Laporan DSInnovate: Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan “Fintech P2P Lending”

Kehadiran teknologi finansial (fintech) di Indonesia memberikan berbagai manfaat, terlebih saat kalangan undeserved dan unbankable masih banyak tersebar di berbagai wilayah. Tak terkecuali bagi pelaku UMKM, layanan fintech seperti peer-to-peer lending (p2p lending) memberikan opsi yang lebih mudah bagi mereka untuk mendapatkan akses pendanaan bantuan modal. Terlebih saat berbicara usaha berskala mikro, masih banyak yang belum tersentuh akses lembaga keuangan konvensional.

Fokus fintech untuk pemberdayaan UMKM menjadi penting, lantaran besarnya kontribusi terhadap perekonomian nasional. Data teranyar menyatakan sumbangsih UMKM mencapai 60% untuk PBD dan 97% untuk pembukaan lapangan kerja. Banyak gap yang coba dijembatani oleh fintech p2p lending, mulai dari akses yang lebih terjangkau lewat teknologi, sampai proses penilaian kelayakan kredit yang lebih bisa disesuaikan dengan kondisi pelaku UMKM.

Pandemi yang mulai terjadi di tahun 2020 juga memberikan turbulensi untuk pelaku bisnis di Indonesia secara umum, dan yang cukup terdampak signifikan adalah UMKM. Di situasi yang serba sulit tersebut, fintech p2p lending tetap memberikan banyak peran, salah satunya, menurut data AFPI per tahun 2020 ada total dana 74 triliun Rupiah yang disalurkan kepada pelaku UMKM, naik 27% dari tahun sebelumnya.

Untuk melihat lebih dalam tentang sejauh mana layanan fintech p2p lending memberikan dampak ekonomi dan sosial terhadap sektor UMKM, Modalku dan DSInnovate berkolaborasi melakukan riset bertajuk “Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan Fintech Peer-to-Peer Lending”. Terdapat lima bahasan utama yang dirangkum, meliputi:

  1. Gambaran umum pembiayaan UMKM
  2. Eksistensi Modalku dalam pembiayaan UMKM
  3. Profil demografi UMKM di Indonesia
  4. Pengalaman pembiayaan dari layanan konvensional atau sumber lainnya
  5. Rencana pembiayaan UMKM di masa depan

Ada banyak temuan menarik yang diungkap dalam laporan, salah satunya dari total responden yang mengikuti survei sebagian besar 50,29% menggunakan dana pinjaman untuk pembelian bahan baku usaha, selanjutnya untuk biaya operasional (19,14%). Selanjutnya kebanyakan pelaku usaha tersebut mendapatkan manfaat kelancaran arus kas, baik untuk pendanaan modal (25,1%) maupun tambahan stok barang (24,9%).

Unduh laporannya melalui tautan berikut: klik di sini.


Disclosure: DSInnovate bekerja sama dengan Modalku dalam pembuatan dan peluncuran laporan ini. Modalku merupakan salah satu platform fintech p2p lending yang fokus memberikan pembiayaan produktif untuk UMKM di Indonesia

Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Peroleh Izin, Grup Modalku Resmi Ekspansi ke Thailand

Modalku (dikenal sebagai Funding Societies di Singapura dan Malaysia) mengumumkan ekspansi ke Thailand, pasca mengantongi lisensi crowdfunding pinjaman oleh regulator Thailand Securities and Exchange Commission (SEC). Di bawah brand Funding Societies, perusahaan akan fokus menawarkan pinjaman usaha untuk pelaku UMKM dan alternatif investasi untuk para pendana.

Bicara pangsa pasar, terdapat lebih dari 50% dari total 3 juta UMKM di Thailand terhambat bisnisnya karena sulit memperoleh pinjaman usaha, khususnya pinjaman modal usaha jangka pendek. Sama seperti di Indonesia, institusi keuangan konvensional di sana lebih fokus ke pinjaman jangka panjang atau pinjaman dengan agunan.

Menurut International Finance Corporation, situasi ini menyebabkan adanya kesenjangan dana usaha lebih dari $40 miliar bagi UMKM Thailand. Kurangnya pendanaan ini diperparah oleh pandemi Covid-19, yang mana kreditur telah mengurangi akses pinjaman demi mengelola risiko finansial.

“UMKM berkontribusi terhadap 40% dari PDB Thailand, tetapi segmen ini menghadapi banyak tantangan saat berusaha mengakses pinjaman dari institusi konvensional, mulai dari kurangnya aset untuk jaminan, persyaratan dokumen yang sulit, dan proses persetujuan yang panjang,” ucap Country Head Funding Societies Thailand Varun Bhandari dalam keterangan resmi, Rabu (10/2).

Di negara tersebut, Funding Societies akan menyediakan berbagai opsi pinjaman tanpa agunan untuk membantu UMKM ekspansi bisnis, memperoleh usaha, atau membiayai proyek. Pemilik usaha dapat mengisi formulir aplikasi online yang simpel, mengirimkan beberapa dokumen, lalu menerima persetujuan pinjaman dalam tiga hari kerja.

Grup Modalku juga telah mengadakan kerja sama regional dengan Lazada, Zilingo, dan Bank CIMB untuk turut melayani UMKM dalam ekosistem mereka.

Dari sisi pendana, mereka dapat masuk ke dalam platform crowdfunding untuk mengakses kesempatan mendanai berbagai pinjaman usaha. Melalui aktivitas pendanaan, pendana mendapat kesempatan diversifikasi alternatif investasi yang menarik.

Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya menambahkan, “Harapan kami dengan semakin luasnya jangkauan Grup Modalku di Asia Tenggara, khususnya Thailand, kami bisa mendukung lebih banyak UMKM berpotensi untuk mengembangkan bisnisnya. [..] Melalui kolaborasi antar negara, Grup Modalku akan terus berinovasi untuk menjadi platform fintech terpilih.”

Di tengah pandemi, manajemen risiko Grup Modalku yang kuat telah mempertahankan tingkat default pinjaman di bawah 2%.

Modalku menyediakan layanan p2p lending untuk UMKM yang berpotensi dengan pinjaman modal tanpa jaminan hingga Rp2 miliar. Sampai saat ini, Grup Modalku telah menyalurkan pinjaman usaha sekitar Rp21,8 triliun kepada lebih dari 3,7 juta transaksi pinjaman.

