Startup Edtech Grou Jembatani Pencari Kerja Lewat Pengalaman Virtual

Pesatnya pertumbuhan startup digital di Indonesia, mendorong lahirnya jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Kondisi tersebut pada akhirnya menimbulkan kesenjangan ekspektasi antara pencari kerja dengan pemberi kerja.

Untuk mengatasinya, umumnya pemberi kerja melakukan serangkaian tes guna mendapatkan ekspektasi kemampuan si pencari kerja. Bisa dibilang untuk menempuh proses tersebut, investasi yang dikeluarkan tidaklah sedikit.

Aleisha Fiona (CEO) dan Unggul Reynawa (CMO), yang bertemu saat bekerja di Gojek, menawarkan solusi yang berbeda untuk mengatasi hal tersebut dengan meluncurkan Grou. Grou adalah startup edtech yang menyediakan platform marketplace khusus virtual work experience untuk mahasiswa dan pencari kerja mendapatkan pengalaman kerja secara virtual.

Sejatinya, Grou adalah hasil rebrand dari wadah komunitas pengembangan karier ReLearn yang sudah hadir sejak Februari 2020. ReLearn yang berbasis akun media sosial di Instagram ini dirintis dengan intensi awalnya sekadar untuk menyebarkan tips-tips seputar dunia kerja untuk mahasiswa dan pencari kerja yang baru merintis karier. Kemudian berkembang dengan menghadirkan program mentorship.

Terkait alasan pivot dan rebranding, Aleisha menjelaskan bahwa terdapat kesenjangan antara filosofi dengan nama merek sebelumnya. ReLearn itu artinya belajar lagi. Konteks belajar itu sendiri sangat luas. Sementara, filosofi yang selalu dibawa ReLearn adalah teman perjalanan karier. Di sisi lain, merek ReLearn sedikit mirip dengan startup sejenis yang sudah lebih dulu hadir di Indonesia, ada yang mengira subsidiary-nya.

“Awal 2022 kita mulai riset, seperti apa persona ReLearn. Mereka ingatnya teman karier karena jargon yang kita pakai itu ‘grow with ReLearn’ karena kita mau orang berkembang bersama kita. Kita gali terus sampai akhirnya yakin [untuk rebrand],” ujar Aleisha kepada DailySocial.id.

Tiga tahun mengembangkan ReLearn, Aleisha mempelajari bahwa program mentoring saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah yang di lapangan yang alami oleh para rekruter. Sebelum berkarier di ranah profesional, Aleisha pernah ikut menjadi penasihat karier di luar negeri. Tiap bulannya ia meninjau 300 lamaran pekerjaan yang masuk, sebagian besar para kandidat tersebut masih ragu dengan tujuan karier setelah lulus kuliah.

Di Indonesia saja, menurut data yang ia kutip, terdapat 8,3 juta fresh graduate yang tidak bekerja saat ini. Dari total tersebut, hanya 15 ribu orang yang memiliki akses ke program intership.

Berbagai pengalaman dan riset di lapangan, memantapkan dirinya untuk menyeriusi solusi pengalaman kerja virtual ini. Terlebih, ia juga melihat kesuksesan Forage, startup sejenis Grou asal Amerika Serikat, dengan konsep yang diusung untuk meyakininya diadopsi ke Indonesia.

“Indonesia mempunyai lebih dari 10 juta fresh graduates, sedangkan peluang magang di Indonesia masih sangat terbatas setiap tahunnya. Dengan adanya marketplace pengalaman kerja virtual yang diluncurkan oleh Grou, kami berharap agar bisa membangun peluang kerja yang lebih terdemokratisasi, sehingga siapapun bisa mendapatkan pengalaman pekerjaan, sekalipun untuk yang tertarik berkarier lintas jurusan.”

Produk Grou

Produk Grou saat ini ada dua, yakni virtual work experience dan komunitas. Produk pertama ini walau dilakukan secara daring atau virtual, program pengalaman kerja virtual Grou memiliki peluang besar untuk membantu rekruter perusahaan menyaring calon karyawan yang berkualitas dengan mudah.

Hal ini didukung oleh akses program yang bersifat gratis untuk para pencari kerja, serta fitur Digital Profile yang dapat membantu rekruter menyaring kandidat lebih mudah sesuai kebutuhan. Penggunanya dapat berasal dari kalangan mahasiswa, fresh graduate, professional, bahkan praktisi industri yang ingin bergabung sebagai mentor.

Dari sisi perusahaan, mereka dapat listing berbagai posisi pekerjaan dengan mencantumkan studi kasusnya melalui akses dasbor yang diberikan Grou. Calon pekerja dapat mengerjakan studi kasus tersebut, sesuai jenis pekerjaan dengan yang mereka mau.

“Jadi drive dari sisi job seeker itu, dia mau tahu apa saja yang ia kerjakan. Tapi dari sisi perusahaan, mereka bisa kontrol apa saja pekerjaan yang mau di-post. Mereka ada potensi membutuhkan kandidat tersebut atau amplifikasi employer branding-nya karena banyak orang yang enggak tahu pekerjaannya tuh kayak gimana.”

Aleisha melanjutkan, “Dari job seeker mereka dapat pengetahuan mengenai perusahaan tersebut. Mereka bisa tahu kalau misalnya jadi finance manager di perusahaan itu silabusnya apa saja yang harus dipelajari. Silabus ini kan yang missing di bangku kuliah. Itu yang kita trying to solve.”

Produk pertamanya ini baru dirilis pada 14 Oktober kemarin. Calon pekerja tidak dibebankan biaya untuk menggunakan solusi tersebut karena model bisnis yang dianut adalah B2B.

Grou juga memiliki program mentoring virtual untuk mendukung proses pengembangan karier generasi muda. Diklaim perusahaan telah bekerja sama dengan 150 praktisi industri untuk melakukan program mentoring karier bersama lebih dari 500 anggota komunitas di Grou. Para mentor ini berasal dari perusahaan teknologi, big 4 consulting, dan perusahaan bergengsi lainnya.

“Sekarang masih tahap awal, masih cari product-market-fit. Sembari itu kita expanding anggota komunitas karena apapun bentuk produk yang kita keluarkan akan tetap ada unsur komunitas yang melekat di dalamnya.”

