Traveloka Beri Sinyal Kuat Melantai di Bursa Saham New York Tahun Ini

Rencana Traveloka melantai di bursa semakin terang terbaca. Dalam wawancara bersama Bloomberg, Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi mengatakan, setelah melewati masa tersulitnya di awal Covid-19, tahun ini menjadi waktu yang tepat bagi perusahaan untuk go public. Ia meyakini kondisi perusahaan sudah siap dan pasar juga dinilai akan menyambut baik.

Ia mengatakan model bisnis Traveloka sudah memiliki jalur profit yang jelas. Untuk sekarang, bisnis utama mereka (travel dan akomodasi) diklaim sudah mendapatkan profit, sembari terus mengeksplorasi model bisnis lain, seperti fintech. Salah satu fokus Traveloka menghadirkan layanan paylater.

Secara implisit tahun ini persiapan go public sudah diagendakan perusahaan. Ferry sudah menyebut Traveloka akan terlebih dulu melantai di bursa saham New York (NYSE), kemudian menyusul di bursa lokal.

Mekanisme SPAC kemungkinan menjadi pilihan karena efisiensi di sisi waktu. Ia menekankan perusahaan seperti Traveloka butuh pendekatan gesit, agar segera fokus ke eksekusi pertumbuhan bisnis pasca go public.

Sebelumnya sumber Bloomberg menyebutkan Traveloka telah memilih JPMorgan Chase & Co. sebagai mitra strategis untuk mengeksplorasi potensi IPO di NYSE. Sebelumnya sumber Reuters menyebutkan, beberapa perusahaan cek kosong (blank check company) tengah berdiskusi untuk membantu proses ini, di antaranya Provident Acquisition, COVA Acquisition, dan Bridgetown Holdings.

SPAC makin menjadi pilihan bagi startup melantai di NYSE. Secara sederhana, perusahaan cek kosong yang sudah go public akan melakukan M&A terhadap startup yang ingin melantai di bursa, sehingga secara otomatis startup tersebut langsung terdaftar di bursa (direct listing). Prosesnya lebih cepat, bisa dalam hitungan minggu, karena sudah tidak ada lagi proses pelaporan finansial yang kompleks seperti tahapan IPO tradisional.

Traveloka adalah platform OTA regional terdepan yang sudah hadir di 6 negara Asia Tenggara dan Australia.

Apakah akan jadi momentum terbaik?

Pandemi sempat menghentikan bisnis OTA secara global. Volume transaksi Traveloka pun sempat terdampak serius. Ferry mengklaim, perusahaan mulai merangkak kembali di bulan Juli 2020 dan kini volume transaksi mulai pulih, menyentuh angka 50% pra-Covid-19, membawa core business mereka jadi profitable.

Tahun lalu Traveloka juga membukukan pendanaan baru senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

Beberapa hal dilakukan sebagai langkah mitigasi dampak akibat Covid-19, salah satunya dengan melakukan efisiensi bisnis dan operasional. Perusahaan dikabarkan melakukan lay off pegawai dengan jumlah signifikan. Perjalanan domestik juga terus dioptimalkan untuk memaksimalkan potensi penjualan di tengah pelonggaran setelah pembatasan sosial besar-besaran yang dilakukan di banyak daerah.

Menjadi pertanyaan menarik, setelah bisnis dihantam dan kondisi belum sepenuhnya baik (khususnya di industri perjalanan), apakah ini menjadi waktu yang tepat untuk IPO? Yang jelas rencana IPO Traveloka sudah mulai diungkapkan sejak sebelum pandemi. Di sebuah kesempatan pada akhir tahun 2019, Ferry menyebutkan IPO akan dilakukan startupnya dalam 2-3 tahun mendatang.

Kami sempat berbincang dengan investor awal Traveloka, Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures dan EV Growth, terkait proses IPO startup. Ia mengatakan bahwa pandemi tidak akan berpengaruh pada rencana IPO. Menurutnya saat ini kondisi startup di Indonesia sudah sangat siap untuk melakukan itu.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. [..] Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Selain East Ventures dan EV Growth, Traveloka juga didukung beberapa investor lain, seperti GIC, Expedia Group, dan Rocket Internet. Valuasi perusahaan ditaksir berada di angka $3 miliar dan mereka ingin melantai di bursa dengan kapitalisasi pasar $4-6 miliar.


