Aruvana Paparkan Pemanfaatan Teknologi Imersif untuk Pemulihan Penyakit

Startup pengembang teknologi imersif Aruvana baru saja merilis perangkat VR bernama “Vinera” untuk mendukung pemulihan penyakit stroke. Perangkat ini dikembangkan bersama dua mitra strategisnya, yakni PT Media Brain Sejahtera dan dr. Hendry Gunawan, Sp.N (medical advisor).

Dihubungi terpisah oleh DailySocial.id, Co-Founder dan CEO Aruvana Indra Haryadi memaparkan lebih dalam soal pengembangan teknologi imersif miliknya. Dari riset yang dilakukan, ia menyebut bahwa teknologi tersebut dapat berkontribusi untuk mengatasi permasalahan di sektor kesehatan.

Pada aspek klinis, teknologi imersif dapat dimanfaatkan untuk pemulihan penyakit. Tahap awal, Aruvana menggarap produk Vinera untuk membantu proses terapi pasien stroke. Pasien dapat fokus melakukan pemulihan dari rumah dengan pengawasan dari tenaga kesehatan (nakes).

“Dokter saraf dan fisioterapi kebanyakan bekerja di RS atau klinik. Banyak pasien yang terkendala akses menuju ke sana. Teknologi imersif dapat membantu proses terapi tanpa mengurangi pengawasan dari nakes, data dapat terus dipantau,” tutur Indra.

Vinera dilengkapi dengan sistem gamifikasi, memungkinkan pasien untuk melakukan latihan terapi secara mandiri dan lebih menyenangkan. Adapun modul pelatihan dirancang secara komprehensif yang terdiri dari tugas dan permainan untuk meningkatkan fungsi motorik pasien, dan akan dipantau oleh para terapis dari jarak jauh.

Stroke tercatat sebagai penyebab kematian dan kecacatan nomor 1 di Indonesia sejak 2013, dan menjadi penyakit terbanyak dengan jumlah penderita mencapai sekitar 2,9 juta pasien di Indonesia, dengan tingkat prevalensi sekitar 10,9%.

“Kami sudah riset mendalam bagaimana VR dapat memberikan pengaruh terhadap pemulihan stroke. Sudah ada banyak temuan dari jurnal bahwa pemulihan stroke dengan dukungan perangkat VR dapat berpengaruh positif, terutama untuk bagian tubuh atas,” tambahnya.

Vinera adalah satu dari sepuluh peserta terpilih terkait inovasi pada program Health Innovation Sprint Accelerator 2023, hasil kerja sama Kemenkes dan East Ventures.

Untuk tahap awal, Aruvana baru bermitra dengan dua faskes untuk riset dan pengembangan Vinera. Targetnya di 2024, Vinera dapat digunakan di 100 faskes untuk mengkover 20.000 pasien penderita stroke yang ingin melakukan terapi.

Pada aspek nonklinis, produk dengan teknologi imersif juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses pembelajaran. Misalnya, praktik ilmu forensik. Indra mengakui bahwa pengembangan produk imersif di Indonesia masih sangat awal karena teknologinya masih baru dan use case bersifat eksploratif. Namun, kebutuhan dan potensinya sangat besar.

Pengembangan teknologi imersif

Aruvana mengembangkan produk imersif untuk tiga sektor utama, yakni healthcare, safety, dan education. Ketiga sektor ini diyakini dapat memberikan dampak besar terhadap masyarakat di Indonesia. Pihaknya bekerja erat dengan pemangku kepentingan di ketiga sektor ini untuk lebih memahami permasalahan yang dihadapi.

Di segmen safety, produknya digunakan untuk mendukung simulasi pada situasi darurat. Sementara di segmen pendidikan, Aruvana bekerja sama dengan UGM untuk memanfaatkan produk imersif pada proses pembelajaran/praktik mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK).

Ditanya soal aspek biaya, Indra berujar bahwa harga perangkat VR yang dipasarkan untuk ritel/individu justru kini 10 kali lipat semakin terjangkau dibandingkan tahun 2019–bahkan lebih murah daripada iPhone.

Namun, ia menilai bahwa biaya pengembangan teknologi maupun perangkatnya dapat terbilang relatif tergantung dari pemanfaatannya. Ia mencontohkan, metode pembelajaran prosedur laparoskopi dengan perangkat imersif bisa memangkas biaya 10% dibandingkan prosedur yang dilakukan secara konvensional.

“Biaya teknologi dan produk bisa lebih terjangkau karena mengejar hasil yang sama tanpa perlu mengeluarkan biaya yang sama pula. Namun, kita dapat mengurangi risiko atau proses yang repetitif. Kalau simulasi [tanpa produk imersif], harus mencari pasien, ada effort dan biaya yang dikeluarkan. Begitu melihat perspektif yang tepat, harga alat dan teknologi dapat menjadi sangat murah.”

Ryan Gondokusumo Buka-Bukaan Perjalanan Sribu Capai Profitabilitas

“Akhirnya, saya bisa tidur nyenyak setelah memutuskan untuk mengejar profitabilitas,” Founder Sribu Ryan Gondokusumo.

Bagi Ryan, mengejar pertumbuhan dan fundraising bak pertunjukan tiada akhir. Enam tahun ia lalui sebagai solo founder bukanlah hal yang mudah. Apalagi, ia mengakui di awal industri startup berkembang di Indonesia, sempat terdoktrin bahwa startup harus terus mengejar pertumbuhan.

Berbincang dengan DailySocial.id, Ryan menceritakan bagaimana perjalanan startupnya menuju profitabilitas. Selama enam tahun, Sribu mencari ‘bensin modal’ dari penggalangan dana, yang mana bagi Ryan adalah sebuah proses kompleks dan memakan waktu.

Sribu adalah startup penyedia jasa freelance dan crowdsourcing desain. Didirikan oleh Ryan Gondokusumo pada 2011, Sribu menjadi saksi pertumbuhan digital tanah air lebih dari satu dekade. Sribu berada di fase di mana saat itu hanya ada tiga venture capital saja yang berinvestasi di startup.

Sumber: Sribu
Sumber: Sribu

East Ventures adalah investor perdana Sribu pada 2012. Pada 2014 dan 2018, Sribu memperoleh pendanaan dari Asteria (sebelumnya Infoteria Corporation) dan CrowdWorks.

“Sebelum mengamankan pendanaan dari Asteria, saya sempat bicara dengan 80 VC selama satu setengah tahun. Sangat time-wasting.”

Eksperimen hingga kejar profit

“Saya merasa sampai kapan harus kejar growth. Kalau begini terus, minimal harus punya 2-3 co-founder. Sementara, saat itu saya sendiri. Baru dipertemukan dengan co-founder di tahun ketujuh kami beroperasi, yang kini memegang posisi CTO,” tuturnya.

Ia mengaku aksi bakar duit kerap berlangsung sejak 2012-2016. Sebelum melakukan penggalangan ketiga pada 2018, Sribu sempat bereksperimen; (1) memisahkan Sribu dan Sribulancer; serta (2) mengembangkan asisten virtual Halo Diana.

“Memisahkan Sribu dan Sribulancer adalah kesalahan. Saat itu, saya pikir pasar Sribu dan Sribulancer masih kecil. Saya bicara tanpa data. Kesalahan ini kami tebus dua tahun berhenti pengembangan fitur, cuma fokus mergering platform. Ini sulit karena portofolio kami sudah banyak sekali saat itu, datanya sangat besar,” ungkap Ryan.

Saat ini, Sribu telah melayani lebih dari 30 ribu klien dari 50 sektor industri. Jumlah freelancer mencapai 30 ribu, satu pertiganya adalah pengguna aktif.

Dari kisah pemisahan Sribu dan Sribulancer, Ryan dan timnya memutuskan mengembangkan asisten virtual bernama “Halo Diana”. Namun, lagi-lagi gagal dan tidak ada cukup resource untuk mengeksekusinya. Ryan masih berpikir untuk terus mengejar pertumbuhan sampai akhirnya modal menipis.

Tahun 2017 menjadi pivotal bagi Sribu karena di tahun itu perusahaan memutuskan arah navigasinya ke profitabilitas. Ryan berujar saat itu startup kesulitan mencari investor. Alasan lainnya, Sribu juga ingin scale up bisnisnya untuk melayani proyek lebih besar di segmen B2B.

“Pada tahun 2017 onward, kami sudah mengantongi keuntungan bersih. Kemudian, kami mendapat pendanaan dari CrowdWorks pada 2018. Saat itu, spending kami fokuskan untuk marketing, bukan hiring.

Akuisisi dan redefinisi bisnis

Akuisisi Sribu oleh Mynavi Corporation menjadi tonggak perjalanan selanjutnya untuk meredefinisi bisnisnya, yakni meningkatkan standar talenta Indonesia sebagai fokus baru.

“Kami menentukan kembali ke mana arah model bisnis kami. Saat ini, fokus utama kami ada di lima kategori. Kami berdiskusi dengan Mynavi, apakah mau masuk ke segmen blue collar, kategori lain, atau masuk ke konsultasi bisnis,” tuturnya.

