Tips dari VC untuk Mereka yang Ingin dan Sedang Menjalankan Startup

Bagi mereka yang punya mental kewirausahaan, mendirikan startup digital adalah salah satu jalan yang menarik untuk dicoba. Terlebih ketika penetrasi internet dan ekonomi digital di negeri ini melaju cukup cepat.

Namun mendirikan dan menjalankan perusahaan rintisan bukan perkara mudah. Memilih vertikal yang tepat, membentuk visi yang kuat, menentukan model bisnis yang cocok dengan target pasar, hingga menghimpun pendanaan merupakan tahapan yang harus mereka lalui dengan seksama guna mencapai kesuksesan.

Di mata Jefrey Joe selaku Co-founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures, figur pendiri startup adalah salah satu faktor terpenting dalam bisnis startup. Ia menilai tugas founder sebuah startup sangat berat. Jefrey paham sulitnya peran founder sehingga ia tak pernah merekomendasikan mendirikan startup sebagai penghidupan.

Dalam #SelasaStartup kali ini Jefrey berbagi pandangan dan saran dari perspektif investor agar para founder startup dapat bersiap menjalani bisnisnya.

Tidak ada jaminan

Jefrey mengaku ada anggapan pihak pemodal ventura memiliki bias terhadap latar pendidikan. Eks COO Groupon itu menjelaskan faktor pendidikan penting bisa dipakai untuk mengukur seorang founder dapat menciptakan dan memimpin sebuah perusahaan besar. Namun ia menolak latar pendidikan founder akan jadi alasan utama sebuah startup dilirik oleh VC.

Secara keseluruhan faktor pendidikan, jaringan, rekam jejak, dan reputasi adalah kombinasi yang paling dilihat oleh investor. Jefrey menyebut akan selalu ada founder yang mendapat suntikan modal ketika mereka bahkan belum memiliki produk.

Founder jago teknis, enggak jamin sukses. Founder sekolahnya bagus, enggak jamin sukses. Pernah bikin startup, enggak jamin sukses. Semua itu digabung pun ga jamin juga. Makanya memang tidak gampang, tapi setidaknya semua kotak itu semakin banyak diceklis semakin besar kemungkinannya,” ucap Jefrey.

Dilema growth vs profit

Ada semacam pilihan yang cukup dilematis yang perlu dihadapi pendiri startup sebelum memulai perjalanannya: memilih pasar yang sudah besar atau masuk ke model bisnis yang unik? Tanpa ragu Jefrey menjawab akan memilih yang pertama.

Jefrey mencontohkan aplikasi telekonferensi Zoom yang kian populer sejak pandemi melanda dunia. Perusahaan itu mampu membuat teknologinya menjadi pilihan pasar setelah bersaing dengan banyak perusahaan di vertikal serupa. Situasi pandemi yang otomatis membesarkan jumlah pengguna keseluruhan aplikasi telekonferensi berhasil mereka manfaatkan dengan baik sehingga penggunanya terus tumbuh seiring waktu.

Itu sebabnya ia menilai memilih vertikal dengan pasar yang besar lebih penting ketimbang model bisnis yang unik. “Makanya penting market yang besar dulu karena dengan itu bisa kasih kesempatan lebih besar agar perusahaan jadi besar juga,” imbuhnya.

Namun jika ditarik lebih jauh antara prioritas mengejar pertumbuhan bisnis dahulu atau mengejar profit cepat, Jefrey tidak memilih keduanya. Menemukan unit economics yang tepat menurutnya lebih penting.

Jefrey menyarankan sebuah startup tidak perlu mengejar pertumbuhan besar terlebih dahulu jika belum ada unit economics, dan masih lama memperoleh laba, karena akan sangat berisiko.

“Ada skenario lain mungkin dengan model bisnis pertama enggak akan bisa making money tapi kalau sudah ada user yang banyak kita bisa monetisasi dari model bisnis kedua dan seterusnya. Kita harus mengerti kenapa harus tumbuh sambil bakar uang,” lengkap Jefrey.

Membuka komunikasi

Dalam situasi sulit ini ada banyak keputusan-keputusan sulit yang harus dibuat founder. Jefrey sebagai bagian dari VC pun maklum dengan situasi mereka. Itu sebabnya ia merasa founder bisa lebih aktif merangkul para investor untuk berdiskusi.

Jefrey mengaku timnya di Alpha JWC Ventures selalu terbuka untuk membantu mencarikan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi founder. Ia menilai investor bukan sekadar pihak yang memberikan uang dan menuntut laporan saja. “Kita sangat welcome founder yang proaktif mengajak kita diskusi untuk cari solusi.”

Mati dengan cepat

Startup adalah bisnis penuh duri. Tak heran tingkat kegagalan startup mencapai 90%. Maka dari itu gagal menjalankan startup bukan sesuatu yang langka.

Jefrey pun mengamini hal itu. Ia menilai startup yang gagal bukanlah skenario terburuk. Namun kegagalan yang terjadi dalam waktu yang panjang dan perlahan merupakan mimpi buruk bagi founder mana pun.

Menurut Jefrey sebuah bisnis mati dalam waktu cepat dan ketika skala bisnis belum terlalu besar jauh dari kata buruk. Dari sana seorang founder justru bisa belajar lebih cepat dan melangkah ke depan dengan pivot atau bahkan dengan membuat startup baru.

“Tidak masalah gagal, tapi gagal yang benar,” pungkasnya.

Memaknai Momentum Bonus Demografi dan Merintis Startup

Edisi #SelasaStartup kali ini cukup spesial karena sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda. Tema yang diangkat adalah ”Muda Berinovasi: Start Your Startup Now” dengan mengundang Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro sebagai keynote speaker.

Lalu, Staf Khusus Menristek/Ka. BRIN Bidang Jejaring Startup Adrian A. Gunadi, CEO Kiddo.id Analia Tan, CEO & Co-Founder Mycotech Adi Reza Nugroho, Co-Founder Riliv Audrey Maximillian Herli, Co-Founder & COO Kata.ai Wahyu Wrehasnaya, dan Partner East Ventures Melissa Irene.

Berkaitan dengan tema besar, Bambang menuturkan bahwa bonus demografi yang sedang terjadi di Indonesia harus dimaknai sebagai kesempatan emas untuk membuat ekonomi Indonesia lebih maju dengan berinovasi memanfaatkan teknologi digital. Kesempatan ini tidak datang dua kali karena pada 2045 mendatang bonus demografi ini akan selesai dan beralih ke usia lanjut.