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Tiket.com Resmikan Fitur Aktivitas Liburan “TO DO”

Tiket.com meresmikan fitur aktivitas liburan “TO DO”, setelah pertama kali soft launch pada Maret 2020. Diklaim, fitur ini tumbuh paling signifikan hingga 515% untuk angka penjualan tiket pada kuartal III dan IV 2020, melampaui kinerja tiket pesawat dan akomodasi masing-masing sebesar 89% dan 118%.

Co-Founder & CMO Tiket.com Gaery Undarsa menerangkan, awalnya TO DO baru melayani kategori tiket atraksi dan wahana. Namun sekarang TO DO menaungi 10 kategori dengan lebih dari 10.200 pilihan kegiatan online dan offline, 386 event di 62 negara. Khusus di Indonesia, tersedia 2 ribu pilihan kegiatan dan 380 event yang dapat dipilih konsumen.

TO DO dibentuk untuk melengkapi produk yang sudah kita punya, sekaligus menanggapi kebutuhan konsumen saat ini,” ucap Gaery saat konferensi pers virtual, Kamis (28/1).

Ada 10 kategori di dalam TO DO, di antaranya TO DO Online yang berisi jajaran kegiatan online seperti kelas online, seminar, gala premier film, podcast, dan lain-lain; atraksi; event (konser musik dan seminar); pelengkap perjalanan (travel essentials seperti tes Covid-19, pembelian SIM card); transportasi; tur; tempat bermain; kecantikan dan kebugaran; wisata kuliner; permainan dan hobi.

Dari keseluruhan kategori di atas, travel esensial, atraksi, dan event menjadi kategori yang paling banyak dibeli konsumen. Hal ini selaras dengan kondisi di mana konsumen yang mulai bepergian harus melengkapi sejumlah persyaratan dokumen kesehatan, sementara agar tidak bosan di rumah membeli tiket aktivitas online.

Ke depannya, perusahaan akan terus menambah kemitraan dengan berbagai pemain industri pariwisata on board ke dalam TO DO. Gaery menuturkan, selain industri penerbangan dan perhotelan, ada jutaan orang di sekitarnya yang terdampak akibat pandemi.

“Ada tempat rekreasi, tour guide, tempat souvenir, di sekitar industri pariwisata yang bisa dikunjungi. Ini yang sedang kami coba support mereka dengan bergabung ke TO DO,” pungkasnya.

Konsep yang sama juga sudah diluncurkan kompetitor terdekatnya, Traveloka dengan fitur Xperience. Agar lebih kompetitif, perusahaan baru merilis kategori OnlineXperience yang menawarkan lebih dari 100 sesi unik yang dirancang untuk mendorong konsumen menikmati waktu luang di rumah bersama keluarga.

Traveloka Xperience sendiri dirilis pada 2019. Sejak pandemi, perusahaan merilis layanan travel esensial berupa uji tes Covid-19. diklaim, fitur ini dimanfaatkan oleh 200 ribu pengguna.

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Dikabarkan Juga Segera “Go Public”, Buka Opsi Melalui SPAC

Traveloka menjadi startup unicorn kedua yang disebutkan segera melantai di bursa saham. Kali ini mereka lebih terbuka mengungkapkan mempertimbangkan penggunaan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) di proses go public-nya. Tidak disebutkan siapa mitra potensialnya, tapi hal ini memastikan Bursa Saham New York menjadi tujuan utama.

Seperti diberitakan Reuters, President Traveloka Henry Hendrawan menyebutkan perusahaan cek kosong SPAC sebagai salah satu opsi yang dievaluasi perusahaan. Henry mengklaim pihaknya telah didekati beberapa SPAC untuk proses ini.

Disebutkan Traveloka sedang mempertimbangkan opsi IPO atau SPAC dan mencari kapitalisasi pasar $5-6 miliar (70-85 triliun Rupiah). Tahun ini Traveloka telah mendapatkan pendanaan $250 juta (3,6 triliun Rupiah) dari sejumlah investor. Opsi SPAC saat ini dianggap memberikan proses go public yang lebih mudah dan cepat ketimbang IPO.

Sebagai startup OTA, Traveloka termasuk pihak yang terkena dampak paling besar selama pandemi. Perusahaan sempat melakukan pengurangan pegawai sepanjang tahun ini, tetapi mereka yakin bisa kembali ke jalur profit tahun  depan dengan fokus perjalanan domestik. Tak hanya di Indonesia, Traveloka juga beroperasi di 5 negara Asia Tenggara lainnya.

Sebelumnya Tokopedia dikabarkan menjajaki potensi go public dengan SPAC Bridgetown Holdings sebagai salah satu opsi mitra. Perusahaan mengonfirmasi telah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai penasihat.