Disebutkan Grou telah mengantongi pendanaan sebesar $40 ribu (Rp628 juta) dari lima angel investor. Latar belakang para investor ini beragam, ada yang dari industri game, hiburan, dan sebagainya. Aleisha menyebut pendanaan pra-awal ini masih berlanjut dan ditargetkan dapat meraup dana sebesar $175 ribu (Rp2,7 miliar).

“Kita ini masih kecil banget, jadi yang kita butuhkan adalah mencari investor strategis, yang bisa jadi mentor buat aku sebagai founder,” pungkasnya.

AMODA Raih Pendanaan Awal Dipimpin East Ventures dan Living Lab Ventures

Startup properti dan konstruksi AMODA memperoleh pendanaan awal dengan nominal yang dirahasiakan, dipimpin oleh East Ventures dan Living Lab Ventures. Sebelumnya, AMODA mendapat pendanaan pra-awal pada Juli 2022 yang juga dipimpin East Ventures.

“Putaran pendanaan awal ini mendorong kami untuk merevolusi lanskap properti dan konstruksi di Indonesia. Kami yakin dapat menciptakan ruang bangunan yang inovatif, mudah beradaptasi, dan ramah lingkungan dalam memberdayakan dunia usaha dan individu,” tutur Co-Founder & CEO AMODA Robin Yovianto dalam keterangan resminya.

AMODA didirikan pada Oktober 2021 oleh Robin Yovianto dan Agusti Salman Farizi (Co-Founder dan Presiden) dengan visi untuk merevolusi industri properti dan konstruksi di Indonesia.

Sejak berdiri, perusahaan mengklaim telah mengantongi pertumbuhan pendapatan 4x lipat dari tahun ke tahun. AMODA telah memperluas cakupan operasinya dengan total portofolio lebih dari 200 aset konstruksi, 50 mitra kontraktor nasional, dan menjalin hubungan dengan lebih dari 30 pemilik tanah.

“Investasi ini mencerminkan keyakinan kami terhadap visi mereka untuk mentransformasi dan mendefinisikan kembali sektor properti dan konstruksi di Indonesia. Kami telah menyaksikan pertumbuhan AMODA yang luar biasa, dan kami yakin solusi inovatif AMODA akan meningkatkan kualitas efisiensi, efektifitas, dan keberlanjutan pada sektor konstruksi,” ujar Partner East Ventures Melisa Irene.

Solusi AMODA juga disebut telah memperkuat kemitraan jangka panjang dengan lebih dari 60 perusahaan. Adapun, pendanaan ini akan dialokasikan untuk meningkatkan kapabilitas produk, teknologi, dan operasional.

Tantangan

AMODA mengungkap bahwa industri properti dan konstruksi dihadapkan pada metode konvensional yang menyebabkan rendahnya produktivitas dibandingkan sektor lain. Kurangnya transparansi dan perkiraan pada proses konstruksi mengakibatkan inefisiensi di kebanyakan proyek. Terbuangnya sumber daya dan jejak karbon dalam jumlah besar juga menjadi salah satu tantangannya.

AMODA mengembangkan inovasi yang dapat mentransformasi dan mengatasi isu pada proses konstruksi tradisional. Perusahaan menyediakan dasbor untuk memungkinkan klien melacak pekerjaan secara menyeluruh, baik dari aspek harga, konstruksi, dan penyewaan. Selain itu, AMODA juga kini menggunakan material yang dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon dan proses konstruksi ramah lingkungan.

Solusinya juga memungkinkan klien  memiliki kebebasan dan bereksperimen untuk mengubah lokasi, terutama pada tahap awal merintis usaha atau bisnis mereka. Strategi ini diyakini dapat memberikan dampak signifikan bagi klien dalam memitigasi risiko.

Investasi East Ventures di proptech

Sebagai pemodal ventura yang memiliki mandat sektor agostik, East Ventures memiliki keleluasaan untuk berinvestasi ke berbagai vertikal industri. Di proptech sendiri, keseriusan East Ventures semakin tampak ketika pada 2022 lalu turut terlibat mendirikan Urban Gateway Fund bersama Sinar Mas Land, Redbadge Pacific, dan Prasetia Dwidharma. Fokusnya berinvestasi ke startup tahap awal yang bergerak pada pengembangan tata kota.

Selain AMODA, East Ventures juga sempat berinvestasi ke Tanaku, startup yang membangun platform teknologi untuk memfasilitasi pembelian dan transaksi properti secara online. Kemudian juga memberikan pendanaan awal ke Kabina, pengembang platform penyederhanaan proses konstruksi dengan memanfaatkan modularistas, pra-fabrikasi, dan bahan utama kayu. Ringkas juga sempat mendapatkan sokongan modal dari East Ventures untuk menghadirkan layanan digital guna memfasilitasi kredit hunian (KPR).

Bukalapak Gencar Dorong Bisnis Produk Gaming dan Digital

Penjualan produk digital dan voucher game yang dikelola oleh marketplace “itemku”, menjadi salah satu fokus PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) mencapai keuntungan yang ditargetkan dapat terealisasi pada kuartal IV 2023.

Direktur Strategy, Corp. Communication, dan Investor Relation Bukalapak Carl Reading mengungkapkan, pihaknya terus mendorong lini bisnis yang memiliki take rate dan margin yang tinggi. Salah satunya berasal dari produk digital dan game.

“Secara kuartal (QoQ), produk gaming dan phone credit memiliki pertumbuhan kuat. Fokus kami adalah mendorong penjualan produk yang punya high margin dan high take rate,” tuturnya dalam paparan publik yang digelar Jumat (13/10).

Tidak dirincikan realisasi margin atau kontribusi pendapatan itemku. Namun, laporan keuangan kuartal II 2023 mencatat take rate lini Marketplace naik 93 basis poin menjadi 3% dibandingkan periode sama tahun lalu. Pendapatan Marketplace di semester I 2023 mencapai Rp1,2 triliun atau tumbuh 75% (YoY).

Dalam pemberitaan sebelumnya, Presiden Bukalapak Teddy Oetomo sempat mengungkap bahwa strategi specialty vertical yang diambil memungkinkan perusahaan untuk memperoleh take rate lebih tinggi. Strategi ini tercermin lewat bisnis produk gaming dan e-grocery (AlloFresh).

Akuisisi itemku oleh Bukalapak pada Mei 2021 disebut juga sebagai salah satu sumber keuntungan. Itemku adalah bagian dari Five Jack, di mana sempat memperoleh investasi dari 500 Startups dan Bon Angels Venture Partners.