Sumber: Sribu

Sribu akan meningkatkan level bisnisnya dengan menentukan standar emas; mengurasi satu per-satu dari total 30.000 freelancer, serta bertahap melakukan sertifikasi dan spesialisasi. Kurasi ini juga dalam rangka meningkatkan kualitas freelancer Sribu sejalan dengan rencana ekspansinya ke luar negeri dalam 2-3 tahun ke depan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja lepas di Indonesia telah mencapai angka 34 juta orang pada 2022.

Kepemilikan saham Sribu kini dikuasai mayoritas oleh Mynavi Corporation, menandakan pengambilan keputusan harus sangat diperhitungkan. Namun, ungkap Ryan, bukan berarti akuisisinya memengaruhi pengambilan keputusan maupun spending bisnis.

“Meski Mynavi adalah korporasi dan sangat hierarki, kami tidak ingin culture itu masuk karena bisa slow us down. Keputusan tetap ada di kami. Proses akuisisi memakan waktu dua tahun sehingga kami punya understanding lebih baik.”

Belajar dari kesalahan

Tujuh tahun perjalanannya menuju titik profitabilitas, Ryan menyebut tiga kesalahan yang ia pelajari saat membangun Sribu.

  1. Selalu mengandalkan data
    Pengembangan produk/layanan baru, atau pengambilan keputusan strategis tidak bisa berlandaskan perasaan. Selalu memantau perubahan atau tren baru untuk lebih memahami pasar juga wajib dilakukan. “Semua harus berbasis data. Apakah market size bankable, misalnya? Karena revenue model kami jelas, kami tahu how to make money,” ujarnya.
  2. Tak perlu ikut-ikutan
    Halo Diana adalah salah satu kegagalan yang terjadi pada pengembangan bisnis Sribu. Halo Diana tidak berlanjut karena tidak product-market fit, dan berakhir sebagai produk yang nice to have saja. “Jangan sampai ikut-ikutan membuat satu produk hanya karena perusahaan lain punya. Tekanan dari kompetitor pasti akan selalu ada. Fokus pada bisnis.”
  3. Pahami kapabilitas sendiri
    Jika ingin terus-menerus mengejar pertumbuhan, pahami sejauh mana kemampuan sumber daya yang dimiliki. Enam tahun menjadi solo founder, Ryan memutuskan untuk fokus mengejar profitabilitas demi keberlangsungan perusahaan.

Seeds Finance Usung Pendekatan “Social Investing” Bantu Investor Pemula

Rasio perbandingan populasi Indonesia dengan jumlah investor (pasar modal dan kripto) masih tergolong rendah. Mengutip dari KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia), per 9 Agustus 2023 terdapat 11,4 jumlah investor (saham, obligasi, dan reksa dana). Jumlah investor kripto bahkan angkanya telah melampaui, kini mencapai 17,6 juta.

Secara kuantitas, Indonesia tentu lebih unggul daripada negara tetangga. Tapi dilihat dari rasio penduduk masih kalah jauh. Dari data Agustus 2020 misalnya, saat itu investor saham di Indonesia mencapai 4,1 juta investor, atau 1,5% dari rasio penduduk. Dibandingkan negara tetangga, Malaysia 8,7%, Thailand 2%, Vietnam 2,6%, dan Singapura tertinggi mencapai 16,2% dari penduduknya investor saham.

Pekerjaan rumah di Indonesia masih banyak, tidak hanya meningkatkan rasio tersebut juga meningkatkan kualitas fundamental investornya soal dunia investasi. PR ini tidak bisa selesai bila dilakukan satu pihak saja. Seeds Finance menjadi salah satu startup yang turut serta meningkatkan kualitas investor dengan membuat landasan edukasi yang kokoh melalui konsep social investing.

Seeds Finance didirikan oleh Willy Tan, Cliff Tan, dan Wahyu Yudistiawan. Mereka bertiga menggabungkan pengalamannya di dunia finansial, teknologi, pasar modal di berbagai perusahaan global dalam membangun Seeds. Inisiatif mulai dijalankan sejak 2021, hingga akhirnya resmi diperkenalkan pada tahun ini.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-Founder & CEO Seeds Finance Willy Tan menyampaikan, Seeds didirikan karena terinspirasi dari pepatah asal Negeri Tirai Bambu, ‘Qiānlǐ zhī xíng, shǐ yú zúxià’. Artinya, perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah.

Konsep yang diusung Seeds adalah social investing, menggabungkan perdagangan virtual, gamifikasi, dan media sosial. Seeds memperkenalkan langkah pertama menuju investasi dengan: “play-to-earn” yang bebas risiko dan “learn-to-earn” berbasis komunitas.

Ia bercerita, pihaknya melakukan riset pasar terlebih dulu melihat profil investor di Indonesia dan Asia Tenggara. Disimpulkan bahwa ada tiga faktor yang akan ditemui investor ritel sebelum terjun ke dunia investasi, yaitu terlalu berisiko (risky), kompleks (memahami literasi dan istilah investasi tidak mudah), dan modal (berinvestasi termasuk mahal untuk masyarakat Indonesia).

“Sehingga Seeds Finance menghadirkan solusi dari tiga hasil riset tersebut. Solusi yang dihadirkan adalah dengan aplikasi social investing dengan education technology tanpa risiko sama sekali dan dikemas dengan gamification yang menyenangkan. Setiap chart dan candle adalah real-time based, baik untuk kripto, saham, dan instrumen lain,” kata Willy.

Didukung dengan basis komunitas, Seeds mempermudah pengguna untuk bergabung tanpa harus KYC. Mereka bisa sembari belajar dengan berbagai komunitas investasi yang telah terkurasi oleh perusahaan.

Produk Seeds Finance

Dijelaskan lebih jauh, Seeds Finance mengembangkan aplikasi edukasi investasi yang tidak memerlukan deposit, sehingga tidak ada risiko kehilangan uang saat mulai mengeksplorasi dan mencoba berinvestasi. Mereka dapat belajar membuat simulasi portofolio investasi tanpa risiko kehilangan uang sungguhan. Walau virtual, chart yang ditampilkan terjadi secara real-time membuat pengalaman investasi jadi lebih berkesan.

Selain itu, terdapat kompetisi perdagangan virtual berbasis gamifikasi dikenal sebagai ‘Turnamen Play Arena’. Kompetisi ini rutin digelar dan membuka kesempatan bagi peserta untuk memenangkan jutaan Rupiah. Kelas aset investasi yang saat ini tersedia adalah pasar saham Amerika Serikat dan aset kripto.

Menurutnya, dampak positif yang bisa diberikan dari konsep social investing adalah pengguna bisa mempelajari dunia investasi secara lebih menyenangkan melalui gamifikasi. Dengan ilmu dan literasi keuangan yang dihadirkan, pengguna dapat mencoba berbagai sudut pandang dan perspektif mengenai pandangannya terhadap proyeksi ke depan atas suatu kelas aset.

“Berinvestasi bukan hanya soal uang, tapi juga tentang memahami cara kerjanya. Dengan aplikasi Seeds Finance, kami bertujuan membantu generasi milenial dan gen Z Indonesia dalam membangun masa depan keuangan yang stabil dan aman,” imbuhnya.

Diklaim hingga saat ini, aplikasi Seeds telah diunduh lebih dari 50 ribu. Pengguna aktif bulanannya tembus ke angka 12 ribu orang, dengan pertumbuhan 400% dari bulan ke bulan. Sementara pengguna berbayarnya mencapai 3 ribu orang dengan pertumbuhan bulanan 500%.

Perbedaan antara pengguna yang berbayar dengan tidak adalah nominal hadiah yang berkesempatan mereka raih untuk setiap kompetisi yang digelar. Kompetisi ini punya tiket masuk yang harus dibayarkan sebelumnya oleh pengguna. Bila berbayar, hadiah yang diperebutkan lebih besar nominalnya.

“Dengan rata-rata dua game dimainkan per bulan per pengguna, kami telah mencapai lebih dari 100 ribu ARR (pertumbuhan 2.700% dari bulan ke bulan).”

Pertumbuhan tersebut dicapai melalui berbagai kegiatan edukasi yang dilakukan perusahaan dengan lebih dari 40 komunitas, mulai dari universitas hingga komunitas keuangan dari  Jabodetabek hingga ke luar Pulau Jawa. Yang terbaru, perusahaan berkolaborasi dengan Tokocrypto dalam rangka meningkatkan Seeds Academy, memperbanyak kursus dan konten.

Willy juga membuka kemungkinan Seeds dapat digunakan untuk investasi secara nyata, seperti aplikasi investasi pada umumnya. Ada kesempatan lainnya yang bisa digarap Seeds, yakni menjadi data analytic house, all-in-one platform konten investasi dan keuangan, platform pembelajaran gamified, dan sebagainya.

“Seeds akan terus melakukan pengembangan aplikasi agar semakin menyenangkan untuk dipergunakan, terus memperbanyak partnership dan kolaborasi dengan banyak pihak dan komunitas dan meningkatkan awareness kepada publik,” pungkas dia.

Disebutkan Seeds Finance telah mendapat dukungan dari pemodal ventura terkemuka seperti Ruvento Ventures dan Crestone Capital. Hanya saja, Willy tidak bersedia merinci terkait detailnya.

Walau belum ada yang persis mengadopsi social investing di Indonesia, terdapat pemain lainnya yang fokus mengedukasi dunia investasi, seperti Cuanz, Investly, dan Ternak Uang.