Sumber DailySocial memberikan sinyalemen bahwa kedua proses go public ini bakal dilaksanakan dalam waktu dekat untuk memberikan kesempatan exit bagi para investornya yang telah mendukung perusahaan selama 8-10 tahun terakhir.

Application Information Will Show Up Here

RedDoorz Umumkan Perubahan Strategi, Masuk ke Bisnis Properti Lewat “Sans Hotel”

Platform pemesanan hotel online RedDoorz mengumumkan rencana perubahan strategi bisnisnya untuk menjadi perusahaan new-age hospitality terbesar di Asia Tenggara. Salah satunya strategi utama perusahaan adalah membangun merek hotel baru “Sans Hotel” yang bakal hadir pertama kali pada November ini.

Sans Hotel membidik pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design-inspired, dan warmth dengan memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Apalagi, data BPS mencatat populasi usia produktif (15-64 tahun) diestimasi mencapai 179,1 juta orang pada 2020, 63,5 juta berasal dari kalangan milenial. Ini menjadikan milenial sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor pariwisata.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, VP Operations RedDoorz Adil Mubarak mengatakan bahwa rencana untuk menjadi platform multibrand sudah dipertimbangkan sejak lama, bahkan sebelum terjadi Covid-19. Ini merupakan visi baru perusahaan untuk menjadi ekosistem produk yang mendukung kebutuhan dari setiap merek.

“Saat ini, finansial kami berada dalam posisi baik, terutama dalam mengeksekusi perubahan strategi kami dan meluncurkan Sans Hotel. Sejak hari pertama, kami fokus untuk membangun bisnis dengan fundamental keuangan yang kuat karena memungkinkan kami berpikir konkret terhadap fase pertumbuhan berikutnya,” jelasnya.

Adil menyadari bahwa industri pariwisata dan hospitality terpukul hebat akibat pandemi, tak terkecuali bisnis RedDoorz yang terdampak sejak Maret 2020. Kendati demikian, ia memastikan bahwa pihaknya tetap memperhitungkan secara matang segala hal termasuk biaya yang akan dikeluarkan meski masuk ke lini bisnis baru di masa pandemi ini.

“Di kuartal ketiga ini, kami mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Hal inilah yang memastikan kami bisa keluar dari badai pandemi ini dan muncul dengan langkah yang tepat. Kami menantikan fase pemulihan,” tambah Adil.

RedDoorz mencatat, di sepanjang Maret-Oktober 2020 layanan pemesanan kamar di platformnya naik sebesar 80 persen, sedangkan layanan hunian meningkat hingga 50 persen. Mengutip laporan STR Hotel Database, RedDoorz menyebut pencapaian di periode tersebut terbilang di atas rata-rata dari total okupansi nasional yang hanya 36 persen.

Menurut Adil, RedDoorz kini sedang mempersiapkan beberapa properti yang akan menjadi Sans Hotel. Untuk tahap awal, RedDoorz menargetkan pembangunan lima Sans Hotel di area Jabodetabek hingga akhir 2020.

“Kami ingin meng-cater semua kebutuhan travel semua kalangan. Bukan berarti mitra-mitra hotel kami belum cukup, tetapi kehadiran Sans Hotel akan memberikan nuansa berbeda bagi pasar milenial dan gen Z,” tuturnya.

Pihaknya optimistis industri pariwisata dan hospitality segera pulih meski masih di situasi pandemi. Alasannya, laporan terbaru McKinsey terkait industri pariwisata menyebutkan bahwa ada tren permintaan laten untuk traveling seiring dengan larangan berlibur dihapus. Bahkan masyarakat diprediksi bakal melakukannya sebelum vaksin Covid-19 tersedia.

Selain itu, mengutip riset dari Blackbox dan Dynata, Adil mengungkapkan bahwa sebanyak 44 persen dari responden saat ini lebih memilih melakukan perjalanan domestik ketimbang internasional karena faktor kesehatan dan keamanan. Artinya, pariwisata domestik diperkirakan bakal semakin diminati.

Peluncuran Sans Hotel diharapkan dapat memperkuat strategi RedDoorz menjadi platform multibrand hospitality. Terutama setelah perusahaan meluncurkan layanan co-living KoolKost di awal 2020, platform ini ditargetkan dapat menjadi one-stop platform untuk memenuhi kebutuhan akomodasi.