Terkait AlloFresh, Carl juga menambahkan, “proses integrasinya [dengan gerai Transmart] berjalan dengan sangat baik. Belum sepenuhnya, tetapi sudah mencapai lebih dari 65 gerai. Mungkin di 2024, kita bisa lihat impact-nya terhadap [kinerja] Bukalapak.”

Potensi pasar gaming

Potensi pasar gaming di Indonesia sangat besar mengingat Indonesia adalah rumah bagi sekitar 180 juta gamer menurut laporan Niko Partners. Tingginya basis gamer di Tanah Air mendorong permintaan terhadap produk game, seperti aksesoris, topup, atau voucher game.

Google Play termasuk salah satu ekosistem produk game terpopuler, kini terintegrasi juga dengan metode pembayaran digital dalam negeri, seperti OVO dan GoPay. Voucher game Google Play juga dapat dibeli di gerai, seperti Indomaret dan Alfamart. 

Sementara, platform lain yang menawarkan jual-beli untuk produk gaming di Indonesia ada Codashop, UniPin, hingga Dunia Games. 

Application Information Will Show Up Here

1982 Ventures Perkuat Kehadiran di Indonesia, Bentuk Tim Lokal

1982 Ventures mengumumkan bergabungnya Amiyandra Suratman untuk mengelola portofolio investasi di kawasan regional. Penunjukan ini juga sejalan dengan strateginya untuk memperkuat kehadiran 1982 Ventures di Indonesia.

Amiyandra memegang posisi Regional VC Ecosystem and Platform Lead berbasis di Jakarta, yang bertanggung jawab untuk mendukung dana kelolaan bersama pemangku kepentingan strategis, termasuk portofolio, Limited Partner (LP), mitra korporasi, dan ekosistem terkait.

Dihubungi terpisah oleh DailySocial.id, wanita yang karib disapa Ami ini mengungkap akan meluncurkan beberapa program khusus di Indonesia dan mempertimbangkan kolaborasi dengan mitra lokal. “Ini untuk memperdalam ikatan kami dengan ekosistem Indonesia di masa depan,” ungkapnya.

Ami menapaki jejak karier di MDI Ventures sebagai Strategic Synergy, membantu mengelola sinergi antara portofolio dan BUMN. Ia juga sempat menduduki posisi senior divisi Sales, Business Development and Partnerships di Innovation Factory Block71 Jakarta, yang adalah kemitraan antara National University of Singapore dan konglomerasi Salim Group.

Amiyandra Suratman sempat berkarier di MDI Ventures dan Innovation Factory Block71 / 1982 Ventures

Dalam pemberitaan terakhir tahun lalu, 1982 Ventures menyebut Indonesia sebagai pasar intinya. Fokus investasinya adalah startup tahap awal, terutama di sektor fintech dan infrastruktur teknologi. Saat ini 1982 Ventures telah memiliki total sebanyak 33 portofolio di Asia Tenggara dan Asia Selatan.

“1982 Ventures optimistis dengan peluang investasi fintech di Indonesia. Peluang investasi fintech pada bisnis yang tumbuh tinggi, berkelanjutan, dan punya valuasi menarik, justru lebih baik daripada yang telah kami lihat selama bertahun-tahun,” lanjut Ami.

1982 Ventures didirikan oleh Scott Krivokopich dan Herston Elton Powers yang sejak awal fokus untuk berinvestasi di startup Asia Tenggara. Di Indonesia, 1982 telah menyuntik investasi ke 11 startup, termasuk Brick, PasarMikro, HiPakal, dan Fazpass. Diketahui, 1982 Ventures berencana untuk meluncurkan dana kelolaan kedua yang ditarget sebesar $50 juta pada awal 2024.

“Kami sangat antusias memanfaatkan talenta Amiyandra sejalan dengan upaya mengembangkan platform kami bagi untuk para founder, investor, dan mitra korporasi,” ujar Founding Managing Director 1982 Ventures Herston Powers dalam keterangan resminya.

Dengan posisi kunci di kawasan regional, pihaknya berharap dapat mendorong 1982 Ventures sebagai VC yang paling aktif di setiap cap table sebagai komitmen untuk meningkatkan dampak di seluruh ekosistem.

“Tujuan kami adalah menjadi VC yang bekerja paling keras di semua cap table dan GP yang paling berharga bagi para investor kami. Perekrutan kunci ini menunjukkan komitmen kami untuk meningkatkan pengaruhnya di seluruh ekosistem.” Tutup Herston.

Beliruma Rebranding, Kini Hadirkan Solusi Digitalisasi Operasional Agen Properti

Startup proptech Beliruma mengumumkan rebranding menjadi BeliRumah, sekaligus mengubah domain situsnya. Bersamaan dengan itu, perusahaan juga mulai menyeruisi digitalisasi agen properti agar operasional mereka lebih efisien, dalam bentuk aplikasi dan situs mobile yang sudah bisa diakses secara publik.

CEO BeliRumah Effendy Tanuwidjaja menyampaikan perluasan fokus ini dilatarbelakangi oleh perubahan perilaku konsumen yang kini cenderung mencari informasi properti secara online melalui berbagai kanal, seperti situs agen properti, portal iklan, dan media sosial. Mau tak mau dari ekosistem pendukungnya, dalam hal ini agen properti, juga perlu dibenahi dengan digitalisasi.

“Digitalisasi menjadi kunci untuk mencapai audiens yang lebih luas,” ujar dia saat dihubungi DailySocial.id.

Dia berpendapat, penerapan digitalisasi agen di BeliRumah ini bertujuan untuk memberikan layanan yang lebih efektif kepada para penggunanya. Bentuk solusi digital untuk agen properti berupa aplikasi dan situs yang sudah bisa diakses secara publik.

Tersedia berbagai fitur, seperti manajemen daftar properti, alat pemasaran, berkomunikasi dengan konsumen, pencarian properti, integrasi dengan sistem manajemen properti, dan laporan analisis yang membantu agen dalam pengambilan keputusan penjualan yang lebih strategis.

Seluruh fitur di atas, menurutnya dapat menarik berbagai benefit, seperti kemampuan untuk mencapai audiens yang lebih luas, meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan hasil penjualan, dan meningkatkan daya saing.

“Diferensiasi kami terletak pada integrasi layanan yang relevan seperti mitra agen properti, kantor agen, developer, dan rekanan bank, yang mendukung dan membantu kami menyediakan solusi end-to-end kepada konsumen.”

