Indra Utoyo: Integrasi Awal Allo Bank Sasar Ekosistem Ritel dan “Supply Chain” CT Corp (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Bagian I menyajikan gagasan, sudut pandang, dan kilas balik Indra Utoyo yang sukses membangun karier dari industri telekomunikasi dan perbankan.

Mengapa Anda memutuskan mengambil pinangan CT untuk pimpin Allo Bank?

Jawab: Banyak tawaran datang, beberapa dari non-bank yang bukan background saya. Karena saya sudah 60 tahun, belajar hal baru tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Kecuali saat saya masih muda, mungkin tawaran itu saya ambil.

Ketika ada tawaran dari Pak CT, saya lihat ini sejalan dengan apa yang saya pikirkan ke depan. Apalagi Pak CT sudah lama menyiapkan Allo Bank. Karena arah pengembangan bank digital adalah ekosistem, saya pikir masuk ke ekosistem CT Corp merupakan kombinasi yang pas.

Platform bank berbasis aplikasi dipadukan jaringan bisnis yang memiliki interaksi fisik. Ini menarik karena CT dan pemilik saham Allo Bank sama-sama memiliki ekosistem luas. Bukalapak salah satunya. Engagement nasabah akan semakin baik dalam memanfaatkan Allo Bank untuk utilitas kehidupan, seperti nama Allo yang berarti “All in One”.

Ada banyak ruang eksplorasi Allo Bank di O2O. Kehadiran fisik dan digital sama-sama punya peran kuat. Sebagai ekosistem, [CT Corp] sudah punya trust, tinggal ditambah bank digital saja.

Memang digitalisasi berdampak positif pada kecepatan maupun efisiensi. Tapi, aspek human touch juga penting karena masyarakat masih membutuhkannya. Bagaimana memadukan dua hal ini? Perlu hybrid model untuk kombinasikan aspek konvensional dan digital. Istilahnya ‘phygital‘ atau physical-digital. Model ini akan jauh lebih engage dengan konsumen.

Kalau fully digital, pasti [pengembangannya] akan mentok. Dalam buku saya (“Hybrid Company Model: Cara Menang di Era Digital yang Disruptif“), saya katakan bahwa digital tidak bisa menggantikan trust, brand, dan service. Namun, tanpa digital, kita tidak akan dapat mendapatkan ketiganya.

Apa fokus tahap awal Allo Bank tahun ini?

J: Kami akan mulai [integrasi] dari B2C di sektor ritel dan B2B di supply chain. Saya rasa dalam dua sampai tiga bulan pertama akan banyak [kolaborasi/integrasi] di kategori brick and mortar. Sambil Allo Bank terus memperbaiki platform, operasional, dan pengolahan data, kami akan integrasi ke ekosistem digital CT Corp yang sudah siap, seperti AlloFresh. Juga nanti ke Bukalapak, Grab, atau Traveloka.

Dengan membesarkan ekosistem yang terhubung dengan Allo Bank, kami dapat mendorong jumlah nasabah dan transaksi. Kami akan tambahkan fitur atau produk lain, seperti paylater atau instant cash. Semakin sering dipakai, kita bisa memahami konsumen dan memaksimalkan produk perbankan yang berkualitas dengan customer yang tepat.

Sumber: CT Corp

Allo Bank masih baru dan perjalanannya masih panjang. ‘”All in One”, ini menjadi semacam mantra ya, satu untuk semua dan semua untuk satu. Semua dapat terakomodasi melalui ekosistem CT Corp.

Bagaimana posisi Allo Bank dibandingkan kompetitornya?

J: Allo Bank bermain di mass market, volume transaksinya kecil-kecil tapi sering dipakai. Terkait produk bank, sama seperti yang ditawarkan bank-bank lain. Ada simpanan/deposit, transfer, dan kredit, hanya saja konteks model bisnisnya yang akan membedakan.

Allo Bank akan memadukan jaringan bisnis milik CT dan partner strategis, baik yang memiliki saham maupun bagi partner-partner baru nanti. Dengan [strategi] ini, Allo Bank akan punya posisi untuk tumbuh.

Dari sisi tim, kami akan menggabungkan mana yang dikerjakan sendiri, mana yang dikerjakan bersama partner. Dalam hal teknologi, Allo Bank bekerja sama dengan bank digital terbesar dunia, WeBank. Kami mengikuti disiplin pada pengembangan produk WeBank. Kedua, salah satu direksi Allo Bank merupakan eks petinggi Paytm (Sajal Bathnagar), platform pembayaran digital besar di India.

Kami belajar dengan pendekatan ini, belajar dari yang hebat sambil kami terus menambah core talent. Kalau memikirkan semua sendiri, kami bisa tersasar. Jadi kami belajar dan nurture SDM lokal dengan baik.

Apakah ada rencana meneruskan venturing ekosistem digital dengan membentuk VC?

J: Saya belum bisa bilang soal ini karena ini berada di ranah pusat. Pasti ada agenda itu karena kita akan mencari partner-partner baru. Tak lama lagi, Allo Bank akan tambah fitur atau produk, mulai dari asuransi, investasi. Tentu ini akan [bermitra] dengan startup yang sudah punya basis pengguna dan akan dihubungkan ke Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat dinamika bank digital di Indonesia?

J: Ada tiga hal untuk bisa thriving sebagai bank digital, yaitu teknologi, ekosistem, dan talent. Dalam beberapa tahun terakhir, bank digital muncul sebagai sebuah model [bisnis]. Bank deliver layanannya melalui aplikasi. Dulu di awal ada Jenius, kemudian terakhir ada Jago, Neo Commerce, hingga Seabank yang bermain dengan ekosistem.

Bank digital memadukan ekosistem untuk mendapat nasabah berkualitas, karena bank bicara soal trust dan manajemen risiko. [Ekosistem] punya trust dan branding sehingga memiliki basis pelanggan yang berkualitas. Jika tidak [memadukan ekosistem], bank digital sulit tumbuh secara organik dan mendapat pelanggan berkualitas. Jadi mereka create value bersama.

Game field selanjutnya adalah bank digital mendorong masyarakat untuk semakin terliterasi terhadap keuangan, dapat menyentuh masyarakat lebih luas. Jika kita lihat, bank digital tidak lagi bicara sebagai bank, tetapi lebih banyak pada aspek kehidupan.

Maka itu, bank digital cocoknya di ritel sampai SME, bermain di volume besar. Dengan teknologi yang efisien, bank digital bisa memiliki cost per acquisition yang rendah sekali. Bank dapat menawarkan layanan yang menyasar kebutuhan sehari-hari. Kalau di atas itu, bank digital tidak terlalu main ke sana. Bank konvensional kan biasanya main di segmen korporasi dengan nilai transaksi besar.

