SiCepat Logistics Secures 2.4 Trillion Rupiah Series B Funding

Last-mile logistics player, SiCepat secured a Series B funding worth $170 million or 2.44 trillion Rupiah. The number is claimed to be the largest for the Series B stage in Southeast Asia. Investors in this round including Falcon House Partners, Kejora Capital, DEG (German Development Finance Institute), Asia-based insurer, MDI Ventures, Indies Capital, Pavilion Capital (a subsidiary of Temasek Holdings), Tri Hill, and Daiwa Securities. .

In DailySocial observation, SiCepat Ekspres had proceeded transactions of IDR 3.5 trillion during 2020, an increase of 194% compared to 2019 with a total shipment of 180 million packages throughout Indonesia.

Pandemic drives business growth

Increased business growth during the pandemic is the main reason for investor confidence in SiCepat. Sicepat is considered to be one of the few players providing logistics services for a new age economy providing e-commerce and social commerce transactions.

The fresh funds will be used by the company to tighten its position as a leading end-to-end logistics service provider in Indonesia and explore potential expansion into other markets in Southeast Asia.

“We are even better equipped to support and empower millions of SMEs and local businesses not only to survive but to thrive during these difficult times,” SiCepat’s Founder and CEO, Kim Hai said.

The company also plans to invest in infrastructure. SiCepat currently provides Last-mile, Warehousing & Fulfillment, Commerce-Enabling Services, Online Distribution, and Middle-Mile Logistics.

“The Indonesian e-commerce market will reach $32 billion in 2020 with a projected 5-year CAGR of 21% at $82 billion industry by 2025. We believe that SiCepat is ideally positioned to serve customers of the e-commerce giant,” Kejora Capital’s Founding Partner, Sebastian Togelang said.

In the previous interview with DailySocial, SiCepat will also enter into a new business in the food delivery segment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Logistik SiCepat Rampungkan Pendanaan Seri B 2,4 Triliun Rupiah

Pemain logistik last mile, SiCepat merampungkan penggalangan dana Seri B dengan nilai total $170 juta atau 2,44 triliun Rupiah. Pendanaan ini diklaim merupakan jumlah paling besar untuk tahapan Seri B di Asia Tenggara. Investor yang turut berpartisipasi dalam pendanaan ini adalah Falcon House Partners, Kejora Capital, DEG (Lembaga Keuangan Pembangunan Jerman), Penjamin asuransi berbasis di Asia, MDI Ventures, Indies Capital, Pavilion Capital (anak perusahaan Temasek Holdings), Tri Hill, dan Daiwa Securities.

DailySocial mencatat, sepanjang 2020, SiCepat Ekspres telah membukukan transaksi sebesar Rp3,5 triliun atau naik 194% dibandingkan 2019 dengan total pengiriman sebanyak 180 juta paket ke seluruh Indonesia.

Pandemi dorong pertumbuhan bisnis

Meningkatnya pertumbuhan bisnis selama pandemi menjadi alasan utama kepercayaan investor bagi SiCepat. Sicepat dianggap sebagai salah satu dari sedikit pemain yang menyediakan layanan logistik untuk ekonomi zaman baru yang melayani transaksi e-commerce dan perdagangan sosial.

Dana segar ini akan digunakan perusahaan untuk memperkuat posisi mereka sebagai penyedia layanan logistik end-to-end terkemuka di Indonesia dan berpotensi untuk menjajaki ekspansi ke pasar lain di Asia Tenggara.

“Kami bahkan lebih siap untuk mendukung dan memberdayakan jutaan UKM dan bisnis lokal tidak hanya untuk bertahan, tetapi untuk berkembang selama masa-masa sulit ini. ” kata Founder dan CEO SiCepat Kim Hai.

Perusahaan juga memiliki rencana berinvestasi ke infrastruktur. Saat ini SiCepat telah menyediakan layanan Last-mile, Warehousing & Fulfillment, Commerce-Enabling Services, Distribusi Online dan Middle-Mile Logistics.

