Berkenalan dengan Solusi SaaS “Cards” untuk Kelola Pesantren dan Santri

Upaya pemerataan solusi digital masih terus diupayakan oleh berbagai pihak. Kali ini datang untuk menyelesaikan masalah pengelolaan di pondok pesantren. Inisiasi pertama digagas oleh Muh Arif Mahfudin (CEO), Hari Yuliawan (COO), dan Agung S. D. (CTO) yang terinsipirasi saat berdiskusi dengan pengurus di salah satu pesantren di Kabupaten Cilacap, Jawa Barat.

“Kami bertemu dengan pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihya Ullumadin. Beliau bercerita kesulitan mengelola uang saku santri yang jumlahnya lebih dari 1.500 orang. Saat ini banyak problem, mulai dari pembagian uang saku harian yang cukup menguras waktu, laporan uang hilang, pencatatan transaksi tidak akurat, hingga pelaporan penggunaannya kepada para orang tua,” ujar Arif saat dihubungi DailySocial.id.

Sebelum hadir dengan Cards, sebenarnya produk pertama yang mereka bertiga buat adalah SaaS, dinamai Cazh. Solusinya tidak jauh berbeda dengan aplikasi kasir online lainnya di pasaran, yakni pencatatan buku yang lengkap, terintegrasi dengan sistem pembayaran digital, dan memiliki situs online sendiri.

Solusi ini sendiri sudah ada sejak perusahaan berdiri di 2018. Namun dalam perjalanannya, Cazh tidak luput dari dampak pandemi. Akhirnya, mengharuskan Arif dan kawan-kawan untuk pivot, sampai akhirnya yakin dengan potensi dari Cards yang lebih menjanjikan.

“Semenjak pandemi di Maret 2020, kami melihat pengguna POS kami turun signifikan karena memang kondisi waktu itu banyak outlet terpaksa tutup operasional, terutama merchant kuliner. Hal ini berdampak pada pemasukan kami.”

(Ki-ka) Co-Founder Cards: Hari Yuliawan (COO) dan Muh Arif Mahfudin (CEO) / Cards

Berbekal data internal, ternyata merchant POS yang masih berjalan saat itu adalah kantin di pondok pesantren. Lantas hal tersebut didalami lebih jauh oleh tim. “Hasilnya, kami mengembangkan fitur membership dari Cazh menjadi layanan yang lengkap untuk sekolah sebagai produk Cards, sedangkan Cazh Pos sebagai pendukung dari ekosistem Cards.”

Ekosistem kartu digital Cards

Setelah mendalami permasalahan di pondok pesantren, Arif dan timnya sepakat untuk pivot. Dari hasil masukan, pengurus pesantren menginginkan solusi lengkap, tidak hanya aplikasi kasir untuk kantin saja, tapi juga transaksi yang aman dan mudah untuk uang saku, dasbor manajemen untuk sekolah, hingga aplikasi yang dapat digunakan para orang tua untuk memantau anaknya di pesantren.

“Mereka ingin ada solusi perbankan, semisal transaksi menggunakan e-money tidak menyelesaikan masalah. Meski e-wallet itu alternatif yang aman dan mudah secara non-tunai, tapi tidak bisa diterapkan di pondok pesantren karena mereka tidak diperkenankan bawa smartphone. Untuk itu, perlu dicarikan solusi yang sesuai dengan kondisi dan teknologi yang memungkinkan untuk diterapkan di sana.”

Arif dan kawan-kawan yang sebelumnya berlatar belakang di dunia finansial, tertantang melihat tantangan tersebut untuk bisa memberikan solusi agar pengelolaan pesantren dapat lebih efisien, mulai dari administrasi, pengelolaan uang saku, hingga keuangan dapat dilakukan oleh sistem.

“Jadi waktu pengurus yang sebelumnya digunakan untuk mengurus administrasi, bisa berfokus pada peningkatan kualitas sistem pendidikan santri.”

Ada lima pihak yang terhubung dalam ekosistem Cards. Pertama, manajemen sekolah dapat mengelola dan memantau semua data dari satu dasbor, baik untuk mengatur data akademik, jadwal, pengumuman, tagihan, tabungan siswa, mengelola kartu, top-up, limit, blokir/unblokir, dan sebagainya.

Kedua, guru dapat mengelola data terkait akademik, jadwal pelajaran, presensi, dan rapor siswa. Ketiga, kantin akan mendapat akses kelola toko, karyawan, melayani penjualan tunai dan non-tunai, QR Code untuk menu makanan, dan laporan penjualan.

Keempat, untuk orang tua tersedia aplikasi Cards untuk top up saldo sebagai uang saku anak, membatasi transaksi harian, melihat riwayat saldo, bayar tagihan sekolah, melihat presensi, informasi, jadwal, hingga rapor. Terakhir, untuk siswa akan mendapatkan kartu ID eksklusif dengan desain yang dapat disesuaikan dengan branding sekolah.

Kartu tersebut menjadi identitas mereka di dalam dan di luar sekolah, saldonya dapat digunakan untuk jajan di kantin, bayar tagihan di admin, dan presensi. Bila kartu hilang, dapat diblokir, untuk diganti baru, dengan jaminan saldo tetap aman.

Startup asal Purwokerto ini pun mantap untuk memperluas adopsi Cards ke lebih banyak pesantren. Pasalnya, dari populasi pesantren yang berjumlah lebih dari 30 ribu dengan total santri sekitar enam juta ini, punya permasalahan yang relatif sama. Dapat dipastikan solusi Cards dibangun berdasarkan dari masalah yang nyata di lapangan.

Adopsi kartu ID santri di kantin pesantren / Cards

“Solusi dari hulu ke hilir menjadi andalan kami kepada pondok pesantren. Kami membantu digitalisasi tidak hanya dari sisi transaksi dan keuangan, tetapi mulai dari penyediaan situs pondok, sistem penerimaan santri baru, pembayaran tagihan atau istilahnya di sini uang jariyah, hingga fasilitas untuk alumni.”

