3 Cara Menghilangkan Iklan di Smartphone Android

Tentu sangat menyebalkan jika aktivitas seru kita diganggu oleh munculnya popup iklan. Apalagi sekarang, tayangan iklan tidak hanya muncul di browser tapi juga di aplikasi bawaan. Nah, di tutorial ini kita akan bahas cara menghilangkan iklan di smartphone Android baik di browser ataupun di aplikasi.

Continue reading 3 Cara Menghilangkan Iklan di Smartphone Android

Sony Umumkan Lensa Zoom Ultra Wide FE 12-24mm F/2.8 G Master

Sony telah resmi mengumumkan lensa FE 12-24mm f/2.8 G Master. Lensa zoom ultra wide 12-24mm pertama di dunia untuk sistem full frame dengan aperture konstan f/2.8.

Mengantongi label “G Master”, lensa ini dirancang dengan filosofi “tanpa kompromi”. Secara optik, lensa premium ini terdiri dari 17 elemen dalam 14 grup untuk mengatasi aberration, distortion, flare, dan ghosting.

sony-umumkan-lensa-zoom-ultra-wide-fe-12-24mm-f2-8-g-master-4

Termasuk tiga elemen extreme aspherical (XA), satu aspherical reguler, tiga extra-low dispersion (ED), dua elemen Super ED, dan lapisan baru Nano AR Coating II. Kombinasi ini menjanjikan kualitas foto yang tajam dari sudut ke sudut di seluruh rentang zoom.

Untuk autofocus-nya, Sony menggunakan desain “floating focus” khusus menggunakan dua focusing group yang ditenagai empat Extreme Dynamic (XD) linear motor. Hal ini memberikan minimum focusing distance konstan hanya 28mm tanpa mengorbankan kecepatan atau presisi.

Meski dirancang untuk sensor full-frame dengan aperture besar, dimensi lensa ini terbilang cukup compact dan punya bobot ringan 874 gram. Build quality yang premium ini tentunya sudah weather-sealed, tahan terhadap debu dan kelembaban dengan tudung lensa terintegrasi. Selain itu, lensa ini punya tombol focus-hold yang dapat diseuaikan dan switch focus mode.

Sony mengatakan lensa ini merupakan pilihan yang ideal untuk fotografi landscape, astrophotography, architecture, dan fotografer olahraga aktif yang ingin menangkap perspektif secara ultra wide. Berapa harganya? Sony FE 12-24mm f / 2.8 GM akan tersedia pada bulan Agustus dengan harga US$3.000 atau mencapai Rp43 jutaan.

Sumber: PetaPixel

ExpressVPN Jadi Rekan Terbaru Dignitas

Dignitas baru saja mengumumkan kerja sama dengan ExpressVPN, penyedia layanan Virtual Private Network (VPN). Melalui kerja sama ini, ExpressVPN akan menyediakan layanan keamanan siber bagi para pemain Dignitas. Selain mengamankan jaringan internet para pemain Dignitas, ExprsesVPN juga akan menyiapkan sistem perlindungan dari serangan Distributed Denial of Service (DDoS).

Sebagai bagian dari kolaborasi ini, Dignitas dan ExpressVPN juga akan membuat konten YouTube yang menjelaskan tentang manfaat layanan VPN. Video tersebut akan diunggah ke channel milik Dignitas serta channel streamer dan pemain organisasi esports tersebut. ExpressVPN bukan satu-satunya penyedia layanan VPN yang memasuki ranah esports. Sebelum ini, penyedia layanan VPN HideMyAss juga menjalin kerja sama dengan tim League of Legends Fnatic. Tak hanya itu, mereka juga memperbarui kerja sama dengan Warthox Esports.

“Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memastikan bahwa kami memiliki jaringan internet yang tidak hanya stabil tapi juga aman karena saat ini, semua kompetisi yang kami ikuti diadakan secara online,” kata James Baker, General Manager Dignitas, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami bangga bisa bekerja sama dengan ExpressVPN, yang akan melindungi tim kami dari lonjakan ping atau terputusnya koneksi dan menjamin setiap anggota kami dapat menggunakan bandwidth maksimal.”

Sementara itu, Vice President, ExpressVPN, Harold Li berkata, “Sekarang, keamanan siber sangat penting, tak peduli apakah Anda sekedar menjelajah internet, bekerja dari rumah, menonton video streaming, atau bertanding di kompetisi esports. Kami senang dapat bekerja sama dengan Dignitas untuk memastikan semakin banyak orang yang sadar betapa pentingnya perlindungan siber saat ini.”

Dignitas merupakan organisasi esports asal Amerika Utara. Pada September 2019, Dignitas selesai melakukan merger dengan Clutch Gaming, menghasilkan perusahaan induk bernama New Meta Entertainment (NME). Ketika itu, CEO Dignitas, Michael Prindiville diangkat menjadi CEO dari NME. Pada saat yang sama, Dignitas juga baru saja mendapatkan investasi senilai US$30 juta.