Ia mendorong kaum muda yang ada sekarang ini untuk menjadi pengusaha, sebab semakin banyak pengusaha maka berdampak pada produktifnya ekonomi suatu negara.

“Tapi ini jadi asumsi saja, kalau [bonus demografi] tidak bisa di-manage dengan baik, justru jadi beban demografi. Agar tidak terjadi itu, harus diarahkan dengan melahirkan startup berbasis teknologi yang bisa menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan,” tuturnya.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro / Kemenristek/BRIN
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro / Kemenristek/BRIN

Tips dari founder startup dan investor

Untuk mendorong lebih banyak startup, DailySocial juga meminta perspektif dari para founder startup dalam sesi diskusi panel. Audrey misalnya, ia mendorong kepada anak muda untuk jangan pernah takut memulai suatu inisiatif baru. Pun ketika menemukan suatu ide baru, jangan berpikir bahwa ide tersebut hanya ada satu-satunya di dunia.

Ide tersebut sebaiknya jangan disimpan, justru dibagikan ke orang lain agar berkembang dan segera terealisasi jadi bisnis nyata. “Kalau disimpan saja ide tidak akan bisa berkembang, dari ide nanti bisa jadi solusi,” kata dia.

Sementara itu, dari sisi Analia menambahkan sebaiknya memulai ide itu dari apa yang kita suka agar lebih mudah menemukan masalah. Ia mencontohkan saat merintis Kiddo, pada dasarnya ia menyukai edukasi untuk anak. Lalu ia mengobrol dengan teman-temannya yang sudah memiliki anak.

Ternyata, akar masalahnya adalah orang tua sulit menemukan aktivitas yang bagus untuk anaknya. Dari sisi pelaku usaha, proses bisnisnya juga tergolong masih konvensional untuk proses administrasinya. Kesempatan tersebut akhirnya diambil Kiddo dengan menempatkan dirinya sebagai platform marketplace untuk aktivitas anak.

“Banyak teman-teman yang dukung dan jaringan semakin terbuka akhirnya menginspirasi ide untuk merintis Kiddo,” imbuh Analia.

Dari sisi investor, Melissa menambahkan bahwa tiap investor punya taste masing-masing dalam berinvestasi, entah berbasis teknologi ataupun tidak sebab semua punya porsi masing-masing. Yang terpenting adalah inovasi yang diciptakan anak muda harus menyelesaikan masalah yang ada.

“Teknologi hanyalah alat agar tujuan penyelesaian dari masalah yang disasar dalam lebih cepat selesai dan dapat di-scale up. Jangan sampai salah persepsikan karena dasar-dasar tersebut dipakai untuk tolak ukur oleh investor analisa,” katanya.

Pertimbangan investor saat mereka tertarik investasi sebenarnya melihat banyak hal. Misalnya, apakah startup tersebut memang layak untuk diinvestasi oleh VC, bagaimana pangsa pasarnya, dari sisi kompetisi seperti apa apakah pasarnya sudah saturated atau belum, dan masih banyak lagi.

Bantuan dari pemerintah

Adrian melanjutkan dalam mendukung terciptanya lebih banyak startup berkualitas, Kemeristek/BRIN melanjutkan program tahunannya yang bernama Startup Inovasi Indonesia. Menurutnya program ini selaras dengan fokus pemerintah yang ingin memajukan ekonomi digital, strategi seperti ini sudah dijalankan oleh negara maju semisal Singapura dan Amerika Serikat. Itulah mengapa startup di kedua negara tersebut berkembang pesat.

“Program ini enggak cuma bicara untuk kota besar saja, tapi bagaimana inovasi bisa lebih menyeluruh di seluruh Indonesia karena masing-masing ada potensi yang luar biasa,” kata Adrian.

Program ini membuat tiga jenis pendanaan berdasarkan skala startup tersebut, mulai dari pra-startup dengan dana hibah maksimal Rp250 juta, startup dengan dana hibah hingga Rp500 juta, dan yang tertinggi yakni scale-up dengan dana hibah hingga Rp1 miliar.

Pada Maret kemarin sudah dilaksanakan tahap pengusulan proposal untuk masing-masing jenis pendanaan. Adapun saat ini sedang memasuki proses evaluasi dan dilanjutkan dengan seleksi presentasi. Pada tahap akhir, tepatnya pada Desember mendatang akan dilaksanakan workshop untuk penelaahan anggaran dan rencana aksi.

“Fokus bidang startup tahun ini adalah transportasi, kemaritiman, kesehatan, multi-disiplin dan lintas sektoral, pangan, rekayasa keteknikan, pertahanan keamanan, dan energi,” tutup Adrian.

Mendiskusikan Minat Masyarakat Indonesia Berinvestasi Lewat Platform Online

Keunikan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia banyak menciptakan peluang baru bagi platform fintech lokal hingga asing. Mulai dari peer-to-peer lending, investasi reksa dana, hingga emas. Sampai saat ini masih besar peminatnya. Tercatat saat pandemi, investasi emas makin digandrungi oleh masyarakat. karena sifatnya yang stabil dan tentunya mudah untuk diakses hingga di jual-belikan.

Pandemi juga mendorong lebih banyak masyarakat untuk menabung. Dalam hal ini menurut Co-Founder Pluang Claudia Kolonas, di Indonesia persentasenya hanya 10% saja masyarakat Indonesia yang menyimpan uang mereka dalam tabungan. Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial mengupas lebih jauh tentang risiko dan peluang untuk berinvestasi memanfaatkan platform fintech.

Fleksibilitas dan kemudahan

Sebagai platform yang menawarkan kemudahan untuk berinvestasi, Pluang sejak awal telah mengamati keunikan yang hanya ada di Indonesia. Yaitu pentingnya bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki kepercayaan, saat mereka berniat untuk berinvestasi. Salah satu produk investasi yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini adalah emas.

“Kenapa toko emas menjadi pilihan kebanyakan masyarakat Indonesia untuk menabung, yaitu menurut mereka, pemilik toko emas sudah dikenal dan tidak berubah banyak dari dulu hingga sekarang. Rasa kekeluargaan dan kepercayaan yang erat menjadi alasan utama mengapa mereka lebih senang berinvestasi di emas dan membeli langsung di toko emas,” kata Claudia.