Di Negeri Gajah Putih ini, juga diwarnai oleh segelintir startup dari Indonesia yang pede untuk keluar kandang. Investree dan DanaCita adalah dua perusahaan yang datang dari fintech lending. Investree sendiri dalam kabar terakhir tinggal menunggu izin di keluarkan oleh SEC, perusahaan ini baru mengantongi izin operasional di Filipina.

Sebagian besar perusahaan datang dari luar Indonesia, mayoritas dari Singapura, lalu masuk ke Indonesia dengan melokalisasi nama brand-nya. Kredit Pintar termasuk dalam kelompok ini.

Di vertikal lain, ada Gojek, Jet Commerce, JavaMifi, PasarPolis, Jala (masih finalisasi) yang beroperasi di Thailand. Sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina juga turut disasar oleh Ruangguru, Sociolla, Xendit, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengulik Wacana Revisi Aturan P2P Lending

Empat tahun setelah OJK menerbitkan POJK 77 Tahun 2016, dinamika industri lending tumbuh begitu pesat. Tercatat per 7 Desember 2020, ada 152 perusahaan yang beroperasi, dengan 36 di antaranya sudah memperoleh izin dan sisanya masih berstatus terdaftar.

Angka ini sebenarnya menyusut dibandingkan tahun lalu yang mencapai 164 penyelenggara terdaftar dan berizin. Bergugurannya itu diketahui karena tanda daftarnya dicabut karena tidak memenuhi ketentuan atau secara sukarela mengembalikan ke OJK.

Total outstanding pinjaman per September 2020 tercatat mencapai Rp12,72 triliun. Merekahnya potensi industri ini didukung kucuran investasi yang masuk dari jajaran investor global maupun lokal. Dalam catatan Startup Report 2019 yang disusun DailySocial, fintech menjadi industri tiga besar yang paling sering mendapat investasi dalam kurun tiga tahun belakangan.

Akan tetapi, suburnya angka pemain ini selaras dengan pertumbuhan jumlah perusahaan fintech ilegal. Menurut catatan, Satgas Waspada Investasi sejak bertugas tahun 2018 sampai Oktober 2020 telah menghentikan 2.923 perusahaan, lebih besar dari jumlah perusahaan yang resmi beroperasi.

Pekerjaan rumah regulator tak hanya di situ. Dari total outstanding, persebarannya masih terpaku ke dalam Pulau Jawa dan masih didominasi oleh pinjaman konsumtif. Bahkan, dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

Beberapa alasan di atas akhirnya melandaskan regulator untuk merevisi POJK 77 Tahun 2016 dan rencananya akan disahkan menjelang akhir tahun ini. Dalam draft tersebut, ada tujuh poin yang ditekankan:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

Mayoritas dari poin di atas disinyalir sebagai cara OJK mengefisienkan pemain lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi kepada negara secara lebih signifikan.

Tanda-tanda OJK untuk mengambil langkah ini sudah terlihat sejak Februari 2020, saat disahkannya moratorium pendaftaran untuk penyelenggara baru paling lama sampai paruh kedua tahun ini.

Alasannya, jumlah pemain saat ini sudah terlampau banyak dan kualitas industri perlu ditingkatkan lebih dulu. Di saat yang sama, regulator perlu waktu untuk memperbaiki sistem pengawasan.

Perlakuan sama

Mengefisienkan jumlah pelaku industri sebenarnya juga diberlakukan regulator untuk semua industri yang dinaunginya. Di industri keuangan saja, OJK mendorong seluruh industri di bawahnya untuk melakukan konsolidasi baik itu merger atau akuisisi agar memiliki daya saing sekaligus bentuk adaptasi dengan situasi ekonomi terkini.

Perintah OJK merata, yakni memberlakukan batas modal minimum yang harus dipenuhi sebelum tenggat waktu ditentukan. Di perbankan, misalnya, Indonesia memiliki sekitar 1.800 BPR berskala kecil dan 113 bank BUKU I-IV per tahun lalu.

Lewat POJK Nomor 12 tentang konsolidasi bank umum yang baru disahkan pada Maret 2020 disebutkan menjelang akhir tahun bank-bank kecil atau bank BUKU I harus memiliki modal inti minimal Rp1 triliun. Kemudian secara bertahap modal inti tersebut harus mencapai minimal Rp3 triliun pada 2022.

Bila tidak berhasil memenuhi ketentuan tersebut, bank harus membuat kesepakatan dengan OJK tentang exit policy-nya sampai ada komitmen bersama. Adapun opsi lainnya, bank bisa turun kelas atau konversi menjadi BPR, atau self liquidation.

Pemberitaan merger dan akuisisi akhirnya mewarnai dinamika industri perbankan. Sebagai contohnya, BCA telah mengambil alih dua bank, yakni Bank Royal dan Rabobank untuk menginduk padanya (masing-masing menjadi Bank Digital BCA dan dimerger dengan BCA Syariah).

Lalu, POJK Nomor 5 Tahun 2015 tentang kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR, yang mewajibkan BPR memiliki modal inti minimum sebesar Rp3 miliar sampai 31 Desember 2019 dan sebesar Rp6 miliar sampai 31 Desember 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Heru Kristiyana menyebutkan, petugas pengawas bank OJK banyak terkuras untuk mengawasi bank-bank kecil yang jumlahnya banyak ini. Pengawasan menjadi tidak efisien dan OJK berharap bank-bank kecil ini bisa berkonsolidasi agar makin kuat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, memang sepertinya langkah OJK untuk mengefisiensikan industrinya dengan menekankan perlunya merger dan akuisisi pada industri keuangan.

“Dengan adanya kenaikan modal inti, tentu saja semakin memberatkan fintech p2p lending yang sekarang maupun pemain yang akan masuk industri karena syarat yang menurut saya pribadi cukup berat untuk sebuah bisnis rintisan,” ucapnya kepada DailySocial.

Ia berpandangan rencana revisi, khususnya mengenai poin batas modal minimum, lebih cocok untuk perusahaan p2p lending yang sudah stabil dan mendapat pendanaan dari investor, sehingga kenaikan syarat modal inti tidak memberatkan mungkin tidak memberatkan mereka.