Panjang Lebar Soal Tantangan Adaptasi Game ke Film

Ada stigma yang melekat pada film adaptasi dari video game. Tidak heran mengingat kebanyakan film adaptasi game menuai banyak kritik dan dianggap gagal. Memang, dari puluhan film adaptasi game dalam daftar Wikipedia, hanya ada 4 film yang mendapatkan skor di atas 50 persen pada Rotten Tomatoes, situs agregasi review film.

Memang, selera adalah masalah subjektif. Film yang saya sukai juga tak melulu mendapatkan review gemilang. Meskipun begitu, skor di Rotten Tomatoes atau situs agregasi lain seperti Metacritic adalah sesuatu yang bisa dihitung, sehingga bisa dijadikan sebagai tolak ukur. Dan kebanyakan film adaptasi game mendapatkan skor rendah. Hal ini memunculkan pertanyaan:

Kenapa Kebanyakan Film Adaptasi Game Gagal?

Paul Dergarabedian, Senior Media Analyst, Comscore mengatakan, sulit untuk memperkirakan apakah sebuah film adaptasi game akan sukses atau tidak. Ada beberapa film adaptasi game yang dianggap cukup sukses, seperti Tomb Raider dan The Angry Birds Movie. Namun, juga ada banyak film yang gagal, meski biaya produksinya besar.

Menariknya, meskipun sebuah film adaptasi game dianggap mengecewakan di mata kritikus, terkadang, film tersebut tetap bisa meraup pemasukan besar. Misalnya, Warcraft (2016). Film tersebut memiliki skor 28 di Rotten Tomatoes. Namun, film itu sangat populer di Tiongkok sehingga ia berhasil mendapatkan US$439 juta. Sementara Assassin’s Creed (2016), yang memiliki skor 18 persen, bisa mendapatkan US$240 juta. Menurut Dergarabedian, potensi pemasukan besar ini menjadi justifikasi bagi studio film untuk terus membuat film adaptasi game meski telah banyak film adaptasi yang dicap gagal.

Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.
Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.

Dalam membuat film adaptasi game, menyajikan cerita yang menarik menjadi prioritas utama. Masalahnya, game lawas biasanya tidak memiliki cerita yang terlalu dalam. Jika Anda ingin membuat film tentang Tetris, cerita seperti apa yang akan Anda angkat?

Untungnya, belakangan, semakin banyak game yang menjadikan cerita yang kompleks sebagai nilai jual utama. Game bahkan bisa dijadikan sebagai media untuk menunjukkan idealisme sang kreator. Jadi, ketidaan plot atau cerita yang kurang menarik dalam game tak bisa lagi dijadikan alasan mengapa film adaptasi game sering dianggap mengecewakan. Sayangnya, kompleksitas cerita dalam game juga bisa menjadi senjata makan tuan. Jika tidak diolah dengan baik, cerita yang kompleks dalam game justru bisa membuat para penonton kebingungan.

“Skenario film yang bagus itu ringkas, tapi tidak begitu dengan game populer,” kata Cara Ellison, seorang video game narrative designer yang juga punya pengalaman dalam menulis skenario untuk TV dan komik, seperti dikutip dari The Guardian. “Game AAA dari franchise terkenal, yang menjadi target studio film untuk diadaptasi, biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 15 jam. Memasukkan semua elemen dari sebuah game ke dalam film berdurasi 120 menit bukanlah hal yang mudah.”

Idealnya, game yang akan diadaptasi ke layar lebar memiliki plot yang jelas dan padat. Hanya saja, tidak semua game memiliki jalan cerita yang koheren. Tidak sedikit game yang memang menonjolkan gameplay dan menomorduakan plot cerita, seperti game fighting atau game balapan.

Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.
Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.

Misalnya, dalam game Tekken, fighting menjadi elemen utama. Memang, setiap karakter di Tekken juga memiliki cerita sendiri-sendiri. Hanya saja, cerita yang disampaikan tentunya tidak sekompleks game yang memang fokus pada jalan cerita seperti The Outer Worlds ataupun game-game besutan Obsidian lainnya. Dan jika cerita Tekken terasa tidak masuk akal, siapa yang peduli? Kebanyakan orang bermain Tekken bukan untuk mengejar ceritanya. Namun, ketika Tekken diadaptasi menjadi film, sang kreator film harus dapat memberikan cerita yang koheren dan pada saat yang sama, tak melenceng terlalu jauh dari sumber asalnya.

Anda mungkin berpikir, “Ya kalau begitu, tinggal cari game yang memang punya cerita berbobot untuk diadaptasi ke film.” Oh, tidak semudah itu, Ferguso. Ketika game yang hendak dijadikan film memiliki lore yang kompleks, seperti World of Warcraft, maka sulit bagi kreator film untuk memasukkan semua elemen cerita di game ke dalam film. Alasannya, karena film memiliki durasi yang jauh lebih pendek dari game.

