DailySocial.id Luncurkan Inkubator Startup Teknologi Terbesar DSLaunchpad

Perusahaan inovasi DailySocial.id hari ini mengumumkan peluncuran program inkubator startup DSLaunchpad. Program ini diklaim sebagai yang terbesar karena menginkubasi 100 startup teknologi secara bersamaan menggunakan platform online. DSLaunchpad akan berlangsung selama 4 minggu, mulai dari 20 April hingga 15 Mei 2020.

Pendaftaran dibuka mulai hari ini hingga 10 April 2020 mendatang menggunakan platform Orchestra DSLaunch yang telah diluncurkan Maret silam.

CEO Rama Mamuaya secara langsung mengorganisir program ini. Ia mengatakan, “Kami melihat adanya ketidakseimbangan antara acara dan program edukasi teknologi dan startup antara di DKI Jakarta dan di provinsi lain. Tujuan utama dari program DSLaunchpad ini adalah untuk membuktikan bahwa kesempatan untuk menjadi founder startup dimiliki oleh semua orang Indonesia tanpa terkecuali.”

Dalam pelaksanaannya, DSLaunchpad menggandeng berbagai mentor dan perusahaan modal ventura ternama. Kevin Aluwi (Co-CEO Gojek), Fajrin Rasyid (Presiden Bukalapak), Izak Jenie (CEO Jas Kapital), Dyota Marsudi (Executive Director Vertex Ventures), Dondy Bappedyanto (CEO Biznet Gio), dan Andy Zain (Partner Kejora Ventures) adalah sebagian dari mentor yang terlibat dalam program ini.

Di akhir masa inkubasi, para startup peserta program akan mempresentasikan startupnya ke VC partners melalui video call untuk mendapatkan timbal balik pasca program. East Ventures, BRI Ventures, dan MDI Ventures termasuk dalam jajaran VC ternama yang menjadi VC partners DSLaunchpad.

Knowledge transfer ini penting dan merupakan tujuan utama dari program DSLaunchpad. Investasi dari para VC hanya bonus saja,” ujar Rama.

DSLaunchpad menjadi sumbangsih DailySocial.id untuk membantu para penggiat startup teknologi Indonesia. Diharapkan program ini benar-benar dimanfaatkan para penggiat teknologi se-Indonesia untuk belajar, bertumbuh dan nantinya memberikan timbal balik bagi bangsa dan negara.

“Ini kontribusi kami untuk Indonesia di masa-masa sulit seperti sekarang. Jadi selama masyarakat sedang mendukung program #DiRumahAja, bisa juga mewujudkan mimpi untuk mendirikan startup digital,” pungkas Rama.

Pendanaan Startup Tak Hanya Soal Valuasi

Selama ini valuasi menjadi acuan utama para pemodal ventura dalam berinvestasi pada sebuah perusahaan. Metrik ini menentukan nilai sebuah perusahaan dan seberapa besar potensi bisnisnya. Salah satu terminologi yang erat dikaitkan dengan valuasi adalah unicorn, disematkan pada perusahaan dengan nilai valuasi di atas $1 miliar. Meskipun demikian, apakah valuasi menjadi satu-satunya ukuran pertumbuhan bisnis sebuah startup?

Industri VC atau Venture Capital sendiri masih tergolong muda di Indonesia dan baru mulai aktif dalam satu dekade terakhir. Masing-masing VC punya penilaian tersendiri dalam menentukan portfolio. Valuasi menjadi hal yang sangat penting bagi model bisnis ini untuk memproyeksikan rasio pengembalian (rate of return) investasi mereka. Hal ini yang juga membuat para investor berani mengasah nilai valuasi setinggi-tingginya demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Di akhir tahun 2019 lalu, kita sempat dikejutkan dengan isu beberapa startup unicorn, seperti WeWork, Uber, dan OYO yang mengalami permasalahan bisnis. Siapa sangka jika perusahaan dengan valuasi tinggi dan didukung investor besar bisa tersandung masalah finansial. Ternyata valuasi saja tidak bisa menjamin keberlangsungan bisnis sebuah perusahaan.

Berbagai isu mengenai valuasi startup membuat para penyuntik dana ketar-ketir. Faktanya startup tak hanya tentang valuasi. Terdapat sejumlah faktor yang membentuk sebuah perusahaan sampai pada tahapannya saat ini.

Fundamental value

Sebelum masuk ke ranah valuasi, terdapat peran esensial yang ada dalam perusahaan itu sendiri, yaitu founder. Sebelum menyuntik dana ke perusahaan, investor harus terlebih dulu menanam kepercayaan pada founder. Ketika keduanya sudah align, barulah bisa masuk ke pembicaraan mengenai valuasi.

Peran seorang Founder, yang kerap merangkap CEO bisa diibaratkan sebagai seorang nahkoda yang bertugas menentukan arah perusahaan, namun tanpa kapasitas yang mumpuni bisa menenggelamkan kapal yang telah dibangun sedemikian rupa.

Iklim bisnis yang positif di Indonesia juga turut mengambil peran dalam perkembangan industri startup. Lima unicorn menjadi bukti serta menunjukkan pasar yang semakin mature. 

Co-founder dan Direktur Tokopedia Leontinus Alpha Edison mengatakan, “Founder dalam satu dekade terakhir harusnya memiliki kualitas yang lebih baik, didukung dengan penetrasi internet dan mobile yang sudah terbangun, serta akses pada pendanaan yang lebih mudah.”

Tahapan pendanaan

Dalam praktiknya ada beberapa tahapan dalam pertumbuhan bisnis startup. hal ini turut mempengaruhi investasi dan valuasi perusahaan. Masing-masing pemodal ventura memiliki fokus tersendiri. Ada yang lebih fokus ke early stage, yang lain memilih bermain aman dengan investasi pada later stage.

Kepada DailySocial, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Setiap tahapan startup memiliki metrik yang berbeda. Di tahap awal kami akan memantau adopsi pengguna, selanjutnya akan lebih fokus pada unit ekonomi. Tidak ada aturan tunggal yang bisa berlaku untuk semua.”

