SIRCLO dan ICUBE Lakukan “Merger”, Berambisi Jadi “E-commerce Enabler” Komprehensif

Platform e-commerce enabler SIRCLO mengumumkan proses merger dengan ICUBE, yang merupakan agensi penyedia solusi teknologi e-commerce. Salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui aksi korporasi ini adalah untuk menggabungkan ribuan klien dari kedua perusahaan yang memiliki varian bisnis yang berbeda.

Penggabungan bisnis turut menyatukan lebih dari 450 pegawai kedua perusahaan. Kendati demikian, dikatakan ICUBE masih akan beroperasi sebagai entitas independen yang terintegrasi dengan layanan SIRCLO. Muliadi Jeo selaku Founder ICUBE akan menggantikan Leontius Adhika Pradhana sebagai CTO SIRCLO; sementara Leontius beralih peran menjadi CPO.

“SIRCLO ingin terus memberikan layanan dan solusi terbaik bagi brand untuk mengembangkan bisnis online. Kami selalu terbuka terhadap peluang untuk meningkatkan kemampuan kami. Ketika kami melihat potensi untuk bergabung dengan ICUBE, kami semakin yakin bahwa kami dapat melaksanakan misi ini dalam skala yang lebih besar dan lebih komprehensif melalui kekuatan gabungan kedua perusahaan,” kata CEO SIRCLO Brian Marshal.

Melalui merger ini, kedua perusahaan berambisi menjadi penyedia solusi e-commerce melalui platform end-to-end yang lebih komprehensif dalam memfasilitasi berbagai jenis bisnis. Sejauh ini, SIRCLO fokus kepada brand besar dan UKM. Sementara itu ICUBE fokus pada bisnis skala menengah yang ingin memiliki situs jualan online-nya sendiri.

“Setelah 20 tahun, kami ingin mengakomodasi lebih banyak klien dari berbagai jenis bisnis dengan layanan yang kami tawarkan. SIRCLO adalah mitra yang tepat dan strategis dalam mencapai tujuan-tujuan ini. Bersama-sama kita dapat mencoba membuat ekosistem e-commerce utama di Indonesia,” kata Muliadi Jeo.

Pandemi mendorong lebih banyak bisnis dan konsumen untuk bergantung pada platform e-commerce untuk memenuhi kebutuhannya. Pada saat-saat seperti ini, kehadiran teknologi dan solusi e-commerce yang terintegrasi sangat krusial bagi pemilik brand, agar tetap bisa menjangkau pangsa pasarnya secara luas.

Menilik Merger dan Akuisisi Startup Indonesia Sepanjang 2019

Selain melakukan initial public offering (IPO), salah satu cara exit yang cukup populer untuk dilakukan oleh startup dalam melakukan pengembangan skala bisnisnya adalah melalui merger dan akuisisi (M&A). Dengan melakukan merger dan akuisisi, masing-masing startup dapat saling mengintegrasikan produk maupun operasional perusahaan untuk mencapai keuntungan dan menciptakan produk-produk baru.

Aksi Merger dan Akuisisi Sepanjang 2019

Banyak hal yang menjadi alasan sebuah startup melakukan merger dan akuisisi, mulai dari memaksimalkan efisiensi, meredam potensi disrupsi bisnis, hingga mendapatkan sumber daya manusia yang diinginkan dari perusahaan lain yang diakuisisi. Menurut catatan DailySocial Startup Report 2019, di Indonesia sendiri sudah mulai banyak startup yang memilih M&A sebagai cara exit mereka. Berikut beberapa startup yang tercatat melakukan merger dan akuisisi sepanjang tahun 2019 lalu.

1. Warung Pintar

Di awal tahun 2019 lalu, startup yang menyediakan solusi transformasi digital terhadap operasional toko kelontong, Warung Pintar, resmi melakukan akuisisi terhadap Limakilo dengan nilai yang tidak disebutkan. Kedua startup ini merupakan startup yang sama-sama dibawah naungan portofolio East Ventures. Melalui akuisisi ini, Warung Pintar akan memanfaatkan platform Limakilo untuk memperoleh suplai produk makanan pokok kepada mitra mereka langsung dari para petani.

warung pintar

Selain bisa mendapatkan harganya yang lebih murah, para mitra Warung Pintar juga dapat melakukan pemantauan inventori makanan pokok melalui solusi teknologi yang diberikan oleh Limakilo. Bagi Limakilo sendiri, hal ini dapat membantu mereka untuk mencapai target peningkatan pasokan beras dari petani yang terdaftar di platform mereka serta menambah jangkauan distribusi yang dapat dilakukan.

2. CT Corp

 

20111202121024871

Aksi akuisisi juga dilakukan oleh CT Corp dalam mengakuisisi Female Daily Network tahun lalu. Layanan yang  fokus untuk memberikan informasi seputar dunia kecantikan ini tetap akan beroperasi secara independen, para pendiri pun masih akan tetap memiliki kendali terhadap perusahaan. Akuisisi ini sendiri sejalan dengan kebutuhan Female Daily Network yang mencari mitra strategis dalam mendukung rencana perusahaan yang salah satunya adalah memasuki industri e-commerce yang sesuai dengan audience mereka.