Masalah lain yang harus dihadapi pembuat film ketika mereka membuat film adaptasi game adalah memastikan film tersebut disukai oleh fans game dan pada saat yang sama, bisa dinikmati oleh penonton kasual yang tidak pernah memainkan game tersebut.

“Sebuah studio film biasanya kebingungan dalam membuat film yang menarik baik untuk fans game dan juga penonton kasual. Pada akhirnya, mereka biasanya gagal untuk memenangkan hati keduanya dan justru membuat film yang biasa-biasa saja,” kata Lauren O’Callaghan, editor di situs game dan hiburan Gamesradar.

Film Assassin's Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.
Film Assassin’s Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.

Memasukkan elemen khas dari gameplay sebuah game ke dalam film agar ia terasa familiar bagi gamer juga biasa menjadi masalah sendiri. Contohnya, dalam film Assassin’s Creed, Anda sering melihat adegan elang yang sedang terbang. Jika Anda memainkan game buatan Ubisoft tersebut, Anda pasti akan paham tentang simbolisme dari adegan itu. Namun, bagi penonton kasual, mereka mungkin akan merasa bingung.

Menurut Rachmad Imron, CEO Digital Happiness, developer di balik DreadOut, tidak aneh jika ada banyak film adaptasi game yang dianggap gagal. “Karena game biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 4-20 jam. Sulit untuk meringkas semua itu ke dalam film yang hanya berdurasi 2 jam,” katanya, saat dihubungi oleh Hybrid melalui psean singkat. “Selain itu, karakteristik penonton dan pemain game cukup berbeda. Jadi, mencari balance antara keduanya adalah tantangan tersendiri.”

Seri TV Adaptasi Game

Belakangan, game tidak hanya diadaptasi ke layar lebar, tapi juga sebagai seri TV. Salah satu contohnya adalah The Witcher. Memang, cerita dari seri TV The Witcher didasarkan pada novel The Witcher buatan Andrzej Sapkowski dan bukan game-nya. Namun, tak bisa dipungkiri, salah satu alasan mengapa seri TV The Witcher memiliki hype tinggi adalah karena popularitas dari game The Witcher buatan CD Projekt Red. Tentu saja, hal itu juga berlaku sebaliknya. Berkat seri TV The Witcher, penjualan game RPG tersebut sempat melonjak naik.

Seri TV The Witcher mendapatkan sambutan yang hangat. Jadi, tidak aneh jika muncul wacana untuk membuat seri TV live-action dari game-game lain, seperti The Last of Us, Fallout, dan Halo. Seperti yang disebutkan oleh ScreenRant, salah satu alasan mengapa semakin banyak game yang diadaptasi ke seri TV adalah karena semakin populernya layanan video-on-demand seperti Netflix.

Perusahaan VOD biasanya berusaha untuk menyediakan konten original. Game menjadi salah satu sumber ide yang bagus dalam membuat seri TV. Selain itu, game juga sudah memiliki fans tersendiri. Jadi, sang pembuat film tak perlu khawatir bahwa tidak ada orang yang melirik seri TV buatan mereka.

Geralt dalam seri TV The Witcher.
Geralt dalam seri TV The Witcher.

Dan tampaknya, game memang lebih cocok untuk diadaptasi ke seri TV daripada ke film layar lebar. Pasalnya, seri TV bisa menawarkan durasi yang jauh lebih panjang. Dengan begitu, karakter dan cerita dalam game bisa disajikan dengan lebih baik tanpa harus khawatir membuat penonton merasa bosan.

Bagaimana dengan Film Adaptasi Game Indonesia?

DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diadaptasi ke film. Ketika ditanya tentang proses bagaimana DreadOut bisa diangkat menjadi film, CEO Digital Happiness, Rachmad Imron berkata, “pada dasarnya, saat kami membuat DreadOut, kami memang sudah membayangkan dan mempersiapkan universe-nya untuk dibawa ke beberapa bentuk media lain. Salah satunya film.”

Dia melanjutkan, “Saat itu, kebetulan, kami memang sudah di-approach oleh beberapa produser film dan production house. Namun, dari sekian yang datang, Kimo-lah yang paling sejalan dengan visi kami. Terlebih, saat itu, kami juga fans dari karya-karya Kimo sebelumnya.” Kimo yang Imron maksud adalah Kimo Stamboel, sutradara dari film DreadOut.

Imron juga bercerita, Digital Happiness hanya menjadi creative consultant dalam pembuatam film DreadOut. Sebagai creative consultant, tugas mereka adalah memberikan informasi tentang konsep dari DreadOut serta lore yang ada dalam game. “Pada dasarnya, kami memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk interpretasi DreadOut oleh Kimo dalam adaptasinya ke layar lebar,” kata Imron.

DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.
DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.

Terkait dampak peluncuran film DreadOut pada penjualan game, Imron menjelaskan, penayangan film DreadOut membuat masyarakat menjadi sadar akan keberadaan DreadOut. Dia juga mengungkap, DreadOut tidak hanya diadaptasi ke film, tapi juga ke komik di platform webcomic lokal, Ciayo. Selain itu, Digital Happiness juga telah membuat merchandise DreadOut dan melakukan cross-promotion.

