Ovo Konfirmasi Investasi Seri B di Bareksa Tahun Lalu

Startup marketplace reksa dana Bareksa mengungkapkan, Ovo adalah investor tunggal yang masuk dalam putaran Seri B dengan nilai dirahasiakan. Putaran ini disebutkan telah ditutup pada akhir tahun lalu.

“Ovo adalah investor tunggal di Bareksa untuk pendanaan Seri B. Putaran ini sudah ditutup pada akhir tahun lalu. Sekarang kita fokus sinergi,” terang Co-Founder dan CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra kepada DailySocial, disela-sela pengumuman kemitraan Ovo dan Pegadaian, Rabu (8/1).

Di kesempatan yang sama, Karaniya menegaskan Ovo belum menjadi pemilik mayoritas Bareksa. Pasca aksi korporasi ini, Karaniya didapuk sebagai Presiden Direktur Ovo yang diumumkan pada September 2019.

Sejak beroperasi lima tahun lalu, Bareksa baru melakukan dua kali pendanaan eksternal dan seluruh investor yang masuk adalah perusahaan lokal.

Salah satu sinergi yang akan dilakukan Bareksa bersama Ovo adalah menyediakan produk reksa dana ke dalam aplikasi Ovo, juga menghadirkan Ovo sebagai salah satu opsi pembayaran transaksi reksa dana di aplikasi Bareksa. Karaniya memastikan pengembangan produk ini akan diumumkan dalam waktu dekat.

Di samping itu, Bareksa akan menambah inovasi baru di luar penjualan reksa dana, termasuk penjualan emas online dengan menggaet mitra dan merambah pasar sekunder untuk penjualan ORI. Agen penjualan ORI ini sebagai bentuk dukungan ke pemerintah terhadap kemudahan berinvestasi di pasar modal.

“Kami juga sedang develop robo advisor dan memperbarui tampilan aplikasi. Harapannya semua akan kami luncurkan secara bersamaan sekitar Maret atau April tahun ini.”

Terkait penjualan obligasi korporasi, Karaniya menjelaskan langkah belum dilaksanakan perusahaan karena mereka harus mendaftar sebagai perusahaan efek non anggota bursa. Sebelumnya, Bareksa mengumumkan kerja sama dengan FIF untuk menjaring investor dari kalangan ritel.

“Belum bisa kita lakukan karena regulasinya soal itu masih dibicarakan di OJK dan belum memungkinkan, sehingga kami masih diskusi. Kita harus apply izin baru sebagai perusahaan efek non anggota bursa.”

Diklaim Bareksa mencatat pertumbuhan dana kelolaan hingga 400% sepanjang tahun lalu. Total dana masyarakat yg diinvestasikan di Bareksa sejak 2016 berkisar Rp5 triliun. Sementara, bila dilihat dari AUM per Desember 2019 saja, mencapai hampir Rp2 triliun. Terdapat ratusan produk reksa dana yang disediakan puluhan manajer investasi dijual melalui Bareksa.

Kinerja dan kerja sama Ovo dan Pegadaian

Ovo menjadi salah satu mitra baru Pegadaian, bersama perusahaan lainnya yang serentak diumumkan / Ovo
Ovo menjadi salah satu mitra baru Pegadaian, bersama perusahaan lainnya yang serentak diumumkan / Ovo

Karaniya, yang juga Presiden Direktur Ovo, menerangkan sepanjang tahun lalu perusahaan telah memroses satu miliar transaksi secara real time, dengan peningkatan jumlah transaksi lebih dari 70%.

Nilai transaksi mengalami kenaikan hingga 55% dan jumlah pengguna aktif bulanan naik lebih dari 40% dengan angka sekitar 11-12 juta pengguna. Dari seluruh pengguna Ovo, sekitar 28% di antaranya adalah nasabah underbanked alias mereka yang sudah mendapat akses produk finansial tapi masih terbatas.

Dalam meningkatkan penetrasinya ke pelosok Indonesia, perusahaan bekerja sama dengan Pegadaian. Untuk tahap awal, di outlet Pegadaian tersedia agen untuk mempermudah proses pendaftaran, registrasi, dan upgrade Ovo. Nantinya dibutuhkan untuk pencairan (disbursement) dari hasil gadai, cash in, dan cash out.

Kerja sama berikutnya yang segera dikembangkan yaitu Multi Payment Online (MPO). Ini adalah layanan pembayaran berbagai tagihan bulanan, pembelian pulsa, tiket, premi BPJS, melalui outlet Pegadaian. Perseroan sendiri memiliki 4.148 outlet dan 13,4 juta nasabah tersebar di seluruh Indonesia.

“Kerja sama dengan Ovo akan meningkatkan akses nasabah Pegadaian ke dalam ekosistem keuangan digital nasional yang terus berkembang. Pegadaian perlu memastikan pemerataan akses terhadap sistem pembayaran modern yang terintegrasi, aman, nyaman, serta akuntabel,” ucap Direktur Utama Pegadaian Kuswiyoto.

Application Information Will Show Up Here

Kaleidoskop Industri Fintech Pembayaran dan Lending Selama Tahun 2019

Dinamika perjalanan startup fintech terus menggeliat hingga tahun ini, terutama untuk dua industri fintech terbesar, yakni pembayaran dan lending. Masih tajamnya jumlah underbanked dan unbanked masih menjadi optimisme pemain fintech untuk terus bergerak maju.

Berbekal laporan e-Conomy SEA 2019, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%. Sementara, secara umum, 75% penduduk di Asia Tenggara masuk kategori underbanked dan unbanked. Mereka ini kurang terlayani karena berbagai alasan, salah satunya infrastruktur dan regulasi yang ketat.

Satu data ini menjadi pendukung bahwa baik di Indonesia, maupun negara lain di ASEAN punya peluang yang besar untuk menggarap lini pembayaran dan lending. Maka, tak heran, bila pada tahun ini ada sejumlah pemain lending yang ekspansi ke luar Indonesia.

Investasi terbesar dipegang oleh sektor fintech

Menurut laporan DSResearch, tercatat ada 110 investasi yang diumumkan startup dan/atau investor per 18 Desember 2019. Dari jumlah ini, fintech mendapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, disusul SaaS (9), e-commerce (8), dan logistik (6).

Bila dijabar lebih dalam, mengutip dari Fintech Report 2019, pendanaan untuk startup fintech lending dengan tahap tertinggi adalah Akulaku yang memperoleh pendanaan Seri D sebesar $100 juta dipimpin Ant Financial.

Kemudian menyusul kompetitor terdekatnya, Kredivo dengan pendanaan Seri C senilai $90 juta (lebih dari Rp1,2 triliun) dipimpin Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund dan Square Peg.

Berikutnya untuk Seri B, terdapat Investree, Amartha, KoinWorks, dan UangTeman. Besar kemungkinan perusahaan ini akan kembali menggalang dana untuk tahun depan, seperti halnya Investree yang sudah sesumbar sedang dalam penggalangan Seri C untuk ekspansi regional tahun depan.

Bagaimana dengan fintech pembayaran? Menurut laporan kami, dari 23 transaksi, hanya ada satu pendanaan yang masuk ke vertikal fintech ini, yakni Aino. Startup ini memperoleh pendanaan tahap awal sebesar $4 juta dari TIS.

Mereka bergerak di bidang platform pembayaran non tunai dengan menggunakan uang elektronik di sektor publik, seperti tiket transportasi, bayar parkir, tol, vending machine, hingga tiket wahana wisata.

