Kisah-kisah Janggal di Balik Murahnya Kamar Oyo

Filia (bukan nama asli) merencanakan berlibur sekeluarga pada 24 Mei 2020 untuk menikmati momen libur panjang hari raya Idulfitri di Batu, Malang. Ia mempersiapkannya sejak 25 Februari dengan memesan kamar untuk tiga hari. Filia memakai jasa Oyo untuk penginapan sekeluarga sebanyak 6 kamar dengan biaya per kamar Rp337.000. Total yang mereka keluarkan untuk akomodasi itu Rp3,7 juta. Namun wabah Covid-19 membuyarkan rencana itu semua. Alhasil Filia memilih opsi refund dari jaringan hotel bujet terkemuka tersebut.

Namun proses refund tak semulus proses yang tertulis di atas kertas. Sejak 1 April mengajukan refund, Filia baru memperoleh pencairan refund pada Kamis (11/6) pagi ini. Itu pun sukses berkat usahanya menekan pihak Oyo berkali-kali. Awalya Filia patuh menunggu pencairan paling lambat 45 hari kerja. Selama menunggu, dia berkali-kali menelepon dan mengirim email menanyakan kejelasan refund. Untuk memperoleh refund, seharusnya pelanggan Oyo dimintakan sebuah formulir, sesuatu yang tak diperoleh Filia meski berkali-kali menanyakan. Balasan yang ia terima pun selalu sama: refund akan diproses 45 hari kerja.

“Karena kesal akhirnya saya bilang kalau masih tidak di-refund saya akan laporkan Oyo ke LPK (lembaga perlindungan konsumen. Setelah itu malamnya baru saya dapat email semacam link untuk pengisian pengajuan refund dan itu disuruh nunggu lagi 7-14 hari,” terang Filia lewat pesan singkat.

Kesabaran dan kengototan Filia berbuah hasil. Ia akhirnya memperoleh haknya pada Kamis pagi ini. Walaupun begitu, cerita ganjil tentang perlakuan Oyo terhadap konsumennya tak satu ini saja. Pengalaman tak kalah menyesalkan dialami Toni (bukan nama asli). Toni adalah konsumen Oyo Life dadakan di bilangan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Oyo Life adalah produk Oyo yang menaungi bisnis indekos. Disebut dadakan karena Toni menemukan kamar indekos yang ia inginkan tanpa mengetahui kamar itu sudah di bawah naungan Oyo Life.

Terlanjur tertarik dengan kamar dan harga yang ditawarkan, Toni akhirnya setuju menempati kamar itu dengan membayar uang sewa tiga bulan di muka. Keganjilan pertama terjadi karena di malam ia menempati kamar itu Toni diminta pindah ke kamar lain. Alasannya kamar itu sudah dibayar oleh orang lain terlebih dahulu. Akhirnya Toni setuju pindah ke kamar lain. Keganjilan berikutnya terjadi ketika di pertengahan April. Secara tiba-tiba ia diberikan waktu tiga hari untuk mengemas barang-barangnya dan meninggalkan indekos karena property yang ia tinggali saat itu diprotes ormas yang mengatasnamakan warga setempat yang tak setuju atas keberadaan indekos tersebut. Ia dihadapkan dua pilihan, terima direlokasi ke indekos Oyo lain atau refund. Toni memilih opsi pertama. Akhirnya ia dipindah ke indekos di bilangan Kedoya.

Belum selesai perkara, pihak properti menolak relokasi Toni dengan alasan fasilitas di sana tidak sepadan dengan indekos asalnya. Toni dioper lagi. Kali ini ia dipindah ke indekos Oyo Life di bilangan Gardenia. Meski sempat diterima di indekos itu, Toni harus menerima tindakan kurang mengenakkan dari pemilik properti. “Resepsionisnya bilang owner di Gardenia itu ngomel merasa dirugikan karena belum menerima biaya relokasi beberapa penghuni dari Puri Kembangan,” ujar Toni.

Harga sewa yang jauh lebih mahal di Gardenia dan perlakuan yang tidak membuatnya nyaman membuat Toni menyerah. Ia memilih opsi refund paling lama 45 hari kerja. Serupa dengan kisah Filia sebelumnya, Toni berkali-kali menghubungi Oyo terkait proses refund. Namun sejak 23 April ia mengajukan refund, hingga saat ini belum ada jawaban berarti dari Oyo. “Total kerugian saya Rp1.744.000. Itu total dari uang sewa sebulan dan uang deposit sebesar Rp300.000. Itu baru saya, belum penghuni di Puri yang lain yang kisarannya serupa,” pungkas Toni.

Menurut mantan karyawan

Seorang mantan karyawan, yang tidak ingin namanya disebutkan, menjelaskan apa yang terjadi di dalam sehingga muncul kasus-kasus seperti di atas. Ia mulai bekerja di Oyo di bagian operasional sejak Februari 2019 hingga Februari 2020. Tugasnya menjembatani masalah-masalah dan feedback yang dihadapi oleh tim yang menangani langsung mitra pemilik properti dan konsumen. Ia mengklaim sekitar 70% dari total properti mereka menyampaikan keluhan. Menurutnya masalah di sana adalah keluhan dan masukan yang mereka teruskan ke manajemen tidak didengar.

Ia memberi contoh tentang keganjilan-keganjilan pelanggan saat memesan kamar dan mengajukan refund. Misal ada properti yang sedang dalam penjajakan untuk bermitra dengan Oyo. Seringkali menurutnya perusahaan memaksakan diri dengan memasukkan properti yang belum sesuai standar itu ke aplikasi untuk siap dipesan. Ia menyebut pihak business development dan marketing punya andil dalam masalah ini.

“Karena enam bulan terakhir itu kita kejar target jumlah properti. Itu dikejar banget target di Indonesia harus punya sejumlah kamar. Cara itu yang dipakai. Jadi ada atau tidak propertinya, masuk aja ke platform,” ungkapnya.

Dalam hal terkait uang, dia menjelaskan tim revenue Oyo bertanggung jawab. Tim itu disebut kerap memasang harga atau diskon yang tidak sesuai kehendak dengan pemilik, tanpa dikomunikasikan. Dalam beberapa kejadian pemilik tidak diberitahukan atau diberi sedikit waktu untuk menyetujui penetapan harga promosi. Mitra yang tak merespons pemberitahuan otomatis dianggap setuju.

“Ketika ada properti sudah kerja sama itu full jadi wewenang Oyo. [..] Bagaimana mereka jual, kasih harga itu terserah Oyo, owner enggak perlu tahu. Tapi saat BD (business development) nawarin, itu enggak disampaikan,” imbuhnya.

Penjelasan serupa datang dari eks karyawan Oyo lain. Sebagai orang Sales,
NM bertugas menjual kamar ke konsumen. Menurutnya, masalah bermula ketika Oyo makin agresif melebarkan jaringannya ke berbagai kota di Indonesia. Hal ini otomatis mengerek target tamu yang harus ia datangkan. Yang tidak wajar menurutnya adalah target selalu naik tiap bulan. Sebagai orang yang sudah berkecimpung di industri hospitality sejak 2013, NM mengaku target adalah hal yang wajar. Meskipun demikian, di perhotelan kenaikan target berlaku untuk tiap high season.

“Sementara di Oyo target ditentukan oleh berapa lama dia bergabung di Oyo. Semakin lama, semakin bertambah. Jadi ini enggak make sense untuk di bulan-bulan low season,” akunya.