Application Information Will Show Up Here

Chief DTO Ungkap Update Transformasi Digital Kesehatan

Dua tahun lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan peta jalan transformasi digital untuk memperbaiki carut-marut di industri kesehatan. Salah satunya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Eksekusinya dilaksanakan oleh Digital Transformation Officer (DTO), divisi baru di lingkup Kemenkes dan dipimpin oleh Setiaji yang berpengalaman kuat di sektor teknologi dan birokrasi. Peta jalan ini memuat tiga fokus utama yang ditarget rampung pada 2024; integrasi dan pengembangan sistem data, sistem aplikasi pelayanan, dan ekosistem di teknologi kesehatan.

Bagaimana progres pelaksanaan peta jalan transformasi digital kesehatan di 2023? Berikut rangkuman wawancara DailySocial.id dengan Chief DTO Setiaji.

Progres: rekam medis hingga sistem AI

Di awal wawancara, Setiaji bicara soal standardisasi data sebagai tulang punggung seluruh ekosistem kesehatan. Mengapa demikian? Sejak lama, fasilitas kesehatan (faskes) beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Di sepanjang 2022, DTO merealisasikan sejumlah inisiatif untuk memuluskan integrasi dan keterhubungan data mulai dari peluncuran platform Satu Sehat, kodefikasi kesehatan (contoh: kode obat, alat kesehatan), hingga aturan untuk penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

“Tahun lalu, kami fokus merampungkan standardisasi data dan melakukan integrasi, dimulai dari Jawa dan Bali. Karena kami buat platform, bukan membangun sistem di faskes, jadi kami bertemu dengan pihak terkait, untuk memperkenalkan standardisasi ini,” ungkapnya.

Ia juga mengungkap progres integrasi pada rekam medis. Dengan transisi PeduliLindungi ke platform Satu Sehat, masyarakat kini dapat mengakses data kesehatan mereka. Setiaji bilang, baru sekitar 500 faskes yang mengirimkan data secara real-time dari target awal 10.000 faskes yang siap diintegrasi.

Standardisasi data kesehatan / Diolah kembali oleh DailySocial

Tahun ini, DTO tengah mengimplementasi sistem analisis kesehatan berbasis AI serta bioteknologi, hingga perizinan pengembang healthtech. Setiaji mengungkap sejumlah tenaga data scientist telah bergabung untuk mengembangkan permodelan untuk membantu proses diagnosis atau screening test penyakit tertentu.

Kemudian, pihaknya juga tengah mengulas hasil regulatory sandbox untuk platform telemedis. Beberapa poin yang diamati adalah lisensi tenaga kesehatan, cakupan praktik, dan keamanan data. Dari 60 platform mendaftar, sebanyak 15 dipilih agar kebijakannya nanti dapat mewakili setiap kategori.

Pihaknya juga tengah meminta input dari venture capital (VC) yang kini banyak terlibat dalam pengembangan teknologi kesehatan terkait klusterisasi layanan/produk.

“Dari regulatory sandbox ini, kami juga akan lihat terkait lisensi penyedia layanan telemedis, misalnya apakah sebagai platform atau klinik virtual. Contoh lain, nakes punya Surat Izin Praktik (SIP) daerah, harusnya punya SIP nasional untuk bisa cover secara nasional juga.”

Setiaji menambahkan bahwa aturan teknikal mengenai teknologi kesehatan akan diatur lewat Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) atau Peraturan Direktorat Jenderal (Dirjen). Sementara, Peraturan Pemerintah (PP) akan mengatur dalam sekop besar. Ini akan memudahkan pengembangan inovasi kesehatan di masa depan, tanpa perlu mengubah PP lagi.

Perlu diketahui, Pemerintah tengah mematangkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 344 menyatakan bahwa teknologi kesehatan akan diatur di dalam PP.

Lebih lanjut, DTO juga tengah menyiapkan Health Tech Space yang akan menjadi hub untuk mempertemukan ekosistem kesehatan. Health Tech Space juga akan berfungsi sebagai ruang advokasi terhadap regulatory sandbox, akselerator, dan inkubator. Bagi pelaku startup, ruang ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ide maupun inovasi kesehatan.

Sumber: DTO Kemenkes

Tantangan: akses internet hingga SDM

Dalam pelaksanaannya, Setiaji mengaku ada sejumlah tantangan yang menyulitkan proses integrasi data kesehatan. Pertama, tidak meratanya akses internet. Dari total 10.000 puskesmas di Indonesia, sebanyak 745 tidak memiliki akses internet yang memadai. “Untuk menangani hal ini, pemerintah memfasilitasinya dengan internet satelit.”

Kedua, masih banyak faskes tidak memiliki sistem untuk mengimplementasikan rekam medis elektronik (RME). Pemerintah berupaya mendorong keterlibatan startup atau platform penyedia solusi terkait sehingga faskes tidak perlu membangun infrastruktur dari awal.

“Startup-startup ini menawarkan solusi dengan model berlangganan, ada juga paket gratis selama satu tahun. Kami pernah melakukan riset di mana ada satu RS menghabiskan Rp2 miliar untuk rekam medis berbasis kertas. Nah, kami coba arahkan agar beralih ke elektronik,” ungkapnya.

Ekosistem healthtech di Indonesia / DS/X Ventures

Terakhir adalah tantangan pada sumber daya manusia (SDM). Sejak tahun lalu, DTO dan pemangku kepentingan terkait aktif menggencarkan kegiatan edukasi terhadap 10.000 tenaga kesehatan (nakes) terkait literasi digital. Edukasi ini diperlukan untuk memahami transformasi digital sektor kesehatan.

Dengan waktu tersisa satu tahun ke depan, DTO berupaya mengakselerasi agenda transformasi ini. Paling tidak, tahun ini dapat terealisasi integrasi di 30.000 faskes hingga akhir 2023. Apabila tidak terpenuhi, ada sanksi yang dikenakan sebagaimana diatur dalam PMK No. 24 Tahun 2022. Sanksi ini dapat berupa sanksi tertulis atau sanksi administrasi (misal, akreditasi diturunkan).

“Kami berupaya speed up dengan memperbaiki model registrasinya. Data faskes kan sudah ada, kami buat verifikasinya secara otomatis. Kami juga memisahkan tim untuk go-to-market dan tim operasional untuk integrasi. Nah, integrasi ini juga sebetulnya tidak harus full mencapai level 6, jadi bertahap. Transformasi digital harus berbasis gerakan, tidak bisa dilakukan DTO sendiri.”

BGSi: enabler inovasi biogenomik

Agustus lalu, Kemenkes baru saja meluncurkan program inisiatif pertama Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi) untuk mengembangkan metode pengobatan yang tepat bagi masyarakat. Keluarannya dapat menghasilkan produk diagnosis untuk pencegahan dan vaksin untuk perawatan penyakit.

Caranya adalah menggunakan teknologi pengumpulan informasi genetik (genom) dari manusia maupun patogen, seperti virus dan bakteri atau disebut Whole Genome Sequencing (WGS). “Targetnya dapat mengumpulkan 100 ribu sample pada 2025 untuk dipetakan data genomenya,” ujar Setiaji.

Setiaji mengungkap bahwa saat ini rancangan pelaksanaan BGSi tengah disiapkan, terutama rincian terkait biobank, bioregistry, dan ethical clearance. Targetnya, BGSi dapat menjadi enabler bagi ekosistem terkait untuk mempercepat inovasi biogenomik di Indonesia.

Selain alat sequencing, BGSi juga tengah mempersiapkan perangkat untuk menganalisis sample. Butuh perangkat komputasi tinggi karena sample membutuhkan data sangat besar, bisa sampai 300 GB per sample. Kami pernah coba pakai komputer biasa dan itu memakan waktu tiga hari. Dengan perangkat high computing, hanya 30 menit,” jelasnya.

Nantinya akan disiapkan juga portal hub yang dapat memfasilitasi sistem secara end-to-end, mulai dari data sequencing, transfer data untuk analisis, hingga pencocokan data sesuai rekam medis untuk mengetahui hasil genomik.

“Startup [di bidang genomik atau bioteknologi] juga nanti dapat mengirimkan sample kami. Ini memungkinkan mereka untuk menekan biaya R&D. Kami juga tengah menyusun revenue model dengan ekosistem terkait, mulai dari researcher, vendor, hingga startup.”

Perlu diketahui, program BGSi didukung oleh sejumlah investor dan kolaborator dalam dan luar negeri, termasuk The Global Fund, Panin Bank, Biofarma, dan East Ventures; serta melibatkan Illumina, BGI, Oxford Nanopore Technologies, dan Yayasan Satria Budi Dharma Setia.

Application Information Will Show Up Here

Startup Healthtech Good Doctor Beberkan Strategi Masuk ke Lini Korporat

Good Doctor Technology Indonesia mengumumkan telah menerima pendanaan seri A senilai $10 juta atau setara 156,6 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin  MDI Ventures dengan keterlibatan investor sebelumnya, yakni Grab. Suntikan investasi ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan Good Doctor, termasuk dengan meningkatkan kemitraan bersama lebih banyak institusi kesehatan.

“Dengan dukungan kuat ini, kami siap mengambil langkah selanjutnya dalam meningkatkan dan memperluas layanan kesehatan di Indonesia. Selain inisiatif kuratif yang kami lakukan saat ini, perusahaan bermaksud untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan dan promosi kesehatan yang sejalan dengan prioritas Kementerian Kesehatan,” ujar CEO Good Doctor Danu Wicaksana.