Kurang tepat

Dalih OJK yang beralasan bahwa semakin sedikit jumlah pemain, maka akan semakin tingginya kualitas pemain fintech. Ia justru memandang dari sisi lain, bahwa kualitas dari pemain fintech bukan hanya dilihat dari pembatasan modal inti, melainkan dari hal penggunaan teknologi, persyaratan hingga batasan platform pinjaman yang diberikan.

Nailul lebih menyoroti dari sisi teknologi, sebab bisa jadi ke depannya teknologi yang digunakan perusahaan akan semakin bagus dan semakin murah. Hal tersebut akan bertolak belakang dengan batasan modal inti, apabila terlalu tinggi justru menghambat persaingan usaha. “Saya yakin teknologi akan mengarah kepada semakin canggih dan semakin murah.”

Oleh karenanya, Nailul berpendapat langkah yang diambil OJK untuk efisiensi jumlah p2p lending dirasa kurang tepat karena ia berkeyakinan makin ke sini, biaya teknologi akan semakin murah dan bagus. Kondisi tersebut membuat biaya pendirian perusahaan fiintech jadi semakin murah.

“Namun karena ada pembatasan modal yang terlalu tinggi bisa menyebabkan perusahaan rintisan bidang fintech kesulitan mendapatkan modal inti tersebut. Ini bisa jadi merugikan dalam hal persaingan dan konsumen akan semakin tercekik dengan bunga fintech yang saat ini relatif tinggi.”

Ia menambahkan argumennya tersebut dengan ilustrasi sederhana. Dengan perkembangan teknologi, biaya produksi untuk sebuah fintech akan semakin murah. Masyarakat bisa mendapatkan bunga dengan tarif relatif rendah. Namun karena ada peraturan OJK tentang modal inti yang tinggi, maka beban tersebut akan dibebankan ke masyarakat yang hendak meminjam. “Jadi bunganya semakin tinggi.”

Oleh karenanya, bila tetap diberlakukan, ia berharap OJK dapat memberlakukannya secara bertahap atau dibagi menjadi beberapa kelas (BUKU) seperti perbankan. Hal ini untuk mengakomodir perusahaan rintisan dan tidak menghalangi perkembangan dan inovasi teknologi.

Pandangan pemain fintech

Sumber: Modalku
Sumber: Modalku

DailySocial pun turut meminta pandangan dari dua pemain penyelenggara lending terkait kesiapan modal minimal yang tertuang dalam draft revisi POJK 77 Tahun 2016.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya berpandangan persyaratan modal dan ekuitas merupakan hal yang penting dan wajar bagi lembaga jasa keuangan. Kecukupan modal merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat kesehatan suatu perusahaan dan merupakan strategi agar dapat bertahan dalam kondisi sulit.

“Untuk menjalankan kegiatan usaha dalam bidang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi, tentunya penyelenggara diharapkan memiliki keuangan yang sehat dan oleh karenanya, persyaratan permodalan dan ekuitas menjadi salah satu tolak ukur yang direncanakan akan diatur ke depannya.”

Mengenai wacana kewajiban pendanaan ke luar Pulau Jawa, sepenuhnya Reynold sepakat bahwa ini adalah salah satu langkah efektif untuk mempercepat literasi keuangan yang merata. “Saat ini Modalku pun telah menjangkau UMKM di luar Pulau Jawa melalui fasilitas pinjaman untuk online seller dan akan terus memperluas jangkauan kami.”

Ia pun berharap, apabila wacana beleid tersebut disahkan, dapat diberikan waktu yang memadai agar para penyelenggara dapat memastikan penerapan ini bisa dilakukan dengan maksimal dan secara bertahap.

Modalku secara grup diklaim telah berhasil menyalurkan pembiayaan sebesar Rp18,8 triliun secara akumulasi. Perusahaan juga masuk ke segmen penjual online tanpa agunan hingga Rp250 juta dengan rata-rata nominal pinjaman skeitar Rp25 juta. Produk ini telah menyalurkan lebih dari Rp760 miliar kepada lebih dari 26 ribu pengusaha online.

COO KoinWorks Bernard Arifin juga sepakat bahwa meningkatkan modal inti bukanlah menjadi isu karena secara prinsipal sangat penting untuk dilakukan. Terlebih itu, ketertarikan investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan lending di Indonesia dinilai masih cukup besar, terutama karerna besarnya potensi pasar penyaluran pembiayaan untuk UKM di Indonesia itu sendiri.

“Ini jadi hal positif karena sekarang lending sudah masuk sebagai industri yang mature sehingga perlu memberlakukan prinsip kehati-hatian, transparansi, sebab awareness konsumen meningkat.”

Sejalan dengan itu, upaya perusahaan untuk memperluas kehadiran di luar Pulau Jawa bakal terus digalakkan mulai tahun depan. Pada tahun ini, KoinWorks membuka kantor perwakilan di Sumatera. Penyaluran outstanding peminjaman di KoinWorks saat ini 50% masih berpusat di Pulau Jawa dan didominasi di Jabodetabek, lalu ada Medan 15%, Bali 10%, dan Sulawesi 10%.

Saat ini outstanding penyaluran KoinWorks lebih dari Rp2,5 triliun dengan rata-rata penyaluran per bulan antara Rp200 miliar-Rp300 miliar, hampir kembali mencapai angka penyaluran sebelum pandemi berkisar Rp350 miliar. Pertumbuhan pemberi pinjaman tumbuh hingga 61% year-on-year atau sebesar 549 ribu penggguna pada akhir tahun ini.

Berkiblat ke negeri Tirai Bambu

OJK mungkin membaca betul bagaimana kondisi ekosistem p2p lending di Tiongkok yang sudah hancur lebur. Kehancurannya dimulai pada tahun lalu. Regulator Tiongkok membuat aturan ketat untuk meminimalisir praktik shadow banking yang merugikan konsumen.

Mereka menetapkan hanya perusahaan dengan modal tidak kurang dari 50 juta Yuan yang dapat beroperasi dan diwajibkan untuk transisi bisnis menjadi perusahaan pinjaman regional, dan tidak kurang dari 1 miliar Yuan untuk bertransisi menjadi pemberi pinjaman kecil yang memenuhi syarat untuk beroperasi secara nasional.