Dia melanjutkan, “Kami memiliki strategi pemasaran digital yang siap membantu agen properti mencapai audiens yang lebih luas dan lebih tertarget. Ini bisa mencakup layanan di web kami, kampanye iklan online yang terukur, atau media sosial kami.”

Model bisnis BeliRumah

Effendy mengaku pihaknya sudah menjalankan strategi monetisasi dalam semua produknya. Untuk model agen properti, dilakukan dengan beberapa pendekatan, salah satunya yang paling umum ialah komisi penjualan properti. Perusahaan mengincar para agen properti dari kalangan independen yang bekerja sendiri sebagai agen dan bersedia bekerja sama dengan BeliRumah, serta bekerja sama dengan agen yang tergabung dalam kantor agen properti.

“Agen properti akan mendapatkan persentase tertentu dari nilai transaksi ketika mereka berhasil menjual properti.”

Di luar itu, monetisasi dilakukan dengan menyediakan pemasaran properti, program afiliasi, membangun pendapatan dari iklan atau langganan premium, dan program mitra. Disebutkan, kontributor terbesar BeliRumah sejauh ini adalah para penjual properti.

“Kepercayaan yang diberikan oleh penjual kepada kami dalam menjual properti mereka adalah aset berharga yang kami jaga dengan baik. Ada juga peran pembeli properti dalam setiap transaksi di kami. Mereka merupakan komponen penting. Selanjutnya, kami menjalin kemitraan bisnis dengan pihak terkait, seperti bank rekanan. Kemitraan ini dapat memberikan pendapatan tambahan melalui referensi atau kolaborasi bisnis.”

Ke depannya dalam rangka meningkatkan suplai, perusahaan berencana akan terus menggalakkan hubungan yang intens dengan lebih banyak pengembang properti, kantor agen, dan pemilik properti, demi mendapatkan akses lebih awal ke properti yang akan mereka jual.

“Lalu untuk meningkatkan demand, kami lakukan dengan pemasaran yang efektif dengan menggunakan pemasaran online dan offline yang efektif untuk menjangkau calon pembeli.”

Beberapa inisiatif yang akan mereka lakukan adalah memanfaatkan tools pemasaran digital untuk meningkatkan visibilitasnya di platform online, serta ikut pameran properti untuk memperkenalkan solusinya kepada para calon pembeli potensial. “Kami juga mendengarkan kebutuhan dan preferensi konsumen untuk membantu mencocokkan dengan properti yang sesuai.”

Seperti diketahui, BeliRumah merupakan produk kedua dari PT Real Estate Teknologi, yang juga membawahi solusi digital lainnya bernama Rentfix. Pada awal kehadirannya di 2020, perusahaan memosisikan dirinya sebagai platform pencarian properti online. Misi yang dibawa adalah menjadikan proses mencari, menjual, dan membeli properti jadi lebih mudah dan cepat bagi semua orang.

Diklaim, perusahaan telah melayani ratusan ribu pencari properti apartemen dan rumah baru di Jabodetabek dan kota besar lainnya. Mitra developer dari BeliRumah menawarkan pilihan properti mulai dari Rp200 juta–Rp500 jutaan dengan ribuan pilihan unit Project Listing. BeliRumah juga menyediakan pilihan hunian berkonsep Transit Oriented Development (TOD) yang cocok bagi masyarakat kota kalangan usia muda.

Dengan merek baru, Effendy juga memperkuat platform pencarian ini secara lebih komprehensif, fitur pencarian diperkuat, ulasan properti yang lebih informatif, dan menjanjikan ribuan proyek yang diinginkan.

“Dengan semua ini, pencari properti dapat dengan mudah menemukan rumah atau apartemen yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Senada dengan visi misi kami, yakni mempercepat pertumbuhan kepemilikan rumah di Indonesia melalui teknologi. [..] memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional melalui digitalisasi transaksi properti,” pungkas Effendy.

Segera IPO di Bursa Hong Kong, J&T Express Incar Dana Segar 8 Triliun Rupiah

J&T Global Express dilaporkan mengincar dana sebesar $500 juta (sekitar hampir Rp8 triliun) dari aksi penawaran saham perdana (IPO) di bursa efek Hong Kong sebagaimana diberitakan Reuters.

Dalam laporan sebelumnya, penyedia layanan logistik tersebut sempat menargetkan $1 miliar lewat IPO yang ditargetkan pada semester II 2023. Angka ini disebut bakal menjadi penjualan saham terbesar kedua di Hong Kong di sepanjang 2023 setelah ZJLD Group yang mengumpulkan $675,2 juta pada April.

Sementara menurut sumber lain seperti diberitakan Bloomberg, pertimbangan J&T IPO di Hong Kong dikarenakan regulator Tiongkok tengah meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di luar negeri. Beberapa investor J&T juga berbasis di Tiongkok.

J&T Express didirikan oleh Jet Lee dan Tony Chen, petinggi perusahaan ponsel Oppo di 2015. Pada 2021, J&T Express memperoleh investasi sebesar $2,5 miliar dengan valuasi tembus $20 miliar dari Boyu Capital, Hillhouse Capital Group, Sequoia Capital China, hingga raksasa gaming Tencent Holdings.

Selain untuk IPO, sumber mengungkap bahwa penggalangan dana ini sejalan dengan ekspansi J&T ke Tiongkok dan Amerika Latin.

Jelang IPO, J&T Express sempat mengakuisisi 100% saham Fengwang Information, anak usaha SF Holding yang mengoperasikan Fengwang Express sebesar ¥1.183 miliar (sekitar Rp2,5 triliun). SF adalah penyedia layanan logistik terbesar di Tiongkok secara end-to-end untuk rute domestik dan internasional.

Akuisisi ini dilakukan untuk memperkuat posisi J&T di pasar logistik Tiongkok yang saat ini dikuasai oleh SF Holding, serta kompetitor ZTO Express dan jaringan logistik raksasa milik Alibaba Group dan JD.com. Di Indonesia, J&T Express ikut bersaing dengan pemain logistik penyedia layanan last mile, seperti SiCepat dan Ninja Xpress.

