[Video] Dukungan Lummo untuk Pelaku Usaha dan Brand

DailySocial bersama Co-founder & COO Lummo Lorenzo Peracchione, membahas tentang bagaimana strategi dan rencana perusahaannya ke depan usai menerima pendanaan seri C senilai $ 80 juta, termasuk di dalamnya dari perusahaan modal ventura milik Jeff Bezos.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi sejumlah startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV dalam sesi DScussion.

Sempat Alami Kesulitan Bisnis, Infokost Kini Diakuisisi Rukita

Bertujuan untuk memperluas cakupan bisnis, Rukita resmi mengakuisisi platform Infokost. Sebelumnya Infokost telah menutup layanan mereka pada tahun 2020 lalu dan berada di bawah naungan GDP Venture.

Sebelumnya layanan Infokost sempat dihentikan pada tahun 2020 karena kesulitan bisnis, ditambah pandemi. Hal tersebut diberitahukan perusahaan melalui situs resminya. Infokost memiliki lebih dari 20 ribu listing hunian berisi informasi lengkap, mulai dari data dan kelengkapan fasilitas di hunian, fasilitas umum seperti lokasi ATM dan minimarket, hingga peta lokasi. Untuk aplikasi, mereka menyediakan aplikasi IbuKost untuk manajemen properti bagi pemilik atau pengelola.

Setelah resmi menjadi sister company dari Rukita, Infokost akan diperbarui dari sisi tampilan di situs agar bisa lebih segar dan relevan untuk pengguna. Dengan demikian Infokost bisa menawarkan lebih dari satu juta kamar dalam listing properti infokost.id serta melayani 50 ribu pemilik indekos.

“Dengan akuisisi ini kami dapat melayani lebih banyak lagi konsumen dan pemilik properti di seluruh Indonesia melalui Infokost Ini merupakan satu dari serangkaian perluasan bisnis yang dilakukan Rukita di tahun 2022,” ungkap Co-Founder & CTO Rukita Xu-Zonne Ho.

Nantinya Infokost tetap akan menjalankan bisnisnya secara independen. Namun, manajemen property listing dan lainnya masih di bawah supervisi langsung dari Rukita. Beberapa listing dari Rukita nantinya juga akan masuk ke dalam Infokost.

Dari sisi pengguna, Rukita terpisah dengan Infokost. Tidak ada rencananya untuk menggabungkan aplikasi Rukita dan Infokost dalam satu platform.

“Ke depannya, kami akan terus melakukan pengembangan inovasi dan fitur terbaru di Infokost.id untuk segera menghadirkannya ke masyarakat, sehingga Infokost dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada para konsumen dan pemilik indekos,” kata Xu.

Penyedia hunian jangka panjang

Dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, Rukita mengklaim telah memiliki total 13 juta pengunjung di situs sejak peluncuran pertamanya di pertengahan 2019 lalu. Diawali oleh layanan properti manajemen melalui brand Rukita, kemudian menambah perluasan layanannya melalui RuOptions, layanan marketing properti. Serangkaian inovasi melalui Aplikasi Rukita, Aplikasi Rumanage, Rukita Mods, dan inovasi lainnya juga dilancarkan secara agresif di tahun 2021.

Rukita yang semula berfokus kepada co-living kini beralih menegaskan posisinya sebagai Penyedia Sewa Hunian Jangka Panjang, lewat rencana akuisisi dan ekspansi besar-besaran yang dilakukan di sepanjang tahun 2022 ini.

Selama kurang lebih dua tahun berdiri, Rukita berhasil meningkatkan kerja sama dengan lebih dari 20.000 properti dalam platformnya. Hunian ini tersebar di area-area padat sekitar Jabodetabek dengan rentang harga yang ditawarkan beragam tergantung fasilitas dan posisi yang menunjang.

Baru-baru ini Rukita juga tergabung dalam Surge (Program percepatan dari Sequoia Capital India). Program ini diikuti 20 perusahaan startup (salah satunya Rukita) dengan total pendanaan $60 juta dari Surge dan para co-investor.

“Rukita memiliki keahlian dalam pengelolaan properti dan pemanfaatan teknologi untuk menciptakan gaya hidup yang lebih baik bagi kaum urban di Indonesia. Dengan semangat inovasi yang menjawab kebutuhan milenial, kami siap memantapkan posisi kami di industri ini,” tutup Xu.

Pasar hunian sewa memang cukup besar di Indonesia di tengah pesatnya urbanisasi. Selain Rukita, platform lain yang fokus ke layanan ini adalah Mamikos. Selain layanan listing, mereka juga mulai merambah ke co-branding dan layanan pengelolaan properti sewa.

Application Information Will Show Up Here

Indosat Ooredoo Hutchison Menggandeng Maucash Hadirkan Layanan Pinjaman Digital

Usai era dompet digital, operator telekomunikasi kini mulai merambah layanan pinjaman uang. Kali ini, PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (IDX: ISAT) atau IOH bermitra dengan platform Maucash untuk menghadirkan pinjaman Bima Kredit, khusus bagi pelanggan prabayar dan pascabayar Tri.

Bima Kredit adalah produk pinjaman kolaborasi antara Tri dan Maucash yang hanya bisa diakses di aplikasi Bima+. Sedikit informasi, Maucash adalah platform pinjaman tunai dan paylater yang juga anak usaha PT Astra International Tbk dengan WeLab. Maucash telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai platform fintech lending.

Dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu, Chief Commercial Officer IOH Ritesh Kumar Singh mengatakan Bima Kredit menjadi strategi diversifikasi untuk memperkuat ekosistem produk dan layanan digital lifestyle di aplikasi Bima+. “Layanan ini untuk menjawab kebutuhan finansial pelanggan Tri di masa depan,” ujarnya.

Sementara, Chief of Marketing Maucash Indra Suryawan menambahkan, pihaknya berupaya memberikan akses pinjaman tunai bagi masyarakat di masa pandemi Covid-19. “Kami harap pelanggan Tri dapat melihat Bima Kredit sebagai salah satu solusi finansial mereka,” katanya.

Proses bisnis

Untuk mendapatkan pinjaman Bima Kredit, pengguna Tri harus melakukan pendaftaran di aplikasi Bima+ dengan nomor yang sudah teregistrasi dan tervalidasi. Pengajuan ini tidak memerlukan dokumen fisik. Pengguna dapat memilih nilai dan tenor pinjaman yang diinginkan.

Setelah data dan perjanjian pinjaman telah disetujui, dana yang dikirimkan langsung ke rekening pengguna yang sudah didaftarkan. Adapun, maksimal pinjaman yang difasilitasi Bima Kredit adalah sebesar Rp500 ribu dengan periode pinjaman selama 30 hari dan bunga 0%. Indosat akan menambah limit dan tenor pinjaman yang lebih bervariasi.