Kondisi makin menjepit NM karena hukuman yang ia tanggung ketika target tak tercapai adalah pemotongan 20% dari gaji pokok dan tidak menerima insentif. Menurutnya sistem ini berbeda dibanding di perusahaan hospitality lain yang hanya meniadakan insentif ketika tak mencapai target.

Target besar berarti usaha ekstra mencari tamu. Dalam beberapa kasus, NM sebagai karyawan Oyo bahkan juga pernah mengalami apa yang konsumen rasakan. Beberapa kali ia gagal mendaratkan tamu karena ternyata kamar yang sudah ia pesankan sudah dipesan lebih dulu.  Sebagai bentuk tanggung jawab, ia terpaksa merogoh kocek sendiri untuk membayar selisih harga kamar.

“Jadi kalau diakumulasi ada sekitar Rp10 juta. Masalahnya banyak banget. Yang booking-an aku ditolak, booking-an aku hilang, properti yang di gambar enggak sesuai dengan yang ada di lapangan. Itu yang akhirnya bikin tamu komplain pada akhirnya minta refund. Sementara pihak properti dan Oyo tidak mau refund, mau enggak mau saya yang nombokin,” tambahnya.

Terkait masalah ini, juru bicara Oyo membantah dan menyebutnya sebagai misinformasi. Mereka menyebut semua pemesanan dan sistem pembayarannya hanya bisa dilakukan lewat aplikasi Oyo, situs web Oyo, atau aplikasi OTA lain. Begitu pula dengan proses refund hanya dilakukan secara online, bukan lewat karyawan.

Namun sang juru bicara luput menyebut platform Oyo Rocket. Aplikasi ini khusus dipakai karyawan, seperti NM, untuk mencari tamu. “Aplikasi hanya untuk pemesanan individu, nah kalau group harus lewat marketing menggunakan Oyo Rocket yang hanya dimiliki oleh karyawan,” kata NM mengamini.

Perkara tanggung jawab menjadi isu besar di internal. Ketika ada masalah properti yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi asli misalnya, sulit mencari pihak yang mau bertanggung jawab. Tim business development yang bertugas mengajak pemilik properti untuk bergabung pun tak mau ambil pusing dengan kondisi di lapangan.

This is the most ridiculous work environment I’ve ever joined.”

Klausul sepihak

Sikap sepihak dan tak mau ambil pusing juga dilakukan Oyo terhadap mitra mereka. Momen pandemi Covid-19 menjadi puncak kekesalan mereka terhadap sistem yang diberlakukan Oyo. Albert adalah salah seorang pemilik properti yang mengaku merugi selama bermitra. Albert menerima sebuah pengumuman dari Oyo pada 9 April yang berisi klausul force majeure. Klausul force majeure ini muncul dari udara kosong tanpa pembicaraan terlebih dahulu dan diputuskan secara sepihak. Menurut Albert, klausul ini membatalkan isi kontrak yang sudah ada. Akibatnya Albert terpaksa mengambil alih kembali pengelolaan hotelnya dari Oyo yang seharusnya masih berjalan beberapa tahun.

Awal kerja sama Albert dengan Oyo bermula pada Mei 2019. Ia mengaku tawaran kemitraan dari Oyo cukup menggiurkan. Sebagai perumpamaan, apabila dia mengelola sendiri hotelnya ia akan mengantongi omzet Rp100 juta. Nominal yang sama dapat dia peroleh jika bermitra dengan Oyo. Tawaran ini menguntungkan karena Albert dapat menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengerjakan hal lain. Namun apa daya, selama kemitraannya yang singkat itu Albert mengaku justru menanggung rugi setelah Oyo menerbitkan klausul force majeure, klausul yang menurut Albert menjadi dalih utama Oyo untuk tidak membayar kerugian.

“Kalau dihitung-hitung total kerugian saya mencapai Rp1,3 miliar dari ganti rugi yang belum mereka bayar,” keluh Albert.

Bagian awal force majeur yang di
Bagian awal Notice of Force Majeur yang diterbitkan Oyo. Bagian klausul detail tidak ditampilkan untuk melindungi kerahasiaan narasumber

Mayoritas mitra memilih bekerja sama dengan Oyo karena skema minimum guarantee (MG) yang ditawarkan. MG ini berarti jaminan pemasukan bagi pemilik properti terlepas dari jumlah tamu yang menginap di tempatnya. Hal ini yang mencairkan keraguan Sara (bukan nama sebenarnya) saat didekati tim business development Oyo untuk bergabung dengan mereka.

Sara dijanjikan mendapat MG Rp36 juta per bulan. Namun, dalam perjalanannya, Sara menyebut terjadi perselisihan tiap bulan dengan Oyo saat melakukan rekonsiliasi. Ia mengaku rugi lebih dari Rp40 juta akibat perselisihan dari rekonsiliasi. Ia menuding faktor utama kerugian itu datang dari sistem Oyo sendiri, seperti tamu yang memilih bayar di hotel namun tidak muncul di lokasi akan tetap dihitung sudah check in oleh sistem mereka.

“Promo-promo yang katanya akan digantikan Oyo juga tidak digantikan,” imbuh Sara.

Sama seperti Albert, keputusan unilateral juga dialami Sara. Pada 11 April lalu Sara menanyakan pencairan MG, namun balasan yang ia terima adalah pemberitahuan klausul force majeure. “Judulnya mitra loh, tapi suka suka dia sendiri dan kalau dikupas lebih menguntungkan untuk pihak Oyo. Contoh baru-baru ini setelah kebijakan force majeure yang dikeluarkan tanpa adanya MG. Kebijakan non-MG selamanya sudah dihapuskan dan diberlakukan 1 Juni,” pungkasnya.

Pembatalan skema MG ini juga dilaporkan terjadi di negara-negara lain di mana Oyo beroperasi. Skema ini memang membuat Oyo cepat diterima pemilik properti, tapi skema ini juga yang akhirnya membuat Oyo kesulitan. Situasi pandemi memperkuat bahwa skema itu riskan untuk dipertahankan. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mewajarkan banyak pemilik hotel bujet menyukai skema bisnis tersebut.

“Tapi yang saya tahu model yang mereka pakai itu bikin mereka berdarah-darah sendiri, bahkan sebelum Covid-19,” ujar Maulana.

Jawaban Oyo

Pihak Oyo sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa mereka tidak lagi menggunakan skema MG dengan para mitra. Juru bicara perusahaan mengatakan kepada DailySocial bahwa prinsip model bisnis mereka tetap membantu pemilik hotel bujet dan unbranded sebagai mitra dengan mengambil alih pemasaran, melakukan standardisasi, merenovasi interior dan meningkatkan kualitas layanan.

“Terkait aspek bisnis, kami menerapkan sistem bagi hasil dengan mitra pemilik hotel yang nilainya bervariasi berdasarkan tingkat komitmen serta investasi Oyo.”

Terlepas dari aspek bisnis dengan mitra, juru bicara Oyo membantah semua tuduhan yang diarahkan ke mereka. Terkait perumusan keputusan misalnya, mereka mengklaim selalu mengedepankan komunikasi dua arah dengan para mitra sejak mereka bergabung ke platform Oyo. Mereka menjamin setiap keputusan terkait kerja sama dengan para mitra selalu didahului komunikasi dua arah dan sesuai ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian.