3. Tokopedia

Salah satu startup unicorn Indonesia, Tokopedia, juga melakukan aksi akuisisi pada bulan Juni tahun lalu. Mereka melakukan akuisisi terhadap platform Bridestory dan Parentstory. Melalui aksi ini, Tokopedia akan mengambil alih seluruh aset yang dimiliki oleh kedua platform tersebut, termasuk sumber daya manusianya. Founder & CEO Bridestory, Kevin Mintaraga, sendiri saat ini sudah menjabat sebagai Vice President dari Tokopedia.

tokopedia

Meski begitu, Bridestory dan Parentstory sendiri tetap akan beroperasi dan menciptakan produk secara independen walau telah mengintegrasikan platformnya dengan Tokopedia untuk memperluas jangkauan. Bagi Tokopedia, kehadiran Bridestory sendiri dapat membantu mereka dalam menciptakan kemitraan strategis untuk merangkul bisnis offline dalam mengoptimalkan bisnisnya dengan bantuan inovasi teknologi.

4. Carro

Setelah mendapatkan pendanaan lanjutan dari penggalangan seri B, penyedia layanan marketplace otomotif, Carro, turut melakukan kegiatan akuisisinya terhadap Jualo. Akuisisi ini dilakukan sebagai bagian dari strategi mereka dalam melakukan ekspansi di Asia Tenggara khususnya terhadap pasar otomotif di Indonesia.

1491cc4c99894b5066a7cf793761f52d_Carro-Team-Picture

Setelah diakuisisi, Jualo sendiri saat ini tengah fokus dalam menambah jumlah tim dan mempercepat pertumbuhan bisnis di sektor otomotif. Selain itu, akuisisi ini juga mendatangkan pertumbuhan positif dan terus inovasi-inovasi baru di platform Jualo.

5. Ovo

Perusahaan layanan keuangan digital yang juga saat ini telah berstatus unicorn, Ovo, juga turut meramaikan aksi akuisisi tahun lalu. Tidak tanggung-tanggung, Ovo langsung melakukan akuisisi terhadap dua platform, Bareksa dan Taralite. Akuisisi ini dilakukan untuk memperluas jangkauan dan penggunaan layanan Ovo pada kedua platform tersebut.

1589527498722

Ovo sendiri juga merupakan investor tunggal di Bareksa pada pendanaan seri B mereka dengan nilai yang dirahasiakan. Kolaborasi yang dilakukan oleh Bareksa dan Ovo hadir dalam bentuk produk reksadana yang saat ini bisa dibeli melalui aplikasi Ovo.

Hal ini dapat mempermudah investor untuk melakukan pembelian melalui layanan keuangan digital. Untuk Taralite sendiri, akuisisi ini membantu mereka untuk meningkatkan pemerataan akses dalam penggunaan platform pinjaman online mereka. Salah satu bentuk kerjasama yang telah dilakukan tahun lalu adalah hadirnya produk Ovo Pay Later sebagai salah satu bentuk metode pembayaran di Tokopedia pada tahun lalu.

Masih banyak lagi kegiatan akuisisi yang melibatkan startup-startup Indonesia pada tahun lalu seperti yang dilakukan oleh Yummy Corp, iCarAsia, hingga CekAja. Menurut DailySocial Startup Report 2019, terdapat 11 kegiatan merger dan akuisisi sepanjang tahun lalu. Jumlah ini hampir menyamai catatan pada tahun sebelumnya yang menurut Startup Report 2018 mencatatkan sebanyak 12 perusahaan.

Meski begitu, aksi perusahan ini juga mendatangkan tantangan tersendiri dalam proses melakukannya, mulai dari proses menggabungkan dua budaya perusahaan hingga membutuhkan proses yang tidak sebentar. Untuk mengetahui lebih lanjut seputar kegiatan merger dan akuisisi serta catatan industri startup Indonesia sepanjang tahun 2019 lalu, silahkan download DailySocial Startup Report 2019 melalui link berikut ini.

AC Ventures is Agaeti Ventures and Convergence Ventures’ New Identity

The two local venture capitals, Agaeti Ventures and Convergence Ventures, has officially merged and took a new name as AC Ventures (ACV). Both company’s partners are joining the new entity. They are Adrian Li, Michael Soerijadji, Donald Wihardja, and Pandu Sjahrir.

The four partners to lead the joint team consist of 6 investment professionals and the operational team. No team member are laid off because of this merger.

AC Ventures to invest in 35 early-stage startups within the next three years. Its preferred focus are e-commerce, digital content enabled service, financial technology, and MSME enabled technology.

“From key business development to C level recruiting and follow on fund raising, we have the knowhow, experience, and network to support our founders closely,” Wihardja said.

AC Ventures

ACV is said to have formally established since Q3 2019. They have started investing with the new entity, through Partners’ capital, since the last 6 months, but yet to announce the current portfolios and the amount of managed funds.