Optimalkan momentum pertumbuhan telemedis

Berdasarkan data McKinsey yang dihimpun pada Q3 2023, terdapat perubahan signifikan dalam perilaku perawatan kesehatan masyarakat Indonesia, hal ini didorong tren yang terbentuk selama pandemi Covid-19 berlangsung. Lebih dari 70% masyarakat berniat untuk menggunakan layanan telemedis, walaupun pandemi sudah dinyatakan usai.

Melihat kondisi pasar yang ada, ekosistem layanan telemedis memang sudah mulai matang. Konsumen dimanjakan dengan cara yang sangat efisien untuk terhubung dengan dokter yang mereka inginkan kapan pun. Variasi produknya juga lengkap, termasuk ke bantuan psikologis, ahli gizi, hingga konsultasi medis yang membutuhkan penanganan dokter spesialis.

Di sisi lain, platform telemedis juga mulai terhubung dengan ekosistem kesehatan yang lebih luas. Misalnya dengan apotek untuk memudahkan pengguna menebus obat yang disarankan dokter.

Tren permintaan telemedis yang tetap kencang turut diamini oleh para pemain di industri tersebut, tak terkecuali Good Doctor.

Danu mengatakan, “sesudah pandemi, kami mengamati tiga perubahan penting dalam perilaku pengguna Good Doctor. Pertama, selama pandemi, orang-orang mencari layanan kami terutama untuk masalah terkait Covid-19, namun kini mereka berkonsultasi dengan kami untuk berbagai penyakit lain seperti demam, gangguan pencernaan, maag, batuk dan alergi.”

Danu melanjutkan, “Kedua, ketika pandemi, konsultasi banyak dilakukan secara individual dan didanai sendiri, kini kami melihat banyak perusahaan yang memfasilitasi karyawannya untuk mengakses layanan Good Doctor secara gratis, dengan lebih dari 55 perusahaan asuransi dan lebih dari 2500 korporasi telah bermitra dengan kami. Ketiga, mereka yang menggunakan layanan Good Doctor selama pandemi masih mengandalkan telemedisin bahkan setelah pandemi berakhir karena mereka merasa nyaman dengan layanan tersebut dan sudah menjadi bagian dari layanan kesehatan rutin mereka.”

Good Doctor kini telah berkembang positif dalam satu tahun terakhir. Mereka kini memiliki lebih dari 15 juta pengguna dan secara khusus bisnis B2B telah tumbuh pesat bermitra dengan lebih dari 60 perusahaan asuransi dan lebih dari 2500 korporasi/startup/berbagai organisasi lainnya.

Perdalam fitur B2B untuk pelanggan korporat

Dari sejumlah layanan yang ada, Danu bercerita, bahwa yang cukup diminati akhir-akhir ini adalah vaksinasi. Good Doctor banyak membantu pelanggan individu dan korporat dalam mendapatkan vaksin demam berdarah, flu, dan lain sebagainya.

Sejumlah fitur baru juga banyak dikembangkan untuk memanjakan pelanggan korporat, seperti:

  • Plug-in; integrasi Good Doctor ke berbagai aplikasi dari perusahaan asuransi di Indonesia.
  • Co-payment; fitur yang memungkinkan mitra asuransi bisa menerapkan kebijakan co-payment untuk benefit tertentu, misalnya 80% ditanggung perusahaan dan 20% ditanggung oleh karyawan.
  • Surat sakit elektronik; karyawan perusahaan bisa mendapatkan surat sakit elektronik secara resmi dari dokter di Good Doctor ketika mereka sakit dan harus melaporkannya ke direktorat SDM perusahaan tersebut.

Good Doctor mencoba menghadirkan proposisi nilai yang kuat dengan menghadirkan ekosistem kesehatan yang paling lengkap dengan lebih dari 4500 jaringan apotek, rumah sakit, lab, klinik; dan kemampuan pengiriman obat instan di lebih dari 200 kota di Indonesia.

“Tahun depan kita berencana meluncurkan beberapa fitur dan layanan baru […] Kita berencana melakukan ekspansi bisnis ke segmentasi pelanggan yang lebih luas (misalnya lebih banyak korporat dan partner asuransi; ataupun segmen pelanggan lain); menambah fitur/layanan baru untuk meningkatkan customer engagement; dan juga memperkenalkan program-program preventif untuk membantu klien-klien perusahaan kami untuk menjaga kondisi kesehatan karyawannya dengan lebih baik sehingga biaya kesehatan perusahaan ke depan dapat terjaga dengan baik,” imbuh Danu.

Kini menjadi unit independen

Ketika hadir di Indonesia pada 2019 sebagai hasil joint-venture Ping An Good Doctor dan Grab, layanan Good Doctor menyatu sebagai telehealth yang terintegrasi dengan superapp Grab. Kemudian pada tahun 2021 Good Doctor hadir sebagai aplikasi terpisah dengan harapan bisa mengakselerasi pertumbuhan pengguna dan fitur-fitur di dalamnya.

Disampaikan dalam rilis pendanaan, bahwa kini Good Doctor sepenuhnya independen dengan porsi saham tertinggi dipegang oleh jajaran manajemen, sehingga membuat mereka lebih percaya diri untuk bisa bergerak lebih lincah dalam berinovasi.

“Hingga saat ini manajemen memiliki saham mayoritas sehingga bisa bergerak secara lebih independen dan agile. Dengan masuknya MDI, ini semakin menguatkan posisi Good Doctor, di mana mayoritas kepemilikan perusahaan dimiliki pemegang saham lokal Indonesia juga,” jelas Danu.

Terkait dengan masuknya MDI, Danu juga mengatakan bahwa akan banyak sinergi yang sedang direncanakan bersama grup konglomerasi telekomunikasi terbesar di Indonesia tersebut. Kerja sama tersebut akan menyentuh berbagai perusahaan yang berada di bawah Telkom. Bahkan disampaikan ada sejumlah kerja sama yang sudah berjalan, salah satunya dengan Admedika sebagai perusahaan TPA (Third Party Administrator) terbesar di Indonesia.

“Kami juga merupakan penyedia layanan kesehatan digital rawat jalan bagi beberapa perusahaan Telkom Group, seperti Telkom Akses, Metra, Telkomsel, dan beberapa [anak] perusahaan lain,” imbuh Danu.

CEO MDI Ventures Donald Wihardja mengatakan, “Kami mengakui kemajuan yang telah dicapai Good Doctor dan ketahanan model bisnis Good Doctor di Indonesia, khususnya di segmen korporasi. Dedikasi mereka dalam menyediakan layanan kesehatan yang mudah diakses dan berkualitas tinggi dengan memanfaatkan teknologi telah menarik perhatian kami. Kami melihat potensi pertumbuhan yang sangat besar dalam upaya ini.”

Rencana berikutnya

Danu percaya bahwa sektor healthtech di Indonesia sangat besar potensinya, karena jumlah populasi Indonesia yang besar dan penyebaran warganya di 13 ribu pulau lebih yang menjadi tantangan tersendiri. Kekurangan jumlah dokter, penyebaran dokter dan nakes yang belum merata, serta tekanan biaya kesehatan nasional yang terus meningkat di atas laju inflasi akan menjadi landasan penggunaan/adopsi teknologi yang lebih luas lagi ke depannya.

“Kami di Good Doctor siap membantu pemerintah Indonesia untuk memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali,” ucap Danu.

Selain itu turut disampaikan bahwa ke depan Good Doctor juga tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke segmen biotech, dengan melihat affordability dan scalability-nya. Danu dan tim melihat genomic, biotech dll akan sangat berguna untuk program preventif kesehatan ke depannya.

“Seperti yang disampaikan Pak Menkes, biaya kesehatan akan terus naik dan membebani APBN jika cara penanganan kesehatan kita hanya selalu dengan kuratif. Sehingga pendekatan preventif akan sangat dibutuhkan, dari yang paling simpel dahulu –diagnostik secara reguler, gaya hidup sehat, dan lainnya,” pungkas Danu.

Application Information Will Show Up Here

Startup Edtech Grou Jembatani Pencari Kerja Lewat Pengalaman Virtual

Pesatnya pertumbuhan startup digital di Indonesia, mendorong lahirnya jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Kondisi tersebut pada akhirnya menimbulkan kesenjangan ekspektasi antara pencari kerja dengan pemberi kerja.

Untuk mengatasinya, umumnya pemberi kerja melakukan serangkaian tes guna mendapatkan ekspektasi kemampuan si pencari kerja. Bisa dibilang untuk menempuh proses tersebut, investasi yang dikeluarkan tidaklah sedikit.

Aleisha Fiona (CEO) dan Unggul Reynawa (CMO), yang bertemu saat bekerja di Gojek, menawarkan solusi yang berbeda untuk mengatasi hal tersebut dengan meluncurkan Grou. Grou adalah startup edtech yang menyediakan platform marketplace khusus virtual work experience untuk mahasiswa dan pencari kerja mendapatkan pengalaman kerja secara virtual.

