Bonza Dikabarkan Terima Tambahan Investasi dari Future Shape

DailySocial memperoleh kabar, salah satu portofolio East Ventures, startup analisis big data Bonza, mengantongi tambahan investasi sebesar $500 ribu (lebih dari 7,2 miliar Rupiah) dari Future Shape. Belum ada keterangan resmi yang disampaikan sampai berita ini diturunkan.

Future Shape sendiri adalah VC asal Prancis yang berinvestasi pada insinyur dan ilmuwan yang mengembangkan deep technology. Mereka turut berpartisipasi dalam pendanaan tahap awal Finantier pada bulan lalu, yang juga merupakan portofolio dari East Ventures.

Sebelumnya, East Ventures memimpin putaran pendanaan Bonza bersama Elev8.vc sebesar $2 juta pada Mei 2021. East Ventures juga merupakan investor awal dari startup yang baru dirintis tahun lalu oleh Elsa Chandra dan Philip Thomas tersebut.

Dalam putaran terakhir yang diumumkan perusahaan, Elsa selaku CEO Bonza menuturkan dana segar yang didapat diharapkan dapat mempercepat visi perusahaan menjadi perusahaan data terdepan di Asia Tenggara. Perusahaan sedang mengembangkan platform untuk mendukung perusahaan agar lebih baik dalam memproses data dan menggunakan solusi AI melalui no-code platform (penggunaannya tidak memerlukan coding).

Proposisi nilai

Pendekatan no-code yang sedang dikembangkan Bonza nantinya memungkinkan tim teknis dan non-teknis untuk membangun dan menerapkan solusi berbasis data dalam skala besar (big data).

Elsa melanjutkan, pembeda dari Bonza adalah platformnya menghilangkan friksi dan hambatan yang dihadapi suatu organisasi saat membuat dan menerapkan solusi berbasis data untuk pertama kalinya. Organisasi dapat mengintegrasikan berbagai sumber data dalam organisasi, kemudian membangun dan menggunakan model machine learning dalam user interface yang responsif.

Ilustrasi cara kerja platform Bonza / Bonza

Pengguna dapat mengotomatisasi integrasi data yang bertele-tele untuk pembuatan laporan, hingga pengurangan waktu implementasi solusi AI dari berbulan-bulan jadi beberapa hari. Contoh penerapannya adalah membantu pemilik layanan fintech membangun mesin mesin fraud detection secara real-time dan alat pemantauan yang dapat digunakan oleh tim fraud operations untuk mendapatkan wawasan dari tempat yang berbeda dan sumber data yang tidak terstruktur sehingga tingkat penipuan berkurang.

Potensi layanan big data

Pangsa pasar layanan big data memiliki kecenderungan untuk bertumbuh dari tahun ke tahun, tak terkecuali di kawasan Asia Pasifik. Di tahun 2020, market size-nya diproyeksi telah mencapai $138,9 miliar dan akan meningkat sampai $229,4 miliar di tahun 2025.

Faktor utama pertumbuhan pasar ini dinilai adanya ketersediaan data [digital] yang melimpah di organisasi. Melalui program transformasi digital yang dicanangkan, pebisnis selalu mencoba menjadi lebih kompetitif dalam meramu strategi. Salah satu pendekatannya dengan mengonversi data-data tersebut menjadi wawasan bermanfaat. Melalui analisis big data, sebuah bisnis juga bisa meningkatkan efisiensi operasional.

Alat-alat big data masa kini memiliki kapabilitas untuk memproses data terstruktur maupun tidak terstruktur dari beragam sumber, seperti log di aplikasi, media sosial, formulir layanan, bahkan dari sumber data pihak ketiga.

Kebanyakan penyedia layanan menyajikan sebuah platform berbasis cloud, berbentuk SaaS yang bisa dilanggan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Kendati para pemain dengan solusi spesifik seperti Bonza terus bermunculan, pemenuhan layanan di pasar global masih didominasi oleh raksasa teknologi seperti Microsoft, Teradata, IBM, Oracle, Google, Cloudera, Salesforce, hingga SAP.

Gambar Header: Depositphotos.com

Ribbit Capital Dikabarkan Pimpin Pendanaan Seri A untuk Pinhome

Startup proptech Pinhome dikabarkan mendapatkan pendanaan seri A senilai $25,5 juta atau setara 369,3 miliar Rupiah. Dari informasi yang kami dapatkan, Ribbit Capital memimpin putaran tersebut. Ini sekaligus menjadi investasi kedua mereka di Indonesia setelah sebelumnya memimpin pendanaan seri A platform investasi Ajaib.

Beberapa investor lain juga turut andil dalam pendanaan Pinhome, di antaranya Goodwater Capital, Insignia Ventures Partners, dan Global Founder Capital selaku unit investasi milik Rocket Internet.

Ketika dihubungi DailySocial, pihak Pinhome enggan memberikan tanggapan terkait pendanaan. Mereka hanya menyampaikan saat ini fokus utamanya meningkatkan jumlah listing dan memperluas kerja sama dengan stakeholder di bidang properti.

Selain itu, mereka juga mengatakan tengah gencar melakukan ekspansi untuk layanan on-demand Pinhome Home Serivice. Saat ini layanan tersebut sudah bisa digunakan di 14 kota termasuk Jabodetabek, Bandung, Malang, Sleman, Sidoarjo, dan Surabaya. Pengguna bisa mengaksesnya melalui fitur  GoService di aplikasi Gojek.