Di sisi lain, dengan banyaknya jenis modal ventura yang ada, masing-masing punya strategi tersendiri dalam mengisi portfolio. Salah satunya dari Corporate Venture Capital (CVC), yang lebih fokus pada strategi dan potensi pemanfaatan aset.

CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dana kelolaan milik Telkomsel, Andi Kristianto mengatakan, “Sebagai modal ventura korporasi, kami lebih fokus pada later stage. Dengan aset yang begitu banyak, kami berharap investasi ini bisa disalurkan pada semua vertikal startup yang relevan dengan core business kami.”

Strategi Investor

Menanggapi isu WeWork dan Uber, Willson tidak melihat kasus ini berdampak signifikan dengan kondisi di tanah air. Sebagai pemodal ventura, ia memandang memang ada nilai-nilai yang harus dipegang teguh agar kelak tidak tersandung persoalan seperti ini.

“Kami memahami bahwa disiplin finansial itu penting dan kami hanya akan memberikan valuasi yang fair kepada model bisnis, inovasi, serta penciptaan nilai yang baik,” tambah Willson.

Menurut pemaparan CEO DailySocial Rama Mamuaya, data menunjukkan adanya penurunan jumlah startup yang menerima pendanaan. “Tidak lagi menyuntik dana sedikit-sedikit di beberapa perusahaan, tetapi invest ke sebuah perusahaan dalam jumlah besar,” ujarnya.

Hal ini bisa berarti para investor semakin selektif dalam berinvestasi. Untuk pendanaan dalam jumlah besar tentu saja tidak cukup hanya melihat valuasi. Dibutuhkan metrik lain untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari sisi investor, salah satunya adalah founder yang berkualitas.

“Tidak hanya financial gain, tapi juga fundamental value,” ujar Andi.

Dalam kasus WeWork dan Uber, ketika valuasi sudah terlanjur (terlalu) tinggi, ada beberapa strategi yang bisa jadi solusi. Mengganti CEO bisa jadi adalah solusi yang paling memungkinkan, tapi solusinya bisa berbeda terkait model bisnis masing-masing perusahaan.

Modal ventura adalah bisnis yang sarat risiko. Dengan berbagai isu negatif terkait investasi, wajar jika para investor sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Permainan valuasi tetap harus diimbangi dengan struktur organisasi dan ekosistem yang mumpuni.

Fintech Tahun Ini: Jumlah Pemain Baru Melambat, Traksi Meningkat

Riset tahunan yang dirilis DailySocial, Fintech Report 2019, mengungkapkan pertumbuhan startup fintech di Indonesia sepanjang tahun ini mengalami perlambatan, sementara traksi pemain yang sudah terus memperlihatkan kenaikan.

Perlu dicatat, full version riset ini segera dirilis resmi dalam waktu dekat.

CEO DailySocial Rama Mamuaya memaparkan, pada 2018 ada 61 pemain p2p lending yang beroperasi. Namun pada tahun ini hanya 47 pemain saja. Fenomena yang sama terjadi juga untuk fintech pembayaran. Pada 2018, ada delapan pemain, sementara pada tahun ini menurun jadi empat.

Mengacu dari data OJK, total penyaluran untuk periode yang sama, akumulasi penyaluran pinjaman mencapai Rp60,41 triliun meningkat 166,51% year to date dari Rp22,6 triliun.

Peningkatan juga terjadi untuk akumulasi rekening peminjam menjadi 14,3 juta entitas dari sebelumnya 4,3 juta entitas. Sedangkan untuk pemberi pinjaman mencapai 558 ribu entitas, naik 169,28%.

Bicara soal legalitas di regulator, per September 2019, ada 13 pemain fintech lending yang mengantongi izin dari OJK. Adapun total pemain yang terdaftar di OJK ada 144 perusahaan. Sedangkan, empat perusahaan yang mendapat lisensi uang elektronik dari BI.

Berdasarkan data itu, diyakini bahwa startup berikutnya yang akan menyabet status unicorn berasal dari fintech. “Ada banyak perusahaan yang valuasinya lebih dari ratusan juta dolar, seperti Akulaku, Kredivo, mereka semua perusahaan fintech,” terangnya di NextICorn International Summit 2019, Kamis (14/11).

“Apapun perusahaannya, unicorn berikutnya adalah fintech. Pertanyaannya adalah apakah akan ada daging yang tersisa? Jika kita ingin memulai perusahaan fintech, bisakah tetap tumbuh lebih besar?,” sambungnya.

Mendukung pernyataannya tersebut, dia memaparkan sejauh ini tercatat ada 22 pendanaan untuk startup fintech yang diumumkan dengan total $121 juta (setara 1,7 triliun Rupiah).

“Umumnya ini baru 60% yang diumumkan, sisanya tertutup. Kalau itu semua diumumkan, tentu nilainya akan jauh lebih besar.”

Imbauan kaji jumlah pemain p2p lending

Dalam kesempatan terpisah, OJK meminta asosiasi untuk meninjau kembali jumlah pemain p2p lending dengan pertimbangan pertumbuhan yang cepat harus seimbang dengan jumlah nasabah.

Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi mengatakan perkembangan p2p lending sanat cepat. Sejak dirilisnya POJK No.77 Tahun 2016 pada tiga tahun lalu, sudah ada 144 penyelenggara p2p lending sampai November 2019.

Kondisi ini kontras dengan industri pembiayaan dan asuransi yang butuh waktu puluhan tahun untuk sampai ke angka tersebut. Tercatat ada 183 pemain multifinance dan 70 perusahaan asuransi yang beroperasi saat ini. Untuk itu, dia menilai perlu dikaji dengan jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar.

Peninjauan ini dibutuhkan mengingat banyaknya peminjam yang terjebak dengan kemudahan meminjam secara online melalui p2p lending. Kajian tersebut diperlukan agar dapat melindungi kepentingan nasabah.

“Coba dipelajari, diskusi bersama untuk meningkatkan kualitas p2p lending. Jika memang hasil kajiannya dirasa sudah cukup, akan kami batas dulu (jumlah pemain p2p lending),” ucap Riswinandi saat keynote speech hari jadi AFPI, Senin (11/11).

Mengutip dari Bisnis.com, Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede mengatakan arahan dari OJK tidak mengarah kepada pembatasan jumlah p2p lending.