Soerijadji and Wihardja told DailySocial that the current fund–the third for Agaeti, Convergence, and ACV–is yet to be closed. They said majority of LPs are foreign investors. They are regional digital corporates, local conglomerates, and venture capitalists from the U.S. and China.

Soerijadji and Wihardja also said that the ticket size for the current fund will be bigger than the previous one- the usual hundred of thousands to millions of dollars.

AC Ventures board of partners
AC Ventures board of partners

Soerijadji said, “The first wave of investments has accelerated technological adoption on online shopping, ride hailing, travel and fintech. However, Indonesia is still relatively early along the adoption curve and the next wave will continue to follow more developed markets and see disruption happen in many more traditional spaces as well as new opportunities.”

In total ACV has invested in 70 startups. Convergence has 5 exits and Agaeti with 1. Each fund is fully deployed.

Following the merger, each portfolio will still be managed separately. Nonetheless, startup portfolios will have access to this new partnership to support their startup’s growth.

One of the partnerships is the follow-on funding capability through Indies Capital because Pandu Sjahrir is also a Managing Partner at Indies Capital.

“Our objective was to consolidate our resources to create a platform of exponential value that can provide significant support to our portfolio Founders as they build and scale successful businesses across Indonesia – the largest market in Southeast Asia,” Adrian said.

Consolidation trend

ACV is the first consolidated VC firm to be officially announced in Indonesia. After the first wave of investment in the past decade, some venture capitals are said to start a consolidation to raise the next round of fund.

After Arya Setiadharma joined as a Partner for MDI Ventures, Prasetia Dwidharma is said to have joint management with Everhaus under Prasetia Everhaus Ventures label. Another word in the street says that Singapore’s Koru Ventures now manages the Venturra Capital portfolio.

This trend is expected to continue, given the uncertain global conditions due to the Covid-19 pandemic. However, investors agree that Indonesia has tremendous potential and they are committed to supporting the growth of local startups.

“Indonesia already has an established track record of creating billion dollar valuations for tech-enabled businesses. Given that Indonesia is forecast to be the fourth largest country in terms of GDP by 2030, we are still only at the early stages of potential future value creation through technology,” Sjahrir said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AC Ventures Jadi Entitas Baru Agaeti Ventures dan Convergence Ventures

Dua perusahaan modal ventura (venture capital) lokal, Agaeti Ventures dan Convergence Ventures, hari ini resmi mengumumkan merger dan kini bernama AC Ventures (ACV). Para Partner kedua perusahaan menjadi Partner perusahaan baru ini, yaitu Adrian Li, Michael Soerijadji, Donald Wihardja, dan Pandu Sjahrir.

Empat partner ini akan memimpin tim gabungan yang terdiri 6 profesional di bidang investasi dan tim operasional. Perusahaan memastikan tidak ada pegawai yang di-lay off terkait penggabungan bisnis ini.

Fokus AC Ventures adalah berinvestasi ke 35 startup tahap awal dalam 3 tahun mendatang. Prioritas pendanaan adalah startup di sektor e-commerce, layanan berbasis konten digital, fintech, dan teknologi untuk UKM.

“Dari pembangunan bisnis kunci ke perekrutan C-level dan pendanaan lanjutan, kami memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jaringan untuk mendukung para pendiri secara dekat,” ujar Donald.

AC Ventures

ACV disebut telah diformalisasi sejak Q3 2019. Mereka mengklaim telah mulai berinvestasi dengan entitas baru, melalui dana Partner, selama 6 bulan terakhir, tetapi belum bersedia mengumumkan siapa portofolio barunya dan berapa dana kelolaannya sekarang.

Kepada DailySocial, Michael dan Donald mengungkap dana  saat ini–dana kelolaan ketiga bagi Agaeti, Convergence, dan ACV–masih belum fully close. Mereka menyebut persentase terbesar LP-nya adalah pihak asing. Termasuk dalam jajaran LP untuk dana kali ini adalah korporasi digital regional, konglomerat lokal, dan para pendiri dana ventura di Amerika Serikat dan Tiongkok.

Michael dan Donald menyebutkan ticket size per startup dari dana kelolaan baru akan lebih besar dibanding ticket size mereka terdahulu, yang berkisar antara ratusan ribu dollar hingga jutaan dollar.

Jajaran Partner AC Ventures
Jajaran Partner AC Ventures

Michael mengatakan, “Gelombang pertama investasi [di Indonesia] telah mengakselerasi adopsi teknologi di belanja online, transportasi, travel, dan fintech. Meskipun demikian, Indonesia masih cukup muda di kurva adopsi [teknologi] dan gelombang berikutnya akan melihat disrupsi di lebih banyak ruang tradisional dan [menciptakan] peluang baru.”

Dari dana terdahulu, ACV secara total telah berinvestasi ke 70 startup, dengan Convergence telah memiliki 5 exit dan Agaeti memiliki 1 exit. Dana kelolaan yang dimiliki masing-masing disebut telah sepenuhnya dialokasikan.