Diferensiasi layanan

Didirikan oleh CEO Dayu Dara Permata dan CTO Ahmed Aljunied sejak tahun lalu, Pinhome hadir dengan tujuan memfasilitasi transaksi properti agar lebih mudah, cepat, dan transparan dengan bantuan teknologi.

Dalam sebuah kesempatan wawancara Dara menjelaskan, “Pinhome sangat berbeda, kami adalah sebuah platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Sebagai pemilik properti akan sangat dimudahkan karena ke depannya kami akan memiliki akses ke ratusan ribu agen yang siap membantu memasarkan propertinya.”

Di Indonesia sendiri, layanan proptech cukup berkembang pesat. Beberapa pemain, khususnya dengan fitur listing, mendapati traksi yang cukup mengesankan. Selain itu beberapa model bisnis lain juga mulai hadir di lanskap digital, seperti layanan pembiayaan.

Startup proptech di Indonesia
Startup proptech di Indonesia, data per akhir 2019

 

Sementara di kancah regional, persaingan makin mengerucut di dua grup besar, yakni PropertyGuru (unitnya di Indonesia: Rumah.com dan Rumahdijual.com) dan 99.co (sempat mengakuisisi Urbanindo). 99.co juga menjalin kerja sama strategis dengan REA Group, yang sebelumnya terlebih dulu akuisisi iProperty — termasuk di dalamnya platform Rumah123 di Indonesia.

Namun dengan layanan yang lebih spesifik dan menekankan pada hal-hal kultural, startup lokal seperti Pinhome, Travelio, Mamikos, Rukita, dan sebagainya mencoba memenangkan pasar lokal.

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Tutup Putaran Pendanaan Seri B 1,49 Triliun Rupiah

Platform B2B marketplace untuk FMCG, GudangAda kembali mengantongi investasi sebesar $100 juta atau sekitar 1,49 triliun rupiah. Investasi ini merupakan putaran pendanaan seri B yang dipimpin oleh Asia Partners dan Falcon Edge.

Adapun Sequoia Capital India, Alpha JWC Ventures, dan Wavemake Partners kembali berpartisipasi pada pendanaan ini. Menurut GudangAda, investasi ini telah melampaui target awal yang ingin dikumpulkan, yakni sebesar $75 juta. Dengan tambahan pendanaan baru, GudangAda kini telah mengumpulkan total keseluruhan investasi hingga $135 juta.

Co-Founder Falcon Edge Navroz D. Udwadia mengatakan, selama bertahun-tahun berinvestasi di sejumlah kategori marketplace, sosok Stevensang dinilai memiliki kemampuan eksekusi bisnis dalam waktu singkat. Maka itu, ia optimistis GudangAda menjadi marketplace terbesar bagi UMKM Indonesia

“Dengan penelitian dan percakapan yang kami lakukan dengan para prinsipal, grosir, dan pengecer, kami yakin dengan return on investment (ROI) GudangAda dan manfaat yang ditawarkan kepada seluruh ekosistem,” ujarnya.

Memperkuat bisnis di rantai pasokan

Founder dan CEO GudangAda Stevensang mengatakan, perusahaan kini berada di posisi tepat untuk memberdayakan seluruh pemain di ekosistem rantai pasokan Indonesia, mulai dari produsen, distributor, grosir, hingga pengecer. GudangAda mengatakan layanannya telah digunakan hampir setengah juta pengguna di lebih dari 500 kota tier 1 hingga tier 3 dengan model monetisasi komprehensif dan ekosistem lengkap.

“Kami akan memperbesar tim GudangAda dan memperkuat ekosistem layanan kami mulai dari logistik, sistem pembayaran (POS/SaaS), pemasaran, data, hingga layanan keuangan. Kami juga akan memperkuat posisi kami dengan mengembangkan kecerdasan buatan untuk menawarkan layanan personalisasi terbaik kepada para pedagang UKM,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Sementara CFO GudangAda JJ Ang menilai minat besar investor kali ini menjadi bukti keberhasilan GudangAda dalam membangun platform dengan modal efisien dan meraup pertumbuhan. GudangAda menyebut sudah mulai memonetisasi bisnisnya sejak kuartal pertama 2020.

GudangAda mengklaim sebagai salah satu platform B2B marketplace dengan pertumbuhan tercepat dan modal terproduktif di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan catatannya, GudangAda mengantongi Net Merchandise Value (NMV) sebesar $6 miliar dalam waktu kurang dari tiga tahun.

Sementara, nilai investasi terakumulasi kurang dari $35 juta dengan rasio efisiensi permodalan sebesar 170 kali. Kemudian, layanan GudangAda Logistik tercatat naik dua kali lipat setiap dua bulan sejak meluncur pertama kali di pertengahan 2020.

Menerapkan konsep bisnis asset-light dan capital-efficient, GudangAda telah bekerja sama dengan para pemilik bisnis kendaraan dan gudang, termasuk juga di antaranya dengan UMKM member GudangAda. Di luar kerja sama tersebut, GudangAda juga menawarkan sistem layanan manajemen transportasi dan gudang yang dinamis untuk memudahkan mitra mendigitalisasi bisnisnya.