Ekspansi ke negara ASEAN

Kembali ke premis awal, baik Indonesia maupun negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura, punya potensi yang besar untuk menggalakkan bisnis lending dan pembayaran.

Indonesia selalu menjadi benchmark suatu perusahaan, bila sukses menjadi pemain terdepan di sini, artinya ada optimisme yang tinggi ketika ekspansi ke negara lain. Mereplikasinya lalu menyesuaikan dengan unsur lokalisasi yang berlaku di negara tersebut.

Keyakinan inilah yang membuat pemain lending yakin untuk ekspansi ke negara tetangga. Diantaranya adalah Kredivo dan Investree. Kredivo berencana untuk masuk ke Filipina pada tahun ini. Wacana ini kembali menyeruak, setelah pending sejak pertama kali sesumbar di 2018.

Sementara, Investree akan melanjutkan ekspansinya ke Filipina, setelah sukses hadir di Thailand dan Vietnam. Di Vietnam, Investree hadir dengan brand eLoan. Sementara di Thailand tetap dengan brand Investree Thailand. Model bisnis yang ditawarkan kurang lebih mirip dengan Indonesia, pembiayaan invoice dan modal usaha.

Pemain lainnya adalah Kredit Pintar yang masuk ke pasar Filipina dengan brand Atome. Layanan yang disajikan juga kurang lebih sama yakni payday loan dengan nominal dari Rp270 ribu sampai Rp2,7 juta.

Kolaborasi incar vertikal fintech yang lain

Pergerakan vertikal fintech, berkat teknologi, tidak harus melulu menyediakan satu lini produk saja. Sebabnya, kebutuhan finansial seorang manusia itu selalu berkembang.

Jalur pertama masuk ke layanan finansial adalah melalui e-wallet ketika ia hanya punya smartphone, tapi tidak punya rekening bank (unbanked). Semakin ia terbiasa transaksi non tunai, di tambah hadirnya asumsi bahwa ekonominya meningkat.

Disitulah muncul kebutuhan produk pinjaman payday loan, mengingat mereka belum masuk sebagai nasabah bank. Bila mereka adalah pengusaha, maka ada kebutuhan pinjaman untuk mengembangkan usahanya.

Semakin terbentuklah skoring kredit yang bisa dipakai untuk menentukan kualitas finansial seseorang. Di saat yang sama, mereka bisa masuk sebagai nasabah bank untuk menerima fasilitas finansial lebih dalam, atau bisa membeli produk asuransi, dan mulai berinvestasi.

Logika inilah yang melatarbelakangi perkembangan produk fintech, terlihat dari pergerakan para pemain fintech pembayaran dari awal hingga kini. Ovo segera menghadirkan produk reksa dana, bekerja sama secara strategis, sekaligus menunjuk CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra sebagai Presiden Direktur Ovo.

Karaniya Dharmasaputra
Co-Founder CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra yang kini jadi Presdir Ovo

Di saat yang bersamaan, Ovo merilis dua produk turunan lending bersama Taralite, portofolio di bidang lending, untuk menyasar pinjaman produktif untuk pengusaha dan payday loan untuk mitra GrabCar. Vertikal bisnis Ovo diperluas untuk bisnis big data dengan membuat smart vending machine “Ovo SmartCube.”

Perusahaan bersama Tokopedia pada awal tahun ini merilis Ovo PayLater untuk memudahkan transaksi dalam platform tanpa harus memiliki kartu kredit.

Kompetitor terdekatnya, GoPay perluas fungsinya tidak hanya mendukung seluruh layanan dalam ekosistem Gojek saja. Kini menyentuh berbagai fasilitas baik di sektor publik, hadir sebagai salah satu opsi pembayaran di Samsung Pay bersama Dana.

Tak lupa, bermitra dengan pemain global lainnya seperti Boku dari Inggris, membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia untuk menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Saldo GoPay kini mendukung untuk pembelian reksa dana di aplikasi Bibit atau beli emas lewat Pluang. Untuk produk lending, GoPay memanfaatkan Findaya dalam merilis PayLater pada tahun lalu.

Pluang juga menjadi mitra untuk salah satu produk di Bukalapak yakni Cicil Emas, dalam rangka memperkuat jajaran produk finansial sebelumnya BukaEmas dan BukaReksa.

Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik
Polda Metro Jaya menggandeng GoPay sebagai mitra pembayaran non tunai untuk pembuatan dan perpanjangan SIM. Memperdalam penetrasi GoPay di layanan publik

Rumor terpanas yang terjadi tahun ini adalah konsolidasi Dana dan Ovo untuk mengalahkan dominasi GoPay. Dikatakan selambat-lambatnya pada kuartal pertama tahun depan rampung. Kedua belah pihak kompak tidak mau berkomentar terkait rumor yang beredar.

Pemain pembayaran berikutnya ada LinkAja yang agresif merilis berbagai produk, seperti syariah, produk PayLater kerja sama dengan Kredivo. Terakhir, hadir sebagai alternatif metode pembayaran di aplikasi Gojek dan Grab, yang sebelumnya dimonopoli oleh GoPay dan Ovo.

LinkAja memperkuat kehadirannya di jaringan publik milik negara, misalnya untuk Commuter Line dan dalam waktu dekat segera hadir di MRT Jakarta.

Dari sisi pemain lending, semakin banyak yang tertarik sebagai agen penjualan SBN agar memberikan nilai tambah buat para investor. Di samping itu, platform mereka juga dijadikan sebagai channel penjualan produk asuransi. Seperti yang dilakukan oleh Tanamduit dengan Premiro.

Peluang e-commerce dan merchant online-nya tidak menyurutkan incaran para pemain lending untuk bermitra dengan platform marketplace. Seperti yang dilakukan Modalku untuk Tokopedia yang merilis produk Modal Toko.

Catatan fintech lending, belajar dari Tiongkok

Sebelum mengawali kaleidoskop, Indonesia boleh bernafas lega karena regulatornya yang aktif mengawal perkembangan fintech karena belajar dari negara lain. Tiongkok menjadi contoh negara yang memiliki bahan ajar terbaik untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, sekaligus patut diwaspadai gerak geriknya.

Tahun ini menjadi senjakala untuk industri p2p lending di Tiongkok. Regulator memerintahkan kepada seluruh pemain p2p lending untuk transisi jadi penyedia pinjaman kecil dalam dua tahun mendatang.

Mereka harus memenuhi syarat modal minimal tidak kurang dari RMB 50 juta (hampir Rp100 miliar) untuk menjadi perusahaan pinjaman kecil regional. Sementara untuk operasi nasional, nominalnya naik tidak kurang dari RMB 1 miliar (hampir Rp2 triliun).

Di saat yang bersamaan, mereka harus membersihkan pinjaman outstanding dalam waktu kurang dari setahun sebelum beralih ke pinjaman kecil. Platform yang diindikasi fraud dan memiliki risiko kredit serius akan dilarang melakukan transisi dan dipaksa tutup.

Penertiban ekstrem ini diambil karena ingin menghapus praktek shadow banking dan skema ponzi yang dianut para pemain p2p lending ‘nakal’, mengakibatkan gurita skandal.

Bisnis p2p lending di Tiongkok mulai tumbuh sejak 2011 dan sempat mencapai volume penyaluran RMB 1,3 triliun (setara Rp2.644 triliun) pada Juni 2018. Pada puncaknya, ada 50 juta investor tercatat di platform ini tersebar di sekitar 6.200 platform.

Saking menggeliatnya, disebutkan muncul tiga platform baru setiap harinya. Pertimbangan regulator untuk tidak meregulasi secara disengaja dengan harapan lebih mudahnya akses menerima pendanaan buat pengusaha kecil di sana, tapi malah jadi malapetaka.

