vanity dan KPI. Metrik Vanity digunakan untuk membantu memahami posisi startup dalam satu lanskap. Contohnya untuk startup berbasis e-commerce biasanya dengan melihat GMV (Gross Merchandise Value), yakni total nilai penjualan seluruh barang dalam periode tertentu.

“Metrik berbasis KPI dinilai dari pengguna akhir yang mendapatkan value dari produk/layanan yang dijajakan atau dikenal dengan ‘aha moment’. Contohnya, 7 teman dalam 10 hari adalah pengukuran yang dipilih perusahaan seperti Facebook untuk memahami bahwa mereka memiliki tanda awal dari product-market fit. KPI tentu akan berkembang seiring pertumbuhan bisnis. Dan ini menjadi indikator utama (yang jelas) untuk memahami bisnis yang dilakukan pada waktu tertentu,” imbuh Kevin.

Dalam hipotesis investasinya, Indogen Capital sendiri cukup sector agnostic. Mereka berinvestasi di berbagai lanskap bisnis. Beberapa portofolionya meliputi Travelio (proptech), Carsome (car marketplace), Hijup (e-commerce), GoWork (coworking space), Wahyoo (new retail), Ekrut (job marketplace), dll.

Kami juga berbincang dengan Head of OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi, CVC yang baru diresmikan awal tahun ini biasanya mengukur calon portofolio potensial menggunakan tiga penilaian utama. Yakni didasarkan pada customer acquisition cost, customer lifetime value, dan customer cohort.

Customer acquisition cost dipakai untuk mengukur seberapa banyak (biaya) yang mereka keluarkan untuk mendapatkan pelanggan baru, untuk mengukur (memastikan) tidak terlalu mahal dan diukur bersamaan dengan customer lifetime value,” ujarnya.

Customer lifetime value mengukur pendapatan yang diterima bisnis dari tiap pelanggannya. Jadi mengukur transaksi yang mereka lakukan secara berulang setelah pembelian pertamanya. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin baik bagi bisnis. Sementara customer cohort analysis merupakan metrik analisis yang digunakan untuk mempelajari perilaku pengguna dari waktu ke waktu dan memahami retensi pelanggan.

Kendati di bawah naungan perusahaan induk perbankan, OCBC NISP Ventura memiliki portofolio yang unik. Sejak debutnya, mereka telah berinvestasi di empat startup meliputi AwanTunai (fintech), Sirclo (e-commerce enabler), Dekoruma (e-commerce furnitur), dan Kiddo (marketplace aktivitas anak).

Proyeksi profitabilitas

Pada dasarnya statistik pertumbuhan awal juga menjadi variabel yang digunakan oleh investor untuk memperkirakan potensi ROI (Return of Investment), salah satunya dengan menerawang potensi profitabilitas dari model bisnis yang diaplikasikan. Hal tersebut juga diungkapkan Selina Koharjo selaku Investment Analyst Vertex Ventures. Karena setiap startup yang ia temui unik dan beroperasi di industri berbeda, mereka menggunakan dua metrik utama untuk melihat potensi pertumbuhan ke depan, yakni unit economy dan customer cohort analysis.

Unit economics digunakan untuk melihat pendapatan dan biaya yang terkait dengan satu unit produk atau layanan dan memproyeksikan profitabilitas sebuah startup,” kata Selina.

Kendati demikian, Selina juga mengatakan bahwa pihaknya memahami bahwa di fase awal sebagian besar bisnis akan mengeluarkan banyak biaya operasional — termasuk untuk akuisisi pengguna.

Namun menurutnya, unit economics adalah fondasi yang akan menopang sebuah startup saat mereka tumbuh dan berkembang. “Dengan menganalisis berbagai komponen biaya startup di industri serupa, kami dapat menilai efisiensi setiap startup dengan lebih baik,” imbuhnya.

Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi Selina
Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi

Lebih lanjut ia mencontohkan, analisis unit economics untuk startup direct-to-consumer dapat menyoroti area kekuatan atau peningkatan dalam direct costs, variable costs, outliers, dan fixed expenses. “Dalam industri startup, mungkin akan banyak tergoda mengandalkan asumsi pertumbuhan signifikan tanpa strategi monetisasi. Kenyataannya, terutama seperti yang disoroti selama pandemi ini, ketika unit ekonomi tidak diprioritaskan, kesuksesan startup akan diuji,” jelas Selina.

Sementara itu, untuk cohort analysis menurutnya diperlukan karena startup terus melakukan iterasi dan inovasi. Kelompok pelanggan terbaru idealnya akan meningkatkan retensi. Meskipun perusahaan mungkin tumbuh secara cepat, pertumbuhan ini mungkin tidak berkelanjutan jika bergantung pada pelanggan baru saja. Jadi, membandingkan cohort (kelompok pelanggan) dari setiap startup dapat menyoroti product-market fit.

“Selain itu, memahami unit economics dan cohort analysis akan memungkinkan kami memahami customer lifetime value […] Karena memperoleh pelanggan baru mungkin mahal, startup baru dapat tumbuh secara berkelanjutan jika customer lifetime value lebih besar daripada biaya akuisisi. ” ujarnya.

Vertex Ventures memiliki cakupan investasi di Asia Tenggara dan India, beberapa portofolionya di Indonesia meliputi HappyFresh (online grocery), RateS (social commerce), Aruna (aquatech), Gredu (edtech), Tanihub (agtech), Tjetak (printing marketplace), dan lain-lain.

Menemukan peluang kolaborasi

Di ekosistem startup Indonesia, juga terdapat kalangan investor yang berasal dari korporasi. Disebut Corporate Venture Capital, selain berinvestasi pada pertumbuhan startup mereka juga mencari peluang sinergi atau inovasi. Salah satu pemodal ventura korporasi yang cukup aktif di Indonesia adalah Central Capital Ventura (CCV) dari Bank Central Asia (BCA). Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Investment Analyst CCV Anthony Adiputra Lauw untuk mendiskusikan tentang metrik yang biasa mereka gunakan ketika mempertimbangkan untuk berinvestasi ke calon portofolionya.

Di CCV, Anthony dan tim selalu memeriksa semua peluang investasi secara holistik. “Sebagai lengan inovasi dan investasi BCA, mereka selalu ingin memosisikan dirinya sebagai investor strategis pertama dan utama. Jadi satu-satunya metrik terpenting yang kami fokuskan untuk semua fintech, fintech-enabler, atau embdedded-fintech startup, adalah nilai tambah strategis yang mereka hadirkan [terkait sinergi dengan BCA],” ujarnya.

Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi Anthony
Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi

Sinergi adalah bentuk mutualisme, artinya harus memberikan keuntungan bagi pihak yang terlibat. Demikian pula prinsip di CCV, mereka tidak hanya ingin mendapatkan nilai strategis dari inovasi yang dilahirkan startup, namun juga berharap bisa memberikan nilai lebih untuk perkembangan startup itu sendiri; misalnya dengan menghubungkan mereka dengan jaringan lembaga keuangan di grup BCA di seluruh Indonesia.

“Untuk itu, cakupan investasi CCV telah berkembang di luar fintech, karena kami memiliki tujuan untuk bersinergi dengan rangkaian industri yang lebih luas yang dapat berkolaborasi dengan pertumbuhan perusahaan kami. Saat mencari founder dengan solusi inovatif untuk bermitra dengan BCA dan ekosistemnya, tidak pernah ada metrik tunggal yang cocok diterapkan ke semua [jenis startup],” jelas Anthony.

Lebih lanjut ia mencontohkan, ketika CCV berinvestasi pada startup p2p lending, mereka mengidentifikasi saluran sinergi yang kuat antara mereka dan BCA. “Akseleran dan KlikACC [portofolio CCV] sama-sama berhasil menaklukkan segmen pasar yang mungkin belum dimiliki oleh BCA. Dengan demikian, kami dapat membina kerja sama yang mulus dan saling menguntungkan; bank mendapatkan eksposur yang lebih luas, sementara startup mendapatkan likuiditas dari BCA.”

Selain dua startup yang sudah disebutkan, CCV yang sudah berdiri sejak tahun 2017 tersebut telah berinvestasi ke pemain lain meliputi Wallex (fintech), Element (biometrik), Qoala (insurtech), Pomona (loyalty), Julo (fintech), dll.

Berinvestasi pada pre/post-traction

Seperti yang diungkap pada paragraf pembuka, kadang investor juga berinvestasi pada startup yang sama sekali belum menghasilkan traction. Salah satunya Genesia Ventures, menurut penjelasan Elsha E. Kwee selaku Investment Manager, untuk startup yang masih sangat awal atau baru beberapa bulan diluncurkan tidak banyak data yang bisa didapat atau dianalisis. Sering kali yang dilakukan adalah melihat beberapa cakupan faktor seperti kondisi pasar (market size, competition, customer pipeline, dll), model bisnis, dan founder.

Sementara untuk startup yang sudah memiliki beberapa traction, biasanya Elsha menggunakan metrik berbeda untuk setiap model bisnis. Tapi sebagian besar akan bermuara pada dua hal, yakni recurring revenue dan user engagement.

“Saya percaya bahwa pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberi solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna sehingga ia mau membayar. Sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan,” ujarnya.