Application Information Will Show Up Here

Sejumlah Rencana KKday di Indonesia Setelah Pendanaan Seri C

Akhir bulan September lalu, platform penjualan tiket dan paket atraksi wisata KKday merampungkan pendanaan seri C senilai $75 juta. Dipimpin oleh Cool Japan Fund dan National Development Fund. Investor sebelumnya juga terlibat, di antaranya adalah Monk’s Hill Ventures dan MindWorks Capital. Pendanaan baru ini akan digunakan oleh perusahaan yang berkantor pusat di Taipei untuk terus mengembangkan bisnis di Asia dan global. Pengembangan platform Rezio lebih lanjut juga masuk dalam rencana perusahaan.

Di Indonesia sendiri saat ini KKday telah memiliki lebih dari 300 produk. Perusahaan melihat peluang yang besar untuk melakukan ekspansi ke berbagai kota dan destinasi wisata di Indonesia. Selain membawa pengunjung dari luar ke Indonesia, KKday juga sedang mengembangkan produk yang melayani penduduk lokal Indonesia. Misalnya, bekerja sama dengan Majestic Ferry untuk menyediakan paket khusus bagi masyarakat Indonesia.

“Kami akan terus memperluas tim dan operasi kami di Jepang, Korea, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kami juga akan fokus membangun ekosistem pemasok atau penyedia aktivitas kami dan membantu mereka digitalisasi karena itu akan memberikan pengalaman terbaik bagi pengguna akhir – pelancong. Kami juga akan terus mengoptimalkan layanan kami dan menciptakan pengalaman unik bagi wisatawan di platform kami,” kata Co-founder & COO KKday Weichun Liu.

Luncurkan platform booking management “Rezio”

Kondisi pandemi yang berkepanjangan ternyata tidak menyurutkan inovasi KKday. Menyesuaikan perubahan dan kebiasaan baru wisatawan, KKday meluncurkan Rezio sebagai platform all-in-one booking management, yang bisa dimanfaatkan oleh operator travel dan penyedia wisata aktivitas/atraksi secara global.

Platform ini diklaim mampu mengurangi biaya operasional dan meningkatkan efisiensi bagi penyedia. Beberapa layanan yang bisa dimanfaatkan di antaranya adalah, pengaturan sederhana untuk online store, manajemen inventaris secara real-time di berbagai kanal pemesanan, voucher khusus untuk berbagai skenario pemesanan, dan integrasi dengan gateway pembayaran lokal.

“Semua fitur juga dapat diakses di perangkat seluler, yang memungkinkan penyedia perjalanan dan atraksi untuk mengelola pemesanan di mana saja, agar bisa fokus untuk memberikan pengalaman pelanggan terbaik,” kata Weichun.

Covid-19 telah mempercepat digitalisasi untuk industri perjalanan. Kondisi tersebut telah mendorong KKday untuk berinovasi dan bekerja lebih dekat dengan penyedia perjalanan untuk mendukung bisnis mereka. Pandemi telah mendorong banyak penyedia layanan untuk beradaptasi, berinovasi, dan berinvestasi dalam teknologi agar bisa bertahan.

“Ke depannya travelling akan berbeda karena perilaku konsumen bergeser menjadi lebih digital dengan cepat. Wisatawan lebih cenderung mengambil pendekatan hati-hati dan akan lebih memperhatikan kebersihan saat melakukan tur kelompok. Kami juga melihat rebound yang kuat untuk perjalanan domestik dan experiences di Jepang, Korea, Taiwan dan Hong Kong. Wisatawan mencari kegiatan lokal baik itu glamping atau island hopping, yang diprediksi sebagai pengganti yang baik untuk outbound travel,” kata Weichun.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Pertumbuhan RoomMe dengan Digitalkan Seluruh Proses Bisnis

Bertujuan untuk memudahkan pengguna, startup manajemen indekos RoomMe telah menyematkan teknologi secara menyeluruh di platformnya. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO RoomME Glen Ramersan mengungkapkan, tahun ini layanan yang diusung telah sepenuhnya digital. Di tahun-tahun sebelumnya, RoomMe memanfaatkan teknologi untuk membantu merampingkan pengoperasian harian rumah kos.

“Platform RoomMe membantu pemilik indekos untuk menstandardisasi operasional sehari-hari guna memastikan transparansi dan keandalan, mulai dari manajemen reservasi, proses check-in/out, revenue management, penjadwalan housekeeping, dan banyak lagi,” kata Glen.