“Inisiasi dari industri ini, kesiapan dan kualitas kami harus tonjolkan. Jadi bukan bicara kuantitas. Dengan kualitas yang baik menggunakan teknologi, cakupan kita dapat meluas,” ujarnya.

Pandangan Investor tentang Kesenjangan Pendanaan Awal di Industri Startup Indonesia

Popularitas bisnis digital di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan membawa berkah bagi para investor. Pada 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir sempat menyebutkan terdapat 956 startup di Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Meroketnya industri startup turut mendorong iklim investasi. Startup bergerak cepat dalam mengembangkan inovasi yang memicu Venture Capital (VC) untuk berinvestasi dengan harapan return besar dan boom, industri VC tumbuh subur di Indonesia. Deal investasi semakin banyak, cuan ikut meningkat.

Sampai saat ini, ada banyak VC yang aktif memberikan pendanaan di Indonesia. Fokusnya beragam, mulai dari fokus pada pendanaan tahap awal (early stage) hingga penggalangan dana putaran akhir (later stage), seperti yang diterima Gojek dan Tokopedia.

Tidak ada yang menyangka model bisnis yang dijalankan keduanya berhasil merebut pasar di Tanah Air. Keduanya kini memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengantongi valuasi tinggi yang mengantarkannya pada status unicorn dan memperoleh investasi yang terbilang sebagai pendanaan terbesar di Indonesia untuk saat ini.

Tahun lalu Tokopedia memperoleh pendanaan yang dipimpin Softbank dan Alibaba senilai $1,1 miliar atau setara Rp16 triliun. Sementara, Gojek dikabarkan bakal mendapatkan pendanaan seri F senilai $3 miliar dalam waktu dekat. Sebuah angka fantastis yang tidak pernah terpikirkan ketika keduanya merintis bisnis.

Semakin ke sini, ekosistem startup semakin terbentuk. Hal ini memicu sejumlah VC mulai aktif berinvestasi di Indonesia, termasuk kemunculan VC baru, seperti Venturra Discovery. Ekosistem startup kita juga banyak dimotori oleh kehadiran program inkubator dan akselerator.

Bukan berarti iklim investasi sepi-sepi saja pada masa-masa awal ekosistem startup terbangun. Co-founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mengungkap, investasi startup pada 2014 ke belakang sangat aktif.

Ia mencontohkan e-commerce fashion wanita Berrybenka mendapat pendanaan seri B senilai $5 juta dari TransCosmos dan Gree Ventures. Angka $5 juta terbilang sangat besar untuk ukuran industri yang baru berkembang saat itu. Jika bicara kondisi sekarang, investasi $5 juta sudah sangat mungkin diperoleh startup sebagai pendanaan tahap awal.

Ada sejumlah faktor mengapa para investor kini mulai mengucurkan pendanaan seed dalam jumlah besar. Bisa jadi karena industri yang semakin matang hingga berubahnya mindset investor dalam berinvestasi di industri startup.

Meningkatnya nilai pendanaan seed dan perubahan mindset investor

Fenomena kesenjangan (gap) pada pendanaan tahap awal (pre-seed, seed, dan seri A) sebetulnya tidak mampir begitu saja. Pasar Amerika Serikat (AS) yang merupakan kiblat industri digital dunia juga sempat mengalaminya. Mengingat pasar digital AS dimulai sejak era 1999, tren pendanaan tahap awal VC di AS baru booming pada 2006.

Seperti dikutip dari artikel “Why Has Seed Investing Declined? And What Does This Mean for the Future?”, pendanaan tahap awal di AS sempat mengalami kemerosotan. Hal ini bukan disebabkan oleh kemauan VC untuk berinvestasi dalam jumlah kecil, melainkan perkembangan teknologi yang membuat biaya untuk meluncurkan dan mengembangkan produk startup semakin murah.

Bagaimana di Indonesia? Fenomena gap ini disebut mulai terjadi sejak dua-tiga tahun belakangan. Ada yang menyebutkan gap pendanaan tahap awal membuat para VC kini berinvestasi dalam jumlah kecil dengan nilai berkisar $100 ribu-$500 ribu. Ada juga yang mengatakan bahwa sesungguhnya gap ini paling dirasakan pada pendanaan seri A.

Saat ini, belum ada data yang dapat menunjukkan tren penurunan nilai pendanaan seed selama tiga-empat tahun terakhir. Hal ini karena sejumlah kesepakatan memang sengaja tidak umumkan agar startup dapat fokus untuk membangun produk dan terhindar dari publisitas pasar. Alhasil data yang tersedia saat ini hanya menampilkan jumlah deal untuk pendanaan seed dalam tiga tahun terakhir.

Namun, dari segi jumlah deal, pertumbuhan pendanaan tahap awal tidak terlalu signifikan. Startup Report DailySocial mencatat jumlah pendanaan seed (tidak termasuk pre-seed) mengalami naik-turun, antara lain 28 deal (2016) lalu naik menjadi 32 deal (2017), dan turun drastis ke 21 deal (2018). Sementara, pendanaan seri A mengalami penurunan drastis sebanyak 19 deal (2018) dari 29 deal (2017).

Investasi startup tahap awal dan series A di Indonesia
Jumlah deal pendanaan startup tahap awal dan series A di Indonesia

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan sejumlah VC di Indonesia, beberapa di antaranya mengakui adanya gap tersebut. Head of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai stage wise untuk pendanaan seed mulai menjadi masalah karena perolehan dana investasi yang dikelola VC semakin meningkat.

Sebagai contoh saja, dalam dua tahun terakhir, ada beberapa startup yang telah memperoleh penggalangan dana tahap awal dengan nilai besar. Contohnya, Ajaib mendapat suntikan dana sebesar $2,1 juta (Rp29,6 miliar). Adalagi platform agregator logistik Shipper yang menerima investasi awal $5 juta (Rp70,1 miliar).

Nah, karena tren ini, Aldi menilai tidak masuk akal apabila VC memberikan investasi dalam jumlah kecil lagi. Alih-alih menahan pendanaan seed, industri VC justru meningkatkan besaran investasinya. Kondisi ini juga membuat sejumlah VC beralih fokus pada startup di growth round karena pengalamannya terbukti dan risikonya kecil.