Juru bicara Oyo juga membantah pihaknya lepas tanggung jawab dalam kasus pencairan refund. Mereka mengklaim terus memproses refund kepada konsumen. Hanya saja, menurut mereka, di tengah proses itu sering terjadi hambatan untuk memvalidasi permintaan refund, seperti perbedaan nama tamu hingga kesalahan mengisi data rekening. Proses yang cukup panjang itu diklaim untuk memastikan keabsahan pengajuan refund. “Saat ini kami juga sedang meningkatkan sistem refund kami dari yang tadinya dilakukan secara offline, menjadi sistem yang dioptimalisasi secara digital,” imbuhnya.

Namun Oyo tidak mengelak saat disinggung soal kejadian-kejadian ganjil yang dialami konsumen. Kejadian-kejadian ganjil ini terekam di akun @oyobikinrugi_ di Instagram. Mereka meminta konsumen yang mengalami kejadian-kejadian ganjil seperti overbooked, properti tidak sesuai deskripsi, properti sudah tidak bekerja sama, untuk melapor lewat kanal yang tersedia di aplikasi.

“Kami meminta maaf dan menyayangkan apabila terdapat kejadian seperti itu. Sistem kami memang masih belum sempurna dan OYO senantiasa melakukan evaluasi dan perbaikan demi memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan serta para mitra kami.”

CEO MDI Ventures Beberkan Jenis Startup yang Ideal Setelah Covid-19

Pandemi Covid-19 merupakan ajang “survival of the fittest” bagi startup. Adaptasi bisnis digital mengalami akselerasi berlipat-lipat dalam keadaan saat ini. MDI Ventures menggunakan momentum ini untuk menyaring entitas bisnis yang cocok untuk mereka investasi.

CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengemukakan kriteria tersebut dalam webinar yang MDI selenggarakan pada Selasa (9/6) sore kemarin. Donald menjelaskan setidaknya ada empat jenis startup selama masa pandemi ini: startup yang beruntung karena vertikalnya sangat dibutuhkan; mereka yang pivot menyesuaikan kondisi; mereka yang hibernasi untuk menekan kerugian; dan mereka yang tidak beruntung, lalu gagal, dan mati.

“Kami sangat melirik startup-startup yang nomor satu, dua, dan tiga tadi,” ucap Donald dalam webinar tersebut.

Namun tidak semua startup yang masuk tiga kategori itu akan menjadi buruan utama MDI Ventures. Menurut Donal ada faktor lain yang dapat menarik mereka selain keuletan dan ketahanan startup menghadapi pandemi, tapi juga sinergisme dengan Telkom Group dan BUMN lainnya.

Bentuk sinergi itu adalah roadmap dari Telkom yang beberapa di antaranya berisi proyek smart city, healthtech, dan yang proyek yang berkaitan erat dengan UMKM. “Kita tentu mencari gain, tapi kita juga mencari sinergi dengan Telkom Group dan BUMN pada umumnya,” imbuh pria yang belum lama ditunjuk sebagai CEO MDI Ventures itu.

Vertikal yang atraktif

Donald menyebut, secara khusus sejumlah vertikal yang menonjol selama wabah Covid-19 berlangsung. Di antaranya food delivery, konten digital, logistik, new retail, dan payment gateway. Keharusan masyarakat untuk tetap di rumah selama pandemi menjadi kesamaan di antara semua vertikal tersebut. Layanan-layanan vertikal itu melayani kebutuhan masyarakat yang enggan keluar rumah dan juga menemani besarnya waktu yang harus mereka habiskan di rumah.

“Mereka [logistik] kena imbas yang sangat positif. Kami lihat ada yang berhasil naik 2-3 kali lipat dalam satu bulan,” kata Donald.

Di antara itu semua ada jenis vertikal yang menjadi sorotan Donald karena situasi mengharuskan mereka menahan diri yakni fintech lending. Peraturan pemerintah yang mengharuskan bank dan institusi keuangan lain termasuk fintech lending untuk memberikan relaksasi dalam penagihan kredit mau tak mau harus tiarap dulu. MDI sendiri memiliki portofolio di fintech lending lewat Kredivo.

“Tapi kita ingat kebutuhan Indonesia itu besar dan setelah Covid ini selesai dan sudah bisa collect, ini akan lebih besar lagi. Jadi kami akan pantau terus sektor-sektor ini.”

Soal investasi dan konsolidasi

Donald memastikan pihaknya sebagai corporate venture capital (CVC) mendapat restu dari Telkom untuk terus berinvestasi di tengah masa pandemi ini. Ia menyebut situasi saat ini hanya mempercepat beberapa tahun proses adaptasi digital ke fase lebih matang.

Hal itu juga menunjukkan bahwa ada beberapa startup yang kurang mampu menjadi perusahaan yang lebih besar. Buat Donald itu adalah kesempatan untuk meramu formula konsolidasi.

“Kami juga bersama VC-VC lain melirik kesempatan satu-dua perusahaan untuk di-merge atau dikonsolidasikan,” pungkas Donald.

Pengantaran Tanpa Kontak ala PopBox Kian Relevan Selama Pandemi

Industri logistik memang banyak terpukul selama wabah Covid-19 menerjang. Namun karena sifatnya yang begitu penting, kebutuhan logistik tak pernah berkurang. Ini setidaknya juga tercermin dari bisnis PopBox.

Co-founder & COO PopBox Greta Bunawan mengatakan bahwa solusi logistik yang mereka usung punya keunggulan dalam menghadapi pandemi ini.  menurut Greta merupakan bagian dari jawaban pengantaran barang yang aman karena meminimalisir kemungkinan orang bersentuhan selama prosesnya.

“Hal ini terlihat dengan tingginya peningkatan pemakaian terutama di area apartemen dan meningkatnya permintaan dari building management untuk menambah unit loker,” ungkap Greta kepada DailySocial.

Adapun peningkatan permintaan yang dimaksud oleh Greta mencapai rata-rata 55%. Sementara dari jumlah unit yang akan mereka tambah untuk memenuhi permintaan berkisar 30 unit loker. Angka ini didapat dengan membandingkan permintaan sebelum dan sesudah Covid-19 mewabah.

Perkembangan bisnis

Dalam dua tahun terakhir, PopBox melakukan cukup banyak untuk menggenjot bisnis mereka. Selain berfungsi sebagai loker penitipan dan penjemputan barang, waktu itu PopBox belum lama merilis fitur PopStore hasil kerja sama mereka dengan Elevenia.

Namun setelah dua tahun ini Greta menjabarkan ada banyak hal baru di PopBox. Pertama adalah aksesibilitas loker yang meluas. Jika sebelumnya loker hanya bisa diakses oleh mitra yang memiliki nama pengguna dan kata sandi, kini siapa pun bisa menggunakan loker mereka lewat verifikasi OTP ke nomor ponsel.

“Ini bertujuan untuk memberikan akses loker tidak terbatas kepada mitra saja namun kurir-kurir ojol dan semua customer yang ingin paketnya di-drop di loker,” imbuh Greta.

Fitur lainnya adalah PopSafe. Ini adalah temporary deposit bagi pelanggan yang ingin menitipkan barangnya untuk sementara atau untuk diambil oleh orang lain. Fitur ini cukup efektif untuk di tempat permukiman vertikal seperti apartemen untuk sekadar titip kunci atau menaruh barang lainnya untuk diambil oleh orang lain.

Terakhir, PopBox kini menyediakan fitur people counter. Fitur ini merupakan alat penghitung banyaknya manusia yang melintas di sekitar loker. Fungsi fitur ini tak lain untuk mengukur efektivitas iklan yang terpasang di loker PopBox.