Mengedepankan teknologi, Pluang ingin menjadi sumber yang terpercaya bagi semua kalangan, yang ingin berinvestasi di emas dengan mudah dan fleksibel. Dalam hal ini mereka berupaya untuk mendengarkan semua feedback dari pelanggan dan memiliki pilihan harga yang stabil. Berbeda jika membeli emas secara konvensional.

“Selama ini kita menawarkan investasi emas karena ingin menawarkan produk investasi yang mudah dipahami. Namun ke depannya kami mau menambah produk lain, seperti reksa dana dan kripto tapi masih menunggu izin dari regulator terkait,” pungkas Claudia kepada DailySocial.

Kolaborasi membantu edukasi

Salah satu kunci sukses Pluang melakukan edukasi adalah, dengan memanfaatkan kolaborasi strategis dengan berbagai mitra ternama di Indonesia. Mulai dari Gojek melalui GoInvetasi, Dana, Lazada dan Bukalapak, dimanfaatkan benar oleh Pluang untuk menjangkau lebih banyak target pengguna yang dimiliki oleh masing-masing mitra.

Selama pandemi, Pluang juga mengklaim mengalami pertumbuhan yang positif. Gaya hidup yang mulai shifting ke online selama pandemi, semakin memudahkan lebih banyak pengguna untuk mengakses dan pada akhirnya berinvestasi dalam platform.

“Jika sebelumnya mereka sudah terbiasa melakukan transaksi di dompet digital seperti Gopay, Dana, dan Ovo, hal tersebut sudah membuka mata mereka tentang teknologi. Dan harapannya bukan hanya pengguna yang melek teknologi yang memiliki minat untuk berinvestasi secara online, namun juga semua kalangan,” kata Claudia.

Secara umum kebanyakan pengguna yang mendaftarkan diri untuk berinvestasi di Pluang adalah mereka para pemula. Meskipun secara jumlah 30% pengguna berasal dari gabungan kalangan milenial dan gen-Z, namun 70% pengguna Pluang adalah mereka usia matang, yang sudah terbiasa untuk berinvestasi dan sangat familiar dengan emas hingga produk investasi lainnya.

“Dengan produk dan pilihan yang ada, kami juga memiliki target untuk bisa menjangkau lebih banyak kalangan milenial berinvestasi emas. Yang selalu kami tekankan adalah, investasi emas merupakan kebiasaan yang sudah banyak diterapkan bukan hanya di Indonesia, namun juga secara global,” kata Claudia.

Dirinya menambahkan, para hedge fund di Amerika Serikat contohnya, banyak yang menyisihkan uangnya untuk berinvestasi dalam emas. Komitmen itulah yang dicoba untuk disampaikan oleh Pluang kepada berbagai kalangan, khususnya generasi muda.

“Pada akhirnya platform fintech seperti Pluang dan lainnya ingin memudahkan dan tentunya meringankan biaya yang harus dikeluarkan pengguna saat berinvestasi. Dengan demikian akan lebih banyak lagi masyarakat yang tertarik untuk menabung dan berinvestasi, bukan hanya kepada emas, namun juga reksa dana dan produk lainnya,” kata Claudia.

Application Information Will Show Up Here

Data Security Optimization in the Fintech App

Data security for a digital startup is a must. Apart from protecting company assets, data security also serves as a guarantee of trust for their customers.

This factor is becoming increasingly relevant for fintech startups. It is common knowledge that companies engaged in the financial sector. Therefore, data security in fintech is absolutely not something that can be negotiated.

Andre Pratama as Acting CTO of UangTeman explained that preventive measures against data leakage are a very important requirement. Andre shares his knowledge and experience in data security in the latest #SelasaStartup edition.

In general, issues in data security come from internal and external factors. Andre said that vulnerability from within could be the biggest problem in his field. Without a strict surveillance system, vulnerability holes can appear here and there. Apart from needing capable tools, the internal integrity of the company needs to be nurtured from the start.

“I think there are a lot of tools out there, but if the integrity is not maintained, it will be conceded too,” said Andre.

Secure from the inside

There are several steps a company can take to prevent security vulnerabilities from emerging. One of the first steps is to make sure the entire employee team is safe from the worst.

According to Andre, these steps can be started from making a non-disclosure agreement (NDA) or a confidentiality agreement with employees. The next step is to create a system that prevents problems that can arise accidentally.

An example of this step is not allowing laptops that employees use to connect to WiFi. Even if you need access to WiFi, it can only be used by certain people with clear purposes. Another example is erasing the contents of the blackboard after a meeting and requiring that minutes of meeting (MoM) only circulate within the company.

From the infrastructure aspect, there are steps needed. As a fintech, Andre said that his party has created a layered security system for every transaction that occurs. Likewise, in the data itself, everything is encrypted and hashed.

Collaboration with the third party

Vulnerability is also very possible when a startup wants to collaborate with third parties. The confluence of methods and technology between the two parties allows for loopholes that intruders can enter. Therefore, preventive measures are also needed.

Andre emphasized that before starting the cooperation, NDA must attend first. Then he assessed that the company must see whether the API that each uses is open or encrypted, whether the API can be installed directly or must register first, whether the API already uses https or not. Although it seems complicated but steps need to be taken.

“Usually intruders will take APIs that are still hollow or only http. It’s better to be strict than easy but vulnerable,” he added.

Data safety from and for all

The platform certainly has the responsibility of storing and using personal data that has been provided by its users. They are also bound by a number of regulations made by the government and associations.

However, in terms of preventing user awareness, it is also expected. Due to the fact that a number of data leak modus operandi can occur taking advantage of the user’s lack of knowledge of personal data security.

At UangTeman, according to Andre, education on data security applies to borrowers and lenders. They also provide education to both parties. The most basic example is a one-time use username and password (OTP) that no one can know. In addition to education like that, UangTeman also uses a forced system to protect the security of user data.

“We also do soft force for customers. So we detect from our mobile app if it takes too long to log in and just stay silent, we will force quit,” Andre concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Optimasi Keamanan Data di Aplikasi Fintech

Keamanan data untuk sebuah startup digital adalah keharusan. Selain melindungi aset perusahaan, keamanan data juga berfungsi sebagai jaminan kepercayaan untuk pelanggan mereka.

Faktor tersebut jadi kian relevan bagi startup fintech. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perusahaan yang bergerak di sektor keuangan. Maka dari itu keamanan data di fintech sama sekali bukan hal yang bisa ditawar.