“Karena banyak kekosongan [investasi] di seed, kondisi ini akhirnya memaksa startup yang masih berada di tahap itu untuk sekalian saja menggalang dana dalam nilai yang lebih besar,” ungkap Aldi beberapa waktu lalu.

Nilai pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir
Deretan pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir

Fenomena ini berkebalikan dengan kondisi di 2014 ke belakang di mana saat itu belum ada sektor bisnis yang menunjukkan dominasinya. Pertumbuhan industri baru berkembang dan startup masih mencari model bisnis yang tepat. Masuk akal jika investor belum berani berinvestasi di later stage karena berisiko gagal.

Seiring berjalan waktu, industri startup di Tanah Air semakin matang. Dominasi mulai ditunjukkan oleh keberhasilan sejumlah pelaku startup dalam menjalankan bisnis e-commerce, ride-hailing, dan online travel. Seleksi alam pun terjadi di mana ada banyak startup yang gagal dan investor memilih jalur exit lewat merger dan akuisisi.

Kini, investor mengalami perubahan mindset di mana startup yang ingin menggalang pendanaan awal harus memiliki rencana traction dan monetisasi yang jelas. Dengan kata lain, investor semakin selektif dalam berinvestasi.

Menurutnya, perusahaan VC kini cenderung konservatif. Hipotesisnya tak lagi sebatas pada visi dan misi para founder, tetapi termasuk bagaimana startup memiliki rencana monetisasi yang jelas dalam beberapa tahun ke depan, cara untuk scale up untuk pengembangan bisnis, dan tidak hanya fokus dalam mencari pendanaan saja.

Ia menilai akan sangat berbahaya bagi investor apabila menaruh uang di awal dalam nilai besar pada sebuah startup hanya bermodalkan produk, tanpa tahu rencana monetisasi untuk menuju profitabilitas.

Sebagaimana kita tahu, pendanaan tahap awal atau biasa disebut seed mengacu pada penanaman modal di awal untuk mendukung bisnis sebuah startup sampai dapat menghasilkan uang sendiri atau sampai penggalangan dana berikutnya. Startup tahap awal biasanya belum memiliki traction.

Partner Venturra Discovery Raditya Pramana juga menilai bahwa tidak tepat apabila startup menggalang investasi besar di awal dengan traction yang nihil. Menurutnya ada banyak yang harus dilakukan startup untuk mencapai sebuah valuasi.

“Di Indonesia, pendanaan seed $1 juta itu normal, kan valuasi jadi naik. Pasar makin kompetitif, semakin banyak orang ingin menaruh uang dalam jumlah besar. Yang utama itu orang mau mengambil uang dalam jumlah besar dengan valuasi besar,” ujarnya.

Pria yang karib disapa Adit ini menilai gap pendanaan tahap awal mulai berangsur mengecil sejalan dengan kemunculan VC baru yang fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan seed di Indonesia.

Dampaknya bagi industri VC dan startup

Mindset investor tetap mengacu pada cuan. Memberikan investasi awal dalam jumlah besar tentu berisiko. Tetapi ada keuntungan yang dapat dirasakan bagi investor dan startup. Kami mencatat beberapa poin penting dari para VC terkait dampaknya bagi ekosistem startup di Indonesia.

Partner Alpha JWC Erika Dianasari menilai berkurangnya pendanaan VC pada seed justru membuka pintu bagi angel investor untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, tren pendanaan awal yang lebih besar justru dapat memperkuat fondasi para founder startup untuk lebih giat dalam membangun bisnisnya.

“Hal lain menjadi poin penting, seleksi alam akan terjadi antara pemain berkualitas dan bisnis yang solid. Ketika investor lihat potensi besar startup, kenapa tidak kita investasi lebih? Dengan begitu tim dapat fokus membangun milestone sambil membebaskan founder dari distraksi lain,” jelasnya kepada DailySocial.

Sementara menurut Aldi, tren pendanaan tahap awal dengan nilai besar memberikan nilai tambah bagi startup untuk memiliki kesempatan meraih pertumbuhan awal lebih cepat dari sebelumnya. Dengan pendanaan ini, startup dapat memaksimalkan pengembangan produk demi menggaet traction dan mempercepat pencapaian valuasi.

Soal pencapaian valuasi memang tidak bisa kita bandingkan pada lima tahun ke belakang. Startup masih kesulitan untuk membuahkan traction karena sejumlah faktor, seperti ekosistem digital di Indonesia yang belum matang, infrastruktur yang masih minim, hingga rendahnya awareness masyarakat terhadap layanan digital kala itu.

“Startup dapat berkembang menjadi lebih cepat karena mereka didukung oleh pendanaan yang besar. Hal ini tentu bagus [bagi industri startup], tetapi bisa berdampak buruk karena dapat menciptakan gelembung [ekonomi]. Ini sebaiknya dihindari agar [pendanaan] seed bisa balance lagi,” ucap Aldi.

Sementara itu, Adit menilai tingginya penggalangan dana untuk seed dapat mendorong industri VC. Menurutnya, semakin tinggi investasi yang dikucurkan, akan semakin besar juga fee yang dikantongi VC. Artinya, keuntungan ini dapat dimanfatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi tim, serta membangun kapabilitas dan defensibilitas sebuah VC.

Ia mencontohkan, penggalangan dana sebesar $10 juta dan $100 juta tentu akan berbeda pengelolaannya, demikian juga fee yang diterima. Bayangkan jika VC mendapat dua persen fee atau $2 juta per tahun dari $100 juta, tentu ini lebih menguntungkan bagi pengembangan bisnis VC.

“Sebagai investor, kalau beli barang karena kualitas bagus tapi untung kecil buat apa? Nah, kalau saya bayar mahal sekarang [investasi di seed], tidak apa deh karena valuasinya bakal besar,” papar Adit.

Di sisi lain, Adit memprediksi tren pendanaan seed dalam ticket size yang lebih besar akan terus berlanjut sampai terjadi market correction yang masif. Menurutnya, jika market correction di pasar saham terjadi, hal ini akan berdampak pada valuasi startup yang didanainya dan membuat private market seperti VC ikut jatuh.