Target di tahun ini

PopBox yang berdiri sejak 2015 ini sudah bisa ditemukan di 250 titik lokasi di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang. Sementara di Malaysia loker mereka sudah bisa diakses di 109 titik di Kuala Lumpur.

Greta menyebut pihaknya bertekad memperluas akses loker di tempat-tempat padat seperti apartemen dan perkantoran. Ia menargetkan loker mereka bisa menembus 300 lokasi sampai akhir tahun ini.

Di samping itu mereka juga dalam proses integrasi dengan mitra-mitra baru dalam hal pembayaran, pengiriman, dan e-commerce, serta pengembangan sejumlah fitur baru yang mereka harapkan bisa rilis di tahun ini juga.

“Kami juga sedang dalam proses R&D pengembangan fitur baru di loker untuk penggunaan penyewaan jangka panjang dan beberapa fitur baru lainnya,” pungkas Greta.

Application Information Will Show Up Here

Pandemi Melanda, Trustmedis Luncurkan Telemedis

Hadir sejak 2016 silam dengan sistem informasi manajemen rumah sakit, Trustmedis muncul lagi dengan layanan anyar. Kali ini Trustmedis menghadirkan produk baru bernama Telemedis. Produk ini khusus dibuat untuk memudahkan layanan pemesanan dan konsultasi kesehatan untuk fasilitas kesehatan.

Layanan yang mereka rilis sejak akhir Maret lalu ini sebenarnya agak serupa dengan fitur telemedicine dari healthtech yang sudah dikenal jauh sebelumnya. Namun CEO Trustmedis Achmad Zulkarnain menjelaskan kepada DailySocial bahwa Telemedis milik mereka berbeda dengan tempat lain yang sebatas konsultasi saja.

Telemedis dibuat dengan tujuan membantu klinik dan rumah sakit yang kehilangan banyak kunjungan pasien selama wabah Covid-19 berlangsung. Achmad menyebut penurunan kunjungan pasien di klinik dan rumah sakit mencapai 40%-60%.

“Untuk itu akhirnya kita memutuskan untuk mulai mengembangkan layanan ini, Telemedis untuk klinik dan rumah sakit,” ucap Achmad lewat pernyataan tertulisnya.

Pernyataan Achmad itu juga menjawab kenapa mereka baru mengeluarkan produk telemedicine ketika yang lain sudah mengeluarkan fitur serupa jauh sebelumnya. Achmad bahkan mengaku pihaknya tak punya rencana mengembangkan Telemedis, mengingat mereka adalah startup yang fokus menyediakan Health Information System (HIS) dan Electronic Medical Record (EMR) untuk fasilitas kesehatan di Indonesia.

Terlepas dari itu, Trustmedis membawa sejumlah kebaruan di aplikasi Telemedis mereka. Salah satunya adalah pemeriksaan melalui video call. Meski melalui video, Trustmedis menjamin kualitas pelayanan kesehatannya optimal dan sesuai perundang-undangan.

“Semua pelanggan (rumah sakit dan klinik) akan kita berikan layanan ini secara gratis, ada sekitar 500 dokter di berbagai faskes yang siap menggunakan layanan ini,” imbuh Achmad.

MedisMap berhenti

Perlu diingat sebelumnya saat Trustmedis berdiri dengan tiga pilar layanan yakni e-Doctor, e-Clinic, dan e-Hospital. Mereka melengkapi layanan itu dengan modul rawat inap, rawat jalan, IGD, farmasi, keuangan, administrasi, penunjang medis, bank darah, instalasi gizi, inventori, hingga akuntansi.

Dalam perjalanannya, Trustmedis juga memiliki strategi penting lain di luar produk HIS dan EMR yakni MedisMap. MedisMap ini disebut startup baru yang beroperasi di bawah Trustmedis. Ia merupakan aplikasi yang tujuannya memudahkan pengguna mencari fasilitas kesehatan terdekat dan pemesanan online.

Kala itu Achmad menyebut faktor pembeda MedisMap dengan aplikasi serupa adalah fasilitas rekam medis yang bisa diakses oleh dokter. Namun kabar terbaru dari Achmad menyatakan MedisMap sudah tak lagi beroperasi.

“MedisMap adalah sistem booking dokter, tidak sama dengan Telemedis dan sayangnya MedisMap ini sudah sejak 2 tahun lalu kita hold dulu, karena kami ingin fokus di produk HIS dan EMR,” ucap Achmad.

Menjadi SaaS

Banyak hal yang telah terjadi pada Trustmedis selama empat tahun ini menurut Achmad. Merujuk situs web resmi mereka, Trustmedis sudah melakukan banyak hal di antaranya adalah mengembangkan infrastruktur dan platform, memberlakukan model bisnis sewa bulanan, hingga mulai menjamah segmen B2C.

Namun hingga kini, layanan HIS mereka merupakan produk andalan perusahaan. Banyaknya dinamika tersebut akhirnya bermuara ke keputusan Trustmedis menjelma sebagai platform SaaS.

“Masa itu banyak sekali inovasi yang kita bangun, banyak dinamika terjadi, kebahagiaan dan kesediaan sudah pernah kita rasakan, bisnis naik dan turun kita hadapi, hingga akhirnya 2019, kita putuskan untuk mengubah skema menjadi SaaS,” pungkas Achmad.

Fasilitas kesehatan memang terhitung besar jumlahnya di seluruh Indonesia. Data dari Kementerian Kesehatan (2018) untuk Puskesmas menunjukkan totalnya mencapai 9.993 unit, klinik 8.841 unit, dan rumah sakit 2.813 unit. Trustmedis berambisi bisa merebut 10% dari jumlah tersebut.

Application Information Will Show Up Here

Introducing Neurafarm, The Doctor for Agriculture Plants

Treating plants as patients with artificial intelligence (AI) as “their doctors” is the most prominent impression of Dr. Tania made by Neurafarm. This application is not only able to identify the disease of a plant through chatbot, but also through photos only.

Identification of disease with plants through text messages and photos are two of the main features of Dr. Tania. The deep learning technology that Neurafarm uses allows them to find symptoms and diseases of a plant with an accuracy rate of around 80% and above. The plants capable to identify are include 14 commodities, from tomatoes, corn, potatoes, to blueberries.

“We plan to add more, such as chilies, rice, and other basic commodities,” Neurafarm’s CEO, Febi Agil Ifdillah told DailySocial.

Dr. Tania feature is not only about that. It covers the gap of their AI inaccuracies with the consultation feature involving experts. Connecting farmers with agricultural knowledge which generally can only be obtained from a limited number of instructors. Another feature is the catalog of plant diseases and other agricultural stuff in the application.

Business model

Agil said Neurafarm applied a new freemium business model since May 15, 2020. By subscribing to Dr. Tania, farmers can access the application without any pop-up ads as well as consultation with more space for questions. Nevertheless, according to Agil, this freemium model is still a temporary pilot.

In addition to reaching farmers, Neurafarm also aims for the B2C segment. In this model, they provide solutions based on agriculture. “We’ll start this one in October and November,” Agil said.

Meanwhile, Neurafarm also took a peek at the opportunity to gain profit from urban agriculture trends in recent years. Agil said his team will launch an urban farm kit product that makes it easy for early farmers in urban areas.

Challenges for agritech in the region

Agil reveals the user number based on download was more than 7,500. He targets to double it and increase retention of application usage for the next six months.

“Our strategy has shifted in some ways, but we still want to increase our user base. Our goal is to encourage more productive farmers.”