RoomMe juga telah memperluas cakupan platformnya, mendigitalkan proses secara end-to-end. Pengguna sekarang dapat memilih kamar sesuai keinginan mereka dan memesannya melalui situs, aplikasi, hingga langsung di tempat. Pengguna akan menikmati pengalaman digital menyeluruh, mulai dari proses check-in, stay extensions, bergabung dengan komunitas, mengirimkan permintaan/pertanyaan, check-out, dan memberikan ulasan unit.

Cara ini yang diklaim membedakan RoomMe dengan platform serupa lainnya. Dalam liputan #DStour, proses tersebut diperlihatkan oleh tim RoomMe saat menggunakan aplikasi. Hanya dengan melakukan proses scan QR Code, kegiatan mencari, melakukan kunjungan, hingga pembayaran semua bisa dilakukan melalui aplikasi. Hingga kini perusahaan telah memiliki hampir 10 ribu unit kamar dan 500 ribu monthly active user (MAU).

Di Indonesia, sudah ada beberapa pemain serupa. Menyajikan daftar indekos di berbagai kota-kota di Indonesia. Salah satunya adalah Mamikos. Startup yang telah berdiri sejak tahun 2015 tersebut, terakhir kali diwawancara DailySocial pada November 2019, mengaku telah mengakomodasi 110 ribu pemilik indekos di berbagai kota di Indonesia dengan 8 juta pengguna. Sama dengan RoomMe, Mamikos juga membantu pemilik properti untuk menstandardisasi unitnya.

Rencana dan target bisnis

Tahun 2019 lalu RoomME telah berhasil mengantongi pendanaan Seri A dengan nilai yang dirahasiakan, dipimpin oleh BAce Capital. Dua investor sebelumnya, Vertex Ventures dan KK Fund turut berpartisipasi dalam putaran ini. Tahun ini RoomMe tidak memiliki rencana untuk melanjutkan tahapan penggalangan dana.

“Untuk rencana penggalangan dana kami belum memiliki rencana yang pasti, mungkin tahun depan, no specific timeline yet,” kata Glen.

Saat ini RoomMe telah memperluas jangkauan wilayah bukan hanya di Jabodetabek, namun juga sudah mencapai ke Karawang, Bandung, dan Yogyakarta. Masih memiliki target yang ingin dicapai, pandemi yang berlangsung telah menghambat rencana mereka dan tentunya mempengaruhi bisnis. Namun perusahaan masih melihat sisi positif agar bisnis bisa terus berjalan.

“Saya pikir situasi pandemi ini telah mempengaruhi semua bisnis, sebagian positif dan sebagian tidak. Untungnya bagi kami, situasi ini telah menyoroti perlu adanya peningkatan standar layanan, seperti yang telah kami lakukan selama beberapa tahun terakhir. Kami melihat lebih sedikit pertumbuhan penyewa baru, tetapi kami mengalami lonjakan perpanjangan masa inap (stay extensions) dan peningkatan jumlah penyewa yang ingin tinggal lebih lama,” kata Glen.

Application Information Will Show Up Here

Izy Mungkinkan Pemilik Hotel Hadirkan Layanan “On-Demand” untuk Pengunjung

Digitalisasi layanan di sektor akomodasi sudah hampir meliputi hulu hingga hilirnya. Pemesanan kamar sampai penyampaian kepuasan tamu sudah bisa dilakukan melalui sebuah gawai. Justru saat ini layanan di dalam hotel itu sendiri yang acapkali masih konvensional.

Izy adalah startup yang melihat celah tersebut sebagai peluang bisnis. Startup ini didirikan pada 2018 oleh tiga orang yakni Gerry Mangentang, Mahesa Al Rasyid, dan Gustaf Loho. Gerry yang berlaku sebagai CEO menjelaskan bahwa Izy merupakan platform mobile concierge yang membantu hotel dalam mendigitalkan layanan dan meningkatkan pendapatannya.

Misal ada sebuah hotel tak memiliki restoran sendiri, Izy akan menghubungkan hotel itu ke restoran-restoran di dekatnya. Alhasil tamu hotel tetap bisa mencari makan tanpa meninggalkan kamar. Platform ini tak hanya membantu hotel dalam pemesanan makanan, bisa juga layanan binatu, room service, dan lainnya sesuai kebutuhan hotel.

“Oleh klien kami, Izy ini dilihat jadi semacam Gojek-nya. Tamu masuk, tinggal check in ke sistem hotel lalu mereka tinggal pesan apa saja dari sana,” jelas Gerry kepada DailySocial.