“Pasar e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar pada tahun 2020 dengan proyeksi CAGR 5 tahun sebesar 21% menjadi industri senilai $82 miliar pada tahun 2025. Kami percaya bahwa SiCepat memiliki posisi yang ideal untuk melayani pelanggan dari raksasa e-commerce,” kata Founding Partner Kejora Capital Sebastian Togelang.

Dalam wawancara terdahulu dengan DailySocial, SiCepat juga akan masuk ke bisnis baru di segmen food delivery.

 

Mendalami Rencana Xendit Setelah Bukukan Pendanaan Seri B Senilai 921 Miliar Rupiah

Perusahaan teknologi keuangan yang menyediakan solusi menyederhanakan proses pembayaran untuk bisnis, Xendit, berencana untuk fokus membangun infrastruktur transaksi finansial di Indonesia. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Xendit Moses Lo mengungkapkan, harapannya dengan ekosistem produk yang ditawarkan dapat membantu membentuk generasi penerus bisnis yang scalable.

“Kami ingin startup, UKM, dan bisnis lainnya berkembang pesat tanpa harus mengkhawatirkan infrastruktur pembayaran, sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh pada hal-hal yang lebih penting. Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik dengan mendengarkan feedback dari merchant dan mencoba membangun produk yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujar Moses.

Guna menghadirkan teknologi yang relevan, saat ini Xendit tengah mengembangkan produk terbaru yang diklaim sangat menarik dan sesuai dengan tujuan perusahaan yaitu membangun infrastruktur pembayaran digital yang bisa diandalkan di Asia Tenggara. Langkah strategis tersebut diambil untuk menguatkan fondasi bisnis.

“Pelanggan kami mempercayai pembayaran kami dan telah meminta kami menciptakan alat baru yang bisa membantu mereka selama pandemi dan seterusnya,” kata Moses.

Xendit juga memiliki rencana untuk membangun lebih banyak alat yang ditujukan bagi para UKM untuk bisa menjalankan bisnis secara online. Termasuk untuk para pedagang online.

“Pelanggan kami telah meminta pembiayaan untuk menjembatani kebutuhan arus kas atau bulan-bulan berikutnya. Kami memberikan modal kepada pelanggan kami yang membutuhkan XenCapital. Kami terus membangun produk dan layanan baru untuk membantu pelanggan kami (baik bisnis besar hingga kecil) unggul di dunia baru ini, baik di Indonesia dan Filipina,” kata Moses.

Di tengah transformasi digital Asia Tenggara yang pesat, Xendit hingga kini telah memproses lebih dari 65 juta transaksi dengan pembayaran $6,5 miliar per tahun. Disinggung apakah ada rencana konsolidasi ke depannya dengan pihak yang dinilai relevan, Moses menegaskan Xendit selalu terbuka untuk kemungkinan kolaborasi untuk meningkatkan layanan dan inovasi produk.

“Harapannya langkah tersebut nantinya bisa mencapai tujuan perusahaan, membangun infrastruktur pembayaran digital paling andal di Asia Tenggara,” kata Moses.

Selain Xendit, di Indonesia juga sudah ada beberapa penyedia sistem pembayaran yang bisa digunakan oleh startup atau UKM. Salah satu yang paling signifikan adalah Midtrans, yang kini sudah menjadi bagian dari grup Gojek. Doku, iPaymu, Finpay, dan beberapa pemain lain juga jajakan layanan serupa. Dengan peta persaingan yang ada, maka inovasi produk menjadi penting guna memberikan komplementer bagi para mitranya.

Pendanaan seri B

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, Xendit baru merampungkan penggalangan dana seri B senilai $64,6 juta atau setara 921 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh firma modal ventura global Accel. Secara keseluruhan, perusahaan telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $88 juta atau senilai 1,2 triliun Rupiah.

“Dana segar ini selanjutnya akan kita gunakan untuk scale infrastruktur pembayaran digital kami dengan cepat dan menyediakan jutaan usaha kecil dan menengah di seluruh Asia Tenggara dengan jalan menuju ekonomi digital,” kata Moses.