Sementara, jika melihat [fenomena] fintech masuk ke bisnis bank, ini menjadi ujung dari perjalanan mereka. Bank dapat marjin dari pembiayaan, kalau dari payment saja tidak ada. Makanya fintech harus bergeser ke bank supaya bisa menawarkan layanan keuangan lain.

GoTo Tambah Modal ke Sejumlah Anak Usaha

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) mengumumkan pengambilalihan saham pada sejumlah anak usaha untuk melakukan penambahan modal.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, PT Tokopedia mengambil alih sebanyak 58.400 saham baru milik PT Semangat Bambu Runcing (SBR) sebanyak 58.400 dengan nilai Rp58,4 miliar.

Kemudian, Semangat Bambu Runcing menyerap 18.400 saham baru dari PT Roda Bangun Selaras (RBS) senilai Rp18,4 miliar. Dan, Roda Bangun Selaras melakukan aksi serupa terhadap 18.400 saham baru atau Rp18,4 miliar milik PT Adi Sarana Logistik (ASL).

Corporate Secretary GoTo R. A Koesoemohadiani mengatakan bahwa seluruh aksi korporasi ini bertujuan untuk meningkatkan modal untuk anak usaha.

Sementara dalam keterbukaan informasi secara terpisah, Presiden Direktur ASSA Prodjo Sunarjanto Sekar Pantjawati mengatakan bahwa penambahan modal ini diperlukan agar Adi Sarana Logistik dapat memberikan kontribusi positif terhadap perusahaan.

Sekadar informasi Adi Sarana Logistik merupakan anak usaha PT Adi Sarana Armada Tbk (IDX: ASSA) dengan kepemilikan 40% saham. Perlu diketahui, saham anak usaha Adi Sarana Armada, yakni Anteraja dan Autopedia, dimiliki oleh Komisaris Utama GoTo Garibaldi ‘Boy’ Thohir.

Modal usaha di Vietnam

Selain itu, GoTo juga mengumumkan telah menyuntik modal tambahan ke anak usahanya di Vietnam, yakni Go Car Technology Company Limited (GoCar Ltd) melalui Viet Lotus International Joint Stock Company (Viet Lotus) senilai VND140,6 miliar atau setara $6,2 juta.

Saat ini, GoCar Ltd dimiliki sepenuhnya melalui perusahaan induk Viet Lotus sebesar 100%, sedangkan 49% kepemilikan saham Viet Lotus dipegang oleh GoTo.

Kilas balik singkat, tahun lalu Gojek melakukan divestasi bisnisnya di Thailand ke AirAsia agar dapat fokus di pasar Vietnam dan Singapura. Kala itu, Kevin Aluwi yang masih menjabat sebagai CEO Gojek mengatakan pihaknya tidak dapat berkomitmen penuh dengan resource yang dimiliki di sana.

Berdasarkan laporan tahunan GoTo, layanan GoCar telah meluncur di Vietnam pada Agustus 2021, sedangkan layanan GoTaxi dan GoCar XL tersedia di Singapura pada Mei dan November 2021.

Adapun data OECD mencatat perekonomian Singapura memimpin pertumbuhan di Asia Tenggara dengan pertumbuhan PDB sebesar 7,6% di 2021, sedangkan Vietnam sebesar 2,6% di periode yang sama.

Sebagaimana diketahui, GoTo sejak awal berambisi untuk memperkuat infrastruktur dan ekosistem hyperlocal di Asia Tenggara melalui tiga anak usahanya, yaitu Gojek (ride-hailing), Tokopedia (e-commerce), dan GoTo Financial (fintech).

Dengan strategi ini, GoTo berupaya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dengan biaya ekonomis berkat supply dan demand yang berdekatan satu sama lain. Ini menjadi salah satu kekuatan GoTo dengan mengoptimalkan jaringan mitra pengemudi, merchant, dan logistiknya.

Application Information Will Show Up Here

Idealisme Hipotesis Berinvestasi ala BTPN Syariah Ventura

BTPN Syariah Ventura turut serta mewarnai kehadiran corporate venture capital (CVC) di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Dalam catatan, sejauh ini sudah ada delapan CVC (Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, OCBC NISP) yang sudah beroperasi dan mengucurkan dana, kecuali BNI Modal Ventura yang baru mengumumkan kehadiran.

Masing-masing CVC memiliki mandat spesifik dari induk untuk mendukung keterbukaan terhadap inovasi yang berpotensi dapat digarap bersama ke depannya. Dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi tidak bisa langsung direalisasikan dalam waktu cepat, meski sebenarnya siapa pun bisa melakukannya.

Kondisi yang sama juga diemban oleh BPTN Syariah Ventura. Dibandingkan perbankan lainnya, syariah sekalipun, bisnis utama BPTN Syariah adalah pembiayaan produktif untuk masyarakat pra/cukup sejahtera dengan nominal pinjaman mulai dari Rp2 juta dengan tenor satu tahun. Segmen ini berbeda dengan kebanyakan perbankan, makanya banyak kondisi-kondisi yang perlu dipertimbangkan saat BPTN Syariah melakukan digitalisasi.

Menariknya, karena induk BTPN Syariah Ventura ini adalah perbankan syariah, maka CVC-nya pun turut menyejajarkan diri. DailySocial.id berkesempatan untuk mewawancarai lebih dalam bersama Direktur Utama BTPN Syariah Ventura Ade Fauzan.

Hipotesis investasi

Dengan ranah bisnis yang tersegmentasi, kesempatan BTPN Syariah untuk masuk ke ranah digital ibaratnya pisau bermata dua. Sebab, proses digitalisasi di pedesaan dengan perkotaan adalah hal yang berbeda, termasuk dari kecepatan adopsinya. Kualitas jaringan internet adalah salah satu faktornya. Ade pun menyadari bahwa digitalisasi itu adalah suatu keniscayaan.

“Kami melihat bagaimana melakukan digital untuk segmen market-nya, makanya kami sebut teknologi untuk kebaikan. Tapi kami percaya perlu akselerasi lewat kolaborasi karena zaman sekarang muncul istilah baru, yakni kolaborasi, sebab memang tidak semua kebutuhan yang kita butuh itu harus bangun sendiri,” ujar Ade.

Sesuai mandat dari BTPN Syariah, hipotesis investasi yang dianut adalah mencari startup yang fokus pada pemberdayaan masyarakat pra/cukup sejahtera di kota lapis dua dan tiga. Dari total enam juta nasabah yang sudah terlayani di BTPN Syariah, harus mendapat nilai tambah dari setiap inovasi yang terjadi, dengan demikian kehidupan mereka semakin membaik.

Prinsip inilah yang akhirnya ditemukan dari Dagangan. Keputusan untuk menyuntik startup social commerce ini sebenarnya melalui tahapan yang tidak sebentar, bahkan jauh dari akhirnya BTPN Syariah Ventura resmi berdiri. Sedikit mengulang ke awal 2020, di situlah dimulainya kemitraan antara perusahaan dengan Dagangan.