Untuk revenue atau pendapatan, ia mengatakan akan sangat bergantung pada apakah layanan/produk adalah sesuatu yang harus memberikan nilai sejak awal atau apakah model bisnis tersebut harus mengumpulkan jumlah pengguna yang besar terlebih dulu sebelum memberikan nilai kepada pengguna. Misalnya online marketplace, sangat bergantung pada efek jaringan dan nilainya meningkat seiring penambahan jumlah pengguna, sehingga pendapatan di awal mungkin belum terlalu penting diperhitungkan.

Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi Elsha
Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi

Elsha juga memberikan contoh lain. Untuk startup menyediakan SaaS seperti sistem manajemen pembelajaran untuk sekolah, penting untuk mulai menghasilkan pendapatan dari awal daripada membiarkan sekolah menggunakan platform secara gratis. Karena jika sudah diberikan secara gratis, bisanya sulit untuk mengonversinya menjadi pengguna berbayar. Untuk tipe layanan SaaS, memiliki banyak pengguna tanpa pendapatan bukan pertanda baik untuk keberlangsungan bisnis.

“Kemudian terkait keterlibatan pengguna, itu bergantung apakah perusahaan adalah marketplace, SaaS, B2C, B2B, atau lainnya. Contohnya, saya mengharapkan keterlibatan pengguna lebih tinggi (berdasar DAU dan/atau MAU) dari B2C seperti aplikasi sosial atau komunitas ketimbang SaaS untuk layanan perpajakan,” jelas Elsha.

Genesia Ventures berinvestasi pada startup tahap awal di Asia, kendati sector-agnostic mereka memiliki kecenderungan pada startup B2B dan SaaS. Beberapa portofolionya di Indonesia termasuk Bobobox (hospitality), Qoala (insurtech), Finantier (fintech), Logisly (logistic), dan lain-lain.

Partner SeedPlus Tiang Lim Foo turut memberikan pendapatnya. Memang sulit untuk mengeneralisasi metrik untuk semua startup. Namun ia selalu memiliki beberapa variabel dasar untuk analisis, meliputi jumlah pelanggan, tingkat keterlibatan pelanggan dengan produk, dan nilai pendapatan. Hal tersebut, sambungnya, dipengaruhi oleh pengalamannya berinvestasi sebagian besar di startup B2B untuk produk SaaS.

“Jumlah pelanggan memberikan saya indikasi tentang ukuran audiens yang mereka miliki saat ini dan seberapa cepat startup membangun ukuran audiens tersebut. Sementara tingkat keterlibatan memberikan saya gambaran tentang seberapa berguna produk yang dihasilkan, dan secara alami indikator nilai terbaik adalah berapa banyak pelanggan yang membayar layanan tersebut, dan seberapa besar nilainya,” ujar Tiang.

SeedPlus adalah perusahaan modal ventura bermarkas di Singapura. Mereka sudah memiliki tiga portofolio di Indonesia, meliputi Travelstop (SaaS), Qoala (insurtech), dan Logisly (logistic).

Masa Depan Platform Penyedia Layanan “On Demand” di Indonesia

Salah satu sektor teknologi yang mengalami pertumbuhan yang lambat dan sepi pendanaan adalah layanan teknologi jasa atau tukang. Meskipun kehadirannya sudah dimulai sejak tahun 2015 lalu, hingga kini belum ada pemain unggulan yang berhasil mendominasi. GoLife, yang digawangi Gojek, malah mengundurkan diri tahun ini.

DailySocial mencoba mencari tahu tantangan, kesulitan dan masa depan layanan jasa dan tukang di Indonesia dan bagaimana masing-masing startup menerapkan strategi agar bisa bertahan.

Efek penutupan GoLife

Penutupan GoLife secara menyeluruh bulan Juli 2020 lalu, menjadi momen penentu potensi dan peluang sektor ini. Meskipun sempat mengalami masa-masa jaya, layanan GoLife yang mencakup jasa pembersihan, jasa pijat, jasa perbaikan, jasa laundry, jasa kecantikan, dan lain-lain ternyata tidak mampu bertahan meskipun didukung jaringan mitra dan jangkauan wilayah ekosistem Gojek yang luas. Salah satu faktor utama penutupan layanan ini adalah kehadiran pandemi sejak awal tahun ini.

Di sisi lain, penutupan GoLife memberikan peluang baru untuk pertumbuhan platform lainnya.

Founder & CEO Help Indonesia Melia Lustojoputro mengungkapkan, saat pandemi baru merebak terjadi penurunan pemesanan secara signifikan. Mereka kemudian mencoba memberikan perlindungan ke mitra helper dan klien dari kemungkinan terburuk, sehingga dilakukan penyaringan order dan membuat SOP baru.

“Penutupan GoLife memberikan efek positif dengan peningkatan order pada aplikasi Help. Tapi banyak mitra kami yang juga menahan diri dan tidak mengambil order. Sehingga kami membuat kebijakan baru, di mana kami mengandalkan hanya sebagian dari mitra yang terpilih untuk secara konsisten mengambil order dan mengerjakannya,” kata Melia.

Hal senada diungkapkan Executive Director TukangBersih Ranti Sabina. Platform mengklaim mendapatkan jumlah pelanggan dan mitra baru yang sebelumnya terdaftar sebagai mitra GoLife.

“Sebagian mitra baru kami berasal dari eks-mitra GoLife. Itu terbukti bahwa sebenarnya minat terhadap jasa ini cukup besar. Tantangan terbesar lebih kepada menjaga kualitas dan monitoring dari layanan,” kata Sabina.

Di sisi lain, layanan Clean & Fix yang ditawarkan Grab dan Sejasa masih aktif. Clean & Fix adalah hasil hipotesis yang dilakukan Grab setelah pilot project dengan Sejasa pada Desember 2018. Sebelum Clean & Fix resmi hadir pada akhir tahun 2019 lalu, Grab memasukkan Sejasa dalam bentuk widget di laman utama aplikasi Grab.

Budget dan ekspansi

Meskipun sudah ada beberapa platform yang menyediakan layanan di luar kawasan ibukota, kebanyakan dari mereka masih membatasi layanan di Jakarta dan sekitarnya. Menurut sudut pandang investor, salah satu alasan masih terbatasnya area layanan yang dijangkau platform jasa dan tukang di Indonesia adalah unit ekonomi yang rentan.

Menurut Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto, secara tipikal layanan marketplace jasa cenderung sangat hiperlokal dan kurang scalable. Mereka tidak dapat memanfaatkan penawaran dan permintaan yang sudah ada sebelumnya di satu pasar untuk menarik pengguna di pasar baru. Ketika mereka datang ke pasar baru, mereka perlu mendapatkan semua pelanggan dari awal.

Efeknya adalah akuisisi pelanggan di satu kota akan sangat berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Ketidakpastian Costumer Acquisition Cost (CAC) itu sering kali membuat model ini dirugikan ketika mulai memasuki  pasar baru.

“Kami melihat ini sebagai salah satu tantangan besar yang harus dihadapi para pendiri startup. Di Indogen Capital, kami sangat bangga memiliki koneksi untuk membantu startup menembus kota-kota tingkat menengah dan tier ketiga yang pada akhirnya akan menjadi pembeda untuk memenangkan seluruh pasar Indonesia,” kata Chandra.

Hal senada diungkapkan CMO RenovAsik Indra Setiawan. Menurutnya tantangan utama memperluas area layanan adalah budget operasional. RenovAsik saat ini baru beroperasi di Jabodetabek, karena untuk berekspansi ke kota lain dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk kantor, kegiatan pemasaran, perekrutan tim, dan infrastruktur.

“Yang paling utama sih adalah sumber daya manusia ya, karena RenovAsik mengedepankan Quality Control dari internal company ke klien. Untuk memastikan kinerja mandor/tukang di lapangan sesuai dengan yang diinginkan klien,” kata Indra.

Yoofix adalah startup jasa yang berbasis di Yogyakarta. Kini mereka memperluas layanan di Jabodetabek, Bandung, dan sedang dalam tahapan piloting di Surabaya. Menurut Founder & CEO Yoofix Dian Bilhokista, sebenarnya setiap kota telah memiliki platform lokalnya sendiri, tapi memang masih sangat sedikit yang kemudian di antara mereka memiliki layanan di beberapa kota berbeda.

“Tantangan yang paling banyak ditemui adalah perbedaan SOP dan budaya di setiap kota. Harus punya metode khusus untuk setiap kotanya, baik untuk mengajak mitra bergabung maupun untuk mendapatkan pelanggan,” kata Dian.

Sementara TukangBersih, yang fokus ke bidang housekeeping dan men-deliver sebagian jasanya melalui aplikasi dan web, saat ini telah tersedia di kota-kota besar di Jawa dan Bali.

Demand dari pengguna terlihat jelas sangat besar. Terbukti dengan semakin tinggi peningkatan order dari hari ke hari. Tantangan terbesar kami adalah menyaring dan melakukan pelatihan talenta yang berkualitas agar sesuai dengan standarisasi TukangBersih,” kata Sabina.

Pengelolaan mitra

Secara konvensional saat ini sudah banyak ditemui penyedia jasa seperti ini, namun ketika masuk ke ranah online diperlukan persyaratan dan kriteria yang wajib dipenuhi masing-masing platform.

“Untuk mengetahui apakah mitra tersebut memiliki attitude dan skill yang bagus itu tidak bisa dalam sekali interview terjawab. Bagi kami harus langsung terjun menangani proyek baru bisa terjawab,” kata Indra.

Persoalan attitude dan skill juga digarisbawahi Melia. Menurutnya ketika proses perekrutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengguna, seorang calon mitra harus melalui tahap yang ditentukan,sebelum dianggap layak bergabung.