The change in target occurred because of the current pandemic situation. However, as a general note, agriculture is one of the few sectors that survived during the Covid-19 outbreak. Agil said that the high number of Indonesian agritech players made this sector complement each other. Agritech, which focuses on the supply chain to lending, according to Agil, has helped farmers to adopt technology faster.

“The agricultural landscape is increasingly crowded, especially in the supply chain segment. It is expected more and more players will rise, therefore, the market is more educated and technology is getting easily adopted,” Agil concluded.

Neurafarm has been established since 2018. They are quite well-known as startups with achievements in some startup ideas competitions. In February, they joined Telkomsel’s acceleration program. Their funding status is currently at pre-seed stage.

Neurafarm can be said as the only local startup using AI for crop productivity. They actually come from the overseas player which expands to Indonesia.

Nevertheless, Agil remains optimistic that Neurafarm can pursue its mission in helping farmers increase their productivity using AI and contribute to providing humanity’s ever-increasing food needs in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Neurafarm, Dokternya Tanaman Pertanian

Memperlakukan tanaman selayaknya pasien dengan artificial intelligence (AI) sebagai “dokternya” merupakan kesan yang paling menonjol dari aplikasi Dr. Tania buatan Neurafarm. Aplikasi ini bisa mengidentifikasi penyakit suatu tanaman cukup melalui foto saja.

Identifikasi masalah pada tanaman baik lewat pesan teks maupun foto merupakan dua fitur utama dari Dr. Tania. Teknologi deep learning yang Neurafarm pakai memungkinkan mereka menemukan gejala dan penyakit dari suatu tanaman dengan akurasi sekitar 80% ke atas. Adapun tanaman yang mereka bisa periksa sejauh ini ada 14 komoditas, mulai dari tomat, jagung, kentang, hingga blueberry.

“Kita rencana nambah cabe, padi, komoditas-komoditas yang lebih pokok,” ucap CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah kepada DailySocial.

Fitur Dr. Tania tak hanya itu saja. Mereka menutupi celah ketidakakuratan AI mereka dengan fitur konsultasi bersama para ahli. Menghubungkan petani dengan pengetahuan pertanian yang umumnya hanya bisa diperoleh dari penyuluh yang jumlahnya terbatas. Fitur lainnya adalah katalog penyakit tanaman dan serba-serbi pertanian lain yang ada di satu aplikasi mereka.

Model bisnis

Agil menyebut, Neurafarm memakai model bisnis freemium yang baru mereka pakai sejak 15 Mei 2020. Dengan berlangganan Dr. Tania, petani bisa mengakses aplikasi tanpa gangguan iklan serta konsultasi dengan kuota pertanyaan lebih besar. Kendati demikian, menurut Agil model freemium ini masih bersifat pilot sementara ini.

Selain menyentuh para petani, Neurafarm turut menjangkau segmen B2B. Dalam model ini, mereka menyediakan solusi berbasis untuk agrikultur. “Baru Oktober dan November kita baru mulai yang ini,” imbuh Agil.

Di saat bersamaan Neurafarm juga mengintip peluang meraih cuan dari tren pertanian urban beberapa tahun terakhir. Agil mengatakan pihaknya berencana meluncurkan produk urban farm kit yang memudahkan petani-petani pemula di perkotaan.

Tantangan agritech di tanah air

Agil mengatakan jumlah pengguna mereka berdasarkan jumlah unduhan sudah lebih dari 7.500. Ia menargetkan angka itu akan berlipat ganda dan retensi penggunaan aplikasi meningkat pada enam bulan ke depan.

“Strategi kita agak berubah sih, tapi masih tetap ingin memperbanyak userbase kita. Tujuan kita juga tetap ingin farmer lebih produktif.”

Perubahan target terjadi karena situasi pandemi yang berlangsung saat ini. Namun seperti diketahui, agrikultur merupakan sedikit sektor yang bertahan dengan baik selama wabah Covid-19. Agil menilai ramainya pemain agritech di Indonesia membuat sektor ini saling mengisi satu sama lain. Agritech yang fokus di supply chain hingga lending menurut Agil telah membantu petani lebih cepat mengadopsi teknologi.

“Lanskap agrikultur ini memang makin ramai terutama di supply chain. Harapannya semakin banyak pemain yang makin besar sehingga market lebih teredukasi dan penyerapan teknologi lebih mudah diadopsi,” pungkas Agil.

Neurafarm sudah berdiri sejak 2018. Mereka cukup dikenal sebagai startup yang berprestasi di sejumlah kompetisi ide startup. Pada Februari kemarin, mereka mengikuti program akselerasi milik Telkomsel. Sementara dari status pendanaan Neurafarm adalah pre-seed.

Neurafarm bisa dikatakan saat ini sebagai satu-satunya startup lokal yang menggunakan AI untuk produktivitas tanaman. Kompetisi mereka justru datang dari pemain luar yang ekspansi ke Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, Agil tetap optimis Neurafarm dapat mengejar misi mereka dalam membantu petani meningkatkan produktivitasnya memakai AI dan berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pangan umat manusia yang terus berlipat ganda di masa depan.

Application Information Will Show Up Here

Hubungan Erat Pandemi dan Masa Depan Teknologi Pengenal Wajah

Merebaknya corona virus disease 2019 (Covid-19) menuntut perubahan perilaku masyarakat di aspek kesehatan. Salah satunya yang paling sederhana dan juga paling penting adalah penggunaan masker ketika berada di luar rumah.

Masker adalah kebutuhan utama umat manusia selama pandemi saat ini. Tentu saja di mana-mana masih ada saja orang yang abai soal ini. Seperti yang disampaikan World Health Organization (WHO), keberadaan masker begitu esensial sehingga mereka merekomendasikan semua orang memakainya. Rekomendasi itu berubah dari sebelumnya hanya untuk tenaga kesehatan dan pasien saja.

Penggunaan masker yang masif saat ini ternyata berimbas terhadap perkembangan teknologi, khususnya teknologi pengenal wajah. Maklum, penggunaan masker ini artinya pekerjaan rumah baru bagi perusahaan visual artificial intelligence yang harus menciptakan pembaruan untuk mengenali wajah di balik masker.

Masker tak lagi masalah

Masker ternyata bukan masalah rumit untuk ditembus oleh perusahaan produsen visual artificial intelligence. Sebagai perusahaan di negara dengan populasi kamera pengawas terbanyak di seluruh dunia, Hanwang menemukan teknologi untuk menembus masker sepertinya bukan perkara sulit bagi mereka.

Hanwang adalah salah satu perusahaan pencipta teknologi pengenal wajah terkemuka di Tiongkok. Program pengenal wajah mereka dapat mengidentifikasi wajah tanpa masker hingga 99,5%. Pada pertengahan Maret lalu Hanwang mengungkap mereka sudah bisa mengenali wajah di balik masker. Akurasinya pun tidak main-main–hingga 95%. Lebih canggih lagi, teknologi ini bisa terhubung dengan sensor temperatur agar sistem bisa mengidentifikasi sehat atau tidaknya seseorang.

Algoritma teknologi pengenal wajah biasanya bekerja dengan memindai dan mengumpukan sejumlah data points dari wajah seseorang. Bagian-bagian krusial wajah yang dapat dikenali itu ada di jarak antarmata serta struktur hidung dan dagu. Tutupi bagian itu, maka algoritma akan sulit mengidentifikasi wajah.