Dari paparan di atas, kita dapat sepakat bahwa pendanaan tahap awal di Indonesia masih cukup aktif meskipun tidak tumbuh secara signifikan. Bahwasannya juga, VC sudah mengubah mindset berinvestasi sejalan dengan perkembangan industri dan lanskap bisnis digital di Indonesia.

Peluang investasi di Indonesia menjadi tak terbatas mengingat VC tak lagi menyuntik pendanaan pada startup yang mengembangkan produk murni teknologi. Kini, VC juga sudah mulai masuk ke startup tech enabler dengan model bisnis konvensional, seperti coffee chain dan warung tradisional.

Meminjam sebuah istilah, tren “pendanaan seed masa kini adalah seri A di masa lalu, dan pre-seed adalah seed lama” di Indonesia sebetulnya kini telah dimulai.

Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel in-depth ini.

Lima Hal Penting Membangun Budaya Kerja dan Mendidik Talenta di Startup

Menyongsong kemajuan era digital, Indonesia dihadapkan pada minimnya talenta-talenta berkualitas. Padahal talenta merupakan aset terpenting dalam membangun ekosistem digital di Tanah Air. Persaingan pun terjadi antar startup dalam memperebutkan talenta berbakat.

Di sisi lain, startup juga dituntut tetap eksploratif dalam mengadapi perkembangan teknologi dan pasar yang terus berubah. Diperlukan budaya kerja yang tepat agar startup dapat menjadi tempat berkarya yang nyaman bagi setiap karyawannya.

Di ajang idEA Works, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya berbagi pengalaman dan pandangan menarik tentang bagaimana membangun budaya kerja di startup dan mendidik orang untuk menjadi talenta yang potensial dan berkualitas di bidangnya.

Mari simak pengalaman inspiratifnya di sesi bertajuk “Gen of Good Talent” berikut ini:

Menjaga integritas perusahaan

Sebagai perusahaan media di bidang teknologi, Rama menegaskan pentingnya integritas kepada para pembacanya. Integritas menjadi penting untuk dapat menyajikan berita berkualitas dan terpercaya.

Perusahaan harus selalu berhati-hati dalam mempekerjakan talenta baru, tidak semata-mata hanya mengisi kekosongan sebuah posisi.

“As a media, integrity itu sangat penting. Apalagi [menyambut] industri 4.0, talenta menjadi aset penting. Makanya, kami tidak mau terburu-buru hire orang untuk menjaga integritas para pembaca kami,” tuturnya.

Media sosial sebagai personal branding

Diakuinya, dunia digital telah berkembang menjadi suaka baru bagi sejumlah orang. Setidaknya, sebagian dari kita memiliki lebih dari dua akun media sosial untuk bisa berinteraksi dengan banyak orang.

Yang mungkin kita tidak tahu, sejumlah perusahaan kini telah memberlakukan rekam jejak digital sebagai salah satu persyaratannya. Hal ini untuk melihat bagaimana attitude seseorang. Namun, Rama punya pandangan berbeda.

Ia menekankan bahwa media sosial sebetulnya dapat dimanfaatkan sebagai personal branding seseorang sebagai ruang kebebasan dan wadah untuk mengekspresikan diri.

“Saya percaya dengan rekam jejak digital, tapi kita tidak seperti itu. Masalah negatif dan positif itu subjektif. Jika menurut saya negatif, belum tentu buat orang lain. Soal [attitude] sebetulnya mau tak mau dilihat saat probation. Kalau tidak perform, kita cut,” paparnya.

Inisiatif dan transparan

Rama juga menyinggung tentang bagaimana kultur kerja dapat membangun kualitas talenta lebih baik. Diungkapkannya, ada sejumlah hal yang perlu ditanamkan kepada para karyawannya, seperti nilai  inisiatif dan transparansi.

“Inisiatif yang dimaksud, kalau yakin ada pekerjaan bisa dilakukan, ambil andil di dalamnya. Terlebih kamu yakin dengan metodemu dalam menyelesaikan pekerjaan,” ujar Rama.

Demikian juga transparansi dan kejujuran yang dijunjung tinggi perusahaan. Artinya, apabila merasa tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, karyawan tidak dipaksa untuk melakukannya.”Kalau bisa katakan iya. Kalau tidak, ini akan memakan waktu dan tenaga. Lebih baik dilakukan orang yang tepat,” katanya.

Memiliki risk tolerance

Nilai lain yang dibangun dalam kultur kerjanya, lanjut Rama, adalah memberikan kesempatan kepadan siapapun di perusahaan untuk mencoba sesuatu dan bereksperimen. Karena bukan tidak mungkin, eksperimen ini dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk perusahaan.

“Ini salah satunya yang membedakan startup dengan perusahaan korporat. Kalau punya ide, silakan dieksekusi. Tapi kami kasih deadline untuk merealisasikannya. Engineer kami pernah coba buat aplikasi, kami biarkan. Memang hasilnya tidak sesuai, tetapi dia belajar dari situ,” jelasnya.

Tetap dinamis, tapi tidak terlalu cepat

Startup disebut harus dinamis mengikuti perkembangan pasar. Tak heran jika startup terbiasa bereksperimen untuk mendapat sebuah solusi yang disruptif. Kultur ini yang sangat berbeda dengan perusahaan konvensional.

Rama menekankan pentingnya untuk bekerja lebih cepat dibanding perusahaan konvensional untuk menghemat waktu dan biaya. “Tetapi juga jangan terlalu cepat, itu tidak baik. Bagaimanapun butuh uji coba [solusi] sebelum launch ke pasar.”

Tantangan Bermedia di Era Digital

Media menjadi industri yang ikut berdampak karena perkembangan teknologi digital. Konsumsi orang dalam membaca berita pun bergeser, mulai dari durasi membaca makin pendek, lebih tingginya ketertarikan pada visual daripada tulisan, dan faktor lainnya. Lantas bagaimana solusinya?

Hal ini dijawab dalam salah satu diskusi panel yang diselenggarakan Qlue bertajuk Smart Citizen Day beberapa hari lalu, menghadirkan praktisi dari berbagai media seperti Hugo Diba (Kumparan), Rama Mamuaya (DailySocial.id), Edi Taslim (Kaskus), dan Karaniya Dharmasaputra (Bareksa).