“Biasanya dari 100 orang yang mendaftar, hanya 30% yang hadir. Sehingga kami harus melakukan pelatihan berkali-kali, yang tentunya membutuhkan dana tidak sedikit,” kata Melia.

Sementara menurut Dian, tantangan terbesar saat melakukan proses perekrutan mitra adalah menemukan mitra yang sesuai dengan budaya dan nilai yang dibangun perusahan, yaitu mereka harus memiliki kemampuan (hard skill) dan jujur.

Potensi ke depan di Indonesia

Menjelang akhir tahun 2020 jumlah layanan jasa dan tukang di Indonesia makin bertambah. Meskipun demikian, belum ada yang mendominasi layanan dan baru sedikit yang menerima dana segar dari investor.

“Bisnis jasa tentu tentang bagaimana kita memberikan layanan yang memuaskan pelanggan, nah sejalan dengan itu peningkatan demand juga akan terjadi,” kata Dian.

Optimisme serupa diungkapkan Sabrina. Melalui TukangBersih dirinya melihat bisnis jasa pembersihan ke depannya semakin bersinar. Hal ini karena budaya milenial yang menyukai layanan jasa berbasis on demand yang lebih mudah dan praktis dan dilengkapi sistem monitoring.

“Banyak pula permintaan dari platform lainnya untuk bekerja sama, seperti dengan JD Life dan beberapa platform lainnya. Hal ini menjadi tanda baik bahwa jasa ini sangat dibutuhkan dan memiliki demand yang besar,” kata Sabina.

Investor memiliki pandangan yang lebih berhati-hati. Sebagai investor, menurut Chandra, dirinya saat ini belum melihat adanya rencana untuk berinvestasi ke layanan jasa dan tukang di Indonesia. Ia beralasan masih ada tantangan di margin yang sangat tipis dan cukup sulit untuk ditingkatkan. Dirinya melihat ke depannya permintaan layanan pasti akan tetap ada, namun sebagai investor ia ingin melihat bagaimana para pendiri dapat membangunnya menjadi bisnis yang scalable.

“Ada cara untuk membuatnya lebih scalable, dan kami sangat ingin melihat apa yang dapat dilakukan para pendiri untuk mengatasi masalah tersebut,” kata Chandra.

Ketika Startup Harus Menutup Bisnis

Penutupan startup adalah proses yang tidak dapat dihindari ketika produk yang dihasilkan tidak mencapai product market fit, perusahaan tidak mampu pivot atau menghasilkan skema bisnis berkelanjutan untuk mendukung operasional, atau bahkan terjadi perpecahan di antara para pendiri.

Jika akhirnya startup harus menutup bisnis, langkah apa yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawaban terbaik ke investor, pegawai, dan stakeholder lainnya.

DailySocial mencoba mencari tahu bagaimana investor dan pendiri startup berbagi pengalaman ketika harus dihadapkan pada keputusan menutup startup.

Memahami alasan penutupan

Salah satu alasan mengapa kebanyakan pendiri startup enggan berbagi cerita tentang penutupan startup adalah rasa malu untuk mengakui kegagalan. Menurut Partner Y Combinator Aaron Harris, menutup bisnis merupakan proses yang sulit. Itu berarti mengakui secara terbuka bahwa Anda salah, tidak beruntung, atau tidak kompeten. Kebanyakan founder tidak memiliki cara yang tepat untuk memikirkan kapan waktu yang tepat menutup startup.

Founder juga tidak selalu dapat memilih untuk menutup. [..] Itu keputusan yang sulit dan menyakitkan. Itu adalah keputusan yang emosional dan berat.”

Partner Alpha JWC Ventures Erika Dianasari mengatakan, “Umumnya [penutupan] terjadi akibat kurang akurasi pencatatan data dan laporan usaha. Ketidakakuratan data bisa terjadi karena blank spot dalam proses operasional startup, competency issue, atau hal lain. Kurangnya akurasi data ini dalam kasus yang parah membuat founder tidak memiliki cukup waktu dan resources untuk membiayai operasional startup.”

Saat perusahaan dihadapkan pada situasi tidak ada pilihan lain untuk meneruskan bisnisnya, mereka harus melakukan pendekatan intensif dengan investor untuk menentukan langkah selanjutnya.

“Semua tentu saja bergantung pada bisnis, status pendanaan, layanan, produk, dan strateginya. Mungkin ada sejumlah kemungkinan yang dapat terjadi. Termasuk kemungkinan membuat startup tidak aktif untuk sementara waktu sampai situasinya membaik, penjualan aset atau kekayaan intelektual, reorganisasi, pivoting dan pengembalian dana, merger atau akuisisi kecil oleh orang lain atau hanya menghentikan operasi,” kata Executive Director Alpha Momentum Indonesia Kelvin Yim.

Dialog atau komunikasi yang terbuka penting dilakukan, demi mencari jalan yang tepat agar proses penutupan berjalan dengan baik dan hubungan antara investor dan pendiri startup tetap terjaga.

“Sebelum menjawab pertanyaan tentang penutupan, saya rasa kita harus kembali ke dasar hubungan antara investor dan pendiri startup. Di Alpha JWC Ventures hubungan kita didasarkan pada kepercayaan dan empati. Kita tahu bahwa kita semua melakukannya bersama-sama. Sebagai investor, kita tahu bahwa investasi startup [..] berisiko tinggi. Kita tidak bisa mengharapkan semua investasi berhasil. Oleh karena itu kami memilih pendekatan high touch untuk meningkatkan peluang sukses bagi para pendiri,” kata Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Pertanggungjawaban

Idealnya startup berada di posisi terbaik untuk berhenti secara elegan ketika ada perjanjian yang mencakup detail penutupan: siapa yang memiliki otoritas pengambilan keputusan, bagaimana aset didistribusikan, siapa yang dibayar, dan dalam urutan apa. Hal ini biasanya tidak terlintas di pikiran kebanyakan pendiri startup saat baru mulai merintis. Ke depannya, langkah ini wajib dilakukan sebagai antisipasi skenario terburuk.

Menurut Daniel Tumiwa yang telah menutup startup adtech Adsvokat, penting untuk menjaga hubungan baik dan selalu transparan. Tidak hanya ke investor namun juga pegawai dan rekan bisnis.

Be transparent to all employees. Sebagai pemimpin harus bisa memberikan informasi jika saldo perusahaan sudah berada pada X rupiah misalnya. Saya akan menjadi orang pertama yang memberikan informasi kepada pegawai, untuk segera mencari pekerjaan baru, dan bersiap meninggalkan perusahaan,” kata Daniel.

Sementara Benny Tjia menyebutkan dirinya dihadapkan pada pilihan yang cukup berat untuk menutup Bornevia tahun 2017 lalu. Semua upaya telah dilakukan Benny dengan melibatkan pihak terkait.

“Saya jadi percaya bahwa satu-satunya alasan mengapa seorang pendiri menutup startupnya adalah jika dia menyerah dan tidak lagi ingin mengoperasikan / menjalankan perusahaan. Dalam keadaan lain apapun, itu harus menjadi pilihan terakhir. Saya pikir akan menjadi bijaksana bagi pendiri untuk duduk bersama jajaran manajemen dan investor lainnya untuk mempertimbangkan opsi lain untuk mengoptimalkan nilai pemegang saham, seperti perubahan haluan besar, kemungkinan untuk melakukan pivoting dan alternatif strategis lainnya,” ungkap Benny yang kini menjadi Principal Indogen Capital.

Di sisi lain, Benny menambahkan, banyak pihak yang bakal terdampak dari keputusan ini, termasuk investor, pegawai, dan mitra.

“Melihat ke belakang, kami sangat berterima kasih kepada pemegang saham dan para stakeholder kami yang selalu setia dan mendukung kami selama masa-masa sulit,” kata Benny.

Penyelesaian akhir dan dukungan investor

Startup Anda kemungkinan besar memiliki berbagai jenis aset, mulai dari inventaris yang tidak terjual, hingga perabot kantor dan kekayaan intelektual (IP). Menjadi tanggung jawab para pendiri untuk mendapatkan nilai sebanyak mungkin dari beberapa kemungkinan tersebut. Menurut Erika, ada beberapa langkah yang wajib dilakukan pendiri setelah startup tutup.

Langkah pertama adalah memberikan informasi resmi ke semua stakeholder  terkait permodalan, usaha, dan operasional startup. Sampaikan seluruh informasi yang akurat mengenai posisi keuangan startup (kas, aset, kewajiban) dengan pemegang saham. Siapkan langkah-langkah selanjutnya untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban dengan skala prioritas yang telah disepakati. Yang terakhir memberikan referensi pegawai ke startup yang masih aktif melakukan perekrutan.

“Walaupun tidak mudah, upayakan yang terbaik untuk meminimalisasi dampak kerugian dari seluruh pihak terkait berhentinya operasional,” kata Erika.

Hal senada diungkapkan Kelvin. Meskipun pertanggungjawaban beragam kondisinya, secara hukum startup harus mematuhi semua peraturan sebelum menghentikan operasi. Oleh karena itu, startup harus mengacu kembali ke perjanjian hukum yang telah ditandatangani. Jika tidak ada yang ditentukan di awal, terlepas dari hubungan dan kewajiban sosial, startup tidak memiliki kewajiban hukum setelah berhenti beroperasi.