Sejatinya, Grou adalah hasil rebrand dari wadah komunitas pengembangan karier ReLearn yang sudah hadir sejak Februari 2020. ReLearn yang berbasis akun media sosial di Instagram ini dirintis dengan intensi awalnya sekadar untuk menyebarkan tips-tips seputar dunia kerja untuk mahasiswa dan pencari kerja yang baru merintis karier. Kemudian berkembang dengan menghadirkan program mentorship.

Terkait alasan pivot dan rebranding, Aleisha menjelaskan bahwa terdapat kesenjangan antara filosofi dengan nama merek sebelumnya. ReLearn itu artinya belajar lagi. Konteks belajar itu sendiri sangat luas. Sementara, filosofi yang selalu dibawa ReLearn adalah teman perjalanan karier. Di sisi lain, merek ReLearn sedikit mirip dengan startup sejenis yang sudah lebih dulu hadir di Indonesia, ada yang mengira subsidiary-nya.

“Awal 2022 kita mulai riset, seperti apa persona ReLearn. Mereka ingatnya teman karier karena jargon yang kita pakai itu ‘grow with ReLearn’ karena kita mau orang berkembang bersama kita. Kita gali terus sampai akhirnya yakin [untuk rebrand],” ujar Aleisha kepada DailySocial.id.

Tiga tahun mengembangkan ReLearn, Aleisha mempelajari bahwa program mentoring saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah yang di lapangan yang alami oleh para rekruter. Sebelum berkarier di ranah profesional, Aleisha pernah ikut menjadi penasihat karier di luar negeri. Tiap bulannya ia meninjau 300 lamaran pekerjaan yang masuk, sebagian besar para kandidat tersebut masih ragu dengan tujuan karier setelah lulus kuliah.

Di Indonesia saja, menurut data yang ia kutip, terdapat 8,3 juta fresh graduate yang tidak bekerja saat ini. Dari total tersebut, hanya 15 ribu orang yang memiliki akses ke program intership.

Berbagai pengalaman dan riset di lapangan, memantapkan dirinya untuk menyeriusi solusi pengalaman kerja virtual ini. Terlebih, ia juga melihat kesuksesan Forage, startup sejenis Grou asal Amerika Serikat, dengan konsep yang diusung untuk meyakininya diadopsi ke Indonesia.

“Indonesia mempunyai lebih dari 10 juta fresh graduates, sedangkan peluang magang di Indonesia masih sangat terbatas setiap tahunnya. Dengan adanya marketplace pengalaman kerja virtual yang diluncurkan oleh Grou, kami berharap agar bisa membangun peluang kerja yang lebih terdemokratisasi, sehingga siapapun bisa mendapatkan pengalaman pekerjaan, sekalipun untuk yang tertarik berkarier lintas jurusan.”

Produk Grou

Produk Grou saat ini ada dua, yakni virtual work experience dan komunitas. Produk pertama ini walau dilakukan secara daring atau virtual, program pengalaman kerja virtual Grou memiliki peluang besar untuk membantu rekruter perusahaan menyaring calon karyawan yang berkualitas dengan mudah.

Hal ini didukung oleh akses program yang bersifat gratis untuk para pencari kerja, serta fitur Digital Profile yang dapat membantu rekruter menyaring kandidat lebih mudah sesuai kebutuhan. Penggunanya dapat berasal dari kalangan mahasiswa, fresh graduate, professional, bahkan praktisi industri yang ingin bergabung sebagai mentor.

Dari sisi perusahaan, mereka dapat listing berbagai posisi pekerjaan dengan mencantumkan studi kasusnya melalui akses dasbor yang diberikan Grou. Calon pekerja dapat mengerjakan studi kasus tersebut, sesuai jenis pekerjaan dengan yang mereka mau.

“Jadi drive dari sisi job seeker itu, dia mau tahu apa saja yang ia kerjakan. Tapi dari sisi perusahaan, mereka bisa kontrol apa saja pekerjaan yang mau di-post. Mereka ada potensi membutuhkan kandidat tersebut atau amplifikasi employer branding-nya karena banyak orang yang enggak tahu pekerjaannya tuh kayak gimana.”

Aleisha melanjutkan, “Dari job seeker mereka dapat pengetahuan mengenai perusahaan tersebut. Mereka bisa tahu kalau misalnya jadi finance manager di perusahaan itu silabusnya apa saja yang harus dipelajari. Silabus ini kan yang missing di bangku kuliah. Itu yang kita trying to solve.”

Produk pertamanya ini baru dirilis pada 14 Oktober kemarin. Calon pekerja tidak dibebankan biaya untuk menggunakan solusi tersebut karena model bisnis yang dianut adalah B2B.

Grou juga memiliki program mentoring virtual untuk mendukung proses pengembangan karier generasi muda. Diklaim perusahaan telah bekerja sama dengan 150 praktisi industri untuk melakukan program mentoring karier bersama lebih dari 500 anggota komunitas di Grou. Para mentor ini berasal dari perusahaan teknologi, big 4 consulting, dan perusahaan bergengsi lainnya.

“Sekarang masih tahap awal, masih cari product-market-fit. Sembari itu kita expanding anggota komunitas karena apapun bentuk produk yang kita keluarkan akan tetap ada unsur komunitas yang melekat di dalamnya.”

Disebutkan Grou telah mengantongi pendanaan sebesar $40 ribu (Rp628 juta) dari lima angel investor. Latar belakang para investor ini beragam, ada yang dari industri game, hiburan, dan sebagainya. Aleisha menyebut pendanaan pra-awal ini masih berlanjut dan ditargetkan dapat meraup dana sebesar $175 ribu (Rp2,7 miliar).

“Kita ini masih kecil banget, jadi yang kita butuhkan adalah mencari investor strategis, yang bisa jadi mentor buat aku sebagai founder,” pungkasnya.

Refleksi Upbit Indonesia di Tengah Musim Dingin Kripto

Tak cuma industri teknologi, pasar kripto global ikutan ambruk tahun lalu—dan trennya masih berlanjut sampai sekarang. Tekanan makroekonomi global disebut sebagai salah satu faktor di balik merosotnya pasar kripto global, termasuk di Indonesia.

Kolapsnya kripto di Indonesia terlihat dari penurunan nilai transaksi di 2022 yang jeblok ke angka Rp306,4 triliun dari Rp859,4 triliun—pertumbuhan tertingginya sejak 2020 hingga saat ini. Data Bappebti mencatat nilai transaksi kripto pada Januari-Agustus 2023 turun 65% (YoY) menjadi Rp86,45 triliun.

Sumber: Bappebti / Diolah kembali oleh DailySocial

Bagaimana platform pertukaran aset kripto Upbit Indonesia merefleksi situasi tersebut?

Kelola risiko, fokus di satu produk

Upbit adalah platform pertukaran aset kripto milik Dunamu, startup teknologi keuangan asal Korea Selatan yang berdiri pada 2012. Selain Korea Selatan dan Indonesia, Upbit beroperasi di Thailand dan Singapura. Dunamu juga mengoperasikan platform investasi Stockplus dan U-Stockplus.

Upbit masuk ke Indonesia pada 2018 dan telah terdaftar di Bappebti. Pihaknya masih menanti lisensi perdagangan aset kripto. Sama seperti negara operasi lainnya di Asia, Upbit baru menyediakan layanan spot market untuk aset kripto di Indonesia. Ada 177 aset yang diperdagangkan.

DailySocial.id berbincang dengan VP of Operations Upbit Indonesia Resna Raniadi terkait krisis kripto yang masih berlanjut terlepas adanya tren kenaikan jumlah investor. Ia menyebut situasi ini justru menjadi momentum ‘seleksi alam’ untuk mengeliminasi pengguna-pengguna yang berkualitas.

Alih-alih fokus pada jumlah, menurutnya Upbit kini mengutamakan kualitas pengguna yang akan tercermin dari peningkatan volume transaksi. “Pengguna lama kami sudah lebih aware dan paham mengenai cara kerja kripto, bagaimana fluktuasi pasar. Industri [kripto] memang turun, tetapi akan meningkat kembali dalam jangka panjang,” tutur Resna.

Upbit mengoreksi target bisnis mengingat situasi pasar sudah jauh berbeda dengan lima tahun lalu. Resna membandingkan, jika target 100 ribu pengguna bisa diperoleh di 2018, angka ini tidak mungkin tercapai sekarang. Menurutnya, mengejar target pengguna di kisaran 20.000-50.000 lebih masuk akal.

Resna mengungkap, sejak beroperasi hingga sekarang, layanan Upbit disambut cukup baik oleh pasar Indonesia. Pihaknya mengaku mengantongi pertumbuhan signifikan pada saat pandemi di 2020. Kendati begitu, belum ada rencana untuk menambah layanan/produk baru untuk memperluas skala bisnisnya.

“Platform lain memang punya ragam fitur, seperti staking atau NFT. Namun, kami memilih untuk fokus di spot market. Bagi kami, bermain di produk baru akan menambah risiko—meski itu terukur. Jadi, kalau ada sesuatu terjadi, kami tidak ikut terseret dari risiko itu,” ungkap Resna.

“Di Upbit, kami memiliki proses KYC yang ketat dari pusat. Ini yang menjadi salah satu diferensiasi kami di pasar. Sejauh ini, belum ada rencana untuk menambah produk baru. Namun, kami menawarkan beberapa fitur, misalnya trading fee 0%, program referral code, dan trading competition untuk pengguna.”