Hugo Diba menjelaskan kehadiran Kumparan sejak 2017 ini adalah jawaban dari pergeseran konsumsi media. Pergeseran ini adalah suatu keniscayaan yang membuatnya percaya bahwa mau tak mau harus meredifinisikan kembali jurnalisme. Caranya harus dengan membangun tim terbaik dan teknologi terbaik.

“Perusahaan media itu harus jadi tech juga, makanya kita challenge tim IT kita bagaimana teknologi bisa bantu teman-teman jurnalis bisa dapat info lebih cepat dan akurat. Ada algoritma, trending topic, supply side kami perbesar. Alhasil jurnalis kami bisa kerja 4x lebih cepat. Visi misi kami adalah bagaimana menyampaikan berita dengan baik dan tepat,” terangnya.

Di sisi lain, Rama Mamuaya menambahkan perusahaan media memang harus beradaptasi dengan perubahan teknologi. Informasi yang disampaikan dalam konten harus sempurna tersampaikan dengan baik, apapun medium yang dipakai entah itu visual, teks, ataupun video.

“Perusahaan media harus tetap bertanggung jawab dengan kualitas konten yang disampaikan, apapun format yang mereka pakai,” katanya.

Kembali ke khittah awal

Sementara itu, perkembangan teknologi internet yang pesat membuat Kaskus berbenah diri agar tetap relevan dengan kondisi terkini. Edi Taslim mengatakan ekosistem internet 20 tahun lalu berbeda jauh, belum ada platform media sosial, sehingga Kaskus harus mencari cara agar tetap relevan dan menjadi destinasi untuk kultur pop.

Kaskus banyak meluncurkan inisiasi yang pada ujungnya mengembalikan Kaskus ke khittahnya sebagai platform diskusi yang berlandaskan pada kesamaan minat dan hobi.

“Jadi esensinya adalah tetap menjadikan Kaskus sebagai tempat orang membicarakan hobi. Itu yang kami pertajam sehingga membuat Kaskus tetap unik,” terang Edi.

Bagi Bareksa, penetrasi keuangan yang masih rendah saat ini adalah bukti ketidakmampuan jurnalisme elitis. Ini adalah jurnalisme yang memberitakan hanya untuk segelintir kalangan saja. Oleh karenanya, Bareksa ingin mendemokratisasikan kekuatan teknologi dengan industri keuangan terutama reksa dana agar bisa dijangkau oleh siapapun dari berbagai kalangan kelas ekonomi.

“Pengalaman di Bareksa, kami jadi fintech pertama yang mendapat lisensi APERD dari OJK. Investor ritel kami ada 450 ribu orang, itu mencerminkan 40% dari total investor reksa dana di Indonesia.”

Kolaborasi dengan berbagai pihak

Kolaborasi itu tidak berlaku untuk satu industri saja. Perusahaan media pun juga harus berkolaborasi. Rama menjelaskan untuk mengembangkan teknologi, agar bisa dikenal oleh siapapun, perlu harus gandeng berbagai pihak. Mulai dari pembuat kebijakan, pengambil keputusan, dan lainnya.

Hal ini juga diamini Karaniya. Dalam bisnisnya, Bareksa kini bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Bukalapak, Tokopedia, dan Ovo untuk memasarkan produk reksa dana online secara masif dan ritel. Agar semakin banyak orang yang terkonversi menjadi investor pasar modal.

“Kami ingin mereplika kisah sukses di Tiongkok. Dunia fintech tumbuh dengan pesat karena e-commerce dan e-money,” pungkasnya.

OCBC NISP Gelar Kompetisi Inovasi Mahasiswa IdeatiON 2019

Untuk kedua kalinya kompetisi bagi mahasiswa untuk menyuarakan ide dan gagasan seputar inovasi perbankan yang diinisiasi Bank OCBC NISP, IdeatiON, digelar. Berbeda dengan tema tahun sebelumnya yang hanya fokus ke inovasi perbankan digital, tahun ini IdeatiON mulai mengembangkan kategori ide di luar perbankan, namun dinilai relevan dan memiliki hubungan dengan layanan perbankan.

Dalam acara peresmiannya hari ini, (17/01), Head of Human Capital OCBC NISP Julie Anwar mengungkapkan, dipilihnya mahasiswa untuk menjadi peserta, karena kebanyakan dari mereka masih memiliki ide segar.

“Mungkin kalau mereka yang sudah berkecimpung di dunia startup agak sulit untuk menerima konsep baru. Berbeda dengan program akselerasi dan inkubator, IdeatiON lebih fokus kepada pengembangan ide dan manajemen di awal,” kata Julie.

Fokus ke proses validasi

Untuk memastikan ide yang sudah didaftarkan peserta nantinya bisa diimplementasikan, IdeatiON akan berkolaborasi dengan Wilanto Consulting yang sudah memiliki pengalaman di bidang perbankan. Pendaftaran IdeatiON sudah bisa dilakukan melalui situs IdeatiON 2019. Nantinya akan dipilih 10 finalis yang bakal dibagi menjadi 3-4 orang per tim. Hadiah yang diberikan kepada pemenang berkisar antara Rp10 juta hingga Rp25 juta.

“Bukan hanya uang, kami juga memastikan ide tersebut bisa dikembangkan setelah proses validasi dilakukan. Jika memang cukup relevan dengan OCBC NISP, bisa jadi akan kita kembangkan ke dalam bisnis OCBC NISP,” kata Julie.

Disinggung apakah nantinya IdeatiON akan berkolaborasi dengan perusahaan teknologi asing, venture capital, atau startup, Julie menyebutkan karena saat ini fokus adalah tahapan awal, IdeatiON tidak memiliki rencana untuk memperluas kemitraan. Untuk konsultan sendiri tidak hanya dari sektor perbankan, tetapi juga dari konsultan teknologi.

CEO DailySocial Rama Mamuaya yang turut hadir dalam acara tersebut menyambut kegiatan IdeatiON yang diinisiasi OCBC NISP ini. Mengacu pada pengalaman yang kerap dialami pendiri startup baru, tantangan terbesar yang dialami saat mendirikan startup adalah mengembangkan dan memvalidasi ide menjadi produk yang bisa dijual.