East Ventures Tambah Portofolio Startup Genomik, Kucurkan Investasi ke Mesh Bio

East Ventures mengumumkan kucuran investasi ke Mesh Bio, startup deep tech di bidang kesehatan berbasis di Singapura. Tidak disebutkan nilai investasi yang diberikan. Pendanaan ini akan dialokasikan untuk terus mengembangkan teknologi digital twin atau kembaran digital dalam manajemen penyakit kronis dan memperluas layanan Mesh Bio di pasar Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Mesh Bio didirikan sejak tahun 2018 oleh Andrew Wu (CEO) dan Arsen Batagov (CTO). Visinya untuk memberikan solusi digital mutakhir untuk mengatasi tantangan dalam manajemen pasien dan meningkatnya penyakit kronis di wilayah Asia Tenggara. Sebelumnya tahun 2023 lalu Mesh Bio juga mendapatkan pendanaan awal $1,8 juta yang dipimpin Elev8.vc dan Seeds Capital.

Isu yang ingin diselesaikan

Penyakit tidak menular (PTM) atau penyakit kronis, seperti kardiovaskular dan diabetes, memberikan beban yang besar dan terus bertambah terhadap kesehatan dan pembangunan di kawasan Asia Tenggara. Di kawasan ini, menurut WHO, 62% dari seluruh kematian disebabkan oleh PTM, yang jumlahnya mencapai 9 juta jiwa.

Meningkatnya penyakit kronis menyebabkan manajemen pasien menjadi rumit, ditambah dengan kurangnya dokter, khususnya dokter spesialis, sehingga dokter umum yang kurang memiliki pelatihan spesialis di bidang endokrinologi terpaksa menangani kasus pasien penyakit kronis.

“Mengingat meningkatnya populasi lansia di seluruh dunia, Mesh Bio secara konsisten memprioritaskan pengembangan solusi inovatif untuk mengurangi hambatan perawatan kesehatan yang terkait dengan penyakit kronis. Kami senang menerima dukungan dari East Ventures, dan kami yakin bahwa pendanaan ini akan menjadi landasan yang kuat dalam mendukung visi kami dalam memecahkan masalah peningkatan beban dari penyakit kronis di Asia Tenggara,” jelas Co-Founder & CEO Mesh Bio Andrew Wu.

Telah kembangkan platform analisis prediktif

Salah satu produk yang telah dimiliki Mesh Bio adalah DARA, yakni sebuah platform yang menyediakan data pasien multidimensi secara real-time, yang mencakup riwayat kesehatan, tes laboratorium, dan gambar medis. DARA memberikan laporan visual pasien sehingga dapat membantu para dokter dalam memberikan konseling kepada pasien dan memungkinkan pasien memahami laporan laboratorium dan penyakit yang mereka derita.

Berdasarkan data tersebut, DARA menyediakan analisis prediktif untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko penyakit kronis sehingga mereka bisa mendapatkan diagnosis dan pengobatan lebih dini. Selain itu, platform tersebut juga memungkinkan para dokter untuk mendapatkan dan memanfaatkan pengetahuan dari komunitas praktisi kesehatan global yang sesuai dengan praktik dan pedoman klinis terbaik, serta penilaian pasien secara holistik.

“Pendekatan inovatif dan teknologi mutakhir Mesh Bio berpotensi menjadi salah satu fondasi untuk menyediakan sistem layanan kesehatan yang lebih baik di kawasan Asia Tenggara. Kami percaya bahwa analisis prediksi dan layanan kesehatan preventif dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, dan kami yakin Mesh Bio akan memimpin revolusi ini dengan mesin digital twin mereka,” ucap Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Investasi East Ventures di startup kesehatan

Tidak hanya startup healthtech yang fokus di layanan telekonsultasi dan distribusi obat, East Ventures memilih menjajaki lebih dalam industri kesehatan sampai ke tingkat yang lebih dalam. Di dua tahun terakhir, pemodal ventura paling aktif di Indonesia tersebut menunjukkan komitmennya untuk memperluas hipotesis investasi ke startup genomik dan biotech.

Sekurangnya ada 4 startup di bidang tersebut yang telah diinvestasi tahun ini oleh East Ventures, berikut daftarnya:

Startup Solusi Tahap Investasi
Mesh Bio Layanan manajemen penyakit kronis dan analisis prediktif Seed
Etana Startup biofarmasi yang menghadirkan bahan baku obat biologis untuk kanker dan penyakit kronis lainnya Seed
AMILI Pengembang solusi pengobatan mikrobioma usus pertama di Asia Tenggara Seed
Aevice Health Alat monitoring kesehatan untuk solusi pernapasan kronis Seed

Sebelumnya mereka juga berinvestasi ke startup biotech lokal seperti Nalagenetic dan Nustantics.

Startup Point of Sales LUNA Bukukan Pendanaan Dipimpin TNB Aura dan Seedstars

Hari ini (12/10), Startup point of sales LUNA mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan. TNB Aura, melalui inisiatif TNBA Scout, dengan partisipasi dari Seedstars, menjadi investor lead dalam putaran tersebut,  diikuti dengan jajaran investor dari putaran sebelumnya, yakni 1982 Ventures, Century Oak Capital, dan Prasetia Dwidharma.

LUNA terakhir kali mengumumkan perolehan pendanaan pra-awal pada 2021 dari 1982 Ventures. Grab Ventures juga turut menjadi investor perusahaan yang masuk pada 2020. Saat itu, LUNA terpilih menjadi salah satu finalis dari program akselerator yang dibuat Grab, yakni Grab Ventures Velocity batch ke-3.

Melalui putaran investasi ini, LUNA berencana untuk merekrut talenta di seluruh fungsi, ekspansi ke kota-kota baru di Indonesia, dan berinvestasi dalam pengembangan platform SaaS untuk mewujudkan ambisinya sebagai satu-satunya platform yang dibutuhkan peritel untuk menjalankan bisnis mereka.

“Kami melihat peluang besar dalam vertikal SaaS bagi pedagang ritel di Indonesia. Industri ini adalah salah satu terbesar dan terpenting di Indonesia. Kami memiliki posisi terbaik untuk membantu pelanggan kami mendigitalkan seluruh operasi mereka, mengembangkan bisnis mereka, dan meningkatkan alur kerja mereka,” kata Co-Founder & CEO LUNA Abdullah Lewis dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, saat ini peritel menghadapi pasar yang sangat kompleks dan kompetitif. Banyak yang belum melakukan digitalisasi dan masih menggunakan sistem lama yang tidak dirancang untuk peritel skala UMKM di Indonesia. “LUNA adalah sistem lengkap bagi pemilik ritel untuk meningkatkan skala bisnis mereka dan memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik,” imbuhnya.