“Jadi sebenarnya pembeda kami dengan yang lainnya adalah ekosistem yang kuat antara santri, lembaga, orang tua, unit bisnis pondok dan alumni, di mana memungkinkan mereka untuk terus terhubung,” sambung Arif.

Rencana berikutnya

Arif menjelaskan sejak Cards dimulai pada Maret 2021, hingga kini solusinya telah digunakan oleh lebih dari 190 pondok pesantren dan sekolah swasta dari TK hingga SMA. Dari total pengguna, sebanyak 80% di antaranya datang dari instansi pondok pesantren, sisanya dari sekolah swasta. Rata-rata jumlah siswa per sekolah berkisar 300-500 siswa. Lokasinya mayoritas di kota lapis dua dan tiga di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Selanjutnya, dari situ total pengguna, ada sebanyak 65 ribu kartu siswa dan santri yang telah terdistribusi dan dapat digunakan sebagai alat transaksi di kantin sekolah mereka. Adapun dari sisi nominal transaksinya, diklaim mencapai Rp143 miliar untuk lebih dari dua juta kali transaksi di 2022.

Sosialisasi Cards / Cards

Ke depannya, Cards akan ditingkatkan kemampuan dengan solusi perbankan digital yang lengkap untuk dunia pendidikan di sekolah dan pesantren, mulai dari pembayaran, keuangan, hingga pembiayaan. Tak hanya, fungsi kartu Cards untuk cross selling, memungkinkan para santri untuk bertransaksi di luar ekosistem pondok pesantrennya.

Dengan model bisnis B2B ini, Arif mengaku pihaknya dapat menutup seluruh operasionalnya dari pendapatan yang rutin diperoleh setiap bulannya. Sebagai catatan, Cazh dengan produk sebelumnya, sempat mendapat pendanaan tahap awal berkat masuk sebagai peserta inkubasi di Indigo (Telkom). Dana tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan produk.

“Pada tahun ini kami berencana mempercepat perluasan layanan dan juga pengembangan produk. Untuk itu, kami masih butuh dukungan investasi dari pihak lain kaitannya dehgan hal itu.”

Mengenai prospek bisnis POS Cazh, Arif menegaskan bahwa produk tersebut masih berjalan, hanya saja tidak dipasarkan secara masif lagi sebagai produk utama, hanya terbatas di kalangan pesantren dan sekolah. Saat ini tim produk masih bekerja untuk pengembangan Cazh Pos versi dua yang berfokus pada perbaikan fitur dan penambahan fitur keanggotaan dan program loyalitas.

Diharapkan kehadiran fitur teranyar tersebut dapat mendongkrak adopsi Cards sebagai platform keanggotaan untuk pelanggan merchant Cards. “Rencananya akan kami rilis di awal kuartal II tahun ini. Harapannya Cazh Pos ini tidak sekadar POS, tetapi juga mendukung merchant dengan program-program pelanggan yang menarik dan terhubung dengan ekosistem Cards,” pungkas dia.

Paper.id Dikabarkan Mendapat Pendanaan Seri B Dipimpin Go-Ventures

Paper.id dikabarkan telah merampungkan penggalangan dana lanjutan di putaran seri B. Menurut data yang telah disubmisi ke regulator, putaran ini dipimpin oleh Go-Ventures dan didukung sejumlah investor seperti BM Capital, Skystar Capital, PT Kaya Alam Internasional, Living Lab Ventures, dan Redbadge Pacific.

Investasi yang diperoleh diperkirakan sekitar $12 juta atau sekitar 187 miliar Rupiah. Kami sudah mencoba melakukan konfirmasi ke tim terkait untuk meminta pernyataan.

Pertengahan tahun lalu perusahaan sempat memberikan informasi kepada DailySocial.id bahwa mereka tengah melakukan penggalangan dana Seri B. Co-Founder & CEO Paper.id Jeremy Limman menyebutkan, saat itu perusahaan dalam proses finalisasi dan rencananya dana segar tersebut digunakan untuk mendukung perkembangan produk yang sudah terbukti berkembang pesat selama pandemi ini.

Pendanaan terakhir yang diterima oleh Paper.id adalah tahun 2019 lalu untuk tahapan seri A dari perusahaan fintech Modalku dan Golden Gate Ventures. Awal tahun 2018 mereka juga telah mengantongi pendanaan awal dari Golden Gate Ventures.

Perluas layanan dan kemitraan

Sejak awal pandemi Paper.id mengklaim jumlah pengguna telah berkembang hampir 3x lipat dari sebelumnya. Jumlah invoice yang telah diproses pun mencapai level tertinggi hingga Rp9 triliun lebih, angka tersebut diklaim naik 2x lipat dari periode yang sama di tahun lalu. ​

Saat ini Paper.id memiliki 300 ribu pengguna dan tersebar di lebih dari 300 kota dan kabupaten di Indonesia.

Didirikan pada akhir 2016, Paper.id dapat diintegrasikan dengan sistem ERP perusahaan besar lewat API atau menjadi solusi end-to-end bagi UMKM sehingga menghubungkan dan mendigitalisasikan seluruh proses supply chain.

Paper.id menyediakan berbagai fitur untuk mendukung digitalisasi invoice, pembayaran bisnis dengan berbagai metode salah satunya dengan kartu kredit, penagihan dan pencatatan bisnis dalam satu platform dengan model freemium.

Perusahaan juga telah meluncurkan produk paylater atau Buy Now, Pay Later (BNPL) B2B. Bagi buyer, mereka bisa mendapatkan manfaat berupa perpanjangan tempo. Supplier juga bisa merasakan manfaat lainnya dari produk ini melalui fitur baru bernama “Get Paid Faster”.

Application Information Will Show Up Here

Startup HR-Tech “Venteny” Segera IPO, Incar Dana Segar 422 Miliar Rupiah

Startup HR-tech Venteny akan meramaikan pasar modal dengan mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia pada 14 Desember mendatang dengan ticket VTNY. Venteny melepas 939,78 juta lembar saham atau 15% dari modal ditempatkan dan disetor penuh.