Dihubungi DailySocial.id secara terpisah, SVP-Head of Corporate Communication IOH Steve Saerang mengatakan tengah mengkaji kemungkinan untuk bermitra dengan penyedia pinjaman lain. Pihaknya juga menyiapkan beberapa use case produk dan layanan lain yang sesuai dengan profil dan kebutuhan pengguna.

“Selain pinjaman digital, dalam waktu dekat Tri akan menyediakan proteksi kepada pelanggan melalui produk Bima Asuransi, seperti proteksi kendaraan bermotor dan kecelakaan diri,” tambah Steve.

Operator masuk ke pinjaman digital

Lebih lanjut, Steve mengungkap bahwa peleburan Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia tidak memengaruhi brand seluler masing-masing, yakni IM3 Ooredoo dan Tri. Menurutnya, kedua brand ini dapat saling melengkapi satu sama lain dan meningkatkan pengalaman digital pengguna.

Sebagai informasi, Indosat Ooredoo resmi merampungkinan merger dengan H3I pada awal tahun ini. Dengan peleburan ini, kini IOH memiliki tiga brand selular, yakni IM3, MPWR, Tri. Berdasarkan informasi yang kami himpun, brand communication Tri dan IM3 dikelola oleh tim berbeda. Sementara, corporate brand keduanya sama-sama dikelola di bawah naungan tim Corporate Communication IOH.

Maka itu, perusahaan menghadirkan produk pinjaman dengan mitra yang berbeda. Untuk pengguna Tri, Indosat menggandeng Maucash lewat brand Bima Kredit. Sedangkan untuk pengguna IM3, perusahaan bekerja sama dengan Bank QNB Indonesia melalui brand UCan.

Pengguna IM3 dapat mengakses dua produk utama UCan, yakni Cash Withdrawal atau penarikan uang tunai dan Installment atau pembelian produk paket data Indosat Ooredoo Hutchison. Adapun, UCan kini masuk ke dalam ekosistem layanan myIM3.

Pada layanan sejenis, sebelumnya Telkomsel masuk dengan model bisnis platform fintech agregator Klop sejak tahun lalu. Klop masuk dalam klaster baru OJK sebagai Inovasi Keuangan Digital (IKD). Platform ini memberikan rekomendasi pilihan produk pinjaman dengan mengandalkan kemampuan analisis dari data calon peminjam.

Sebetulnya, pinjaman digital bukan lah produk keuangan pertama yang dieksplorasi operator telekomunikasi agar tetap relevan bagi pengguna di tengah pesatnya perkembangan digital. Hampir satu dekade lalu, seluruh operator masuk ke produk dompet digital, tetapi dihentikan karena tidak berkembang. Hanya T-cash yang masih bertahan hingga di-spin off dan dilebur menjadi LinkAja.

Dampak Layanan Fintech untuk Masyarakat dan Pelaku UMKM di Indonesia

Dalam dua tahun terakhir layanan fintech berkembang secara cepat menawarkan pilihan yang saat ini sudah banyak digunakan secara rutin oleh masyarakat. Mulai dari dompet digital, fintech lending, wealth management, paylater, insurtech, hingga fintech enabler. Dalam sesi #SelasaStartup bersama Editor in Chief DailySocial.id Amir Karimuddin, dibahas seperti apa tren dan perkembangan layanan fintech di Indonesia.

Pertumbuhan platform fintech enabler

Secara khusus saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia makin terbiasa dengan penggunaan dompet digital hingga paylater untuk pembayaran. Namun dalam waktu dua tahun terakhir layanan fintech juga mulai diramaikan dengan platform baru yang juga dikenal sebagai fintech enabler. Istilah baru pun bermunculan, ada open banking, open finance, hingga banking as a service (BaaS) yang seluruhnya ini sebenarnya memanfaatkan keberadaan Open API dengan sasaran target yang berbeda.

“Khusus untuk enabler, emebded finance atau open finance semua fokus kepada segmen B2B. Ada bisnis baru yang memberikan warna, yang juga menjadi keyword di Fintech Report 2021. Platform fintech ini dengan layanan yang bervariasi, nantinya apakah ada ada di satu rumah atau antar platform bisa saling berkomunikasi lebih baik dengan menggunakan API. Ke depannya open finance, embeded finance akan lebih banyak lagi diaplikasikan di berbagai macam platform,” kata Amir.

Ditambahkan olehnya untuk bisa memberikan layanan yang seamless, pada umumnya produk tersebut dibungkus layaknya produk keuangan seperti investasi dan lainnya masuk dalam opsi di marketplace, yang menjalin kerja sama strategis dengan fintech enabler tersebut. Di Indonesia pemain yang menyasar industri tersebut di antaranya adalah Brankas, Finantier, dan AyoConnect.

Edukasi dan keamanan

Satu hal yang juga menjadi perhatian semua pihak terkait dengan layanan fintech adalah menjawab pertanyaan: apa layanan fintech dibutuhkan dan sesuai untuk kebutuhan mereka? Sehingga akan terhindar dari penyalahgunaan platform hingga penawaran yang disebar secara bebas memanfaatkan media sosial. Pemahaman atau literasi keuangan digital perlu disampaikan banyak pihak, baik stakeholder yang terlibat langsung, media, hingga masyarakat pada umumnya.

“Untuk platform biasanya sudah masuk dalam asosiasi, misalnya AFPI yang secara bersama melakukan edukasi. Dala hal ini saya melihat bukan hanya literasi produk, tapi juga literasi digital yang memang harus terus digalakkan, jika kita melihat begitu banyak orang meneruskan pesan di WhatsApp tanpa verifikasi kebenarannya untuk layanan pinjol dan lainnya, termasuk di media sosial,” kata Amir.

Dari sisi keamanan, hingga saat ini belum ada kasus yang cukup besar yang merugikan nasabah hingga platform. Semua platform sudah bekerja dengan baik melindungi pengguna/nasabah mereka dari ancaman hacker dan lainnya. Namun demikian untuk terus bisa menjaga keamanan, semua platform terkait wajib untuk terus mengikuti aturan yang diberlakukan oleh regulator. Apakah itu menjaga keamanan data pengguna hingga akun pengguna.

Manfaat untuk UMKM

Layanan fintech secara langsung sangat menguntungkan para pelaku UMKM. mereka yang masuk dalam kategori mikro, selama ini tidak memiliki catatan keuangan atau pembukuan yang lengkap dan kebanyakan masih dilakukan secara konvensional. Sehingga menyulitkan mereka ketika ingin melakukan pengembangan usaha untuk mendapatkan pinjaman modal dari bank.