Jika DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diangkat ke layar lebar, Dilan adalah contoh game yang dibuat berdasarkan pada film dan novel Dilan, yang ditulis Pidi Baiq. Agate menjadikan game Dilan sebagai bagian dari Memories, game visual novel mereka.

Yuliana Xiaoling, Product Manager Memories, Agate mengaku, “Dilan itu sebetulnya IP (intellectual property) yang sudah besar dan berdiri sendiri. IP ini juga sudah dibuat ke dalam berbagai produk turunan, seperti komik, novel, film, sampai merchandise. Saat itu, kami melihat bahwa produk turunan berupa game belum ada.”

“Berawal dari obrolan santai antara tim Memories dan Pidi Baiq yang tertarik agar IP Dilan bisa dinikmati lebih luas dengan media yang sesuai dengan anak muda zaman sekarang, yaitu komik dan game,” kata Yuliana saat ditanya tentang awal mula pembuatan game Dilan. “Apalagi di game Memories, salah satu keunikannya adalah orang tidak hanya menjadi pembaca, tapi mereka juga akan merasakan bagaimana rasanya menjadi Milea dan mengambil keputusan yang tidak bisa didapatkan dari hanya menonton film atau membaca novel.”

Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.
Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.

Menariknya, Agate membuat game Dilan bukan untuk mendorong penjualan novel atau tiket film Dilan. Justru sebaliknya, Agate ingin mempromosikan game visual novel mereka dengan memasukkan cerita Dilan ke dalam game tersebut. “Strategi kami adalah untuk mengakuisisi pasar produk platform visual novel dengan memposisikan game Dilan sebagai produk turunan dari IP Dilan itu sendiri. Karena film dan novel Dilan sudah berdiri sendiri dengan popularitas masing-masing,” ujar Yuliana. “Kami merasa, Dilan adalah IP yang mampu mendongkrak awareness dari setiap produk yang menggunakan IP-nya.”

Sebesar Apa Kemungkinan Game Indonesia Diangkat Menjadi Film?

Yuliana percaya, di Indonesia, mengadaptasi game menjadi film atau sebaliknya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. “Contohnya, selain Dilan, kami juga berkolaborasi dengan IP besar lain, yaitu Mariposa,” ujarnya. “Jika target audience-nya masih memiliki irisan, maka sangat memungkinkan terjadi kolaborasi, yang tentunya akan berdampak positif ke brand IP sendiri. Karena tidak semua IP film punya game yang bagus dan bisa dinikmati oleh banyak orang.”

Imron setuju dengan pendapatan Yuliana, bahwa mengadaptasi game ke film atau sebaliknya, sangat mungkin terjadi. “Namun, tantangan dari segi game adalah kurang banyak game lokal yang diapresiasi oleh gamer lokal sendiri,” katanya. “Misalnya, pemain lokal lebih banyak bermain Mobile Legends dan PUBG, yang bukan karya developer lokal. Jadi, bagi produser film, sulit bagi mereka untuk memvalidasi pasarnya. Sehingga, mereka lebih mudah untuk mencari konten dari webtoon, misalnya. Karena sudah jelas bahwa pembaca dari judul tertentu bisa mencapai sekian juta contohnya.”

Sementara proses pembuatan game dari sebuah IP film juga memiliki masalah tersendiri. “Biasanya, IP holder sebuah film kurang berani menyediakan investasi lebih untuk menghasilkan game yang ‘proper‘ dan bukan sekadar game iklan sebagai marketing gimmick saja,” aku Imron. “Begitu juga sebaliknya. Dari game developer sendiri, karena industrinya juga masih baru, kebanyakan game developer lokal belum punya ‘keberanian’ untuk melisensi sebuah judul film dan mengadaptasinya ke dalam game karena perlu modal yang cukup besar.”

Kesimpulan

Game tak lagi menjadi hobi niche. Newzoo memperkirakan, pada 2023, jumlah gamer akan mencapai 3 miliar orang. Jadi, tidak heran jika pembuat film berusaha untuk menargetkan para gamer dengan membuat film adapatasi game. Sayangnya, membuat film yang didasarkan pada game bukanlah hal yang mudah. Namun, mengingat potensi pemasukan yang besar — meskipun sebuah film dianggap “gagal” — tampaknya film adaptasi game masih akan terus ada di masa depan.

Di Indonesia, DreadOut tampaknya masih menjadi satu-satunya game yang pernah diangkat ke layar lebar. Meskipun begitu, seiring dengan berkembangnya industri game di Tanah Air, tidak tertutup kemungkinan, akan ada semakin banyak game yang diangkat menjadi film atau seri TV atau media lain seperti komik dan novel.