Pasca merger ini, masing-masing portofolio akan tetap dikelola secara terpisah. Meskipun demikian, startup portofolio akan mendapatkan akses ke kemitraan baru ini untuk mendukung pertumbuhan startup mereka.

Salah satu kemitraan yang tercipta adalah potensi pendanaan tahap lanjut melalui Indies Capital, karena Pandu Sjahrir juga merupakan Managing Partner di Indies Capital.

“Tujuan kami adalah mengonsolidasi sumberdaya kami untuk menciptakan platform dengan nilai eksponensial yang dapat memberikan dukungan signifikan bagi para Pendiri startup portofolio kami untuk membangun dan meningkatkan bisnisnya di seluruh Indonesia–pasar terbesar di Asia Tenggara,” ujar Adrian.

Tren konsolidasi

Pendirian ACV merupakan konsolidasi perusahaan VC pertama yang resmi diumumkan di Indonesia. Setelah gelombang investasi tahap pertama dalam 10 tahun terakhir, beberapa perusahaan modal ventura disebut-sebut mulai melakukan konsolidasi agar bisa mengumpulkan dana kelolaan tahap berikutnya.

Pasca bergabungnya Arya Setiadharma ke jajaran Partner MDI Ventures, Prasetia Dwidharma disebut memiliki manajemen bersama dengan Everhaus dengan entitas Prasetia Everhaus Ventures. Rumor lain menyebut Koru Ventures Singapura kini ikut mengelola portofolio Venturra Capital.

Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, mengingat kondisi global yang tidak menentu akibat pandemi Covid-19. Meskipun demikian, para investor tetap sepakat bahwa Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dan mereka berkomitmen mendukung pertumbuhan startup lokal.

“Indonesia telah memiliki track record yang jelas untuk menciptakan valuasi miliaran dollar bagi bisnis berbasis teknologi. Dengan Indonesia diperkirakan menjadi salah satu ekonomi terbesar dunia, berdasarkan GDP di tahun 2030, kita masih berada di fase awal dalam menciptakan nilai-nilai masa depan melalui teknologi,” ujar Pandu.

What Happens If Gojek to Merge with Grab

The rumor of potential merger between the two Southeast Asia’s giant on-demand players Grab and Gojek backs on air. After The Ken (paywall) and Tech InAsia (paywall), now The Information (paywall) also informed the “first talk” of the issue.

It was said that the management of the two companies had met over the past two years and had intensified in recent months, including news of a meeting between Grab’s President Ming Maa with Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo.

Furthermore, reportedly there has been no silver lining of the two companies valuations and who will be the dominant one.

The basic question is why. Aren’t they both want to win the Southeast Asian market? The answer is clear. The key to domination is a monopoly and this is not one unique case.

“Burn Money” and profitable plans

In the last 4-5 years, the battle between players in this industry has been characterized by the “burning money” strategy for the sake of a very fast market acquisition. Despite having a very large market in Southeast Asia, both have not yet reached the point of a profitable business. With investor funds wearing down, by 2020 promos have been decreased, both companies have to “change the game”. They must reach the level of profitability and satisfy the investors.

Uber has made it in China, Russia, and Southeast Asia. The sense of being unable to compete created a win-win solution through acquisition – with significant value of shareholder as one condition. Didi in China was formed as a result of the merger of two big local players.

The rule of monopoly is to create one winner. As for the investors that back the company.

Monopolize Southeast Asian market has been quite delish
Monopolizing Southeast Asian market has been quite delish

Monopolizing the Southeast Asian market, the potential merger between Gojek and Grab has been quite delish. Both have dominated the on-demand transportation market, food delivery, and online payments (GoPay and Ovo). The value may be greater than the two companies combined (more than $ 20 billion).

Imagine if both of them monopolized the market. There is no longer a price war. There is only one cost that must be paid by consumers and it will not be cheap in order to achieve economic value. There are not many choices left (except taxis, but Blue Bird and Gojek have just agreed on a strategic alliance).

Competition is good for consumers, but not for the players in it. What happens if the position is reversed. No more competition?

A concrete case is when Didi acquired the Uber business in China in 2016. After the acquisition, Didi controlled 90% of the market. In 2018, a complaint often comes from the driver’s partner as their incentive declining.

On the other hand, consumers find it difficult to quickly get a vehicle and it comes with a higher price. The survey in 2017 stated that 81.7% of respondents believed that it was more difficult to get a vehicle than the previous year (when Uber was still operating), while 86.6% considered the price more expensive.

The challenges

There are three main challenges. First, is about ego. As fellow leading players, it’s not easy to combine both companies in one direction. There must be one dominant party. Solving this issue will be a crucial key.

The second is regulatory issues. Market monopoly in Indonesia is listed in the KPPU domain. Usually, this issue is not likely to escape the KPPU examination, but reflecting from other countries’ experience and other cases, as for example Grab acquisition of Uber business in Southeast Asian countries, it all leads to fines. There are no more severe sanctions than this.

The last challenge is on the stakeholders. This is related to driver-partners and consumers. The risk to occurs when there is no longer a competition is a decreasing number of driver-partners (imagine there is only one company on the road) and the service costs in line with the economic unit (read: more expensive as without subsidies).