Solusi LUNA

Didirikan pada akhir 2019, LUNA adalah sistem operasi lengkap bagi peritel untuk meningkatkan operasi, pembayaran, akuntansi, akses terhadap pembiayaan, rantai pasokan, pemasaran digital, hubungan pelanggan, program loyalitas, SDM, hukum, dan kepatuhan. Diklaim solusinya telah dipakai oleh lebih dari 7 ribu merchant aktif yang tersebar di 70 kota, dengan pertumbuhan lebih dari 20% per bulannya.

LUNA dipimpin oleh tim pengusaha ritel berpengalaman, antara lain Abdullah Lewis (CEO), Patricco Baron (CTO), dan Irianto Siah (COO).

Abdullah menyadari banyak kesulitan yang dihadapi UMKM Indonesia dalam mengelola bisnis mereka, dan menciptakan LUNA untuk menawarkan kepada para pedagang ritel serangkaian alat yang akan membantu mereka mendigitalkan bisnis mereka—dimulai dengan point-of-sales dan memperluas ke semua solusi dan layanan penting lainnya.

Rangkaian solusi lengkap LUNA untuk peritel mencakup: sistem POS dengan perencanaan sumber daya perusahaan (ERP)/sistem akuntansi (Luna POS); menyediakan pembayaran QRIS, debit, dan kartu kredit (Luna One); dukungan pembiayaan bagi UMKM (Luna Capital); toko online (TokoLuna); dan solusi rantai pasokan digital (Luna Mart); dukungan hukum, pendaftaran perusahaan, dan paten (Luna Legal); membantu UMKM mengelola media sosial dan periklanan (Luna Ads); serta manajemen SDM, program loyalitas, dan penawaran manajemen hubungan pelanggan.

“Dengan 90% dari seluruh UMKM di ASEAN berbasis di Indonesia, kami yakin masih ada pasar besar yang belum dimanfaatkan yang saat ini menghadapi kurangnya akses terhadap teknologi dan modal baru. Kami percaya akses unik LUNA terhadap UMKM melalui kemitraan dengan BPR dan perangkat lunak sistem POS mereka akan berfungsi sebagai titik pengumpulan data utama yang akan memungkinkan pemilik usaha mengakses rangkaian lengkap penawaran produk mereka,” kata Managing Partner & Head of Indonesia TNB Aura Glen Ramersan.

LUNA telah menjalin kemitraan dengan bank-bank besar seperti Bank Jawa Barat, Bank CIMB Niaga, Bank Neo Commerce, Nobu Bank, Koinworks, Batumbu, dan operator jaringan nirkabel Smartfren. Perusahaan meluncurkan sistem manajemen SDM serta layanan tambahan yang bernilai tambah untuk lebih memenuhi kebutuhan UMKM sebagai solusi komprehensif.

“Platform SaaS vertikal LUNA membantu bisnis mengelola operasi dengan lebih baik dan memperoleh lebih banyak pendapatan. Melalui pasarnya, mereka dapat mencari pinjaman, menerima pembayaran digital, berinteraksi dengan pemasok, dan menemukan cara baru untuk memperoleh penghasilan. Bank, pemberi pinjaman, dan operator jaringan memilih LUNA ketika mereka menginginkan mitra yang kuat untuk meningkatkan layanan mereka,” ujar Founding Managing Partner 1982 Ventures Scott Krivokopich.

Di Indonesia, solusi POS LUNA beririsan dengan berbagai pemain startup, di antaranya iSeller, MOKA, Olsera, YouTap, Qasir, Pawoon, Majoo, ESB, dan masih banyak lagi.

Application Information Will Show Up Here

10 Tahun eFishery, Masuk ke Bisnis D2C dan Perbesar Porsi Ekspor

Startup aquatech eFishery membeberkan sejumlah rencana besar pada 10 tahun mendatang, bertepatan pada hari jadinya yang ke-10 pada hari ini (11/10). Hilirisasi, ekspansi negara, dan ekspor panen adalah beberapa rencana besarnya.

“10 tahun kemarin kita sudah dibantu banyak pihak, 10 tahun ke depan butuh lebih banyak bantuan. Kita akan masuk ke bisnis consumer (D2C) jadi akan banyak berinteraksi [dengan konsumen akhir], selama ini kita sudah masuk di hulu,” ucap Co-founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah.

Terkait hilirisasi, perusahaan akan masuk ke lebih banyak gerai modern dan tradisional untuk mendistribusikan langsung produk hasil panen udang dan ikan dari para pembudidaya ke konsumen akhir, di bawah brand baru milik eFishery. Pengurusan nama merek sedang diurus perizinannya. Nantinya merek tersebut akan digunakan untuk menjual di pasar domestik maupun global.

Baru-baru ini perusahaan bekerja sama dengan AEON Store untuk menyuplai produk udang beku berkualitas premium ke gerai supermarket mereka di Alam Sutera. Udang beku eFishery sudah dikupas dan dibersihkan sehingga dapat langsung diolah. Kesegarannya juga terjamin karena diproses secara bertanggung jawab dan dibekukan langsung sesaat setelah dipanen dari tambah bersertifikat, tanpa bahan pengawet, dan pewarna tambahan.

Sebelum masuk ke konsumen akhir, perusahaan sebenarnya sudah bekerja sama dengan bisnis horeca dan menjadi supplier untuk menu-menu seafood yang mereka jual melalui solusi eFresh. Platform tersebut menghubungkan langsung calon pembeli dengan pembudidaya terdekat dari lokasi mereka. Informasi stok dijamin akurat dan selalu diperbarui.

“Udang yang ada di Indonesia itu kualitasnya enggak baik karena sisaan, yang bagus-bagus sudah buat ekspor. Strategi kami lebih B2B dengan model horeca karena kita sudah kuasai supply, tapi butuh penyerapan dalam volume yang cukup besar juga,” tambah Co-founder dan CPO eFishery Chrisna Aditya.

Untuk membesarkan bisnis ekspor, perusahaan akan membidik pasar Tiongkok dengan menjual hasil panen udang, setelah sukses ekspor di Amerika Serikat. Kemudian, berencana menambah ekspor ikan nila ke kedua negara tersebut, bersamaan juga menambah incaran negara lainnya, seperti Singapura, Malaysia, kawasan Eropa dan Timur Tengah.