Teknologi Hanwang terhubung dengan foto dari 1,2 miliar orang dari pangkalan data kepolisian Tiongkok. Sistem mereka dengan menebak seperti apa wajah seseorang yang ada di pangkalan data jika menggunakan masker. Teknologi Hanwang ini memang masih terus berkembang, tapi perusahaan percaya diri permintaan produk mereka ini akan datang dari seluruh dunia menyusul situasi pandemi.

Hanwang tentu bukan satu-satunya yang punya kemampuan tersebut. Ada Facewatch asal Inggris yang mengklaim punya teknologi serupa. Ada juga SAFR yang berasal dari Amerika Serikat. Namun sejauh ini sepertinya hanya Hanwang teknologinya sudah digunakan di publik. Produk Hanwang dikabarkan dipakai oleh otoritas Hong Kong untuk mengidentifikasi peserta aksi protes di sana.

Berlomba untuk mengelabui

Meningkatnya kecerdasan visual AI dalam memindai wajah orang-orang bermasker tentu membawa manfaat di situasi pandemi seperti sekarang. Contoh paling mudah adalah untuk mengawasi dan melacak keberadaan orang-orang yang berpotensi terjangkit virus.

Namun kemajuan teknologi ini jelas punya efek samping bagi pemegang kekuasaan. Perlu diingat dalam situasi pandemi ini, selalu ada peluang bagi negara otoritarian melebarkan cengkeramannya terhadap hak-hak sipil.  Human Rights Watch sudah mencatat hal itu sudah terjadi di Tiongkok, Thailand, Turki, Kamboja, Venezuela, dan Mesir.

Potensi yang tak diinginkan itu bisa terjadi dari teknologi pengenal wajah yang memakai masker tadi. Bayangkan potensi di sebuah negara dengan aparatus yang represif menghadapi aksi protes. Dengan teknologi semacam ini, mereka dapat dengan mudah melakukan profiling peserta aksi protes yang sudah mengikuti aturan berlaku. Di tangan kekuasaan yang represif, masker dapat dianggap salah satu penghalang untuk menjinakkan gelombang perlawanan.

Itu sebabnya berbagai pihak memutar akal untuk mengalahkan kepintaran visual AI tadi. Dari sejumlah perlawanan terhadap bentuk surveilans berlebih itu ada perempuan bernama Kate Rose. Rose punya latar belakang cukup unik yakni analis keamanan siber sekaligus desainer fesyen. Kombinasi keduanya memungkinkan Rose mendirikan Adversarial Fashion, lini busana anti-surveilans.

Adversarial Fashion punya banyak produk untuk membantu pelanggannya terhindar dari kamera pengawas. Mereka punya masker dengan pola khusus untuk menangkis kamera pengenal wajah hingga kaos dengan gambar pelat nomor kendaraan untuk mengelabui kamera pemindai pelat nomor.

“Hak-hak privasi harus lebih ditegakkan, dalam hal melindungi hak Anda atas data yang dikumpulkan tentang Anda yang memerlukan surat perintah,” kata Rose.

Rose hanya salah satu yang punya inisiatif tersebut. Jika Rose memadukan pengetahuannya di bidang fesyen untuk membuat penangkal kamera pengenal wajah, beberapa yang lain menggunakan riasan. Ada teknik riasan yang mencegah kamera melihat wajah dan ada juga riasan yang justru memperbanyak wajah.

Namun teknik riasan ini tak akan berdaya di sistem pengenalan wajah berbasis sinar inframerah seperti yang dipakai di iPhone. Itu sebabnya muncul teknik lain berbentuk topi LED. Topi ini bisa memproyeksikan sinar inframerah untuk mengacaukan algoritme pengenal wajah.

Para inovator teknologi pengenal wajah pun tak akan tinggal diam melihat beragam teknik anti-surveilans di atas. Mereka akan menganggapnya sebagai tantangan yang perlu ditaklukkan sebagaimana Hanwang menaklukkan masker. Maka bukan mustahil, wabah Covid-19 ini justru akan mempercepat inovasi-inovasi tingkat lanjut dari teknologi pengenal wajah.

Tantangan Startup Manajemen Sampah di Indonesia

Persoalan lingkungan adalah salah satu isu terbesar abad ke-21. Isu ini punya beragam cabang persoalan, mulai dari perubahan iklim hingga pembabatan hutan ilegal punya tingkat kegentingan masing-masing. Bagi sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan, isu pengelolaan sampah merupakan salah satu persoalan lingkungan paling mengkhawatirkan.

Kita langsung ambil contoh pengelolaan sampah di Jabodetabek. Jumlah sampah yang dihasilkan oleh warga Jabodetabek diperkirakan sekitar 14.000 ton per hari. Hanya ada 8 tempat pembuangan akhir (TPA) yang menampung gunungan sampah tersebut. Mengutip laporan Jakarta Post, dua di antaranya sudah melebihi kapasitas, tiga yang lain bernasib serupa tahun ini dan tahun depan. Saat ini pemerintah sedang membangun TPA Lulut-Nambo yang luasnya 55 hektare atau setengah dari luas lahan TPA Bantargebang.

Keadaan tersebut secara tak langsung melahirkan sejumlah startup yang fokus di pengelolaan sampah. Gringgo, Waste4Change, Magalarva, dan MallSampah adalah beberapa di antaranya. Hal ini wajar karena persoalan sampah di Indonesia mengakar sangat dalam. Jangan heran sungai Citarum sempat meraih predikat sungai terkotor di dunia.

Akar masalah

Sejatinya sumber masalah pengelolaan sampah di Indonesia ada begitu banyak, tapi Bijaksana Junerosano dari Waste4Change memadatkannya jadi tiga penyebab utama. Pertama adalah penegakan hukum. Indonesia punya sejumlah peraturan soal sampah, tapi penegakannya masih jauh dari kata cukup.

Sano, begitu ia akrab disapa, menyebut penegakan hukum yang lemah menyebabkan sejumlah warga memilih jalan pintas untuk membuang sampahnya, entah dengan membakar atau membuang ke sungai. Jangan kaget saat berkunjung ke tepi sungai besar, seperti Ciliwung, Anda dapat menemukan barang-barang seperti kasur hingga sofa mengapung terbawa arus.

Penyebab kedua adalah ongkos pengelolaan sampah yang terlalu murah dibandingkan tanggung jawab yang harus diemban. Ongkos yang kelewat murah ini dinikmati warga selama bertahun-tahun sehingga sedikit kenaikannya saja bisa menuai protes.

Data Waste4Change menunjukkan ada disparitas yang cukup besar antara rata-rata target retribusi sampah dengan jumlah penerimaannya di kota-kota metropolitan. Pada tahun lalu target rata-rata target kota-kota metropolitan untuk penerimaan retribusi sampah sekitar Rp17 miliar. Namun kenyataannya yang bisa mereka kumpulkan rata-rata hanya berkisar Rp12 miliar.

“Ini masalah besar karena pemerintah diminta membenahi masalah sampah, tapi yang punya sampah tidak mau bayar dengan benar,” ujar Sano.

Dari perkara retribusi itu memunculkan tantangan ketiga dan yang terakhir yakni pembiayaan pengelolaan sampah. Sano yakin jika ekosistem pengelolaan sampah ingin maju maka aspek pembiayaan harus lebih baik sehingga tidak melulu bergantung pada anggaran pemerintah yang terbatas.