Tercatat, saat ini hanya 427 platform p2p lending yang beroperasi pada akhir Oktober 2019, menurut data termutakhir dari China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC).

Pengetatan aturan yang ekstrem akhirnya membuat Lufax, salah satu pemain p2p lending terbesar di sana, menyatakan untuk keluar total dari ranah ini dan beralih ke pinjaman komersial biasa di bawah bank.

Lufax berdiri pada 2011, disebutkan pada akhir tahun lalu memiliki dana kelolaan sekitar RMB 370 miliar (setara Rp752 triliun), 80% dana tersebut berasal dari portofolio p2p lending.

Pengalaman mahal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian buat semua stakeholder di industri terkait. Pendekatan yang dilakukan OJK untuk mengatasi isu di Tiongkok agar tidak terjadi di Indonesia, kian hari kian ketat.

Untuk mencegah skema ponzi, OJK menerapkan kewajiban escrow account. Sementara untuk risiko borrower meninggal atau masa sulit, dibuka peluang kerja sama dengan asuransi kredit, atau restrukturisasi hutang.

Terobosan lainnya, OJK menerapkan collection dengan menggunakan jasa collector yang bersertifikasi resmi, memanfaatkan Fintech Data Center dan membatasi akses smartphone konsumen untuk skoring kredit, membatasi tingkat bunga dan penalti tidak boleh melewati pokok, wajib menggunakan digital signature, dan masih banyak lagi.

Pemain yang tidak mematuhi aturan tersebut, jangan harap bisa mendapat izin usaha dari OJK. Terhitung OJK baru memberikan izin untuk 25 pemain p2p dan 119 pemain yang lain tengah dalam proses perizinan.

Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial
Pemberian izin usaha p2p lending untuk 12 pemain dari OJK / DailySocial

Jumlah penambahan izin ini sempat mandeg dari 2017 hanya ada satu, baru terjadi penambahan pada awal 2019 berangsur-angsur hingga menjelang akhir tahun. OJK mengeluarkan sekaligus untuk 12 perusahaan dalam satu waktu.

Bukan tanpa sebab, fintech lending ini melibatkan uang publik sehingga regulator harus berhati-hati dalam memberikan izin. Sejak 2018 sampai November 2019, Satgas Waspada Investasi menemukan 1.898 fintech lending ilegal.

Mereka mencoba tindakan fraud karena ada beberapa server-nya dioperasikan di negara lain. Protocol internet-nya berjalan dinamis, tidak dari satu negara saja yang terdeteksi, melainkan ada dari Amerika Serikat, kemudian berubah ke Tiongkok, dan Eropa.

Selain mengencangkan aturan dari berbagai sisi, bahkan OJK sudah mewacanakan rencana pembatasan pemain lending. Kendati, menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi masih menunggu rekomendasi dari AFPI terkait angka idealnya.

“AFPI belum pernah menyampaikan kepada kami, sebab kalaupun kami mau batasi harus ada dasarnya yaitu dari AFPI sebab mereka yang paling paham, apa sebenarnya kebutuhan dari publik. Tentunya kami akan tunggu usulan mereka,” katanya, Kamis (19/12).

Ovo Perluas Produk Pembiayaan “DanaTara” untuk Merchant Offline

Ovo meresmikan perluasan penggunaan produk pembiayaan DanaTara untuk merchant offline, setelah diperkenalkan ke publik sejak September 2019. Sebelumnya produk ini tersedia untuk merchant online yang bergabung dalam platform e-commerce seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, dan Bukalapak.

Presiden Direktur Ovo Karaniya Dharmasaputra mengatakan, DanaTara adalah solusi pengembangan usaha, pengelolaan arus kas, dan tambahan modal usaha bagi pelaku UKM di Indonesia. Produk ini memberikan akses pembiayaan sampai Rp500 juta dengan status pengajuan yang diproses dalam 2-5 hari kerja dan tenor sampai 12 bulan.

“Solusi ini mendukung kebutuhan UKM untuk memperoleh pembiayaan modal usaha dengan cara yang jauh lebih mudah dan sederhana,” terang Karaniya dalam keterangan resmi.

Karaniya menjelaskan produk DanaTara akan diarahkan untuk menyasar 450 ribu merchant offline yang telah tergabung dalam ekosistem Ovo. Juga potensi usaha offline lainnya yang belum dijamah perusahaan.

Mengutip dari data BPS, kontribusi UKM terhadap PDB Indonesia mencapai 60%, serta menyerap 97,22% tenaga kerja nasional. Namun, kurang dari 15% dari mereka memiliki akses terhadap produk pembiayaan. Rendahnya penetrasi pembiayaan dipengaruhi oleh keterbatasan akses terhadap layanan keuangan serta literasi keuangan yang belum merata.

Meningkatnya adopsi pembayaran digital menjadi prospek pasar yang sepatutnya dapat menjadi momentum pendorong tumbuhnya UKM nasional. Menurut data Bank Indonesia, transaksi uang elektronik hingga September 2019 meningkat hingga 268%.

“Saat ini Ovo sedang melaksanakan implementasi QRIS sesuai arahan Bank Indonesia dan kami percaya bahwa inovasi sistem pembayaran merupakan langkah awal pemanfaatan teknologi bagi perkembangan UKM.”

Sebagai catatan, DanaTara adalah produk turunan yang dirilis Ovo bersama Taralite. Selain itu, terdapat produk Ovo Talangan Siaga yang merupakan pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra pengemudi GrabCar apabila ada keperluan mendadak operasional sehari-harinya.

Nominal pinjamannya mulai dari Rp500 ribu sampai Rp1 juta dengan pilihan tenor 15 atau 30 hari. Biaya keterlambatan per harinya dikenakan Rp2.500.

Application Information Will Show Up Here

CEO Ovo, Jason Thompson Membahas Strategi Bisnis, Investasi, dan Rumor

Pemain digital di sektor pembayaran, Ovo, tengah menjadi perbincangan dalam ekosistem digital negara ini. Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan telah berkembang sangat pesat serta menciptakan berbagai terobosan: seperti mengakuisisi platform pinjaman Taralite dan investasi online Bareksa, berinvestasi di dua startup teknologi, dan meluncurkan fitur PayLater.

Belum lama ini, Ovo mencuri perhatian ketika mantan menkominfo Indonesia, Rudiantara, mengumumkan bahwa perusahaan berhasil memasuki jajaran “unicorn” dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. Berdasarkan Fintech Report Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh DailySocial, Ovo menjadi e-wallet yang paling populer di Indonesia dan menempati posisi kedua sebagai dompet digital yang paling sering digunakan di negara ini.

Pohon yang tinggi tentunya akan diterpa angin yang kencang, seperti Ovo yang tengah menjadi sorotan media dalam beberapa bulan terakhir mengenai isu merger dengan kompetitor mereka, Dana, yang juga didukung Ant Financial. Belum lama ini, perusahaan induknya, Lippo Group, dilaporkan menjual 70% sahamnya di Ovo terkait pengeluaran besar beberapa waktu terakhir.

Menanggapi rumor tersebut, CEO Ovo Jason Thompson mencoba tetap netral dan menyampaikan bahwa ia tidak terlalu memikirkan spekulasi pasar dan ingin fokus pada pengembangan bisnis ke depan. Dengan persaingan yang dinamis di lanskap fintech Indonesia saat ini, besar kemungkinan Ovo akan muncul lebih banyak di portal berita lokal dan internasional nantinya.