GudangAda menawarkan one-stop solution kepada pelaku UMKM sehingga memudahkan akses berbagai produk secara efisien. Dengan menyasar sektor FMCG, GudangAda telah memperluas kategori produknya ke produk obat-obatan, farmasi, hingga peralatan rumah tangga. Sejak perluasan kategori ini, GudangAda mengalami peningkatan transaksi dari puluhan ribu UMKM.

Saat ini, GudangAda telah bermitra secara resmi dengan lebih dari 65 prinsipal, baik lokal, nasional, dan multinasional. Investasi ini salah satunya digunakan untuk memperluas kerja sama dengan lebih banyak prinsipal.

UMKM sebagai pangsa pasar

Sebagaimana diketahui, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diestimasi mencapai lebih dari 65 juta per 2020. Dengan percepatan akselerasi digital tahun lalu, laporan e-commerce enabler SIRCLO mengungkap bahwa peritel online diperkirakan dapat berkontribusi sebesar 24% di 2022. Dalam laporannya, penjualan di kanal digital dapat dimaksimalkan, terutama oleh brand FMCG yang memasarkan produk sehari-hari.

Layanan marketplace B2B seperti GudangAda memungkinkan para pelaku UMKM tersebut mendapatkan stok produk secara lebih efisien.

Sebenarnya tidak hanya GudangAda yang melakukan hal tersebut. Beberapa pemain lain seperti Ula juga menggarap potensi yang ada. Di samping itu dengan pendekatan berbeda, para raksasa online marketplace menggalakkan strategi O2O untuk memudahkan pedagang kecil mengakses berbagai produk — misalnya yang dilakukan oleh Mitra Bukalapak atau Mitra Tokopedia.

Digitalisasi proses tersebut, untuk jangka panjang, juga memberikan potensi bagi UMKM untuk mendapatkan manfaat lebih banyak, termasuk dalam kaitannya dengan finansial. Salah satu skenario yang mulai digalakkan, data-data transaksi yang dibukukan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu variabel skoring kredit untuk membantu pelaku UMKM mendapatkan akses pembiayaan modal. Sehingga akan mendukung upaya mereka meningkatkan kapabilitas dan ukuran bisnis yang dirintisnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup F&B On-demand Dailybox Kantongi Pendanaan Seri A Dipimpin Vertex Ventures

Dailybox, startup F&B on-demand, mengumumkan perolehan investasi seri A yang dipimpin Vertex Ventures SEA. Putaran ini turut didukung Kinesys Group. Kendati tidak disebutkan di dalam rilis resmi, sumber DailySocial mengatakan dana yang diperoleh mendekati $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah).

Co-Founder dan CEO Dailybox Kelvin Subowo menyampaikan, pihaknya menyambut pendanaan ini dengan sangat antusias. Perusahaan berencana untuk fokus mempercepat ekspansi bisnis ke seluruh Indonesia dan mengembangkan sistem dapur terpusat (central kitchen) agar dapat terus meningkatkan kualitas layanan kepada konsumen.

“Saat ini Dailybox telah hadir di beberapa kota di Pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Bali. Pada Agustus mendatang, kami berencana untuk membuka gerai pertama kami di Pontianak. [..] Kami berharap Dailybox dapat menjadi brand F&B lokal terbesar yang dapat memperkenalkan makanan nusantara tidak hanya di Indonesia, tapi juga Asia Tenggara bahkan seluruh dunia,” terangnya, Kamis (22/07).

Senior Executive Director of Vertex Ventures SEA Gary Khoeng menambahkan, “Ketika berinvestasi, kami selalu mencari startup yang berpotensi menjadi calon juara regional. Di tengah berbagai ketidakpastian saat ini, kami melihat Dailybox secara konsisten menunjukkan performa yang baik di industri ini.”

Pertumbuhan bisnis dan dampak pandemi

Kelvin menambahkan, pandemi yang sudah terjadi sejak tahun lalu memang telah membawa dampak yang luar biasa di banyak aspek, tak terkecuali industri F&B. Namun, kondisi tersebut tidak menghalangi pertumbuhan bisnis Dailybox. Pada Maret kemarin, gross revenue (pendapatan kotor) perusahaan secara grup tumbuh hingga 700% secara YOY.

Omzet penjualan Dailybox naik 80% berasal dari layanan pesan antar makanan online. Angka ini sejalan dengan fokus utama perusahaan yang fokus pada layanan pesan antar makanan.

Selain itu, kurang dari satu tahun, peningkatan gerai juga tumbuh drastis hingga 300% menjadi ratusan gerai pada semester I 2021. Pencapaian menobatkan Dailybox sebagai F&B brand yang memiliki jaringan cloud kitchen terbanyak di Indonesia. “Kami akan menggandakan jumlah gerai pada akhir tahun ini.”

Startup yang didirikan pada 2018 ini adalah bagian dari The Daily Group (PT Sendok Garpu Internasioal). Dalam grup ini menaungi beberapa brand F&B lainnya seperti menu sushi-to-go, Shirato, dan minuman segar, Anytime. Dailybox menghadirkan berbagai menu masakan rumahan yang terjangkau dan cocok dengan lidah masyarakat Indonesia.

Perusahaan berkolaborasi dengan chef ternama, seperti Juna Rorimpandey dan Renatta Moeloek, menghadirkan 30 pilihan menu beragam. Dalam menjalankan operasionalnya, Dailybox menerapkan sistem dapur terpusat untuk menjaga kualitas makanannya dan berkolaborasi dengan operator cloud kitchen seperti GrabKitchen, YummyKitchen, dan mitra individu Dailybox, DailyPartner.