Pada saat itu, Dagangan melakukan pilot project untuk mendukung para debitur BTPN Syariah untuk mengembangkan bisnis melalui pinjaman yang mereka terima. Dagangan menyediakan stok barang kelontong dalam bentuk paket-paket hemat yang bisa dibeli untuk nantinya dijual kembali oleh para mitra di lingkungan rumahnya. Karena berjualan barang kelontong, maka perputaran uangnya jauh lebih cepat hanya sekitar satu hingga dua hari saja.

“Ada kebutuhan untuk warung, yang mereka butuhkan akses terhadap barang. Nasabah kita bekerja sendiri untuk dukung keluarganya. Pain-nya access to supply, harus travel, harus tutup warung, artinya ada opportunity loss. Karena tidak sekadar barang, banyak startup yang menyediakan barang untuk warung, tapi yang sesuai BTPS cari tidak banyak, hanya Dagangan,” ucap Ade.

Dia melanjutkan, Dagangan mendedikasikan dirinya sebagai startup yang hanya menggarap kota lapis dua, tiga, dan empat, yang mana sejalan dengan strategi BTPN Syariah. Dari karakteristik model bisnisnya juga menarik karena Dagangan mengakomodasi nominal belanja dalam jumlah kecil, menyesuaikan dengan kebiasaan belanja pemilik warung.

“Pedagang kecil itu belanjanya dalam jumlah kecil, bukan botolan tapi sachetan. Nah Dagangan tipe barang-barangnya seperti itu, minimal order-nya juga tidak harus banyak. Kalau pemain lain itu minimal harus Rp1,5 jutaan. Kalau segitu [minimal belanja] nasabah kami enggak bisa order.”

Kemitraan tersebut berlanjut, sampai kedua perusahaan bahkan sudah mencapai integrasi API alias semakin serius karena mulai “buka dapur”. Kesepakatan tersebut diambil jauh sebelum BTPN Syariah Ventura peroleh izin dari regulator.

“Ke depannya kemitraan dengan Dagangan akan terus dilanjutkan, akan ada kolaborasi access to market untuk bantu perluas usaha kecil jangkau konsumen yang lebih luas.”

Setelah Dagangan, pihaknya akan terus mencari startup lainnya yang menyasar masyarakat desa dari berbagai vertikal. Meski tidak dirinci secara spesifik, BTPN Syariah mencari peluang-peluang kolaborasi dengan startup yang bermain di edtech, jual-beli digital, pelatihan, penyedia jasa pembayaran tagihan, penyedia barang perlengkapan rumah tangga, produsen/pemilik produk kebutuhan sehari-hari.

Layanan di atas diarahkan untuk membantu para konsumen BTPN Syariah yang terdiri dari nasabah, Mitra Tepat, Daya (program CSR), Ibu Tepat, dan lainnya.

Sumber: BTPN Syariah

Persaingan dengan VC

Hal menarik lainnya yang menjadi pertanyaan adalah mengapa baru sekarang BTPN Syariah masuk ke modal ventura, sementara korporasi lainnya sudah memulainya sejak empat hingga enam tahun lalu.

Ade pun menjawab bahwa terlambat atau tidaknya masuk ke modal ventura itu bicara mengenai prioritas. Bagi manajemen, kehadiran BTPN Syariah Ventura berada dalam momen yang tepat untuk mengakselerasi digital di induk perusahaan dan menciptakan ekosistem digital syariah.

“Tujuannya spesifik karena mandatnya sangat clear untuk bantu banknya [BTPN Syariah]. Karena proses bangun ekosistem digital syariah itu selama ini kita bangun sendiri. Ketika sudah berada di satu titik bisa ditinggalkan, source kita kemudian dialihkan untuk bangun VC. Jadi bukan terlambat atau tidak, tetapi memang kami atur milestone-nya.”

Dia menambahkan, prinsip yang selalu diunggulkan dari BTPN Syariah Ventura adalah selalu menjadi investor strategis, bukan ordinary investor atau investor yang mencari valuasi. Bagi Ade, valuasi adalah satu hal, tapi mengembangkan bisnis BTPN Syariah adalah hal terpenting.

Yuliati pengguna Dagangan dan pemilik warung di Desa Tempelsari, Kabupaten Sleman / Dagangan

“Ketika startup datang bantu nasabah kami tumbuh, maka mereka bantu BTPS tumbuh lebih besar. Kami sudah jalankan ini [bisnis bank syariah] sejak 2010 jadi kita tahu apa yang ultra mikro butuhkan, sekarang tinggal pilih yang mana dulu [mau diinvestasikan].

Karena menjadi investor strategis, pihaknya dapat menganalisis calon startup dengan memberikan pilot project dan akses ke nasabah. Dari situ, BTPN Syariah dapat mengukur efektivitasnya seperti apa, layak untuk dilanjutkan atau tidak. “Ketika masuk ke bisnis BTPS, market startupnya jadi bisa di-compare, sudah diukur risikonya. Beda halnya kalau mereka beda bisnis dengan kita, susah validasinya, jadi kita masuk ke area yang kita paham.”

Dana kelolaan BTPN Syariah Ventura tergolong mini, hanya Rp300 miliar (dari modal ditempatkan dan disetorkan penuh). Ade dan tim akan melakukan investasi dengan cerdas ke startup berkualitas. Proses investasi akan dilakukan dengan sabar dan tidak terburu.

Sebagai satu-satunya CVC syariah, sambung Ade, menjadi nilai unggul yang diberikan perusahaan kepada calon startup. Sebab, pihaknya memiliki dua orang Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memastikan bahwa operasionalnya sesuai dengan ketentuan syariah yang diatur oleh DSN MUI, OJK, dan regulator terkait lainnya.

“Jadi dalam setiap penyertaan modal yang kami lakukan, maka startup tersebut harus mendapatkan opini kesesuaian syariah dari DPS BTPN Syariah Ventura.”

Ia pun tak khawatir dengan persaingan berebut dengan VC lainnya. Setidaknya, dalam rencana bisnis BTPN Syariah Ventura, dapat mendanai satu startup tiap tahunnya. Sayangnya, Ade tidak menyebutkan ticket size yang akan diberikan untuk tiap investasinya. Hanya disebutkan tergantung dari penyertaan modal yang dilakukan untuk setiap model bisnis dan rencana startup tersebut.

“Kami sudah ‘berkencan’ dengan Dagangan sebelum mereka terkenal seperti sekarang. Kami akan mencari Dagangan-Dagangan lain yang masih kecil tetapi punya potensi yang kami tahu potensi itu bisa menyelesaikan masalah,” tutup Ade.

Indra Utoyo: Proses Belajar yang Tak Pernah Berhenti untuk Ciptakan “Value-Driven Innovation” (Bagian I)

Kecintaan Indra Utoyo terhadap teknologi, digital, dan inovasi tak pernah padam sekalipun ia berpindah haluan dari telekomunikasi hingga berlabuh ke perbankan. Alih-alih mencapai posisi kemapanan, ia justru mengaku ingin terus belajar dan menemukan hal-hal baru.