Di Indonesia, sejumlah platform sejenis mulai menambahkan fitur staking alias fitur yang memungkinkan investor untuk menyimpan asetnya, layaknya deposito, dan mengucinya pada periode waktu tertentu. Fitur ini sudah ada di platform, seperti Pintu dan Reku.

Kepercayaan publik masih sulit

Terlepas dengan penurunan pasar kripto di Tanah Air, Resna meyakini appetite masyarakat untuk berinvestasi masih besar. Apalagi generasi muda kini semakin melek berinvestasi dan punya keinginan untuk mencoba.

Sumber: Bappebti / Diolah kembali oleh DailySocial

“Justru public trust menjadi tantangan yang sulit bagi kami selama lima tahun terakhir. Apalagi, beberapa tahun belakangan banyak kasus di industri kripto, seperti robo trading. Ini menjatuhkan kepercayaan yang telah kami bangun dalam tiga tahun ini,” ujarnya.

Secara umum ia mengaku optimistis masih ada peluang pertumbuhan bagi proyek blockchain lain di masa depan, misalnya DeFi atau NFT. Produk non-fungible token (NFT) memang dilaporkan kini tidak ada lagi harganya. Namun, ia menilai NFT dan proyek berbasis blockchain lainnya dapat bertahan selama dapat diolah sesuai kebutuhan yang relevan dengan pengguna. 

Saat ini, pihaknya tengah aktif berkomunikasi dengan regulator untuk mendorong agar ekosistem dan legalitas industri kripto dapat tetap terjaga. Apalagi, pengawasan perdagangan kripto kini sedang dalam proses transisi dari Bappebti ke OJK. Targetnya dapat rampung pada 2025.

Application Information Will Show Up Here

Tekad Ghufron Mustaqim Besarkan Belanja Ritel di Daerah Melalui Evermos

Perkenalan Ghufron Mustaqim dengan Lingga Madu yang merintis Salestock pada akhir 2014, berhasil ‘menjerumuskan’ dirinya lebih jauh ke dalam dunia startup. Tertarik dengan e-commerce dan berbagai tantangan di dalamnya, Ghufron bersama tiga kawannya (Arip Tirta, Iqbal Muslimin, dan Ilham Taufiq) merintis Evermos (Everyday Need for Every Moslem) pada 2018.

Evermos adalah startup pertama yang ia pimpin sebagai CEO sejak 2020, menggantikan Iqbal Muslimin. Ia tertantang untuk berkarier sebagai wirausaha karena proses jatuh bangunnya yang ‘seru’. Membuat suatu produk yang bernilai dan bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak menurutnya adalah puncak kenikmatan yang ia rasakan.

“Walau perjalanan sebagai entrepreneur itu enggak mudah, sangat banyak tantangan, tapi kalau kita dengar feedback positif dari user seperti puncaknya [kebahagiaan]. Saya pilih path ini karena seru,” ujarnya saat dihubungi DailySocial.id.

Selama terjun langsung di dunia ini, menurutnya ada dua aspek penting yang harus dimiliki oleh wirausaha. Pertama, buat produk yang bernilai tinggi. Pengguna dapat langsung merasakan masalahnya yang dialami dapat terselesaikan secara tuntas dan efisien, setelah menggunakan produk yang dibuat oleh tim.

“Kita buat produk bukan karena [punya keahlian] technical skill tertentu, lebih dari itu. Harus karena mengerti masalah di market, siapa target potensial penggunanya, pekerjaan mereka apa, dan apa solusi yang dibutuhkan agar pekerjaan pengguna cepat selesai.”

Kedua, membangun nilai bisnis secara berkelanjutan. Ini tak kalah penting, tapi seringnya banyak founder yang sadar belakangan. Banyak founder yang tahu bagaimana mencetak pendapatan dan monetisasi dari produknya. Tapi tidak banyak yang paham bahwa tak kalah perlu juga memiliki unit economics yang masuk akal dan mampu membuat sebuah produk bertahan lama.

“Ini sesuatu yang common sense, tapi enggak banyak dipraktikkan. Founder harus mengerti struktur suatu produk, lalu breakdown setiap detilnya, hingga mereka yakin bisa tetap deliver value dengan unit economics yang makes sense dan bakal long lasting.”

Para co-founder Evermos / Evermos

Semangatnya menggeluti dunia e-commerce sebenarnya dimulai dari pengalaman pribadi Ghufron di kampung halamannya di Sleman, Yogyakarta yang lebih banyak sawahnya daripada jumlah manusianya. Di sana mereka pintar dan pekerja keras, tapi karena pendidikannya terbatas, alternatif untuk lebih produktif menghasilkan pendapatan dari biasanya juga ikut terbatas.

Di sisi lain, ada banyak merek dari UMKM yang skala bisnisnya tidak berkembang pesat. Alasan utamanya karena kemampuan penetrasi pasarnya kurang bagus yang dipengaruhi oleh minimnya alokasi modal untuk memasarkannya. “Harus bangun distributor, kerja sama dengan toko, buat inventory di banyak tempat, jadinya modalnya besar. Banyak merek lokal yang akhirnya gitu-gitu aja.”

“Apa yang kita bantu adalah brand dapat melebarkan sayap dengan pasokan jaringan agen reseller yang bergabung di Evermos. Kita damping dan latih mereka agar jadi micro-entrepreneur yang berhasil.”

Ekonomi daerah

Seperti diketahui, industri e-commerce telah berdampak besar dan menarik perhatian dalam satu dekade terakhir. Namun, industri ini tetap menjadi bagian yang relatif kecil dari ekonomi Indonesia.

Mengutip dari laporan “Beyond the Digital Frontier” yang dirilis Evermos, dilihat dari “Survei Literasi Digital Indonesia”, dilakukan bersama Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Evermos memperkirakan bahwa 49,6% dari penduduk Indonesia adalah non-user e-commerce pada 2022.

“Jika Occasional User (mereka yang menggunakan e-commerce sekali dalam beberapa bulan) ikut dihitung, maka sebanyak 66,6% dari penduduk Indonesia sebenarnya pengguna e-commerce nonaktif,” tulis laporan tersebut.

Lebih lanjut, laporan tersebut menyampaikan untuk setiap satu pengguna e-commerce aktif, ada dua orang yang belum menggunakan e-commerce secara aktif. Disparitas ini terlihat lebih mencolok di kota-kota tier bawah. Di Jawa, diprediksi sebanyak 58,9% penduduk merupakan pengguna e-commerce nonaktif, sementara di kota-kota tier 2 dan 3 angkanya lebih tinggi, yaitu 61,1%.

Tidak hanya penetrasi internet yang lebih rendah di kota tier 2 dan 3, tercatat juga kesenjangan dalam tingkat familiaritas dengan e-commerce, ketersediaan aplikasi e-commerce di smartphone, dan frekuensi penggunaan e-commerce. Akibatnya, jumlah pengguna nonaktif meningkat seiring dengan penurunan tier kota.

“Estimasi ini sejalan dengan studi KIC lainnya yang mengungkapkan bahwa Sebagian besar penjualan e-commerce berasal dari kota-kota tier 1 (56,8% pada 2022), meskipun populasi kota tier 1 hanya 11,5% dari total populasi Indonesia.”

Evermos menerbitkan laporan ini untuk mematahkan dua mitos: (a) saluran online yang telah mendominasi pasar dan menjadikan saluran offline tidak lagi relevan serta; (b) perilaku belanja konsumen dan bias yang kuat terhadap belanja online.

“Pertumbuhan e-commerce ini cepat tapi enggak cukup untuk majority consumer di Indonesia. Brand yang fokus online saja akan missing out [kesempatan ini]. Cita-cita kita bantu brand untuk capture 80%-90% konsumer di lower tier cities,” tambah Ghufron.

Perusahaan memberdayakan merek lokal untuk menjangkau potensi permintaan konsumen di kota-kota kecil melalui jaringan reseller Evermos dan membantu meningkatkan bisnis secara berkelanjutan dengan memanfaatkan platform. Melalui kemitraan ini, reseller Evermos akan memiliki akses terhadap produk-produk yang menawarkan lebih banyak keuntungan bagi konsumen, seperti harga diskon yang hanya tersedia di Evermos.

Evermos

Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 yang tersebar sepanjang 5.100 km dari barat ke timur, keunikan geografis pasar Indonesia membuat ekspansi nasional menjadi mahal dan memakan waktu, terutama di kota-kota kecil.

Sejak didirikan, Evermos berkomitmen mengurangi tantangan logistik tersebut untuk memastikan pemerataan pada seluruh rakyat Indonesia, terlepas dari letak geografisnya, tingkat pendapatan atau gender. Termasuk, membina hubungan langsung dengan brand lokal agar lebih dikenal konsumen dan menawarkan solusi komprehensif untuk kebutuhan commerce setiap brand lokal.

Dengan bergabung ke dalam ekosistem Evermos, pelaku usaha lokal dapat menjangkau 500 kota di mana 165.000 reseller beroperasi tanpa modal besar.

“Kami ingin brand UMKM bisa scale up dari sisi marketing secara lebih baik. Ini long term journey, bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai karenanya butuh komitmen dari semua pihak.”