“Saat ini sekitar 95% startup terpaksa harus tutup ketika usia [perusahaan] masih di bawah 2 tahun. Fakta tersebut membuktikan proses awal terbilang cukup berat yang harus dilalui oleh semua pendiri startup. Untuk itu saya melihat kegiatan seperti ini bisa membantu mereka mengembangkan ide menjadi produk yang bisa digunakan oleh target pengguna,” kata Rama.

Mengukur Untung Rugi Korporasi Kolaborasi Bisnis dengan Startup

Korporasi besar makin mawas diri dengan keberadaan startup. Sadar daripada berlomba-lomba untuk mengejar startup, namun tidak ingin terlena dengan terjangan inovasi yang dihadirkan pemain startup, kini sudah eranya melakukan kolaborasi bisnis.

Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya mengatakan bahwa sebetulnya korporasi harus berpikir seperti startup. Namun dengan segala keterbatasan, korporasi tidak bisa langsung bekerja seperti startup. Justru yang perlu didorong terletak di sisi kolaborasi antara keduanya.

“Teknologi yang ada di lima tahun lalu, sudah tidak relevan lagi untuk dipakai lagi sekarang. Makanya perlu dorong kolaborasi dengan startup karena inovasi begitu cepat bergeraknya,” ucapnya saat mengisi sesi di The ICON, kemarin (13/11).

Mengutip dari riset Thomson Reuters, pada tahun ini secara global anggaran belanja untuk mendirikan R&D meningkat 11,4% atau senilai US$782 miliar. Peringkat pertama anggaran paling banyak dihabiskan untuk investasi perangkat lunak dan internet yang memakan porsi hingga 16,5% dibandingkan porsi lainnya.

Bentuk kolaborasi

Menurutnya bentuk kolaborasi antara korporasi dan startup ada tiga bentuk. Bentuk pertama dengan mengadakan hackathon. Kedua membuat inkubator atau akselerator, atau dukungan layanan (service support).

Hackaton yang rutin digelar, di antaranya BCA yang menantang startup untuk berinovasi di sektor keuangan digital, berikutnya Bank BTN yang spesifik mengatasi kebutuhan KPR lewat inovasi digital. Sedangkan untuk program inkubator dan akselerator yang cukup dikenal seperti Plug and Play, Indigo, dan Barclays Accelerator.

Bentuk ketiga berupa dukungan layanan, maksudnya memberikan kesempatan kepada startup untuk menyelesaikan suatu isu tertentu yang ada di internal korporasi. Nantinya startup tersebut akan didedikasikan menangani hal tersebut. Contoh program semacam itu ada Startup Connect dan Startup Xchange.

Korporasi dengan kapital yang besar, ada yang lebih memilih untuk melakukan investasi secara langsung ke startup yang sesuai dengan selera masing-masing. Menurut laporan 500 Startups, jumlahnya mencapai 60%. Dari persentase tersebut, 48% dilakukan lewat merger dan akuisisi (M&A).

Lainnya sebanyak 77% menyebut melakukan kemitraan bisnis dengan startup. Hal inilah yang ramai dilakukan oleh berbagai pihak. Di Indonesia saja, kemitraan ini sudah dilakukan di antaranya, Pos Indonesia – Tokopedia, Blue Bird – Traveloka, Bank Danamon – Investree, Telkom Indonesia – Privy ID, Unilever – Kata.ai, Djarum – Cermati, dan sebagainya.

Hasil kolaborasi

Masih dikutip dari sumber yang sama, disebutkan hasil dari kolaborasi ini buat korporasi belajar sesuatu yang baru (85%). Korporasi bisa mendapatkan solusi pemecahan masalah dengan cara yang baru dan bisa di-scale up (80%) dan terakhir tentunya berbicara soal efisiensi yang berhasil diraih dapat meningkat (81%).

Pada intinya, menurut Rama, pelajaran lainnya yang bisa dipetik adalah saatnya korporasi untuk bertransformasi, dengan mengubah mindset dan budaya seperti yang dilakukan startup.

Memasang mindset dengan selalu mengacu pada data, terus bereksperimen, dan fokus pada konsumen (consumer centric), bukan lagi pada proses (process centric). Lalu membuat budaya kerja yang penuh inovasi, transparan, toleransi pada risiko, dan bekerja cepat.

“Dalam eksperimen itu selalu ada kegagalan dan perusahaan harus siap untuk menghadapinya. Oleh karena itu butuh startup yang lebih agile dan enggak ada birokrasi untuk saling bantu, sebab kegagalan itu buat korporasi adalah harga yang sangat mahal.”

Setiap korporasi meluncurkan produk baru, setidaknya butuh waktu yang lebih lama untuk riset secara mendalam untuk memperkecil risiko kegagalan. Sebab setiap produk yang diluncurkan harus sukses besar karena di awalnya sudah menghabiskan banyak ongkos.

Untuk bisa bekerja seperti startup, kata Rama, sebaiknya dibuat tim kecil yang dikhususkan bekerja selayaknya seperti startup dalam suatu korporasi. Tim tersebut dianggap akan lebih fokus dalam berinovasi, lincah, apabila gagal mudah untuk terus maju dan berinovasi menuangkan idenya tanpa harus terbentur dengan birokrasi yang terbelit-belit.

Tim kecil disebutkan mampu bekerja dengan cepat hingga 200% dibandingkan tim biasa. Hal ini tentunya mempengaruhi pada siklus inovasi yang mereka ciptakan tumbuh sampai 75%.

Tantangan Startup Menjalankan Bisnis

Persoalan talenta, meyakinkan investor untuk mendapatkan pendanaan, hingga memasarkan produk merupakan masalah yang kerap ditemui oleh startup. Sifatnya yang men-disrupt menjadikan startup cukup sulit untuk mengembangkan bisnis di awal. Meskipun saat ini sudah ada 4 startup Indonesia yang berstatus unicorn, namun masih banyak startup baru yang kesulitan untuk memulai bisnis.

Di sesi diskusi Starthub Connect 2018 yang berlangsung di Indonesia Convention Exhibition, BSD, empat narasumber menyampaikan pengalaman dan mengupas permasalahan terkait dengan startup di Indonesia.