The bigger question is not about whether Grab and Gojek can merge. The must-asked question is, are we ready to have our various needs of services monopolized by just one company. What would your answer be?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Seandainya Gojek dan Grab Merger

Rumor potensi merger antara dua pemain terbesar on-demand Asia Tenggara Grab dan Gojek kembali mengemuka. Setelah The Ken (paywall) dan Tech In Asia (paywall), kini The Information (paywall) juga menginformasikan adanya “pembicaraan awal” tentang potensi ini.

Disebutkan bahwa manajemen kedua perusahaan telah bertemu selama dua tahun terakhir dan semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir, termasuk kabar pertemuan antara President Grab Ming Maa dan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo.

Sejauh ini dikabarkan belum ada titik temu antara valuasi kedua perusahaan dan siapa yang bakal menjadi pihak yang dominan.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa. Bukannya keduanya sama-sama ingin memenangi pasar Asia Tenggara? Jawabannya jelas. Kunci dominasi adalah monopoli dan kasus ini tidak unik.

“Bakar uang” dan rencana menuju keuntungan

Dalam 4-5 tahun terakhir, pertarungan antara pemain di industri ini diwarnai dengan strategi jor-joran “bakar uang” demi akuisisi pasar yang sangat cepat. Meski memiliki pasar yang sangat besar di Asia Tenggara, keduanya belum mencapai titik mencapai profit. Dengan dana investor yang semakin terbatas, tahun 2020 ini promo-promonya sudah semakin sedikit, keduanya harus “mengganti permainan”. Mereka harus mencapai level profitabilitas dan menyenangkan para investor.

Uber sudah melakukannya di Tiongkok. Rusia, dan Asia Tenggara. Merasa tidak mampu bersaing, win win solution-nya adalah diakuisisi–dengan syarat nilai kepemilikan saham yang signifikan. Pun bagaimana Didi di Tiongkok dibentuk sebagai hasil merger dua pemain besar lokal.

Dengan adanya monopoli, satu pemain yang tersisa adalah pemenang, bersama semua investor di belakangnya.

Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat
Memonopoli pasar Asia Tenggara menjadi sajian yang begitu lezat

Memonopoli pasar Asia Tenggara, potensi merger antara Gojek dan Grab menjadi sajian yang sangat lezat. Keduanya secara bersama sudah mendominasi pasar transportasi on-demand, pengantaran makanan (food delivery), dan pembayaran online (GoPay dan Ovo). Nilainya mungkin lebih besar dari kombinasi valuasi kedua perusahaan (lebih dari $20 miliar).

Bayangkan kalau keduanya memonopoli pasar. Tidak ada lagi namanya perang harga. Hanya ada satu biaya yang harus dibayar konsumen dan itu tidak akan lagi murah demi mencapai nilai keekonomian. Tidak ada lagi pilihan yang tersisa (kecuali mungkin taksi, tapi Blue Bird dan Gojek pun baru melakukan aliansi strategis).

Kompetisi bagus untuk konsumen, tapi tidak untuk para pemain di dalamnya. Apa yang terjadi jika posisinya dibalik. Tidak ada lagi kompetisi?

Contoh nyata bisa dilihat ketika Didi mengakuisisi bisnis Uber di Tiongkok tahun 2016. Setelah akuisisi, Didi menguasai 90% pasar. Di tahun 2018, keluhan yang sering muncul adalah semakin rendahnya insentif yang diterima mitra pengemudi.

Di sisi lain, konsumen merasa kesulitan untuk mendapatkan kendaraan dengan cepat dan harganya dirasa semakin tinggi. Survei tahun 2017 menyebutkan 81,7% responden percaya mereka semakin sulit mendapatkan kendaraan dibanding tahun sebelumnya (ketika Uber masih beroperasi), sedangkan 86,6% menganggap harganya lebih mahal dibanding sebelumnya.

Tantangan

Tantangan utama adalah tiga hal. Pertama adalah soal ego. Sebagai sesama pemimpin pasar, tidak mudah menyatukan kedua perusahaan dengan satu arahan. Pasti ada yang ingin menjadi pihak yang dominan. Menyelesaikan hal ini bakal menjadi kunci sukses krusial.

Kedua adalah urusan regulasi. Urusan monopoli pasar di Indonesia ada di domain KPPU. Biasanya hal seperti ini pasti tidak luput dari pemeriksaan KPPU, tapi berkaca dari pengalaman di negara lain dan kasus lain, misalnya akuisisi Grab terhadap Uber di negara-negara Asia Tenggara, ujung-ujungnya semua hanya berakhir di denda. Tidak ada sanksi yang lebih keras dari hal ini.

Tantangan terakhir ada di sisi stakeholder. Ini terkait dengan mitra pengemudi dan konsumen. Risiko yang terjadi jika tidak ada persaingan adalah pengurangan jumlah mitra pengemudi (bayangkan yang ada di jalanan hanya berasal dari satu perusahaan) dan biaya layanan yang lebih sesuai dengan unit ekonominya (baca: lebih mahal karena tanpa subsidi).