Aturan keras ini  efektif mengurangi jumlah perusahaan dari sekitar 6 ribu perusahaan di 2015, menjadi 427 pada akhir Oktober 2019. Bahkan kini jumlahnya makin menyusut menjadi enam perusahaan pada September 2020. Industri tersebut telah merugikan para investor senilai lebih dari 800 miliar Yuan ($ 115 miliar) dari platform yang gagal.

Tidak berhenti di situ, pemerintah Tiongkok akhirnya bersatu padu agar tidak mengulangi kesalahan yang berdampak sistemik. Mereka mulai menyoroti bank data dan perlindungannya yang dikumpulkan perusahaan raksasa teknologi seperti Alibaba, Tencent, Baidu, Meituan, dan lainnya dalam memberikan layanan fintech kepada para pengguna lewat platform di bawahnya.

Guo Shuqing, Chairman China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC), menuturkan industri fintech menyebabkan banyak fenomena dan masalah baru. Oleh karena itu, perlu memperhatikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seperti ini:

“Apakah [perusahaan] teknologi besar memblokir pendatang baru? Apakah mereka mengumpulkan data dengan tidak benar? Apakah mereka menolak untuk mengungkapkan informasi yang seharusnya dipublikasikan? Apakah mereka terlibat dalam perilaku yang menyesatkan pengguna dan konsumen?”

Guo bilang, perusahaan besar seperti Alibaba dan Tencent memiliki banyak anak usaha yang bergerak di bidang fintech, meski dikenal dengan produknya di bidang pembayaran elektronik. Tapi di bawah payung yang sama mereka bisa menyediakan layanan lebih dari sekadar itu.

“Beberapa teknologi besar menjalankan bisnis lintas sektor dengan aktivitas keuangan dan teknologi di bawah satu atap. Perlu untuk terus mengikuti limpahan ini… dan mengambil tindakan tepat waktu dan tepat sasaran untuk mencegah risiko sistemik baru,” katanya.

Perlukah Strategi “Exit” Startup Dipersiapkan Sejak Awal

Antara merger, akuisisi, dan IPO, mana strategi exit yang tepat untuk startup Anda? Apakah founder startup perlu mempersiapkan strategi exit sejak awal? Jawaban pertanyaan tersebut perlu dilihat dari berbagai sisi.

Menurut Partner Golden Gate Ventures Michael Lints, saat awal startup berdiri sangat sulit untuk membuat strategi exit. Saat itu, founder akan disibukkan untuk mencari tahu product market fit, retensi pengguna, roadmap produk, dan bagian penting bisnis lainnya, sehingga memikirkan strategi exit hampir mustahil karena masih terlalu dini.

Di sisi lain, investor ingin founder fokus bangun bisnis mereka, menambah value dengan distraksi sedikit mungkin. Pepatah mengatakan bahwa perusahaan yang kuat dapat menggalang dana (atau exit). Exit itu sendiri merupakan tonggak penting buat perusahaan — bukan berarti founder yang exit.

Kapan dan bagaimana exit yang tepat

Lints menuturkan, waktu dan strategi exit sangat penting untuk memaksimalkan keuntungan dari perusahaan dan investor. Pada kenyataannya, tidak ada yang bisa memprediksi kapan hal tersebut datang karena tidak ada yang bisa memprediksi masa depan.

“Mitos pertama adalah rencana exit startup membuahkan hasil. Terlalu banyak situasi tak terduga untuk memprediksi seperti apa jalan keluar pada lima atu tujuh tahun kemudian.”

Realita kapan harus keluar harus didukung strategi antara founder dan investor. Ibarat menata rumah, seluruh proses perlu dilakukan secara teratur. Tidak masalah apakah Anda sedang bersiap untuk exit atau putaran penggalangan dana tahap akhir, sebab Anda ingin memastikan rumah dalam keadaan rapi.

Berikut ini adalah beberapa checklist yang perlu disiapkan jika sudah berpikir untuk melakukan exit:

  1. Apakah semua laporan keuangan sudah terkini dan diaudit? Sebab acquirer ingin meninjau aspek penting ini. Jika tidak diaudit, perusahaan perlu memberikan argumen jelas mengapa demikian.
  2. Apakah semua prosedur perusahaan sudah ada dan didokumentasikan?
  3. Bagaimana proyeksi bisnis berdasarkan historis laporan keuangan?
  4. Bagaimana prospek perusahaan, produk dan peta jalan industri?
  5. Apa skenario exit untuk semua pendiri, staf dan pemegang saham? Dalam kasus keuntungan, apakah insentif selaras?

Secara terpisah, DailySocial juga meminta pandangan investor lokal terhadap hal ini. CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro menuturkan, strategi exit itu sudah harus dipersiapkan secara jeli oleh founder saat memetakan roadmap — saat memulai putaran pendanaan dari tahap awal hingga seterusnya.

Di mata investor, strategi exit itu artinya bisa menjual saham di startup pada investor lain atau melalui IPO.

“Idealnya startup sudah ada roadmap, termasuk fundraising dan exit, karena investor pasti nanya.”

Menurutnya, founder pasti sadar betul bahwa investor butuh exit setelah berinvestasi sekian lama. Mayoritas VC mengelola dana dari sekumpulan investor, alias bukan uang VC itu sendiri.

Oleh karena itu, investor juga punya andil untuk mengarahkan portofolionya tipe-tipe exit yang cocok untuk masing-masing portofolionya. “Ada yang cocoknya IPO dan ada yang cocoknya misalnya dibeli oleh unicorn, dan lain-lain.”

MCI sendiri sudah exit untuk dua portofolionya, yakni Moka (saat diakusisi penuh oleh Gojek) dan Cashlez (saat IPO pada Mei 2020).

“Semakin terjadi investasi dan divestasi, ekosistem startup dan VC akan semakin sehat.”