Belasan tahun ia habiskan untuk memperkuat pondasi Telkom sebagai penyedia konektivitas terbesar di Tanah Air sampai akhirnya ia dipercaya untuk memimpin transformasi digital bank BUMN BRI .

Pada gelaran program gagasannya Indigo enam tahun lalu, ia sempat mengatakan bahwa peran entreprenuer muda sangat penting dalam memecahkan masalah dengan cara baru di era digital yang laju perkembangannya sudah tak terbendung lagi.

Ia berharap legacy yang ia tinggalkan dapat terus dibagikan sehingga dapat melahirkan generasi-generasi entreprenuer bertalenta. Kini ia menikmati babak barunya untuk memupuk talenta serta mengorkestrasi layanan dan inovasi di Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat perjalanan karier Anda dari sektor telekomunikasi sampai ke perbankan?

Jawab: Sebetulnya berkarier [di perbankan] tidak saya rencanakan. Saya bekerja di Telkom selama hampir 17 tahun, di mana 10 tahun terakhir menjadi direksi. Di Telkom, saya mengeksplorasi hal baru, baik itu inovasi, IT, hingga digital. Di situlah [perjalanan di dunia digital] saya dimulai. Saya juga mendirikan program inkubator dan akselerator Indigo.

Kemudian, saya pindah ke BRI yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Saat itu saya diminta untuk membenahi sistem IT dan memimpin transformasi digital supaya BRI bisa beradaptasi dan tetap relevan bagi nasabah di era digital. Saya melakukan inovasi, mengembangkan produk digital banking — ada PINANG dan CERIA — dan melakukan massive collaboration dengan pemain digital.

Alhadumdulillah, BRI kini sudah punya pondasi yang baik. Saya membangun digital BRI dengan future-ready IT dan arsitektur di masa depan. Saya siapkan agar dapat mengakomodasi volume yang besar. Itu legacy yang saya tinggalkan [di Telkom dan BRI]. Namun, yang terpenting adalah meninggalkan talent dan culture yang terus membaik.

Apakah kemampuan dan kapabilitas Anda selama ini di telekomunikasi menjadi lebih tereskalasi begitu masuk ke perbankan?

J: Ini pertanyaan bagus. Memang saya merasakannya ketika berkarier di perbankan. Yang membuat saya tertarik adalah bagaimana bank konvensional memadukan layanan banking dengan teknologi karena bisa emerge dengan sektor lain. Kita merasa tumbuh karena proses belajar terus berjalan.

Bank bicara segmen B2C, B2B, atau SME. Bank mendorong inisiatif bisnis untuk tumbuh. Apalagi ada mata rantai di belakangnya. Pemilik bisnis dibantu dengan layanan keuangan. Makanya bank agak berbeda karena lekat dengan semua sektor. Apapun bisnisnya pasti butuh layanan keuangan. Untuk simpan uang atau pembiayaan misalnya. Bank memahami business process. Itulah peran bank.

Ini yang membedakan telekomunikasi dengan perbankan karena sifatnya horizontal bukan vertikal. Sektor telekomunikasi fokus pada platform dan punya basis data kuat. Sebagai penyedia konektivitas dan penyimpanan data, perannya bagus. Selain itu juga mengakomodasi kebutuhan harian konsumen, misalnya pulsa atau paket data. Namun, telekomunikasi kurang dalam hal konteks [bisnis] sebuah sektor, kurang menguasai business process dari konsumen.

Di Telkom, ada misi [membangun] ekosistem digital. Saat itu saya mengembangkan [solusi digital], seperti health dan logistic. Namun, sebetulnya model bisnis Telkom adalah platform, infrastruktur. Sementara business process di sektor terkait bukan ranah Telkom. Artinya, butuh partner di sektor itu agar Telkom bisa engage dengan konsumennya.

Bagaimana Anda bertransisi dari BRI yang notabene fokus ke UMKM ke Allo Bank yang didukung mega ekosistem CT Corp?

J: Ini menarik. Saya menyadari bahwa kita perlu terampil berkolaborasi. Leadership akan berbeda, bukan lagi memimpin satu perusahaan, melainkan menyelaraskan dengan ekosistem. Kita mengorkestrasi ekosistem yang didukung frekuensi, kecepatan, dan pola pikir yang sama.

Misalnya, ada pertukaran value antara Allo Bank dengan Transmart. Belanja di Transmart cukup bahwa ponsel. Mungkin mereka akan merasa kolaborasi ini dapat menghasilkan data, jadi tahu apa yang disukai konsumen. Kita bisa lebih engage untuk memberikan hal baru. Konsumen bisa sering bertransaksi karena layanan lebih personalized. Jadi ke depan bisa semakin relevan. Ini semua menjadi value-driven. 

Di awal, mungkin masih banyak PR. Pemahaman di ekosistem masih baru, produk perlu banyak di-improve. Perlu waktu untuk menguasai produk sampai di tahap ‘oh pakai Allo Bank bisa lebih tumbuh’, itu seninya. Tantangannya bagaimana bermain sebagai ekosistem dan melakukannya bersama dengan tim. Pada dasarnya, semua akan bicara value.

Dari BUMN kini ke perusahaan swasta, apakah Anda kini merasa lebih nyaman untuk deliver sebuah inovasi?

J: Mestinya lebih mudah karena [sebelumnya] sistemnya lebih rigid dengan tata kelola sedemikian panjang. Sementara, di sini kita lebih punya speed yang diseimbangkan dengan kualitas. Speed bisa lebih dominan. Namun, saya tidak suka kemapanan dan senang terhadap hal-hal baru. Sejak di Telkom, saya memang begitu. Kalau kamu tanya apa INDIGO punya KPI? Ya tidak ada. Itu saya bikin sendiri sehingga jadi lah sesuatu. Maka itu, kita harus memadukan entrepreneurship dan strategic management.

Untuk menghadapi hal-hal yang tidak pasti, butuh keberanian mencoba. Ini saya terapkan ketika di Telkom maupun BRI. Sementara CT Corp berawal dari entrepreneurial sehingga lebih mudah pada aspek kecepatan. Yang penting, arahnya jelas dan punya pondasi kuat untuk memanuver gerakan kita ke depan. Ini sedang saya bangun di Allo Bank, tentu didukung Pak CT dan grup. Bagaimana Allo Bank bisa siap ke depan, tak hanya kecepatan, tapi fokus untuk menciptakan value.

Sebagai seseorang yang passion terhadap teknologi dan digital, apakah ada yang ingin Anda eksplorasi maupun belum tercapai saat ini?