Menurut prospektus perseroan, harga yang ditawarkan kepada masyarakat sekitar Rp350 hingga Rp450 per saham, sehingga dana segar yang diperoleh sebanyak-banyaknya dari aksi korporasi ini adalah Rp422,9 miliar.

Perseroan merinci penggunaan dana IPO, yakni sebesar 42% atau Rp177,62 miliar akan digunakan untuk pinjaman kepada entitas anak PT Venteny Matahari Indonesia. Setelah dana dikembalikan, sebanyak 30% di antaranya digunakan untuk pengembangan aplikasi super Venteny yang bergerak pada solusi manajemen SDM, termasuk penguatan IT, produk, ekspansi bisnis di luar pulau Jawa.

Lalu, sisanya akan digunakan untuk modal kerja, termasuk perkuat tim, dan strategi pemasaran sehingga bisa mendorong aktivitas penguatan awareness brand Venteny.

Perseroan juga mengadakan program employee stock allocation (ESA) dengan jumlah sebanyak-banyaknya 1 juta saham atau 0,11% dari saham yang ditawarkan pada saat penawaran perdana saham untuk program ESA saham kepada karyawan. Juga menyetujui pelaksaaan program Management and Employee Stock Option Plan (MESOP) dengan jumlah sebanyak-banyaknya 532,5 juta saham atau 7,38% dari modal ditempatkan dan disetor setelah Penawaran Umum Perdana Saham, pelaksaaan ESA, dan MESOP.

BRI Danareksa Sekuritas, Surya Fajar Sekuritas, dan Mirae Asset Sekuritas Indonesia ditunjuk perseroan sebagai penjamin pelaksana emisi efek dalam aksi korporasi ini.

Masa penawaran awal dimulai pada hari ini sampai 29 November mendatang. Sementara untuk perkiraan tanggal pencatatan di BEI pada 14 Desember 2022.

Masih dari sumber yang sama, per Juni 2022, Venteny mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar Rp29,2 miliar atau naik 71% secara year-on-year. Beban pokoknya tercatat sebesar RP18,22 miliar, naik 196%, sementara untuk laba komprehensif tahun berjalan tercatat sebesar Rp4,92 miliar, naik drastis hingga 2.005%. Kenaikan ini sejalan dengan pendapatan netto dan peningkatan penghasilan komprehensif lain atas selisih kurs.

Adapun untuk aset perseroan mencapai Rp354,52 miliar, meningkat 47% secara year-to-date dan liabilitasnya juga naik menjadi Rp273,89 miliar meningkat 31%.

Perkembangan Venteny

Venteny sendiri adalah startup HR-tech yang menyediakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan karyawan melalui peningkatan employee happiness dan employee engagement. Pertama kali diperkenalkan di pasar Filipina pada 2015, melalui kantor operasional VENTENY Inc., layanan ini secara resmi beroperasi di Indonesia pada 2019 dan mendirikan kantor pusatnya di sini.

Venteny membangun ekosistem employee superapp melalui kerja sama dengan pihak ketiga untuk menyelenggarakan beberapa layanannya, seperti Program Teknologi Keuangan (V-Nancial), Program Asuransi Berbasis Teknologi (VENTENY Insurance & Protection Program) atau “VIP”, Program Keuntungan Karyawan (V-Merchant), dan Program Pendidikan Berbasis Teknologi (V-Academy).

Melalui fitur V-Nancial misalnya, terdapat tiga jenis employee loan, yakni Multipurpose Loan, Education Loan, dan Cash Advance yang serupa dengan kasbon yang dapat dipilih. Perseroan bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan yang telah memiliki izin dari OJK sebagai sumber akses dana darurat karyawan.

Dalam prospektus juga disampaikan, bisnis keuangan punya prospek yang cerah di Indonesia karena adanya kesenjangan pendanaan UMKM yang tidak terpenuhi. Posisi perusahaan sebagai lender punya peluang, dapat memberikan pinjaman yang tidak terbatas selama repayment capacity tersedia. Bermitra dengan beberapa perusahaan p2p dapat mencakup lebih banyak pasar, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengakuisisi salah satu perusahaan.

“Di mana saat mengakuisisi P2P tersebut, perseroan akan lebih dapat mengendalikan proses bisnis keuangan dan aktivitas operasional perusahaan tersebut,” tulis prospektus.

Model bisnis yang diterapkan Venteny, terdiri dari tiga segmen, yakni B2B, B2B2E, dan B2C. Kontribusi dari B2B mendominasi dengan pertumbuhan pengguna mencapai 161,61% per Maret 2022. Diklaim ada lebih dari 200 korporat yang menaungi lebih dari 200 ribu karyawan yang menjadi penerima benefit dari Venteny.

Selain B2B, Venteny juga akan terus mengoptimalkan layanannya ke segmen B2B2E pada tahun ini dan mempersiapkan program My Benefits, yang didesain khusus berdasarkan orientasi divisi HR (Human Resources) atau SDM (Sumber Daya Manusia) di perusahaan. My Benefits mengusung skema berlangganan yang dibayarkan perusahaan untuk para karyawannya, mengakses fitur-fitur eksklusif, seperti pelatihan, asuransi, hingga penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang gaya hidup.

Dalam data terakhir, Venteny sudah beroperasi di 3 negara, yaitu Filipina, Singapura, dan Indonesia, dengan lebih dari 250.000 pengguna di Filipina dan lebih dari 220.000 pengguna di Indonesia.

Mengutip dari CNBC Indonesia, Founder & Group CEO Venteny Jun Waide mengatakan setidaknya ada dua negara yang dibidik perseroan pada 2023, yakni Vietnam dan Thailand. Menurutnya, kedua negara ini dinilai punya potensial yang sama dengan Indonesia.

[Video] Inovasi CrediBook untuk Digitalisasi UMKM

DailySocial bersama CEO CrediBook Gabriel Frans membahas kinerja perusahaan dua tahun ke belakang dan bagaimana fokus bisnis saat ini.