Sebagai penyedia layanan keuangan konvensional, perbankan memiliki aturan dan batasan, sehingga mereka kesulitan untuk menjangkau pelaku UMKM yang masih belum bisa memiliki data keuangan dan usaha yang akurat. Dalam hal ini layanan fintech dengan proses KYC dan proses lainnya yang lebih fleksibel, bisa menjembatani pihak perbankan dengan mereka.

Misalnya melalui marketplace yang menyimpan data para pelaku UMKM, atau komunitas tertentu yang sudah dijangkau oleh para institusi finansial untuk pembiayaan. Memanfaatkan proses tersebut, nantinya bank bisa mendukung pelaku UMKM melalui kerja sama strategis dengan layanan fintech.

Fintech memiliki cara untuk melakukan analisis KYC atau screening yang lebih baik untuk memastikan bahwa usaha yang susah diakses dan dihindari oleh perbankan, kemudian bisa dijangkau memanfaatkan layanan fintech,” kata Amir.

Storial Paparkan Monetisasi Karya Fiksi Digital dan Upaya Eksplorasi Konten ke “Intellectual Property”

Rendahnya tingkat literasi baca di kalangan masyarakat menjadi salah satu alasan industri buku kurang diminati di Indonesia. Menurut data VOA Indonesia, hanya 3% dari total penerbit di Tanah Air yang produktif mencetak lebih dari 200 judul buku per tahun. Itupun produksinya hanya 3000 eksemplar per judul.

Berbekal pengalaman kerjanya di industri terkait, Brilliant Yotenega berupaya mendisrupsi industri buku yang selama berjalan dengan model konvensional dengan teknologi. Dengan begitu, siapapun memiliki akses terhadap sebuah bacaan dengan harga lebih terjangkau. 

Pria yang karib disapa Ega ini membangun Storial, sebuah platform yang dirancang sebagai marketplace untuk karya fiksi digital.

Bagaimana perjalanan Ega dalam menjadikan Storial sebagai platform bacaan terkurasi dan berkualitas? Simak selengkapnya rangkuman wawancara DailySocial dengan Ega.

Karya fiksi digital

Salah satu isu yang kerap dialami penulis adalah jalan panjang yang harus dilalui untuk menerbitkan satu buku. Ini belum termasuk dengan waktu untuk mencari penerbit yang mau menerima naskah dan menerbitkannya. 

Menurut Ega, butuh waktu sekitar satu tahun, mulai dari pengiriman naskah, penyuntingan, produksi, hingga distribusi. Faktor-faktor ini membuat penulis merasa kurang mendapat apresiasi dan sulit untuk berkarya karena ketidakstabilan pendapatan.

Sebelum Storial, ungkapnya, ia lebih dulu mendirikan Nulisbuku.com, platform yang memungkinkan penulis untuk menerbitkan bukunya sendiri (self-publishing). Ia mengembangkan Nulisbuku.com secara bootstrapping hingga sekarang. Namun, saat ini Ega tak lagi terlibat dalam proses produksi buku. Adapun, Nulisbuku sudah punya basis komunitas hingga 100 ribu penulis.

Setelah produknya market-fit, Ega mengeksplorasi cara lain mendisrupsi industri buku dengan memanfaatkan basis komunitas yang dimilikinya di Nulisbuku.com. Di sini ia mendirikan Storial, platform marketplace cerita fiksi digital di mana penulis dapat lebih mudah memonetisasi karyanya.

Menariknya, Ega tidak ingin menjadikan Storial sebagai ekstensi Nulisbuku.com pada satu platform yang sama mengingat keduanya punya model bisnis dan target pasar yang berbeda. Demikian juga dengan entitasnya. Jika Nulisbuku.com identik dengan buku cetak on-demand yang prosesnya dilakukan secara hibrida (O2O), Storial merupakan marketplace untuk karya fiksi digital yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku fiisk.

“Kami sudah berbicara dengan banyak investor dan VC terkait [model bisnis buku]. Mereka kurang tertarik karena pasar buku dan literasi baca di Indonesia sangat rendah. Jarang ada jual buku di stasiun atau terminal kan? Dengan posisi Storial, kami pikir cost akan lebih murah karena tidak cetak buku. Harga buku di Indonesia cukup mahal dibandingkan negara lain di Asia. Mungkin karena biaya distribusi besar karena kita negara kepulauan,” jelasnya.

Dengan model bisnis ini, Ega dapat mengakselerasi Storial lebih cepat dibandingkan memproduksi buku fisik. Saat ini, Storial terdapat lebih dari 150 ribu judul buku. Jumlah penggunanya berkisar 500 ribu.

Monetisasi karya

Storial menggunakan skema penjualan sebuah karya secara satuan (ecer) agar harganya bisa lebih terjangkau bagi pembaca. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000.

Ambil contoh satu cerita Storial berisi total 50.000 kata dibagi ke dalam 50 bab. Per bab berisi 1000 kata dan dijual seharga Rp2.000. Harga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis.

Menurut Ega, harga tersebut sudah terbilang pas dengan kantong pembaca jika dibandingkan dengan membeli buku fisik. Pasalnya membeli buku fisik berarti membeli keseluruhan, sementara,ada potensi pembaca tidak membacanya sampai selesai. Berbeda dengan model Storial, ketika pengguna hanya membeli bab cerita yang ingin dibaca saja.

Di samping itu, ia menilai skema ini juga menguntungkan kreator atau penulis. Penulis akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik.

Kantor pusat Storial

“Penulis senang [dengan skema ini]. Selama ini, mereka terbitkan buku di penerbit besar, hanya mendapat 10% [royalti]. Itupun diterima enam bulan sekali dan penulis tidak bisa cek jumlah penjualannya. Di Storial, penulis bisa memonitor penjualan karya secara transparan. Pembayaran bisa ditarik setiap bulan. Ini yang tidak bisa didapat di penerbit konvensional,” ujarnya.

Maka itu, ia menilai peluang buku digital lebih besar karena penulis mudah memonetisasi dan pembaca dapat membeli dengan harga terjangkau. Selain itu, ada dukungan ekosistem lain, seperti pembayaran yang memudahkan transaksi.

Kurasi konten

Salah satu value proposition yang diunggulkan adalah kurasi dan kualitas konten. Menurut Ega, Storial berdiri berkat masukan basis komunitas penulisnya yang ingin dipertemukan dengan pembaca melalui aplikasi.

Dengan merilis karya secara satuan, penulis dapat mengetahui masukan dan kritik dari para pembaca langsung. Selain itu, ia ingin Storial dapat diposisikan sebagai platform yang memiliki konten dari penulis yang kualitasnya bisa sejajar dengan buku yang diterbitkan di toko buku.

“Menurut saya, setelah ledakan creator economy ini, akan ada masa ketika konten terseleksi dengan sendirinya. Mengapa? Orang akan semakin overwhelmed dengan sekian banyak konten. Makanya kami pikir kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, istilahnya law of attraction,” tuturnya.