Accel memimpin putaran pendanaan tersebut dengan dukungan tambahan dari Y Combinator. Sebelumnya Xendit adalah perusahaan Indonesia pertama yang terpilih untuk mengikuti program akselerator Y Combinator pada tahun 2015 dan dinobatkan sebagai salah satu dari 100 perusahaan teratas pada tahun 2021.

“Xendit telah membangun infrastruktur pembayaran digital modern yang mengubah cara bisnis Asia Tenggara bertransaksi. Kombinasi tim mereka yang terdiri dari pemahaman terhadap pasar lokal yang mendalam dan dilengkapi oleh ambisi untuk menguasai pasar global membuat mereka berada di posisi strategis untuk mendapatkan apa yang tidak dapat dilakukan oleh perusahaan lain di wilayah ini,” kata Partner Accel Ryan Sweeney.

Raena’s Target in Indonesia Post Series A Funding and Business Pivot

The impact of the pandemic can significantly drive startup businesses, especially for those who promote online services and trending products among communities. One that has experienced an increase during the pandemic is Raena. The platform helps promotional activities take advantage of social media influencers.

In order to increase traction, the company’s decided to pivot (in the sense of turning a business direction to widen market share), by providing integrated solutions not only for influencers but also for women who want to have additional income to become beauty entrepreneurs.

Raena’s Founder & CEO, Sreejita Deb revealed to DailySocial, from the beginning to the end of 2020, Raena’s new business line has experienced massive growth. One of the reasons is the increasing number of people who make online transactions during the pandemic.

“Even though many claims pivoting is something negative, for us, it is an opportunity for business to be more flexible. Previously, we only provide a platform to influencers, now, we want to provide a comprehensive solution for those who want to have their own business,” Sreejita said.

Raena’s new concept is social commerce, managing all the needs and processes that are usually performed by online sellers. Starting from managing stock of goods, suppliers, selecting brands, to logistics. For those who want to join Raena and want to become a seller, they can focus more on developing their number of followers on social media, WhatsApp, marketplace channels such as Shopee, Lazada, Tokopedia, and others.

“Previously, we have a one-to-one model that links one supplier to one influencer. Now, we offer a many-to-many model, which connects various brands and various suppliers to various influencers,” she added.

Series A funding

In order to massively grow business, Raena has completed a $9 million Series A fundraising activity led by Alpha Wave Incubation and Alpha JWC Ventures. Other investors involved in this year’s funding include AC Ventures, Beenext, Beenos, and Strive. In 2019, Raena secured $1.8 million in early-stage funding.

“To date, we have not spent too much money on marketing activities. That’s why we are not too aggressive in raising funds. Our focus is to increase the value of influencers or those who join Raena,” Sreejita said.

With this fresh fund, Raena’s future plans are to increase the number of sellers, increase the number of brands, and the internal team. Currently, Raena has a team consisting of 15 people in Indonesia. And until the end of next year, the number is planned to be increased. Raena also sees the Indonesian market as the main target.

Alpha JWC Ventures said the reason they were interested in investing was Raena’s vision to empower female entrepreneurs throughout Indonesia by opening access to high-quality beauty products. In addition, Raena is a solution for brands that expect to enter Southeast Asia, especially Indonesia, and for entrepreneurs who are looking for business consistency.

“By serving these two segments, Raena is entering a large market that continues to grow along with the growing middle class in Indonesia and Southeast Asia. With the expertise of Raena’s founding team and our support, we are confident that Raena can grow into a leading player in the Southeast Asian beauty industry,” Alpha JWC Ventures’ Co-founder & General Partner, Chandra Tjan said.

Previously, DailySocial had reviewed the beautytech trend in Indonesia, which is defined as a new model for actors in the beauty industry to reach consumers. Its business model no longer revolves around conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fokus Raena di Indonesia Setelah Kantongi Pendanaan Seri A dan Lakukan Pivot

Dampak pandemi bisa mendorong bisnis startup secara signifikan, terutama bagi mereka yang mengedepankan layanan online dan produk yang menjadi tren di kalangan masyarakat. Salah satu yang mengalami peningkatan selama pandemi adalah Raena. Platform tersebut membantu kegiatan promosi memanfaatkan influencer media sosial.