“Hal ini sangat tergantung pada syarat pembayaran yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika ada [pilihan] kebutuhan untuk mengembalikan dana atau menganggap dana hangus sebagai kerugian. Juga sangat bergantung pada persyaratan yang disepakati selama putaran investasi,” kata Kelvin.

Terkait dukungan atau upaya terakhir investor untuk terus membantu startup yang mulai mengalami kerugian dan terlihat tanda-tanda untuk penutupan, menurut Kelvin, tidak ada jawaban yang tepat.

Menurutnya hal ini sangat tergantung pada situasi dan bisnis startup serta penilaian investor terhadap kondisi tersebut. Jika kedua belah pihak sepakat bisnis tidak akan dapat bertahan setelah meninjau semua aspek, maka tidak ada gunanya memberi dorongan.

“Proposisi bisnis selalu didasarkan pada faktor bisnis dan situasinya dan tidak boleh didasarkan pada emosi. Hanya setelah penilaian dan tinjauan situasi, sebagian besar investor akan memberikan reaksi dan tanggapan yang sesuai. Tetapi saya berasumsi bahwa itu adalah kewajiban startup untuk memberi tahu investor tentang situasi apa pun yang akan memengaruhi seluruh operasinya,” kata Kelvin.

Hal senada diungkapkan Jefrey. Menurutnya, dalam situasi sulit tersebut, dapat dilihat bagaimana investor memainkan peran besar dalam mempengaruhi hasil akhir.

“Di Alpha JWC Ventures misalnya, kami membantu para pendiri untuk memaksimalkan apa yang mereka miliki. Kami membantu mereka menemukan pembeli untuk aset mereka, mengidentifikasi dan menghargai aset tidak berwujud mereka, seperti merek, tim dan teknologi. Kami bahkan membantu pegawai mereka untuk dipekerjakan kembali di perusahaan lain. Kami mengetahui pasar, sehingga kami benar-benar dapat membantu mereka dan memfasilitasi diskusi lebih lanjut yang diperlukan untuk mendapatkan win-win solution,” kata Jefrey.

Pada akhirnya, investasi yang digelontorkan perusahaan modal ventura menjadi investasi berisiko paling tinggi. Jaga trust yang telah diberikan dan pertanggungjawabkan semua kemungkinan terburuk, jika pendiri startup terpaksa harus menutup bisnis.

Mengulik di Balik Investasi EVOS, Ekspansi ke Jepang?

Sama seperti Indonesia, kebanyakan — jika tidak semua — negara-negara di Asia Tenggara merupakan negara mobile-first. Kebanyakan dari masyarakat Indonesia mengenal internet melalui smartphone. Jadi, jangan heran jika di Tanah Air dan negara-negara tetangga, mobile game menjadi lebih populer daripada game PC dan konsol.

Menurut Newzoo, sekitar 82% masyarakat di Asia Tenggara bermain game. Sebanyak 80% merupakan mobile gamer. Sementara itu, pemasukan industri gaming di Asia Tenggara mencapai US$4,4 miliar pada 2019, naik 16% dari tahun sebelumnya. Dari total pendapatan industri gaming, US$3,1 miliar atau sekitar 70%, berasal dari mobile game.

Selain bermain game, para gamer di Asia Tenggara juga senang menonton pertandingan esports. Diperkirakan, jumlah penonton esports di ASEAN mencapai 30 juta orang pada akhir 2019, naik 22% dari tahun sebelumnya. PUBG Mobile menjadi salah satu game esports yang paling banyak ditonton. Selain itu, game esports lain yang populer adalah Mobile Legends: Bang Bang. Menariknya, negara-negara di Asia Tenggara punya preferensi yang berbeda-beda. Keragaman ini menjadi salah satu daya tarik Asia Tenggara bagi para investor.

 

EVOS Esports Dapat Investasi US$12 Juta

Banyaknya perusahaan non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor turnamen dan organisasi esports menjadi salah satu bukti dari pesatnya pertumbuhan industri esports. Bukti lainnya adalah semakin banyak investor, termasuk venture capital, yang melirik para pelaku industri esports. ONIC Esports dan EVOS Esports merupakan dua organisasi esports asal Indonesia yang pernah mendapatkan investasi dari venture capital sebelumnya. Belum lama ini, EVOS kembali mendapatkan kucuran modal.

Sumber: MPL Indonesia
EVOS jadi salah satu tim di MPL | Sumber: MPL Indonesia

Pada 13 Oktober 2020, Attention Holdings Pte. Ltd., perusahaan induk dari EVOS Esports, berhasil mengumpulkan investasi seri B senilai US$12 juta. Ronde pendanaan kali ini dipimpin oleh Korea Investment Partners. Beberapa investor lain yang juga ikut serta dalam ronde pendanaan kali ini antara lain Mirae Asset Ventures, Woowa Brothers, dan IndoGen Capital. Insignia Ventures Partners, yang memimpin ronde pendanaan seri A untuk EVOS pada tahun lalu, juga ikut dalam ronde pendanaan ini.

Esports tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan,” kata Sang-Ho Park, Executive Director of Korea Investment Partners dalam pernyataan resmi dari EVOS Esports. “Dan Attention Holdings berhasil menjadi platform esports paling maju di Asia. CEO EVOS, Ivan Yeo dan timnya berhasil menunjukkan pada kami rencana mereka di masa depan. Kami percaya, mereka akan dapat membangun ekosistem esports di Asia.” Melalui investasi ini, Sang-Ho Park juga akan menjadi bagian dari dewan direktur di Attention Holdings.

Sebagai organisasi esports, EVOS memang punya tim yang tangguh. Tim Mobile Legends mereka berhasil menyabet gelar juara dunia setelah memenangkan Mobile Legends: Bang Bang World Championship (M1) pada tahun lalu. Sementara tim Free Fire mereka berhasil memenangkan Free Fire World Cup 2019. Meskipun dikenal sebagai organisasi esports asal Indonesia, EVOS juga punya tim dari negara lain. Saat ini, mereka punya dua tim Thailand, yaitu EVOS Debut yang bertanding di Arena of Valor dan EVOS Insight yang berlaga di Free Fire.

Membangun tim yang kuat memang penting bagi organisasi esports. Namun, EVOS tak hanya fokus dalam memperkuat roster mereka, tapi juga divisi hiburan mereka, yang berisi para streamer dan influencer. Mereka bahkan punya manajemen influencer sendiri,  yaitu WHIM Management Indonesia. EVOS mengungkap, saat ini, mereka bertanggung jawab atas 160 gaming influencer. Sementara itu, total subscriber mereka di YouTube menembus 64 juta orang dan total pengikut Instagram 62 juta orang. Setiap bulannya, mereka mendapatkan lebih dari 350 juta view di Asia Tenggara.

EVOS juga punya manajemen influencer, WHIM. | Sumber: Esports ID
EVOS juga punya manajemen influencer, WHIM.

Dalam mengembangkan divisi hiburannya, EVOS juga serius. Buktinya, saat mereka mengumpulkan US$4,4 juta pada pendanaan seri A pada tahun lalu, mereka menggunakan dana itu untuk mengembangkan divisi hiburan mereka. Tak hanya itu, pada Mei 2020, WHIM mengumumkan kerja samanya dengan TikTok. Pada Q2 2020, viewership para talents di bawah EVOS naik 1.000% dari kuartal sebelumnya. Sepanjang Q2 2020, total view yang didapatkan oleh EVOS mencapai 700 juta view.

 

Alasan Insignia Ventures Partners dan IndoGen Capital Investasi di EVOS

IndoGen Capital merupakan salah satu investor baru EVOS Esports. Faktanya, kali ini adalah pertama kalinya mereka masuk ke industri game dan esports. Ketika saya menghubungi Chandra FirmantoManaging Partner, IndoGen Capital dia menjelaskan, komunitas fans esports Indonesia yang kuat jadi salah satu alasan mengapa IndoGen tertarik untuk menjajaki industri esports.

“Setelah kita pelajari industri game/esports, kita lihat kalau game maker Indonesia masih harus bersaing dengan perusahaan asing. Tapi, Indonesia punya komunitas yang kuat. Jadi, tim esports yang akan sukses,” kata Chandra melalui pesan singkat. “Pasalnya, kekuatan Indonesia memang di komunitas karena jumlah penduduk usia muda kita banyak dan spending mereka cukup kuat.”

Jika IndoGen memang ingin mendukung tim esports Indonesia, EVOS bukan satu-satunya pilihan yang mereka punya. Mereka bisa saja mendukung RRQ yang berhasil memenangkan MPL tiga kali berturut-turut atau Bigetron yang berhasil merebut gelar juara di PMCO Global Open 2019. Terkait hal ini, Chandra menjelaskan mengapa IndoGen memilih untuk menanamkan modal di EVOS.

“EVOS sudah punya atau akan punya jaringan di semua negara utama di Asia Tenggara. Dengan itu, mereka jadi pemain regional yang sangat penting bagi branding, sponsorship, atau pihak-pihak yang mau masuk ke pasar ASEAN,” ujar Chandra. “ASEAN punya total penduduk usia muda yang luar biasa dan GDP-nya terus naik. Selain itu, industri gaming serta hiburan sedang sangat hot sekarang. Semua investor melirik ke sini. Apalagi esports itu pandemic proof. Walau sedang pandemi, traksinya terus naik.”