KrASIA belum lama ini mendapat kesempatan berdiskusi dengan Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019 di Jakarta, membahas strategi perusahaan ke depannya.

Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo
Jason Thompson. Dokumentasi oleh Ovo

KrASIA (Kr): Menilik kembali semua pencapaian Ovo di tahun ini, menurut Anda posisi perusahaan sekarang ada di stage seperti apa?

Jason Thompson (JT): Pertama, kami merasa tersanjung diakui sebagai unicorn kelima. Seluruh tim sangat antusias, dan penghargaan ini berdampak baik pada bisnis. Hal ini membuktikan investasi eksternal, seberapa cepat pertumbuhan fintech di Indonesia dan kami sebagai satu-satunya unicorn yang mengusung fintech seutuhnya, tetapi jujur saja, kami merasa bahwa masih di tahap awal.

Namun, hal itu juga membawa kami berada dalam banyak tekanan atas harapan yang menjulang dari pencapaian sebelumnya — dari Bank Indonesia, pemerintah, dan yang lebih penting, dari para pelanggan kami. Melihat ke belakang di tahun ini, kami berada di tahun yang sangat sulit tetapi juga sukses. Organisasi ini begitu berkembang, kami menguatkan posisi sebagai platform pembayaran nomor satu di negara ini, begitu pula dengan kehadiran layanan baru, dan kami memiliki tahun yang luar biasa bisa bekerja sama dengan Grab dan Tokopedia.

Kami juga punya beberapa metrik pada umumnya. Pada tahun 2019, ada lebih banyak orang yang bertransaksi dengan platform ini berkat beragam kemitraan dalam ekosistem. Transaksi tahunan kami mencapai 27,7 kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kami berhasil meningkatkan total nilai pembayaran sebesar 18,5 kali dan fasilitas di dalam toko sebesar 6,8 kali. Pengguna aktif bulanan Ovo tumbuh sebanyak 400% per tahun tahun ini.

Saya percaya bahwa inklusi serta “melek” finansial memiliki lima tantangan. Yang pertama adalah untuk membuat orang mendaftar di platform, yang kedua bagi mereka untuk top up, dan yang ketiga adalah mendorong mereka untuk membayar melalui platform ini. Yang keempat dan kelima adalah untuk membuat mereka kembali top up dan akhirnya, kembali membayar melalui aplikasi. Ketika orang mulai menyimpan uang dalam platform Ovo, kami percaya hal ini turut mendorong literasi keuangan untuk tabungan, investasi, dan lainnya.

Kr: Apa yang menjadi fokus Ovo di tahun 2020?

JT: Tiga area fokus pada tahun 2020 menurut saya akan terkait dengan percepatan pertumbuhan untuk pinjaman, sebagian besar akan berfokus pada pedagang serta lainnya untuk pinjaman konsumen. Prioritas kedua adalah bersama Bareksa untuk mengeksekusi e-investasi.

Saya pikir kita bisa belajar dari kisah sukses China dengan pemain investasi digital seperti Yu’e Bao dan melihat bagaimana kita bisa mengeksekusi hal serupa di Indonesia. Selanjutnya, fokus pada asuransi melalui kemitraan dengan Prudential. Kami masih mengembangkan produk asuransi dan berharap untuk bisa segera dirilis tahun depan. Jadi, kami mulai beralih dari pembayaran ke layanan keuangan ini di tahun ini dan tahun depan.

Seperti halnya pembayaran, kami akan menerapkan ekosistem terbuka untuk layanan keuangan. Misalnya, untuk peminjaman, kami memiliki pinjaman konsumen dengan Tokopedia melalui fitur PayLater. Terdapat juga Ovo Dana Tara, pinjaman modal khusus untuk pedagang kami, lalu Ovo Talangan Siaga, pinjaman jangka pendek khusus untuk mitra dan agen Grab. Hal tersebuth adalah gabungan dari pedagang dan agen pinjaman konsumen, dan kami akan mulai mengembangkan ini tahun depan.

Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.
Jason Thompson di acara Wild Digital Conference 2019. Dokumentasi oleh Wild Digital.

Kr: Bagaimana Anda memposisikan Ovo di antara para kompetitor dompet digital di Indonesia?

JT: Persaingan terbesar kami masih dengan uang tunai karena pembayaran e-money saat ini hanya mencapai 2,3% [dari total pembayaran] di Indonesia, jadi saya tidak berpikir bahwa pasar [dompet digital] sangat padat. Meskipun banyak orang ingin memasuki pasar ini dengan meluncurkan platform e-wallet, sulit untuk mempertahankannya di Indonesia kecuali Anda memiliki model kemitraan dan bisnis yang tepat.

Fokus kami adalah untuk mencapai sustainability, dan itulah sebabnya kami berinvestasi lebih banyak dalam layanan keuangan karena kami percaya ini adalah jalan yang tepat menuju kedewasaan dan sustainability dalam jangka panjang. Kami percaya bahwa selama kami melayani mitra, pedagang, dan pelanggan kami dengan baik, kami bisa berhasil di pasar ini.

Kr: Memasuki tahun ketiga, apakah menurut Anda strategi bakar uang seperti cashback atau promosi masih relevant?

JT: Menurut saya cashback itu penting sebagai stimulus pada suatu titik, tetapi tidak untuk berkelanjutan. Hal ini seperti masalah fisika; jika Anda akan memindahkan objek besar, Anda harus memiliki energi dalam jumlah besar di awal, tetapi begitu Anda mendapatkan momentum, maka energi tersebut bisa dikurangi. Dalam hal pembayaran, energi berasal dari subsidi.

Kami memiliki peta yang jelas menuju sustainabilty dan profitability, dan kami akan mengurangi [operasi bakar uang] ini secara signifikan di tahun depan. Bukan hanya kita, saya percaya bahwa rekan-rekan sejawat juga berinvestasi dengan cara yang sama untuk membangun bisnis mereka. Jadi, cashback atau promosi masih menjadi hal penting, tetapi pelaksanaannya harus rasional dan harus ada jalur koreksi subsidi.

Kr: Apa yang menjadi dasar kerjasama Ovo dengan Grab saat ini, mengingat Ovo bukan lagi satu-satunya opsi pembayaran dalam ekosistem Grab?

JT: Kami adalah organisasi independen, jadi hubungan kami dengan Grab, begitu pula Tokopedia, sebagian besar terfokus pada eksekusi. Tim kami telah menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan merencanakan hal yang bisa kita lakukan dengan Grab atau Tokopedia. Kita harus melayani mereka dengan cara terbaik walaupun tidak berada dalam kontrak eksklusif.

Saat ini, Grab memiliki LinkAja dalam ekosistem dan Tokopedia memiliki banyak opsi pembayaran. Kami tidak dalam posisi istimewa dengan mitra kami, kami harus bekerja keras, jika tidak, kami akan kehilangan posisi kami karena kemitraan didasarkan pada pertukaran nilai. Kami tidak percaya pada eksklusivitas karena hal itu juga tidak baik untuk pasar dan konsumen.

Kr: Tahun ini Ovo telah berinvestasi di dua startup, satu dari industri new retail Warung Pintar dan satu lagi platform ad-tech StickEarn. Apakah investasi kini menjadi bagian dari strategi Anda ke depan?

JT: Hal ini tentu menjadi langkah yang sangat strategis, meskipun nilainya relatif rendah. Untuk StickEarn, kami percaya bahwa melibatkan konsumen melalui pemasaran interaktif sangat penting, sehingga menjadikan pertukaran nilai antar perusahaan ini sangat erat. StickEarn melakukan hal-hal besar dan semua menuju keberhasilan di Indonesia.