Guna meningkatkan traksi, kini memutuskan untuk melakukan pivoting (dalam artian berbelok haluan bisnis untuk memperlebar pangsa pasar), dengan memberikan solusi terpadu bukan hanya untuk influencer, namun juga untuk kalangan perempuan yang ingin memiliki penghasilan tambahan menjadi beauty entrepreneur.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Raena Sreejita Deb mengungkapkan, sejak awal hingga akhir tahun 2020, bisnis baru yang dikembangkan oleh Raena telah mengalami pertumbuhan yang cukup masif. Salah satu alasan adalah makin besarnya jumlah masyarakat yang melakukan transaksi secara online selama pandemi.

“Meskipun banyak yang mengatakan pivoting adalah sesuatu hal yang negatif, namun bagi kami justru menjadi peluang agar bisnis bisa menjadi lebih fleksibel. Jika di awal kami hanya ingin memberikan platform kepada influencer, kini kami ingin memberikan solusi menyeluruh kepada mereka yang ingin memiliki bisnis sendiri,” kata Sreejita.

Konsep baru yang ditawarkan oleh Raena adalah social commerce, mengelola semua kebutuhan dan proses yang biasanya dilakukan oleh penjual secara online. Mulai dari pengelolaan stok barang, supplier, pemilihan brand, hingga logistik. Untuk mereka yang ingin bergabung dengan Raena dan ingin menjadi penjual, selanjutnya bisa lebih fokus mengembangkan jumlah pengikut mereka di media sosial, WhatsApp, kanal marketplace seperti Shopee, Lazada, Tokopedia dan lainnya.

“Sebelumnya model kita adalah oneto-one yang menghubungkan satu supplier ke satu influencer saja. Sekarang konsep yang kita tawarkan adalah many-to-many model, yang menghubungkan berbagai brand dan berbagai supplier kepada berbagai influencer,” kata Sreejita.

Kantongi pendanaan seri A

Untuk mengembangkan bisnis lebih masif lagi, Raena telah merampungkan kegiatan penggalangan dana tahapan seri A senilai $9 juta yang di pimpin oleh Alpha Wave Incubation dan Alpha JWC Ventures. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan kali ini di antaranya AC Ventures, Beenext, Beenos, dan Strive. Tahun 2019 lalu Raena telah mengantongi pendanaan tahap awal senilai $1,8 juta.

“Selama ini kita tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk kegiatan pemasaran. Karena itu kami tidak terlalu gencar untuk melakukan penggalangan dana. Fokus kami adalah meningkatkan nilai para influencer atau mereka yang bergabung dengan Raena,” kata Sreejita.

Dengan dana segar ini rencana Raena ke depannya adalah menambah jumlah penjual, menambah jumlah brand, dan tim internal. Hingga kini Raena telah memiliki tim di Indonesia sebanyak 15 orang. Dan hingga akhir tahun depan, jumlah tersebut rencananya akan ditambah. Raena juga melihat pasar Indonesia sebagai fokus utama yang disasar oleh mereka.

Alpha JWC Ventures menyebutkan, alasan mereka tertarik untuk berinvestasi adalah visi Raena untuk memberdayakan entrepreneur perempuan di seluruh Indonesia dengan cara membuka akses pada produk kecantikan berkualitas tinggi. Tidak hanya itu, Raena menjadi solusi bagi brand yang ingin masuk ke Asia Tenggara, terutama Indonesia, dan untuk entrepreneur yang mencari konsistensi usaha.

“Dengan melayani dua segmen ini, Raena memasuki pasar besar yang terus berkembang seiring pertumbuhan kelas menengah di Indonesia serta Asia Tenggara. Dengan keahlian tim pendiri Raena serta dukungan kami, kami yakin Raena dapat tumbuh menjadi pemain unggul di industri kecantikan Asia Tenggara,” kata Co-founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Sebelumnya DailySocial sempat mengulas tren beautytech di Indonesia, yang didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar.