Dia juga memaklumi kondisi tersebut. Di satu sisi, semangat kewirausahaan reseller masih naik turun karena mindset-nya yang belum mampu tahan banting terhadap risiko gagal sebelum capai titik suksesnya. Pun dari sisi pemilik merek, mereka sendiri belum memikirkan standar operasionalnya yang efisien dan scalable. “Ada juga yang stoknya sering habis karena belum punya record stock yang baik.”

Sadar dengan tantangan tersebut, perusahaan menyiapkan tim terdedikasi penuh untuk mendampingi reseller dan merek. Disebutkan timnya telah menghabiskan ribuan jam per bulan untuk program pendampingannya.

Dari progres yang terlihat sejauh ini, ada brand yang sebelumnya mulai dari nol sekarang bisa terbantu, omzetnya naik lumayan. Ada juga reseller yang berkembang dari order dalam jumlah banyak, akhirnya bisa punya brand sendiri. “Milestone pengusaha mikro itu mulainya dari reseller. Ketika sudah yakin skala bisnisnya besar, kemudian jadi stockist, sampai akhirnya buat brand sendiri. Itu sesuatu yang bisa kita bantu.”

Kinerja perusahaan

Menurutnya, banyak yang menganggap Evermos seperti startup kebanyakan yang rajin bakar duit, mengingat mereka juga merupakan startup. Anggapan tersebut langsung dibantah. Berbagai data yang ia kutip menyebutkan bahwa faktanya unit economics di daerah tumbuh jauh lebih tinggi daripada kota utama. Banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut.

Alasannya, tak lain karena mayoritas transaksi ritel di daerah masih terjadi secara offline. Semakin pelosok maka semakin tinggi transaksi offline-nya. Diklaim selama pandemi, Evermos catatkan pertumbuhan 17 kali lipat dari top-line. Dari sisi bottom-line juga disampaikan semakin dekat dengan laba. Berdasarkan data terakhir yang diungkap perusahaan, pertumbuhan GMV mencapai 17 kali lipat dari 2020 sampai 2022.

Ghufron menuturkan, sedari awal perusahaan selalu memantapkan prinsipnya untuk menjaga pertumbuhan berkelanjutan. Jadi perbandingan antar bulan, maupun tahunan harus selalu dijaga sisi top-line-nya. Di saat yang bersamaan juga harus menjaga dampak yang senantiasa tersalurkan.

“Kita ini balance antara growth dan profit, jadi agak fleksibel tergantung timing-nya, enggak harus sekarang. Mau lama atau tidak kita capai profit, itu sudah dalam setting-an kita, bukan karena model bisnis ini enggak sukses berjalan,” pungkasnya.

Total reseller evermos disebutkan saat ini mencapai 165 ribu orang, sekitar 70% di dalamnya adalah ibu rumah tangga. Kategori produk yang paling banyak terjual di Evermos adalah perabotan rumah tangga, kecantikan, obat herbal, dan sebagainya.

Application Information Will Show Up Here

EdenFarm Bidik Profitabilitas pada Akhir 2023

Menyusul upaya restrukturisasi perusahaan, startup agritech EdenFarm mengambil sejumlah langkah untuk mencapai profitabilitas yang ditargetkan dapat terealisasi pada akhir 2023.

Pada September lalu, EdenFarm merumahkan 300 karyawan buntut menurunnya permintaan distribusi sayur di luar Jabodetabek–terutama dari segmen restoran dan pasar. Ditelusuri, Co-Founder EdenFarm David Setyadi Gunawan berujar pelemahan permintaan ini terjadi sejak awal tahun, ikut dipicu juga oleh faktor cuaca yang mengakibatkan harga komoditas turun.

“Kami tidak tahu pelemahan permintaan ini bakal terjadi sampai kapan. Maka itu, kami memutuskan untuk menghentikan distribusi di luar Jabodetabek dan kami tukar dengan produk bumbu [TuangTuang] saja, ini lebih banyak dibutuhkan. Ini keputusan sulit karena kami memotong 300 orang lebih,” tuturnya saat dihubungi DailySocial.id.

Namun, David mengungkap bahwa perusahaan sebetulnya telah menyiapkan langkah antisipasi sejak akhir 2022 mengingat tech-winter dan pelemahan ekonomi terus berlanjut di Indonesia. Pihaknya mulai meriset pasar untuk mengembangkan produk bumbu TuangTuang sebagai strategi menuju profitabilitas dan keluar dari lingkaran fluktuasi harga komoditas.

“Kami lihat sulit untuk dapat funding tahun ini dibanding tahun lalu. Dulu, kalau belum break even, masih ada pendanaan. Sekarang, kami harus hati-hati sekali dengan uang yang ada karena fluktuasi ini sangat berpengaruh terhadap upaya kami menuju profitabilitas tahun ini. Langkah menuju profit sudah ditargetkan di akhir 2022 begitu kami memperoleh pra-seri B. Kami berupaya memperkuat sisi suplai. Ketika venture funding berkurang, tidak ada lagi banting-banting harga, sehingga [pasar] tidak perlu berkompetisi dengan ketat,” jelas David.

TuangTuang telah meluncur secara resmi sejak awal September yang diklaim menuai traksi positif dari pasar. Produk Tuang-Tuang kini sudah tersedia di 10 kota, dalam dua bulan ke depan akan masuk ke gerai supermarket.

David menambahkan, bahwa pengembangan dan pemasaran TuangTuang tidak memakan biaya besar. Jika dibandingkan dengan bisnis intinya, distribusi sayur membutuhkan sekitar 600 orang, sedangkan TuangTuang butuh satu orang untuk memegang satu kota/provinsi.

Produk aneka bumbu dapur di bawah brand TuangTuang / Eden Farm
Produk aneka bumbu dapur di bawah brand TuangTuang / EdenFarm

Saat ini, pendapatan utama EdenFarm masih disumbang oleh distribusi sayur di kawasan Jabodetabek. “TuangTuang baru meluncur jadi porsi [penjualannya] masih kecil, sekitar Rp1,5 miliar. Kami target tahun depan TuangTuang bisa berkontribusi sebesar 30% terhadap total pendapatan EdenFarm.”

Pendanaan EdenFarm

Terakhir kali, EdenFarm menerima pendanaan pra-seri B pada akhir 2022 yang dipimpin oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Beberapa investor terdahulu yang pernah berpartisipasi pada pendanaan EdenFarm adalah AC Ventures, AppWorks, Y Combinator, hingga Investible.

David mengungkap fokusnya saat ini adalah mencapai profitabilitas sebelum membuka opsi penggalangan dana baru. Hal ini juga dikarenakan tahun depan memasuki tahun Pemilu. Investor berpotensi menahan diri untuk berinvestasi sehingga kemungkinannya kecil untuk menggalang dana pada kuartal I 2024.

Dengan tren penurunan pendanaan startup, ia mengakui bahwa situasinya memang sudah berbeda sekarang dibandingkan dulu. Jika pada 2019-2020, kesepakatan pendanaan bernilai jutaan dolar misalnya, dapat diteken dalam 1-2 bulan saja, kini sudah tidak bisa lagi.

“Dulu fundraising dilakukan dari [metrik] pendapatan saja karena VC berinvestasi dari high growth company. Sekarang tidak bisa begitu. Kami pun [terakhir penggalangan dana pra-seri B] butuh proses sekitar delapan bulan, dan itupun kita memakai metrik data dari apa yang sudah kami lakukan beberapa tahun–dan terbukti hasilnya,” tuturnya.

Pihaknya tetap membuka opsi penggalangan dana baru mengingat EdenFarm berencana untuk meluncurkan beberapa brand F&B baru yang berpotensi untuk diekspor. Adapun, saat ini pihaknya masih berupaya mendongkrak pertumbuhan distribusi sayur di segmen kuliner, menambah contract farming, dan mendorong pemasaran TuangTuang.

Application Information Will Show Up Here

Startup SaaS Fast8 Cetak Laba Setelah Enam Tahun Beroperasi

Investor asal negeri Paman Sam, Lead Edge Capital, dalam artikel lawas menuturkan ada empat alasan mengapa mereka menyukai startup SaaS (software-as-a-service) untuk didanai. Alasannya: (1) terdapat anuitas; (2) tingkat churn rendah dan pembaruan yang tinggi, menghasilkan konsumer bernilai tinggi; (3) Margin kotor yang tinggi sekitar 60%-80% dengan COGS (Cost of Goods Sold) utama adalah biaya kotor jaringan, pengiriman, dan personel layanan.

“Alasan keempat dan terakhir kami menyukai perusahaan SaaS karena mereka memiliki pengeluaran penelitian dan pengembangan yang jauh lebih efisien dibandingkan perusahaan perangkat lunak berlisensi tradisional,” tulisnya dalam blog perusahaan.

Alasan di atas terefleksi dalam kinerja keuangan Fast8 Group (PT Fatiha Sakti), induk perusahaan dari lima produk SaaS. Perusahaan tersebut mengaku sudah cetak untung pada 2022, selang enam tahun terhitung sejak produk pertamanya, Gadjian, hadir di 2016.

Tidak disebutkan nominal laba yang sudah diperoleh. Namun pertumbuhan pendapatan perusahaan secara keseluruhan mencapai 800% secara akumulatif sejak 2018-2022. Dibandingkan secara yoy rata-rata pendapatan naik antara dua hingga tiga kali lipat.