Adapun Warung Pintar, keberadaan mereka sangat penting karena sebelumnya tidak ada yang memperhatikan segmen warung atau kios sebelumnya. Ketika pertama kali datang ke Indonesia, saya segera menyadari bahwa warung adalah pusat budaya Indonesia, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli akan hal ini.

Warung Pintar mempelajari masalah mereka dan berpikir tentang bagaimana bisa membawa model yang berbeda untuk warung sehingga mereka dapat melayani lebih banyak di masyarakat. Mereka menempatkan pada setiap warung dukungan digital dan infrastruktur termasuk pembayaran, saya pun sangat senang dengan kerjasama ini.

Investasi di kedua perusahaan ini melibatkan tujuan spesifik. Melibatkan cara kerja yang sangat strategis untuk mendorong inklusi keuangan, tetapi bukan berarti kami akan berinvestasi di lebih dari lima atau bahkan sepuluh perusahaan nantinya, karena kami bukan platform wirausaha. Misi kami adalah melayani pasar, dan salah satu caranya adalah dengan membangun kemitraan strategis dengan organisasi lain dan melihat bagaimana kami dapat bertukar dan memaksimalkan nilai-nilai yang ada.

Kr: Ovo sedang menghadapi banyak rumor di tahun ini, salah satu yang mencuri perhatian adalah isu merger dengan platform Dana. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

JT: Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya tidak terlalu memikirkan spekulasi yang beredar di luar. Lanskap fintech sangat dinamis, saya rasa banyak yang suka berspekulasi tentang pemain fintech sama seperti yang terjadi dalam dunia sepakbola, Anda tahu, setiap musim penggemar sepakbola akan memprediksi klub mana yang akan membeli pemain mana, dan seterusnya [tertawa].

Apa yang akan terjadi pada tahun 2020 adalah pasar akan mulai goyang. Kehilangan beberapa pemain bisa terjadi akibat lingkungan investasi global berubah dengan cepat, dan jika belum memiliki strategi bisnis yang jelas, akan menjadi tahun yang sulit bagi mereka. Jadi, kami fokus pada eksekusi serta pengawasan pasar, yang bisa memakan waktu 18 jam sehari dalam hidup saya sehingga tidak memiliki kapasitas untuk hal lain.

Kr: Apakah ada rencana untuk penggalangan dana dalam waktu dekat?

JT: Ada kemungkinan kami akan menggalang dana di semester pertama tahun depan. Saat ini masih dalam proses penjajakan, namun belum ada pernyataan resmi dari investor potensial atau timeline pastinya.

Kr: Bagaimana Anda melihat lanskap bisnis pembayaran mobile di Indonesia sekarang?

JT: Secara global, Indonesia tengah menjadi pusat bisnis fintech saat ini. Tiongkok, pada skala besar, sulit untuk disentuh karena sudah ada terlalu banyak pemain dominan seiring Ant Financial yang saat ini memimpin [pasar].

Saya melihat adanya revolusi fintech yang sedang terjadi di sini dan semakin banyak organisasi mencoba datang ke Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Kita harus memastikan bahwa kita melindungi ekosistem, ekonomi, dan pendapatan domestik. Regulasi menjadi kunci untuk memastikan bisnis dan ekosistem yang sehat, dan saya pikir Bank Indonesia telah melaksanakannya dengan baik dan sejauh ini mendukung setiap prosesnya. Saya percaya fintech di Indonesia sudah matang dan akan mencapai inflection point dalam tiga hingga lima tahun.

Application Information Will Show Up Here


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Potensi Perluasan “Cashless Society” di Indonesia

Sejak tahun 2017 lalu, lebih dari tiga perempat masyarakat Tiongkok menggunakan pembayaran digital dan jumlahnya terus meningkat dengan cepat. Dukungan infrastruktur, teknologi, dan penetrasi internet yang meluas menjadikan negara Tirai Bambu tersebut sebagai cashless society paling terdepan secara global.

Tidak hanya pembayaran nontunai, Tiongkok juga sudah menjadi negara di Asia yang mengalami pertumbuhan paling agresif dalam hal pembayaran peer-to-peer, di mana penggunanya bisa saling melakukan pembayaran menggunakan teks. Menurut laporan Worldpay, hampir dua pertiga penjualan online dan lebih dari sepertiga pembayaran di toko ritel dilakukan melalui operator mobile dompet elektronik terkemuka, termasuk Alipay dan WeChat Pay.

Posisi Indonesia saat ini

Meluasnya cashless society di Tiongkok, yang sudah memasuki kota tier 3 dan 4, menjadi motivasi tersendiri bagi Indonesia, yang memiliki program Strategi Nasional Keuangan Inklusif, untuk mengikuti jejaknya.

Pemerintah berupaya memfasilitasi perluasan kehadiran cashless society dengan dua cara. Pertama perluasan infrastruktur konektivitas hingga ke pelosok melalui peluncuran Palapa Ring, sebuah proyek infrastruktur telekomunikasi di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer.

Dukungan lain adalah peluncuran QR Code Indonesian Standard (QRIS) ke publik. Resmi diterbitkan bulan Agustus 2019 lalu, QRIS yang berlaku per tahun 2020 diharapkan menghadirkan efisiensi lalu lintas transaksi menggunakan uang elektronik dan perangkat digital lain yang mengadopsi kode QR.

Menurut pihak Ovo dan Dana, dua tantangan untuk memperluas adopsi penggunakan layanan nontunai adalah infrastruktur dan edukasi. Hal kedua ini terkait kebiasaan penggunaan uang tunai yang sudah membudaya.

“Mengapa pada akhirnya kita lebih fokus kepada kota-kota di tier 1, karena lokasinya yang lebih luas juga kesiapan masyarakat di kawasan tersebut untuk mulai mengadopsi pembayaran nontunai untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga memudahkan kami untuk menjangkau mereka, meskipun misi kami tentunya bisa hadir secara nasional,” ujar CEO Dana Vincent Iswara.

Sudah stabilnya konektivitas internet yang didukung rutinitas setiap hari yang membutuhkan akses ke skema nontunai menjadikan Jabodetabek paling ideal sebagai pilot project berbagai layanan nontunai.

“Di Ovo sendiri hingga saat ini kami sudah berada di 354 kota termasuk kota-kota di Papua seperti Nabire dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan penyebaran informasi yang merata dan edukasi yang masif, memungkinkan inklusi finansial terjadi di kota-kota tersebut,” kata Managing Director Ovo Harianto Gunawan kepada DailySocial.

CEO Investree Adrian Gunadi berpendapat, “Tantangan untuk bisa menyebarkan adopsi cashless society ke mereka adalah edukasi. Setidaknya untuk tahapan awal edukasi wajib untuk diberikan. Edukasi tersebut bisa dilakukan dengan cara menjalin kerja sama dengan komunitas desa, lembaga keuangan yang mungkin sudah tersebar ke pelosok desa tersebut yang bisa menjadi salah satu kunci keberhasilan perluasan edukasi,”

Ia menambahkan, mulai maraknya startup yang menjangkau pedesaan dan menawarkan pembiayaan dan konsultasi untuk meningkatkan hasil lahan pertanian, paling tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk mempelajari data agar semua bisa terukur dengan baik.

“Dengan kehadiran dan strategi yang dilancarkan oleh pemain fintech tentunya akan bisa men-leverage dari infrastruktur tersebut. Tidak hanya kota-kota besar tapi juga pedesaan sehingga ekonomi bisa meningkat sesuai dengan komitmen awal kami sebagai pemain fintech meng-cater masyarakat yang masih underserved dan unbanked dengan tujuan mengakselerasi pertumbuhan,” kata Adrian.