Pandangan founder startup

Mengungkap strategi exit suatu startup ke publik bukan menjadi suatu kewajiban seorang founder, namun melihat pandangan mereka tentang strategi exit menarik untuk disimak. DailySocial menghubungi dua founder startup dari Modalku dan Super (Nusantara Technology) untuk memberikan pandangannya terhadap isu ini. Keduanya sama-sama telah mengantongi pendanaan dari pihak eksternal.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya memandang strategi exit tidak memiliki urgensi yang penting. Ia beralasan karena exit adalah suatu hal yang tidak dipikirkan secara konstan karena dinamika industri startup yang bergerak cepat, sehingga tidak tepat untuk fokus ke hal-hal lain selain mengembangkan perusahaan itu sendiri.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu mengembankan fundamental dan bisnis. Exit merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UMKM yang berpotensi,” papar Reynold.

Meskipun demikian, ia berpendapat opsi exit untuk setiap perusahaan pasti berbeda-beda. Tidak ada satu opsi yang cocok untuk diimplementasikan untuk seluruh jenis startup karena perlu disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan perusahaan.

“Fokus utama kami bukan untuk mempersiapkan strategi exit, melainkan untuk mengembangkan perusahaan dan menjangkau lebih banyak UMKM di Indonesia untuk mewujudkan dunia keuangan Indonesia yang lebih inklusif.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan CEO Super Steven Wongsoredjo. Super adalah aplikasi social commerce yang dijalankan Nusantara Technology.

Steven menuturkan, ketika pihaknya memutuskan untuk merintis Super, ia tahu bahwa tim akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Menurutnya, skenario exit terbaik adalah kondisi di mana aplikasi Super dapat menjadi bisnis yang berkelanjutan dan berdampak pada masyarakat.

“Artinya kami menciptakan bisnis yang berdampak pada masyarakat dan pemangku kepentinngan. Oleh karena itu, bagian ekuitas dari investor dan founder akan menjadi hot deal di pasar likuid.”

Super sendiri masih tergolong baru di ranah social commmerce. Layanan ini didirikan sekitar dua tahun lalu. Untuk itu, di proses perintisan Super, tim bekerja keras membangun product market fit yang sesuai dengan target konsumennya di kota lapis dua dan tiga.

“Fakta menariknya, saya tidak mengambil gaji selama dua tahun di perusahaan ini. Sebab hal yang paling mendesak adalah menemukan product market fit dan menumbuhkan perusahaan, yang akan membawa keuntungan nantinya.”

Steven berpandangan, buat startup Indonesia, cara terbaik adalah melikuidasi saham lewat pasar swasta untuk jangka pendek. Maka dari itu, perlu ada diskusi antara investor lama untuk menentukan kapitalisasi agar mendapat keputusan terbaik yang menguntungkan semua pihak.


Gambar header: Depositphotos.com

Modalku Is Now Available for Online Business in Social Media and Chat Messaging

Modalku developed a specific financing product targeting online entrepreneurs. Not only businesses on e-commerce platforms, but also social media and chat messaging. Previously, Modalku collaborated with e-commerce platforms such as Tokopedia, Bukalapak, Shopee, and Zilingom in channeling loans to online entrepreneurs.

As quoted from the Central Statistics Agency report “Statistics E-Commerce (2019)” last year, there are 15.08% of the total number of entrepreneurs in Indonesia were online entrepreneurs, the rest were offline entrepreneurs at 84.92%. However, during this pandemic, also stated in other reports by the Coordinating Ministry for Economic Affairs, there was an increase of over 300 thousand.

Modalku’s Co-Founder and COO Iwan Kurniawan said, in the time of pandemic more people are doing their activities through digital platforms, including buying and selling goods. The increase rate should be balanced with on-demand funding accessibility and the characteristics of online entrepreneurs.

“During this pandemic, we continue to grow [channeling financing] at more selective steps. The most commonly used digital services during Covid-19 are e-commerce, digital wallet, health, education, and transportation. We want to serve those segments that need financing,” Iwan said in an online press conference on Wednesday (29/7).

Ensuring Modalku’s strategy before introducing it to the public, the company has surveyed 200 online sellers as respondents last month. These respondents involved are 40% women and 60% men, dominated by people at the age 30-35 years (32%) and 26-29 years (27%). They are located in Jakarta, West Java, East Java and Banten.

The result shows that the online digital platform mostly used by the respondents is dominated by Shopee (77.5%) and Tokopedia (70.5%). However, in the third position is chat messaging applications such as WhatsApp and Line (62%). It is followed by Bukalapak, Facebook, Instagram, Lazada, Blibli, personal sites, JD.id, and others.

The survey also showed 70% of respondents attracted to online loans. The reason is to increase the stock of goods, try new business opportunities, do online marketing, business expansion, maintain cash flow, and other reasons.

“The result shows that every entrepreneur is at least uses three platforms for online business. It is quite difficult for this segment to get access to funding without collateral, even though they are part of the sector that drives the digital economy,” Modalku’s Digital Marketing Director, Alexander Christian said.

Modalku online pers conference today (7/29)
Modalku online pers conference today (7/29)

Loan products

In the latest product, Modalku is targeting all online entrepreneurs selling online in any channel. They can get loans without collateral up to 250 million Rupiah with a maximum tenor of 12 months. Interest charged, starting from 2% per month or 24% per year, depending on the risk profile of each seller.

In terms of submission, prospective borrowers only need a checking account for the past three months and a business owner’s ID. In addition, they are required to have been operating at least more than six months and have a business and are domiciled in Greater Jakarta, Bandung, and Surabaya.

According to Modalku’s Micro Business Project Manager Yuliana Prabandari, this method is quite effective for Modalku in ensuring all online transactions. When you join an e-commerce platform, credit scoring will be far more practical because the company can get all transaction and revenue data in the seller’s account.

“We find that even though this online seller already has a bank account, their businesses are yet to be eligible for credit from banks because they are required to have collateral. In addition, by selling stuff on many platforms, we can picture it as credit scoring,” said Yuliana.

Since three to four years ago working on online entrepreneurs, Modalku claimed to have distributed millions of loan transactions worth hundreds of billions of Rupiah. These borrowers come from various cities in Java, and outside Java, such as Medan, Batam and Makassar. This achievement is a strong foundation for the company to develop widely.

In total, from the beginning up until the first semester Modalku has disbursed loans worth more than 15 trillion Rupiah in Indonesia, Malaysia, and Singapore. The number of transactions reaches more than 2.5 million loans. The increase is quite significant compared to last December at 11 trillion Rupiah.