Andre Pratama selaku Acting CTO UangTeman menjelaskan, langkah-langkah preventif terhadap kebocoran data sebagai syarat yang begitu penting. Andre membagi pengetahuan dan pengalamannya di keamanan data dalam edisi #SelasaStartup terbaru.

Pada umumnya isu di keamanan data berasal dari faktor internal dan eksternal. Andre mengatakan kerentanan dari dalam justru bisa menjadi masalah paling besar dalam bidangnya. Tanpa sistem pengawasan yang ketat, lubang kerentanan bisa muncul di sana-sini. Selain butuh alat yang mumpuni, integritas internal perusahaan perlu dipupuk sejak awal.

“Saya pikir banyak sekali tools di luar sana, tapi kalau integritasnya tidak dijaga pasti akan kebobolan juga,” tegas Andre.

Menjaga dari dalam

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan suatu perusahaan untuk mencegah kerentanan keamanan muncul. Salah satu langkah pertamanya adalah memastikan seluruh tim karyawan aman dari kemungkinan terburuk.

Menurut Andre langkah-langkah itu bisa dimulai dari membuat non-disclosure agreement (NDA) atau perjanjian kerahasiaan dengan pegawai. Langkah berikutnya adalah menciptakan sistem yang mencegah masalah yang bisa timbul secara tidak disengaja.

Contoh dari langkah itu adalah tidak memperbolehkan laptop yang dipakai pegawai tersambung ke WiFi. Kalaupun perlu akses ke WiFi, hanya bisa digunakan oleh orang-orang tertentu dengan tujuan yang jelas. Contoh lainnya adalah menghapus isi papan tulis selepas rapat dan mewajibkan minutes of meeting (MoM) hanya beredar di internal perusahaan.

Dari aspek infrastruktur pun ada langkah-langkah yang diperlukan. Sebagai fintech, Andre bercerita pihaknya telah membuat sistem keamanan berlapis untuk setiap transaksi yang terjadi. Begitu pula di datanya sendiri, semua sudah dienkripsi dan sudah diacak (hashed).

Saat berkolaborasi dengan pihak ketiga

Kerentanan juga sangat mungkin terjadi ketika sebuah startup ingin berkolaborasi dengan pihak ketiga. Pertemuan metode dan teknologi dua pihak memungkinkan adanya celah yang bisa dimasuki penyusup. Oleh karena itu perlu langkah-langkah pencegahan juga.

Andre menekankan sebelum memulai kerja sama NDA wajib hadir terlebih dulu. Kemudian ia menilai perusahaan harus melihat apakah API yang masing-masing pakai terbuka atau terenkripsi, apakah API-nya langsung bisa dipasang atau harus registrasi dulu, apakah API-nya sudah menggunakan https atau belum. Meski terkesan rumit tapi langkah-langkah itu perlu diambil.

“Biasanya intruder akan ngambil API yang masih bolong atau masih http saja. Lebih baik strict dibanding gampang tapi rawan,” ia menambahkan.

Keamanan data untuk dan oleh semua

Platform tentu punya tanggung jawab dalam menyimpan dan menggunakan data pribadi yang sudah diberikan oleh para penggunanya. Mereka pun terikat dengan sejumlah peraturan yang dibuat oleh pemerintah maupun asosiasi.

Kendati begitu dalam hal pencegahan kesadaran pengguna pun turut diharapkan. Karena pada faktanya sejumlah modus operandi kebocoran data dapat terjadi memanfaatkan minimnya pengetahuan pengguna akan keamanan data pribadi.

Di UangTeman, menurut Andre edukasi akan keamanan data berlaku untuk borrower dan lender. Edukasi pun mereka berikan kepada kedua pihak tadi. Contoh paling dasar adalah nama pengguna dan kata sandi sekali pakai (OTP) tak boleh diketahui oleh siapa pun. Selain edukasi seperti tadi, pihak UangTeman pun memakai sistem paksa guna melindungi keamanan data pengguna.

“Kami juga lakukan soft force buat nasabah. Jadi kita mendeteksi dari mobile app kami apabila terlalu lama login dan diam saja, kami akan force quit,” pungkas Andre.

Application Information Will Show Up Here

6 Catatan Pelaku Agritech Beradaptasi dengan Perilaku Konsumen di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku belanja di Indonesia dari offline ke online. Masyarakat mulai banyak memanfaatkan platform jual-beli untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari selama PSBB.

Tren ini tentu menjadi peluang besar bagi pelaku agritech yang memasarkan bahan pangan, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Di sisi lain, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri dengan kesiapannya menghadapi lonjakan pemesanan yang signifikan.

Lalu, bagaimana agritech beradaptasi terhadap perilaku konsumen selama pandemi? Simak insight menarik dari Co-founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto di sesi #SelasaStartup berikut ini.

Atasi penurunan transaksi lewat jalur petani

Pandemi menghantam berbagai sektor bisnis tanpa terkecuali. Bagi Kedai Sayur yang sejak awal bermain di segmen B2B, pandemi mengakibatkan volume transaksinya menurun.

Saat pertama kali diterapkan, masa PSBB berdekatan dengan bulan Ramadan, sedangkan mitra tukang sayur yang menjadi salah satu ujung tombak bisnisnya, mudik dalam jangka waktu lama. Belum lagi mitra dari hotel, restoran, dan cafe terpaksa harus menurunkan volume pesanan karena PSBB.

Menurut Adrian, perusahaan berupaya mencari celah baru untuk menghadapi situasi ini. Caranya adalah membantu distribusi hasil panen para petani agar cepat terserap, dan membantu siklus tanam mereka agar tidak berhenti.

“Biasanya volume pesanan mencapai Rp1 juta per hari. Karena pandemi, size-nya turun menjadi Rp400 ribu per hari. Untuk menyesuaikan demand, kami cari solusi dengan membantu distribusi ke customer base. Pendapatan mereka terdisrupsi karena jalur konvensional logistik terhambat,” ungkap Adrian.

Memberdayakan komunitas sebagai agen

Karena masih fokus di area B2B, Kedai Sayur belum memiliki channel B2C untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen. Kanal B2C sendiri ditargetkan meluncur di kuartal I 2021. Saat Covid-19 mewabah, ada banyak permintaan untuk bahan pangan dari segmen consumer.

Untuk beradaptasi terhadap permintaan tersebut, Adrian mau tak mau melakukan pivoting ke B2C. Ia menggunakan pendekatan komunitas untuk menjadi agen Direct-to-Consumer (DTC) kebutuhan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.