J: Perjalanan saya masih jauh dan masih tahap awal, tetapi saya punya aspirasi yang jelas, yakni bagaimana menghadirkan kehidupan dalam satu genggaman, all in one.

Ke depan arahnya ada AI, crypto, hingga blockchain. Sekarang kita bicara Web3, tapi Jack Dorsey (Co-founder Twitter) sudah bicara Web5. Artinya, kita harus adaptasi terus agar dapat memberikan value baru dengan model bisnis yang saya rasa akan terus berkembang dengan Web3.

Kita juga akan berhadapan dengan kompetitor yang membawa pendekatan baru. Ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan berhenti untuk beradaptasi dan bertransformasi supaya [implementasi] bisa semakin luas.

EMTEK Tambah Kepemilikan Saham di Bukalapak

Perusahaan konglomerasi media PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK) melalui anak usahanya PT Kreatif Media Karya (KMK) kembali menambah kepemilikan sahamnya di PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA). KMK membeli sebanyak 724,30 juta saham atau setara 0,7% dari total saham pada 6 Juni 2022.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham tersebut dilepas dengan harga Rp317 per lembar saham sehingga nilai transaksinya mencapai 229,60 miliar Rupiah.

Dengan transaksi ini, kini KMK menggenggam sebanyak 24,63% dari sebelumnya 23,93% dengan status kepemilikan saham langsung. Tidak disebutkan secara rinci mengenai alasan pembelian saham ini, tetapi hanya untuk tujuan investasi.

Berdasarkan Laporan Tahunan Bukalapak, komposisi pemegang saham Bukalapak per 31 Desember 2021 terdiri dari KMK (23,93%), API (Hong Kong) Investment Limited (13,05%), Archipelago Investment Pte Ltd (9,45%), dan publik (53,58%).

Investasi EMTEK

EMTEK pertama kali berinvestasi di Bukalapak dengan memberikan pendanaan seri B pada Februari 2015. Kala itu Sutanto Hartono yang menjabat sebagai CEO EMTEK mengatakan, alasan akuisisinya terhadap Bukalapak adalah kesamaan visi-misi dengan perusahaan. Bukalapak dinilai dapat mengembangkan ekosistem lokal yang paling kuat.

Adapun saat itu, EMTEK masuk sebagai managing strategic partner dengan memberikan fresh cash money untuk mendukung pengembangan usaha Bukalapak.

Tidak disebutkan nominal investasinya, tetapi berbagai sumber menyebutkan bahwa EMTEK menyuntik Rp439 miliar ke Bukalapak. 
Berdasarkan laporan keuangannya, EMTEK justru telah berinvestasi di Bukalapak sejak 2014 dengan mencaplok sebanyak 459.200 saham atau setara 19,68% kepemilikan saham.

EMTEK melalui KMK beberapa kali melakukan penambahan modal sehingga kepemilikan sahamnnya di Bukalapak sempat naik menjadi 49,08% pada November 2015.

Kinerja keuangan

Berdasarkan kinerja keuangan kuartal I 2022, Bukalapak tercatat meraup laba bersih sebesar Rp14,5 triliun dari periode sama tahun lalu yang merugi hingga Rp323,8 miliar.

Perusahaan marketplace ini juga mengecap laba operasional RP14,42 triliun dari rugi Rp327,9 miliar, utamanya diperoleh dari laba investasi ke PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI). Sementara pendapatannya tumbuh 86% menjadi Rp787,9 miliar yang disokong oleh pertumbuhan lini bisnis Mitra.

Dirinci berdasarkan lini bisnis, Mitra masih menjadi motor pertumbuhan pendapatan Bukalapak dengan kontribusi sebesar Rp471,8 miliar di kuartal pertama 2022 atau tumbuh 227% dari periode sama 2021, yaitu Rp144,3 miliar.

Bisnis Mitra juga masih memimpin kontribusi terhadap total pendapatan dengan porsi 60%, naik dari kontribusinya di kuartal pertama 2021 yang sekitar 34%. Jumlah Mitra Bukalapak melesat dari posisi 6,9 juta per Desember 2020 menjadi 13,1 juta per Maret 2022.

Akulaku Ingin Tambah Kepemilikan di Bank Neo Commerce Hingga 40%

Akulaku berencana ingin meningkatkan kepemilikan saham di Bank Neo Commerce (BBYB) menjadi sekitar 40% atau lebih dari kepemilikannya saat ini sebesar 25,66%.

Mengutip dari DealStreetAsia, Founder dan CEO Akulaku William Li mengatakan, rencana tersebut terjadi karena Akulaku sedang mengumpulkan dana menjelang penawaran umum perdana (IPO) dan ingin mengonsolidasikan manajemen kekayaan dan bisnis asuransi sebelum pemisahan terpisah di Bursa Efek Indonesia.

Sementara itu, Bank Neo Commerce sendiri diperkirakan akan melakukan kembali rights issue pada kuartal III 2022 senilai Rp5 triliun untuk memenuhi persyaratan modal minimum yang ditentukan oleh OJK.

Sebelumnya, pada awal tahun ini, manajemen Bank Neo Commerce menjelaskan perseroan termasuk dalam kriteria yang diwajibkan untuk memenuhi modal inti Rp3 triliun paling lambat sampai tahun ini. Per tahun lalu, modal inti minimum Bank Neo Commerce telah memenuhi paling sedikit Rp2 triliun dengan melakukan dua kali aksi rights issue.

“Kami pasti ingin meningkatkan kepemilikan saham kami (di bank) dan kami akan berpartisipasi dalam rights issue berikutnya. Harganya saat ini bergejolak. Kami harus melihat harganya dan jika peraturan mengizinkan, kami ingin meningkatkan minat kami untuk lebih dari 40%,” kata Li.

Dalam dua kali rights issue di Bank Neo Commerce, Akulaku selalu berpartisipasi hingga kini menjadi pemegang saham pengendali yang menguasai 2,41 miliar lembar atau setara 25,66 per 24 Mei 2022.

Sejak masuk kedua entitas saling terintegrasi dari segi layanannya, salah satunya Bank Neo Commerce turut menjadi lender institusi di Akulaku. Lewat situ, Bank Neo Commerce mencatat telah menyalurkan pinjaman digital sebesar Rp2,2 triliun dengan tingkat outstanding Rp1,2 triliun.

Anak usaha di bawah Akulaku Group

Akulaku sendiri kini memperbesar cakupan bisnisnya di bidang finansial. Selain Bank Neo Commerce, awal bulan ini Akulaku melalui PT Pintar Belanja Indonesia (PBI) resmi menjadi pengendali baru di PT Inovasi Kredit Indonesia (iTruzz). Dalam pengumuman iTruzz seperti dikutip dari Bisnis.com, PBI telah mengambil alih saham sebanyak 60%.