Revenue kami sudah jutaan dolar per tahun. Gross profit margin kami itu 80% per transaksi, sangat sehat,” ungkap Co-founder dan CEO Fast8 Afia Fitriati saat dihubungi DailySocial.id.

Fast8 sendiri memiliki lima produk SaaS, yakni:

  1. Gadjian: aplikasi pengelolaan SDM dan penggajian berbasis komputasi awan untuk perusahaan berkembang dan lean enterprises, membantu mereka mengurus tugas-tugas administrasi SDM yang rutin, seperti menghitung penggajian, perpajakan, iuran BPJS, dan rekrutmen.
  2. Hadirr: aplikasi yang membantu perusahaan dalam memonitor kehadiran dan produktivitas karyawan, baik saat bekerja dari rumah, kantor, maupun lapangan. Telah terintegrasi dengan Gadjian dan platform pengelolaan benefit karyawan Payuung. Solusinya telah digunakan di lebih dari 100 ribu karyawan di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
  3. Payuung: platform e-commerce untuk produk keuangan dan employee benefit. Sediakan aneka solusi pembiayaan, asuransi, investasi, dan produk-produk reward bagi karyawan bagi perusahaan (B2B). Juga, aplikasi mobile Payuung Pribadi yang menyediakan produk-produk keuangan dan wellness bagi konsumen individu (B2C).
  4. Baktiku: aplikasi presensi pegawai yang didesain untuk instansi pemerintah, baik pemerintahan pusat ataupun pemerintahan daerah. Aplikasi ini membantu mobilitas pegawai dalam bekerja, mulai dari pencatatan kehadiran, kunjungan dinas, tugas, hingga pengajuan reimbursement. Semua proses terdokumentasi lengkap secara digital.
  5. Pegawe: layanan penggajian dan administrasi SDM untuk karyawan outsource, juga membantu perhitungan pajak, pendaftaran BPJS beserta administrasinya, absensi kehadiran, dan konsultan SDM jika terjadi PHK.

Afia menuturkan, perusahaan dapat cetak laba karena sedari awal didukung oleh model bisnis sebagai SaaS, perusahaan software dengan gross margin yang sangat sehat mulai dari 80%. Ibaratnya, perusahaan langsung terima margin kotor sebesar 80% dari setiap paket berlangganan yang dibayarkan konsumen.

Model bisnis Fast8 seluruhnya adalah berlangganan, bentuknya ada yang bulanan dan juga langsung bundle setahun.

“Konsumen bayar di depan, sehingga sustainable tidak ada yang macet. Model ini yang buat fundamental bisnisnya pasti akan profit. Tinggal bagaimana menskalakannya. SaaS itu sangat mungkin profit. Di luar negeri banyak SaaS yang sudah decacorn, tetap private, tapi sudah profit.”

Tim Fast8 / Fast8

Tidak bakar duit

Afia mengaku dari hari pertama perusahaan beroperasi, selalu menanamkan diri pola pikir ke seluruh aspek organisasinya bahwa berbisnis itu harus profit dan tidak melakukan strategi bakar duit. Saat membuat pricing sudah ditentukan berapa angka yang jelas apabila ingin memberikan diskon.

Baginya sangat penting untuk dari awal semua tim mengetahuinya agar bisa berjalan bersama. Fasilitas gaji, benefit, dan fasilitas penunjang yang diberikan untuk karyawan Fast8 bukan tergolong kelas premium. Semua tetap diberikan secara layak, karyawan tetap dibuat nyaman saat kerja, walau kantor tidak se-fancy kantor startup kebanyakan.

“Kita justru bingung sama startup yang gila-gilaan kemarin kok bisa kayak gitu [kantor premium, gaji premium]. Startup yang banyak tutup itu menuai apa yang ditanam karena praktik-praktik seperti itu enggak sustainable.”

Dia melanjutkan, “Kantor kita biasa saja, tetap nyaman, tapi enggak berlebihan. Nyaman itu relatif kan ya. Di satu sisi, kita nemuin banyak hal yang kreatif untuk tetap bekerja produktif dan nyaman, tanpa harus bakar duit.”

Perihal penggajian, dunia startup ini begitu terkenal dengan budaya bajak membajak karyawan demi mendapatkan talenta terbaik. Menurut Afia, kebiasaan ini punya dampak yang buruk bagi perusahaan itu sendiri. Sebab, belum tentu karyawan yang bergaji premium ini memang layak mendapatkannya karena kapabilitas yang dimilikinya.

Hadirr

“Di tim kita biasakan no free lunch. Semua harus ada ROI [return of investment] dan logikanya jelas kenapa begitu. Sering ada mindset dari kandidat yang baru di-interview dan bilang bahwa dia layak digaji sekian karena sebelumnya dapat gaji segini. Padahal belum tentu kompetensinya selevel [gajinya]. Itu yang perlu di-challenge.

Dengan membawa budaya perusahaan demikian, Afia mengaku mayoritas karyawannya loyal terhadap perusahaan, sekitar 40% sudah menetap di sana antara tiga sampai enam tahun ke atas. Di dunia startup, banyak yang menganggap bekerja di satu perusahaan sampai tiga tahun itu terlalu lama. “Turnover paling tinggi itu biasanya baru gabung setahun di sini.”

Karena dari pola pikir sudah dibiasakan untuk selalu bijaksana dan disiplin setiap mengeluarkan belanja perusahaan, Afia mengaku justru pada saat pandemi ia dan tim tidak kaget kalau harus mengencangkan ikat pinggangnya.

“Kalau startup lain ketika ada yang dikurangi [benefit] pasti langsung terasa, tapi kami di masa itu karena terbiasa mengelola uang dengan disiplin cukup beradaptasi saja. Kita terbiasa untuk tidak neko-neko.”

Bisnis perusahaan ikut terasa karena terjadi dua tantangan yang berbeda sepanjang 2020-2023. Afia tidak merinci lebih lanjut secara angka. Namun ia menjelaskan, pada 2020-2021, tantangan saat baru terjadi pandemi adalah adaptasi kerja dari rumah. Saat itu banyak bisnis konsumer yang tutup.

“Tapi saat itu digitalisasi meningkat karena WFH, pengguna attendance kita meningkat, sehingga kita dapat durian runtuh.”

Kemudian pada 2022-sekarang tantangannya berbeda, pengguna absensi berkurang karena perusahaan yang awalnya menetapkan aturan WFH menganjurkan kembali ke kantor. Lalu, sekarang ada faktor ekonomi makro global yang mengakibatkan tech winter.

“Kita di laut ini pasti ikut terkena badainya [tech winter]. Konsumer yang terdampak ada yang mengeluh harus PHK dan itu ngaruh ke kita, [mereka] jadi sulit bayar langganan.”

Dia melanjutkan, “Jadi yang bisa disimpulkan, tantangan ada terus, perusahaan yang berhenti berlangganan juga bervariasi [industrinya]. Setiap masa ada tantangan tersediri, yang penting beradaptasi dan terus melihat metriks-metriks [kinerja keuangan] lebih tajam.”

Rencana berikutnya

Walau perusahaan sudah cetak laba, Afia mengaku tetap membutuhkan sokongan amunisi dari investor. Alasannya, Fast8 kini sudah berkembang dari sepenuhnya SaaS yang murni B2B menjadi SaaS enable marketplace yang target penggunanya sekarang B2B2E. Dana investor tersebut dibutuhkan untuk membesarkan model bisnis tersebut.

Namun karena metriks itu pula, pihaknya memiliki fleksibilitas kapan untuk mewujudkan rencana penggalangan dana. Bisa lebih selektif memilih investornya dan mengatur waktu penggalangannya agar momentumnya lebih tepat. “Sekarang belum aktif [fundraising], lagi persiapan untuk tahap berikutnya. Mungkin awal tahun depan.”

Mengutip dari Crunchbase, perusahaan, melalui Gadjian, mengantongi pendanaan debt pada 2022. Dua tahun sebelumnya, memperoleh bantuan non-ekuitas dari Google for Startups. Saat itu, Afia terpilih sebagai peserta dari total tujuh founder perempuan di Asia Pasifik mengikuti program bimbingan pengembangan keterampilan bernama Immersion: Women Founders.

Pada 2016, perusahaan mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures, diikuti Maloekoe Ventures.

Tips untuk founder baru

Di sela-sela diskusi, Afia menyampaikan dua tips singkat untuk founder baru dalam menyiapkan startup yang sehat secara finansial. Pertama, melihat model bisnisnya. Founder harus jujur pada diri sendiri, apakah unit economics-nya masuk akal untuk capai ke titik profit.

Hal ini ia terapkan dalam setiap peluncuran produk Fast8. Sebelum produk diresmikan, harus dipikirkan sumber pendapatannya dari mana, apakah itu masuk akal. Apakah benar ada orang yang mau bayar? Bagaimana retensinya, apakah bagus? Kalau jelek, akan berpengaruh pada biaya akuisisinya. “Jadi dari model bisnis harus benar-benar dipikirkan.”

Kedua, harus mengetahui metriks kunci untuk mencapai profit. Lalu terus monitor metriks tersebut. Adapun, metriks yang dipakai Fast8 adalah revenue lifetime value, consumer retention rate, dan biaya akuisisi. “Di vertikal mana pun metriksnya sama, itu-itu saja ujungnya,” pungkas dia.

Application Information Will Show Up Here