Inisiatif ini diwujudkan lewat layanan Kedai Emak yang diluncurkan pada awal PSBB. Selain merangkul komunitas untuk menjadi agen, cara ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Melakukan efisiensi operasional bisnis

Salah satu bentuk adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan efisiensi. Kedai Sayur melakukan shifting pasar dengan mengacu pada kebijakan pemerintah daerah setempat. Sebagai contoh, pada saat PSBB di Jakarta dipercepat, Kedai Sayur shifting pasar ke Bekasi dan Tangerang.

Adrian juga mengungkap bahwa pihaknya melakukan efisiensi besar-besaran dengan mengevaluasi pusat distribusi yang sekiranya mendatangkan permintaan besar. Selama pandemi, ia terpaksa harus menutup satu pusat distribusi dikarenakan volume transaksinya menurun.

“Bagian logistik juga perlu diefisiensikan karena startup itu critical dengan runaway. Startup memang perlu mempertahankan service level, tetapi mereka harus tetap efisien,” tutur Adrian.

Masuk ke semua segmen pasar

Salah satu tantangan pelaku agritech di industri perishable adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan grade produknya secara lengkap. Menurut Adrian, kuncinya adalah masuk ke semua segmen pasar, baik B2B dan B2C.

Dengan masuk ke semua segmen, pelaku bisnis dapat memenuhi berbagai permintaan produk dari grade apapun. Penyerapan produk juga menjadi lebih cepat.

“Tukang sayur biasanya punya spesifik grade dalam memilih produk, sedangkan sourcing dari petani harus ambil semua grade. Nah, perishable itu baiknya masuk ke semua segmen supaya terserap. Kombinasi antara sourcing dan market demand itu jadi kunci sukses di bisnis ini,” kata Adrian.

Memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasional

Tak dapat dimungkiri, data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

Ambil contoh, harga cabe rawit di Bekasi dan Jakarta Timur bisa berbeda dengan di Jakarta Selatan. Justru dari situasi tersebut, Kedai Sayur dapat memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasionalnya.

“Kuncinya adalah meng-capture informasi dari last mile kami. Makanya, engine di back end dibuat sedemikian rupa untuk capture data secepat mungkin. Ini bisa jadi feedback ke bagian sourcing dan pricing untuk optimalisasi layanan,” jelasnya.

Value proposition yang kuat lewat logistik

Adrian menilai logistik menjadi elemen paling krusial dalam memasarkan produk pertanian. Apalagi produk ini masuk dalam kategori produk perishable. Bagi mitra seperti tukang sayur, tentu hal tersebut menjadi tantangan sendiri.

Ritme kegiatan kerja tukang sayur umumnya dimulai sejak malam hari, di mana mereka berbelanja produk satu per satu ke pasar dan mulai berjualan di pagi hari. Sementara, produk perishable tidak dapat dijual lagi apabila tidak laku,

“Maka itu kami menawarkan value proposition dengan solusi logistik sehingga tukang sayur bisa punya normal working hours, working capital, dan harga yang lebih baik. Sekarang tukang sayur tinggal login dan order saja. Mereka jadi punya bargaining power,” tutupnya.

YouTap dan Tantangannya Mendigitalkan UKM di Tengah Pandemi

Pandemi yang masih berlangsung lambat laun berdampak pada seluruh tatanan kehidupan. Banyak usaha yang terpaksa gulung tikar, orang-orang mulai selektif dalam berbelanja karena terus diambangi risiko pemutusan kerja.

YouTap, startup yang menyediakan platform pemrosesan e-money dan point-of-sales (POS), dihadapkan langsung dengan pandemi yang sempat menyulitkan pemilik UKM untuk menjalankan bisnisnya. Startup ini baru resmi beroperasi pada Februari lalu alias sebulan sebelum pandemi masuk ke Indonesia.

Pandemi “berhasil” membuat YouTap membuat banyak penyesuaian bisnis yang tentunya menarik untuk dibahas lebih dalam. Untuk itu, #SelasaStartup mengundang CEO Youtap Herman Suharto untuk berbagi pengalamannya lebih jauh. Berikut rangkumannya:

Menjadi merchant-centric

Herman menjelaskan, pandemi banyak membuat perusahaan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan merchant, dari berbagai skala, untuk memulai transformasi digital. Pasalnya sedari awal YouTap mendedikasikan dirinya untuk kebutuhan merchant, bukan dari sisi konsumer.

“Semua produk kita itu selalu idenya berasal dari merchant karena kita ini merchant-centric. Banyak perusahaan yang sudah fokus ke sisi konsumer, tapi kita menempatkan diri untuk merchant,” terangnya.

Perusahaan membuat tim yang terbagi-bagi khusus untuk melayani merchant yang datang dari skala besar hingga mikro. Juga sangat melibatkan manfaat dari riset yang secara kontinu setiap memvalidasi produk baru, demi memastikan produk tersebut menjawab kebutuhan merchant.

YouTap memiliki tim riset in-house yang setiap hari melakukan tugasnya, bertanya kepada merchant untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka. Hasil dari riset ini perusahaan membuat identifikasi profil merchant. Uniknya tiap profil ini memperlihatkan aspirasi yang berbeda-beda terhadap solusi digital.

Keempat profil merchant ini, terdiri atas penjual harian, penjual yang hanya mengikuti arus pada saat itu, pencari peluang, dan pemimpi tangguh. Misalnya untuk jenis pemimpi tangguh ini mereka punya rencana yang matang untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan, penjual pengikut arus tidak memiliki rencana matang, sebab ia hanya akan berjualan produk yang saat itu laku saja.

“Kita ada komitmen bahwa solusi YouTap ini harus bisa dipakai oleh semua level merchant. Karena kami ini merchant centric, kita harus paling tahu kondisi merchant-nya. Itu hanya bisa terjadi kalau kita banyak riset setiap hari, selalu minta feedback kepada merchant.”

YouTap diklaim lebih dari platform kasir biasa, melalui aplikasi semua UKM bisa lebih mudah membuat laporan keuangan, pendataan barang, hingga fitur notifikasi yang dibuat secara personal.

Notifikasi bekerja seperti mengirim chat melalui WhatsApp. Setiap pagi, merchant akan diingatkan bagaimana kinerja penjualan bisnis mereka kemarin. Tujuannya agar mereka bisa lebih bersemangat berjualan. Tidak hanya itu, YouTap menyediakan fitur kalkulator untuk membantu transaksi tunai.

“Ternyata fitur simpel seperti ini bisa memacu mereka. Sebab pada dasarnya ada dua tipe pedagang, mereka yang selalu catat di buku dan yang tidak pernah mencatat hanya menghafal di kepala. Kalau yang biasa catat di buku sekarang sudah digital, nah biasanya yang enggak pernah catat ini kurang menyadari bahwa omzet mereka itu besar.”

Aplikasi YouTap bisa diakses secara gratis, namun bagi merchant yang ingin menikmati fasilitas tambahan dan alat khusus bisa memilih berlangganan.

Ambil pendekatan baru

YouTap ikut kesulitan dalam mengakuisisi merchant baru di saat pandemi, sehingga apabila menerapkan strategi dengan cara full digital kurang tepat. Pasalnya, pendekatan ke pengusaha mikro masih membutuhkan cara ketemu fisik untuk menjelaskan produk, mengingat tingkat literasi digital yang masih belum merata.

Herman mengaku, pihaknya memiliki tim lapangan yang bertugas untuk akuisisi merchant. Mereka tersebar di Jabodetabek, Bandung, Sukabumi, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Yogyakarta, Semarang, Solo, Salatiga, Sukoharjo, hingga Banyuwangi, dan Medan.

“Kami menggunakan cara ekosistem dengan mendekati pemerintah daerah di sana untuk mendapatkan merchant. Jadi persebaran kita tidak sporadis karena kita sadar enggak akan bisa cater semuanya dan harus tetap efisien.”

Di dalam tim lapangan itu sendiri terbagi lagi menjadi tim yang khusus untuk akuisisi dan manajemen merchant buat menjaga retensi. Tim akuisisi kini melakukan cara baru untuk memperkenalkan produk YouTap dengan memanfaatkan akun media sosial yang tenar seperti Instagram dan TikTok.

“Banyak perubahan dari sisi produk dan market [karena pandemi], apalagi sekarang banyak limitasi [untuk ekspansi] di masa yang sedang sulit ini. Kita berharap bisa tumbuh masif di kuartal terakhir tahun ini,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Menyimak Potensi Startup “Smart Logistic” di Indonesia

Bisnis logistik makin relevan dengan kebutuhan industri saat ini. Namun di tengah perkembangan digital, para perusahaan yang berkecimpung di dalamnya dituntut untuk melakukan transformasi. Salah satu hasilnya, dalam lima tahun terakhir berbagai inisiatif berbasis smart logistic dilahirkan. Bukan hanya mendukung kinerja korporasi saja, namun juga sudah cukup banyak mendukung pelaku UKM.

Relevasi model bisnis smart logistic turut divalidasi oleh banyaknya startup terkait yang mendapatkan investasi, berharap dapat mendisrupsi peluang yang ada. Untuk melihat sejauh apa perkembangan smart logistic di Indonesia, dalam sesi #Selasastartup pekan ini DailySocial menghadirkan Co-founder Paxel Zaldy Masita.

Decacorn membantu pertumbuhan smart logistic

Menurut Zaldy, duo decacorn Gojek dan Grab memiliki peranan besar di sini. Khususnya layanan GoSend dan GrabSend, mereka mulai memperkenalkan konsep smart logistic yang menyasar langsung segmen B2C hingga C2C. Langkah strategis untuk masuk segmen tersebut dinilai olehnya sebagai keputusan cerdas, karena kebanyakan bisnis legasi di bidang logistik masih sepenuhnya meng-cater segmen B2B.

“Saat pandemi sekarang cukup terasa bagaimana pertumbuhan layanan smart logistic yang menyasar segmen B2C hingga C2C mengalami pertumbuhan bisnis yang sangat positif. Sementara untuk mereka yang hanya fokus kepada B2B kesulitan untuk menjalankan bisnis saat ini,” kata Zaldy.

Pertumbuhan layanan e-commerce di Indonesia juga menjadi salah satu faktor pendukung bagi layanan logistik lokal untuk mulai mengadopsi teknologi dan menciptakan inovasi baru. Tidak lagi menjalankan bisnis secara konvensonal, namun mulai berinvestasi kepada teknologi dan mempekerjakan talenta digital yang relevan.

“Saat ini sudah mulai banyak perusahaan logistik yang sudah mapan dan popular di Indonesia tidak lagi menghabiskan dana untuk membeli moda transportasi baru pendukung, namun lebih kepada sumber daya IT hingga inovasi dan teknologi,” kata Zaldy.

Pentingnya teknologi dan inovasi

Untuk mendukung industri logistik bisa bergerak lebih cepat tentunya dengan mengembangkan teknologi dan inovasi yang relevan. Mulai dari mengubah proses konvensional hingga menawarkan pilihan baru yang memudahkan pelanggan.

Contoh kasus yang kemudian mulai banyak diterapkan oleh perusahaan logistik di Indonesia adalah, layanan pick-up yang bisa dimanfaatkan oleh semua pelanggan. Tidak lagi harus mengantarkan barang ke lokasi logistik terdekat, kini melalui aplikasi proses pemesanan, pengambilan hingga pembayaran bisa dilakukan melalui aplikasi.

“Selain itu perusahaan logistik dan mereka yang mengklaim sebagai smart logistic harus bisa mengetahui dengan jelas kebutuhan pelanggan. Untuk itu teknologi monitoring driver/barang yang akan diantar atau di pick up menjadi sangat penting untuk diterapkan,” kata Zaldy.

Teknologi seperti IoT hingga big data sudah mulai banyak dimanfaatkan oleh perusahaan logistik. Selain itu kemampuan untuk mengolah pemetaan yang cerdas hingga proses tagging yang saat ini sudah banyak dimanfaatkan oleh perusahaan logistik untuk mengatahui secara detil alamat atau titik destinasi pelanggan, bisa memudahkan dan tentunya mempercepat proses pengantaran.

“Di sisi lain kami sebagai pemain smart logistic masih kesulitan untuk menemukan dan mendapatkan talenta digital, karena masih harus bersaing dengan perusahaan teknologi hingga startup unicorn di Indonesia,” kata Zaldy.

Pemain lokal masih menjadi “raja”

Terkait dengan persaingan, menurut Zaldy tidak menjadi masalah ketika mulai banyak pemain smart logistic asing hingga lokal yang banyak bermunculan dan meramaikan lanskap layanan logistik di Indonesia. Dalam hal ini dirinya melihat, semakin banyak player, maka semakin baik ekosistem logistik ke depannya.

Disinggung seperti apa peluang pemain asing untuk masuk ke pasar Indonesia, menurut Zaldy wilayah Indonesia yang cukup kompleks dan unik, bisa menyulitkan pemain asing untuk bisa melancarkan bisnis mereka. Dalam hal ini bisa menjadi potensi dan peluang yang baik bagi pemain lokal untuk bisa melancarkan layanan dan bisnis mereka di sektor logistik.

Melihat tren dan kebutuhan saat ini, pilihan untuk menyediakan layanan same day delivery antar kota bisa menjadi pilihan bagi mereka yang ingin masuk ke sektor logistik. Bukan hanya memberikan dukungan kepada pelaku UKM, segmentasi yang terbilang masih niche ini, bisa meminimalisir persaingan dengan perusahaan logistik raksasa yang sudah memiliki sumber daya dan jangkauan yang luas di tanah air.

“Untuk itu kami di Paxel masih fokus dengan segmentasi ini dan terus menghadirkan layanan yang relevan untuk pelanggan. Langkah strategis yang kami lakukan adalah, terus mengembangkan teknologi hingga menjalin kemitraan dengan industri terkait hingga layanan finansial yang bisa mempermudah pelanggan melakukan pembayaran dalam platform,” kata Zaldy.

5 Catatan Penting Seputar Merger dan Transisi

Penggabungan bisnis atau merger antara SIRCLO dan ICUBE pada Juni lalu menjadi salah satu sorotan menarik industri startup Indonesia di sepanjang 2020. Apalagi, merger ini terjadi di masa pandemi Covid-19 di mana para pelaku bisnis harus mengencangkan ikat pinggangnya.

Bicara soal merger di masa pandemi, ada banyak insight menarik seputar topik tersebut yang dibagikan langsung oleh Founder & Chief Executive SIRCLO Brian Marshal pada sesi #SelasaStartup pekan ini. Simak ulasannya berikut.

Sinyal untuk merger dan menentukan partner yang tepat

Bagaimana mengetahui bahwa merger menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan pelaku startup? Bagaimana menentukan partner merger yang tepat?

Pada kasus SIRCLO dan ICUBE, ada beberapa hal yang diperhatikan. Pertama, melihat dependensi bisnis antara kedua perusahaan dengan mengacu pada visi dan misinya. Kedua belah pihak perlu memahami sejauh mana business proposition saling melekat satu sama lain.

Baik SIRCLO dan ICUBE sama-sama mengembangkan solusi dengan teknologi sebagai kompetensi utamanya. Namun, tetap menghargai human assistance. Dari sini, ujar Brian, kedua perusahaan melihat dinamika dan perilaku pelaku bisnis di Indonesia dari sudut pandang yang sama.

Kendati demikian, bukan berarti segala aspek harus saling selaras. Menurutnya, perbedaan justru saling melengkapi kedua perusahaan. SIRCLO memiliki target pasar dan teknologi berbeda dengan ICUBE. SIRCLO menghadirkan tools untuk  UMKM dan end-to-end services untuk brand besar. Sementara, ICUBE menghadirkan solusi tools juga untuk brand besar.

Kedua adalah “gaya”, yang dapat berarti cara suatu perusahaan menuju visinya, seperti gaya kepemimpinan. Faktor ini dapat menjadi pertimbangan apakah suatu perlu melakukan merger atau sebatas kolaborasi secara transaksional saja.

“Apabila hal-hal di atas saling selaras, alangkah baiknya bisa bekerja bareng. Kalau business proposition dan visinya sama, itu bisa jadi sinyal untuk merger,” kata Brian.

Tantangan dan kesiapan internal untuk merger

Brian menilai perusahaan tidak akan pernah siap untuk merger, kecuali langsung mencobanya. Maka itu, penting untuk melihat kesiapan internal dalam proses merger.

Kesiapan internal ini berkaitan dengan proses transisi antar-perusahaan. Transisi ini dapat meliputi gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan, proses perekrutan karyawan, pengembangan tim, hingga penilaian performa kerja dengan top level dan manajemen baru.

“Cikal bakal merger adalah kesamaan visi dan proses transisinya tidak dapat selesai dalam waktu semalam. Pada pengalaman di lapangan, salah satu PR besarnya adalah menyamakan business offering. Dengan merger, kita seharusnya bisa berikan offering lebih lengkap,” ucapnya.

Meski membutuhkan waktu, Brian menilai bahwa proses transisi dapat menghasilkan sebuah efisiensi. Penyelarasan visi, business proposition, hingga internal dapat memberikan efisiensi dari sisi operasional hingga sistem penilaian karyawan.

Komunikasi pada shareholder dan middle management

Sebagaimana diungkap Brian sebelumnya, penyelarasan visi menjadi tahapan paling pertama yang perlu dilakukan untuk memulai proses merger. Pada kasus SIRCLO dan ICUBE, proses ini dimatangkan sejak Desember 2019 hingga Februari 2020.

Pada proses ini, tentunya kedua perusahaan juga harus berdiskusi dengan para pemegang saham (shareholder) terkait kesepakatan merger. Apabila diskusi sudah rampung di top management dan mendapat persetujuan shareholder, fase selanjutnya adalah mengomunikasikan rencana merger ke middle management.  

Barulah pada fase terakhir, proses merger dapat dilaksanakan. “Baiknya, semua [karyawan] tahu, apalagi kalau mergernya signifikan. Makanya di tahap awal kami perlu menginformasikan dan mendiskusikan dengan shareholder,” ujarnya.

Proses merger saat pandemi

Ada alasan mengapa SIRCLO dan ICUBE tetap melanjutkan upaya kesepakatan mereka ketika pandemi baru merebak di Indonesia saat itu. Pembatasan sosial yang dikeluarkan pemerintah, mau tak mau menuntut masyarakat untuk bertransaksi via online.

“Kami membantu solusi e-commerce dan sektor ini tidak terdampak karena pandemi. Justru pandemi mendorong transaksi secara online. Makanya, kami tetap jalan terus saat itu,” ungkap Brian.

Hanya saja, lanjutnya, proses merger ini memakan waktu lebih lama dari target yang ditentukan semula. Pembatasan sosial membuat sejumlah proses berjalan lebih lambat, misalnya proses dengan notaris. Karena pandemi, merger yang ditargetkan bisa selesai dalam empat bulan, mundur menjadi enam bulan.