Pertanyaan yang lebih besar bukan soal apakah Grab dan Gojek bisa melakukan merger. Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah apakah kita siap jika kebutuhan berbagai layanan dimonopoli satu perusahaan saja. Dapatkah kita menjawabnya?

Perhatikan Empat Hal Berikut Usai Startup Lakukan Merger atau Akuisisi

Tidak dapat dimungkiri proses merger and acquisition (M&A) akan terjadi pada sebagian besar startup. Alasannya tentu beragam, mulai dari memperbesar bisnis, scale-up, hingga memotong terjadinya burn rate atau kerugian di masa mendatang.

Ketika proses M&A terjadi, ada beberapa poin yang wajib diperhatikan oleh pendiri startup hingga jajaran manajemen, yang menjadi krusial sepanjang 60 hari ke depan. Langkah ini perlu untuk dilakukan agar proses transisi pasca merger dan akuisisi berjalan secara lancar dan bisnis bisa berkembang dengan bergabungnya dua perusahaan menjadi satu.

Fokus kepada 60 hari pertama

Ketika transaksi dan perjanjian usai dilakukan serta kesepakatan telah diambil langkah krusial yang wajib diperhatikan oleh startup adalah 60 hari pertama. Di masa-masa awal ini, para pemimpin dari dua perusahaan wajib untuk melakukan langkah yang strategis, mengambil kebijakan yang tepat hingga melakukan konsolidasi yang bermanfaat bagi kedua perusahaan yang lebur menjadi satu. Dalam hal ini kepemimpinan dan aksi yang tegas dari para pemimpin memiliki peranan penting agar perusahaan bisa terus berkembang.

Ciptakan kultur perusahaan baru

Saat ini tentunya masing-masing perusahaan telah memiliki kultur kerja dan kebijakan perusahaan yang berbeda. Kesalahan terbesar yang banyak dilakukan oleh startup usai melakukan proses merger dan akuisisi adalah memaksakan satu kultur perusahaan kepada perusahaan lainnya. Sehingga konflik hingga perbedaan akan terjadi, idealnya masing-masing perusahaan tidak memaksakan kultur perusahaan mereka kepada perusahaan lainnya.

Ciptakan kultur perusahaan baru yang bisa diambil dari masing-masing kultur yang dimiliki. Pilih kultur atau kebijakan yang ideal dan tentunya relevan untuk diterapkan oleh pegawai yang sudah melebur menjadi satu tim dalam perusahaan yang baru.

Perkuat tim

Keuntungan dari proses merger dan akuisisi adalah jumlah tim yang lebih kuat dan memiliki kemampuan yang saling melengkapi. Manfaatkan keuntungan tersebut dengan menciptakan kolaborasi yang tepat antar pegawai, kurasi skillset dan kemampuan dari kedua perusahaan, kemudian ciptakan tim dan kolaborasi baru yang lebih kuat didukung dengan skillset pegawai yang baru.

Contohnya, jika sebelum M&A terjadi perusahaan Anda kekurangan tenaga engineer, manfaatkan tenaga engineer yang ada di perusahaan lainnya. Dengan demikian misi Anda untuk mengembangkan bisnis bisa tercapai didukung dengan gabungan tim baru dari kedua perusahaan.

Fokus kepada pelanggan

Untuk menghindari terjadinya pandangan negatif dari pelanggan usai proses merger dan akuisisi berlangsung, pastikan informasi yang keluar dapat diterima dengan baik oleh pelanggan. Yakinkan mereka bahwa proses M&A tidak akan mengganggu produk hingga layanan yang diberikan. Dengan demikian kepercayaan pelanggan tidak akan hilang dan kekhawatiran bisa diminimalisir dengan informasi yang transparan. Pastikan proses merger dan akuisisi ini akan memberikan keuntungan lebih bukan hanya kepada perusahaan, namun juga kepada pelanggan.

Ovo CEO Jason Thompson talks company strategy, investments, and rumors

Indonesian digital payments player Ovo is undoubtedly a newsmaker in the country’s digital ecosystem. The company has grown rapidly in the past year and it has achieved many important milestones: it acquired lending platform Taralite and online investment platform Bareksa, invested in two tech startups, and rolled out the PayLater feature.

Ovo recently made headlines when Indonesia’s then-IT minister Rudiantara announced that the company has entered the “unicorn club” as its valuation is USD 1 billion. According to the 2019 Indonesian Fintech Report by Daily Social, Ovo is the most popular e-wallet platform among Indonesians and it secured the second spot as the most used digital wallet in the country.

The tallest trees catch the most wind, as Ovo has been in the media spotlight in the past few months because of merger issues with a competitor, Ant Financial-backed Dana. Most recently, its parent company, Indonesian conglomerate Lippo Group, reportedly sold 70% of its stake in Ovo due to the latter’s large expenditure.

Responding to the rumors, Ovo CEO Jason Thompson, remained neutral and said that he doesn’t really think of market speculation and wants to focus on further growing the business instead. With such dynamic competition in the Indonesian fintech landscape today, it is likely that we’ll see more of Ovo in many local and international news outlets in the future.