Application Information Will Show Up Here

AnyMind D2C Diluncurkan, Fasilitasi Influencer Mendirikan Brand Produknya Sendiri

Setelah sebelumnya diklaim mengalami kesuksesan di Jepang dan Thailand, AnyMind Group meluncurkan AnyMind D2C (direct-to-consumer) for Influencer di Indonesia. Layanan dihadirkan untuk mendongkrak bisnis mandiri yang dimiliki oleh influencer, menyediakan teknologi dan solusi bagi influencer, pemasar, publisher, dan pemilik bisnis.

Untuk permulaan di pasar Indonesia, AnyMind mengumumkan peluncuran SNH, yang merupakan brand pakaian gaya hidup bekerja sama dengan aktris Nathalie Holscher. Ini adalah brand D2C influencer pertama yang dibuat.

“Peluncuran SNH oleh Nathalie Holscher hanyalah permulaan, dan kami akan terus membantu pemasar, influencer, dan publisher menjadi lebih tanpa batas,” kata Country Manager AnyMind Group Indonesia Lidyawati Aurelia.

AnyMind akan menanggung semua biaya awal untuk brand mereka, termasuk perencanaan dan konseptualisasi, evaluasi potensi, pembuatan barang, serta pengoperasian e-commerce dan logistik. Singkatnya, influencer tidak perlu mengeluarkan biaya dari awal, dan monetisasi dilakukan melalui pembagian pendapatan berdasarkan penjualan barang.

Inovasi semacam ini memang perlu digulirkan, terlebih di Indonesia persaingan platform yang mengakomodasi para influencer sudah cukup banyak. Selain AnyMind, ada beberapa pemain yang menjembatani kebutuhan pemasar dengan influencer, di antaranya Allstars yang baru jalin kerja sama dengan Gojek, ada juga SocialBuzz, Hiip, Partipost, Verikool, dan lain sebagainya.

Target perusahaan

Sejak diluncurkannya AnyMind D2C for Influencer, diklaim sudah banyak respons positif dari para influencer yang ingin mengembangkan bisnis mereka secara mandiri. AnyMind telah meluncurkan beberapa brand dengan influencer di Thailand dan Jepang. Perusahaan juga mengatakan telah memiliki lebih dari 40 brand di pipeline untuk waktu 6 bulan ke depan.

“Pada paruh kedua tahun 2019, kami mulai merencanakan dan mengeksplorasi konsep ini, dan secara resmi meluncurkan model bisnis baru dan produk pertama AnyFactory pada Maret 2020,” kata Co-founder & CEO AnyMind Group Kosuke Sogo.

Lini platform yang kini dikelola AnyMind Group / AnyMind
Lini platform yang kini dikelola AnyMind Group / AnyMind

Untuk memudahkan semua proses, AnyMind telah bekerja sama dengan beberapa brand (bisnis) untuk meningkatkan kapabilitas D2C mereka. Termasuk di dalamnya manufaktur produk melalui AnyFactory, penyediaan infrastruktur e-commerce melalui AnyShop dengan menggunakan alat dari AnyMind Group seperti AnyManager (analisis situs) dan AnyCreator (analisis dan manajemen media sosial).

Perusahaan juga menyediakan versi alpha dari platform logistik, AnyLogi untuk mengelola rantai pasokan dengan mudah, mulai dari pergudangan produk, manajemen inventaris, dan sinkronisasi dengan AnyShop untuk stok produk, hingga penyediaan layanan dukungan pelanggan.

“Pada akhirnya, misi kami adalah menjadikan setiap bisnis tanpa batas, dan kami ingin menyediakan infrastruktur untuk bisnis generasi berikutnya di seluruh Asia. Infrastruktur ini mencakup perangkat lunak untuk intelijen bisnis, manufaktur, e-commerce, pemasaran, dan logistik, yang memungkinkan calon pemilik bisnis di mana pun di dunia untuk membuat, menjual, memasarkan, dan memenuhi produk mereka sendiri kepada pelanggan,” tutup Sogo.