Sebagai platform yang membantu digitalisasi UMKM, CrediBook menghadirkan layanan yang fokus pada pemberdayaan usaha grosir konvensional dengan pendekatan teknologi rantai pasok.

Menurut Gabriel, sektor grosir ini masuk ke dalam kategori agnostik, dalam artian banyak kategori produk yang bisa dijual.

Bagaimana upaya CrediBook untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia? Seperti apa tren perusahaan platform serupa dalam mendukung ekosistem digitalisasi UMKM?

Simak pembahasannya di video wawancara berikut.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Startup SaaS Kuliner “Runchise” Umumkan Pendanaan Awal

Startup pengembang layanan SaaS untuk bisnis kuliner Runchise mengumumkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang dirahasiakan. Putaran investasi ini dipimpin oleh East Ventures, diikuti sejumlah investor meliputi Genesia Ventures, Arise MDI Ventures, Init-6, Prasetya Dwidharma, Alto Partners, dan sejumlah angel investor.

Ini bukan kali pertama SaaS yang spesifik untuk industri kuliner hadir, sebelumnya sudah ada Esensi Solusi Buana (ESB) yang juga fokus di area tersebut. Bahkan startup yang didukung Alpha JWC dan sejumlah investor ini sudah membukukan pendanaan seri B tahun ini senilai $29 juta atau sekitar 420 miliar Rupiah.

Runchise sendiri hadir tahun ini, didirikan Daniel Witono, yang sebelumnya dikenal sebagai founder Jurnal (diakuisisi Mekari). Dalam wawancaranya bersama DailySocial.id di bulan Juni 2022 lalu, ia mengatakan bahwa Runchise dibangun sebagai sebuah “outlet management solution“.

“Perkembangan bisnis kuliner dipengaruhi oleh pengelolaan atau sistem manajemen yang baik. Dengan menggunakan teknologi, kami yakin para pengusaha akan bisa meningkatkan profit dan meningkatkan output dari usaha. Runchise hadir menjadi solusi bagi pemilik bisnis kuliner, memberi para usaha kuliner solusi yang lengkap dalam satu platform di mana kebutuhan seluruh operasional usaha kuliner bisa terpenuhi,” ujar Daniel seperti disampaikan dalam rilis resminya.

Daniel juga mengatakan, salah satu segmen pasar utama Runchise adalah pebisnis waralaba (franchise). Persoalan tentang pengelolaan hingga pembinaan franchise masih menjadi tantangan yang kerap dirasakan oleh pemilik brand F&B. Mulai dari kurangnya transparansi dari penerima waralaba hingga penggunaan bahan baku yang tidak sesuai.

Layanan Runchise

Ada tiga layanan utama yang disajikan Runchise. Pertama adalah Supply Chain Management, tugasnya memudahkan operasional restoran yang memiliki banyak outlet, mulai dari pengaturan dan pengadaan stok, bahan baku, hingga pengaturan akses data perusahaan yang fleksibel. Kedua ada Point of Sales, memudahkan proses transaksi dengan pelanggan. Dan ketiga Online Ordering, untuk memudahkan pemilik gerai mengintegrasikan dengan layanan food delivery.

Runchise akan mengalokasikan dana dari investor untuk menambah talenta dan memperkuat tim, mengembangkan produk, dan inisiatif pemasaran. “Melalui investasi dan kolaborasi dengan investor, kami akan terus melakukan inovasi dengan menggunakan teknologi untuk meningkatkan performa bisnis F&B  dan menjadi mitra teknologi terpercaya di industri ini,” kata Daniel.

General Partner Genesia Ventures Takahiro Suzuki memberikan pandangannya terhadap potensi digitalisasi industri kuliner. “Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita telah melihat bagaimana inovasi dan digitalisasi telah memberikan peluang baru bagi UMKM, khususnya sektor kuliner pada masa pandemi. Industri consumer food menjangkau hingga $50 miliar, dengan sebagian besar masih dijalankan secara offline, hal ini membuktikan bahwa masih banyak kesempatan untuk berinovasi, digitalisasi dan pertumbuhan di sektor ini,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Dengan pengalaman mengoperasionalkan perusahaan yang sedang berkembang dan menjadi founder untuk yang kedua kalinya, kami yakin Daniel beserta tim dapat menangkap peluang tersebut serta membawa progres yang positif bagi industri F&B di Indonesia.”

Klaim Profitable, Platform SaaS Logistik MileApp Rencanakan Ekspansi Regional

Tidak banyak startup yang justru mencatatkan cashflow positif selama pandemi, bahkan tidak lagi mencari pendanaan eksternal selama tiga tahun terakhir seperti MileApp. Platform SaaS logistik MileApp fokus kepada solusi manajemen armada dan pengaturan rute di lapangan. Saat ini mengklaim telah mengalami pertumbuhan bisnis yang positif hingga 2x lipat.

Tahun lalu perusahaan juga telah mengalami profitabilitas, melalui capaian 1,5 juta transaksi per harinya. Kepada DailySocial.id, CEO MileApp Dika Maheswara mengungkapkan, tahun depan masih ada target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya memperluas layanan di Indonesia dan kawasan regional.

Inovasi untuk bisnis

Perusahaan seperti JNE yang sejak awal sudah menjadi klien mereka, bahkan telah memiliki beberapa teknologi unggulan yang sengaja dibangun oleh MileApp untuk melancarkan bisnis mereka. Tercatat saat ini MileApp telah memiliki klien seperti Mitsubishi, Sosro, Segari, Syurbox. Berbeda dengan UMKM, untuk klien yang sudah masuk dalam level korporasi, semua bisa membangun solusi sendiri sesuai dengan kebutuhan.

Ada sekitar 50 ribu pengguna yang telah menikmati layanan MileApp, kalangan enterprise hingga UMKM dan area yang sudah mereka jangkau ada sekitar 10 ribu lokasi.