Ega menilai penting untuk melakukan kurasi karena “seleksi alam” pada konten akan membutuhkan waktu lama. Secara keseluruhan, masyarakat perlu belajar untuk membuat cerita yang bisa engage dengan pembaca ketimbang mengikut tren yang mudah dilupakan.

Saat ini Storial memiliki 150 ribu judul karya dengan 50-100 judul yang masuk per hari. Pihaknya membidik satu juta pengguna di tahun ini.

Strategi mendongkrak pasar

Diakui Ega, salah satu tantangan besar membangun Storial adalah memperkuat basis komunitas penulis dan pengguna. Terlepas dari perkembangan ekosistem digital di Indonesia yang semakin mapan, pasar pembaca buku digital masih sangat niche.

Secara umum, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara, atau 10 negara terbawah yang punya tingkat literasi baca rendah menurut survei Program for International Student Assessment (PISA) di 2019.

Maka itu, Ega mengaku tertarik untuk mengeksplorasi model bisnis Intellectual Property (IP) untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnisnya. Untuk sekarang, Storial memang masih sepenuhnya fokus pada konten fiksi dan audiobook. Namun, ia melihat rata-rata orang Indonesia lebih menggemari konten berbasis audio visual. 

“Saat ini kekuatan Storial terletak pada konten IP. Nah, ini dapat dieksplorasi ke berbagai macam hal, seperti film pendek, serial, atau film layar lebar. Secara gambaran besar, ini bisa menjadi sumber pendapatan baru, jadi tidak hanya dari konten baca saja,” ujarnya.

Untuk merealisasikan ide ini, ia menyebutkan butuh lebih dari sekadar dukungan modal investasi. Lagipula, Venture Capital (VC) dinilai kurang tertarik dengan model bisnis di industri buku karena akselerasinya tidak secepat sektor seperti e-commerce atau fintech. Storial pernah mendapatkan pre-seed dari Salim Group (2018) dan program akselerator SKALA (2019).

Kuncinya adalah menggandeng mitra strategis yang dapat leverage aset konten yang dimiliki Storial menjadi konten audio visual. Ega menyebut telah menjual beberapa cerita di Storial untuk film dan serial, tapi Storial tidak ikut dalam proses produksinya. Apabila bisa terlibat, ada peluang untuk mengakselerasi bisnis.

“Di putaran [pendanaan] berikutnya, kami ingin bermitra dengan strategic partner yang bisa memberikan, tak cuma modal, tetapi juga dukungan lain ke OTT, media, dan rumah produksi. Saat ini kami sedang bicara dengan perusahaan [yang punya ekosistem itu], tetapi belum bisa kami disclose,” ungkapnya.

Untuk saat ini, tambahnya, Storial masih akan fokus mengembangkan platform dan fitur-fitur sesuai dengan kebutuhan dari pengguna. Salah satu fitur yang tengah dipertimbangkan adalah interaksi langsung antara penulis dan pembaca. Penambahan fitur dan perbaikan platform diharapkan dapat memperkuat basis komunitas di Storial.

“Sekarang kami fokus improve aplikasi supaya lebih reliable di tahun ini. Lagipula, ini yang menjadi bisnis inti Storial. Kami memang bukan yang pertama mengembangkan platform semacam ini, tapi kami punya komunitas penulis yang besar dan tim editor yang melakukan kurasi. Sampai waktunya tiba untuk bicara strategi besar, kami fokus menghadirkan konten berkualitas,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Telkomsel Ekosistem Digital Resmikan Identitas Baru “INDICO”

PT Telkomsel Ekosistem Digital (TED) resmi mengumumkan identitas baru bernama Indonesia Digital Ecosystem atau INDICO. Dengan identitas ini, INDICO akan menaungi berbagai inovasi digital Telkomsel, baik yang sudah ada maupun yang akan datang.

Seperti diketahui, TED merupakan entitas baru yang didirikan Telkomsel awal tahun ini. TED menjadi holding company bagi sub-bisnis digital Telkomsel. Beberapa inovasi digital Telkomsel yang sudah berjalan di antaranya adalah Kuncie (edtech), Fita (healthtech), dan Majamojo (game).

Disampaikan dalam acara peresmian secara virtual, CEO Telkomsel Ekosistem Digital Andi Kristianto menegaskan INDICO sebagai komitmen untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia secara inklusif dan berdampak. “INDICO akan memampukan kami untuk lebih engage dengan para inovator, investor, mitra strategis, dan stakeholder terkait,” tutur Andi.

Untuk jangka pendek, TED mengembangkan platform yang memungkinkan para inovator, investor, collaborator untuk menjangkau pasar lebih mudah dalam lima tahun ke depan. Pengembangan ini akan didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan aset dan kapabilitas yang dimiliki induk usaha, yakni basis pelanggan sebanyak 170 juta dan lebih dari 300 ribu mitra outlet Telkomsel di 514 kota.

Pengembangan inovasi digital tersebut juga memanfaatkan pemahaman yang dimiliki, baik secara geografis maupun demografis. “Dengan demikian, aset kami tak hanya relevan bagi [pasar] telekomunikasi saja, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia, dengan strategi growth hacking. Indonesia sangat diverse, pemahaman terhadap lokal itu sangat berharga,” tambahnya.

Untuk tahap awal, lanjut Andi, pihaknya akan mendorong pengembangan produk digital yang sudah ada dalam enam bulan ke depan, yakni Kuncie, Fita, dan Majamojo. Apabila kapabilitas yang dimiliki sudah dimanfaatkan secara optimal, pihaknya baru akan mulai masuk ke vertikal lain.

Pendekatan baru Telkomsel

Merangkum perjalanan transformasi digitalnya, sejak tahun lalu Telkomsel mulai mengambil pendekatan berbeda dalam mengembangkan produk digital. Sebelum ini, pengembangan inovasi digital dilaksanakan lewat kendaraan Telkomsel Innovation Center (TINC) dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). TINC menjaring ide untuk diinkubasi dan diakselerasi dari startup lokal, sedangkan TMI masuk melalui pemberian investasi ke startup tahap awal (early stage).

Namun, kali ini Telkomsel mencoba mengeksplorasi vertikal yang belum pernah digarap oleh telekomunikasi sebelumnya. Telkomsel mengembangkan platform Kuncie dan Fita yang sama-sama masuk ke segmen digital lifestyle tahun lalu. Kemudian, masuk Majamojo yang didirikan lewat skema patungan oleh TED dan GoTo pada Februari kemarin.

Dalam wawancara terdahulu DailySocial.id dengan Kuncie dan Fita, pendekatan ini tercermin dari langkah Telkomsel mendapuk CEO Kuncie dan Fita dari luar lingkungan perusahaan dan induk usaha. Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan untuk mengembangkan bisnis dengan model growth hacking, dan punya potensi untuk di-spin-off. Model ini tentu bertentangan dengan model bisnis telekomunikasi yang berorientasi pada Return of Investment (ROI).