Rencana Bisnis Ngelesin Usai Kantongi Pendanaan Awal dari Astra Ventura

Berawal dari kecintaannya terhadap dunia pendidikan, Anthonius mendirikan platform digital bernama “Ngelesin”, untuk memudahkan orang mendapatkan les privat secara online dan offline. Bukan hanya untuk pelajaran akademik, tapi juga menyediakan opsi pembelajaran nonakademik seperti musik, olahraga, bahasa, dan berbagai konten khusus anak.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Ngelesin Anthonius mengungkapkan, layanannya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan platform edutech lainnya yang saat ini makin marak kehadirannya di Indonesia.

“Saya melihat kebanyakan platform serupa masih mengandalkan pembelajaran memanfaatkan video. Di Ngelesin kami mengedepankan pembelajaran langsung oleh guru yang bergabung. Meskipun awalnya kebanyakan dilakukan secara offline, namun saat pandemi kami mulai melakukan kegiatan belajar mengajar tersebut secara online.”

Didirikan di Bandung tahun 2018 lalu, Ngelesin tahun ini berencana untuk memperluas area layanan ke Jakarta dan Surabaya. Besarnya permintaan menjadi alasan rencana ekspansi tahun ini. Perusahaan juga berencana untuk meluncurkan aplikasi yang telah diperbarui teknologinya dalam tiga bulan ke depan.

Saat ini mereka telah memiliki sekitar 700 guru yang tersebar di Jabodetabek dengan jumlah pengguna sekitar 5 ribu orang. Setiap les privat yang diberikan Ngelesin membatasi 4 siswa untuk 1 guru di setiap sesi. Biaya yang dikenakan mulai dari Rp99 ribu. Komisi yang diberikan kepada guru adalah sekitar 60% dari biaya.

“Seluruh pengajar diseleksi ketat melalui fit & proper test sebelum bergabung di Ngelesin, sehingga terstandardisasi dan well training. Aplikasi booking les ini menjadi one-stop-shopping karena semua kebutuhan mulai dari kategori akademik, keterampilan, olahraga, musik, sampai program short course ada di dalam aplikasi . Pengguna juga bisa memilih sendiri waktu dan tempat pertemuan untuk les,” jelasnya.

Seiring perkembangan minat pembelajaran yang dilakukan secara online, beberapa platform edtech terus memperluas cakupan bisnisnya. Selain Ngelesin, ada beberapa startup yang juga tawarkan kursus dengan pembelajaran langsung lewat telekonferensi. Misalnya Cakap, belum lama ini mereka menghadirkan layanan kursus bahasa Mandarin untuk anak. Tutor juga dilengkapi dengan fitur berbasis augmented reality untuk menghadirkan animasi pembelajaran live yang menyenangkan.

Selain itu, Ruangguru baru-baru ini juga kenalkan layanan kursus bahasa Inggris bersama pengajar profesional dan tersertifikasi. Sementara di segmen B2B, ada beberapa penyelenggara pelatihan online yang melayani pasar lokal, seperti HarukaEdu, Codemi, Skilvul, dan lain sebagainya.

Pendanaan dari Astra Ventura

Selain menyasar segmen B2C, Ngelesin juga menjangkau segmen B2B. Dalam hal ini perusahaan yang ingin melakukan program CSR mereka dengan fokus kepada dunia pendidikan, mereka bisa menjembatani kebutuhan perusahaan dengan siswa di daerah terpencil yang membutuhkan bantuan hingga bimbingan dari guru-guru di kota-kota besar. Saat pandemi makin banyak perusahaan yang kemudian memanfaatkan platform Ngelesin untuk melancarkan kegiatan CSR mereka.

“Harapannya melalui platform kami bisa memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk menyalurkan dana bantuan. Di sisi lain semakin banyak murid-murid di daerah pelosok mendapatkan edukasi terbaik dari guru berpengalaman di kota-kota besar,” kata Anthonius.

Sejalan dengan visi dan misi perusahaan, Astra Ventura kemudian memberikan dana segar kepada Ngelesin awal tahun 2021 ini. Menurut CEO Astra Ventura Jefri R. Sirait, pendanaan akan membantu mereka untuk menjangkau target pasar yang lebih luas dikota-kota lainnya dan mulai masuk program Corporate Social Responsibility (CSR) pendidikan dari korporasi.