Kisah Sukses LOUD Esports, Tim Free Fire Brazil yang Mencapai 1 Miliar Views di YouTube

Dalam proses perkembangan sebuah tim esports, antara konten dan prestasi memang jadi satu pembahasan menarik tersendiri. Apakah sebuah tim esports harus rajin menyajikan konten kreatif agar terkenal dan memudahkan diri mendapat sponsor? Atau harus terus menjadi juara? Nyatanya di dunia internasional kita bisa melihat keduanya. Ada Team Liquid yang sukses besar karena prestasinya, dan FaZe Clan yang populer lewat sajian konten gaya hidup glamor ala selebriti.

Selain itu, satu yang juga tak kalah menarik adalah LOUD Esports. Tim Free Fire asal Brazil tersebut mencapai posisi sebagai organisasi esports pertama yang mencapai 1 miliar total views di YouTube. Walau nama mereka tidak sebegitu besar secara internasional, namun mereka bisa mencapai sebuah pencapaian, yang bahkan tim sekelas FaZe Clan saja belum bisa mendapatkannya.

Bruno Bittencourt (Playhard) dan Jean Ortega, dua dari total tiga co-founder tim tersebut sembat membagikan ceritanya kepada The Esports Observer. Secara latar belakang, jalan yang diambil oleh LOUD Esports memang terbilang cukup mirip dengan FaZe Clan.

Bruno Bittencourt (kiri) dan Jean Ortega (kanan) dua dari tiga co-founder LOUD Esports. Sumber: Esports Observer
Bruno Bittencourt (kiri) dan Jean Ortega (kanan) dua dari tiga co-founder LOUD Esports. Sumber: Esports Observer

Bruno Bittencourt mengambil posisi layaknya Richard Bengston atau FaZe Banks. Dia memulai karirnya sebagai kreator konten video online sejak tahun 2015. Ia merupakan salah satu nama kreator konten video online yang besar di Brazil, dan sempat membuat sebuah content campaign yang sukses untuk game Vainglory. Tak hanya itu, dia sendiri pun sudah memiliki 11 juta subscriber pada channel YouTube miliknya sendiri.

Soal resep sukses konten LOUD Esports, Bittencourt menjelaskan setidaknya ada dua faktor. Pertama adalah soal pilihan konten. Ia menjelaskan bahwa storytelling menjadi salah satu konten yang paling diminati oleh para penonton esports.

“Saya akhirnya menyadari cara yang bisa membuat penonton esports jadi mau terlibat, dan mengikuti suatu konten adalah passion mereka terhadap storytelling. Jadi jika sebuah video menampilkan karakter serta sifat seorang, atau menampilkan keadaan backstage turnamen, atau momen ketika seorang pemain mengikuti sebuah event bersama fans, adalah contoh konten yang lebih bernilai daripada konten gameplay.” ucap Bittencourt.

Sumber: LOUD
Sumber: LOUD

Ia lalu menambahkan, bahwa kedisiplinan LOUD Esports dalam membuat konten menjadi faktor lain yang membuat mereka sukses. “Kami membuat konten video di YouTube setiap hari, ditambah posting di Twitter dan Instagram setiap hari. Menurut saya ini yang kadang tidak bisa diikuti oleh tim lainnya. Terkadang, mereka membuat konten yang bagus, namun hanya membuatnya dalam satu bulan sekali. Menurut saya metode itu kurang bagus jika diterapkan di YouTube sekarang ini.”

Menarik melihat bagaimana LOUD Esports, tim Free Fire asal Brazil, yang membuat konten dalam bahasa lokal bisa menjadi sukses seperti sekarang, bahkan menyalip FaZe Clan yang membuat konten dalam bahasa Inggris.

Telkomsel Gelar Program TINC Batch 5, Incar Startup Potensial di Tengah Pandemi

Telkomsel kembali menggelar program corporate inkubator dan akselerator Telkomsel Innovation Center (TINC) Batch 5. Kali ini TINC tidak mengangkat tema khusus dalam membidik startup binaan, melainkan ada sejumlah segmen yang dinilai memiliki kenaikan momentum di tengah pandemi yang masih berlangsung.

Segmen startup tersebut di antaranya IoT, pemelajaran mesin (ML), kecerdasan buatan (AI), teknologi periklanan (ads tech), fintech, logistik dan supply chain, healthtech, dan edutech.

“TINC fokus pada lini vertikal yang bisa difasilitasi oleh aset milik Telkomsel. Pada batch sebelumnya, kebanyakan solusinya untuk telko, tapi makin ke sini kami banyak berinteraksi ada banyak masalah di luar sana yang bisa diselesaikan oleh startup. Jadinya kami perluas cakupannya,” ujar VP Corporate Strategy Telkomsel Andi Kristianto, dalam konferensi pers secara online, kemarin (7/7).

Pendaftaran untuk batch ini sudah dibuka secara resmi sejak 15 Juni 2020. Dibandingkan batch sebelumnya, TINC memperkenalkan tiga manfaat lebih untuk startup binaannya, yakni market access, go to market and sales channels, dan innovation lab (testing lab IoT dan 5G, sandboxing platform, dan development kit).