“We are financing a lot of sectors that grew green during the pandemic, such as health, ICT, e-commerce, and FMCG. This form of financing is divided into supply chain financing, BPJS invoice financing, and employee capital,” Iwan concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Modalku Kini Biayai Pengusaha Online di Media Sosial dan Chat Messaging

Modalku mengembangkan produk pembiayaan yang khusus menyasar pengusaha online. Tidak hanya yang berjualan di platform e-commerce saja, tapi juga media sosial dan chat messaging. Sebelumnya, Modalku bekerja sama dengan platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Zilingom dalam menyalurkan pinjaman kepada pengusaha online yang tergabung di sana.

Mengutip dari hasil laporan Badan Pusat Statistik “Statistik E-Commerce (2019)” mengungkapkan pada tahun lalu, sebanyak 15,08% dari jumlah pengusaha di Indonesia adalah pengusaha online, sisanya adalah pengusaha offline sebanyak 84,92%. Namun akibat dari pandemi ini, mengutip dari hasil laporan lainnya yang diungkap Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tercatat ada peningkatan hingga lebih dari 300 ribu.

Co-Founder dan COO Modalku Iwan Kurniawan mengatakan, pada kondisi pandemi semakin banyak masyarakat yang melakukan aktivitasnya melalui platform digital, termasuk transaksi jual beli barang. Kenaikan ini perlu diimbangi dengan ketersediaan akses pendanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik pengusaha online.

“Selama pandemi ini kami tetap tumbuh [penyaluran pembiayaan] dengan langkah yang lebih selektif. Layanan digital yang paling sering digunakan selama Covid-19 adalah e-commerce, dompet digital, kesehatan, pendidikan, dan transporasi. Kami ingin melayani segmen-segmen tersebut yang membutuhkan pembiayaan,” kata Iwan dalam konferensi pers online, Rabu (29/7).

Untuk memantapkan strategi Modalku sebelum memperkenalkan produk ini ke publik, perusahaan melakukan survei kepada 200 penjual online sebagai responden pada akhir bulan lalu. Responden ini terdiri dari perempuan 40% dan laki-laki 60%, didominasi usia 30-35 tahun (32%) dan 26-29 tahun (27%). Mereka tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten.

Hasilnya menunjukkan platform digital yang digunakan untuk berjualan online didominasi oleh Shopee (77,5%) dan Tokopedia (70,5%). Menariknya, posisi ketiga adalah aplikasi chat messaging seperti WhatsApp dan Line (62%). Selanjutnya disusul oleh Bukalapak, Facebook, Instagram, Lazada, Blibli, situs pribadi, JD.id, dan lainnya.

Survei tersebut juga memperlihatkan 70% responden merasa tertarik pada pinjaman online. Alasan dari mereka adalah untuk meningkatkan stok barang, mencoba peluang usaha baru, melakukan pemasaran online, ekspansi bisnis, menjaga arus kas, dan alasan lainnya.

“Setidaknya dari hasil survei ini memperlihatkan bahwa setidaknya setiap pengusaha menggunakan tiga platform saat berjualan online. Seringkali segmen ini terkendala mendapatkan akses pendanaan karena tidak punya agunan, padahal mereka adalah bagian dari sektor yang menggerakkan ekonomi digital,” ujar Digital Marketing Director Modalku Alexander Christian.

Konferensi pers online Modalku yang digelar hari ini (29/7)
Konferensi pers online Modalku yang digelar hari ini (29/7)

Produk pinjaman

Dalam produk teranyar ini, Modalku menyasar semua pengusaha online yang berjualan di semua kanal online. Mereka bisa mendapatkan pinjaman tanpa agunan hingga 250 juta Rupiah dengan tenor maksimal 12 bulan. Bunga yang dikenakan, dimulai dari 2% per bulan atau 24% per tahun, tergantung dari profil risiko masing-masing penjual.

Untuk pengajuannya, calon peminjam hanya memerlukan rekening koran tiga bulan terakhir dan KTP pemilik usaha. Selain itu, mereka diharuskan minimal sudah menjalankan usahanya lebih dari enam bulan dan memiliki bisnis dan berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.

Menurut Project Manager Micro Business Modalku Yuliana Prabandari, dengan cara ini cukup efektif buat pihak Modalku dalam memastikan seluruh transaksi yang terjadi secara online. Bila sudah bergabung dengan platform e-commerce, skoring kreditnya akan jauh lebih praktis karena perusahaan bisa mendapat seluruh data transaksi dan pendapatan dalam akun penjual tersebut.

“Kami melihat meski penjual online ini sudah memiliki rekening bank, tapi usaha mereka belum layak mendapat kredit dari bank karena diharuskan memiliki agunan. Di samping itu, dengan berjualan di banyak platform, kita bisa melihat banyak gambaran untuk skoring kreditnya,” kata Yuliana.

Sejak tiga sampai empat tahun lalu menggarap pengusaha online, pihak Modalku mengaku telah menyalurkan jutaan transaksi pinjaman senilai ratusan miliar Rupiah. Para borrower ini berasal dari beragam kota di dalam Pulau Jawa, dan di luar Jawa, seperti Medan, Batam, dan Makassar. Pencapaian ini menjadi landasan kuat perusahaan untuk mengembangkan secara luas.

Secara total, dari awal berdiri hingga semester pertama Modalku telah menyalurkan pinjaman senilai lebih dari 15 triliun Rupiah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Jumlah transaksinya mencapai lebih dari 2,5 juta pinjaman. Kenaikan ini cukup drastis dibandingkan pada Desember tahun lalu sebesar 11 triliun Rupiah.

“Kami banyak membiayai sektor-sektor yang tumbuh hijau saat pandemi, seperti kesehatan, ICT, e-commerce, dan FMCG. Bentuk pembiayaan itu terbagi jadi pembiayaan supply chain, invoice financing BPJS, dan modal karyawan,” tutup Iwan.

Application Information Will Show Up Here

BRI Ventures Contributes in Modalku’s Series C Funding

BRI Ventures agrees to invest in Modalku’s fintech lending company, Funding Societies. This is to be discussed directly by Modalku Co-Founder & CEO Reynold Wijaya. He mentioned to DailySocial, inviting BRI Ventures is part of the Modalku C series which was posted last April 2020.