Berbagi peran

Di ekosistem pengelolaan sampah ini pemerintah punya peran yang sangat besar, meliputi pembuatan regulasi, penegakannya, dan pembiayaan. Startup manajemen sampah dalam ekosistem ini berperan menawarkan beragam solusi baru untuk mengatasi masalah ini. Kami mengambil dua contoh solusi dari MallSampah dan Waste4Change.

MallSampah adalah startup yang bergerak di manajemen sampah yang bermarkas di Makassar. Beroperasi sejak 2019, MallSampah punya dua layanan yakni layanan jual sampah dan daur ulang. Layanan pertama menekankan pada pengumpulan sampah yang teratur. Pengguna jasa ini dapat menjual sampahnya dengan memilah berdasarkan jenis sampah. Setelah dipilah, maka sampah akan dijemput pihak MallSampah sesuai tempat dan waktu yang ditentukan.

Sementara layanan kedua MallSampah bersifat B2B dengan prinsip mirip dengan layanan pertama. Pemilik bisnis dapat berlangganan layanan daur ulang ini untuk menjual atau mendaur ulang sampah mereka. Dengan kedua layanan tersebut MallSampah berhasil mendaur ulang 30 ton sampah setiap bulan dengan 5.000 pengguna aktif bulanan.

Berbeda dengan MallSampah, layanan Waste4Change jauh lebih beragam dan komprehensif dari hulu ke hilir dan terbagi antara perusahaan dan individu. Mereka punya layanan penjemputan sampah dari rumah ke rumah, kotak sampah untuk sampah siap daur ulang, sedia peralatan dan perlengkapan pengomposan mandiri, konsultasi pengelolaan sampah perusahaan, penyortiran sampah berlabel, hingga edukasi ke sekolah-sekolah mengenai prinsip reduce, reuse, dan recycle. Berkat banyaknya jenis layanan mereka, Waste4Change berhasil mengelola 5.400 ton sampah sejauh ini.

Kendala yang masih dihadapi

CEO MallSampah Adi Saifullah Putra mengatakan kendala paling kentara dari vertikal ini adalah regulasi dan pelaksanaan di lapangan. Adi menilai begitu banyak program pengelolaan sampah yang dibuat, namun sedikit merangkul gerakan dan komunitas yang sudah bergerak sebelumnya.

Adi merujuk pada keberadaan pemulung dan pengepul yang memiliki peran kunci dalam rantai pengelolaan sampah di Indonesia. “Berapa banyak program pemerintah yang menginisiasi pendampingan dan peningkatan efektivitas kerja pemulung dan pengepul, sebagai kunci dari rantai daur ulang di Indonesia? Kebanyakan justru membuat program baru masing-masing,” imbuh Adi.

Sano di sisi lain mengatakan faktor infrastruktur dan pembiayaan sebagai kendala yang masih harus mereka hadapi. Hal ini tercermin dari cara kerja Waste4Change yang kini juga bermitra dengan pemerintah daerah.

Sano sempat mengatakan jika mereka akan sangat kewalahan jika Waste4Change sendirian melayani masyarakat di satu wilayah besar. Ini tak lain karena infrastruktur yang ada belum memadai dan setara di semua wilayah sehingga perlu investasi uang dan waktu yang besar dari Waste4Change untuk menciptakannya. Tak heran jika layanan personal waste management mereka masih terbatas di Jakarta Selatan, Tangerang Selatan, dan Bekasi saja.

Belakangan Waste4Change mengakalinya dengan menggandeng pemerintah setempat. Kolaborasi mereka dengan pemerintah sudah terealisasi di Kota Bekasi. Dari kerja sama ini, mereka menargetkan bisa mengolah sampah kota  hingga 500 ton.

“Enggak mungkin kita minta orang bayar sebelum kita kasih pelayanan. Jadi membangun infrastruktur lebih dulu baru membenahi retribusi,” ujar Sano kala menandatangani nota kesepahaman dengan Pemkot Bekasi pada Maret lalu.

Butuh waktu

Bisnis pengelolaan sampah ini bisa dikatakan tak sesederhana vertikal lain seperti sebut saja sharing economy misalnya. Selain lapisan permasalahan yang lebih mendalam, regulasi yang startup vertikal ini hadapi juga lebih rumit.

Kendati begitu Indonesia setidaknya sudah punya arah kebijakan manajemen sampah yang jelas seperti yang tertuang di Peraturan Presiden Nomor 97 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas).

Perpres itu menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah 70 % pada 2025 nanti. Ini artinya perlu kerja sama yang erat antara startup dengan pemerintah dalam tiap upaya pengelolaan sampah.

Hal ini sudah dipraktikkan Waste4Change yang menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Bappenas. Kolaborasi besar ini mungkin diperlukan karena Indonesia menghasilkan sampah 175.000 ton per hari atau 64 juta ton per tahun.

“Ini adalah sektor baru yang baru saja diganggu oleh teknologi dan belum ada model yang cukup sukses sejauh ini,” pungkas Adi.

Sebagai Chatbot, Chatbiz Fokus Menyederhanakan Pengalaman Konsumen

Chatbot kerap digadang-gadang sebagai bagian tak terpisahkan layanan teknologi paling mutakhir. Maka tak heran jumlah bisnis yang memanfaatkan chatbot terus bertambah banyak seiring waktu. Chatbiz adalah salah satu yang mencoba peruntungan di tengah maraknya adopsi teknologi chatbot.

Chatbiz adalah startup asisten virtual yang didirikan oleh Terry Djony. Mulai diperkenalkan ke publik sejak pertengahan tahun lalu. Ide chatbot ini berawal dari keresahan Terry yang kesulitan menghubungi toko untuk membeli barang yang ia butuhkan. Ia lalu mengembangkan kegelisahan itu menjadi ide untuk menciptakan asisten virtual yang fokus pada pengalaman pengguna sekaligus efektif untuk meningkatkan angka konversi sebuah bisnis.

Chatbot harus bisa menyederhanakan user journey sehingga angka konversi (conversion rate) pelanggan bisa naik hingga 20%, bukan justru mempersulit user journey. Bila dilihat, ada banyak sekali chatbot yang malah mempersulit user journey karena desain waterfall yang bisa jadi tidak tepat,” ucap Terry.

Fokus di angka konversi

Terry yang juga berperan sebagai CEO Chatbiz beranggapan antarmuka percakapan (interface conversational) tak selalu cocok bagi kebutuhan pengguna. Baginya perlu ada fungsi cari-dan-pilih yang dipadukan untuk asisten virtual. Ini yang ia coba terapkan di Chatbiz lewat salah satu fitur andalan mereka yakni Chat & Shop.

Chatbiz membagi pasarnya menjadi UKM dan korporasi. Sejak berdiri, Chatbiz sudah melayani enam klien mulai dari UKM bidang fesyen hingga organisasi nonprofit luar negeri. Sejauh ini mereka dapat menjawab sekitar 2 ribu chat pelanggan per bulan untuk setiap pelanggan mereka.

Bagi Terry, yang membedakan Chatbiz dengan pemain chatbot lain adalah angka konversi yang bisa mereka capai. Menurutnya rata-rata angka konversi dari chatbot yang hanya mengedepankan antarmuka percakapan hanya sekitar 2 persen.

“Kita fokus di user journey dan conversion. Conversion rate kita bisa sampai 10 persen,” klaim Terry.

Model bisnis dan target

Produk Chatbiz sejauh ini tersedia secara omnichannel. Ia bisa dipasangkan di WhatsApp, LINE, Telegram, ataupun situs web klien itu sendiri. Namun sejauh ini WhatsApp masih jadi kanal terpopuler untuk mereka.