Didorong platform food delivery

Hadirnya food startup didorong pertumbuhan pesat bisnis food delivery yang menjadi infrastruktur distribusi mereka — termasuk juga di sisi pembayaran karena layanan food delivery yang menguasai pasar berbentuk super app.

Menurut data yang dihimpun Momentum Works, per tahun 2020 pertumbuhan bisnis pesan-antar makanan di Asia Tenggara mencapai 183%. Peningkatan ini didukung layanan pengantaran instan ala Grab, Gojek, Foodpanda, Deliveroo, dll. Bisnis ini telah membukukan GMV mencapai $11,9 miliar dengan tren yang terus bertumbuh.

Pertumbuhan bisnis food delivery di Asia Tenggara / Momentum Works

Spesifik untuk pasar Indonesia, pada tahun 2020 GMV yang dibukukan layanan pesan antar mencapai $3,7 miliar dengan dominasi layanan GrabFood (53%) dan GoFood (47%).

Aruna Umumkan Pendanaan Seri A 507 Miliar Rupiah

Startup aquatech Aruna mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan seri A senilai $35 juta atau setara 507 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Prosus Ventures dan East Ventures dengan partisipasi SIG serta investor sebelumnya seperti AC Ventures, MDI Ventures, Vertex Ventures, dan beberapa investor lainnya.

Pendanaan ini diklaim menjadi seri A terbesar di Indonesia saat ini, khususnya di sektor pertanian dan perikanan.

Sebelumnya tahun 2020 lalu Aruna membukukan tambahan untuk pendanaan awal senilai $5,5 juta dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Selanjutnya dana segar akan difokuskan Aruna untuk meningkatkan ekspansinya di lingkup nasional dan memperkuat infrastruktur rantai pasoknya. Selain itu mereka ingin membuka pasar baru dengan menambah varian komoditas, serta meningkatkan kapabilitas teknologi dan data analisisnya.

“Pendanaan ini akan membantu kami dalam meningkatkan jaringan nelayan dan penambak kami di seluruh Indonesia dalam memenuhi tingginya permintaan global. Aruna bercita-cita untuk menjadi solusi yang nyata dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir,” ujar Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam.

Bersamaan dengan ini, perusahaan juga menunjuk Budiman Goh sebagai President; dan salah satu co-founder mereka Utari Octavianty sebagai Chief Sustainability Officer.

“Aruna akan terus mengombinasikan kapabilitas teknologinya dengan local insights dan juga studi kasus dari pasar global, sembari menjaga ekosistem, memberdayakan masyarakat pesisir dan memenuhi permintaan dari pasar global,” imbuh Utari.

Seperti diketahui, Aruna didirikan sejak tahun 2016. Selain Farid dan Utari, ada juga Indraka Fadhlillah sebagai co-founder. Lewat teknologi mereka ingin mentransformasi rantai pasok perikanan untuk memenuhi pasar global. Diharapkan digitalisasi dapat memperpendek proses dan membuat prosesnya lebih ringkas plus terintegrasi.

Potensi sektor perikanan

Indonesia saat ini menjadi produsen ikan kedua terbesar di dunia dengan ukuran pasar mencapai $30 miliar. Industri ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan, terdaftar lebih dari 3 juta nelayan.

Berdasarkan data BPS, produksi perikanan di Indonesia memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2014 peningkatannya bahkan di atas 20%. Luas kawasan konservasi pun terus meningkat, data terakhir per tahun 2017 ada sekitar 19,14 juta hektar.

Tidak hanya dikonsumsi di dalam negeri, produk ikan juga menjadi salah satu komoditas ekspor yang menjanjikan. Sejak tahun 2012, pasar Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok menjadi tujuan ekspor yang terus digenjot.

Statistik industri perikanan nasional / Kementerian Kelautan dan Perikanan

Hadirnya Aruna dan startup perikanan lainnya memang menjadi angin segar bagi industri ini. Selain dalam hal produksi dan distribusi, idealnya efisiensi proses bisnis juga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang perikanan. Sejauh ini ada beberapa startup perikanan yang terus meningkatkan inovasinya, termasuk eFishery, Jala, hingga Danalaut dengan pendekatan bisnis dan produk yang berbeda-beda.

Hypefast Dikabarkan Mendapat Pendanaan Seri A Senilai 203,5 Miliar Rupiah (UPDATED)

*Pembaruan per 23 July 2021: Pihak Hypefast mengoreksi bahwa perusahaannya mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” alih-alih “Direct to Consumer”. Keduanya memiliki perbedaan dalam hal distribusi brand produk, yakni melalui e-commerce dan kanal sendiri.

Hypefast dikabarkan telah membukukan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 203,5 miliar Rupiah. Dari data yang kami peroleh, putaran ini dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures dengan partisipasi Jungle Ventures, Strive, dan Amand Ventures.

Ketika dihubungi, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri memilih tidak memberikan komentar terkait pendanaan ini.

Ia menyampaikan, saat ini perusahaannya sedang fokus untuk menumbuhkan merek yang ada dalam portofolionya. Sampai saat ini, sudah ada lebih dari 20 brand yang ada dalam jaringannya, mengelola lebih dari 150 tim di seluruh Asia Tenggara. Dengan model bisnis yang dijalankan, Hypefast juga mengaku sudah profitable sejak tahun pertamanya.