“It is expected that we have announced that the Modalku group has raised commitments for the series C funding worth of US$ 40 million (or around 625 billion Rupiah) from the current investors and undisclosed investors. The fund with BRI Ventures contribution is part of our series C,” said Reynold.

This fresh fund will be increased by Modalku to realize the vision of increasing financial inclusion in Southeast Asia, as well as enhancing a positive vision for growth in Indonesia. Especially in the future of this pandemic, asking for this will support the company’s strategy to support SMEs to continue to grow and survive. In addition, Modalku is tocontinue innovation in providing new products.

“The company also has a target to be able to support more SMEs in various sectors and regions. However, our main focus now is to support SMEs whose business is increasing this pandemic. Supporting our main strategy now is better to promote restructuring.”

Pandemic effect

Pandemic made several technology startups do business operational efficiency, some of which even layoff to pivot business models. Meanwhile Reynold stressed, so far Modalku did not do that, including laying off employees. The wave of pandemic that occurred forced Modalku to make various internal and external anticipatory measures.

From the internal side, the company also conducts streamline operations to improve efficiency so that operational processes are simpler. According to Reynold, in these conditions, it is important for companies to stabilize the company’s pace and continue to grow in a healthy manner. Therefore, he was reluctant to call this a layoff.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Terlibat dalam Pendanaan Seri C Modalku

BRI Ventures terlibat dalam pendanaan induk perusahaan fintech lending Modalku, Funding Societies. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya. Kepada DailySocial ia mengungkapkan, keterlibatan BRI Ventures merupakan bagian dari pendanaan seri C Modalku yang dibukukan April 2020 lalu.

“Sebelumnya kami telah mengumumkan bahwa grup Modalku telah memperoleh komitmen pendanaan seri C sebesar US$40 juta (atau sekitar 625 miliar Rupiah) dari investor-investor terdahulu yang telah bergabung serta investor baru yang belum bisa diumumkan namanya. Pendanaan yang melibatkan BRI Ventures ini merupakan bagian dari pendanaan seri C kami,” kata Reynold.

Dana segar ini akan difokuskan Modalku untuk merealisasikan visi meningkatkan inklusi keuangan di Asia Tenggara, serta menciptakan dampak positif bagi perekonomian di Indonesia. Terutama di masa pandemi ini, pendanaan ini akan mendukung strategi perusahaan untuk mendukung UKM tetap bisa bertumbuh dan bertahan. Selain itu, Modalku untuk terus berinovasi menyediakan produk baru.

“Perusahaan juga memiliki target untuk bisa menjangkau lebih banyak UKM di berbagai sektor dan wilayah. Namun, fokus utama kami saat ini adalah mendukung UKM yang bisnisnya terkena dampak pandemi ini. Sehingga strategi utama kami saat ini adalah bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kondisi ekonomi makro melalui restrukturisasi.”

Dampak pandemi

Pandemi membuat beberapa startup teknologi melakukan efisiensi operasional bisnis, beberapa di antaranya bahkan sampai melakukan layoff hingga pivot model bisnis. Sementara itu Reynold menegaskan, sejauh ini Modalku tidak melakukan hal tersebut, termasuk mem-PHK pegawainya. Gelombang pandemi yang terjadi memaksa Modalku membuat berbagai langkah antisipasi internal dan eksternal.

Dari sisi internal, perusahaan juga melakukan streamline operations untuk meningkatkan efisiensi agar proses operasional lebih sederhana. Menurut Reynold, pada kondisi seperti ini, penting bagi perusahaan untuk menstabilkan laju perusahaan dan tetap tumbuh secara sehat. Maka dari itu, ia enggan menyebutnya ini sebagai layoff.

Application Information Will Show Up Here

Bagaimana Keluarga Bersama Membangun Startup

Industri startup yang dinamis menarik berbagai talenta untuk andil di dalamnya. Tak terkecuali mereka yang memiliki pertalian darah, alias kakak-adik atau bahkan saudara kembar. DailySocial mencatat beberapa startup yang didirikan keluarga ini mampu bertahan dan tetap relevan di kancah persaingan industri.

Startup-startup ini bergerak di industri media, foodtech, gaming, dan fintech. Berikut ini beberapa pembahasan tentang pengalaman dan dukungan keluarga ketika membangun startup.

Anton dan Roki: hobi dan minat yang sama

Anton dan Roki Soeharyo
Anton dan Roki Soeharyo

Saat mendirikan Touchten, kakak beradik Anton dan Roki Soeharyo memiliki hobi yang sama, yaitu game, yang diturunkan langsung oleh ayah mereka. Melihat peluang yang ada, ketika dewasa, Anton dan Roki memutuskan mendirikan perusahaan gaming di Indonesia.

“Awalnya hanya berpikiran jika bisa main game dan ‘digaji’. Setelah kami dewasa kami mulai ‘evolve‘ dan memutuskan untuk menciptakan game sendiri. Akhirnya kami berpikir bagaimana startup kami dapat mengangkat industri game Indonesia,” kata Anton.

Touchten sendiri berdiri sejak tahun 2009. Meskipun didirikan bersama sang adik, kini Anton fokus mengembangkan platform PlayGame dan MainGame. Roki kini menjabat sebagai CEO, menggantikan posisi Anton.

Blood is thicker than water. Walau beda perusahaan, pastilah selalu adik saya ada di hati. Kalau ada yang bisa saya bantu dari dukungan moral atau dukungan apapun pastinya akan dibantu. Sebagai entrepreneur pastinya kita perlu dukungan moral atau sekedar temen curhat,” kata Anton.

Untuk mereka yang ingin mendirikan startup bersama keluarga, Anton membagikan tips menarik berdasarkan pengalaman dirinya membangun bisnis bersama sang adik.

“Yang pasti sulitnya adalah maintain clear distance antara keluarga dan bisnis. Be professional, harus tegas antara keluarga dan kolega. Saat di rumah boleh menjadi kakak dan adik, tapi ketika menginjak kaki di kantor harus profesional biar bisa maju,” kata Anton.

Mario, Marbio, dan Marius Suntanu: Work-life balance

Marius, Mario dan Marbio Suntanu
Marius, Mario, dan Marbio Suntanu

Yummy Corp berawal dari visi Mario Suntanu yang melihat perkembangan industri food delivery yang semakin pesat di mana-mana, termasuk di Indonesia. Mario menggaet adik-adiknya, Ismaya Group, dan Co-Founder lainnya (Juan Chene dan Daisy Harjanto) untuk membangun perusahaan bersama.