QRIS mendorong cashless society

Bank Indonesia menciptakan QRIS untuk menyederhanakan sistem pembayaran menggunakan QR Code di seluruh Indonesia. QRIS berfungsi mendukung pembayaran melalui aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet elektronik, atau mobile banking. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, QRIS akan menjadi standar QR Code tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia.

Adanya QRIS, menurut penyedia layanan dompet digital seperti Ovo dan Dana, dipercaya bisa mempercepat penyebaran cashless society di Indonesia secara merata. Harianto menegaskan, diterbitkannya QRIS secara efisien bisa menjadi leapfrog untuk mempercepat pemerataan inklusi finansial.

Harianto melihat jika semua berjalan secara bersama (perbankan, fintech lending, penyedia dompet digital) dan saling mendukung proses yang ada tentunya bisa terintegrasi. Bukan hanya memudahkan proses, transaksi kode QR dinamis tergolong lebih aman, karena mesin EDC menghasilkan kode QR yang unik. Sementara melalui kode QR statis cenderung riskan.

“Untuk itu saya menyambut baik jika semua kalangan mulai dari perbankan hingga sesama pemain untuk bekerja bersama dan saling melakukan kolaborasi demi terciptanya sinergi dan integrasi yang terpadu. Jika tujuan akhir adalah mempercepat pemerataan inklusi finansial, kolaborasi harus tercipta,” kata Harianto.

Vincent menambahkan, sudah waktunya para pemain untuk tidak melulu fokus ke strategi untuk meraup market share, tetapi lebih ke kerja sama dan tumbuh bersama.

Cashless society di masa mendatang

Dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi Tiongkok untuk bisa menjadi negara cashless society terbesar di Asia. Jika kita berandai-andai apakah nantinya Indonesia bisa memasuki fase tersebut, baik Ovo, Dana, maupun Investree melihat potensi yang ada cukup positif.

“Kita lihat saja saat ini Indonesia termasuk yang paling cepat mengadopsi kebiasaan melakukan pembayaran nontunai. Didukung dengan makin seamless-nya teknologi yang ditawarkan oleh kami sebagai penyedia layanan dan berkembangnya ekosistem pendukung, saya melihat bukan tidak mungkin Indonesia akan bisa menjadi negara dengan cashless society yang besar jumlahnya,” kata Harianto.

Hal senada juga diungkapkan Vincent. Menurutnya, dengan teknologi yang relevan dan dukungan pihak perbankan yang melihat penyedia layanan uang elektronik sebagai kolaborator, bisa mempercepat penyebaran cashless society yang lebih merata.

“Pekerjaan rumah yang masih menjadi beban bagi kami adalah bagaimana bisa meyakinkan masyarakat lebih banyak lagi untuk terbiasa melakukan pembayaran secara nontunai. Saya melihat di kota tier 1 dan 2 saja ada beberapa di antara mereka yang masih enggan untuk mengunduh aplikasi Dana untuk melakukan pembayaran secara nontunai, meskipun sudah kami dampingi saat acara-acara offline. Artinya masih ada mindset di antara mereka yang enggan untuk mencoba,” kata Vincent.

Ovo CEO Jason Thompson talks company strategy, investments, and rumors

Indonesian digital payments player Ovo is undoubtedly a newsmaker in the country’s digital ecosystem. The company has grown rapidly in the past year and it has achieved many important milestones: it acquired lending platform Taralite and online investment platform Bareksa, invested in two tech startups, and rolled out the PayLater feature.

Ovo recently made headlines when Indonesia’s then-IT minister Rudiantara announced that the company has entered the “unicorn club” as its valuation is USD 1 billion. According to the 2019 Indonesian Fintech Report by Daily Social, Ovo is the most popular e-wallet platform among Indonesians and it secured the second spot as the most used digital wallet in the country.

The tallest trees catch the most wind, as Ovo has been in the media spotlight in the past few months because of merger issues with a competitor, Ant Financial-backed Dana. Most recently, its parent company, Indonesian conglomerate Lippo Group, reportedly sold 70% of its stake in Ovo due to the latter’s large expenditure.

Responding to the rumors, Ovo CEO Jason Thompson, remained neutral and said that he doesn’t really think of market speculation and wants to focus on further growing the business instead. With such dynamic competition in the Indonesian fintech landscape today, it is likely that we’ll see more of Ovo in many local and international news outlets in the future.

KrASIA recently met with Jason Thompson at the 2019 Wild Digital Conference in Jakarta, and he discussed the company’s strategies going forward.

Jason Thompson. Courtesy of Ovo
Jason Thompson. Courtesy of Ovo

KrASIA (Kr): Looking back at what Ovo has achieved this year, what stage is the company at now?

Jason Thompson (JT): Firstly, we are genuinely humbled to be recognized as the fifth unicorn. The whole team was really excited, and this accolade is great for business. It shows external investment, how rapid the growth of fintech in Indonesia has been and we are the only true fintech unicorn, but honestly, we feel that we just started.

However, it also forces a lot of pressure on us because the expectations are higher than ever—from Bank Indonesia, the government, and more importantly, from our customers. Looking back at this year, we’ve had a really tough but successful year. Our organization is growing, we really cemented ourselves as the number one payment platform in the country, we developed new services, and we’ve had a great year working with Grab and Tokopedia.

We’ve got some great metrics, as well. In 2019, we had more people transact with us thanks to the many partnerships we created in the ecosystem. Our annual transactions were 27.7 times higher than the previous year. We have increased total payment value by 18.5 times and in-store value facilities by 6.8 times. Ovo’s monthly active users grew 400% per annum this year.

I believe that financial literacy and inclusion have five challenges. The first is to get people to register on the platform, the second for them to top up, and the third is to encourage them to pay with our platform. The fourth and the fifth are to make them re-top up and finally, pay again with the same app. Now that people store their money with Ovo, we believe that we can drive financial literacy for savings, investments, and others.

Kr: What is Ovo’s focus in 2020?

JT: The three focus areas for me in 2020 include accelerating growth for lending, most of that will focus on merchants and some on consumer lending. The number two priority is to execute with Bareksa for e-investment.

I think we can learn from China’s success story with digital investment players like Yu’e Bao and see how we can execute it here in Indonesia. Number three is a focus on insurance via a partnership with Prudential. We’re still developing insurance products and expect to release them next year. So we are moving from payments into financial services this and next year.

As with payments, we’ll apply the open ecosystem for financial services. For example, for lending, we have consumer lending with Tokopedia through our PayLater feature. We also have Ovo Dana Tara, a capital loan specifically for our merchants, and Ovo Talangan Siaga, a special short-term loan for Grab partners and agents. It’s a hybrid of merchants and consumer lending agents, and we’ll scale this next year.

Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.
Jason Thompson at the Wild Digital Conference 2019. Photo Courtesy of Wild Digital.

Kr: How have you positioned Ovo among its Indonesian digital wallet competitors?

JT: Our biggest competition is still cash because e-money payments currently only make up of 2.3% [of payments] in Indonesia, so I don’t think that the [mobile wallet] market is congested. Although many people want to enter the market by launching an e-wallet platform, it is difficult to sustain in Indonesia unless you have the right partnerships and usage model.

Our focus is to achieve sustainability, and that’s why we are investing more in financial services as we believe this is the right path to maturity and sustainability in the long run. We believe that as long as we serve our partners, merchants, and customers well, we will be successful in this market.

Kr: Entering Ovo’s third year, do you think that money-burning strategies like cashback and promotions are still relevant?