Dana segar yang diperoleh juga akan dimanfaatkan untuk menambah jumlah guru, mengembangkan teknologi, melakukan kegiatan promosi dan ekspansi ke kota-kota besar lainnya. Tidak disebutkan berapa jumlah pendanaan tahapan awal yang diterima. Sebelumnya Ngelesin merupakan pemenang Astra Start-Up Challenge Batch 4.

“Sejalan dengan tujuan Astra mencerdaskan Indonesia, Ngelesin menjadi jalan dan solusi untuk memperkuat ekosistem pendidikan di Indonesia melihat kebutuhan pendidikan masyarakat di tengah pandemi. Astra Ventura tentu akan menggenjot pertumbuhan bisnis Ngelesin terutama dalam value chain Astra,” tutur Jefri.

Application Information Will Show Up Here

Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Industri Logistik Terus Bertumbuh, Lacak.io Gencarkan Fitur Baru dan Rencanakan Penggalangan Dana

Salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan positif selama pandemi adalah logistik. Tidak hanya di sisi traksi proses pengiriman, peningkatan terjadi hampir di seluruh ekosistem bisnis logistik, termasuk di sisi pemanfaatan teknologinya. Pengembang platform logistik berbasis internet of things Lacak.io menjadi salah satu yang turut terdampak.

“Saat pandemi, semakin banyak perusahaan yang membutuhkan teknologi, khususnya IoT untuk bisa memonitor aset, armada, dan tenaga kerja. Sehingga meskipun dilakukan secara remote, setiap pekerjaan masih bisa dilakukan dengan baik,” kata Founder & CEO Lacak.io Fariz Iskandar kepada DailySocial.

Saat ini mereka telah memiliki sekitar 100 klien dan 10 lebih mitra. Targetnya tahun ini bisa membawa layanannya ke seluruh ibu kota provinsi di Indonesia.

Turut disampaikan Fariz, selain layanan e-commerce yang paling banyak memanfaatkan teknologi dari Lacak.io adalah instansi pelayanan publik, penegakan hukum, perusahaan penambangan, multifinance, penyedia cold storage, perkebunan, angkutan umum, sampai operator pelabuhan.

“Di tengah pandemi, layanan e-commerce di Indonesia menjadi salah satu sektor yang justru mengalami pertumbuhan pesat, yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan pengiriman jarak-jauh. Menjawab kebutuhan ini, perusahaan pun semakin membutuhkan sistem logistik dengan manajemen armada yang lebih baik. Di sinilah Lacak.io berkembang sebagai platform IoT untuk perusahaan, menawarkan manajemen armada dan solusi pelacakan yang komprehensif sebagai dua fitur utamanya,” ujar Fariz.

Di sini, startup teknologi logistik sendiri cukup berkembang, baik yang fokus ke first-mile sampai dengan last-mile. Isu logistik di Indonesia memang cukup unik, salah satunya disebabkan karena kondisi geografis yang bentuknya kepulauan — sementara bisnis banyak terfokus di kota besar seperti Jabodetabek.

Selain Lacak.io, startup lain yang bermain di lanskap ini ada Waresix, Logisly, Paxel, Webtrace, hingga Andalin. Waresix menjadi yang paling signifikan, setelah menutup putaran seri B pada September 2020 lalu, perusahaan berhasil membukukan dana investasi hingga 1,5 triliun Rupiah.

Fitur baru dan rencana penggalangan dana

Salah satu tantangan utama yang dihadapi perusahaan di sektor logistik adalah memastikan keamanan pengiriman dari penjual ke konsumen, dengan memverifikasi identitas pengemudi secara akurat. Di sinilah solusi unik Lacak.io seperti iButton dan DSM hadir untuk membantu mengidentifikasi, memverifikasi pengemudi, sekaligus mengaktifkan proses pemantauan jarak jauh selama perjalanan untuk mengetahui perilaku mereka selama mengemudi. Platformnya juga menawarkan pelacakan akurat dengan GPS yang menghadirkan pembaruan secara real-time.