Tahap pertama startup dipimpin Marbio Suntanu sebagai Managing Director untuk membangun bisnis yang memberikan makan siang yang sehat, lezat, membantu produktivitas, namun tetap terjangkau. Di tahun 2018, Mario bergabung secara full-time di Yummy Corp sebagai CEO. Di tahun yang sama, Marius Suntanu bergabung sebagai Food Development Director dan bertanggung jawab atas semua variasi makanan Yummy Corp. Dalam satu tahun, tim yang dipimpinnya berhasil menghadirkan sekitar 11.350 variasi menu berbeda.

Salah satu kunci keberhasilan Yummy Corp adalah hubungan positif antar saudara. Serupa dengan dengan hubungan rekan kerja lainnya, masing-masing harus bisa saling support di berbagai situasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah saling menghargai pendapat dengan expertise di bidang masing-masing agar saling melengkapi.

“Kelebihan menjadi satu keluarga, diskusi dan brainstorm di luar office hour sangat mungkin dilakukan saat kumpul keluarga. Namun diperlukan batasan sampai mana diskusi itu berlanjut agar work-life-balance tetap terjaga dan hubungan keluarga saat di luar kantor tetap hangat,” kata Mario.

Kombinasi expertise Ivan Tambunan, Mikhail Tambunan, dan Christopher Gultom

Mikhail Tambunan, Christopher Gultom, Ivan Tambunan
Mikhail Tambunan, Christopher Gultom, dan Ivan Tambunan

Keunggulan yang diklaim dimiliki CEO Ivan Tambunan, CFO Mikhail Tambunan, dan Chief Credit Officer Christopher Gultom adalah expertise masing-masing. Hal tersebut mendukung Ivan semakin percaya diri menetapkan strategi dan memimpin pengembangan produk Akseleran. Masing-masing bertanggung jawab berdasarkan skill dan pengalaman kerja dalam menjalankan perusahaan.

“Didukung dengan background masing-masing yang berhubungan di bidang keuangan, kita mempunyai visi yang sama yaitu mengurangi financing gap yang ada di Indonesia, dan yang paling besar itu dialami oleh UKM,” kata Christopher.

Menurut Mikhail, hal yang paling berat adalah bagaimana tetap menjaga hubungan saudara di tengah hubungan profesional di perusahaan. Jika visi misi serta tugas dan wewenang tidak jelas, maka hal parah bisa terjadi adalah keretakan di hubungan persaudaraan.

Bagi Ivan, meskipun memiliki risiko konflik yang bisa merusak hubungan, banyak keuntungan yang bisa diperoleh jika mendirikan startup bersama keluarga, terutama pada aspek dukungan moral dan kepercayaan satu sama lain.

“Yang terpenting, startup harus dijalankan dengan merit based. Jadi membangun bersama keluarga bukan hanya karena hubungan kekeluargaan [nepotisme] melainkan karena memang expertise dari masing-masing pihak. Selain itu dari awal sudah harus kompak dan memutuskan untuk transparan dan fair terhadap satu sama lain,” kata Ivan.

Winston dan William Utomo: bisnis media

William dan Winston Utomo
William dan Winston Utomo

Sebagai CEO IDN Media, Winston Utomo mengawali bisnis berbentuk situs bernama IDN Times bersama sang adik William sejak tahun 2014 lalu. Kini IDN Times menjadi platform media berbagai generasi, khususnya generasi muda, walaupun keduanya tidak memiliki pengalaman di bidang jurnalistik.

Sayangnya Winston dan William Utomo tidak menanggapi permintaan wawancara yang dilayangkan DailySocial terkait pengalamannya memulai dan menjalankan bisnis bersama saudara ini.

Dukungan moral Reynold dan Ronald Wijaya

Ronald dan Reynold Wijaya
Ronald dan Reynold Wijaya

Berbeda dengan kakak-adik pendiri startup lainnya, Reynold dan Ronald Wijaya memiliki startup di industri yang berbeda. Reynold Wijaya CEO Modalku yang menyasar industri fintech, sementara saudara kembarnya Ronald Wijaya membangun bisnis healthy food product bernama Lemonilo.

Meskpun berbeda, saat mulai membangun bisnis masing-masing saling memberikan dukungan moral. Hal tersebut dirasakan benar oleh Ronald yang sempat mengalami kesulitan saat membangun startup pertamanya, yaitu Konsula.

“Di saat-saat kelam itu, justru saya mendapatkan banyak dukungan moral dari Reynold, dan of course dari istri dan keluarga lainnya. Karena sifat nature dari bisnis kita yang sangat berbeda, maka saya lebih banyak mendapatkan dukungan moral. Tetapi menurut saya, dukungan moral sebenarnya jauh lebih penting daripada hal lainnya. Banyak saat-saat dimana kita mau menyerah, tapi akhirnya bangkit kembali karena dukungan moral tersebut,” kata Ronald.

Sebagai saudara, hubungan Reynold dan Ronald sangat dekat. Keduanya bisa saling mengandalkan dan terbuka satu sama lainnya. Sebagai saudara kembar, mereka dari lahir sampai universitas selalu di sekolah yang sama.

“Tentunya kami saling mendukung satu sama lain dan dalam menjalankan bisnis mencoba yang terbaik untuk memberikan masukan terhadap perkembangan bisnis, memecahkan masalah, atau menumbuhkan perusahaan dengan baik,” kata Reynold.

Untuk mereka yang ingin membangun startup bersama adik atau kakak, ada tips menarik yang dibagikan Ronald dan Reynold. Meskipun mereka memutuskan untuk tidak mendirikan bisnis bersama, namun ada pelajaran penting yang menjadi fokus keduanya.

“Hal terbaik bila tetap ingin membuat usaha bersama adalah boleh kok untuk dari awal membagi saham kepada keluarga lainnya, asal jelas. Tetapi dari hal manajemen, jangan ada dua suara. Harus menentukan siapa kapten kapalnya sehingga bisa membedakan dengan jelas antara manajemen dengan kepemilikan,” kata Ronald.