Dalam pengembangan inovasi, TINC membaginya menjadi dua tahap, yakni inkubasi (prototyping, proof of concept) dan akselerasi (piloting, commercial), dengan pelaksanaan yang berlangsung selama tiga sampai 12 bulan.

Ada dana hibah yang diberikan untuk tahap awal. Andi menjelaskan, besarannya akan tergantung pada proposal yang diajukan startup terpilih. Nantinya dana tersebut akan dipakai untuk pengembangan startup agar lebih matang.

Model pendanaan berikutnya adalah berbentuk investasi. Ketika MVP sudah siap dan butuh akselerasi lebih jauh, startup akan menerima dana investasi yang berupa convertible notes. Nominalnya akan lebih besar dengan tenor yang lebih panjang.

“Kalau startup tumbuh fit dalam jangka panjang dan memberi nilai tambah buat Telkomsel, maka akan diinvestasi. Dari sisi kita akan dibantu untuk leverage network.”

Program Telkomsel lainnya

Sejak pertama kali digelar, TINC merupakan bagian dari salah satu pilar Telkomsel dalam mentransformasi perseroan menjadi perusahaan telkomunikasi digital terdepan, bersama pilar inovasi digital lainnya yaitu The NextDev dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI).

Ketiganya punya kesamaan misi, sama-sama ingin membangun ekosistem bagi para pegiat startup. Akan tetapi, ketiganya punya fokus yang berbeda. Misalnya The NextDev lebih diarahkan pada talent scouting dan social impact, TINC sebagai wadah untuk berakselerasi dan berkomersialisasi bersama Telkomsel, dan TMI fokus pada investasi strategis.

TINC sendiri telah berlangsung sejak 2018. Tiap batch memiliki tema khusus yang diangkat. Secara berurutan, batch pertama mengangkat soal smart city and environment; agritech; industrial IoT. Berikutnya dalam batch 4 dan 5 tidak mengangkat tema, alias Telkomsel terbuka pada semua inovasi tapi dengan catatan ada beberapa sektor yang diincar karena sedang “hot” pada momentum tersebut.

“Mulai batch 4 kita mau beyond IoT karena pada batch 1-3 kita merasa sudah me-represent semua use case utama di industri. Batch 4 ini dimulai awal tahun 2020 dan mulai tahun ini pula kita mau lihat tren apa yang lagi banyak di ekosistem startup di tahap awal maupun level yang sudah siap masuk market,” jelas GM Business Incubation Telkomsel Eko Seno Prianto.

Secara total ada 19 startup binaan yang berhasil masuk sampai proses inkubasi sepanjang TINC dilaksanakan, di dalamnya terdapat dua solusi startup yang dikembangkan dari tim internal Telkomsel, salah satunya adalah Intank (Intelligent Tank Monitoring System).

Nama-nama startup binaan lainnya adalah eFishery, Jala, Mertani, Banopolis, Smash, Habibi Garden, Bantuternak, Neurafarm, TraffoBit, Eltisia, Manpro, Chatbiz.id, Cryptoscope, T-Man, Birru, Calty Farms, Fishgator, dan Mantis ID.

Microsoft Tertarik untuk Beli WB Interactive?

Microsoft dikabarkan tertarik untuk membeli divisi gaming dari Warner Bros., menurut laporan The Information, mengutip 2 orang yang mengaku tahu tentang hal ini. Warner Bros. Interactive Entertainment alias WB Interactive, yang saat ini ada di bawah naungan perusahaan telekomunikasi asal Amerika Serikat AT&T, merupakan publisher dari seri Batman: Arkham, Middle-Earth: Shadow of Mordor, Mortal Kombat, The Witcher 3: Wild Hunt, dan banyak game Lego serta Harry Potter.

Dikabarkan, alasan Microsoft tertarik untuk membeli WB Interactive adalah karena mereka hendak meluncurkan Xbox versi yang lebih murah sebagai alternatif dari Xbox Series X, menurut laporan Yahoo Finance. Pada akhir Juni 2020, dokumen Microsoft bocor ke internet. Dokumen itu berisi rencana Microsoft untuk merilis konsol Xbox dengan harga lebih murah yang dinamai Xbox Series S.

Saat ini, AT&T memang tengah mencoba untuk menjual aset-aset mereka demi membayar utang sebesar SU$154 miliar. Selain Microsoft, ada beberapa perusahaan lain yang dikabarkan tertarik untuk membeli WB Interactive, seperti Take Two Interactive, Electronic Arts, dan Activision Blizzard. Bulan lalu, AT&T disebutkan akan menjual WB Interactive senilai US$4 miliar.

microsoft beli WB interactive
IP Mortal Kombat akan menjadi bagian dari akuisisi NetherRealm Studios . | Sumber: Steam

Perusahaan manapun yang akhirnya mengakuisisi WB Interactive juga akan mendapatkan beberapa studio game di bawah naungan divisi tersebut, seperti Avalanche Software, Monolith Production, NetherRealm Studios, Rocksteady Studios, TT Games, dan berbagai studio WB Games lainnya. Dan akuisisi NetherRealm juga mencakup pembelian IP Mortal Kombat.