“Alasannya jelas karena [konsumsi ikan] domestic market di Indonesia itu low value added, jadi harus ke luar [negeri] karena kesempatannya lebih besar. Kita ingin ikan nila dan ikan lele seperti salmon yang bisa meng-global dan bersaing di pasar global.”

Masuk ke India

Co-founder dan CPO eFishery Chrisna Aditya dan Co-founder dan CEO eFishery Gibran Hufaizah / DailySocial

Gibran melanjutkan, terkait perkembangan rencana ke India akan segera diresmikan pada awal tahun depan. Perusahaan tersebut akan menjadi anak perusahaan dari eFishery yang dijalankan oleh tim lokal dan didukung orang Indonesia yang ditugaskan untuk bekerja di sana.

“Sudah komersial pilot selama 12 bulan dari September 2021. Kuartal I akan diresmikan.”

Setelah India, perusahaan akan mencari kandidat berikutnya. Namun pihaknya tidak ingin terburu-buru saat ekspansi. “Konsepnya one country at the time biar fokus, mau lihat impact-nya bagaimana, karena kita pengennya sustainable. Enggak banyak negara sekaligus, lalu tutup ketika gagal.”

Alasan pihaknya memilih India karena industri akuakultur di sana punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Di antaranya, petani ikannya sama-sama dimulai dari skala kecil dan pangsa pasarnya juga mirip sekitar $9 miliar-$10 miliar per tahunnya. Di sisi lain, lokasi petani di sana terpusat di satu lokasi yang luasnya mirip dengan Pulau Jawa. Sekitar 85% produksi nasional berasal dari lokasi tersebut.

Juga, produktivitas pembudidaya India baru setara 1/5 dari Indonesia. Artinya, pembudidaya Indonesia lebih piawai menggunakan teknologi baru. “Jika kita bawa teknologi [eFishery] untuk menaikkan produktivitasnya, dampak yang diberikan akan lebih besar. Belum lagi dampak ke sektor lainnya, seperti konsumsi ritel.”

Kondisi di atas berbanding jauh dengan negara tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Vietnam. Di kedua negara tersebut, industri akuakulturnya didominasi oleh pemain besar yang pada akhirnya membuat para pembudidayanya untuk menempel ke magnet tersebut.

Koperasi bertenaga blockchain

Di saat yang bersamaan, perusahaan memperkenalkan resmi beroperasinya Koperasi Multi Pihak Tumbuh Bersama Pembudidaya, yang menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM. Disebutkan ini adalah koperasi digital pertama di Indonesia yang memberikan kemudahan dan manfaat yang lebih besar bagi para pembudidaya ikan dan petambak udang dari hulu hingga hilir.

Turut hadir pula, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Dia mengapresiasi terkait pendirian koperasi ini. Menurutnya, dari suatu kegiatan ekonomi produksi yang melibatkan banyak pihak itu memang paling cocok dengan koperasi multipihak.

“Artinya sirkular ekonominya jadi lebih optimum dimanfaatkan untuk memperbesar seluruh pihak yang terlibat di dalamnya. Jadi ini sangat bagus dan saya kira akan lebih memperkuat ekosistem bisnis di Fishery dan oleh karena itu kami juga mendorong dan men-support ekosistem ini karena ini melibatkan para peternak peternak kecil dan ini menyebar di berbagai digital,” ujar Teten.

Koperasi ini ditenagai dengan teknologi blockchain yang mengintegrasikan ekosistem eFishery untuk permudah proses hilirisasi pembudidaya yang telah tergabung sebagai anggota koperasi. Pada praktiknya nanti, berbagai aktivitas koperasi dapat diakses langsung oleh para anggota melalui smartphone.

Chrisna menjelaskan, secara semangat dan desain eFishery itu sama seperti koperasi, yang ingin tumbuh bersama dengan para anggotanya. Makanya, sedari awal perusahaan tidak menyebut para pembudidaya ini sebagai pengguna eFishery melainkan anggota. Dengan ekosistem close-loop yang sudah dibangun, diharapkan dampak yang dihasilkan dari koperasi ini jauh lebih besar ketimbang koperasi pada umumnya yang skalanya masih mini-mini.

Gibran menambahkan, blockchain dan koperasi itu ibarat seperti Web0 dan Web3 karena keduanya sama-sama menganut konsep desentralisasi (close loop). “Tapi Koperasi ini di-leverage dengan blockchain agar para anggotanya bisa naik kelas, saling bertransaksi di dalamnya, bangun data untuk market global karena kan ada traceability yang bisa terlihat dan tidak bisa terganti.”

Selain meresmikan koperasi, perusahaan juga meluncurkan yayasan bernama eFishery Foundation. Perusahaan menegaskan komitmennya untuk memberikan kontribusi dan dampak positif yang lebih besar serta berkelanjutan terhadap aspek sosial, edukasi, budaya, dan lingkungan, khususnya pada industri akuakultur.

Perusahaan juga akan terus memanfaatkan teknologi untuk terus mengoptimalkan kolaborasi multi-pihak, sehingga dapat mempermudah pembudidaya untuk memperkuat ketahanan pangan melalui produk akuakultur, serta mengurangi emisi karbon.

Kinerja perusahaan

Sejak 2013, perusahaan telah menjaring lebih dari 200 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang dengan 1,1 juta kolam aktif yang tersebar di 280 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Disebutkan, valuasi perusahaan mencapai $1,3 miliar menjadikannya sebagai startup aquatech dengan valuasi terbesar sedunia.

Hingga 2022, perusahaan telah memfasilitasi 1,1 triliun transaksi penjualan ikan air tawar dan 1,12 triliun transaksi penjualan udang. Bila dinominalkan, setara dengan Rp8 triliun total transaksi penjualan ikan dan udang, serta Rp4 triliun total transaksi penjualan pakan ikan dan udang. Kontribusi terbesar disumbangkan dari Jawa Barat dengan persentase hampir 40%.

Sementara untuk ekspor, disebutkan angkanya mencapai 20 juta kilo per bulannya untuk 10 komoditas di eFishery ke Amerika Serikat dan Tiongkok.

Solusi finansialnya, Kabayan, telah didukung oleh belasan perusahaan finansial, seperti Bank OCBC NISP, Amartha, Investree, dan Kredivo. Total dana yang disalurkan mencapai Rp1,07 triliun untuk 24 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang.