Seperti diketahui, Hypefast berinvestasi dan mengakuisisi startup “Digital & E-commerce Native Brands” yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi brand global. Selain dukungan kapital, di dalamnya pemilik merek juga mendapatkan banyak dukungan mulai dari pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis.

Brand yang diakuisisi seperti pengembang produk busana, makanan, perawatan tubuh, dan lain sebagainya — yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual secara langsung ke konsumen melalui berbagai kanal, khususnya online marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dll. Dua contoh startupnya adalah Boonles dan NOORE Sport Hijab.

D2C mendapat momentum

Startup D2C atau new economy memang tengah menjadi perhatian di tengah perkembangan digital saat ini.  Di Indonesia juga mulai ada beberapa investor yang mulai menjamah secara serius startup D2C, di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, ANGIN, BRI Ventures, dan Salt Ventures.

Di kancah global, khususnya Amerika Serikat, putaran investasi ke startup D2C sudah cukup kencang sejak beberapa tahun terakhir. Kendati demikian, menurut data CBInsights, secara global performanya menurun di tahun 2020, salah satunya diakibatkan oleh pandemi.

Di Indonesia D2C justru seperti tengah mendapatkan momentum di tengah kehadiran [yang cukup marak] generasi entrepreneur baru. Faktor penting yang menjadi penyokong adalah tingginya minat konsumen dalam berbelanja di platform online marketplace – setiap tahun trennya mengalami pertumbuhan pesat membukukan GMV yang signifikan. Data terbaru dari Google, Temasek, dan Bain&Company per tahun 2020 GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk dari banyak brand. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

Raksasa digital di Indonesia juga memiliki perhatian khusus ke startup D2C. Misalnya yang dilakukan decacorn Gojek, mereka memanfaatkan program akselerator Xcelerate untuk menjaring startup D2C lokal untuk dibina dan dibantu melalui kekuatan di ekosistem layanannya.

Amartha Angkat Rudiantara sebagai Komisaris, Sekaligus Rilis Aplikasi “Amartha Plus”

Amartha mengumumkan Rudiantara, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019, kini bergabung sebagai Komisaris Utama efektif 1 Juli 2021. Pengalaman matang Rudiantara di bidang teknologi diharapkan dapat berkontribusi terhadap ambisi perusahaan yang ingin mempercepat digitalisasi UMKM.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar perusahaan pada hari ini (19/7), Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menuturkan salah satu pencapaian penting dari Rudiantara adalah membangun kebijakan-kebijakan mengenai infrastruktur digital di wilayah remote untuk mendukung UMKM.

“Amartha merasa terhormat menyambut Bapak Rudiantara menjadi bagian dari keluar besar Amartha. Amartha optimis kehadiran beliau akan memberikan wawasan dan kebijaksanaan dalam membangun kepemimpinan dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan perusahaan,” ujarnya.

Rudiantara turut menambahkan. Ia mengaku merasa terhormat karena dapat bersama-sama dengan Amartha mengakselerasi layanan keuangan untuk kelompok unserved dan underserved yang belum bisa terlayani oleh sektor perbankan. Menurutnya, tidak hanya fokus pada pembiayaan mikro, Amartha juga fokus pada segmen perempuan.

“Ini yang jadi alasan saya bergabung dengan Amartha. Ini basisnya teknologi, tapi yang buat berbeda adalah mereka sasarannya UMKM yang punya dampak sosial luas, UMKM, perempuan, produktif, dan berkelanjutan. Ini yang buat saya terhormat bergabung dengan Amartha,” kata Rudiantara.

Rilis aplikasi Amartha Plus

Dalam kesempatan yang sama, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menuturkan perusahaan meluncurkan aplikasi Amartha Plus yang dikhususkan untuk para mitra peminjam di Amartha agar lebih tersentuh dengan teknologi. Aplikasi ini melengkapi dua platform sebelumnya yang dikhususkan untuk petugas lapangan (field agent) dan pemberi pinjaman.

Peluncuran aplikasi ini sekaligus dalam rangka realisasi dari perolehan investasi sebesar $28 juta yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures pada awal Mei 2021.7.19

“Sebelum ada aplikasi ini, field agent bertugas untuk input proses pendaftaran secara online. Tapi sekarang mitra bisa mengajukan langsung lewat aplikasi, field agent kami akan sebagai sampling surveyer, jadi dana akan cair lebih cepat sekitar 15 menit selesai,” terang Hadi.

Dalam Amartha Plus saat ini memiliki tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

“Ini baru berjalan Juni, jumlah mitra yang bergabung sudah ratusan untuk batch pertama. Soon kami targetkan bisa jadi puluhan ribu karena di SRC ini network-nya sudah jutaan warung, tapi yang sudah online itu ada sekitar ratusan ribu.”

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

“Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan kami.”

Hadi menuturkan kehadiran aplikasi baru ini dapat memperdalam penetrasi smartphone di Indonesia, terutama di pedesaan. “Berikutnya kami akan mengembangkan inovasi lain yang berkaitan dengan perdalam penetrasi smartphone lebih tinggi agar dapat dipakai untuk usaha, dan bantu mitra jadi lebih less cash untuk pembayaran angsurannya.”