Menanggapi langkah strategis TED, Partner Telecommunications Practice di Bain & Company Kiran Karunakaran menilai sejumlah platform memanfaatkan pertumbuhan pasar di industri teknologi dan telekomunikasi. Bagi pasar seperti Indonesia, platform digital berpotensi menjadi katalis ekonomi dan mengakselerasi startup lokal di vertikal industri utama.

Maka itu, operator telekomunikasi besar, seperti Telkom dan Telkomsel, dapat memanfaatkan aset mereka untuk bertransformasi menjadi platform digital. “Inti dari transformasi tersebut adalah kemampuan untuk membentuk kemitraan dengan jangkauan luas dan menarik investasi dari hyperscaler global yang ingin berperan mendukung ekonomi digital,” tutur Karunakaran dalam keterangan resminya.

Storytel Resmi Hadir di Indonesia, Tawarkan “Streaming Audiobook” Terkurasi

Storytel, aplikasi audiobook berbasis di Swedia, meresmikan kehadirannya di Indonesia setelah mengumumkan rencananya tersebut sejak April 2021. Aplikasi ini hadir dengan membawa pendekatan audiobook pertama berbahasa Indonesia yang hadir secara premium karena sudah terkurasi dan diproduksi dengan serius.

“Kami sangat menantikan kesempatan ini, untuk membawa layanan Storytel yang memberikan cerita terbaik menggunakan teknologi terdepan dan mudah digunakan oleh konsumen. Pengalaman panjang kami dalam konten audio dan feedback yang luar biasa dari pelanggan, mendorong kami untuk mengambil langkah baru dalam misi untuk memungkinkan lebih banyak orang dalam berbagi dan menikmati cerita kapan saja dalam skala global,” ucap Chief Content Strategy Officer Storytel Helena Gustafsson dalam konferensi pers virtual, Rabu (9/3).

Format buku audio dinilai berpotensi

Country Manager Storytel Indonesia Indriani Widyasari menambahkan, audiobook merupakan rekreasi yang bermakna. Kelebihan audiobook bisa dinikmati sambil melakukan hal-hal lain, seperti sebelum tidur atau sambil merelaksasi tubuh. Hal ini tentu bisa meningkatkan wawasan, membuka konten-konten literasi yang biasanya harus dibaca sekarang bisa dinikmati dengan mendengarkan.

Dia melanjutkan, berdasarkan survei yang sebelumnya dilakukan perusahaan di negara-negara lain, mendapati bahwa pengguna audiobook memiliki kesempatan lebih banyak menghabiskan buku dibandingkan saat hanya membacanya. Jika biasanya, dalam satu bulan seseorang bisa menghabiskan buku satu hingga tiga buku, maka dengan audiobook orang-orang bisa membaca buku mencapai lima buku.

“Indonesia adalah salah satu negara yang cepat beradaptasi dan adopsi digital baru. Sekitar tiga sampai empat tahun lalu masih banyak yang belum tahu podcast, tapi sekarang sudah jadi bagian dari gaya hidup,” kata Indri.

Storytel menghadirkan lebih dari 150 ribu audiobook dalam berbagai 19 genre buku dan cerita dalam Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Mandarin. Seluruh konten ini diproduksi secara serius. Perusahaan bermitra dengan penerbit terkemuka lokal untuk menghasilkan perpustakaan audiobook berbahasa Indonesia dengan mengakuisisi hak cipta audio.

Serta, memproduksi sendiri cerita audiobook oleh tim Storytel, disebut Storytel Original. Salah satu judul original yang sudah dirilis adalah cerita detektif terbaru tentang Sherlock Holmes yang terlaksana berkat kesepakatan dengan Conan Doyle Estate. Karya tersebut ditulis oleh penulis tersohor dari Inggris, Anthony Horowitz.

Indri melanjutkan, isi audiobook dinarasikan para seniman suara profesional yang dapat menghidupkan cerita melalui suara untuk melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari yang melelahkan dengan cerita yang praktis dan mudah dinikmati oleh para pecinta buku.

Secara eksklusif, Storytel Indonesia menampilkan versi audiobook dari judul-judul buku populer dari penulis terkenal, seperti Dewi Lestari, Tere Liye, Ika Natassa, Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Pidi Baiq, dan Habiburrahman El Shirazy. Juga, bekerja sama dengan aktor dan aktris Indonesia untuk menarasikan audiobook, seperti Dian Sastrowardoyo, Adinia Wirasti, dan Fedi Nuril.

Langkah tersebut menjadi perhatian serius Storytel. Pasalnya, dalam riset perusahaan disebutkan bahwa 90% penggunanya mengonsumsi konten di Storytel dalam bahasa lokal. Oleh karenanya, lokalisasi punya peranan penting untuk mendekatkan pengguna dengan buku-buku terbitan luar negeri.

Ditambah lagi, masih dalam riset yang sama, dikatakan sebanyak 70% perpustakaan di Storytel adalah buku keluaran lama yang tidak dijual lagi bentuk fisiknya di toko buku. Sehingga, unsur tersebut membuat munculnya unsur emosional yang mengikat para pengguna untuk bernostalgia.

Secara global, Storytel memiliki lebih dari 700 ribu judul buku dan 30 bahasa, termasuk dalam Bahasa Indonesia. Penggunanya mencapai lebih dari 1,7 juta orang dengan genre yang paling banyak dinikmati adalah detektif dan romansa.

Untuk menikmati seluruh pustaka di Storytel, pengguna perlu berlangganan dengan biaya mulai dari Rp39 ribu per minggu selama periode peluncuran. Aplikasi dapat diunduh melalui App Store dan Play Store dengan persyaratan minimal Android 5 dan iOS 13.

Parentalk Akuisisi Platform Edukasi “Parenting” Good Enough Parents

Platform digital komunitas parenting, Parentalk, mengumumkan ekspansi bisnisnya dengan mengakuisisi Good Enough Parents, platform edukasi berbasis web bagi orang tua masa kini. Perusahaan mengungkapkan ambisinya untuk membangun ekosistem lengkap untuk mendampingi para orang-tua dan keluarga di Indonesia.

Founder & CEO Parentalk Nucha Bachri mengaku bahwa tidak hanya menghadirkan konten yang relevan dengan kondisi yang sering kali dihadapi oleh para orang tua, Parentalk juga senantiasa menghadirkan ekosistem komunitas yang dapat membantu memperluas wawasan dan pengalaman serta memberikan solusi.