Dipandu CEO DailySocial Rama Mamuaya, keempat panelis tersebut adalah CTO EmasDigi Natali Ardianto, CEO Digital Ventures dan Emerging Business Sinar Mas Land Herry Santoso, CTO Investree Dickie Widjaja, dan Co-Founder dan CEO Goers Sammy Ramadhan.

Talenta asing vs lokal

Masih minimnya talenta yang berkualitas saat ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga engineer di startup, masih merupakan kendala yang banyak ditemui oleh startup. Salah satu solusi yang mulai banyak dilakukan adalah dengan merekrut tenaga kerja asing yang ternyata banyak memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan talenta lokal.

Menurut Natali Ardianto, langkah ini memang menjadi jalan pintas, namun di sisi lain membuktikan bahwa belum banyak talenta Indonesia yang memiliki kemampuan dan kualifikasi yang ideal.

“Sebenarnya sudah banyak effort yang dilakukan oleh pelaku startup dan teknologi di Indonesia untuk mengembangkan talenta yang ideal, namun permasalahan kurikulum dan hal terkait lainnya, menyulitkan universitas untuk mulai memberikan pelajaran tersebut kepada mahasiswanya,” kata Natali.

Sammy Ramadhan menambahkan, saat ini demi mendapatkan talenta yang berkualitas, sudah banyak inkubator hingga lembaga pendidikan yang memberikan edukasi dan pelatihan pemrograman kepada siswa SMK hingga orang umum. Di Goers sendiri, salah satu cara untuk merekrut talenta adalah dengan menjalin kerja sama dengan SMK dan Binar Academy.

Sementara itu menurut Dickie Widjaja, talenta yang ideal tidak hanya mengedepankan latar belakang pendidikan saja, tapi mereka juga harus kreatif. Kebanyakan startup masih terlalu fokus untuk mengembangkan bisnis, masih sulit untuk menemukan talenta yang ideal sesuai dengan kebutuhan.

Menemukan investor yang tepat

Dalam kesempatan tersebut turut hadir perwakilan investor Herry Santoso yang cukup aktif merangkul perusahaan teknologi untuk berkantor di BSD, Tangerang.

Disinggung strategi apa baiknya yang bisa diterapkan startup untuk mendapatkan perhatian dari investor, Herry menyebutkan startup harus memiliki produk yang long lasting yang pada akhirnya bisa meyakinkan investor. Ditambahkan olehnya, pada akhirnya investor hanya ingin mendapatkan return dan profit yang lebih dari startup, usai investasi diberikan.

“Untuk memulai bisnis tidak perlu menyesuaikan investor yang relevan dengan bisnis yang akan dijalankan, misalnya startup yang menyasar healthtech harus mendekati investor yang memiliki latar belakang tersebut, jika produk menarik dan dinilai memiliki potensi, semua investor pasti akan tertarik untuk berinvestasi,” kata Herry.

Menurutnya, pada akhirnya pemilik startup harus bisa menentukan model bisnis dari startup yang didirikan, menemukan value dari tim, hingga menentukan investor yang relevan.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Starthub Connect 2018

Asia Pacific Media Forum 2018 Invites Startups to Create Marketing and Advertising Automation Solution

BIG BREAK competition will be held as part of Asia Pacific Media Forum (APMF) 2018, inviting Asia-Pacific startups to propose a solution for advertising, marketing, and consumer engagement in anticipating industrial revolution. The five select startups will be pitching in front of 1000 delegates of APMF 2018 in Bali, 2-4 May 2018.

It’s part of APMF contribution in building a creative ecosystem to support innovation. This initiative in line with Presiden Joko Widodo’s priority to build an entrepreneurial ecosystem, for the industry to explore the digital economy potential.

To participate in BIG BREAK 2018, startup may submit its proposal before April 14, 2018 through http://apmf.com/bigbreak. Submitted proposals will be evaluated by the panel of experts that include Eka Sugiarto (Unilever’s Head of Media for Indonesia and SEA), Andy Budiman (Kompas Group’s Director of Radio and Digital), Ajay Gupte (Wavemaker Indonesia’s CEO), Sunilkumar Suvvaru (Capella Digital’s Director), andAndi Boediman (Ideosource’s Managing Partner).

The delegates of companies, innovators, trend makers, and media will be discussing on how industry stay relevant among ongoing revolution. Andi Sadha, Head of APMF said, “Among the rapid implementation of automation and artificial intelligence, the existing business model and skill are threatened.”

McKinsey predicts there will be transition on entire workforce starting in 2030. The rapid growth of automation will affect all disciplines and replace up to 60% of the active workers.

“Therefore, industry players need new ways and solutions in re-writing its business model to stay relevant in the new era. This is an opportunity for startups to innovate,” he continued.

Rama Mamuaya, CEO & Founder of DailySocial.id, who also serves as Head of BIG BREAK selection committee said, “Startup companies play an important role in managing hidden potential in the digital economy. We are excited in welcoming the solutions offered in response to the recent industry challenge.”

Startups will be able to pitch their solution and the select five will receive a platinum ticket for all sessions of APMF 2018, two exhibition tickets, and networking session with five well-known curators.

Since initially held in 2005, APMF has become biennale event in three main format: Conference, involving all delegates with many speakers in short sessions; Advanced Class, intensive classes, each led by top-tier speakers with limited seats, participants can learn directly from the experts and develop plans for business; and Expo, an exhibition of the latest solutions in technology, communication, and digital.

AMPF 2018 will introduce Braindates, a new format where limited participants can directly meet the speakers for further discussion.

This year, several top speakers will be presenting, including Nielsen Global’s Vice President of Digital Audience Measurement Marissa McArdle, Universal Music Group Global’s SVP for Brand Partnership Manuel Hubault, Frame A Trip’s Founder Dian Sastrowardoyo, and BEKRAF’s Vice Chairman Ricky Pesik. Speakers will be displaying their latest findings and insights on consumer’s behavior, disruptive technology applications (big data, blockchain, and machine learning), along with shifting in media landscape.


Disclosure: DailySocial is a media partner of Asia Pacific Media Forum 2018. Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian