Data Pendanaan Startup Indonesia H1 2022, Masih Tunjukkan Tren Peningkatan

DailySocial.id kembali merekap transaksi pendanaan startup digital sepanjang paruh pertama (H1) tahun 2022. Terdapat beberapa tren menarik yang dapat dicermati, di tengah isu miring yang tengah menjadi sorotan di ekosistem — salah satunya tentang koreksi pasar akibat krisis ekonomi global, yang berdampak langsung dengan cara investor menilai sebuah startup.

Mengingatkan kembali, tahun 2022 diawali dengan optimisme akan kebangkitan ekosistem bisnis digital setelah sebelumnya banyak terganjal akibat pembatasan di tengah pandemi. Banyak kalangan menilai, bahwa ekonomi digital Indonesia akan meroket seiring dengan adopsi teknologi yang sangat kencang selama masa karantina mandiri.

Benar saja, sepanjang Q1 2022 kami mencatat pendanaan startup meningkat lebih dari 2x lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Namun demikian, memasuki Q2 2022 sejumlah gejolak muncul, turut berdampak langsung pada iklim investasi startup. Di permukaan, kabar seperti startup melakukan layoff, pivot bisnis, sampai dengan penutupan usaha santer terdengar. Namun apakah kondisi goncangan tersebut berdampak langsung pada kucuran pendanaan ke startup Indonesia?

Artikel ini akan menyajikan data-data yang menjawab pertanyaan tersebut.

Peningkatan kuartal ke kuartal

Berdasarkan pendanaan startup yang diumumkan ke publik, sepanjang Q2 2022 terdapat 71 transaksi membukukan dana lebih dari $1,4 miliar. Secara jumlah transaksi, minus 4 angka dibandingkan Q1 2022, namun di sisi nominal terdapat peningkatan hampir $300 juta.

Pendanaan startup Q1 dan Q2 2022, ditinjau dari puataran investasinya

Menilik lebih dalam, terdapat beberapa tren menarik yang bisa diperhatikan. Pertama, adanya pertumbuhan nilai pendanaan lanjutan sepanjang Q2 ini, khususnya di seri B ke atas. Kendati secara jumlah transaksi pendanaan awal dan pra-awal masih mendominasi — mencerminkan adanya perhatikan khusus investor pada generasi founder baru.

Tren pendanaan sepanjang H1 2022

Terkait pendanaan lanjutan, sebanyak 17 startup berhasil membukukan pendanaan dengan nominal di atas $50 juta dalam putaran terakhirnya. Paling besar didapatkan unicorn Xendit dalam pendanaan lanjutan seri D.

Pendanaan startup dengan nominal terbesar sepanjang H1 2022

Ditinjau dari kategori bisnis, fintech masih menjadi yang paling banyak diburu sepanjang H1 2022 ini. Disusul model lain, yakni logistik dan social commerce. Yang kedua ini menarik, social commerce menjadi perhatian investor karena model bisnisnya mampu menangkap gap yang sejauh ini masih belum bisa diselesaikan layanan e-commerce yang sudah ada — misalnya dalam mengefisiensikan distribusi produk untuk pengguna di kota lapis 2/3/4.

Kategori bisnis startup yang paling diminati investor sepanjang H1 2022

Di sisi investor, East Ventures dan AC Ventures masih menduduki peringkat teratas sebagai pemodal ventura yang paling aktif — dari sisi jumlah transaksi yang diikuti. Adapun angel investor berpartisipasi dalam 44 transaksi pendanaan yang ada.

Investor paling aktif memberikan pendanaan kepada startup Indonesia sepanjang H1 2022

Jika berbekal pada data tren pendanaan yang ada, isu bubble brust yang tengah ramai dibincangkan pada Q2 2022 ini seperti tidak memberikan dampak berarti, karena terkait pendanaan trennya masih cenderung mengalami peningkatan. Namun, bisa jadi dampak tersebut justru terjadi pada kalkulasi pendanaan tersebut — misalnya tentang penghitungan valuasi perusahaan saat startup memasuki fase pendanaan lanjut.

Perbandingan dengan tahun 2021

Jika pada kuartal pertama peningkatannya 2x lipat year-on-year, tampaknya pada paruh pertama tahun ini trennya masih konsisten. Sepanjang H1 2021, ada sekitar 87 pendanaan dengan total nilai yang diumumkan mencapai $1,3 miliar. Sementara di H1 2022, jumlah dan nilainya meningkat, mencapai 146 transaksi dan membukukan nilai $2,6 miliar.

Terjadi peningkatan kuantitas di hampir semua ronde pendanaan, dari tahap awal sampai tahap akhir. Bahkan untuk pendanaan tahap awal jumlah transaksinya meningkat 2x lipat. Ini menjadi hal yang menarik, saat ada ketidakpastian ekonomi banyak investor masih percaya untuk meletakkan uangnya untuk membantu founder memvalidasi model bisnisnya — dalam hal ini memiliki risiko yang jauh lebih besar.

Tren pendanaan H1 dari tahun 2021 dan 2022

Kucuran pendanaan yang cenderung meningkat drastis juga bisa dipandang dari kesiapan di sisi investor. Sejak paruh kedua 2022, banyak VC yang memiliki fokus ke pasar Indonesia mengumumkan dana kelolaan baru.  Termasuk oleh pemodal ventura lokal seperti Arise Fund (MDI & Finch Capital), Intudo Ventures, Alpha JWC Ventures, East Ventures, AC Ventures, Sembari Kiqani (BRI Ventures), dan lain-lain.

Sejumlah dana kelolaan baru juga diumumkan pada paruh pertama tahun ini, seperti Indonesia Impact Fund (Mandiri Capital), Cydonia Fund (Indogen & Finch Capital), Teja Ventures, dan lainnya.

Lightspeed Umumkan Dana Kelolaan 7,5 Triliun Rupiah untuk Startup di Asia Tenggara dan India

Lightspeed India Partners mengumumkan dana kelolaan tahap awal (early stage) LSIP Fund IV sebesar $500 juta atau sekitar 7,5 triliun Rupiah. Dana ini akan digunakan untuk melanjutkan investasinya di India dan Asia Tenggara.

Dalam keterangan resminya, penggalangan dana tersebut merefleksikan komitmen mendalam terhadap pasar India dan Asia Tenggara sejak investasi pertama mereka pada 2007.

“Kami akan akan terus memperluas dan mendalami peluang di kawasan ini. Dipimpin oleh para founder kelas dunia dan cakupan teknologi yang terus berkembang untuk membentuk kembali ekonomi di India dan Asia Tenggara,” demikian disampaikan dalam keterangan resminya.

Dalam lima tahun terakhir, Lightspeed India Partners telah memiliki 28 partners yang bermarkas di Bengaluru, Delhi, Mumbai, dan Singapura. Adapun, investasi pada startup growth stage di India dan Asia Tenggara melalui dana kelolaan Select Fund dan Opportunity Fund.

Lightspeed Venture Partners telah berinvestasi di Tiongkok, India, Israel, Eropa, dan Asia Tenggara. Total portofolionya mencapai lebih dari 500 di berbagai sektor, seperti consumer, healthtech, dan fintech.

Di Indonesia, Lightspeed telah berinvestasi ke Pintu, Astro, Shipper, Chilibeli, dan Ula.

Adapun, sekitar seperempat dari total portofolio globalnya telah diakuisisi atau go-public dengan 33 IPO dalam beberapa tahun terakhir. Lightspeed juga telah memiliki 70 investor yang berlokasi di 12 kota di dunia.

Penggalangan dana multi-stage

Secara terpisah, Lightspeed Venture Partners mengumumkan telah menutup penggalangan dana sebesar $7 miliar atau sekitar 104,7 triliun Rupiah. Total pendanaan multi-stage ini dibagi dalam tiga dana kelolaan, antara lain Fund XIV sebesar $1,98 miliar, Select Fund V sebesar $2,26 miliar, dan Opportunity Fund II dengan $2,36 miliar.

Singkat informasi, Lightspeed Venture Partners XIV-A/B, L. P atau Fund XIV difokuskan untuk investasi tahap awal, seed, hingga seri B di sektor enterprise, consumer, health, dan fintech. Kemudian, Lightspeed Venture Partners Select V, L. P atau Select Fund V diperuntukkan bagi startup yang mulai melakukan scale up bisnisnya. Sementara, Lightspeed Opportunity Fund II, L.P. untuk mendukung investasi pada breakout companies.

“Sejak awal 2000-an, Lightspeed mulai membangun jejak global dengan keyakinan kami bahwa masa depan teknologi dan kewirausahaan akan mendunia. Kami membangun cross-border team sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap pasar lokal yang mendalam kepada founder. Dengan demikian, kami dapat melihat dan belajar dari inovasi yang ada di dunia,” ungkap Partner di Lightspeed Bejul Somaia.

Proyeksi sektor investasi

Dalam wawancara terakhir dengan DailySocial pada 2020, Partner & Regional Head Lightspeed Venture Partners Akshay Bhushan mengatakan, Indonesia merupakan pasar yang bagus bagi pendekatan investasi Lightspeed. Hal ini karena Indonesia memiliki populasi muda yang melek digital dan ekosistem startup yang tumbuh cepat.

Berdasarkan laporan Startup Report 2021-2022Q1 yang diterbitkan DSInnovate, ada tiga sektor yang diproyeksi berkembang di Indonesia pada tahun ini, yakni Direct-to-Consumer (D2C), embedded finance, dan Web3.

Laporan ini juga menyoroti tren investor yang kini tak lagi tertarik pada sektor mainstream, tetapi yang punya dampak langsung ke aspek sosial-ekonomi masyarakat. Misalnya, social commerce, agrikultur, dan renewable energy.

Indonesia Menjadi Fokus Utama Endeavor dalam Berinvestasi di Asia Pasifik

Endeavor memiliki Endeavor Catalyst, sebuah modal ventura yang dibentuk secara eksklusif bagi pengusaha dalam jaringan program mereka. Belum lama ini, unit investasi tersebut menutup dana kelolaan keempat senilai $290 juta atau sekitar 4,3 triliun Rupiah — terbesar yang pernah mereka kelola. Dana tersebut dibukukan dari sejumlah institusi dan tokoh ternama, termasuk founder LinkedIn dan Snowflake.

Menurut pemaparan tim Endeavor Indonesia, sejauh ini Endeavor Catalyst telah berinvestasi ke 15 startup di Indonesia — ini menjadi yang terbanyak di Asia Pasifik. Beberapa startup tersebut termasuk Aruna, Bukalapak, BukuKas, eFishery, Investree, HappyFresh, OnlinePajak, dan VIDA. Di seluruh dunia, ada sejumlah 258 startups yang sudah mendapatkan investasi darinya, mulai dari pendanaan tahap awal sampai lanjut.

“Indonesia sendiri menjadi target utama Endeavor Global untuk berinvestasi di Asia Pasifik,” ujar tim Endeavor Indonesia.

Sejak awal dibentuk, Endeavor Catalyst melakukan penyertaan modal berbasis aturan, yaitu hanya terbuka bagi Endeavor Entrepreneurs, dengan besaran maksimal 10% atau $1,5 juta dari total jumlah pendanaan. Karena seluruh founder di jaringannya telah melewati proses seleksi yang ketat di rangkaian programnya, maka tidak lagi perlu melakukan proses uji tuntas sebelum memutuskan untuk menyertakan dana.

Saran untuk founder di masa sulit

Tidak dimungkiri, saat ini banyak startup tengah menghadapi masa sulit. Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global, mereka memikirkan cara untuk menjaga runway bisnis dengan tetap memacu pertumbuhan. Sejumlah startup akhirnya melakukan efisiensi, termasuk melakukan layoff — beberapa lainnya pivot model bisnis, bahkan sampai menutup bisnis mereka. Fenomena ini tidak hanya dialami startup di Indonesia, namun dari berbagai belahan dunia.

Sebagai sebuah lembaga yang turut membantu startup bertumbuh melalui program akselerasi dan jejaring, Endeavor punya cara sendiri untuk membantu founder menghadapi masa sulit ini. Dikatakan mereka tidak pernah punya saran yang sifatnya “one size fits all”, pendekatannya selalu dipersonalisasi untuk setiap founder.

“Salah satu nilai yang kami junjung di Endeavor adalah ‘network of trust’, yang berarti Endeavor sebagai ruang aman untuk berbagi ketika para pengusaha menghadapi kesulitan atau masalah. Saat masa sulit melanda, maka yang kami lakukan adalah mempertemukan mereka dengan mentor dan peer network yang tepat, baik dari untuk memberikan perspektif, pertimbangan, dan validasi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Didukung dengan nilai ‘entrepreneur first‘ yang kami anut, semua masukan diberikan secara obyektif, supaya para founder dapat mengambil langkah yang terbaik bagi diri dan bisnisnya.”

Kendati ekosistem startup tengah diterpa ketidakpastian, namun dikatakan tidak ada perubahan hipotesis atau strategi Endeavor dalam berinvestasi.

“Endeavor fokus pada misi membangun ekonomi yang berkelanjutan, yang bergantung pada high-impact entrepreneurship. Dampak di sini tidak dibatasi pada dampak sosial atau lingkungan, tetapi dampak ekonomi, sehingga kami sering mengukurnya misalnya melalui jumlah lapangan pekerjaan dan pendapatan yang dihasilkan oleh para perusahaan yang dimiliki oleh Endeavor Entrepreneurs.”

Tengah langsungkan ScaleUp Growth Ke-3

Sosialisasi program ScaleUp Growth yang dibawakan tim Endeavor Indonesia dan perwakilan pengusaha di jaringannya / Endeavor
Sosialisasi program ScaleUp Growth yang dibawakan tim Endeavor Indonesia dan perwakilan pengusaha di jaringannya / Endeavor

Endeavor kembali menyelenggarakan “Endeavor ScaleUp Growth Program” untuk yang ketiga kalinya. Program ini merupakan akselerator non-dilutif (tidak melakukan penyertaan modal bagi perusahaan yang terpilih) selama 3 bulan yang dirancang untuk memandu 10 startup terpilih agar dapat menavigasi kompleksitas bisnis menuju skala lanjut.

Endeavor ScaleUp Growth Program Manager Zakia Syifa mengatakan, “Misi Endeavor adalah untuk membuka kekuatan transformasional kewirausahaan dengan cara melakukan seleksi, memberikan dukungan, dan memberikan investasi pada para pendiri top dunia; serta menyediakan wadah untuk berkontribusi kembali ke masyarakat. Seluruh aspek program ini didukung sepenuhnya oleh jaringan pengusaha, mentor, pemimpin bisnis, dan investor Endeavor yang sudah dikurasi sedemikian rupa menyesuaikan kebutuhan dan tantangan perusahaan di fase pertumbuhan.”

Beberapa aktivitas yang ditawarkan oleh ScaleUp Growth Program meliputi sesi mentoring 1-on-1  bersama jaringan lokal maupun global yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap peserta dan usahanya. Selain itu peserta dilibatkan dalam diskusi panel untuk mendapatkan umpan balik atas strategi perkembangan merek dan perspektif baru terhadap tantangan yang sedang dihadapi.

Peserta juga akan memiliki akses ke jaringan investor Endeavor dan seorang Account Manager khusus dari tim Endeavor Indonesia. Selama program, peserta juga akan dipasangkan dengan seorang Endeavor Buddy, yang merupakan high-impact entrepreneur Endeavor sebagai dukungan peer to peer (sesama rekan).

Target selanjutnya di Indonesia

Sejak hadir di Indonesia pada 2012, program Endeavor telah mendukung 76 pengusaha dari 54 perusahaan. Mereka juga telah memiliki 80 mentor lokal, dari total 3.000 mentor yang ada di seluruh jaringan global. Dari startup yang ada di jaringannya, hingga akhir 2021 telah menciptakan lebih dari 3,4 juta lapangan pekerjaan dengan pendapatan sampai $42 miliar.

Lewat ScaleUp Growth Program, diharapkan tahun ini Endeavor bisa membina 20-25 startup baru dari Indonesia. Ke depannya, setelah lulus dari program ini, mereka ingin melanjutkan dukungan dengan mengirimkan para startup ke seleksi panel lokal dan internasional, sebelum akhirnya dapat terpilih menjadi Endeavor Entrepreneur.

Mengenal “Living Lab Ventures”, Kendaraan Investasi Startup Sinar Mas Land

Grup Sinarmas melalui Sinarmas Land Limited (bersama dengan anak perusahaan dan afiliasinya, “Sinar Mas Land”) mengumumkan kendaraan investasi baru yang diberi nama Living Lab Ventures. Inisiatif ini dibentuk untuk mendukung inovasi teknologi melalui percepatan dan pendanaan startup yang potensial di Indonesia.

Terkait rencana pendanaan ke startup, sebelumnya Sinar Mas Land juga telah mengumumkan Urban Gateway Fund pada Mei 2022 lalu, melibatkan sejumlah pemodal ventura sebagai mitra strategis, yakni East Ventures, Redbadge Pacific, dan Prasetia Dwidharma

Sementara itu, peluncuran Living Lab Ventures menunjukkan konsistensi mereka untuk mengembangkan ekosistem digital yang menjadi fokus perusahaan saat ini, terutama untuk menambah aspek digital dalam pengembangan township secara keseluruhan. Perusahaan kian mendekati ambisinya dalam membangun ekosistem digital yang menyeluruh di kawasan kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten.

Living Lab Ventures dinakhodai oleh Mulyawan Gani sebagai Managing Partner dan Bayu Seto sebagai Partner. Diketahui keduanya telah memiliki pengalaman kerja sebagai jajaran eksekutif di beberapa startup unicorn dan transformasi bisnis ke ranah digital.

Mulyawan Gani menyatakan, “Potensi pertumbuhan eksponensial smart city di Indonesia semakin diperhatikan. Untuk menciptakan digital lifestyle yang kondusif, kami perlu memberdayakan masyarakat dengan teknologi yang inovatif dan adaptif sejalan dengan kebutuhan dinamis masyarakat itu sendiri. Living Lab Ventures ingin mendukung perusahaan rintisan lokal untuk membuka potensi mereka dan menjadi game-changer dengan mengintegrasikan inovasi dan solusi teknologi mereka ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.”

Hipotesis investasi

Dalam melakukan investasi, Living Lab Ventures menggunakan pendekatan sektor agnostik yang terbuka untuk menjangkau jaringan investasi yang lebih luas. Untuk ukuran pendanaan, timnya menyebutkan bahwa tidak ada angka spesifik untuk masing-masing startup, tergantung stage-nya. Mengenai tahapan, perusahaan mengaku berinvestasi mulai dari di semua tahapan. “Umumnya kita ikut pendanaan dari mulai startup tersebut masih early stage sampai menembus later stage,” tambah Mulyawan.

Living Lab Ventures berfokus pada tiga aspek teknologi utama yakni Smart Technologies, Digital Life, dan Mobility. Smart Technologies merupakan aspek yang berfokus pada teknologi inovatif yang mendukung kehidupan perkotaan pintar. Teknologi ini berkaitan erat dengan aspek Digital Life yang berfokus pada teknologi terkait e-commerce dan social networking yang berdampak dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu Mobility berfokus pada teknologi pintar dalam pergerakan manusia dan barang di dalam kota.

Salah satu yang menjadi nilai unik dari Living Lab Ventures ini adalah memiliki Living Lab X sebagai laboratorium untuk menginkubasi dan mengembangkan perusahaan rintisan lokal, sehingga memungkinkan mereka untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan masyarakat. Laboratorium ini memungkinkan kerja sama dengan perusahaan terkait lainnya, serta menyediakan pilot testing untuk percobaan implementasi awal.

Selain itu, Living Lab juga akan mendukung kolaborasi dan memberikan mentoring bagi pemimpin perusahaan rintisan dalam setiap proses perkembangan perusahaannya. Living Lab Venture sendiri sudah melakukan beberapa investasi dari berbagai sektor. Investasi perdana mereka adalah kepada SWAP Energy. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu fokus perusahaan ada pada sektor ESG.

Bayu Seto menambahkan, “Ide kami dalam mendirikan Living Lab Ventures tidak hanya memfasilitasi startup dari segi pendanaan, namun juga melalui Living Lab X menyiapkan sebuah proses inkubasi yang berjalan beriringan dengan inovasi dan solusi teknologi mereka. Ke depannya, keberhasilan terapan teknologi digital ini akan membantu pengembangan smart society tidak hanya di BSD City, tetapi juga di Indonesia.”

Terkait target pendanaan di tahun ini, Mulyani mengungkapkan bahwa fokus perusahaan bukan kepada berapa startup, namun solusi seperti apa yang bisa diberikan. “Saat ini kami mencari platform yang memberikan dampak kepada problem statement yang dimiliki oleh penghuni kota, jadi kita coba cari solusi yang city centric driven. Di samping itu, kami juga melihat scalability dari startup tersebut, model bisnis, serta founder yang mumpuni,” tambahnya

Fresh Factory Raih Pendanaan Tahap Awal Senilai 66 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Startup penyedia solusi fulfillment rantai dingin (cold chain) Fresh Factory berhasil meraih pendanaan tahap awal atau seed funding senilai $4,5 juta atau setara 66 milliar Rupiah dipimpin East Ventures. Putaran ini juga diikuti oleh beberapa investor lainnya, termasuk PT. Saratoga Investama Sedaya TBK, Trihill Capital, Indogen Capital, Prasetia Dwidharma, Number Capital, Y Combinator, dan beberapa investor angel lainnya.

Dana segar ini rencananya akan dialokasikan untuk ekspansi gudang ke semua kota sekunder di Jawa serta kota-kota utama di Sumatera dan Sulawesi.  Selain itu, investasi kali ini juga akan digunakan untuk memperkuat tim dan teknologi guna meningkatkan adopsi dan pencapaian operasional perusahaan.

Didirikan pada tahun 2020 oleh Larry Ridwan (Founder & CEO), Widijastoro Nugroho (Co-Founder & CCO), dan Andre Septiano (Co-Founder & CFO), Fresh Factory menyadari besarnya masalah pada logistik rantai dingin di Indonesia. Maka dari itu, perusahaan berkomitmen menyediakan jaringan pusat fulfillment rantai dingin hiperlokal, transformasi, dan sistem manajemen fulfillment cerdas yang memungkinkan pelaku bisnis untuk menyimpan, mengambil, mengemas, dan mengirimkan produk mereka ke pelanggan dengan lebih baik, cepat dan efisien.

Sebagai negara dengan sumber daya yang melimpah dari pertanian dan akuakulturnya, Indonesia memiliki kebutuhan logistik rantai dingin yang efisien untuk penyimpanan dan pengiriman dari pusat produksi ke pelanggan. Namun, masih ada kesenjangan besar dalam lingkaran distribusi yang hanya berfokus pada gudang pusat tanpa memperhatikan logistik mid dan last mile. Fresh Factory ingin menjembatani hal ini dengan mendirikan cold storage cerdas di berbagai lokasi dekat dengan pelanggan.

Beberapa solusi teknologi yang telah terintegrasi ke dalam layanan mereka termasuk GeoTagging dan GeoLocation dalam menyimpan produk di gudang, Artificial Intelligence (AI) untuk proyeksi dan pengelolaan stok di gudang, serta Internet of Things (IoT) untuk memantau suhu freezer dan chiller.

Venture Partner East Ventures Avina Sugiarto mengungkapkan, “Melihat kesenjangan besar dalam solusi rantai dingin dan bagaimana hal tersebut menyebabkan berbagai masalah terkait food loss dalam rantai pasokan, kami percaya Fresh Factory hadir seagai solusi untuk memperbaiki logistik rantai dingin untuk produk makanan yang mudah rusak dan membantu para UMKM. Kami yakin Fresh Factory telah dan akan terus memberi manfaat dan menciptakan masyarakat yang lebih tangguh.”

Hingga April 2022, Fresh Factory telah mencapai $10 juta GMV tahunan dan fulfillment tahunan untuk lebih dari 1 juta pesanan. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 30% MoM dalam tiga bulan terakhir. Perusahaan juga telah memiliki lebih dari 20 gudang cabang yang tersebar di berbagai kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Bali dengan solusi penyimpanan barang beku hingga dingin.

Layanan fulfillment di Indonesia

Pertumbuhan e-commerce sedikit banyak telah mempengaruhi lanskap layanan pemenuhan atau fulfillment. Indonesia saat ini menjadi pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara dengan kontribusi hingga 50% dari seluruh transaksi yang tercatat. Pertumbuhan ini menandakan kontribusi besar e-commerce terhadap perekonomian digital di Indonesia.

Dikutip dari laporan e-Conomy SEA 2021, ekonomi digital Indonesia mengalami peningkatan dari angka USD47 miliar di 2020 menjadi USD70 miliar di 2021, ditambah dengan penetrasi digital yang terus meningkat berjumlah 158 juta pengguna e-commerce di Indonesia.

Sementara itu, berdasarkan laporan dari Research and Markets, pasar layanan fulfillment secara global diperkirakan akan mencapai $198,62 miliar pada tahun 2030, tumbuh pada CAGR sebesar 9,5% selama periode perkiraan. Penetrasi layanan internet yang cepat dan peningkatan jumlah pembeli online merupakan faktor utama yang mendorong permintaan akan layanan fulfillment di seluruh dunia.

Manuver dari para pemain e-commerce tanah air untuk masuk ke bisnis fulfillment dinilai sangat baik dengan memberikan pelayanan logistik secara terpadu. Langkah ini pertama kali diambil Tokopedia dengan meluncurkan layanan TokoCabang yang kini bertransformasi menjadi Dilayani Tokopedia. Layanan tersebut memungkinkan penjual menitipkan produk di “gudang pintar” pada wilayah dengan permintaan tinggi.

Selanjutnya, Bukalapak ikut menyasar segmen ini melalui layanan BukaGudang yang sudah dapat digunakan pelapak sejak Maret 2020. Buka Gudang memiliki dua mitra fulfillment, yakni PT IDCommerce dan startup penyedia jaringan pergudangan mikro Crewdible. Lalu, ada Shopee yang resmi masuk lewat layanan Dikelola Shopee pada September lalu. Layanan Dikelola Shopee memanfaatkan gudang milik sendiri dengan rata-rata pesanan diklaim dapat dikirim dua jam setelah pengguna menyelesaikan transaksi.

Selain para pemain e-commerce yang melakukan penetrasi di segmen fulfillment, sejumlah startup lokal juga fokus menggarap jaringan pergudangan mikro dan solusi pengadaannya untuk menciptakan dampak efisiensi. Beberapa diantaranya termasuk CrewdibleShipper, dan TokoTalk.

Northstar Mulai Bidik Startup Tahap Awal, Siapkan Dana 1,5 Triliun Rupiah

Perusahaan private equity Northstar Group dikabarkan tengah menyiapkan dana kelolaan khusus untuk berinvestasi ke startup tahap awal. Menurut sumber kami, Northstar telah menyiapkan dana debut sekitar $100 juta (sekitar 1,5 triliun Rupiah).

Nantinya mereka akan menyuntik startup pre-seed dan seed dengan ukuran tiket berkisar $500 ribu (sekitar 7,5 miliar Rupiah). Hipotesis investasinya tidak jauh dari yang sudah dilakukan sebelumnya, yakni menyasar startup di bidang finansial, konsumer, dan ekonomi digital.

Ketika dihubungi DailySocial.id, perwakilan Northstar enggan berkomentar atas rumor pasar, tapi ditegaskan bahwa perusahaan memang punya ketertarikan di area tersebut [berinvestasi ke startup seed].

Sebelumnya Northstar dikenal sebagai investor startup tahap akhir dan/atau korporasi — ukuran tiket investasinya bisa mencapai $20 juta. Akhir tahun 2021 lalu, perusahaan juga baru mengumumkan penutupan dana “flagshipNorthstar Equity Partners V Limited dengan nilai komitmen $590 juta atau sekitar 8,3 triliun Rupiah.

Secara total saat ini Northstar mengelola portofolio dengan nilai lebih dari $2,5 miliar (lebih dari 35 triliun Rupiah). Adapun tahun ini mereka juga berpartisipasi dalam pendanaan lanjutan sejumlah startup lokal, seperti Moladin, Pintu, DailyBox, Sayurbox, dan NOICE.

Untuk memperluas cakupannya,  Northstar juga telah bermitra dengan Google sepakat membentuk joint business plan. Fokusnya untuk bersama-sama mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara.

Diterangkan oleh salah satu direktur perusahaan, melalui inisiatif tersebut Northstar akan fokus pada investasi dan mengalokasikan sumber daya untuk memberikan pengetahuan pasar lokal. Sementara Google akan banyak membantu di unsur teknologi, juga mengajarkan praktik terbaik dari studi kasus global.

Idealisme Hipotesis Berinvestasi ala BTPN Syariah Ventura

BTPN Syariah Ventura turut serta mewarnai kehadiran corporate venture capital (CVC) di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Dalam catatan, sejauh ini sudah ada delapan CVC (Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, OCBC NISP) yang sudah beroperasi dan mengucurkan dana, kecuali BNI Modal Ventura yang baru mengumumkan kehadiran.

Masing-masing CVC memiliki mandat spesifik dari induk untuk mendukung keterbukaan terhadap inovasi yang berpotensi dapat digarap bersama ke depannya. Dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi tidak bisa langsung direalisasikan dalam waktu cepat, meski sebenarnya siapa pun bisa melakukannya.

Kondisi yang sama juga diemban oleh BPTN Syariah Ventura. Dibandingkan perbankan lainnya, syariah sekalipun, bisnis utama BPTN Syariah adalah pembiayaan produktif untuk masyarakat pra/cukup sejahtera dengan nominal pinjaman mulai dari Rp2 juta dengan tenor satu tahun. Segmen ini berbeda dengan kebanyakan perbankan, makanya banyak kondisi-kondisi yang perlu dipertimbangkan saat BPTN Syariah melakukan digitalisasi.

Menariknya, karena induk BTPN Syariah Ventura ini adalah perbankan syariah, maka CVC-nya pun turut menyejajarkan diri. DailySocial.id berkesempatan untuk mewawancarai lebih dalam bersama Direktur Utama BTPN Syariah Ventura Ade Fauzan.

Hipotesis investasi

Dengan ranah bisnis yang tersegmentasi, kesempatan BTPN Syariah untuk masuk ke ranah digital ibaratnya pisau bermata dua. Sebab, proses digitalisasi di pedesaan dengan perkotaan adalah hal yang berbeda, termasuk dari kecepatan adopsinya. Kualitas jaringan internet adalah salah satu faktornya. Ade pun menyadari bahwa digitalisasi itu adalah suatu keniscayaan.

“Kami melihat bagaimana melakukan digital untuk segmen market-nya, makanya kami sebut teknologi untuk kebaikan. Tapi kami percaya perlu akselerasi lewat kolaborasi karena zaman sekarang muncul istilah baru, yakni kolaborasi, sebab memang tidak semua kebutuhan yang kita butuh itu harus bangun sendiri,” ujar Ade.

Sesuai mandat dari BTPN Syariah, hipotesis investasi yang dianut adalah mencari startup yang fokus pada pemberdayaan masyarakat pra/cukup sejahtera di kota lapis dua dan tiga. Dari total enam juta nasabah yang sudah terlayani di BTPN Syariah, harus mendapat nilai tambah dari setiap inovasi yang terjadi, dengan demikian kehidupan mereka semakin membaik.

Prinsip inilah yang akhirnya ditemukan dari Dagangan. Keputusan untuk menyuntik startup social commerce ini sebenarnya melalui tahapan yang tidak sebentar, bahkan jauh dari akhirnya BTPN Syariah Ventura resmi berdiri. Sedikit mengulang ke awal 2020, di situlah dimulainya kemitraan antara perusahaan dengan Dagangan.

Pada saat itu, Dagangan melakukan pilot project untuk mendukung para debitur BTPN Syariah untuk mengembangkan bisnis melalui pinjaman yang mereka terima. Dagangan menyediakan stok barang kelontong dalam bentuk paket-paket hemat yang bisa dibeli untuk nantinya dijual kembali oleh para mitra di lingkungan rumahnya. Karena berjualan barang kelontong, maka perputaran uangnya jauh lebih cepat hanya sekitar satu hingga dua hari saja.

“Ada kebutuhan untuk warung, yang mereka butuhkan akses terhadap barang. Nasabah kita bekerja sendiri untuk dukung keluarganya. Pain-nya access to supply, harus travel, harus tutup warung, artinya ada opportunity loss. Karena tidak sekadar barang, banyak startup yang menyediakan barang untuk warung, tapi yang sesuai BTPS cari tidak banyak, hanya Dagangan,” ucap Ade.

Dia melanjutkan, Dagangan mendedikasikan dirinya sebagai startup yang hanya menggarap kota lapis dua, tiga, dan empat, yang mana sejalan dengan strategi BTPN Syariah. Dari karakteristik model bisnisnya juga menarik karena Dagangan mengakomodasi nominal belanja dalam jumlah kecil, menyesuaikan dengan kebiasaan belanja pemilik warung.

“Pedagang kecil itu belanjanya dalam jumlah kecil, bukan botolan tapi sachetan. Nah Dagangan tipe barang-barangnya seperti itu, minimal order-nya juga tidak harus banyak. Kalau pemain lain itu minimal harus Rp1,5 jutaan. Kalau segitu [minimal belanja] nasabah kami enggak bisa order.”

Kemitraan tersebut berlanjut, sampai kedua perusahaan bahkan sudah mencapai integrasi API alias semakin serius karena mulai “buka dapur”. Kesepakatan tersebut diambil jauh sebelum BTPN Syariah Ventura peroleh izin dari regulator.

“Ke depannya kemitraan dengan Dagangan akan terus dilanjutkan, akan ada kolaborasi access to market untuk bantu perluas usaha kecil jangkau konsumen yang lebih luas.”

Setelah Dagangan, pihaknya akan terus mencari startup lainnya yang menyasar masyarakat desa dari berbagai vertikal. Meski tidak dirinci secara spesifik, BTPN Syariah mencari peluang-peluang kolaborasi dengan startup yang bermain di edtech, jual-beli digital, pelatihan, penyedia jasa pembayaran tagihan, penyedia barang perlengkapan rumah tangga, produsen/pemilik produk kebutuhan sehari-hari.

Layanan di atas diarahkan untuk membantu para konsumen BTPN Syariah yang terdiri dari nasabah, Mitra Tepat, Daya (program CSR), Ibu Tepat, dan lainnya.

Sumber: BTPN Syariah

Persaingan dengan VC

Hal menarik lainnya yang menjadi pertanyaan adalah mengapa baru sekarang BTPN Syariah masuk ke modal ventura, sementara korporasi lainnya sudah memulainya sejak empat hingga enam tahun lalu.

Ade pun menjawab bahwa terlambat atau tidaknya masuk ke modal ventura itu bicara mengenai prioritas. Bagi manajemen, kehadiran BTPN Syariah Ventura berada dalam momen yang tepat untuk mengakselerasi digital di induk perusahaan dan menciptakan ekosistem digital syariah.

“Tujuannya spesifik karena mandatnya sangat clear untuk bantu banknya [BTPN Syariah]. Karena proses bangun ekosistem digital syariah itu selama ini kita bangun sendiri. Ketika sudah berada di satu titik bisa ditinggalkan, source kita kemudian dialihkan untuk bangun VC. Jadi bukan terlambat atau tidak, tetapi memang kami atur milestone-nya.”

Dia menambahkan, prinsip yang selalu diunggulkan dari BTPN Syariah Ventura adalah selalu menjadi investor strategis, bukan ordinary investor atau investor yang mencari valuasi. Bagi Ade, valuasi adalah satu hal, tapi mengembangkan bisnis BTPN Syariah adalah hal terpenting.

Yuliati pengguna Dagangan dan pemilik warung di Desa Tempelsari, Kabupaten Sleman / Dagangan

“Ketika startup datang bantu nasabah kami tumbuh, maka mereka bantu BTPS tumbuh lebih besar. Kami sudah jalankan ini [bisnis bank syariah] sejak 2010 jadi kita tahu apa yang ultra mikro butuhkan, sekarang tinggal pilih yang mana dulu [mau diinvestasikan].

Karena menjadi investor strategis, pihaknya dapat menganalisis calon startup dengan memberikan pilot project dan akses ke nasabah. Dari situ, BTPN Syariah dapat mengukur efektivitasnya seperti apa, layak untuk dilanjutkan atau tidak. “Ketika masuk ke bisnis BTPS, market startupnya jadi bisa di-compare, sudah diukur risikonya. Beda halnya kalau mereka beda bisnis dengan kita, susah validasinya, jadi kita masuk ke area yang kita paham.”

Dana kelolaan BTPN Syariah Ventura tergolong mini, hanya Rp300 miliar (dari modal ditempatkan dan disetorkan penuh). Ade dan tim akan melakukan investasi dengan cerdas ke startup berkualitas. Proses investasi akan dilakukan dengan sabar dan tidak terburu.

Sebagai satu-satunya CVC syariah, sambung Ade, menjadi nilai unggul yang diberikan perusahaan kepada calon startup. Sebab, pihaknya memiliki dua orang Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memastikan bahwa operasionalnya sesuai dengan ketentuan syariah yang diatur oleh DSN MUI, OJK, dan regulator terkait lainnya.

“Jadi dalam setiap penyertaan modal yang kami lakukan, maka startup tersebut harus mendapatkan opini kesesuaian syariah dari DPS BTPN Syariah Ventura.”

Ia pun tak khawatir dengan persaingan berebut dengan VC lainnya. Setidaknya, dalam rencana bisnis BTPN Syariah Ventura, dapat mendanai satu startup tiap tahunnya. Sayangnya, Ade tidak menyebutkan ticket size yang akan diberikan untuk tiap investasinya. Hanya disebutkan tergantung dari penyertaan modal yang dilakukan untuk setiap model bisnis dan rencana startup tersebut.

“Kami sudah ‘berkencan’ dengan Dagangan sebelum mereka terkenal seperti sekarang. Kami akan mencari Dagangan-Dagangan lain yang masih kecil tetapi punya potensi yang kami tahu potensi itu bisa menyelesaikan masalah,” tutup Ade.

Sequoia Southeast Asia Debut Dana Kelolaan 12,5 Triliun Rupiah, Mayoritas Suntik Startup Indonesia

Sequoia Southeast Asia mengumumkan dana kelolaan perdana untuk kawasan Asia Tenggara senilai $850 juta (lebih dari 12,5 triliun Rupiah). Pemodal ventura tersebut akan menyuntik startup potensial dari berbagai tahapan, mulai dari tahap awal sampai tahap pertumbuhan. Menariknya mereka bilang akan menjadikan Indonesia sebagai negara prioritas.

Managing Director Sequoia Southeast Asia Abheek Anand menyampaikan, selama lebih dari 10 tahun terakhir perusahaan telah berinvestasi di beberapa putaran awal dari beberapa startup Indonesia, termasuk Gojek, Tokopedia, Kopi Kenangan, Bibit, Lummo, dan lainnya. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital, pihaknya melihat ledakan jumlah founder yang membangun generasi perusahaan legendaris berikutnya.

“Kami berharap dapat bermitra dengan mereka langsung dari tahap ide hingga IPO dan seterusnya, dan membawa pengalaman investasi global dan pembangunan perusahaan selama lima dekade untuk membantu berkontribusi bagi masa depan ekonomi digital Indonesia,” ucapnya dalam keterangan resmi, Selasa (14/6).

Komitmen serius Sequoia ini berawal dari eksperimen kecil di sebuah ruangan dalam gedung sepi di Singapura sejak 10 tahun lalu. Setelah menghabiskan banyak waktu di sini, ekosistem teknologi di kawasan ini menunjukkan banyak tanda awal pertumbuhan yang sama seperti telah terlihat di India dan Tiongkok. Dengan total tim kini sebanyak 40 orang dari 12 kewarganegaraan, Sequoia kini memiliki sejumlah portofolio dari investasi-investasi awal, ventura dan pertumbuhan, dan program akselerator seperti Surge dan Spark.