Use case yang ada di MileApp adalah bukan hanya sekedar pick-up dan delivery saja, tapi juga inspeksi dan lainnya. Dari satu platform beberapa bisnis proses bisa dilakukan,” kata Dika.

Hal tersebut dinilai yang membedakan MileApp dengan platform SaaS logistik serupa yang hadir saat ini di Indonesia. Diketahui bukan hanya pemain lokal, namun pesaing MileApp saat ini adalah kebanyakan perusahaan dari India. Namun karena kurangnya pemahaman mereka terhadap wilayah di Indonesia, memberikan keuntungan tersendiri bagi MileApp.

Platform yang menawarkan layanan dan teknologi serupa di Indonesia saat ini di antaranya, Shipsy, Logisly, Shipper, Webtrace, dan Andalin.

“Secara produk MileApp bisa digunakan oleh UMKM. Saat ini kita memiliki klien yang hanya memiliki 10 pengguna saja. Namun karena self on boarding, mereka bisa membuat sendiri proses seperti apa yang ideal,” kata Dika.

Belum memiliki rencana galang dana

 

MileApp di awal adalah bagian dari Paket.id, yang merupakan platform untuk kurir pickup dan delivery. Saat ini akhirnya dibuat menjadi standalone platform karena berbeda model bisnis dengan Paket.id yang lebih fokus kepada B2B dan B2C. Hingga saat ini Paket.id tetap tumbuh dan saat ini juga sedang membangun jaringan logistik dengan klien klien MileApp.

Setelah melihat pertumbuhan perusahaan yang positif tahun lalu bahkan sudah mencapai profitabilitas, mereka belum memiliki rencana untuk menggalang dana putaran tahapan lanjutan. Penggalangan dana terakhir yang dilakukan oleh MileApp adalah pendanaan awal dari MDI dan BonAngels.

Salah satu alasan mengapa mereka enggan untuk melakukan penggalangan dana adalah, masih ingin fokus kepada pencapaian metrik perusahaan, yaitu melakukan ekspansi ke kawasan regional. Menurut Dika, dilihat dari produk dan teknologi yang mereka kembangkan, menjadi ideal jika sudah ada kebutuhan yang sesuai untuk kemudian diterapkan di negara lain.

“Sebetulnya bukan menolak namun saya merasa waktunya belum tepat. Masih ada beberapa metrik yang belum kita achieve yaitu ekspansi ke luar Indonesia. Saya ingin membuktikan dulu bahwa platform kita bisa digunakan di negara lain juga,” kata Dika.

Sebelumnya perusahaan juga sempat melakukan uji coba di Australia, namun karena adanya gap yang diperlukan oleh pasar di sana dengan apa yang dimiliki oleh MileApp, uji coba tersebut kemudian dihentikan.

Tahun depan ada beberapa target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya adalah fokus kepada pengembangan produk dan perluasan pasar. Terutama setelah mereka melakukan perubahan kepada proses on-boarding. Didukung oleh tim yang berjumlah 55 orang, saat ini MileApp juga masih terus melakukan proses perekrutan pegawai sesuai dengan kebutuhan.

“Ekspansi di dalam negeri masih terus dilakukan, namun kita juga fokus untuk bisa melancarkan produk ke luar negeri. Kita juga akan terus melakukan improvement di layanan dan produk untuk klien,” kata Dika.

Application Information Will Show Up Here

SmartSeller Kembangkan Layanan Omnichannel untuk UMKM

Aplikasi yang membantu pengelolaan pesanan, pengiriman, serta laporan keuangan dari sebuah bisnis sudah bukan hal yang baru di Indonesia. Inisiatif ini telah berlangsung sebelum pandemi dan berhasil menanjak popularitasnya di saat pembatasan skala besar diberlakukan — yang mengharuskan masyarakat tetap tinggal di rumah dan melakukan berbagai interaksi secara daring.

Salah satu aplikasi yang sudah cukup lama meluncur di pasar adalah Ngorder, yang menargetkan para pedagang baik itu reseller, dropshipper, ataupun supplier. Per 4 April 2022, perusahaan memutuskan untuk berganti nama menjadi “SmartSeller” serta memperluas jangkauan layanannya menjadi perusahaan teknologi di bidang shipping dan order management.

Selain rebranding, perusahaan juga telah memperbarui beberapa fitur di antaranya aplikasi kelola jualan online, aplikasi manajemen order, aplikasi stok barang, dan web toko online. Melalui platform pengelolaan omnichannel berbasis cloud yang kuat, perusahaan menargetkan pebisnis baik online maupun offline bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses penjualan.

SmartSeller menawarkan setidaknya lima fitur utama dalam aplikasinya. Pada fitur Order Management, para pengguna dapat mencetak label pengiriman dan invoice, mendapatkan notifikasi nomor resi secara otomatis dan barcode untuk input produk dengan cepat. Pengguna juga bisa menentukan diskon atau kode voucher serta memonitor mutasi bank untuk konfirmasi. Dari sisi pembeli, mereka memiliki alternatif pembayaran baik secara tunai, digital, atau cicilan.

Pada fitur Shipping Management, pengguna dapat secara langsung mengecek jumlah ongkos kirim dari puluhan kurir, mengatur dan melacak pengantaran, melakukan pengiriman langsung dari rumah penjual, serta menerima pembayaran secara COD, tunai, ataupun digital. Saat ini SmartSeller telah bekerja sama dengan berbagai rekanan logistik termasuk JNE, J&T Express, SiCepat, LionParcel, SAP, JX Express, dan ID Express.

Selain itu, pengguna juga bisa memanfaatkan sistem inventori di aplikasi untuk mengelola stok barang. Bagi pemilik bisnis yang berjualan di sejumlah platform marketplace, SmartSeller menawarkan fitur Marketplace Integration untuk membantu pengguna dalam import produk, mengelola inventori, serta sinkronisasi pemesanan dari sejumlah marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak.