Saat ini dari 719 ribu mitra Amartha yang sudah bergabung sebagai peminjam, sekitar 60% di antaranya bergerak di usaha perdagangan, seperti warung makan, kelontong, fesyen, toko mainan anak, dan lain-lain. Komposisi pemilik usaha warung makan dan kelontong mendominasi sekitar 20%-30% di kelompok usaha ini.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, Amartha telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp914 miliar naik 35% secara YOY untuk 203 ribu mitra. Menariknya, dari portofolio penyaluran ini sekitar 60% disalurkan ke luar Pulau Jawa (Sumatera dan Sulawesi). Angka ini meningkat 196,62% secara YOY.

Taufan menyebut kinerja tersebut akan terus ditingkatkan mengingat kebutuhan pendanaan mikro di luar Jawa masih sangat luas dan belum tergarap secara maksimal oleh pemain fintech saat ini. “Kami menargetkan dapat memberdayakan hingga 1 juta mitra pada akhir tahun ini,” pungkasnya.

Performa bisnis fintech lending

Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Dari waktu ke waktu jumlah penyaluran pinjaman juga terus meningkat. Sektor produktif pun cenderung mendapatkan porsi sedikit lebih banyak ketimbang konsumtif.

Application Information Will Show Up Here

Desty Peroleh Pendanaan Pra-Seri A 46 Miliar Rupiah Dipimpin 5Y Capital

Startup penyedia situs mikro Desty kembali mengumumkan perolehan pendanaan putaran pra-seri A senilai $3,2 juta atau sekitar 46 miliar rupiah. Pendanaan baru ini dipimpin oleh 5Y Capital. Sejumlah investor juga turut berpartisipasi di antaranya Fosun RZ Capital, January Capital, IN Capital, dan East Ventures.

Sekadar informasi, 5Y Capital merupakan VC asal Tiongkok (sebelumnya bernama Morningside Venture Capital) yang fokus pada pendanaan tahap awal. 5Y Capital pernah berinvestasi di Xiaomi dan Kuaishou. Saat ini, Desty menjadi portofolio investasi pertama 5Y Capital di Indonesia.

Desty adalah platform digital yang membantu kreator konten, influencer, dan penjual di media sosial untuk memasarkan dan menjual produk mereka. Pengguna dapat membuat situs mini yang diletakkan pada tautan bio media sosial atau toko online secara gratis hanya dalam beberapa menit. Konsepnya mirip dengan Linktree dengan fitur yang lebih luas.

Desty didirikan pada Oktober 2020 oleh Mulyono Xu (CEO) dan Bill Wang (COO). Keduanya memiliki pengalaman dan keahlian membangun e-commece selama 17 tahun di bawah naungan Alibaba Group. Startup ini sebelumnya telah mengantongi pendanaan tahap awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari East Ventures.

Melalui tambahan investasi ini, perusahaan masih fokus untuk menambah jumlah tim dan meningkatkan basis penggunanya. Menurut Mulyono, saat ini tim Desty diperkuat oleh talenta-talenta yang telah berpengalaman bekerja di perusahaan teknologi raksasa, mulai dari Alibaba, Facebook, Google, Bukalapak.

Di samping itu, ungkapnya, Desty juga terus berupaya memastikan penjual yang telah tergabung di ekosistem Desty dapat mengembangkan bisnisnya secara efisien. Platform Desty diklaim telah digunakan ratusan ribu pengguna. Terlebih di situasi pandemi Covid-19, penjual atau merchant harus bisa beradaptasi mengelola bisnis mereka secara digital.

“Kami melihat pertumbuhan eksponensial Desty tercapai di saat yang tepat dikarenakan pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia selama pandemi. Maka itu, kami percaya para merchant membutuhkan berbagai opsi tempat berbelanja kepada konsumen, baik lewat marketplace, website milik sendiri, atau media sosial,” papar Mulyono.

Hal ini juga diamini oleh Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca. Menurutnya, pandemi telah memberikan dampak positif dalam mengakselerasi adopsi digital ke masyarakat luas. Desty dinilai telah membuka jalan bagi merchant, influencer, dan kreator untuk mulai mendigitalisasi penjualan produk secara digital.

Berdasarkan data yang dihimpun Desty dari sejumlah sumber, jumlah transaksi e-commerce melonjak 18,1% menjadi 98,3 juta dengan tambahan 12 juta pengguna baru di sepanjang 2020. Ada tiga destinasi utama yang dipilih masyarakat Indonesia untuk berbelanja, yaitu marketplace (97%), domain/situs web bisnis sendiri (91%), dan media sosial (82%).

VP of Investment 5Y Capital Hanson Hu menambahkan bahwa tautan menjadi kunci penting dalam ekosistem internet karena dapat mempertemukan orang dengan orang, online dengan offline, hingga permintaan dengan suplai.

“Dalam konteks e-commerce, tautan membuka peluang besar dalam menghubungkan sosial dan konten dengan transaksi e-commerce sebagaimana tren ini kami lihat di Tiongkok. Kami yakin Desty dapat menjadi infrastruktur bagi tautan di industri e-commerce Asia Tenggara. Dengan begitu, kehadirannya dapat berkontribusi menciptakan ekosistem konten, sosial, dan e-commerce yang lebih erat,” tambahnya.