Akulaku mencaplok iTruzz melalui dua mekanisme. Pertama, melakukan pembelian saham pemilik awal, kemudian melakukan injeksi modal melalui skema rights issue.

iTruzz merupakan startup pengembang solusi e-KYC untuk industri keuangan, sediakan teknologi pengenalan ID OCR, deteksi liveness, perbandingan wajah dan kemampuan lainnya, dan pengembalian hasil verifikasi penipuan identitas secara real-time. Kemampuan tersebut akan membantu perusahaan mengidentifikasi berbagai risiko kecurangan seperti simulator, kecurangan, multi-opening, dan rooting.

Akulaku Group juga membangun anak usaha baru yang bergerak di bidang wealthtech bernama OneAset (PT Pintar Platform Digital). OneAset merupakan superapp produk investasi, edukasi keuangan, dan komunitas.

Sejauh ini, OneAset membagi fiturnya menjadi dua jenis, yakni pembayaran tagihan dan produk finansial. Untuk produk finansial, menyajikan investasi reksa dana, SBN, dan emas. Besar kemungkinan, Asetku, anak usaha dari Akulaku Group, akan masuk ke OneAset untuk menambah misi OneAset sebagai platform satu pintu.

Menurut pemberitaan dari Bisnis.com, OneAset mengumumkan rencana akuisisi perusahaan manajer investasi PT Invesnow Principal Optima (Invesnow). Invesnow merupakan perusahaan manajer investasi yang memasarkan produk reksa dana dan memiliki izin terdaftar sejak Desember 2017.

Nama perusahaan Bidang usaha Skema
PT Akulaku Silvrr Indonesia E-commerce
PT Akulaku Finance Indonesia (Akulaku Paylater) Finansial Akuisisi dari PT Maxima Auto Finance
PT Pintar Inovasi Digital (Asetku) P2P lending
PT Bank Neo Commerce Perbankan Rights issue
PT Inovasi Kredit Indonesia (iTruzz) E-KYC Rights issue oleh PT Pintar Belanja Indonesia
PT Pintar Platform Digital (OneAset) Super-app investasi
PT Invesnow Principal Optima (Invesnow) Agen penjual reksa dana Rights issue oleh PT Pintar Platform Digital (OneAset)
Application Information Will Show Up Here

Carro Caplok 50% Saham Perusahaan Sewa Mobil “MPMRent” Senilai 783 Miliar Rupiah

Startup marketplace otomotif Carro mencaplok 50% saham milik PT Mitra Pinasthika Mustika Rent (MPMRent), anak usaha PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (IDX: MPMX) senilai $53,8 juta atau setara 783,8 miliar Rupiah. Melalui kemitraan strategis ini, Carro dan MPMX akan mengembangkan ekosistem otomotif O2O secara end-to-end di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, aksi korporasi tersebut disepakati lewat penandatanganan perjanjian jual-beli antara MPMX dengan Trusty Cars Pte Ltd (Carro) pada 31 Mei 2022. Carro akan menggenggam saham MPMRent dengan kepemilikan saham 50% dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh.

Berdasarkan data sumber yang diperoleh DailySocial.id, MPMX juga ikut menyuntik investasi ke Carro sebesar $25 juta atau sekitar 361,4 miliar Rupiah dalam putaran seri C tahun 2021 lalu.

Group CEO MPMX Suwito Mawarati meyakini kemitraan ini menjadi babak baru yang penting untuk menghadirkan ekosistem otomotif O2O yang terintegrasi, mulai dari marketplace, pembiayaan, sewa kendaraan, layanan perbaikan, hingga purnajual, untuk melayani pasar B2B dan B2C di Indonesia.

Adapun, kemitraan strategis ini disebut dapat terwujud berkat peran perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya Tbk selaku pemegang saham induk MPMX. “MPMX dan Saratoga percaya Carro dapat meningkatkan nilai strategis bisnis perusahaan dengan rekam jejak kesuksesan dan pengalaman operasional yang luas di ekosistem otomotif,” ujar Suwito.

Sebagai informasi, MPMX merupakan perusahaan otomotif dan transportasi terkemuka yang didirikan oleh William Soeryadjaya pada 1987. Sementara, Carro merupakan marketplace otomotif yang beroperasi di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Pertimbangan strategis

Disampaikan bahwa kemitraan ini menjadi upaya berkelanjutan MPMX untuk mengembangkan nilai (unlocking value) dari bisnis yang sudah berjalan, termasuk berinvestasi pada inovasi dan mengakselerasi transformasi digital perusahaan. Pasalnya, Carro memiliki ekosistem online yang terintegrasi dari pasar mobil, pembiayaan, big data, akses database kendaraan, termasuk teknologi computer vision dan algoritma harga.

Dengan menggandeng Carro, MPMRent dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar persewaan mobil terkemuka di Asia Tenggara, menyediakan akses ke jaringan bengkel, lokasi persewaan dan pelelangan nasional, memiliki basis pelanggan, dan mempertahankan kemampuan operasional yang kuat.

Selain itu, kemitraan ini akan memberikan nilai tambah bagi pelanggan dan dealer untuk membuka akses ke lebih banyak pilihan mobil bekas berkualitas, sedangkan, menghadirkan praktik manajemen dan kontrol kualitas lebih baik, dan meneruskan digitalisasi layanan MPMRent bagi pelanggan B2B.

Co-Founder & CEO Carro Aaron Tan menambahkan, “Kami tetap berkomitmen untuk berinvestasi dan memajukan bisnis kami di Indonesia meskipun situasi makro dan global penuh ketidakpastian. Kami tak sabar bermitra dengan MPMX untuk meningkatkan pertumbuhan dan memberikan pengalaman kepada pelanggan melalui ratusan engineer dan data scientist di grup Carro.”

Aksi serupa

Langkah ini juga ikut menandai semakin ketatnya persaingan platform marketplace untuk memenangkan pasar otomotif Indonesia, seperti Carsome, Carmudi, OLX, dan Moladin.

Sebelumnya aksi serupa di atas telah dilakukan oleh marketplace Carsome tahun lalu dengan berinvestasi pada perusahaan jasa lelang mobil dan motor offline PT Universal Collection (UC). Investasi ini memungkinkan Carsome untuk memperluas jangkauan jaringan, akses ke penyedia keuangan dan leasing, serta berpotensi memasuki pasar sepeda motor.

Ada pula Moladin yang baru pivot untuk fokus pada segmen jual-beli mobil bekas, kini tersedia di lebih dari 115 kota di Indonesia. Moladin memperkuat posisinya dengan strategi pemberdayaan jaringan agen dan platform omnichannel untuk menawarkan pengalaman transaksi mobil yang personalized. Baru-baru ini Moladin dikabarkan mengantongi pendanaan seri B senilai $95 juta atau setara Rp1,4 triliun.