Secara model bisnis, layanan ini dapat dinikmati secara gratis untuk para pengguna yang baru memulai bisnisnya. Untuk para pebisnis yang sudah memiliki basis pelanggan yang cukup besar, SmartSeller menawarkan beberapa paket premium mulai dari Rp75 ribu hingga Rp200 ribu per bulannya dengan fitur-fitur yang lebih lengkap dan bervariasi.

Dalam menggunakan aplikasi, pengguna akan dibekali dasbor dengan tampilan sederhana dan mudah dipelajari. Platform ini juga dilengkapi dengan video pembelajaran dan fitur live chat dengan layanan pelanggan. Hingga saat ini, SmartSeller telah melayani lebih dari 50.000 pengguna aktif dari berbagai industri di Indonesia. Kebanyakan dari mereka berjualan secara online.

Aplikasi pengelola bisnis

Kehadiran aplikasi-aplikasi untuk membantu pengelolaan ini bertujuan untuk menyederhanakan kompleksitas operasional dalam menjalankan bisnis. Pemilik bisnis dapat memonitor pengiriman, memantau stok barang, serta melakukan berbagai kebutuhan lainnya dalam satu platform. Dengan begitu, mereka memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada produknya.

Di Indonesia sendiri, pemain di segmen ini sudah cukup menjamur. Sebut saja SIRCLO yang belum lama ini mengumumkan akuisisi terhadap Warung Pintar. Selain itu juga ada Jet Commerce, Jubelio, aCommerce, Anchanto, 8Commerce, serta pemain baru seperti Graas yang telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $40 juta.

Tidak hanya itu, beberapa pemain juga menawarkan layanan yang lebih spesifik seperti Qasir, Cashlez, Moka, dan Doku untuk POS dan Payment Gateway, Waresix untuk solusi pergudangan, hingga marketplace yang sudah besar seperti Blibli juga menawarkan solusi fulfillment bagi para pemilik bisnis.

e-niaga telah berkembang menjadi komponen penting dari lanskap ritel dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai hasil dari digitalisasi kehidupan modern yang berkelanjutan, pembeli dari hampir setiap negara saat ini mendapat manfaat dari pembelian online. Penetrasi pengguna eCommerce di Asia Tenggara adalah 53,8% pada tahun 2022 dan diperkirakan akan mencapai 63,3% pada tahun 2025.

Laporan kebiasaan pengguna ecommerce dari Lazada yang diberi judul “Transforming Southeast Asia” menunjukkan bahwa percepatan transisi ekonomi offline ke online di Asia Tenggara telah melampaui proyeksi sebelumnya dengan jumlah pengguna digital diperkirakan mencapai lebih dari 400 juta di tahun 2025.

Application Information Will Show Up Here

Rencana Startup E-commerce Enabler “Graas” Garap Pasar Indonesia

Layanan e-commerce di Indonesia hingga kini masih terus mengalami pertumbuhan. Tercatat internet ekonomi tumbuh dari $40 miliar di 2019 menjadi $70 miliar di tahun 2021. Dari nilai tersebut, $53 miliar berasal dari sektor e-commerce.

Melihat peluang tersebut saat ini banyak platform e-commerce enabler yang hadir, menawarkan teknologi hingga pengelolaan bisnis layanan e-commerce dari berbagai segmen.

Salah satu platform yang kemudian ingin menyediakan teknologi terpadu kepada layanan e-commerce adalah “Growth-as-a-Service” atau yang juga dikenal dengan Graas.

Kepada DailySocial.id Co-founder & CEO Graas Prem Bhatia menyebutkan, perusahaannya didukung oleh para profesional yang sudah memiliki pengalaman terbaik di layanan e-commerce. Setelah mendapatkan pendanaan seri A senilai $40 juta, Graas melakukan ekspansi di Indonesia.

Didukung teknologi artificial intelligence (AI)

Secara khusus Graas meluncurkan solusi “Growth-as-a-Service” untuk membantu brand meningkatkan layanan e-commerce mereka. Dengan mengedepankan visi untuk mengurangi kerumitan melalui penggunaan satu dasbor saja, diharapkan dapat mengurangi waktu brand untuk memasarkan dan menciptakan pendekatan pemasaran, inventaris, dan manajemen konten yang efisien dan terinformasi.

Saat ini Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat untuk e-commerce di dunia, dengan GMV $200 miliar. Namun demikian menurut Prem, meskipun ada potensi pertumbuhan yang signifikan, kebanyakan brand berada di bawah tekanan margin yang untuk dapat mengoptimalkan operasional layanan e-commerce mereka. Melihat hal tersebut Graas mencoba untuk mengatasi tantangan yang dihadapi para brand dalam tiga cara berbeda.

Pertama, Graas menghubungkan segmen bisnis yang sebelumnya tertutup untuk mengurangi kompleksitas data. Dengan demikian, dapat menciptakan kumpulan data terpadu yang membantu brand mengidentifikasi peluang pertumbuhan. Kedua, Graas menerapkan proprietary AI engine, untuk menganalisis kumpulan data ini dan memprediksi tren. Terakhir, Graas mengubah insight ini menjadi tindakan.

“Dengan model plug-and-play, solusi ini membuat pertumbuhan dapat diakses oleh brand dari semua ukuran, dengan kebutuhan minimal untuk menyesuaikan struktur internal mereka,” kata Prem.

Teknologi artificial intelligence (AI) yang mereka kembangkan diklaim menjadi faktor pembeda Graas dengan platform serupa lainnya. Mesin AI Graas mencakup seluruh bisnis e-commerce, end-to-end, di seluruh periklanan, etalase (konten & promosi), inventaris dan rantai pasokan.

Saat ini Graas telah mengantongi pendanaan Seri A senila $40 Juta. Putaran pendanaan ini dipimpin oleh Galaxy (Kejora-led SPV), Performa (multi-billion European Asset Manager-led SPV), Integra Partners, Yuj Ventures (Xander Group) dan AJ Capital. Beberapa angel investor dan pemimpin industri turut terlibat.