“Untuk terus berkembang dalam menyukseskan misi yang kami bawa, Parentalk ingin dapat bersama-sama bertumbuh dengan platform komunitas dengan misi yang sejalan untuk hadirkan dukungan yang lebih lengkap bagi keluarga Indonesia. Dalam hal ini, kami melihat Good Enough Parents membawa misi dan semangat yang sama untuk mendukung para orang tua agar terus bertumbuh dan belajar,” ungkapnya.

Damar Wahyu Wijayanti sebagai salah satu founder Good Enough Parents mengatakan “Kami sangat antusias untuk bisa menjadi bagian dari Parentalk dan terhubung dengan lebih banyak orang tua yang sudah menjadi pengikut setia Parentalk. Kami harap kehadiran Good Enough Parents bisa memfasilitasi para keluarga Indonesia dalam memberikan pengasuhan terbaik untuk tumbuh kembang anak-anaknya.”

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, sehingga peran dan fungsi keluarga menjadi sangat penting dan bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak. Good Enough Parents (GEP) merupakan platform pembelajaran bagi orang tua untuk menjadi orang dewasa yang siap mendampingi tumbuh kembang dan pembelajaran anak-anaknya.

GEP memiliki metode pembelajaran berkelanjutan, membantu orang tua menumbuhkan kesadaran tentang perannya dalam tumbuh kembang anak, menangkap informasi secara utuh dan mengubahnya menjadi sebuah parenting skill. Kelas-kelas GEP didesain untuk menyampaikan informasi/pengetahuan dengan lebih efisien dan fleksibel bagi orang tua.

Harga yang dipatok untuk mengikuti kelas-kelas yang ditawarkan oleh GEP mulai dari Rp85 ribu hingga Rp450 ribu untuk akses selama 8 minggu. Selain itu, para orang tua juga akan mendapatkan fasilitas seperti video pembelajaran, workbook, materi PDF, serta forum diskusi untuk memperdalam pemahaman atau melempar pertanyaan terkait isu-isu dalam rumah tangga.

Setiap materi yang tersedia dalam platform ini berasal dari para expert yang sudah memiliki sertifikasi di bidangnya. Damar sendiri merupakan salah satu praktisi dan edukator yang memiliki diploma pendidikan Montessori, sebuah metode pendidikan yang dipopulerkan oleh Dr. Maria Montessori, seorang dokter dan pendidik, pada awal tahun 1900. Metode ini menekankan pada kemandirian dan keaktifan anak dengan konsep pembelajaran langsung melalui praktik dan permainan kolaboratif untuk bisa mencapai potensinya dalam kehidupan.

Nucha juga mengungkapkan alasan Parentalk memilih GEP sebagai partner adalah karena memiliki kesamaan value, bahwa menjadi orang tua itu adalah sebuah proses belajar. Selain itu, Investasi Parentalk di Good Enough Parents diharapkan bisa membangun sebuah ekosistem multiplatform yang mampu menghadirkan informasi, solusi dan pengalaman yang menyeluruh baik melalui digital platform maupun communal space yang tercipta dari beragam komunitas dengan expertise masing-masing.

Lima tahun bisnis Parentalk

Didirikan sejak tahun 2017, Parentalk bermula dari kegelisahan para orang tua muda, termasuk founder, dalam menentukan pola asuh yang baik untuk anak. Berbekal konten di media sosial (pada saat itu Instagram), Nucha dan timnya sukses meraih pertumbuhan organik mencapai 40% di tahun pertama. Hingga saat ini, Parentalk telah hadir di ragam platform seperti Youtube, Spotify (podcast) dan Tiktok.

Parentalk memosisikan diri sebagai digital content creator. Dalam menghadirkan konten, timnya mengedepankan konten yang mengangkat keseharian keluarga, tidak hanya informasi dan pengetahuan mengenai tumbuh kembang anak namun juga relasi suami istri dan dinamika rumah tangga. Hal ini menjadikan Parentalk sangat relevan dengan berbagai segmentasi keluarga di Indonesia.

Sebagai data driven company, pihaknya juga mengakui untuk setiap konten yang dibuat, adalah berdasarkan riset yang sudah disesuaikan dengan demografi pengguna. Dalam konferensi pers yang digelar secara online (9/3), turut hadir Michael Tampi yang juga menjabat sebagai Co-Founder Parentalk. Ia menjabarkan masih besarnya potensi pasar untuk platform seperti Parentalk yang ada di Indonesia.

Sumber: Parentalk

Secara teknologi, investasi ini juga merupakan bentuk ekspansi Parentalk. Nucha juga mengungkap roadmap perusahaan yang mengarah pada superapps,  mereka akan membangun ekosistem parenting. Bukan hanya Parentalk sebagai digital konten kreator, namun juga dilengkapi dengan GEP di dalamnya yang membantu proses belajar yang lebih fleksibel untuk orang tua.

Sebelumnya, Parentalk sudah pernah mendapat pendanaan tahap awal dari Emera Capital dan saat ini diklaim sudah profitable. “Kita bertumbuh dari profit yang sudah didapat. Hari ini bukan Parentalk mendapat investasi, justru ParenTalk berinvestasi di Good Enough Parents. Hal ini sebagai awal dari roadmap kita menuju super-app,” tutup Michael.

AwanTunai Bukukan Pendanaan Seri A3, Berbentuk Ekuitas dan Debt

Layanan fintech lending AwanTunai kembali mendapatkan pendanaan. Berdasarkan data yang diinputkan ke regulator, nilainya berkisar $8,5 juta atau setara 121,5 miliar Rupiah. Sejumlah investor turut terlibat, termasuk International Finance Corporation (IFC), Global Brain, Insignia Ventures, OCBC NISP Ventures, dan beberapa lainnya.

Ketika dihubungi DailySocial.id, Co-Founder & CEO AwanTunai Dino Setiawan membenarkan adanya pendanaan baru tersebut, yang masuk dalam seri A3. Ia juga menjelaskan, bahwa investasi yang didapat terdiri dari dua jenis, yakni pendanaan ekuitas dan fasilitas pinjaman (debt facility). Untuk nilai di atas adalah pendanaan ekuitas, sementara debt facility belum disebutkan nilainya.

Di putaran ini, IFC menjadi penopang dana terbesar, menyubang sekitar 50% dari total nilai pendanaan ekuitas yang didapat. Masuknya institusi keuangan di bawah Bank Dunia tersebut di AwanTunai menambah daftar portofolionya di Indonesia. Sebelumnya IFC juga berinvestasi ke PasarPolis, ASSA, dan eFishery. Sebagian misinya untuk mencari proyek investasi berdampak, seperti untuk meningkatkan inklusi keuangan dan digitalisasi di sektor riil.

AwanTunai mengumumkan pendanaan seri A2 senilai $56,2 juta (lebih dari 811 miliar Rupiah) dalam bentuk ekuitas dan fasilitas pinjaman pada pertengahan tahun 2021 lalu. Pendanaan ekuitas sebesar $11,2 juta diberikan oleh investor baru BRI Ventures dan OCBC NISP Ventura, serta partisipasi dari investor sebelumnya, antara lain Insignia Ventures dan Global Brains.