Model bisnis

Gambaran aplikasi Izy
Gambaran aplikasi Izy

Sebanyak 82 hotel kini sudah menggunakan platform Izy. Mayoritas di antara hotel tersebut bermukim di Bali, sisanya tersebar di Jabodetabek, Medan, Balikpapan, dan Samarinda. Kebanyakan hotel yang memakai jasa Izy adalah hotel luxury & leisure. Gerry menyebut angka itu segera bertambah seiring kesepakatan baru yang mereka raih dengan sejumlah hotel.

Meski begitu Gerry mengatakan, pihaknya tak eksklusif menyasar segmen tersebut. Pasalnya platform Izy dapat disesuaikan dengan kebutuhan hotel di segala kelas.

Adapun model bisnis yang Izy pakai adalah sistem berlangganan bulanan. Namun sistem itu juga fleksibel karena ada juga yang memakai sistem kombinasi dengan tarif datar atau bagi hasil. Startup lulusan Gojek Xcelerate ini meyakini dapat meraup pelanggan yang besar. Selain karena adopsi teknologi pihak hotel yang relatif lambat, juga karena banyaknya jumlah hotel dan penginapan di seluruh Indonesia. Dari sisi kompetisi pun masih minim pesaing dari lokal.

“Di market Indonesia kompetitor kita dari luar negeri semua. Tapi itu jadi kelebihan kita juga karena hotel-hotel yang ikut dengan kami prefer yang sama-sama dari Indonesia,” terang Gerry.

Efek pandemi

Industri perhotelan dan akomodasi sejak awal jadi salah satu industri paling parah terkena dampak Covid-19, tak terkecuali Izy. Gerry mengaku pendapatan Izy turun cukup seret akibat pandemi ini.

Namun di saat bersamaan tingkat respons hotel dalam menerima ajakan bergabung Izy jadi jauh lebih cepat. Dorongan untuk efisiensi dan mencari pos pendapatan baru memaksa hotel lebih cepat melirik solusi Izy. Padahal menurut Gerry pihaknya sudah menghentikan kegiatan marketing guna menekan pengeluaran perusahaan.

Menghadapi situasi paceklik ini, pendanaan jadi salah satu solusi untuk memperpanjang nafas. Izy juga mengambil langkah itu. Gerry mengungkapkan mereka baru saja meraih pendanaan awal dari sejumlah investor untuk nominal yang tak bisa disebutkan.

“Yang berpartisipasi itu ada Indigo Telkom, Arkblu Capital, dan Accelerating Asia Ventures,” imbuhnya.

Antisipasi lebih jauh

Jumlah kasus Covid-19 yang bertambah eksponensial sampai hari ini jelas membebani Izy. Namun Gerry mengatakan sudah merancang strategi anyar untuk mengantisipasi keadaan terburuk, salah satunya dengan pivot yang sifatnya sementara.

Gerry mengakui situasi sekarang mengharuskan mereka tidak mengandalkan hotel sebagai satu-satunya sumber pemasukan. Oleh sebabnya mereka berencana menyasar gerai ritel modern dan permukiman residensial sebagai pasar baru.

“Kita ini platform on demand, kalau dengan ritel ini kita bisa dianggap light e-commerce-lah, tapi untuk mall dan ritel. Fokusnya akan ada di Jakarta, Bandung dan Bali,” pungkas Gerry.

Application Information Will Show Up Here

Online Travel Platforms Remain Optimistic, Offering Staycation as Priority

Tourism is one of the many industries affected by the pandemic. In the first period, they struggled to serve the refund of its users. Currently, they are preparing to face a new wave of shifting habits starting with domestic tourists.

In the States, based on “Travel Sentiment Study Wave 11” data compiled by Longwoods International and Miles Partnership, 45% of respondents decided to derail their entire travel plans. The rest (55%) decide to make adjustments, including reducing travel plans, changing destinations that can be reached by car, or changing international travel plans to domestic areas.

Changes in travel plan patterns also occur in various countries. One that can be adopted is to re-empower local tourism.

Two local OTA players share their preparations for the new life order. They are ready to welcome users who have been at home for a long time with all the strategies and services that have been adjusted.

Pegipegi’s Corporate Communications Manager. Busyra Oryza explained, in order to recover, it’ll take the travel industry a long time. Nevertheless, it is optimistic that tourism will rise.

“To date, we find that the staycation trend is getting popular. In order to accommodate it easier for customers who want to release fatigue after undergoing quarantine for months, we present a flash sale program with hotel discounts up to 50% during not this July,” Busyra explained.

While Ticket also began to introduce several services to keep loyal users.