“Ashwin Puri (Co-founder) dan saya adalah veteran di bidang MarTech. Kami memiliki pengalaman secara dekat lanskap yang semakin kompleks yang dinavigasi oleh brand e-commerce, kami memahami potensi solusi seperti Graas,” kata Prem.

Dalam rangka mendukung laju pertumbuhan e-commerce, salah satu yang memiliki peran penting adalah perusahaan e-commerce enabler. Pada dasarnya, e-commerce enabler adalah perusahaan yang menyediakan layanan strategi digital A-Z (end-to-end) ke unit bisnis lain yang ingin menjual produknya secara online. Ragam layanan yang ditawarkan meliputi produksi konten, pembuatan halaman Official Store di marketplace, eksekusi pemasaran, integrasi kanal penjualan online, hingga pengiriman produk ke pelanggan.

Selain Graas, platform e-commerce enabler yang sudah hadir di Indonesia di antaranya adalah, aCommerce, SIRCLO, 8Commerce, JetCommerce dan Anchanto.

Ekspansi ke Indonesia

Graas telah memiliki lebih dari 350 karyawan, di 11 kantor di 7 negara. Dengan bertambahnya anggota baru dalam tim, perusahaan optimis dapat meningkatkan jumlah tersebut. Saat ini Graas berfokus untuk mempercepat pertumbuhan di kawasan ini dan membawa solusi ke lebih banyak brand besar dan kecil. Baru-baru ini perusahaan juga telah menunjuk pegawai senior utama untuk menjadi ujung tombak bisnis di Indonesia. Yaitu VP, Head of Business Indonesia Trisnia Anchali Kardia.

Trisnia Anchali Kardia selaku VP, Head of Business Graas Indonesia

Sebelumnya Trisnia menjabat sebagai CMO LINE Indonesia. Ia juga pernah bekerja di Zomato Indonesia dan Telkomsel Digital Advertising. Dengan pengalamannya yang luas di media dan industri digital di Indonesia, Trisnia akan fokus mengembangkan bisnis di salah satu pasar utama Graas.

“Layanan e-commerce di Indonesia tumbuh pada tingkat yang eksponensial dan merupakan salah satu pasar utama Graas. Setelah menunjuk Trisnia Anchali Kardia sebagai VP, Head of Business Indonesia, Graas bersemangat untuk mempercepat pertumbuhannya di Indonesia. Solusi Graas ditargetkan untuk semua brand dan pedagang yang ingin meningkatkan skala bisnis e-commerce mereka,” kata Prem.

Disinggung seperti apa strategi growth yang ideal menurut Graas, Prem menegaskan dengan growth atau pertumbuhan, hal yang rumit adalah tidak adanya strategi ;satu ukuran cocok untuk semua’. Hal ini terjadi karena semakin kompleksnya menjalankan bisnis e-commerce saat ini.

“Cara kami mengatasi ini adalah dengan memanfaatkan data untuk membuat keputusan paling optimal di setiap inci rantai. Secara tradisional, ini akan membutuhkan seluruh dukungan dari tim data science,” kata Prem.

Esensi Solusi Buana Raih Pendanaan Seri B 420 Miliar Rupiah; Masuk ke Jajaran Centaur [UPDATED]

*Update 29/8 pukul 19.30: kami menambahkan informasi kisaran valuasi ESB

Startup SaaS bisnis kuliner Esensi Solusi Buana (ESB) meraih pendanaan seri B sebesar $29 juta atau sekitar 420 miliar Rupiah. Investasi ini dipimpin oleh Northstar Group dan Alpha JWC Ventures serta partisipasi dari BEENEXT, Vulcan Capital, dan AC Ventures.

Sebelumnya, ESB telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $10,6 juta dari sejumlah investor antara lain Alpha JWC, Vulcan Capital, BEENEXT, AC Ventures, Skystar Capital, dan Selera Kapital.

Dari pendanaan yang ada, menurut sumber yang kami dapat, saat ini valuasi ESB telah mencapai lebih dari $100 juta dan menjadikannya sebagai salah satu startup Centaur dari kategori SaaS.

ESB merupakan pengembang platform SaaS yang mengelola bisnis kuliner secara all-in-one. Startup ini didirikan oleh Gunawan Woen, Eka Prasetya, Setiadi Prawiryo Moeljadi, dan Dwi Prawira pada 2018. Berbekal pengalaman puluhan tahun di F&B dan rantai pasokan, para pendiri ESB memiliki misi membantu pemilik bisnis meningkatkan profitabilitas, penjualan, dan efisiensi operasional melalui solusi berbasis cloud.

Sejumlah solusi yang ditawarkan mencakup aplikasi pengambilan pesanan front-end, Point of Sales (POS), solusi operasi dapur, dan sistem Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (ERP) F&B back-end. Selain itu, pemilik bisnis akan mendapatkan akses ke ekosistem penyedia pihak ketiga, seperti pasokan bahan, pengiriman makanan, dan pembayaran digital.

Melalui ESB, pengusaha F&B juga mendapatkan akses ke ekosistem penyedia ESB telah melayani lebih dari 2.000 merek F&B dan mengelola lebih dari 100 juta pesanan per tahun.

Managing Director Northstar Group Carlson Lau mengungkap, ESB telah menunjukkan kinerja yang baik dan bahkan mampu melawan pesaing global yang punya kapitalisasi lebih besar dalam memenangkan F&B internasional di Indonesia. “Kami senang melihat produk dan pengembangan strategi go-to-market yang matang,” tuturnya.

Sementara, Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, “Platform ESB menghadirkan solusi berbasis cloud secara end-to-end bagi pemilik restoran agar dapat mengurangi biaya, mengelola operasional, dan meningkatkan pengiriman online. ESB siap merevolusi pasar multi-miliar dine-in dan takeaway di Indonesia,” tutur Li.