Spesialisasi AwanTunai adalah pada pembiayaan rantai pasok, menyasar kalangan pelaku usaha mikro di daerah. Hingga Juni 2021, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 160 mitra supplier untuk membantu pedagang grosir tradisional melakukan digitalisasi dan pembiayaan usaha mereka.  AwanTunai telah melayani lebih dari 8.000 pedagang mikro sebagai pengguna, dengan peningkatan jumlah pengguna yang berasal dari kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Memosisikan Diri Sebagai Platform Insurtech untuk Segmen Ritel

Digitalisasi industri asuransi tidak sekadar bicara soal mengubah channel penjualan ke kanal digital. Usahanya mengubah seluruh proses bisnis secara end-to-end, mulai dari pembuatan produk, pemasaran, pembelian, hingga klaim. Kolaborasi antara perusahaan asuransi dan platform insurtech pada akhirnya menjadi kunci penting dalam meningkatkan penetrasi asuransi yang masih mini di Indonesia.

Qoala menyadari strategi tersebut harus dilakukan dengan cara mutakhir, yaitu menempatkan asuransi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari agar masyarakat dapat mengenal manfaat dasar berasuransi. Selama ini industri asuransi masih cukup tradisional, mengandalkan agen dengan produk yang dipasarkan punya high value, tidak bisa dijual dengan murah.

“Tapi dengan adanya channel digital, kita tidak bisa semudah itu convert dari tradisional ke digital karena channel digital itu harus berbeda. Harus sesuai dengan kegiatan masyarakat yang beli lewat platform, yang terjangkau, mudah dipahami, dan karena tujuannya edukasi, harus lebih mudah saat klaim,” terang COO Qoala Tommy Martin dalam wawancara bersama DailySocial.id.

Dalam perjalanan meracik produk asuransi mikro, Qoala dan perusahaan asuransi saling bekerja sama dengan keahliannya masing-masing agar produk dapat tepat sasaran. Tommy mencontohkan, produk asuransi perjalanan akan mendapat nilai lebih apabila dikaitkan dengan kebiasaan mereka saat mengakses aplikasi OTA yang selalu mereka kunjungi.

Misalnya membeli tiket pesawat di era pandemi ini muncul risiko keterlambatan/pembatalan/penjadwalan ulang penerbangan dan perlindungan risiko apabila tiba-tiba positif Covid-19. Risiko-risiko yang muncul tersebut bisa memberikan nilai urgensi bagi konsumen untuk membelinya. Kelebihan ini sebelumnya belum bisa diberikan oleh perusahaan asuransi karena mereka memiliki keterbatasan dalam memperoleh analisa data kebiasaan digital konsumen sebagai bekal terpenting.

Keahlian tersebut menjadi kekuatan Qoala dan mengawinkannya dengan kapabilitas underwriting yang dimiliki perusahaan asuransi sebagai manajemen risikonya. Underwriting secara sederhananya adalah proses identifikasi dan seleksi risiko. Saat mengajukan asuransi, calon tertanggung akan terlebih dahulu melewati proses underwriting sebelum akhirnya mereka dibebankan premi dengan jumlah tertentu.

Di luar itu, mereka tidak memiliki kapabilitas untuk membangun pemahaman terhadap perilaku masyarakat yang sudah berbasis digital dan memahami memahami risiko apa yang dihadapi di era masa kini. Ini bicara mengenai data yang tidak semuanya bisa diakses oleh perusahaan asuransi.

Dibutuhkan kehadiran layanan insurtech untuk mengakses dan menganalisa data, misalnya data keterlambatan penerbangan yang diperoleh dari Angkasa Pura untuk asuransi perjalanan. Jutaan data tersebut kemudian diolah platform insurtech untuk mendapatkan masukan dan mendeteksi keterlambatan penerbangan secara real-time saat proses klaimnya.

Bagi perusahaan asuransi, klaim yang diajukan untuk keterlambatan penerbangan berkisar antara Rp150 ribu sampai Rp500 ribu. Ini angka yang kecil, namun untuk membentuk tim klaim khusus, produk ini memakan biaya investasi yang tidak sedikit, karena dunia digital bicara soal kuantitas agar tidak menjadi isu bila klaim yang diterima itu sampai ribuan.

“Yang kita kembangkan adalah kerja sama untuk flight status [dengan Angkasa Pura], supaya bisa deteksi keterlambatan. Jadi konsumen enggak perlu klaim, bahkan Qoala bisa kasih notifikasi berhak untuk klaim sehingga mereka tinggal ajukan klaim dengan mudah. Harapannya ke depannya mereka bisa memahami asuransi dengan cara yang mudah.”

Tiap kali ada inovasi yang mengubah perilaku masyarakat akan menimbulkan risiko baru. Kesempatan inilah yang bisa digarap perusahaan asuransi, sehingga produknya juga dituntut untuk terus berinovasi. Dunia asuransi itu sendiri dikenal sebagai industri yang kaku dengan proses kerja yang tidak sedinamis layanan insurtech.

Dalam setahun, volume polis yang diproses mungkin puluhan ribu karena produk yang dijual harganya mahal karena mengandalkan channel pemasaran agen yang memakan biaya. Sementara, bila melalui kanal digital polis, yang diproses bisa jutaan karena produk yang dijual bersifat mikro.

“Asuransi harus menjadi lifestyle yang bukan dicari untuk satu tahun, tapi bisa dibeli beberapa kali dalam setahun. Makanya harus dikaitkan dengan lifestyle.”

Perjalanan bisnis Qoala

Sejak beroperasi di 2018, Qoala menempatkan diri sebagai platform insurtech untuk ritel dengan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C). Pendekatannya kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan PasarPolis, kompetitor terdekatnya.

Qoala Plus adalah platform untuk tenaga pemasar asuransi agar proses kerjanya lebih efisien dan terdigitalisasi. Mereka juga lebih independen dalam menyediakan opsi produk yang lebih beragam, karena tidak terikat pada satu perusahaan asuransi saja.

“Kita sudah bekerja sama dengan 30 perusahaan. Tenaga pemasar bisa memasarkan semua produk asuransi lewat aplikasi. Kelebihan-kelebihannya sudah diinfokan sehingga mereka bisa memberikan solusi yang lebih baik dan pelayanan yang lebih bagus.”

Sementara Qoala for Enterprise menawarkan solusi untuk bisnis di berbagai industri, baik untuk keperluan internal maupun sebagai growth avenue dan sumber peningkatan kepuasan end customer atau profitabilitas. Lebih dari 60 perusahaan teknologi dari lokal dan luar negeri telah bekerja sama dengan Qoala untuk memasarkan produk asuransi inovatif.