Saat ini, Desty menawarkan dua produk utama, yakni Desty Page dan Desty Store. Desty Page adalah layanan landing page untuk mengoptimalkan fitur tautan pada akun media sosial, khususnya Instagram. Sementara, Desty Store merupakan pelengkap kanal marketplace yang menghadirkan platform untuk membantu pengguna membuka toko online dengan mudah.

Sebagai produk pendukung, Desty juga membuka Desty Academy sebagai pusat informasi dan pelatihan bagi pengguna yang ingin mengembangkan bisnis.

Terkendala Perizinan, Kitabisa Hentikan Platform Crowdinsurance Saling Jaga

Setelah sebelumnya memutuskan untuk tetap menjalankan donatur terdaftar, layanan crowdinsurance Saling Jaga yang diinisiasi oleh Kitabisa saat ini resmi ditutup. Sebelumnya Satgas Waspada Investasi (SWI) meminta Kitabisa untuk menghentikan operasi platform tersebut karena belum mengantongi izin dari OJK.

DailySocial mencoba untuk mendapatkan konfirmasi terkait penutupan ini, namun pihak mereka mengarahkan ke situs resmi yang berisikan informasi penutupan dan proses selanjutnya untuk para donatur yang terlibat.

Tertulis dalam pernyataan tersebut, “Saling Jaga merupakan bentuk produk inovasi gotong royong yang diinisiasi oleh Yayasan KitaBIsa. Yayasan Kita Bisa dan program-programnya, termasuk Saling Jaga, diniatkan sebagai program sosial berbasis donasi yang bernaung di bawah UU Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial. Namun demikian, Sebagai produk inovasi, kami paham dan menghormati arahan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengevaluasi kembali bentuk perizinan Saling Jaga. Untuk itu setelah mempertimbangkan berbagai hal, serta menghormati arahan OJK pada bulan Mei 2021, dengan berat hati Saling Jaga kami putuskan untuk selesai beroperasi. Sampai jumpa di program inovasi kebaikan selanjutnya.”

Disampaikan juga dalam situs tersebut proses yang bisa dilakukan oleh donatur untuk mengembalikan dana ke saldo rekening masing-masing. Proses pengajuan ini akan dibuka mulai tanggal 16 Juli s/d 31 Juli 2021 dan akan disalurkan pada 16 s/d 30 Agustus 2021. Saldo yang disalurkan adalah saldo yang tersisa per tanggal 16 Agustus 2021 (jika ada).

Terkendala perizinan

Kepada DailySocial dalam wawancara sebelumnya, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK dan statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas. Layanan ini sendiri telah diperkenalkan kepada publik sejak bulan April 2021.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Persoalan perizinan menjadi kendala yang kemudian memicu penutupan layanan Saling Jaga ini. Meskipun telah mendaftarkan diri ke regulatory sandbox OJK, namun konsepnya yang menyerupai crowdinsurace dan melibatkan orang banyak dalam bentuk donasi gotong royong, menjadi perhatian dari regulator.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

Laporan Golden Gate Ventures tentang Tren Ekosistem Startup 10 Tahun ke Depan

Merayakan HUT mereka yang ke-10,  Golden Gate Ventures (GGV) meluncurkan laporan tentang ekosistem startup di Asia Tenggara. Di dalamnya memaparkan poin penting tentang tren ekosistem startup dalam waktu 10 tahun terakhir dan prediksi mereka dalam waktu 10 tahun ke depan.

Didirikan tahun 2011 lalu, saat ini GGV telah berinvestasi ke sekitar 60 startup dan meluncurkan empat inisiatif fund. Tesis investasi berfokus pada maraknya kehadiran kelas konsumen di Asia Tenggara. Di Indonesia portofolio mereka termasuk Alodokter, BukuWarung, Sampingan, Alami, dan GoPlay.

Tren ekosistem startup 10 tahun terakhir

Dalam satu dekade terakhir, startup di kawasan Asia Tenggara telah mengalami pertumbuhan sangat cepat. Terutama dalam hal masuknya modal, ditaksirkan telah meningkat hingga 50x lipat dari $130 juta pada tahun 2010 menjadi $6,5 miliar pada tahun 2020.

Dalam laporannya, GGV melihat makin banyak kapital yang datang dari Amerika Serikat. Termasuk di dalamnya Kleiner Perkins, Accel, KKR, Tiger Global, dan Warburg Pincus. Tercatat juga pendanaan datang dari negara seperti Tiongkok dan Jepang. Bukan hanya banyak memimpin pendanaan dalam skala yang besar, namun negara-negara tersebut juga telah banyak berinvestasi kepada perusahaan besar di Asia Tenggara.

Adapun pemodal ventura yang kemudian menjadi pemimpin di antaranya adalah Sequoia, Softbank, Tencent, dan Alibaba. Vertikal bisnis yang paling banyak mendapatkan pendanaan selama 10 tahun terakhir adalah e-commerce, fintech, hingga hiburan. Sementara GGV juga mencatat vertikal bisnis yang paling cepat mengalami petumbuhan adalah makanan dan logistik.

Hal menarik yang juga dipaparkan oleh GGV adalah ekspansi di berbagai tahapan pendanaan semakin mature seiring dengan tumbuhnya minat investor regional dan global untuk SEA. Putaran pendanaan seri A menjadi tahapan pendanaan yang mengalami pertumbuhan paling cepat. Sementara itu untuk pendanaan later stage (seri C ke atas) mengalami lompatan paling tinggi (bernilai 100x) mengingat tidak adanya putaran seperti itu dalam waktu satu dekade sebelumnya. Untuk pendanaan early stage dan putaran pendanaan awal telah bertambah jumlahnya hingga 30x.