Untuk menyuntik lebih banyak startup di Asia Tenggara, mereka akan terus membawa tim spesialis portofolio besarnya untuk bermitra dengan para founder di saat-saat paling penting mereka dan mendorongnya melalui program akselerator. Juga, menggandakan inisiatif untuk berkolaborasi di seluruh ekosistemnya — dengan founder, pemerintah, rekan investor, dan mitra — untuk membantu kawasan Asia Tenggara menjadi lebih besar, lebih sehat, dan lebih berkelanjutan daripada sebelumnya.

Program akselerator

Salah satu program yang menjadi unggulan dari Sequoia Capital adalah Surge. Melalui program ini startup yang masih dalam tahap awal, bisa mendapatkan mentoring hingga dukungan capital yang relevan. Surge menggabungkan modal awal $1 juta hingga $2 juta dengan dukungan pembangunan perusahaan, kurikulum global, dan dukungan dari komunitas mentor dan pendiri startup.

“Kami melihat program Surge menjadi langkah awal bagi startup yang masih berada dalam tahap awal. Kami ingin menjalin kemitraan dengan lebih banyak lagi startup di Indonesia,” kata Abheek secara terpisah dalam wawancara bersama DailySocial.id.

Bagi mereka yang sudah masuk dalam program Surge dan berhasil mengantongi pendanaan, ke depannya jika memiliki potensi, Sequoia akan memberikan investasi dalam putaran pendanaan selanjutnya. Dengan demikian, program Surge menjadi pembuka bagi mereka untuk bisa mendapatkan kesempatan pendanaan lanjutan.

Startup yang awalnya merupakan lulusan program Surge dan berhasil mengantongi investasi tahapan lanjutan dari Sequoia Capital di antaranya adalah Lummo dan Qoala. Saat ini tercatat sudah ada 9 startup lulusan program Surge. Sementara Sequoia Capital sendiri sudah terlibat dalam 22 startup di Indonesia. Di antaranya adalah Traveloka, Gudangada, GoTo, hingga Kopi Kenangan.

Berikutnya, program Sequoia Spark yang diinisiasi oleh Sequoia India untuk mendukung usaha para perempuan. Program dana hibah sebesar $100.000 beserta pendampingan ini, ingin mengajak lebih banyak perempuan di India dan kawasan Asia Tenggara untuk menjadi pengusaha.

Program ini diadakan dengan menyediakan pendampingan langsung yang mendalam kepada 15 startup yang dipimpin oleh perempuan setiap tahunnya dan modal cukup sebagai biaya awal untuk memulai usaha. Kohort pertama dari program Sequoia Spark terdiri dari berbagai macam bidang, termasuk edtech, fintech, SaaS, dan crypto. Kohort ini menggabungkan tujuh startup dari Asia Tenggara, tujuh dari India dan satu dari Uni Emirat Arab. Dari Indonesia Sribuu berhasil mendapatkan mentoring dan pendanaan awal dari Sequoia Capital.

Mentoring merupakan bagian dari Sequoia, kami bukan hanya bertindak sebagai mitra bisnis tapi juga bisa membantu mereka berupa mentoring melalui program yang kami tawarkan. Diharapkan bisa membantu komunitas karena semua program kami bangun berdasarkan tahapan yang ada. Mulai dari Surge untuk startup tahap awal, Spark untuk perempuan dan kami juga memiliki program bagi startup yang telah masuk dalam tahapan lanjutan seperti seri B hingga mereka yang sudah menjadi unicorn dan decacorn,” kata Abheek.

Investasi Semakin Ketat, Ekosistem Startup di Indonesia Tetap Pesat

DSInnovate belum lama ini menerbitkan hasil riset terbarunya bertajuk “Startup Report 2021-2022Q1“, merangkum dinamika industri dan ekosistem startup digital Indonesia. Laporan ini berisi data, perspektif pendiri, dan konsumen mengenai perkembangan bisnis teknologi. Topik baru yang menjadi sorotan tahun ini adalah impact, baik dari sudut pandang investasi maupun startup.

Dalam sesi Mini-Conference, Editor in Chief DailySocial.id sekaligus Direktur DSInnovate Amir Karimuddin memaparkan beberapa poin dalam laporan tersebut.

Setelah sepanjang tahun 2020 Indonesia mengalami masa-masa suram, kala itu beberapa startup tidak bisa melanjutkan bisnis karena satu dan lain hal, tahun 2021 disebut sebagai titik balik bagi ekosistem bisnis digital di Indonesia. Data yang terjadi membuktikan bahwa benar adanya, industri teknologi tanah air tengah memasuki babak baru.

Restrukturisasi sebagai strategi bisnis

Belakangan ini santer terdengar kabar tentang startup yang melakukan layoff. Faktanya, kabar ini datang bukan dari startup di tahap awal atau yang baru merintis, namun beberapa perusahaan yang namanya sudah cukup dikenal. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam industri startup di Indonesia?

Restrukturisasi bukanlah hal yang baru dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Namun ketika hal ini terjadi secara signifikan, itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Untuk menjawab asumsi-asumsi yang muncul ketika berita seperti ini mencuat di media, Amir, merepresentasikan DSInnovate mencoba menjabarkan apa yang mungkin menjadi dibalik panggung restrukturisasi startup teknologi tanah air.

Salah satunya terkait dengan investor yang semakin berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Selain isu pandemi, saat ini industri teknologi Amerika Serikat disebut tengah mengalami “Tech Winter” yang dapat diartikan sebagai periode penurunan minat dan investasi dalam teknologi. Mengingat banyak investor yang juga bermarkas di negeri Paman Sam, hal ini tentunya berdampak pada angka investasi dalam negeri.

Dengan pendanaan yang semakin selektif, ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh perusahaan. Untuk perusahaan dengan skala yang besar, tentunya membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Hal ini kemudian berdampak pada cashflow. Agar runway tetap terjaga, harus ada upaya penyesuaian bisnis. Salah satunya adalah restrukturisasi atau efisiensi operasional bisnis.

Investor lebih selektif

Turut hadir dalam di sesi Mini-Conference, Deandra Fidelia Marbun selaku Investment Analyst di Central Capital Ventura (CCV) sebagai kendaraan investasi dari  grup BCA. Ia mengungkapkan pandangannya terkait lika-liku pendanaan yang tengah terjadi di tengah industri teknologi tanah air. Mulai dari aspek lokal hingga global.

Di skala lokal, penurunan jumlah pasien Covid-19 memiliki dampak positif. Ekonomi yang kembali tumbuh berpengaruh pada demand masyarakat yang semakin meningkat, lalu berdampak pada inflasi. Di ranah global, lockdown di China, perang Rusia-Ukraina, serta “Tech Winter” yang sebelumnya dibahas turut menjadi bahan pertimbangan. Penyesuaian tidak hanya terjadi pada startup namun juga investor yang menyebabkan investasi semakin ketat.

Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini tengah terjadi koreksi pasar. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh bisnis atau modal ventura, setelah melihat kemunculan beberapa startup yang overvalued. Dinamika yang terjadi disebut sebagai sebuah ujian dan startup yang bisa bertahan bisa dibilang berkelanjutan (sustainable).

Sebagai sebuah VC, CCV dibentuk dari awal dengan tujuan investasi yang mengarah ke sinergi. Mengingat infrastruktur dan pengalaman yang sudah dimiliki, CCV memiliki fokus pada sektor fintech beserta turunannya seperti embedded finance. Hingga saat ini perusahaan sudah mengelola puluhan portofolio termasuk OY!, Akseleran, wagely, dan Qoala.

Terkait penyesuaian, Deandra menyebutkan bahwa hipotesis perusahaan dalam menyalurkan investasi sudah ditujuakan untuk dinamika startup yang cepat dan volatile, sehingga tidak banyak penyesuaian yang dilakukan. “Namun kami tetap lebih berhati-hati. Lebih baik sustainable growth daripada hyper growth tetapi ketika tersandung langsung jatuh,” tambahnya.

Babak baru industri startup Indonesia

Amir melanjutkan pemaparannya. Melihat perkembangan industri startup Indonesia, pada mulanya adalah e-commerce hadir menjadi lokomotif industri digital, kemudian merambah ke fintech, lalu semakin besar menyasar sektor lain. Setelah masyarakat mulai paham dengan penggunaan fitur finansial secara digital, hal ini akan turut mengakselerasi sektor lainnya.

Penetrasi teknologi di sektor edukasi dan pendidikan secara besar-besaran di masa pandemi juga menciptakan kemajuan yang besar di tahun 2022 ini.

Selain itu, ada tiga sektor yang juga diprediksi akan semakin berkembang di tahun ini; (1) Direct-to-Consumer yang memungkinkan brand untuk mengembangkan target pasarnya; (2) embedded finance, yang menawarkan solusi fintech untuk bisa diimplementasikan atau di-embed di berbagai macam platform; serta (3) Web3, evolusi dari industri internet yang berpotensi menjadi mainstream dalam jangka panjang.

Selain itu, salah satu tren yang juga diangkat dalam “Startup Report” adalah The Rise of Impact Investment. Investor kini tidak hanya tertarik pada sektor mainstream tetapi juga yang punya dampak langsung ke sosial ekonomi masyarakat seperti social commerce, renewable energy, agrikultur, dan lainnya. Tentunya impact investment memiliki mandat lebih berat, karena akan ada metrik tambahan untuk mendampingi metrik-metrik umum.

Deandra juga menambahkan, bahwa investasi berdampak merupakan salah satu yang menjadi value yang dimiliki CCV. Namun, mengingat fokus utama perusahaan adalah sektor fintech, impact yang dimaksud lebih ke ranah sosial yang mengutamakan inklusi finansial. Layaknya fokus investasi CCV yang akan berkaitan dengan fintech atau fintech related.

“Saat ini kita percaya bahwa pada akhirnya, semua jenis startup akan menjadi perusahaan fintech. Hal ini sudah terbukti dengan para startup global, seperti Uber dengan Uber Visa, begitu pula untuk sektor lain juga akan ada fintech angle-nya. Maka dari itu kita punya target investasi tahun ini ke embedded finance,” tambah Deandra.

Mengenai prediksi pertumbuhan startup ke depannya, Amir mengungkapkan bahwa akan ada reality check untuk memastikan bahwa strategi yang digunakan tetap relevan dengan kondisi saat ini, bukan lagi semata-mata growth at all cost.Cashflow positif akan jadi gold standard yang baru. Balancing antara cashflow dan growth akan jadi norma baru bagi startup di Indonesia. Tentunya dengan catatan tetap bisa memenuhi pertumbuhan bisnis sesuai kesepakatan dengan investor,” tutupnya.

1982 Ventures Tutup Dana Kelolaan Awal 292 Miliar Rupiah, Jadikan Indonesia sebagai Pasar Inti

1982 Ventures mengumumkan penutupan akhir dari dana kelolaan awal mereka senilai lebih dari $20 juta atau setara 292 miliar Rupiah dalam bentuk komitmen modal. Dana tersebut diklaim mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribed, target awalnya mengumpulkan sekitar $15 juta.

Perusahaan modal ventura yang didirikan Scott Krivokopich dan Herston Elton Powers ini sejak awal debutnya memfokuskan untuk berinvestasi kepada startup di Asia Tenggara. Secara keseluruhan mereka telah berinvestasi kepada 25 usaha rintisan di berbagai negara di Asia Tenggara, Pakistan, dan Bangladesh.

“Kami mempercepat laju investasi meskipun ada sentimen [negatif] pasar saat ini. Layanan fintech tahap awal di Asia Tenggara tetap menjadi sektor yang paling menarik untuk modal ventura,” kata Herston.

Dana pertama mereka telah didukung oleh VC, institusi, perusahaan dan kantor keluarga global. Investor terkemuka di dana debut 1982 Ventures termasuk kantor keluarga dari salah satu konglomerat terbesar di Indonesia, Trihill Capital, fintech unicorn AS Carta, hingga unit ventura Genting Group.

Sementara itu pendukung individu 1982 Ventures termasuk di antaranya pendiri startup unicorn, eksekutif senior perusahaan teknologi, partner di VC seperti salah satunya Sheel Mohnot (Better Tomorrow Ventures).

“Kami adalah fintech fund global dan telah melihat bagaimana fintech mengubah semua pasar. 1982 Ventures adalah pilihan yang jelas bagi kami untuk pendanaan dan menjadi mitra yang memahami lanskap layanan fintech di Asia Tenggara,” Co-Founder & General Partner Better Tomorrow Ventures Sheel Mohnot.

Rencana di Indonesia

1982 Ventures memimpin putaran pendanaan pre-seed dan seed dengan tiket investasi senilai $250 ribu hingga $500 ribu. Perusahaan menargetkan bisa melakukan 10-15 investasi baru, selain investasi lanjutan yang ada dalam portofolio Fund I mereka.

1982 Ventures memiliki komitmen awal lebih dari $5 juta untuk Fund II yang akan segera diumumkan.

Khusus untuk Indonesia saat ini sudah ada sekitar 9 startup yang telah mendapatkan investasi dari 1982 Ventures. Di antaranya adalah aman, Citycall, hipajak, Luna, Monit, PasarMikro, Pina, Wagely dan Brick.

“1982 Ventures memimpin putaran VC pertama kami dan Brick sangat beruntung memiliki investor yang hidup dan bernafaskan fintech dan selalu siap mendukung kami dengan pengenalan investor, pelanggan, dan talenta,” kata Co-Founder & CEO Brick Gavin Tan.

Kepada DailySocial.id Herston menyebutkan, Indonesia adalah pasar inti untuk 1982 Ventures dan mereka berharap dapat meningkatkan investasi ke startup fintech Indonesia.