Berdasarkan laporan Ken Research berjudul “Indonesia Used Car Market Outlook to 2025”, penjualan mobil bekas di Tanah Air akan didorong oleh adopsi omnichannel, digitalisasi layanan, dan meningkatnya permintaan di kota-kota tier 2. Platform mobil bekas diprediksi akan lebih fokus pada pengembangan layanan secara end-to-end yang memungkinkan konsumen bertransaksi secara online tanpa harus mengunjungi showroom. 

Maka itu, platform mobil bekas mempertimbangkan penerapan teknologi AI dan 3D untuk menciptakan pengalaman pengguna dalam melakukan penelusuran dan analisis mobil yang lebih baik. Selain itu, banyak dealer multibrand dan independen mulai memasuki pasar mobil bekas online untuk meningkatkan transaksi berbasis digital mereka. 

Application Information Will Show Up Here

Kevin Aluwi Tinggalkan Posisi CEO Gojek, Segera Diangkat Jadi Komisaris GoTo

Co-founder Gojek Kevin Aluwi akan mundur dari posisinya sebagai CEO Gojek dan bertransisi sebagai komisaris PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO). Keputusan ini akan efektif usai mendapatkan persetujuan pemegang saham melalui RUPST GoTo pada 28 Juni 2022 mendatang.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), peran dan tanggung jawab Kevin Aluwi akan dipegang oleh Andre Soelistyo yang saat ini juga menjabat sebagai CEO GoTo. Andre akan bekerja bersama tim manajemen Gojek untuk menjalankan bisnis on-demand GoTo.

Adapun, Kevin akan menggantikan posisi Caesar Sengupta di jajaran dewan komisaris GoTo. Namun, Caesar masih tetap menjalankan perannya sebagai anggota dewan komisaris di GoTo Financial.

Setelah hampir satu dekade memimpin Gojek, Kevin mengaku ini menjadi momentum yang tepat untuk mengambil peran lebih strategis dan tidak bersinggungan langsung dengan aktivitas operasional sehari-hari.

Ia optimistis dengan masa depan Gojek usai mencatatkan milestone signifikan lewat aksi mergernya dengan Tokopedia dan melantai di BEI sebagai perusahaan terbuka. Ia juga melihat pertumbuhan kinerja GoTo yang mencetak pendapatan kotor sebesar 58% di kuartal I 2022 serta pemulihan di bisnis mobilitas.

“Kami telah berinvestasi signifikan dalam membangun tim manajemen tangguh dengan berbagai latar belakang dan pengalaman, serta membangun nnilai-nilai perusahaan dengan etos kerja tinggi. Saya optimistis tim manajemen Gojek di bawah kepemimpinan Andre yang solid, akan terus menjalankan strategi untuk memperkuat layanan on-demand yang telah menjadikan Gojek bagian penting dari Grup GoTo,” ujarnya dalam keterangan resminya.

Dengan transisi Kevin mendatang, dapat dikatakan kini tidak tersisa lagi Co-founder Gojek dalam jajaran direksi GoTo. Sebagai informasi, Gojek didirikan oleh Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran. Nadiem kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, sedangkan Michaelangelo tercatat menjadi LP di sejumlah VC, seperti Intudo Ventures dan Antler.

Pengembangan kendaraan listrik

Kevin akan memperkuat jajaran komisaris GoTo untuk mendukung manajemen dalam mencapai visi dan misi mendorong pengguna dan mitra di ekosistemnya. Salah satunya adalah merealisasikan komitmen perusahaan menuju zero emission pada 2030 melalui pengembangan kendaraan listrik di Gojek.

Tak hanya itu, Kevin juga akan didapuk masuk ke jajaran anggota dewan komisaris Electrum, perusahaan patungan Gojek dan TBS Energi Utama yang fokus terhadap pembangunan ekosistem kendaraan listrik roda dua terintegrasi dan holistik di Indonesia.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Gojek dan TBS akan mengembangkan usaha bisnis dalam bidang manufaktur kendaraan listrik roda dua, teknologi pengemasan baterai, infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Lebih lanjut, dengan posisi barunya nanti, Kevin juga akan memiliki lebih banyak waktu luang untuk menyalurkan minat di bidang teknologi. Beberapa area yang ia minati dan akan dieksplorasi lebih dalam adalah web3, gaming, dan climate tech.

Selain perubahan susunan dewan komisaris dan direksi GoTo, RUPST ini juga membahas agenda penggunaan dana hasil IPO dan rencana penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dulu atau private placement.

Application Information Will Show Up Here

Telkomsel Hadirkan tSurvey, Platform Survei Digital dengan Pemanfaatan Data Telko

Telkomsel memperluas portofolio bisnis layanan digital dengan meluncurkan platform tSurvey.id. Ini adalah platform survei digital yang menawarkan solusi bagi seluruh kebutuhan riset pelanggan, baik dalam lingkup akademik, komersial lintas industri, sosial, maupun keperluan riset lainnya secara luas.

Solusi ini beririsan langsung dengan apa yang ditawarkan oleh JakPat, Populix, dan beberapa platform lainnya. Kapabilitas platform tSurvey ini diperkaya dengan data insight telco, sehingga memiliki beberapa keunggulan, mulai dari jangkauan basis responden yang luas, fitur respondent targeting dengan profil yang akurat, keluaran hasil yang lebih cepat, dan fitur manajemen survei yang user friendly.

Direktur Planning and Transformation Telkomsel Wong Soon Nam menuturkan, peluncuran platform ini merupakan bentuk nyata komitmen perusahaan dalam melanjutkan positioning sebagai digital ecosystem enabler dengan melahirkan inovasi dan teknologi terdepan.

“Juga bagian dari upaya kami untuk membantu dan memfasilitasi berbagai pemangku kepentingan, baik akademisi, profesional, LSM, dan lainnya dalam membuka lebih banyak peluang kemajuan dengan mendorong penguatan kultur pengambilan keputusan berbasis data,” ujar Nam saat konferensi pers virtual, Selasa (24/5).

tSurvey hadir sebagai hasil dari program inkubasi internal Telkomsel InnoXtion (kini Telkomsel TINC Polaris) yang bertujuan mendukung terciptanya data-driven decision-making culture.

Telkomsel sendiri memiliki basis pengguna yang besar mencapai 170 juta orang se-Indonesia. Terdapat pula data internet, suara, SMS yang dapat diutilisasi menjadi insight baru buat perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis, terutama yang sangat mengedepankan aspek konsumer.

Sejak tahun lalu, unit bisnis Data Solution Group Telkomsel melakukan berbagai pengembangan berkelanjutan guna memastikan tSurvey menjadi platform survei digital dengan kapabilitas unggul di pasar industri market research. Kemudian, pada bulan Desember 2021 tSurvey mulai diutilitasi secara komersial dan melayani kebutuhan riset pasar bagi sejumlah perusahaan di lintas industri, seperti ride hailing, e-commerce, dan FMCG.