The first is the Tiket Clean containing Ticket’s commitment with partners to work together in the standardization of health and hygiene protocols issued by officials, such as WHO.

Tickets also extend the validity period of Tix Points. Those points that should expire between April-June will be extended to December 2020.

“Prioritizing assistance, rescheduling, and refund from customers. We consider this to be an asset investment in the future by prioritizing services to customers,” Ticket team said.

What has changed during the pandemic

Pandemic does not only affect Indonesia. All over the world is chaotic due to the prohibition of many economic activities. In China, there have been changes in the pattern of the travel agent industry.

Chinese local media reported that around 10,000 travel agencies decided to close their businesses at the end of March. The estimated decline in revenue from the tourism industry is estimated at $ 420 billion.

In Indonesia, the pandemic is making a run for the Airy business. Finally, one of the players in the budget hotel sector decided to close the service.

The McKinsey report titled “Hitting the road again: How Chinese travelers are thinking about their first trip after COVID-19” with 1600 respondents highlighting various things about travel after the pandemic.

One of the highlights in the report is domestic travel which is 55% of respondents interested. The pattern of travelers in the United States and China tends to be the same. Most choose to stay on vacation with caution.

Tiket and Pegipegi agree that the staycation trend is predicted to increase. The need for holidays and a pandemic situation that is yet to cease soon make people look for solutions. One answer is a vacation closer to home.

Nevertheless, the travel industry has certainly no longer the same. Some things have changed. One thing for sure is the health protocol. Ticket joins Antis to provide sanitizing kit equipment for those who use the Tiket Clean  service.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform “Online Travel” Mencoba Tetap Optimis, Bidik “Staycation” Sebagai Prioritas

Pariwisata adalah satu dari banyak industri yang terdampak pandemi cukup hebat. Di periode pertama mereka susah payah melayani refund para penggunanya. Kini mereka tengah bersiap untuk menghadapi gelombang kebiasaan baru yang tampaknya akan dimulai dengan turis domestik.

Di Amerika Serikat, berdasarkan data “Travel Stentiment Study Wave 11” yang disusun Longwoods International dan Miles Partnership, sebanyak 45% responden memutuskan menggagalkan seluruh rencana perjalanan mereka. Sisanya (55%) memutuskan melakukan penyesuaian, termasuk mengurangi rencana perjalanan, mengubah destinasi yang bisa ditempuh dengan mobil, atau mengubah rencana perjalanan internasional ke wilayah domestik.

Perubahan pola rencana perjalanan juga terjadi di berbagai negara. Salah satu yang bisa diadopsi adalah memberdayakan kembali pariwisata lokal.

Dua pemain OTA lokal berbagi persiapan mereka menghadapi tatanan kehidupan baru. Mereka bersiap menyambut pengguna yang sudah lama berada di rumah dengan segenap strategi dan layanan yang sudah disesuaikan.

Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza menjelaskan, untuk pulih seperti sedia kala industri travel membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kendati demikian pihaknya optimis pariwisata akan bangkit.

“Saat ini kami melihat tren staycation kembali meningkat.  Untuk semakin memudahkan pelanggan yang ingin melepas penat setelah menjalani karantina berbulan-bulan, kami menghadirkan program flash sale dengan diskon hotel s/d 50% selama bukan Juli ini,” terang Busyra.

Sementara Tiket juga mulai memperkenalkan beberapa layanan untuk menjaga pengguna setia.

Yang pertama adalah Tiket Clean yang berisi komitmen Tiket dan partner untuk bekerja sama dalam pemenuhan standarisasi protokol kesehatan dan kebersihan yang dikeluarkan badan resmi seperti WHO.

Tiket juga memperpanjang masa berlaku Tix Point. Mereka yang masa berlaku seharusnya hangus di antara bulan April-Juni akan diperpanjang hingga Desember 2020.

“Memprioritaskan layanan permintaan bantuan, lonjakan reschedule dan refund dari customer. Hal tersebut kami anggap sebagai investasi aset di kemudian hari dengan mengedepankan layanan kepada pelanggan,” terang pihak Tiket.

Yang berubah di masa pandemi

Pandemi tak hanya berdampak di Indonesia. Hampir seluruh dunia dibuat kalang-kabut karena banyak kegiatan ekonomi berhenti. Di Tiongkok, perubahan pola industri travel agent sudah terlihat.

Media lokal Tiongkok melaporkan kurang lebih ada 10.000 agensi travel yang memutuskan untuk menutup bisnisnya akhir Maret kemarin. Estimasi penurunan pemasukan dari industri pariwisata diperkirakan mencapai $420 miliar.