JT: I think cashback is important as a stimulus at a point in time, but it is not sustainable. It’s like a physics problem; if you’re going to move a large object, you need to have a huge amount of energy at the beginning of the movement, but once you get the momentum, then you can reduce that energy. With payments, the energy comes from subsidies.

We have a clear roadmap to sustainability and profitability, and we’ll reduce this [money-burning marketing] significantly next year. It’s not just us, I believe that our peers have also invested in a similar way to establish their business. So cashback or other promotions are still important but we have to rationalize them and there must be a path of subsidies’ corrections.

Kr: What’s the nature of Ovo’s partnership with Grab now, considering that Ovo is no longer the sole payment partner in Grab’s ecosystem?

JT: We’re an independent organization, so our relationships with Grab, also with Tokopedia, are mostly focused on execution. My teams spend a lot of time to think and plan about what can we do with Grab or Tokopedia. We have to serve them in the best way but we are not in an exclusive contract.

Now Grab has LinkAja in its ecosystem and Tokopedia has many payment offerings. We’re not in a privileged position with our partners, we have to work hard, otherwise, we’ll lose our position because the partnership is based on value exchange. We don’t believe in exclusivity as it is not good for the market and consumers.

Kr: Ovo has invested in two startups this year, new retail startup Warung Pintar and ad tech platform StickEarn. Are investments also part of your strategy going forward?

JT: These were very strategic moves, although relatively low in value. For StickEarn, we believe that engaging consumers through interactive marketing is critical, so we felt that the value exchange between the companies was very close. StickEarn is doing great things and they will be successful in Indonesia.

As for Warung Pintar, their existence is critical because nobody was defending the warung or street stalls before. When I first came to Indonesia, I quickly realized that warungs are central to Indonesian culture, but nobody really takes care of them.

Warung Pintar learned their problems and thought about how they could bring a different model for warungs so they can serve more in the community. They provide the warungs with digital support and infrastructure including payments, and I’m really excited about the work we’re doing here.

Investments in these two companies involve specific purposes. It is really about working strategically to drive financial inclusion but I wouldn’t expect to invest in more five or ten companies in the future because we’re not a platform for entrepreneurs. Our mission is to serve the market, and one way is by establishing a strategic partnership with other organizations and see how we can exchange and maximize our values.

Kr: Ovo has been dealing with many rumors this year, one of the biggest is the merger with Dana. How are you addressing this issue?

JT: What I can tell you is I don’t really think about noisy speculations out there. The fintech landscape is dynamic, I feel that people like to speculate about fintech players like what they do in football, you know, every season football fans will predict which clubs will buy which players, and so on [laughs].

What will happen in 2020 is that the market will start to fracture. It may lose people because the global investment environment is changing rapidly, and if businesses don’t have a clear strategy, it will be a tough year for them. So we’re focusing on execution and closely watching the market, which already takes 18 hours a day of my life so I have no capacity for anything else.

Kr: Are you planning to raise capital soon?

JT: We probably will raise the capital sometime during the first half of next year. We’re exploring that opportunity but we have no announcement yet about the potential investors or clear timeline for now.

Kr: How do you view the mobile payments landscape in Indonesia today?

JT: Globally, Indonesia is the centre of fintech right now. China, to a large degree, is hard to touch because there are already too many dominant players with Ant Financial currently leading [the market].

What I see is that the fintech revolution is happening here and that more organizations are trying to come to Indonesia, both legally or illegally. We have to ensure that we protect our ecosystem, economy, and domestic income. The development of regulations is the key to ensuring a healthy business and ecosystem, and I genuinely think that Bank Indonesia has been doing well and been supportive so far. I believe fintech in Indonesia is maturing and will reach its inflection point in three to five years.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

A Singapore Based Startup Eatsy to Arrive in Jakarta, Promoting a Queue Booking App in Restaurants

Eatsy, a Singapore based startup stated itself as a “dining mobile app” announced to arrive soon in Jakarta. The firm was getting seed round from East Venture in January 2019 worth of $550 thousand.

The Eatsy app is to help users in booking queues and food in the restaurant. Therefore, when customers arrived, they don’t have to wait longer to queue for seating and ordering food.

“Using Eatsy, not only saving time but customers can also order their food peacefully. The restaurant, particularly those with small space but high demand, can cut the queue service and manage the order well,” Eatsy‘s Founder & CEO, Shaun Heng said.

To date, their team has reached hundreds of restaurants in Indonesia to join their system. They also have partnered up with Ovo for the payment system.

Meanwhile, to indulge restaurant merchants with the best experience, Eatsy also take Moka (also one of East Venture’s portfolio) for the point of sales service. The collaboration allows all orders to be integrated into a system. Meanwhile, Moka’s merchants will automatically be registered into the Eatsy app, including their menus.

In Singapore, Eatsy currently has partnered up with 400 merchants, the solution is said to increase sales by 1.5 times up.

“We’re glad to deliver Eatsy in Jakarta, furthermore, we aim to expand to the other first-tier cities in Southeast Asia,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Asal Singapura Eatsy Siap Hadir di Jakarta, Tawarkan Aplikasi Pemesanan Antrean di Restoran

Eatsy, startup asal Singapura yang memosisikan diri sebagai “dining mobile app” mengumumkan kesiapan untuk segera beroperasi di Jakarta. Startup ini sebelumnya didukung East Ventures dalam seed round pada Januari 2019 lalu, dengan nilai $550 ribu.

Aplikasi Eatsy membantu pengguna untuk memesan antrean dan makanan di restoran. Sehingga saat sampai, tidak perlu lagi menunggu lama untuk antre tempat duduk dan memesan hidangan.

“Dengan Eatsy, pelanggan tidak hanya menghemat waktu, mereka juga bebas memilih makanan dengan tenang. Restoran, terutama yang hanya memiliki tempat kecil dan yang sedang diminati, dapat mengurangi antrean dan mengatur alur pemesanan dengan baik,” terang Founder & CEO Eatsy Shaun Heng.

Pihak Eatsy sejauh ini sudah menjaring ratusan restoran di Indonesia untuk bergabung dalam sistem mereka. Mereka juga menjajaki kerja sama dengan Ovo untuk sistem pembayarannya.

Sementara untuk memanjakan para merchant restoran dengan pengalaman terbaik, Eatsy juga menggandeng Moka (yang juga merupakan portofolio East Ventures) untuk layanan point of sales. Kolaborasi tersebut juga memungkinkan seluruh pesanan terintegrasi ke dalam sistem. Sementara itu merchant Moka juga akan otomatis terdaftar dalam aplikasi Eatsy, lengkap dengan informasi menu yang mereka miliki.

Saat ini di Singapura Eatsy sudah memiliki 400 rekanan merchant, solusi yang ditawarkan diklaim berhasil mendongkrak penjualan hingga 1,5 kali lipat.

“Kami sangat senang dapat menghadirkan Eatsy di Jakarta, dan ke depannya kami berharap Eatsy juga dapat hadir di kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara,” tutup Shaun.

Application Information Will Show Up Here

Pengguna TransferWise Bisa Kirim Uang dari Luar Negeri ke Akun Dana, Gopay, dan Ovo

TransferWise, startup remitansi berbasis di Eropa disebut sudah mulai memproses pembayaran internasional ke beberapa e-wallet Indonesia, Filipina, dan Bangladesh. Dikutip dari Reuters, langkah tersebut dilakukan untuk melebarkan jangkauan penerimaan pembayaran dan menjadi keseriusan perusahaan dalam memasuki pasar Asia.