Namun, membeli WB Interactive bukan berarti sebuah perusahaan akan mendapatkan hak atas karakter seperti Batman atau Harry Potter. Nantinya, jika mereka ingin menggunakan karakter-karakter tersebut dalam game mereka, mereka tetap harus mendapatkan izin lisensi dari pemilik IP tersebut.

Satu hal yang pasti, jika Mcirosoft memang membeli WB Interactive, maka hal ini akan membuat jumlah developer Xbox Game Studios meroket, menurut laporan IGN. Sebelum ini, Microsoft juga telah mengakuisisi beberapa developer ternama seperti Ninja THeory, Obsidian, Double Fine, dan lain sebagainya.

Tahun ini, persaingan antara Sony dan Microsoft kembali memanas. Pasalnya, keduanya akan meluncurkan konsol next-gen pada tahun ini. Selain berlomba-lomba dalam membuat konsol berperforma tinggi, baik Sony dan Microsoft juga akan bersaing dalam menyediakan game eksklusif untuk konsol mereka. Faktanya, Microsoft akan memamerkan beberapa game untuk Xbox Series X pada akhir Juli mendatang. Jadi, tidak heran jika Microsoft tertarik untuk membeli WB Interactive.

Sumber header: Steam

Astro City Mini Adalah Versi Mungil dari Mesin Arcade Sega yang Populer di Tahun 90-an

Tren console lawas yang dihidupkan kembali sebagai perangkat berukuran mini terus berlanjut sampai di tahun 2020 ini. Yang diciutkan pun sekarang bukan cuma console mainstream seperti NES dan PlayStation saja, melainkan juga mesin arcade.

Itulah yang dilakukan Sega baru-baru ini. Mereka sedang bersiap untuk meluncurkan Astro City Mini, sebuah miniatur dari mesin arcade retro Astro City yang diluncurkan pertama kali di tahun 1993. Tentunya Sega bukan yang pertama menyusutkan mesin arcade lawas menjadi perangkat untuk konsumsi modern, sebab di tahun 2018 SNK sempat merilis Neo Geo Mini.

Seperti mesin aslinya, Astro City Mini turut mengemas panel display-nya sendiri, meski tentu ukurannya jauh lebih mungil. Sejauh ini belum ada informasi terkait ukuran dan resolusinya, tapi yang pasti ia juga dapat disambungkan ke TV via HDMI jika mau, atau jika seandainya konsumen merasa layar bawaannya terlampau kecil.

Sega Astro City Mini

Kontrolnya sendiri mengandalkan joystick 8 arah plus 6 buah tombol (2 tombol lebih banyak ketimbang Neo Geo Mini). Sega tak lupa membekali Astro City Mini dengan dua colokan USB supaya konsumen dapat menyambungkan joystick tambahan, yang kabarnya bakal dijual secara terpisah. Asupan dayanya sendiri mengandalkan sambungan micro USB, sayang tidak ada info apakah perangkat juga dibekali unit baterai yang rechargeable (jadi bisa portable).

Astro City Mini menawarkan 36 game yang berbeda. Semuanya merupakan judul-judul klasik yang kerap dijumpai di mesin arcade lawas macam Golden Axe atau Virtua Fighter. Daftar lengkapnya belum ada, tapi beberapa yang sudah dikonfirmasi di antaranya adalah Alien Syndrome, Alien Storm, Altered Beast, Columns II, Dark Edge, Tant R, dan Fantasy Zone. Berhubung perangkat ini dimaksudkan untuk konsumsi rumahan, tentu saja ada fitur save state untuk tiap judul.

Sega dilaporkan bakal memasarkan Astro City Mini di Jepang mulai akhir tahun ini. Harganya dipatok 12.800 yen, atau setara dengan Rp 1,7 juta. Belum ada kabar soal ketersediaannya di kancah global, akan tetapi perilisan Sega Genesis Mini untuk pasar global tahun lalu seharusnya bisa menjadi indikasi akan kemungkinannya untuk dijual di negara-negara lain. Baru-baru ini, Sega juga sempat merilis Game Gear Micro yang imut-imut.

Sumber: VGC dan Sega Driven.

Platform Penjualan Kendaraan Bekas TiinTiin.id Bukukan Pendanaan Awal 36 Miliar Rupiah

TiinTiin.id.id, mulai debut dengan memperkenalkan platform online untuk penjualan mobil dan motor bekas. Mereka menerapkan sistem lelang, memungkinkan para agen yang tergabung di dalamnya untuk menawar kendaraan yang hendak dijual pengguna dengan harga terbaiknya.