Sebagai investor lama, Insignia Ventures Partners punya alasan lain mengapa mereka kembali menanamkan modal di EVOS. Melalui email, Yinglan Tan, Founding Managing Partner, Insignia Ventures Partners, menjelaskan bahwa alasan mereka kembali mengucurkan dana untuk EVOS adalah karena organisasi esports itu dapat menempatkan diri sebagai rekan yang tepat bagi merek global, platform, atau game yang ingin menjangkau fans esports di Asia Tenggara.

“Tahun ini, VISA bekerja sama dengan EVOS untuk masuk ke pasar esports di Asia Tenggara. Sementara TikTok dan Lazada juga menjalin kerja sama dengan mereka untuk mendukung pertumbuhan esports di Indonesia,” ujar Yinglan. “Kami melihat EVOS punya potensi yang besar. Dan perusahaan induk EVOS, Attention, akan mendorong pertumbuhan ekosistem esports di Asia Tenggara sehingga para fans, influencer, dan pemangku kepentingan lainnya bisa saling berinteraksi secara online.”

 

Insignia Siapkan Teknologi, IndoGen Bantu Ekspansi

Venture capital punya peran penting dalam membantu startup tumbuh. Seiring dengan semakin berkembangnya industri game, semakin banyak pula VC yang tertarik untuk menanamkan investasi di perusahaan game. Selain modal, hal lain yang bisa VC berikan pada startup yang mereka dukung adalah koneksi.

Yinglan dari Insignia mengatakan, selain memberikan modal, Insignia juga akan membantu Attention, perusahaan induk EVOS, untuk menemukan talenta serta rekan strategis yang tepat agar mereka bisa mengembangkan bisnis mereka. “Kami juga akan menawarkan keahlian tim internal kami terkait bidang teknologi untuk membantu mereka mengembangkan produk,” ungkapnya.

Sementara itu, Chandra mengungkap, IndoGen akan membantu EVOS untuk menembus pasar esports di Jepang. “Kita sudah ada venture partner Jepang yang akan membantu untuk menghubungkan EVOS ke giant gaming companies di Jepang,” akunya. “Esports sendiri baru dilegalisasi oleh pemerintah Jepang pada awal tahun ini. Jadi, pertumbuhan esports di sana justru lebih lambat dari Indonesia. Hal ini jadi peluang bagus bagi EVOS untuk masuk ke pasar esports di Jepang.”

Ada beberapa cara bagi sebuah organisasi esports untuk masuk ke negara baru. Salah satunya adalah dengan mengakuisisi tim lokal dan melakukan rebranding. Hal ini dilakukan oleh Fnatic ketika mereka mengakuisisi tim PUBG Mobile di India. Ketika ditanya apakah EVOS akan menggunakan strategi ini, Chandra menjawab, “Lebih ke partnership pasti. Jadi, joint venture dulu dengan perusahaan lokal. Nanti, apakah EVOS mau training untuk bentuk tim, bisa dibicarakan kembali. Pastinya, komunitas esports di Jepang, kita yang akan bangun.”

Untuk masalah waktu, Chandra mengungkap, ekspansi EVOS ke Jepang ditargetkan akan direalisasikan pada awal tahun depan. “Baru bisa visit Jepang pada Januari atau Februari. Tapi kita sudah curi start, kita akan buat event dengan Japanese Trade Organization untuk mempromosikan EVOS dan esports di Indonesia. Baru nanti, akan kita atur untuk tur ke Jepang,” katanya. Bentuk kegiatan yang Chandra maksud berupa webinar.

Saat ditanya mengapa IndoGen ingin membantu EVOS menembus pasar Jepang, Chandra mengungkap, “Karena Korea sudah dibantu oleh investor lain, seperti Mirae, KIP, dan Woowa. Kita bantu untuk masuk Jepang. Karena di Asia, pasar gaming pasti kan Jepang, Korea, dan Tiongkok,” ujarnya. Ke depan, tak tertutup kemungkinan IndoGen juga akan membantu EVOS masuk ke pasar esports Tiongkok. Namun, menurut Chandra, pasar Jepang dan Korea Selatan jauh lebih mudah untuk dimasuki. “Karena investor-investor dari sana sudah pada nyari ke sini,” katanya.

Jumlah audiens esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Jumlah audiens esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Chandra menjelaskan, para investor Jepang dan Korea Selatan sangat berminat dengan pasar esports Indonesia karena dianggap berpotensi besar. Memang, jumlah populasi muda di Indonesia cukup besar. Hal ini kabar baik bagi pelaku esports karena kebanyakan pelaku dan penikmat esports memang datang dari kalangan Milenial dan Gen Z. “Selain itu, sudah banyak perusahaan dari Jepang dan Korea yang menanamkan investasi ke sini dan terbukti sukses. Makanya, kita kebanjiran produk-produk dari mereka,” ujar Chandra sambil tertawa. “Termasuk produk makanan dan pop cultture. Jadi istilahnya, cinta bersambut.”

Chandra memberikan contoh, masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengonsumsi pop culture Jepang, seperti manga dan anime. Begitu juga dengan media hiburan Korea Selatan, seperti drama dan K-Pop. “Mereka juga sudah merasa dekat dengan kita. Apapun yang mereka pasarkan, pasti laku di Indonesia. Dan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di semua negara ASEAN. Fenomena serupa juga terjadi di Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina,” ungkap Chandra

 

Potensi Esports di ASEAN

Esports memang digadang-gadang akan menjadi industri yang besar. Namun, saat ini, tidak banyak pelaku industri esports yang sudah mendapatkan untung. Hal ini tidak menghentikan IndoGen — atau VC lain — untuk berinvestasi di organisasi esports.

Ketika ditanya mengapa VC tetap tertarik untuk masuk ke industri esports, Chandra menjawab, “Semua fund pasti investasi karena ingin mendapatkan untung. Kami merasa, esports punya potensi yang bagus karena pertumbuhannya masih panjang. Namun, sebagai VC Indonesia, kami juga bangga dengan EVOS. Mereka juga komunitas yang kuat di Indonesia, jadi kami merasa terpanggil untuk membantu mereka menjadi pemain besar di pasar Asia dan dunia.”

Chandra menjelaskan, hal yang wajar bagi sebuah VC untuk menanamkan investasi di industri yang model bisnisnya masih belum jelas. “Kalau skemanya sudah bagus, ya semua orang akan mau investasi,” ujarnya sambil tertawa. “Sebagai VC, kita harus bisa memprediksi industri mana yang akan bagus. Kita betting early ke sana.” Dia mengungkap, ada tiga hal yang memungkinkan sebuah VC untuk exit dari perusahaan yang mereka investasikan. Pertama, jika mereka menjual saham kepemilikan mereka. Kedua, jika perusahaan yang menerima investasi melakukan penawaran saham perdana (IPO). Terakhir, jika perusahaan penerima investasi diakuisisi atau merger dengan perusahaan lain.

“Kalau EVOS pegang ekosistem esports Asia Tenggara, perusahaan asing pasti juga akan berlomba-lomba untuk merger atau akuisisi,” ungkap Chandra. “Kemungkinan IPO juga selalu terbuka.” Sejauh ini, telah ada dua organisasi esports yang melakukan IPO, yaitu Astralis Group dan Guild Esports — walau keputusan Guild Esports untuk melakukan IPO dipertanyakan komunitas esports.

“Kalau sekarang organisasi esports belum mendapatkan untung, ya sama seperti ketika Ultimate Fighting Championship baru dimulai. Memang pada awalnya, siapa yang mau menonton UFC? Pada tahun 70-an dan 80-an, harga tim-tim NBA juga murah-murah,” jelas Chandra. Baik UFC dan NBA kini terbukti sukses. Esports juga dipercaya akan sukses di masa depan. Alasannya, jumlah penonton esports secara global sudah mencapai ratusan juta orang. Dan angka ini masih akan terus naik.

“Semakin besar komunitas, maka semakin banyak penonton,” ujar Chandra. “Berikutnya, akan ada kontrak dengan stasiun televisi. Dan TV memang sudah paying attention ke esports. Sponsorship itu memang baru akan datang setelah terkenal, tapi datangnya akan seperti tsunami.” Memang, di tengah pandemi, ada beberapa stasiun televisi yang menayangkan kompetisi esports untuk menggantikan pertandingan olahraga yang harus dibatalkan. Misalnya, FOX Sports menayangkan eNASCAR iRacing Pro Invitational Series sementara Eurosport mendapatkan hak siar atas The Race All-Star Series. Di Indonesia, Mobile Legends Professional League Season 5 ditayangkan di RCTI+.

MPL Season 5 ditayangkan di RCTI+.
MPL sempat ditayangkan di RCTI+.

Soal potensi esports di Asia Tenggara, Yinglan mengaku, esports memang tumbuh di kawasan ASEAN selama beberapa tahun belakangan. Pertumbuhan esports secara global menjadi salah satu pendorongnya. Selain itu, semakin populernya mobile-first gaming juga membuat esports menjadi semakin populer di Asia Tenggara. Faktor lain yang membuat esports tumbuh adalah dukungan dari pemerintah di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

“Niko menyebutkan, ada 510 juta fans esports di Asia dan 595 juta pemain esports,” ujar Yinglan. Fans esports dikategorikan sebagai orang-orang yang menonton pertandingan esports setidaknya sekali dalam sebulan. “Sementara viewership siaran esports naik sekitar 75-100% di Asia pada tahun lalu. Selain itu, sekitar 50-75% gamer menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain selama pandemi.” Semua ini menjadi bukti dari besarnya potensi esports di ASEAN.