Valuasi dan biaya untuk merger

Penentuan valuasi perusahaan umumnya disepakati oleh top management. Brian menyebut bisa saja menggunakan pihak ketiga untuk membantu penghitungan valuasi. Namun, dalam kasusnya, skala bisnis perusahaan belum membutuhkan pihak ketiga untuk menghitung valuasi.

Terkait biaya merger, ini dapat berarti dua hal. Pertama, biaya yang mengacu pada nilai transaksi/kepemilikan saham di perusahaan. Menurutnya, mahal atau tidak transaksi merger itu relatif, tergantung skala bisnis dan kesepakatan dengan top management.

Kedua, biaya yang dikeluarkan kepada pihak ketiga untuk melakukan proses merger. Misalnya, biaya notaris untuk membuat draf perjanjian atau membayar konsultan untuk membantu transisi merger.

“Jika diperlukan, perusahaan bisa saja membayar konsultan untuk melakukan integrasi saat merger. Misalnya, integrasi dari sisi budaya kerja atau manajemen human resource. Ini sebetulnya tak kalah penting, tetapi tergantung kebutuhan perusahaan juga,” jelasnya.

Kiat eFishery Menempatkan Nilai dan Tujuan sebagai Pedoman Kolaborasi

Kata-kata seperti “kolaborasi” dan “kemitraan” sering terlontar dari forum-forum bisnis teknologi atau dari para punggawa startup. Namun apa sebenarnya yang menjadi tujuan kolaborasi atau kemitraan dalam bisnis startup? Kami membahas topik ini dalam edisi #SelasaStartup teranyar bersama Founder & CEO eFishery, Gibran Huzaifah.

Dalam bisnis digital, kolaborasi kerap disebut sebagai kunci dalam membuka kemandekan pertumbuhan startup. Dengan fokus dan keahlian yang berbeda-beda, maka kolaborasi menjadi faktor penting dalam membesarkan suatu startup. Tak terkecuali bagi Gibran melalui eFishery. Berikut adalah pandangan Gibran perihal kolaborasi demi menggenjot pertumbuhan perusahaan.

Nilai dan tujuan sebagai landasan

Gibran menceritakan, startup yang ia dirikan selalu melandaskan keputusan berdasarkan kebutuhan petani budidaya ikan dan udang. Dari sana mereka dapat menciptakan inovasi produk yang dapat menciptakan nilai hingga dampak baru.

Begitu pula dengan kolaborasi, prinsip tersebut menjadi pegangan eFishery. Gibran percaya setiap startup punya misi besarnya masing-masing. Namun startup juga punya batas kemampuannya. Itu sebabnya sebelum memutuskan bekerja sama dengan pihak tertentu, ia mementingkan nilai apa yang bisa dilengkapi lewat kerja sama tersebut.

“Di sisi lain ambisi kita besar juga. Itulah pentingnya kolaborasi. Kita bisa bekerja sama dengan orang-orang yang punya value berbeda sehingga nilainya lebih lengkap dan lebih besar,” ujar Gibran.

Menurutnya suatu kolaborasi selalu bermula dari masalah yang dihadapi oleh petani budidaya. Contohnya seperti yang halnya yang mereka wujudkan dalam produk pembiayaan, eFisheryFund. Beberapa petani mengalami kendala untuk mengakses permodalan. Maka eFishery menggandeng fintech untuk mengembangkan fitur pembiayaan itu.

“Kita enggak pernah start dari dengan siapa berkolaborasi. Kita selalu start dari masalahnya,” imbuh Gibran.

Membuka peluang

Fokus terhadap nilai dan tujuan itu terbukti mampu membawa eFishery sebagai salah satu startup terpandang di sektor perikanan. Mereka kini sudah melayani ribuan petani budidaya di 240 kabupaten/kota dari 24 provinsi. Belum lama eFishery juga mengantongi pendanaan seri B yang dipimpin oleh Northstar dan GoVentures.

Gibran menilai pencapaian tersebut tak lepas dari konsistensi mereka melayani kebutuhan pelanggan mereka selama bertahun-tahun.

“Dari dulu kita enggak melakukan apa yang tidak kita lakukan. Baru 1,5 tahun terakhir saja kita eksperimen membesarkan model bisnis yang lain karena kita tahu kita punya scale dan resources untuk itu. Tapi 5 tahun pertama itu kita cuma melakukan satu hal saja,” cetus Gibran.

Selain kepercayaan petani budidaya ikan dan udang, konsistensi layanan eFishery menyebabkan mereka dipandang oleh pemerintah, dari daerah hingga pusat. Sejumlah kerja sama dilakukan untuk mengembangkan potensi ekonomi perikanan.

Begitu pula dari aspek pendanaan. Gibran mengenang begitu sulitnya menggelar babak pendanaan awal. Selain jarangnya startup yang bergerak di perikanan, layanan internet of things (IoT) yang dijual eFishery juga tergolong sangat baru bagi para petani budidaya ikan dan udang.

“Untung masih ada yang mau funding,” ujar Gibran berseloroh.

Melewati krisis pandemi

Meski sudah cukup besar, eFishery masih punya begitu banyak ruang untuk tumbuh. Pasalnya total petani budidaya di Indonesia mencapai 3,5 juta. Terlebih saat ini eFishery sudah melebarkan usahanya hingga pembiayaan dan distribusi.

Perluasan bisnis eFishery tersebut nyatanya jadi alternatif penting bagi petani budidaya di masa pandemi. Gibran bercerita sewaktu kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terjadi, penyerapan ikan hasil budidaya berkurang drastis. Keadaan itu nyaris menempatkan petani tak bisa menjual ikan sama sekali.

“Nanti ketika kondisi normal lagi, kita justru bisa kesulitan suplai. Malah jangan-jangan kita bisa impor karena pembudidaya ikan mati. Makanya kita coba crafting bangun kemitraan bareng stakeholder untuk bantu mereka,” tukasnya.

Meski sempat ada rumor eFishery akan ekspansi ke luar negeri, sepertinya sejauh ini mereka masih tetap menargetkan menggali potensi perikanan domestik. Gibran menyebut mereka saat ini menargetkan bisa menjangkau satu juta petani budidaya ikan dan udang di 34 provinsi Indonesia.

Membesarkan keempat produk yang mereka miliki saat ini jadi prioritas mereka. Dengan pendanaan yang belum lama mereka terima bertekad menjadi penyedia layanan end to end bagi ekosistem perikanan budidaya.

“Jadi fokusnya ke pengembangan unit bisnisnya dan ekspansinya,” pungkas Gibran.

Application Information Will Show Up Here