Laporan GGV tentang investasi di Asia Tenggara / GGV

Poin menarik lainnya yang juga dipaparkan oleh GGV dalam laporannya adalah makin banyaknya kehadiran Corporate Venture Capital (CVC) di Asia Tenggara. Tercatat hanya ada segelintir CVC pada tahun 2010, yang biasanya merupakan cabang usaha yang didirikan dalam bisnis keluarga, perusahaan telekomunikasi, atau super app. Saat ini tercatat jumlahnya ada lebih dari 50 CVC.

Pada tahun 2020, beberapa CVC telah terlibat dalam sekitar 8,7% dari semua transaksi VC dan telah memimpin sejumlah putaran pendanaan, terutama di putaran seed dan seri A. Di Indonesia sendiri beberapa CVC yang cukup aktif melakukan investasi di antaranya MDI Ventures dan Prasetia Dwidharma.

Indonesia tercatat juga telah melampaui Singapura menjadi negara dengan konsentrasi tertinggi untuk startup yang memiliki modal terbaik. Rata-rata startup Indonesia telah menutup putaran pendanaan yang relatif lebih besar. Tercatat Singapura meraup bagian terbesar dari modal VC pada tahun 2010 (90%) tetapi bagian mereka menyusut menjadi 40% pada tahun 2020.

Laporan menarik lainnya yang juga dipaparkan oleh GGV adalah Indonesia telah menjadi menjadi kebutuhan pasar untuk sekitar 75% unicorn di Asia Tenggara, dan diklaim menjadi pasar paling sukses untuk berinvestasi di kawasan Asia Tenggara.

Tren ekosistem startup 10 tahun ke depan

Dalam laporannya GGV juga menyampaikan sejumlah tren ekosistem startup dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Di antaranya adalah makin maraknya kehadiran social commerce. GMV-nya diprediksi akan melampaui $5 miliar pada tahun 2025 dan $25 miliar pada tahun 2030 karena akan terus meningkat dalam adopsi e-commerce, bercampur dengan pertumbuhan PDB per kapita selama dekade berikutnya.

Selain itu, sektor lainnya yang juga diprediksi bakal mengalami pertumbuhan adalah healthtech. Dalam hal ini adalah platform yang menyediakan akses layanan kesehatan untuk demografi yang lebih besar, dan meningkatkan infrastruktur di Asia Tengara, terutama setelah pandemi.

Prediksi lainnya yang kemudian dipaparkan oleh GGV adalah makin besarnya kegiatan IPO di Asia Tenggara, yang diperkirakan akan melampaui 300 IPO pada tahun 2030, karena lebih banyak startup lokal yang mencari potensi exit di pasar publik domestik.

Sementara itu untuk Indonesia dan Malaysia diperkirakan akan makin banyak pertumbuhan pasar untuk platform yang menyasar kalangan muslim. Ukuran pasar Indonesia dan Malaysia akan tumbuh sekitar 8x dari ukuran saat ini pada tahun 2030, termasuk gaya hidup muslim/ekonomi halal di berbagai industri seperti fesyen, makanan, dan finansial.

Tren lainnya yang juga dibahas adalah, startup yang menyasar kepada media dan hiburan akan mendapatkan jumlah pengikut dan pendanaan yang lebih kuat, sejalan dengan industri yang mulai mengalihkan fokusnya ke solusi digital, termasuk TV/film, live streaming, dan esports. Pendanaan di bidang ini diprediksi akan melampaui $700 juta pada tahun 2030.

Masih besarnya jumlah populasi yang tidak memiliki rekening bank di Asia Tenggara, menciptakan peluang besar yang dapat memicu tumbuhnya startup unicorn khusus fintech. Potensi layanan yang kemudian masih bisa di disrupsi oleh platform fintech di antaranya adalah dompet digital, Neobanks, BNPL, dan bentuk lain dari pembiayaan.

Kegiatan merger dan akuisisi (M&A) juga diprediksi akan makin banyak terjadi dalam waktu 10 tahun ke depan. Ketika perusahaan terus bersaing untuk posisi teratas dalam vertikal mereka, akan lebih banyak mega-merger di Asia Tenggara.

Setelah Indonesia yang menjadi pasar paling banyak dituju oleh pemodal ventura dalam waktu 10 tahun terakhir, diprediksi oleh GGV dalam waktu 10 tahun ke depan, Vietnam akan menjadi negara pilihan investor di Asia Tenggara. Vietnam akan muncul pada tahun 2022 sebagai ekosistem startup utama di Asia Tenggara. Hal ini mulai terlihat dengan semakin banyaknya venture capital yang kemudian mengalokasikan dana mereka untuk berinvestasi kepada startup asal Vietnam hingga saat ini.

Sementara itu untuk pemodal ventura di prediksi dalam waktu 10 tahun ke depan akan meningkatkan Assets Under Management (AUM) menjadi dua kali lipat. AUM telah meningkat pada jalur yang stabil selama dekade terakhir dan diperkirakan jumlah tersebut akan melampaui $300 miliar pada tahun 2030.

Gambar Header: Depositphotos.com