KrASIA recently met with Jason Thompson at the 2019 Wild Digital Conference in Jakarta, and he discussed the company’s strategies going forward.

Jason Thompson. Courtesy of Ovo
Jason Thompson. Courtesy of Ovo

KrASIA (Kr): Looking back at what Ovo has achieved this year, what stage is the company at now?

Jason Thompson (JT): Firstly, we are genuinely humbled to be recognized as the fifth unicorn. The whole team was really excited, and this accolade is great for business. It shows external investment, how rapid the growth of fintech in Indonesia has been and we are the only true fintech unicorn, but honestly, we feel that we just started.

However, it also forces a lot of pressure on us because the expectations are higher than ever—from Bank Indonesia, the government, and more importantly, from our customers. Looking back at this year, we’ve had a really tough but successful year. Our organization is growing, we really cemented ourselves as the number one payment platform in the country, we developed new services, and we’ve had a great year working with Grab and Tokopedia.

We’ve got some great metrics, as well. In 2019, we had more people transact with us thanks to the many partnerships we created in the ecosystem. Our annual transactions were 27.7 times higher than the previous year. We have increased total payment value by 18.5 times and in-store value facilities by 6.8 times. Ovo’s monthly active users grew 400% per annum this year.

I believe that financial literacy and inclusion have five challenges. The first is to get people to register on the platform, the second for them to top up, and the third is to encourage them to pay with our platform. The fourth and the fifth are to make them re-top up and finally, pay again with the same app. Now that people store their money with Ovo, we believe that we can drive financial literacy for savings, investments, and others.

Kr: What is Ovo’s focus in 2020?

JT: The three focus areas for me in 2020 include accelerating growth for lending, most of that will focus on merchants and some on consumer lending. The number two priority is to execute with Bareksa for e-investment.

I think we can learn from China’s success story with digital investment players like Yu’e Bao and see how we can execute it here in Indonesia. Number three is a focus on insurance via a partnership with Prudential. We’re still developing insurance products and expect to release them next year. So we are moving from payments into financial services this and next year.

As with payments, we’ll apply the open ecosystem for financial services. For example, for lending, we have consumer lending with Tokopedia through our PayLater feature. We also have Ovo Dana Tara, a capital loan specifically for our merchants, and Ovo Talangan Siaga, a special short-term loan for Grab partners and agents. It’s a hybrid of merchants and consumer lending agents, and we’ll scale this next year.

Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.
Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.

Kr: How have you positioned Ovo among its Indonesian digital wallet competitors?

JT: Our biggest competition is still cash because e-money payments currently only make up of 2.3% [of payments] in Indonesia, so I don’t think that the [mobile wallet] market is congested. Although many people want to enter the market by launching an e-wallet platform, it is difficult to sustain in Indonesia unless you have the right partnerships and usage model.

Our focus is to achieve sustainability, and that’s why we are investing more in financial services as we believe this is the right path to maturity and sustainability in the long run. We believe that as long as we serve our partners, merchants, and customers well, we will be successful in this market.

Kr: Entering Ovo’s third year, do you think that money-burning strategies like cashback and promotions are still relevant?

JT: I think cashback is important as a stimulus at a point in time, but it is not sustainable. It’s like a physics problem; if you’re going to move a large object, you need to have a huge amount of energy at the beginning of the movement, but once you get the momentum, then you can reduce that energy. With payments, the energy comes from subsidies.

We have a clear roadmap to sustainability and profitability, and we’ll reduce this [money-burning marketing] significantly next year. It’s not just us, I believe that our peers have also invested in a similar way to establish their business. So cashback or other promotions are still important but we have to rationalize them and there must be a path of subsidies’ corrections.

Kr: What’s the nature of Ovo’s partnership with Grab now, considering that Ovo is no longer the sole payment partner in Grab’s ecosystem?

JT: We’re an independent organization, so our relationships with Grab, also with Tokopedia, are mostly focused on execution. My teams spend a lot of time to think and plan about what can we do with Grab or Tokopedia. We have to serve them in the best way but we are not in an exclusive contract.

Now Grab has LinkAja in its ecosystem and Tokopedia has many payment offerings. We’re not in a privileged position with our partners, we have to work hard, otherwise, we’ll lose our position because the partnership is based on value exchange. We don’t believe in exclusivity as it is not good for the market and consumers.

Kr: Ovo has invested in two startups this year, new retail startup Warung Pintar and ad tech platform StickEarn. Are investments also part of your strategy going forward?

JT: These were very strategic moves, although relatively low in value. For StickEarn, we believe that engaging consumers through interactive marketing is critical, so we felt that the value exchange between the companies was very close. StickEarn is doing great things and they will be successful in Indonesia.

As for Warung Pintar, their existence is critical because nobody was defending the warung or street stalls before. When I first came to Indonesia, I quickly realized that warungs are central to Indonesian culture, but nobody really takes care of them.

Warung Pintar learned their problems and thought about how they could bring a different model for warungs so they can serve more in the community. They provide the warungs with digital support and infrastructure including payments, and I’m really excited about the work we’re doing here.