Produk pertamanya, eFeeder, alat pemberi pakan ikan otomatis, mampu mempercepat siklus panen hingga 74 hari dan meningkatkan efisiensi pakan hingga 30%. Di sisi lain, realisasi program Kabayan meningkat 2,5 kali tiap tahunnya, yang memungkinkan pembudidaya bisa mendapat akses ke dukungan finansial sampai dengan Rp45 juta per orang.

Hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada tahun 2022 juga menemukan bahwa ekosistem eFishery berkontribusi sebesar Rp3,4 triliun atau setara 1,55% terhadap PDB sektor akuakultur Indonesia.

Perusahaan berencana untuk mengembangkan berbagai inisiatif baru ke depannya, yakni Digital Ancho, Vibrio Counter, dan ShrimptGPT. Sedangkan untuk solusi finansial, bakal ada Kabayan Aset, Simpanen (Simpanan Hasil Panen), dan Asuransi.

Application Information Will Show Up Here

Refleksi Upbit Indonesia di Tengah Musim Dingin Kripto

Tak cuma industri teknologi, pasar kripto global ikutan ambruk tahun lalu—dan trennya masih berlanjut sampai sekarang. Tekanan makroekonomi global disebut sebagai salah satu faktor di balik merosotnya pasar kripto global, termasuk di Indonesia.

Kolapsnya kripto di Indonesia terlihat dari penurunan nilai transaksi di 2022 yang jeblok ke angka Rp306,4 triliun dari Rp859,4 triliun—pertumbuhan tertingginya sejak 2020 hingga saat ini. Data Bappebti mencatat nilai transaksi kripto pada Januari-Agustus 2023 turun 65% (YoY) menjadi Rp86,45 triliun.

Sumber: Bappebti / Diolah kembali oleh DailySocial

Bagaimana platform pertukaran aset kripto Upbit Indonesia merefleksi situasi tersebut?

Kelola risiko, fokus di satu produk

Upbit adalah platform pertukaran aset kripto milik Dunamu, startup teknologi keuangan asal Korea Selatan yang berdiri pada 2012. Selain Korea Selatan dan Indonesia, Upbit beroperasi di Thailand dan Singapura. Dunamu juga mengoperasikan platform investasi Stockplus dan U-Stockplus.

Upbit masuk ke Indonesia pada 2018 dan telah terdaftar di Bappebti. Pihaknya masih menanti lisensi perdagangan aset kripto. Sama seperti negara operasi lainnya di Asia, Upbit baru menyediakan layanan spot market untuk aset kripto di Indonesia. Ada 177 aset yang diperdagangkan.

DailySocial.id berbincang dengan VP of Operations Upbit Indonesia Resna Raniadi terkait krisis kripto yang masih berlanjut terlepas adanya tren kenaikan jumlah investor. Ia menyebut situasi ini justru menjadi momentum ‘seleksi alam’ untuk mengeliminasi pengguna-pengguna yang berkualitas.

Alih-alih fokus pada jumlah, menurutnya Upbit kini mengutamakan kualitas pengguna yang akan tercermin dari peningkatan volume transaksi. “Pengguna lama kami sudah lebih aware dan paham mengenai cara kerja kripto, bagaimana fluktuasi pasar. Industri [kripto] memang turun, tetapi akan meningkat kembali dalam jangka panjang,” tutur Resna.

Upbit mengoreksi target bisnis mengingat situasi pasar sudah jauh berbeda dengan lima tahun lalu. Resna membandingkan, jika target 100 ribu pengguna bisa diperoleh di 2018, angka ini tidak mungkin tercapai sekarang. Menurutnya, mengejar target pengguna di kisaran 20.000-50.000 lebih masuk akal.

Resna mengungkap, sejak beroperasi hingga sekarang, layanan Upbit disambut cukup baik oleh pasar Indonesia. Pihaknya mengaku mengantongi pertumbuhan signifikan pada saat pandemi di 2020. Kendati begitu, belum ada rencana untuk menambah layanan/produk baru untuk memperluas skala bisnisnya.

“Platform lain memang punya ragam fitur, seperti staking atau NFT. Namun, kami memilih untuk fokus di spot market. Bagi kami, bermain di produk baru akan menambah risiko—meski itu terukur. Jadi, kalau ada sesuatu terjadi, kami tidak ikut terseret dari risiko itu,” ungkap Resna.

“Di Upbit, kami memiliki proses KYC yang ketat dari pusat. Ini yang menjadi salah satu diferensiasi kami di pasar. Sejauh ini, belum ada rencana untuk menambah produk baru. Namun, kami menawarkan beberapa fitur, misalnya trading fee 0%, program referral code, dan trading competition untuk pengguna.”

Di Indonesia, sejumlah platform sejenis mulai menambahkan fitur staking alias fitur yang memungkinkan investor untuk menyimpan asetnya, layaknya deposito, dan mengucinya pada periode waktu tertentu. Fitur ini sudah ada di platform, seperti Pintu dan Reku.

Kepercayaan publik masih sulit

Terlepas dengan penurunan pasar kripto di Tanah Air, Resna meyakini appetite masyarakat untuk berinvestasi masih besar. Apalagi generasi muda kini semakin melek berinvestasi dan punya keinginan untuk mencoba.

Sumber: Bappebti / Diolah kembali oleh DailySocial

“Justru public trust menjadi tantangan yang sulit bagi kami selama lima tahun terakhir. Apalagi, beberapa tahun belakangan banyak kasus di industri kripto, seperti robo trading. Ini menjatuhkan kepercayaan yang telah kami bangun dalam tiga tahun ini,” ujarnya.

Secara umum ia mengaku optimistis masih ada peluang pertumbuhan bagi proyek blockchain lain di masa depan, misalnya DeFi atau NFT. Produk non-fungible token (NFT) memang dilaporkan kini tidak ada lagi harganya. Namun, ia menilai NFT dan proyek berbasis blockchain lainnya dapat bertahan selama dapat diolah sesuai kebutuhan yang relevan dengan pengguna. 

Saat ini, pihaknya tengah aktif berkomunikasi dengan regulator untuk mendorong agar ekosistem dan legalitas industri kripto dapat tetap terjaga. Apalagi, pengawasan perdagangan kripto kini sedang dalam proses transisi dari Bappebti ke OJK. Targetnya dapat rampung pada 2025.

Application Information Will Show Up Here