Namun, Yinglan sadar, selama pandemi, pertumbuhan esports tak sebaik subsektor lain dari industri gaming. Pasalnya, pandemi membuat turnamen esports tak bisa diselenggarakan secara offline. Dan hal ini memengaruhi belanja para penonton. Memang, pada tahun ini, Newzoo menurunkan nilai industri esports akibat pandemi. “Meskipun begitu, karena munculnya tantangan-tantangan baru ini, ada potensi besar industri esports akan beralih menggunakan platform online untuk menghubungkan para influencer dengan dengan fans dan memonetisasi kegiatan tersebut,” ucap Yinglan. Kegiatan tersebut bisa berupa kegiatan virtual atau social commerce yang interaktif.

 

Penutup

Sepanjang 2020, EVOS mungkin “hanya” dapat memenangkan Free Fire Indonesia Masters 2020 dan Arena of Valor Star League. Namun, dari sisi bisnis, mereka berhasil mendapatkan sejumlah rekan kerja sama strategis, seperti Lazada, TikTok, dan tentu saja, VISA. Selain itu, mereka juga berhasil mendapatkan pendanaan seri B. Saya rasa, hal ini adalah “kemenangan” tersendiri untuk EVOS.

Sumber header: ONE Esports

Wahyoo Announced 73 Billion Rupiah Worth of Series A Funding Led by Intudo Ventures

Today (05/8), Wahyoo announced series A funding worth of $5 million or equivalent to 73.2 billion Rupiah. This round was led by Intudo Ventures with the participation of Kinesys Group, Amatil X (Coca-Cola Amatil), Arkblu Capital, Indogen Capital, Selera Kapital, Gratyo Universal Indonesia, and Isenta Hioe.

It is said in an official statement, investment funds will be focused on accelerating market expansion and hiring new employees. Was founded in 2017, Wahyoo has reached 13,500 warung partners in the Jadetabek area. The platform highlights on digitizing services and improving business operations.

Specifically, Wahyoo helps conventional food stall owners (warung) through digital platforms to attract customers, improve marketing, implement loyalty programs, order and receive food ingredients, manage financial flows, and provide training (Wahyoo Academy). Warung partners can also earn additional income through advertising and brand partnerships with Wahyoo.

“With the fresh money, we plan to expand operations to other cities outside the Jabodetabek area; and add new employees, especially to our technology and product units. We will continue to add new features and services to meet the needs of warung owners, especially improve supply chain systems and financial products,” Wahyoo’s Founder & CEO Peter Shearer said.

“SME is one of the main engines of Indonesia’s economic growth and being transformed through new innovative businesses such as Wahyoo. With digitalization efforts and targeting segment warung owners, Wahyoo believes to create positive economic and social impacts for the Indonesian working class,” Intudo Ventures Founding Partner, Patrick Yip said.

Meanwhile, Coca-Cola Amatil Indonesia’s President Director Kadir Gunduz added, “Our partnership with Wahyoo will help SMEs overcome digital barriers and spur growth in Indonesia’s e-commerce industry. We are proud to partner with Wahyoo to help digitize the warung market.”

Presiden Direktur Coca-Cola Amatil Indonesia Kadir Gunduz
Wahyoo’s Founder & CEO, Peter Shearer with Coca Cola Amatil Indonesia’s President, Kadir Gunduz / Wahyoo

Previously, in mid-2019, Wahyoo had received seed funding with an undisclosed amount. Some of the investors involved included Agaeti Ventures, Chapter 1 Ventures, Kinesys Group, SMDV, East Ventures, and Rentracks.

The aggressive service adoption results in Wahyoo’s business growing fast. In early 2020, they are reportedly acquired Alamat.com, an online platform that provides solutions to help consumers find service stores and lifestyles. Two founders of Alamat.com are helping Peter in the company’s management, Daniel Cahyadi as COO and Michael Diharja as CTO.

Not long ago, Wahyoo also launched Langganan.co.id, an online platform to accommodate people in residential areas to shop groceries. Operating since June 2020, the platform has reached users in residential or apartment areas, such as Green Lake City, Alam Sutera, Cipondih, Taman Royal, Banjar Wijaya, Modernland, Gading Serpong, Karawaci, Metro Permata, Ciledug, Puri, and PIK.

Warung transformation is getting a lot of support

Recently, startups with the intention to democratize business stalls (with a variety of characteristics) continue to get huge support. As Wahyoo’s focused on warteg or food stalls, others also focused on grocery stalls (selling daily necessities). It also take similar transformation form, making it easier for traders to get stock, capital, to enable them to present financial products for their users.

Ula, for example. The startup debuted this year with $10 million funds from some investors. Its mission is to simplify the FMCG supply chain for small shops. There is also Payfazz focusing on providing financial services to the stall owners, allowing stalls to provide funds transfer transactions, withdrawal, loans, and even purchase digital products. There are also some other players.

Warung is a culture that is inseparable to Indonesian people, retail transactions spin fast every day and stalls become the economic component closest to the community with the widest distribution. This condition put stalls an ideal channel to perform various businesses – reaching all groups; in addition to providing added value to drive their businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Wahyoo Umumkan Pendanaan Seri A 73 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures

Wahyoo hari ini (05/8) mengumumkan penutupan pendanaan seri A senilai $5 juta atau setara 73,2 miliar Rupiah. Putaran pendanaan dipimpin Intudo Ventures dengan keterlibatan Kinesys Group, Amatil X (Coca-Cola Amatil), Arkblu Capital, Indogen Capital, Selera Kapital, Gratyo Universal Indonesia, dan Isenta Hioe.

Dalam keterangan resminya dikatakan, dana investasi akan difokuskan untuk percepatan ekspansi pasar dan perekrutan karyawan baru. Sejak didirikan tahun 2017, Wahyoo sudah menjangkau 13.500 mitra warung makan di area Jadetabek. Platform Whayoo fokus pada digitalisasi layanan dan peningkatan operasional bisnis.

Secara lebih spesifik Wahyoo membantu pemilik warung makan konvensional melalui platform digital untuk menarik pelanggan, meningkatkan pemasaran, menerapkan program loyalitas, memesan dan menerima bahan baku makanan, mengelola arus keuangan, dan memberikan pelatihan (Akademi Wahyoo). Mitra warung makan ini juga dapat memperoleh penghasilan tambahan melalui iklan dan kemitraan merek dengan Wahyoo.

“Dengan pendanaan baru ini, kami berencana untuk memperluas operasi ke kota-kota lain di luar wilayah Jabodetabek; dan menambah karyawan baru, terutama untuk unit teknologi dan produk kami. Kami akan terus menambahkan fitur dan layanan baru untuk memenuhi kebutuhan pemilik warung makan, terutama meningkatkan sistem rantai pasokan dan produk keuangan,” sambut Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer.

“UKM merupakan salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan sedang ditransformasi melalui bisnis inovatif baru seperti Wahyoo. Dengan upaya digitalisasi, Wahyoo yang mempunyai segmen untuk para pemilik warung makan, kami percaya dapat menciptakan dampak ekonomi dan sosial yang positif bagi kelas pekerja Indonesia,” kata Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip.

Sementara itu Presiden Direktur Coca-Cola Amatil Indonesia Kadir Gunduz menambahkan, “Kemitraan kami dengan Wahyoo akan membantu UKM mengatasi hambatan digital dan memacu pertumbuhan di industri e-commerce Indonesia. Kami bangga dapat bermitra dengan Wahyoo untuk membantu mendigitalkan pasar warung.”

Presiden Direktur Coca-Cola Amatil Indonesia Kadir Gunduz
Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer bersama Presiden Direktur Coca-Cola Amatil Indonesia Kadir Gunduz / Wahyoo

Sebelumnya di pertengahan tahun 2019 lalu, Wahyoo telah mendapatkan pendanaan awal dengan nilai yang tidak disebutkan. Beberapa investor yang terlibat termasuk Agaeti Ventures, Chapter 1 Ventures, Kinesys Group, SMDV, East Ventures, dan Rentracks.

Adopsi layanan yang agresif juga membuat bisnis Wahyoo bertumbuh kencang. Awal tahun 2020, mereka dikabarkan mengakuisisi Alamat.com, yakni platform online yang menyediakan solusi untuk membantu para konsumen menemukan toko-toko jasa dan gaya hidup. Dua pendiri Alamat.com, saat ini membantu Peter di jajaran manajemen perusahaan, yakni Daniel Cahyadi sebagai COO dan Michael Diharja sebagai CTO.

Belum lama ini, Wahyoo juga luncurkan Langganan.co.id, sebagai platform online yang memudahkan masyarakat di area residential untuk berbelanja sembako secara mudah. Sudah beroperasi sejak Juni 2020, platform tersebut mulai melayani pengguna di kawasan perumahan atau apartemen, seperti Green Lake City, Alam Sutera, Cipondih, Taman Royal, Banjar Wijaya, Modernland, Gading Serpong, Karawaci, Metro Permata, Ciledug, Puri, hingga PIK.

Transformasi warung terus dapat dukungan

Belakangan ini, startup yang mencoba mendemokratisasi bisnis warung (dengan berbagai karakteristik) terus mendapatkan dukungan besar. Jika Wahyoo memilih fokus di warteg alias warung makan, kebanyakan fokus ke warung kelontong (berjualan kebutuhan harian). Rata-rata bentuk transformasinya juga sama, mempermudah pedagang mendapatkan stok, permodalan, hingga memungkinkan mereka menghadirkan produk finansial bagi para penggunanya.