Di Indonesia sendiri pandemi membuat pontang-panting bisnis Airy. Akhirnya salah satu pemain di sektor hotel budget itu memutuskan untuk menutup layanan.

Laporan McKinsey bertajuk “Hitting the road again: How Chinese travelers are thinking about their first trip after COVID-19” dengan 1600 responden menyoroti berbagai hal mengenai perjalanan setelah pandemi.

Salah satu sorotan yang ada di laporan tersebut adalah perjalanan domestik yang diminati 55% responden. Pola para traveler di Amerika Serikat dan Tiongkok ini cenderung sama. Kebanyakan memiih tetap berlibur dengan waspada.

Tiket dan Pegipegi sepakat tren staycation diprediksi akan meningkat. Kebutuhan akan liburan dan situasi pandemi yang tak kunjung reda membuat masyarakat mencari solusi. Salah satu jawabannya adalah liburan yang tak jauh dari rumah.

Kendati demikian, industri travel sudah dipastikan tak lagi sama. Ada beberapa hal yang berubah. Satu yang pasti adalah protokol kesehatan. Tiket menggandeng Antis untuk memberikan perlengkapan sanitizing kit untuk mereka yang menggunakan layanan Tiket Clean.

Traveloka Announces New Funding Worth of 3.6 Trillion Rupiah

Traveloka, today (7/28) announced the latest funding worth of US$250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. There are no further details on who participated, but EV Growth is one of the previous investors confirmed to be involved in this round. This investment is to focus on build up the company’s balance sheet while strengthening several product lines amid the Covid-19 pandemic.

This funding is previously reported by several media since early July 2020. Rumor has it that some investors, including Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, and East Ventures, mentioned involved in the final stage of negotiations for Traveloka’s follow-on funding. Reuters also says the Qatar Investment Authority (QIA) is leading the current round.

In this round, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round action was taken due to the company’s business struggle by Covid-19 and the declining traction.

“This is a major crisis in the current time, both in terms of finance and humanity. This situation is a form of re-adjustment that forces business people to rethink their plans, strategies, and business models. The travel industry is experiencing hard times that have never happened before, including Traveloka. The management team has made quite difficult efforts, including restructuring and optimization, to minimize the financial risks. We are confident that Traveloka will rise again stronger after going through this crisis,” Willson Cuaca said as Managing Partner EV Growth involved in this round.

Hardships during Covid-19 pandemic

Covid-19 has brought the OTA business experience a difficult challenge. Public transportation freeze, various destinations are closed; transactions declined. For Traveloka and many other OTA players, this has been the worst condition in their history.

Traveloka’s partners in the transportation, accommodation, activities, and restaurant sector also having some difficulty. In terms of transportation, consumer demand dropped dramatically while demand for refunds jumped significantly; the hotel business experienced the lowest occupancy rate ever; lifestyle partners in domestic and regional and restaurant partners must temporarily close their business operations.

“It can’t be denied that Traveloka is very affected by the Covid-19 pandemic. Our business is at its lowest point since we first started. However, we always believe that Traveloka will bounce back with the rapid adjustment of business strategies, working together with industry partners and other stakeholders, and continue to deliver innovative products to users as our main focus,” Traveloka’s Co-founder and CEO, Ferry Unardi said.

Struggling for business sustainability

In order to sustain, Traveloka applied some steps to optimize business, make savings, and refocus to prepare strategies to welcome the new normal. In Indonesia and Vietnam, for example, Traveloka finds the domestic sector, travel or short-range entertainment activities are getting back to normal and restore business, along with the high level of public awareness of pandemics and lifestyle adjustments to the current situation.

Various initiatives were launched to answer consumers’ changing demand, such as the Covid-19 Test service combined with airline tickets, booking hotel vouchers with flexible stays through “Buy Now Stay Later”, the Online Xperience program featuring popular hosts, the Traveloka LIVEstyle live stream program Flash Sale, as well as the Traveloka Clean campaign that allows users to place orders through Traveloka more convenient and secure.

“I am pleased to say that from a business standpoint, we are seeing a gradual recovery in all of our main markets. The Traveloka business in Vietnam has begun to stabilize and is approaching the period before Covid-19, while our business in Thailand is now almost beyond 50% compared to normal situations. “Even though Indonesia and Malaysia are still in the early stages of recovery, both markets continue to show promising momentum with week-to-week progress, especially for the line of accommodation business with the emergence of a short-term vacation stay or staycation,” Ferry added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here