Dengan fitur ADAS, Lacak.io dapat memberikan peringatan dini atas kemungkinan potensi tabrakan yang dapat terjadi untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Lacak.io juga dilengkapi dengan fitur axle load solution untuk membantu pengemudi dan pemberi kerja memantau kapasitas beban.

Memasuki tahun 2021 masih banyak rencana yang ingin dilancarkan oleh Lacak.io. Selain menghadirkan fitur baru yang relevan untuk klien, perusahaan juga memiliki rencana untuk mencari investasi.

“Rencananya penggalangan dana akan kami lakukan di semester kedua tahun ini. Nantinya dana segar tersebut akan digunakan untuk merambah ke seluruh daerah di Indonesia, dan menghadirkan solusi-solusi yang memberikan benefit untuk berbagai vertikal bisnis yang melibatkan armada dan pekerja lapangan,” tutup Fariz.

Rencana Peluncuran TigerGraph di Indonesia Setelah Bukukan Pendanaan Seri C

Penyedia platform analitik grafik yang berkantor pusat di Redwood City, California dan dilembagakan di Delaware, TigerGraph, berencana untuk melakukan ekspansi ke pasar Singapura dan Indonesia. Inisiatif ini dilakukan setelah perusahaan berhasil merampungkan pendanaan seri C yang dipimpin oleh Tiger Global membawa total pendanaan melampaui $170 juta.

Kepada DailySocial, VP APAC & Japan TigerGraph Joseph (Joe) Lee mengungkapkan, jika sesuai dengan rencana bisnisnya akan meluncur di Indonesia secara resmi mulai Q1 2021. Perusahaan juga akan membentuk tim lokal di Indonesia.

“Ekonomi digital Asia Pasifik terus berkembang dan kami melihat adanya peningkatan permintaan regional. Untuk memanfaatkan potensi ini dan melayani pelanggan kami di Asia Pasifik dengan lebih baik, kami akan membuka kantor di Singapura dan Indonesia. Inisiatif TigerGraph di Asia akan dipimpin oleh Joseph. Kami berkembang dengan pesat dan sedang aktif merekrut untuk posisi-posisi penting di Asia,” imbuh COO TigerGraph Todd Blaschka.

Selain melakukan ekspansi, TigerGraph akan menggunakan pendanaan Seri C tersebut untuk inovasi dan pengembangan produk guna mendukung pelanggan dengan lebih baik, termasuk TigerGraph Cloud di Google Cloud Platform (tersedia Maret 2021), serta dukungan multi-wilayah lebih lanjut di AWS dan Azure.

Teknologi TigerGraph untuk pasar Indonesia

Disinggung teknologi apa yang nantinya dinilai relevan untuk pasar Indonesia, ditegaskan oleh mereka, Enterprise Scale Graph Analytics menjadi salah satu produk yang akan diunggulkan. Berbentuk layanan analisis bisnis untuk mendukung kebutuhan korporasi seperti penyedia jasa telekomunikasi, dan industri layanan keuangan; juga lembaga pemerintahan.

“Layanan tersebut membantu berbagai organisasi dengan alat deteksi fraud sampai anti-money laundering,” kata Joe.

Saat pandemi perusahaan mengklaim terus mencapai keberhasilan dengan pertumbuhan bisnis yang luar biasa. Gartner dan Forrester telah mencatat bahwa Enterprise Graph Analytics berkembang dengan cepat dan menerbitkan sebuah studi baru-baru ini yang menempatkan TigerGraph sebagai sebuah pemimpin dalam Forrester Wave.

Saat ini lebih dari 50 juta pasien menerima rekomendasi jalur perawatan untuk membantu mereka dalam pemulihan. 300 juta konsumen menerima penawaran khusus dengan engine rekomendasi yang ditenagai TigerGraph. Infrastruktur energi untuk 1 miliar orang dioptimalkan oleh TigerGraph untuk mengurangi hilangnya daya.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penyedia platform analisis yang melayani pasar. Dari pemain global, solusi AppsFlyer, IBM, dan beberapa perusahaan lainnya juga tawarkan kapabilitas analisis serupa seperti untuk membantu bisnis melakukan deteksi fraud.