Sebut saja Ula, startup baru debut mereka di tahun ini mengantongi dana $10 juta dari sejumlah investor. Misinya untuk efisienkan rantai pasokan FMCG di warung-warung. Ada juga Payfazz yang memilih fokus hadirkan layanan finansial kepada pemilik warung, mungkinkan warung melayani transaksi transfer dana, tarik dana, pinjaman, hingga pembelian produk-produk digital. Dan masih banyak pemain lainnya.

Warung adalah sebuah kultur yang melekat dengan masyarakat Indonesia, transaksi ritel berputar dengan kencang setiap harinya dan warung menjadi komponen ekonomi yang paling dekat dengan masyarakat dengan persebaran terluas. Kondisi ini menjadikan warung sebagai kanal yang ideal untuk melancarkan berbagai bisnis – menjangkau semua kalangan; di samping memberikan nilai lebih bagi pelaku usaha yang menggerakkan bisnisnya.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Manajemen Risiko Perusahaan Modal Ventura

Konglomerat digital Jepang Softbank, melalui kendaraan investasinya, Vision Fund, sepanjang tahun 2013-2020 telah menggelontorkan pendanaan senilai hampir $10,5 miliar untuk perusahaan ride hailing Didi Chuxing, WeWork ($8,7 miliar), Uber ($8,3 miliar), dan Grab ($4,5 miliar).

Nama-nama populer tersebut telah berhasil meraih valuasi raksasa dengan mengedepankan konsep growth dan ekspansi besar-besaran. Namun “kericuhan” yang menimpa WeWork tahun 2019 lalu, memberikan dampak negatif ke Softbank sebagai pendukung terbesar.

Tercatat Softbank membukukan kerugian bersih sebesar $6,4 miliar, mayoritas karena dampak pengurangan valuasi WeWork.

Apa yang terjadi dengan Softbank  menjadi wake-up call bagi para investor secara global. Tidak hanya mengubah fokus dan mulai meninggalkan konsep growth at all cost, kebanyakan perusahaan modal ventura juga mulai fokus ke startup yang benar-benar berbasis teknologi.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, setiap investor yang mengandalkan diversifikasi portofolio perlu disiplin dalam hal alokasi investasi.

“Jika uang [investasi] itu berasal dari Vision Fund [yang berdana total] $100 miliar, maka saya akan mengatakan investasi di WeWork memiliki eksposur yang masif pada dana tersebut. Softbank bermain di ‘liga besar’, jadi pasti kegagalannya jauh lebih terbuka,” kata Arya.

Perusahaan modal ventura seperti Softbank pernah memiliki keuntungan besar dengan Alibaba, tetapi “gagal” dengan WeWork. Untuk itu kali ini kami membahas bagaimana investor memitigasi risiko agar tetap bisa menjalankan bisnis dan berinvestasi secara sehat.

Pengelolaan risiko

Venture capital (VC) berinvestasi di salah satu kelas aset paling berisiko, yaitu startup. Menurut Shikhar Ghosh, Profesor Harvard Business School, dalam waktu 10 tahun terakhir 70% startup gagal. Semua kegagalan startup berasal dari keputusan yang dibuat perusahaan.

Idealnya, penilaian dan skenario mitigasi risiko dilakukan sejak pra-investasi hingga tahap investasi untuk menentukan keberhasilan. Itu sebabnya VC biasanya melakukan uji kelayakan (due diligence) yang mendalam sebelum dana diberikan.

“Setiap investasi tidak ada jaminan pasti akan return, tetapi jika kita berjalan bersama para startup dengan visi dan values yang sejalan dan menghasilkan produk atau layanan yang bisa membuat orang senang dan terbantu, hal tersebut sudah menjadi kenikmatan yang hebat. Financial return itu bonus-nya,” kata Managing Partner UMG Idealab Kiwi Aliwarga.

Kiwi menambahkan, setiap venture capital memiliki visi dan cara unik dalam hal melakukan investasi. UMG Idealab mengklaim berinvestasi dengan melihat alignment visi dan values dari para founder juga co-founder.

Di sisi lain, Indogen Capital mencoba fokus di tiga pondasi utama, yaitu unit economics, trend, dan exit market. Untuk tren, penyesuaian harus dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan terkini di pasar. Sementara penilaian unit economics dan exit market selalu konsisten dilakukan sejak hari pertama.

Unit economics sangat penting untuk mengidentifikasi path to profitability dari sebuah startup. Dari sini juga kita bisa menilai apakah startup tersebut memiliki potensi untuk mencapai long-term competitive advantage atau tidak,” kata Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Meninggalkan konsep growth at all cost

Apa yang terjadi dengan Softbank dan WeWork telah mengubah persepsi VC yang kebanyakan fokus ke growth. Meskipun cara ini berhasil untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan dengan cepat, proses yang panjang dan kebutuhan biaya yang besar menjadikan startup kesulitan untuk mendapatkan profit.

Relevansi growth at all cost juga dipertanyakan kebanyakan VC saat ini. Di zaman sekarang, capital sudah tidak lagi menjadi barang langka. Akibatnya growth story sudah tidak menjadi menarik, jika dibandingkan 10 tahun lalu ketika pendanaan VC masih terbilang jarang ditemukan.

“Untuk ke depannya, perusahaan yang bisa menunjukkan kemampuan menjadi perusahaan yang sustainable dalam jangka panjang adalah yang akan menarik bagi kebanyakan investor,” kata Chandra.

Hal senada diungkapkan Kiwi. Meskipun tidak mempercayai konsep growth at all cost, namun selalu ada batasan untuk pertumbuhan.

“Fokus pertama kami tidak tentang profit, tapi seberapa besar kita bisa membantu orang lain atau perusahaan lain dan memberikan kepuasan hati. I believe profit will follow if we deliver smile first to user and customers,” kata Kiwi.

Menurut Arya, meskipun konsep growth at all cost tidak memberikan efek positif untuk startup dan VC, namun konsep hyper-growth masih cukup relevan untuk diterapkan, selama pertumbuhan bisa menciptakan hambatan untuk masuk (barrier entry).

Contoh barrier entry adalah “biaya pengalihan” yang harus dikeluarkan pelanggan untuk beralih ke produk atau layanan kompetitor. Meskipun demikian, pertumbuhan berlebih ini harus masuk akal dalam hal biaya.

“Misalnya jika startup menghabiskan $1 untuk mendapatkan 1 pelanggan potensial, pelanggan itu lebih baik memiliki nilai jangka panjang lebih dari $1. Nilai tersebut belum tentu [tentang] berapa banyak pelanggan akan membayar kepada perusahaan, tetapi bisa jadi berapa banyak orang lain bersedia membayar untuk memiliki akses ke pelanggan, misalnya dengan memanfaatkan Google Ads,” kata Arya.

Dukung semua portofolio

Setelah mengakui kesalahan saat berinvestasi ke WeWork, satu pelajaran penting yang didapatkan Masayoshi Son adalah jangan fokus ke satu startup secara berlebihan.

Jika VC memiliki portofolio yang memiliki potensi dan peluang untuk tumbuh secara cepat dan positif, upayakan untuk menyeimbangkan fokus dan memperhatikan investasi ke portofolio lainnya. Jadikan kesuksesan yang dimiliki salah satu portofolio sebagai success story, namun jangan menjadikan startup tersebut startup utama untuk berinvestasi.

“Yang perlu diperhatikan VC agar terhindar dari masalah ini adalah stay true to your belief , sacrifice for your caused and go the extra mile. Jika para founder startup tidak bersedia mengorbankan kepercayaan dan visi mereka, there is no reason for VC to invest,” kata Kiwi.

Saat kondisi seperti ini, portofolio VC membutuhkan tidak hanya strategic support tapi juga moral support. VC sebaiknya membantu mereka fokus untuk bertahan dan relevan, serta untuk long term goal.

“Secara strategis, kita memberikan masukan kepada portofolio untuk course correct direction daripada perusahaan [gagal] terlebih dahulu. Setelah itu, kita juga fokus membantu dari segi operasional. Dari segi bantuan moral, kita mencoba semaksimal mungkin untuk selalu accessible terhadap semua founder dengan melakukan komunikasi [secara] konstan,” kata Chandra.

Muncul Sebagai Industri Agnostik, Indogen Capital Berkomitmen Bantu Investor Masuk Pasar Indonesia

Industri VC terus tumbuh secara signifikan, terkait pasar Indonesia sebagai salah satu yang paling aktif di kawasan Asia Tenggara. Salah satu yang menjadi kontributor adalah Indogen Capital, investor pada sektor agnostik di Asia Tenggara dengan pengalaman operasi yang fokus pada peta persaingan pasar Indonesia.

Dari sisi sumber daya, Indonesia sangat menggugah dengan semua dinamika gaya hidup dan bisnis di dalamnya. Indogen Capital, sebagai VC dengan pengalaman terkait  bisnis keluarga dan jaringan yang kuat, bertujuan untuk menjadi mitra bagi VC asing yang ingin melakukan ekspansi ke pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Hal ini yang membuat mereka berbeda dari VC lainnya.

Managing Partner Indogen Capital, Chandra Firmanto mengatakan, “Indonesia menjadi yang utama untuk pasar digital, dan kami melihat bahwa Indonesia semakin agresif. Sebagian besar pemain besar bukan lokal, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan kita. Saya melihat ini sebagai peluang modal ventura membantu VC asing untuk expand portofolionya.”