Salah satu pengguna tSurvey adalah Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI) untuk pelaksanaan studi dan penyusunan laporan tahunan bertajuk “2022 Consumer Insight Report” untuk mengetahui perilaku konsumsi masyarakat Indonesia dari berbagai aspek. Dalam proses penyusunannya, tSurvey mampu mengumpulkan 1.500 responden se-Indonesia dalam waktu satu hari. Umumnya, dengan kuantitas tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

“Pengguna dapat menentukan sendiri respondennya, bisa berdasarkan behaviour, konsumsi penggunaan datanya, dan sebagainya sehingga hasilnya dapat lebih akurat. Juga tidak ada batasan maksimal responden,” tambah VP Data Solutions Telkomsel Mia Melinda.

Kompetitornya di pasar

Kehadiran tSurvey tentunya meramaikan platform survei digital di Indonesia, sebelumnya dihuni oleh Populix dan JakPat. Sejak tahun lalu, Populix memperbarui layanan “Populix for Business” dengan meningkatkan UI/UX guna memudahkan klien memperoleh banyak informasi tentang proyek riset yang mereka lakukan.

Melalui aplikasi baru tersebut, Populix memiliki ambisi untuk menjadi “toko serba ada” bagi bisnis dalam melakukan berbagai penelitian dan mendapatkan wawasan konsumen. Untuk mendukung pengumpulan data, aplikasi Populix kini dapat mengenali tagihan (misalnya dari pembelian di e-commerce) responden dengan teknologi optical character recognition atau pemindaian nota lewat kamera, dinilai akurasinya sampai 93%.

Konsep pengumpulan data melalui nota pembelian ini bukan hal baru, sebelumnya ada startup Pomona yang lakukan hal serupa untuk membantu brand memahami pelanggannya.

Tidak hanya Populix, layanan serupa juga disuguhkan startup asal Yogyakarta bernama Jakpat. Menggunakan aplikasi dan pendekatan gamifikasi, mereka mengajak masyarakat umum menjadi responden sebuah survei yang sesuai dengan kriteria/profilnya.

Dirut Bank Neo Commerce: Kami Tetap Bank, Tapi Menawarkan Cara Baru

Hampir dua tahun sudah PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB) meramaikan industri bank digital Indonesia. Dalam perjalanan singkat ini, Bank Neo Commerce (BNC) menyebut telah mencatat pencapaian yang cukup signifikan.

Salah satunya adalah pertumbuhan pengguna. Di awal peluncurannya pada Maret 2021, aplikasi banking Neobank meraup satu juta unduhan. Kini penggunanya melesat menjadi 17,4 juta pengguna.

Menyegarkan ingatan kembali, Bank Neo Commerce merupakan hasil rebranding dari PT Bank Yudha Bhakti Tbk usai dicaplok oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang kini menggenggam mayoritas sahamnya sebesar 24,98%.

Selengkapnya, DailySocial.id merangkum beberapa catatan menarik dari Direktur Utama Tjandra Gunawan saat mengisi sesi Fortune Indonesia Summit 2022 dengan topik “How to Become a Game Changer”.

Pencapaian BNC

Selain basis pengguna, Tjandra juga menyebut pencapaian lain dari pertumbuhan produk keuangan. Bekerja sama dengan Akulaku per Desember 2021, BNC juga mencatat telah menyalurkan pinjaman digital sebesar Rp2,2 triliun, dengan outstanding Rp1,2 triliun.

Kemudian, dana pihak ketiga yang dikelola BNC telah mencapai lebih dari Rp10 triliun, sedangkan aset BNC melenting menjadi Rp14,5 triliun dari Rp4 triliun di 2020.

Menurut Tjandra, pencapaian ini tak serta merta membuat posisi BNC kian besar. Apalagi, sebanyak 70% pengguna Neobank masih terpusat di Pulau Jawa dan sekitarnya. Menurutnya, ini masih menjadi PR besar untuk menjangkau inklusi keuangan di seluruh Indonesia.

“Kami melihat 40%-50% masyarakat Indonesia masih masuk kategori unbanked dan underserved. Mereka adalah golongan orang yang tidak memiliki akses keuangan, dan punya rekening bank, tetapi hanya dipakai untuk menabung. Setelah kami pelajari [pasar], bukan salah konsumen [kalau tidak punya rekening bank], tapi mekanisme perbankan yang tanpa sadar meng-exclude mereka,” paparnya.

Di samping itu, ujarnya, lebih dulu meluncur ke pasar tidak serta-merta akan membuat pemain bank digital memenangkan pasar. Ia menekankan pada pemanfaatan momentum sebagai aspek penting menghadirkan layanan kepada masyarakat. Dalam konteks ini, pandemi Covid-19 memberikan dorongan besar bagi BNC untuk mendigitalisasi layanan perbankan, tetapi dengan konsep berbeda.

Gamifikasi pada banking

Untuk menjadi game changer, Tjandra meyakini harus datang dengan konsep berbeda dari kebanyakan bank digital di Indonesia. Dalam wawancara terdahulu dengan DailySocial.id, ia juga mengungkap hal yang sama di mana layanannya harus dapat relevan dengan keseharian masyarakat.

Ada dua hal yang ia soroti. Pertama, umumnya orang mengakses aplikasi banking hanya saat ingin bertransaksi atau mengecek uang masuk, tidak ada aktivitas lagi di luar itu. Untuk melekatkan aplikasinya dengan keseharian pengguna, Neobank menyematkan fitur gamifikasi. Kedua, mereka punya fitur chat untuk memudahkan interaksi antarpengguna.

“Lewat gamifikasi ini, pengguna bisa menghasilkan koin dan dapat ditukar dengan tambahan suku bunga, uang cash, cashback top up. Dengan begitu, fitur-fitur kami tak cuma sekadar finansial saja. Kami tetap sebuah bank tetapi kami menawarkan cara baru,” tuturnya.

Dengan konsep gamifikasi ini, Neobank berhasil mengantongi sebanyak 20 juta unduhan aplikasi, dengan 17,4 juta di antaranya merupakan pengguna aktif.

Keuntungan bank digital

BNC diklaim sebagai bank yang berani menawarkan bunga deposit tertinggi di Indonesia dengan kisaran 8% per tahun. Apa alasan BNC di balik langkah berani ini?

Menurut Tjandra, menjadi bank digital memungkinkan perusahaan untuk menghemat dan meningkatkan efisiensi biaya pada komponen tertentu. Berhubung Neobank meluncur ketika pandemi Covid-19, perusahaan dapat mengurangi sarana fisik (physical presence) karena fungsi kantor cabang menjadi kurang berguna. Alhasil, ada penghematan pada biaya operasional.

“Karena kami transformasi dari fisik menjadi digital, biaya [operasional] pun turun. Saat itu kami punya dua pilihan; apakah [penghematan biaya] ini kami kantongi saja sehingga kami bisa profitable, atau [biaya] ini dikembalikan ke customer? Kami ambil opsi kedua.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here