Ekspansi dan pengembangan produk

Adapun, pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauannya di pasar UMKM  dan meluncurkan produk baru. Proposisi nilai yang ditawarkan mencakup: (1) fitur pembayaran dan pinjaman yang sederhana, (2) fasilitas modal kerja, (3) pengembangan fitur untuk mendorong produktivitas UKM, (4) solusi manajemen pemesanan dan pengiriman, (5) kemampuan fitur akuntansi, dan (6) kemampuan sistem informasi SDM.

Co-Founder & CEO ESB Gunawan Woen mengatakan, pandemi telah mengakselerasi adopsi digital pada ekosistem yang terlibat di value chain F&B, mulai dari pelanggan hingga pemasok bahan. Dengan akselerasi ini, pemilik F&B terdorong untuk menjalankan operasional yang lebih ringkas dan mengeksplorasi kanal penjualan baru. Solusi ini juga diharapkan mendorong pertumbuhan bisnis di tengah pemulihan ekonomi.

Selain itu, kenaikan biaya akibat inflasi harga komoditas di awal 2022 memaksa pelaku usaha F&B untuk lebih mengoptimalkan struktur biayanya. Hal ini mendorong mereka untuk mengadopsi tools yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan produktivitas melalui layanan mandiri konsumen, otomatisasi alur kerja internal, dan pengurangan limbah makanan. ESB siap untuk memanfaatkan tren ini.

“Kami memandang mitra F&B kami setara, baik pelaku UMKM hingga bisnis skala besar. Kami berkomitmen untuk membantu pedagang kami menghasilkan penjualan lebih banyak dan meningkatkan efisiensi mereka. Dengan mencapai itu, kami dapat memastikan keberlanjutan, bankability, dan pertumbuhan mereka. Ketika mitra kami tumbuh, ESB ikut tumbuh,” ujar Gunawan.

Beberapa platform digital di Indonesia yang memiliki komitmen untuk mendukung pelaku F&B terutama skala UKM ada DigiResto yang dikembangkan MCAS. DigiResto sempat mendapat investasi dari SiCepat. Ada pula Runchise yang punya model pengelolaan bisnis waralaba (franchise) dan kuliner.

majoo Rampungkan Pendanaan Seri A Senilai 149 Miliar Rupiah

Setelah merampungkan pendanaan pra-seri A senilai 130 miliar Rupiah awal tahun 2022 lalu, majoo kembali mengantongi dana segar melalui putaran pendanaan seri A senilai $10 juta atau sekitar 149 miliar Rupiah.

Tanpa menyebut namanya, putaran ini dipimpin investor ekuitas asal London yang berfokus pada fintech. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan di antaranya BRI Ventures, AC Ventures, Quona Capital, dan Xendit.

Founder & CEO majoo Indonesia Adi Wahyu Rahadi mengatakan, “Dengan pendanaan ini, majoo akan terus memperluas pasar di Indonesia dengan menawarkan solusi komprehensif untuk UMKM dalam menjalankan operasional bisnis dan membantu menumbuhkan bisnis mereka”.

Lebih lanjut disampaikan, fokus utama majoo setelah pendanaan seri A adalah berinvestasi pada produk dan talenta demi bisa menghadirkan solusi terdepan untuk UMKM Indonesia. Mereka juga berkomitmen memperkuat posisi di pasar dengan memperkaya ekosistem melalui kerja sama dengan berbagai sektor industri strategis, seperti penyelenggara jasa keuangan, e-commerce, dan lainnya.

“Sebagai thesis-driven investor, tim pendiri majoo, product-market fit yang jelas, dan metrik pertumbuhan yang melonjak selama masa pergolakan pasar membuat kami bangga menjadi investor institusi pertama mereka. Kami sangat senang bergabung dengan majoo karena majoo terus memberdayakan 64 juta UMKM di negara ini,” jelas Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Sementara itu menurut CEO BRI Ventures Nicko Widjaja, ia percaya bahwa nilai sinergi majoo dan BRI sebagai institusi finansial untuk UMKM terbesar di Indonesia akan membantu digitalisasi di sektor tersebut. “Hal ini sejalan dengan komitmen BRI Ventures untuk terus mendorong inklusi keuangan di Indonesia di era digital ini dan menciptakan pemberdayaan UMKM yang berkelanjutan.”

majoo didirikan oleh tiga founder, meliputi Adi W. Rahadi (CEO), Audia R. Harahap (COO), dan Bayu Indriarko (VP Engineering). Sebelumnya ketiga pendiri tersebut merupakan pelaku bisnis ritel yang juga melayani pelanggan UMKM, sehingga mereka cukup memahami berbagai kesulitan yang ditemui di lapangan.

Pertumbuhan positif saat pandemi

Perusahaan juga mencatat selama pandemi pertumbuhan mencapai 800%. Hingga Juli 2022, aplikasi wirausaha majoo telah berhasil merangkul 35 ribu pelaku usaha dari seluruh Indonesia, 96% di antaranya pengguna aktif dengan retensi 12 bulan. Sejak peluncurannya, majoo mencatatkan 166 juta transaksi untuk UMKM atau setara dengan $940 juta.

Layanan “Wirausaha majoo” terdiri dari aplikasi kasir online, aplikasi inventori, aplikasi keuangan dan akunting, aplikasi absensi dan karyawan, aplikasi CRM, serta aplikasi analisa bisnis. Sementara produk lainnya, yakni “E-commerce Omnichannel majoo” memungkinkan pengguna mengelola penjualan dari beragam jenis toko online, memproses pesanan, inventori, dan laporan keuangan dalam satu dasbor terpusat.

SaaS untuk UMKM memang menjadi salah satu sektor industri digital yang banyak dilirik oleh founder, mengingat potensi besar dari UMKM di Indonesia. Untuk solusi serupa yang ditawarkan majoo, sejumlah startup juga menjajakan layanan serupa, seperti Midtrans, Sirclo, Qasir, YouTap, dan sebagainya.

Menurut laporan Boston Consulting Group, ukuran pasar layanan SaaS di Indonesia telah mencapai $100 juta di tahun 2018 dan akan bertumbuh sampai $400 juta di tahun 2023 mendatang.

Application Information Will Show Up Here