Investments in these two companies involve specific purposes. It is really about working strategically to drive financial inclusion but I wouldn’t expect to invest in more five or ten companies in the future because we’re not a platform for entrepreneurs. Our mission is to serve the market, and one way is by establishing a strategic partnership with other organizations and see how we can exchange and maximize our values.

Kr: Ovo has been dealing with many rumors this year, one of the biggest is the merger with Dana. How are you addressing this issue?

JT: What I can tell you is I don’t really think about noisy speculations out there. The fintech landscape is dynamic, I feel that people like to speculate about fintech players like what they do in football, you know, every season football fans will predict which clubs will buy which players, and so on [laughs].

What will happen in 2020 is that the market will start to fracture. It may lose people because the global investment environment is changing rapidly, and if businesses don’t have a clear strategy, it will be a tough year for them. So we’re focusing on execution and closely watching the market, which already takes 18 hours a day of my life so I have no capacity for anything else.

Kr: Are you planning to raise capital soon?

JT: We probably will raise the capital sometime during the first half of next year. We’re exploring that opportunity but we have no announcement yet about the potential investors or clear timeline for now.

Kr: How do you view the mobile payments landscape in Indonesia today?

JT: Globally, Indonesia is the centre of fintech right now. China, to a large degree, is hard to touch because there are already too many dominant players with Ant Financial currently leading [the market].

What I see is that the fintech revolution is happening here and that more organizations are trying to come to Indonesia, both legally or illegally. We have to ensure that we protect our ecosystem, economy, and domestic income. The development of regulations is the key to ensuring a healthy business and ecosystem, and I genuinely think that Bank Indonesia has been doing well and been supportive so far. I believe fintech in Indonesia is maturing and will reach its inflection point in three to five years.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

KoinWorks Rampungkan Akuisisi Pengembang Piranti Lunak di Yogyakarta

KoinWorks telah merampungkan akuisisi penuh pengembang piranti lunak di Yogyakarta dengan nilai yang tidak disebutkan. Seluruh talenta dari perusahaan tersebut dilebur menjadi tim engineering untuk KoinWorks — prosesnya dikenal dengan istilah acquihire.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menerangkan akusisi ini telah rampung sekitar dua bulan lalu. Sejak saat itu, perusahaan tersebut telah dilebur sepenuhnya dengan KoinWorks.

“Sudah jalan, ada kantor barunya di Yogya. Mereka fungsinya untuk full engineering saja, suasananya dibuat ‘kampus banget’ sehingga bisa bekerja dengan rileks,” terang dia, saat ditemui di NextICorn International Summit 2019, Kamis (14/11).

Ada 40 tambahan talenta engineering dari sana. Hanya saja, ia enggan menyebut nama perusahaan yang ia akuisisi dengan alasan sensitif.

Dia beralasan mengakuisisi perusahaan tersebut, lantaran memiliki talenta yang cukup baik. Terlebih internal KoinWorks sendiri memang tengah memperkuat jajaran tim.

Sebelumnya, Benedicto sudah menyampaikan rencana akuisisi ini pada awal tahun pasca mengantongi pendanaan Seri A+ dari Quona Capital. Kala itu misinya untuk pengembangan pusat R&D.

Selain perkuat tim engineering, perusahaan sedang menambah tim baru untuk level menengah ke atas untuk produk dan legal compliance. KoinWorks saat ini memiliki sekitar 200 karyawan, berada di Jakarta dan Yogyakarta.

Awal bulan ini, KoinWorks mengumumkan perolehan tambahan pendanaan Seri B dan Seri B2 senilai SG$18,5 juta (setara 190 miliar Rupiah) dari Saison Capital, fund khusus yang dibentuk Credit Saison. Pendanaan ini menjadikan perusahaan portofolio pertama dari Saison Capital di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak, Lazada, dan Alibaba Berikan Klarifikasi, Tidak Ada Rencana “Merger”

Minggu lalu beredar rumor, tentang rencana penggabungan bisnis (merger) antara Bukalapak dan Lazada. Dikatakan bahwa investornya, yakni Alibaba, turut mendorong aksi perusahaan tersebut.

Menanggapi kabar tersebut, juru bicara dari Bukalapak menyampaikan bahwa informasi tersebut tidak benar. Bahkan di internal perusahaan sama sekali belum ada pembicaraan yang mengarah ke sana.

Pun demikian dari sisi Lazada dan Alibaba, pihaknya mengatakan bahwa tidak ada rencana penggabungan dan memastikan rumor tersebut tidak benar.

Sebelumnya awal bulan lalu Bukalapak baru saja mengumumkan pendanaan seri F, membawa valuasi perusahaan di angka 35 triliun Rupiah. Shinhan GIB dan Emtek terlibat dalam putaran pendanaan tersebut.

Perusahaan turut menyampaikan, saat ini layanan mereka telah digunakan lebih dari 70 juta pengguna. Di dalamnya ada lebih dari 4 juta pelapak dan 2 juta mitra warung/agen dari berbagai wilayah di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here