Di fase awalnya, mereka baru membukukan pendanaan awal senilai US$2,5 juta atau setara 36 miliar Rupiah. Putaran pertama pendanaan ini dipimpin oleh CEO mereka sendiri Rolf Monteiro, didukung oleh Amand Venturs dan PT Luminary Media Nusantara.

Saat ini model bisnis yang diterapkan TiinTiin.id adalah Consumer to Business (C2B), namun setelah pendanaan ini mereka akan mulai menambah model B2B2C khususnya untuk penjualan sepeda motor. Ditargetkan rencana tersebut akan terealisasi pada Q4 tahun ini.

Mereka cukup optimis dengan pertumbuhan bisnis, karena menurut hasil riset yang disampaikan, pasar penjualan kendaraan bekas di Asia Tenggara akan mencapai US$32 miliar. Untuk itu, TiinTiin.id pun cukup ambisius canangkan misi untuk lakukan ekspansi regional di tahun 2021 mendatang.

TiinTiin.id didirikan oleh Rolf X. Monteiro, seorang pengusaha berkebangsaan Belanda-Indonesia. Sebelumnya ia dikenal sebagai pendiri dan CEO BeliMobilGue, sebuah portal yang tawarkan konsep bisnis serupa. Ia “exit” 26 bulan setelah bisnis berjalan, pasca mayoritas saham diakuisisi grup OLX. Kemarin, BeliMobilGue juga baru umumkan rebranding menjadi OLX Autos sebagai buah dari aksi korporasi tersebut. Selain di TiinTiin.id, ia juga menjabat sebagai CEO SEAuto Group.

Rolf Monteiro
CEO TiinTiin Rolf Monteiro / TiinTiin

Saat ini TiinTiin.id telah memiliki jaringan ritel di kawasan Jabodetabek. Sejak diperkenalkan awal Q2 2020, mereka mengklaim sudah mengumpulkan GMV hingga US$7 juta.

“Covid-19 membuat pembeli mobil baru mempertimbangkan kembali, sementara pasar mobil bekas melonjak. Beberapa kalangan masyarakat memutuskan untuk tidak menggunakan transportasi umum, yang lain mungkin perlu menukar kendaraan mereka. Ini menyebabkan lonjakan penjualan mobil bekas tahun ini. Ini selaras dengan tren di seluruh dunia, penjualan mobil bekas naik 106% di periode Mei hingga April, dan 13,3% tahun-ke-tahun” ujar Monteiro.

Sebelumnya dalam laporan Car Marketplace Survey 2018, tim DSResearch memaparkan hasil survei menarik terkait platform digital untuk pembelian kendaraan. Sebanyak 96,02% responden mengatakan menggunakan platform digital utnuk mencari, membeli, atau menjual mobilnya. Sementara BeliMobilGue (44,24%), CarSome (24,52%), dan Carro (20,71) jadi platform paling populer untuk menjual mobil.

Poco M2 Pro Hadir dengan Baterai 5.000 mAh dan Fast Charging 33W

Sub brand Xiaomi, Poco telah mengumumkan smartphone terbarunya yang disebut Poco M2 Pro. Smartphone kelas menengah ini hadir dengan harga yang agresif dan mengunggulkan baterai 5.000 mAh dengan teknologi fast charging 33W.

Kalau dilihat dari desain dan spesifikasinya, Poco M2 Pro sangat identik dengan Redmi Note 9 Pro versi India atau Redmi Note 9S untuk versi globalnya. Bagian depan mengemas cinematic screen dengan lubang untuk kamera depan 16MP di dahinya.

Poco M2 Pro 1

Panel yang digunakan berjenis IPS 6,67 inci beresolusi 1080×2400 piksel dalam rasio 20:9. Layarnya ini punya tingkat kecerahan 450 nits dan telah mendukung HDR10. Bagian muka, belakang, dan kamera belakang diproteksi Corning Gorilla Glass 5.

Smartphone Android 10 dengan MIUI 11 ini mengandalkan chipset Snapdragon 720G. SoC ini dibangun pada proses fabrikasi 8nm dengan CPU octa-core yang terdiri dari dual-core Kyro 465 Gold 2.3GHz dan hexa-core Kryo 465 Silver 1.8GHz, bersama GPU Adreno 618.

Soal fotografi, konfigurasi quad-camera belakangnya datang dengan kamera utama 48MP f/1.8. Ditemani kamera 8MP f/2.2 dengan lensa ultra wide 119 derajat, 5MP f/2.4 dengan lensa macro, dan 2MP f/2.4 sebagai depth sensor.

Poco M2 Pro tersedia di pasar India dalam tiga pilihan warna yaitu Out Of The Blue, Green and Greener, dan Two Shades of Black. Untuk harganya, konfigurasi memori 4GB/64GB dibanderol INR 13.999 atau sekitar Rp2,6 juta. Lalu, untuk versi RAM 6GB/64GB dibanderol INR 14.999 (Rp2,8 jutaan) dan 6GB/128GB dijual INR16.999 (Rp3,2 jutaan).

Sumber: GSMArena