“Suatu hari masyarakat yang teredukasi lewat Qoala for Enterprise dapat menyadari keterlambatan penerbangan tidak akan mengubah hidup mereka. Akhirnya mereka sadar bahwa yang terpenting dari asuransi itu adalah asuransi jiwa, kecelakaan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang bisa memberikan dampak finansial kepada seseorang kalau bisa terjadi.”

Kaitan antara Qoala Plus dan Qoala for Enterprise ini bicara mengenai strategi perusahaan dalam meningkatkan penetrasi asuransi. Inovasi digital yang dilakukan pun berbeda tapi punya irisan yang sama. Qoala Plus fokus pada digitalisasi pelayanan tenaga pemasar. Produk asuransi tradisional saat ini sudah bagus dan teregulasi dengan baik, tapi perlu ditingkatkan dari segi pelayanan seperti menerbitkan polis dan proses klaim yang lebih cepat.

Sedangkan Qoala for Enterprise fokus pada edukasi. Dengan demikian produknya harus bersifat mikro, penerbitan polis dan klaim harus instan dan otomatis. Maka dari itu, inovasi digital yang dilakukan perlu dilakukan secara menyeluruh, sebab pengembangan produknya bergantung pada ketersediaan data dan kebutuhan masyarakat yang harus dikaitkan dengan platform digital populer.

Ekspansi bisnis Qoala

Menurut pengalaman yang didapat Qoala dari negara tetangga, produk asuransi tradisional tetap butuh pemasaran lewat kanal tenaga pemasar. Hal tersebut disebabkan kompleksitasnya, sehingga tetap lebih nyaman menjelaskan produk melalui tenaga pemasar. Kebiasaan ini mirip dengan pergadaian. Bahkan, di negara maju sekalipun, dengan penetrasi asuransi yang sudah tinggi, tetap membutuhkan kehadiran tenaga pemasar.

Di Thailand, salah satu negara yang dirambah Qoala berkat akuisisi  terhadap FairDee, perusahaan menjalankan model bisnis keagenan sejak pertama kali beroperasi di 2019 dan terbukti mampu jadi pemain terdepan dengan lebih dari 10 ribu tenaga pemasar. Konsep FairDee direplikasi dan dibawa masuk ke Indonesia.

Para tenaga pemasar yang bergabung di Qoala Plus dinamai Mitra Qoala Plus, diklaim jumlahnya mencapai lebih dari 50 ribu orang tersebar di Batam, Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Samarinda, hingga Manado.

Meski Tommy tidak bersedia memberikan secara rinci, kontribusi bisnis Qoala terbesar datang dari Qoala Plus dengan ticket size premi mulai dari Rp3 juta sampai Rp4 juta dengan ribuan polis terjual. Sementara Qoala for Enterprise produknya lebih mikro dengan ticket size mulai dari Rp5 ribu sampai Rp10 ribu dengan jutaan polis terjual. “Sementara pertumbuhan grup, secara preminya tumbuh lima kali dari tahun lalu.”

Qoala bisa dikatakan sebagai platform insurtech lokal dengan ekspansi regional terbanyak. Terhitung saat ini perusahaan telah beroperasi di Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Kecuali di Thailand, Qoala membangun bisnisnya dari awal di masing-masing negara. Kontribusi Thailand terhadap pendapatan grup dikatakan cukup mendominasi setelah Indonesia, dengan model tenaga pemasarnya.

Sementara di Vietnam dan Malaysia, perusahaan menjalankan solusi Qoala for Enterprise dan mulai beroperasi sejak tahun lalu. “Sebab di Enterprise ini kerja samanya dibangun dengan perusahaan dari Indonesia yang punya bisnis di kedua negara tersebut. Salah satunya dengan Traveloka juga.”

Banyak pembelajaran yang didapat Qoala dari negara tetangga untuk membantu pengembangan bisnis asuransi di Indonesia. Di Thailand dan Malaysia misalnya, tingkat kesadaran masyarakat untuk berasuransi tinggi karena diwajibkan untuk tiap pemilik kendaraan bermotor. Di sana regulasinya sudah menyatakan bahwa asuransi kendaraan harus disertakan untuk setiap perpanjangan STNK setiap tahunnya.

“Regulatornya sudah lebih advanced, dari manajemen risiko, infrastruktur yang lebih bagus. Di Indonesia itu keunggulannya potensi market terbesar dengan jumlah platform digital, masuk urutan ke-5 di dunia dari jumlah startup. Banyak pembelajaran dari perusahaan asuransi yang lebih maju untuk diadopsi di Indonesia.”

Perusahaan menargetkan sepanjang tahun ini keseluruhan bisnisnya dapat tumbuh hingga lima kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Proposisi yang dibawa perusahaan diharapkan dapat melambungkan posisinya sebagai platform insurtech untuk ritel terbesar di regional. Produk ritel yang dimaksud itu adalah asuransi kendaraan, perjalanan, gadget, kesehatan, jiwa, dan properti.

“Sudah cukup [ekspansi negara], sebab semua market yang kita rambat ini market potensial. Rencana berikutnya tetap fokus di Indonesia. Mengembangkan teknologi dan inovasi terutama Qoala Plus.”

Rencana lainnya yang disegerakan Qoala adalah mengajukan diri sebagai perusahaan asuransi. Tommy mengatakan, rencana tersebut kemungkinan besar akan dijajaki maksimal dua tahun dari sekarang. Tren tersebut secara alamiah menjadi perhatian bagi para pemain insurtech di belahan dunia mana pun karena kemampuan underwriting yang hanya bisa dilakukan apabila berada di bawah bendera perusahaan asuransi.

Tak hanya itu, lisensi ini juga memberikan mereka lebih banyak kendali atas produk dan operasi inti mereka, serta eksposur yang lebih besar terhadap keuntungan penjaminan emisi. Namun, karena asuransi adalah industri yang sangat diatur dan padat modal, menjadi perusahaan asuransi berlisensi akan memaksa startup insurtech untuk merealokasi sumber daya dan modal dari inisiatif pertumbuhan.

Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan tren yang terjadi belakangan, seperti perusahaan lending atau fintech yang mengakusisi perbankan untuk menjadi layanan digital. Di kancah global, sejumlah perusahaan insurtech kini sudah menjadi perusahaan asuransi sepenuhnya, di antaranya Bestow, Hippo, Pie Insurance, Lemonade, Metromile, dan Root.

“Di Indonesia variasi perusahaan asuransi itu sangat penting karena bisnis asuransi itu besar. Bukan berarti nantinya jadi perusahaan asuransi kita jadi tidak kolaborasi dengan perusahaan yang sudah ada. Kerja sama harus tetap berjalan karena melayani masyarakat luas,” pungkasnya.