Adapun model bisnis yang mereka pakai adalah sistem berlangganan bulanan. Biaya yang mereka patok untuk jasa chatbot mereka berkisar Rp1,5 juta per bulan. Angka ini bervariasi bergantung pada kebutuhan bisnis klien mereka.

Tahun ini mereka menargetkan 50 klien, UKM maupun korporasi, bergabung dengan Chatbiz. Tak tanggung-tanggung, angka konversi yang mereka ingin capai pun dipasang hingga 15 persen tahun ini.

Target Chatbiz ini tak mustahil untuk dicapai lantaran masa pandemi ini memaksa banyak bisnis beralih membuka lapak daring. Dalam kasus Chatbiz, mereka menyebut jumlah percakapan yang mereka tangani di WhatsApp meningkat hingga 40 persen.

“Namun kita tahu bahwa pekerjaan administratif seperti merekap order, menjawab pertanyaan, cek stok barang, dan lainnya memakan sumber daya yang tidak sedikit,” ungkap Terry.

Sokongan finansial Chatbiz saat ini datang dari angel investor yang mereka peroleh tahun lalu. Terry mengaku pihaknya masih fokus mengembangkan produk dan bisnis mereka sehingga tak begitu mengejar babak pendanaan selanjutnya.

Kedatangan Chatbiz menambah daftar startup yang mencoba peruntungan lewat inovasi chatbot. Kata.ai dan Botika adalah dua nama yang bisa dianggap paling harum dalam menyediakan layanan chatbot di Indonesia.

Upaya Mendigitalkan UKM di Bidang Jasa dan Pariwisata ala Gomodo

Sektor jasa dan pariwisata adalah salah satu yang paling terpukul selama wabah Covid-19 berlangsung. Ketika banyak bisnis pariwisata berhadapan dengan paceklik tersebut, setidaknya ada satu startup anyar bernama Gomodo yang menghimpun tenaga sebagai platform teknologi di sektor jasa dan pariwisata.

Gomodo adalah satu dari 15 startup yang terpilih mengikuti final pitch program akselerasi GK-Plug and Play angkatan keenam. Gomodo merupakan platform software-as-a-service (SaaS) yang memungkinkan UKM di sektor jasa dan pariwisata memiliki situs web untuk menerima pesanan online, pembayaran nontunai, hingga solusi distribusi.

Menjamah yang belum tergapai

Founder & CEO Gomodo Lius Widjaja menjelaskan kepada DailySocial, ide startup ini bermula dari keresahannya yang berkecimpung di industri pariwisata. Selama berkarier di industri ini, Lius menilai biro perjalanan kerap kesulitan memperoleh inventaris produk atau paket wisata dalam bentuk digital.

Perkara itu tak lain karena kebanyakan operator penyedia jasa wisata dan supplier belum memanfaatkan layanan digital. Maklum, kata Lius, platform digital yang dipakai di sektor jasa dan pariwisata ini terbilang rumit dan sulit yang mana lebih ditujukan kepada entitas perusahaan besar alih-alih UKM.

“Sebenarnya ada banyak pengalaman unik yang dapat dinikmati wisatawan di Indonesia, contohnya jungle trekking, wisata observasi Orang Utan, exotic bird watching, bahkan sampai wisata berburu babi hutan? Tetapi pengalaman-pengalaman tersebut hampir tidak tersedia di katalog Online Travel Agent sekelas unicorn sekalipun,” tutur Lius.

Permasalahan ini berlanjut ketika pusat-pusat pariwisata Indonesia masih belum banyak memiliki perangkat yang mendukung pembayaran nontunai. Survei internal Gomodo menyebut 95% UKM di sektor pariwisata yang tak menerima pembayaran via kartu kredit.

Segmentasi dan monetisasi

Seperti diutarakan sebelumnya, Gomodo berfokus pada UKM yang bergerak di bidang jasa dan pariwisata. Operator tur, pemandu wisata, biro perjalanan, perusahaan rental kendaraan, penginapan, hingga konsultan pajak, dan penyedia jasa akuntan pun termasuk.

Fokus terhadap UKM ini yang membedakan Gomodo dengan penyedia sistem distribusi global (GDS) seperti Galileo atau Sabre yang produknya umum digunakan para pelaku industri jasa pariwisata. Jika Gomodo membidik jenis aktivitas wisata dan inventaris paket wisata, Galileo dan Sabre menyasar pasar enterprise yang umumnya adalah inventaris maskapai penerbangan, hotel, tiket taman hiburan, hingga transportasi.

“Dengan lain kata, dalam konteks distribusi, Gomodo dan GDS lainnya berfungsi serupa, hanya kami lebih fokus kepada digitalisasi dan pengumpulan inventaris paket dan aktivitas wisata UKM yang tidak dimiliki banyak pihak GDS dan agent,” imbuh Lius.

Gomodo memang tak memungut biaya bagi para UKM untuk menggunakan platform mereka. Sebagai gantinya, Gomodo memberlakukan sistem bagi untung. Artinya, setiap ada transaksi yang sukses di platformnya, Gomodo akan mendapat bayaran dari mitra mereka tersebut. Lius tak membuka berapa besaran fee yang mereka peroleh dari setiap transaksi.

Target setelah pandemi

Gomodo meluncur ke publik pada Februari 2019. Sejak itu mereka telah mengantongi 1000 klien UKM di seluruh Indonesia. Gomodo juga telah ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  sebagai mitra kerja program Perhutanan Sosial 4.0. Program ini memungkinkan mereka mendapatkan akses ke ribuan penyedia ekowisata kelas UKM se-Indonesia untuk diberdayakan secara digital.

Saat ini sejatinya Gomodo sudah menggandeng Koinworks untuk menyediakan fitur dana pinjaman kepada UKM yang membutuhkan. Namun fitur ini baru akan diluncurkan secara utuh setelah pandemi berakhir. Berbarengan dengan itu, Lius juga memperkirakan juga meluncurkan fitur investasi di mana para investor atau pemberi pinjaman leluasa menanamkan modalnya ke berbagai usaha di daerah-daerah tujuan wisata.

Terkait status pendanaan, Gomodo telah mengamankan dua babak pendanaan yakni angel round pada akhir 2018 dan pre-seed di akhir tahun lalu. Pada putaran pre-seed tercatat nama-nama investor yang berpartisipasi mulai dari Amand Ventures, Brama One Ventures, dan Plug and Play Indonesia.

Sementara ini Gomodo hanya aktif di Indonesia. Namun Lius tak menutup kemungkinan dalam dua tahun ke depan pihaknya akan ekspansi ke luar negeri seperti Vietnam yang dianggap memiliki karakter serupa Indonesia.

Lius membenarkan bahwa bisnis pariwisata sedang terpuruk. Namun ia optimis ini adalah momen yang tepat untuk mendorong solusi online booking dan pembayaran nontunai mereka ke pelaku bisnis jasa dan pariwisata. Menurutnya hal itu diperlukan untuk bersiap menyambut rebound sektor ini ketika pandemi berakhir.

“Dengan menggunakan platform Gomodo, sebuah UKM di sektor jasa dan wisata dapat Go Digital secepat 10-15 menit, dan set-up atau pengaturan semudah mengisi formulir atau survei,” pungkas Lius.

Saat ini layanan Gomodo masih hanya bisa diakses melalui situs web. Lius memastikan layanan mereka baru bisa diakses di Android dan iOS pada kuartal tiga nanti.