Di luar itu, pertimbangan paling besar mungkin karena maraknya penggunaan aplikasi e-wallet di kawasan tersebut, sekaligus masih banyaknya kalangan unbanked di negara berkembang yang disasar.

“Ini pengakuan bahwa mungkin di masa depan kita akan melihat dompet yang sama dengan rekening bank,” terang CEO  TransferWise Kristo Käärmann.

Untuk Indonesia pengguna TransferWise bisa melakukan pengiriman uang ke Gopay, Ovo, dan Dana. Ketiganya saat ini masuk dalam jajaran pemimpin pasar untuk aplikasi pembayaran digital di Indonesia berkat integrasi dan kolaborasi yang dilakukan dengan banyak layanan.

Sementara untuk Filipina pengguna TransferWise dapat melakukan pembayaran ke layanan GCash yang juga didukung oleh Ant Financial dan PayMaya. Dan untuk Bangladesh memungkinkan penggunanya mengirimkan ke BKash.

Prosesnya masih satu arah, aplikasi e-wallet tersebut hanya bisa menerima pengiriman uang dari luar. Sementara untuk pengiriman uang belum bisa dilakukan.

Detail biaya pengiriman dan dana maksimal juga belum diinformasikan. Namun jika melihat batasan yang ada di aturan Bank Indonesia mengenai e-money, maksimal nilai yang disimpan 10 juta Rupiah, dengan transaksi per bulan maksimal 20 juta Rupiah.

Di Indonesia, layanan remitansi sendiri diatur oleh Bank Indonesia. Setiap pemain yang akan menghadirkan layanan terkait wajib untuk mendapatkan lisensi dari otoritas. Sejauh ini sudah ada beberapa pemain yang menawarkan solusi pengiriman uang ke luar negeri, salah satunya Top Remit.

TipTech #2: Membangun Arsitektur Aplikasi “Scalable” ala Tim Pengembang Ovo

TipTech adalah rubrik baru DailySocial yang membahas berbagai kiat dalam pengembangan produk atau aplikasi startup. Setelah sebelumnya membahas tentang siklus pengembangan produk, kali ini kami berkesempatan untuk berbincang dengan Chief Product Officer Ovo Albert Lucius tentang arsitektur aplikasi yang scalable.

Tujuan dari pengembangan aplikasi yang scalable adalah menunjang pertumbuhan bisnis berkelanjutan. Ketika pengguna layanan semakin bertambah –kadang lonjakannya bisa sangat signifikan—harapannya produk tidak turun performa, misalnya aksesnya jadi lambat atau bahkan mati. Untuk itu diperlukan perencanaan arsitektur sistem yang matang.

Sejak debut pada tahun 2017 sebagai platform loyalty, lalu bertransformasi menjadi e-wallet, hingga sekarang punya basis pengguna mencapai lebih dari 100 juta pengguna; Ovo punya cerita menarik dari dapur pengembang. Saat ini layanan Ovo juga sudah terintegrasi ke banyak platform lain yang memiliki arus transaksi besar –sebut saja Tokopedia dan Grab.

Kepada Albert kami menanyakan tentang bagaimana arsitektur sistem yang baik untuk sebuah aplikasi mobile.

“Menurut kami, dengan cepatnya pertumbuhan secara umum, sangat penting aplikasi bersifat modular dan menggunakan sistem feature flag. Karena akan  banyak komponen aplikasi yang dibuat oleh berbagai tim. Jika sistemnya bersifat monolith, maka akan memperlambat laju pengembangan.”

Dengan pendekatan modular, di dalam sebuah aplikasi terdapat kumpulan unit fungsional (disebut: modul) yang dapat diintegrasikan untuk menjadi aplikasi yang lebih besar. Modul aplikasi tersebut dapat dianalogikan sebagai aplikasi kecil di dalam aplikasi yang dapat diambil, dipasang, atau dikonfigurasi kembali ke aplikasi lain. Modul-modul tersebut terbungkus dalam logika bisnis program yang direpresentasikan dalam antarmuka pengguna.

Sementara konsep feature flag penting diterapkan, sehingga memungkinkan pengembang membatasi/menonaktifkan beberapa fitur saat terjadi masalah, tanpa mematikan fungsi aplikasi secara keseluruhan.

Albert Lucius
Chief Product Officer Ovo Albert Lucius / Ovo

Kiat integrasi aplikasi

Selain mempertimbangkan dua hal di atas, Albert juga menyampaikan tentang konsiderasi pembagian aplikasi native dan webview untuk menjaga performa aplikasi.  Hal tersebut akan berdampak pada ukuran APK dari tiap aplikasi. Menurutnya ini jadi faktor penting, terlebih saat startup terus beranjak mencapai skala yang lebih besar.

Aplikasi native dibangun dengan bahasa pemrograman tertentu yang menyatu dengan core aplikasi. Sementara aplikasi webview memanfaatkan fungsionalitas penampil laman web di dalam aplikasi tanpa harus memaksa pengguna membuka browser terpisah.

Di lain sisi, integrasi dengan pihak ketiga juga menjadi hal yang butuh diperhitungkan secara teknis untuk aplikasi seperti Ovo. Albert menyebutkan, keamanan pengguna menjadi prioritas utama bagi perusahaan ketika melakukan integrasi. Selain proses internal dan disiplin terhadap SOP, ia selalu menyarankan untuk melakukan penetration testing (pen-testing) eksternal. Banyak sekali saat ini vendor lokal maupun luar negeri yang dapat membantu proses ini.

Pen-testing adalah kegiatan menyimulasikan serangan terhadap sistem aplikasi. Ini jadi komponen penting dalam audit keamanan, biasanya wajib dilakukan untuk aplikasi yang menampung data sensitif, agar tidak mudah dibobol atau diintervensi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab –baik dari internal maupun eksternal.

pen-testing
Tahapan dalam pen-testing / Imperva

“Program bug bounty juga dapat membantu menyalurkan laporan bugs yang mungkin tidak terdeteksi oleh proses internal. Peningkatan kualitas layanan dan sistem keamanan (di sisi aplikasi kita) juga jadi faktor penting untuk kenyamanan pengguna,” terang Albert.

Pengelolaan sumber daya

Infrastruktur teknologi yang baik juga harus ditangani oleh SDM yang mumpuni untuk menghasilkan performa terbaik. Untuk mengelola pekerjaannya, juga diperlukan metodologi yang tepat. Namun menurut Albert, di perusahaannya tidak terpaku pada tren yang sedang menjadi sorotan, kesesuaian dengan karakteristik tim menjadi pertimbangan utama.

“Sangat penting untuk kami dalam merekrut tim yang betul-betul paham scaling infrastruktur secara baik dan benar.”

Setiap pengembang juga dituntut untuk menghasilkan baris konde yang berkualitas. Menurutnya ada tiga indikator yang dapat menggambarkan susunan pemrograman yang efisien, yakni sistem repositori yang memadai, konsep best coding practice, dan code reveiw yang solid. Best coding practice menjadi aturan informal yang harus sering diutarakan melalui sebuah standar yang diterapkan di perusahaan, dilengkapi dengan pelatihan yang memadai.

“Sistem code review juga sangat penting karena sedikit banyak SDM mudah membuat kesalahan. Oleh karena itu untuk startup yang sedang berkembang, jangan lupa untuk melakukan automated testing dan unit testing. Hal ini dikarenakan semakin membesarnya skala startup, semakin banyak developer yang bekerja di code repository kita, semakin banyak kesalahan dapat terjadi. Automated testing akan sangat membantu mengurangi human-error yang dapat terjadi,” jelas Albert.

Application Information Will Show Up Here