Fokus dan target investasi

Sebagai modal ventura, tak ayal profit menjadi tujuan akhir. Meskipun melabeli diri sebagai industri agnostik, Indogen Capital berkomitmen untuk berinvestasi hanya di sektor yang menjanjikan, seperti fintech, gaya hidup (termasuk esports), logistik & e-commerce, AI & Blockchain, dan Edutech.

“Metriknya jelas, harus ada nilai dalam teknologi. Karena itu, lembaga keuangan membutuhkan layanan Anda

Dari segi tahapan, Firmanto mengungkapkan saat ini perusahaan memiliki spesialisasi pada pra-Seri dan Seri A. Mereka hanya menargetkan post-seed, bukan seed karena berisiko tinggi. Namun, ia mengakui bahwa perusahaan juga memiliki pengecualian, terutama pada perusahaan yang melibatkan profesional atau serial entrepreneur.

Targetnya jelas, harus exit, tetapi caranya bisa berbeda-beda. Ada tiga cara exit yang disebutkan oleh Managing Partner Indogen Capital. Pertama, dari IPO. Dalam hal ini, akan ada periode lockdown [6 hingga 1 tahun] untuk sepenuhnya exit. Kedua, exit melalui akuisisi. Hal ini paling mungkin terjadi dengan valuasi yang cukup fleksibel berdasarkan permintaan. Ketiga, adalah jsecondary exit, di mana investor bisa menjual saham yang sudah mapan kepada VC atau investor lain.

Secondary exit ini sangat menarik, ini menjadi alasan mengapa kita harus membangun hubungan yang baik di antara VC,” tambah Chandra.

Portfolio saat ini

Indogen Capital mulai beroperasi pada akhir 2016, ketika Managing Partner, Chandra Firmanto lulus dari bisnis keluarganya lalu memulai sebuah inovasi baru dengan beberapa teman. Mereka mulai berinvestasi sejak 2017 dan berhasil mencatat 18 portofolio hingga saat ini, termasuk platform perdagangan mobil terkemuka di Asia Tenggara, Carsome, dan pasar online produk perancang busana Islam lokal di Indonesia, Hijup. Salah satu yang terbaru adalah platform penyewaan jangka pendek dan manajemen properti, Travelio.

Dari 18 portofolio yang ada, tiga diantaranya sudah exit. Yang pertama adalah Spacemob yang diakuisisi oleh WeWork pada 2017. Kedua, mereka exit dari Clearbridge Health dengan IPO di Singapore Stock Exchange. Terakhir, ada AINO, solusi pembayaran untuk sektor transportasi dan pemerintah di Indonesia yang telah diakuisisi sebagian oleh TIS Corp.

“VC memang sarat kompetisi. Namun, ketika kami menawarkan nilai tambah, kita bisa ubah jadi kolaborasi. Dalam hal ini, kami memiliki jejaring yang kuat dan kemauan untuk hands-on,” ujar Chandra.

exit

Di balik semua kisah sukses, pasti ada pelajaran bermakna. Dalam hal ini, Indogen Capital juga pernah mengalami investasi yang tidak terlalu baik pada salah satu layanan on-demand dalam bidang pekerjaan domestik dan binatu di Indonesia. Masalah ini menjadi rumit ketika membahas rencana masa depan perusahaan. Pada saat itu, kami menyederhanakan skema exit dan terlalu fokus pada hal-hal kecil yang tidak berdampak besar.

“Satu hal penting yang saya pelajari, adalah wajib hukumnya untuk mengkonfirmasi dengan para pemain apakah mereka memiliki keinginan untuk produk atau layanan tertentu dalam ekosistem mereka,” kata Firmanto.

Terkait fundraising

Indogen Capital telah mencetak Fund pertama sebesar US$ 10 juta dengan LP yang terlibat semuanya lokal dan 80% sudah tersalurkan. Saat ini, mereka sedang mengincar dana kedua sebesar US$ 50 juta, akan segera menutup US$ 10 miliar pertama dari jaringan global, seperti Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Mengenai sisa 40 miliar, Firmanto mengatakan tim telah menyediakan ruang untuk perusahaan-perusahaan besar.

Setiap startup memiliki jenis kebutuhan yang berbeda, Indogen Capital mencoba mengakomodasi semua ini melalui investor yang tepat. Itulah alasan di balik dana pertama mereka yang hanya melibatkan LP lokal. Hal ini yang menjadi kekuatan mereka. Para investor datang tidak hanya dari Pulau Jawa tetapi dari seluruh Indonesia.

“Jangan bilang ingin jadi mitra investasi untuk Indonesia jika hanya bisa mendukung yang di pulau Jawa,” kata Firmanto.

Mengenai ticket size, mereka menetapkan sekitar 200-500 ribu pada dana pertama. “Kami bahkan bukan ancaman bagi VC lain. Hal ini lebih kepada untung daripada rugi,” lanjut Chandra.

Pihaknya menyatakan telah melampaui target pengembalian investasi tahunan sebesar tiga puluh persen secara konsisten tahun-ke-tahun. Timnya mengaku sangat agresif ketika menetapkan target 3-5 pengembalian atau return dalam 7 tahun.

 

Indogen Capital is an Industry-Agnostic, Bridging Investors to Indonesian Market

The VC industry continues to grow in its significant way, as the Indonesian market still one of the most crowded in the Southeast Asia region. One of the contributors is Indogen Capital, a sector agnostic investor in Southeast Asia with deep operating experience in the Indonesian market.

In terms of resources, Indonesia is very attractive with all the dynamics in lifestyle and businesses. Indogen Capital, as a VC with family-business background experiences and powerful network, aims to be a value-adding partner for overseas VCs looking to grow in expand into the Southeast Asia market, particularly Indonesia. That is supposedly what makes them different from other VCs.

Indogen Capital’s Managing Partner, Chandra Firmanto said, “Indonesia becomes prime for the digital market, and we see that it’s getting aggressive. Most big players are not local, they didn’t have knowledge of our culture and habit. I see an opportunity for venture capital to help overseas VC to expand its portfolio.”

Investment focus and target

As a venture capital, profit becomes the ultimate goal. Although they claimed to be an industry-agnostic, Indogen Capital commits to investing only in hot sectors, such as fintech, lifestyle (including esports), logistics & e-commerce, AI & Blockchain, and Edutech.

“The metric is clear, there must be value in technology. Therefore, the financial institution needs your service

In terms of stage, Firmanto said the VC is specialized in pre-Series and Series A. They only target post-seed, not the seed level due to high-risk. However, he admits that the company has exceptions, particularly on the organizations that involved professionals or serial entrepreneurs.

The target has always been clear, it’s to exit, but the approach can be different. There are three ways of exit, shared by Indogen Capital’s Managing Partner. First, it’s from the IPO. In this case, there will be lockdown period [6 to 1 year] to fully exit. Second, exit through a major acquisition. This one is likely to happen and valuation is quite flexible based on demand. Third, is a secondary exit, where you can trade established shares to other VCs or investors.

“The secondary exit is very attractive, it is the reason why we have to build a good relationship among VCs,” Firmanto added

The portfolio story

Indogen Capital began operation in late 2016, it’s when the Managing Partner, Chandra Firmanto, has graduated from his family business and initiated something new with some friends. They started to invest in organizations since 2017 and managed to invest in 18 portfolios today, including the leading car trading platform in Southeast Asia, Carsome, and the online marketplace of local Islamic fashion designers’ products in Indonesia, Hijup. The latest one is a short-term rental and property management platform, Travelio.

Among the 18 portfolios, three have exited. The first one is Spacemob which acquired by WeWork in 2017. Second, they exited from Clearbridge Health by IPO on the Singapore Stock Exchange. Last but not least, AINO, a payment solution for transportation and government sectors in Indonesia which partially acquired by TIS Corp.

“VC is indeed a competition. However, when we have added value, it may turn into collaboration. In this case, we have powerful networking and willingness to hands-on,” Firmanto said.

door-1590024_1920

Behind the success stories, there must be lessons learned. In this case, Indogen Capital happened to experience not-so-good investment to one of the on-demand housekeeping and laundry services in Indonesia. It’s a complicated issue concerning future plans. At that time, we simplify our exit scheme and too focused on small matters.

“One thing I learn, the most important is to confirm with the players whether they demand to have certain services in their ecosystem,” Firmanto said.

Fundraising terms

Indogen Capital has closed its first fund at US$10 million with only local LPs involved and already 80% deployed. Currently, they are aiming for US$50 million second fund, soon to close the first US$10 billion from global networks, such as Hongkong, Taiwan, South Korea, and Japan. Regarding the rest billion, Firmanto said the team has reserved space for big corporations from other countries.

Every startup has a different kind of special needs, Indogen Capital tries to accommodate all these through the right investors. That is the reason behind their first fund involved only the local LPs. This is what becomes their strong point. The investors come from not only Java Island but all over Indonesia.

“You cannot be the investment partner for Indonesia if you can only support Java,” Firmanto said.

Regarding ticket size, they set around 200-500 thousand at the first fund. “We’re not even a threat to other VCs. It’s rather an advantage than a disadvantage,” Firmanto continued.

It is said that they have consistently exceeded their annual investment return target of thirty percent year-on-year. The team is very aggressive, they even set a target for 3-5 return in 7 years.