Startup Media 7.5 Degree Siap Ekspansi ke Indonesia, Fokus Jembatani Pebisnis Tiongkok

Setelah mendapatkan pendanaan tahap awal dari East Ventures bulan Mei 2019 lalu, 7.5 Degree media teknologi berbahasa Mandarin yang berbasis di Singapura berencana untuk melakukan ekspansi ke Indonesia. Inisiatif tersebut akan diawali dengan membuka kantor dan menempatkan tim mereka untuk melakukan peliputan. Fokusnya pada berita industri startup, e-commerce, fintech, SaaS hingga gaming di Indonesia untuk pembaca mereka di Tiongkok.

Kepada DailySocial CEO 7.5 Degree Li Yufu menegaskan, kehadiran bisnisnya di Indonesia diharapkan bisa menghadirkan informasi yang relevan sekaligus menjembatani pemilik bisnis dan investor asal Tiongkok untuk melebarkan bisnis mereka di Indonesia.

“Kami membuka peluang tersebut melalui media yang fokus menghadirkan informasi yang relevan untuk pembaca di Tiongkok. Harapannya mereka bisa mengenal lebih jauh industri startup dan terkait di Indonesia.”

Resmi meluncur tahun 2017 lalu, 7.5 Degree telah mendistribusikan artikel mereka melalui berbagai kanal, seperti. Sejauh ini telah memproduksi 350 artikel berbahasa Mandarin, membahas segala hal terkait ekonomi internet di Asia Tenggara.

“Sesuai dengan misi kami yaitu menerapkan ‘One Belt One Road’, kami ingin menjadikan Indonesia salah satu negara yang bisa kami jajaki dalam hal memperluas relasi dan membuka jaringan dengan Tiongkok,” kata Yufu.

Fokus bantu pemilik bisnis dan investor asal Tiongkok

7.5 Degree juga memiliki layanan lainnya berupa konsultasi untuk pemilik bisnis asal Tiongkok yang ingin melebarkan bisnis di Indonesia. Khususnya bagi mereka yang selama ini menggunakan bahasa Mandarin.

Melalui layanan konsultasi ini, 7.5 Degree berharap bisa membawa lebih banyak lagi investor asal Tiongkok ke Indonesia. Saat ini mereka mengklaim telah memiliki beberapa klien dari Tiongkok hingga Thailand yang telah memanfaatkan jasa konsultasinya.

“Untuk media sendiri kami tidak terlalu berat memanfaatkan iklan untuk monetisasi. Namun sepenuhnya strategi monetisasi kami adalah dari layanan konsultasi,” kata Yufu.

Mereka juga telah meluncurkan Invmall, sebuah layanan baru yang bertujuan untuk mendorong interaksi antara pelaku bisnis teknologi di Asia Tenggara dan Tiongkok. Platform tersebut menghadirkan layanan “penghubung” yang memungkinkan para founder startup untuk langsung berhubungan dengan investor dari Tiongkok (atau sebaliknya) lewat email atau WhatsApp.

“Hanya ada sedikit sekali penyedia layanan yang bisa memenuhi kebutuhan startup tahap awal lokal untuk mendapatkan pendanaan. Jika kami bisa membantu para entrepreneur untuk mendapatkan pendanaan tahap awal dari investor, baik dari Tiongkok maupun Asia Tenggara, hal ini akan membuka kesempatan yang besar bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang,” kata Yufu.

CoHive Raih Pendanaan Seri B Lebih dari 192 Miliar Rupiah, Incar Tutup di Angka 285 Miliar Rupiah

Startup operator coworking space CoHive mengumumkan perolehan pendanaan putaran pertama seri B senilai US$13,5 juta (lebih dari Rp192 miliar) yang dipimpin Stonebridge Ventures. Investor lainnya yang turut bergabung di antaranya Kolon Investment, Stassets Investment, pengembang properti lokal, dan investor sebelumnya di Seri A, termasuk H&CK Partners.

Founder dan CEO CoHive Jason Lee menuturkan, pendanaan seri B ini akan ditutup dengan nominal US$20 juta (lebih dari Rp285 miliar). Proses masih berlangsung dan diharapkan akan diumumkan pada akhir tahun ini. Nominal dana tersebut sama persis dengan pendanaan yang berhasil dikantongi perusahaan saat seri A tahun lalu.

Modal tambahan yang didapat sepenuhnya akan dipakai buat ekspansi coworking space di lokasi lainnya, termasuk Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar. Juga mengembangkan produk barunya yakni CoLiving dan CoRetail. CoHive belum menunjukkan minatnya untuk ekspansi ke luar Indonesia.

“Ada sembilan tambahan lokasi coworking yang siap kami bangun, sehingga total coworking space sampai akhir tahun ini ada di angka 40. Tak menutup kemungkinan, kami mencari lokasi potensial lainnya karena mengikuti demand pengguna,” terangnya, Rabu (19/6).

Secara keseluruhan, CoHive memiliki 31 lokasi di empat kota, yaitu Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Bali; dengan total luas sekitar 65 ribu meter persegi. Jumlah anggota sekitar 9 ribu orang yang menyewa produk ruang kerja selama satu bulan. Adapun jumlah startup yang menyewa mencapai 8 ribu startup.

CoHive sendiri, sebelumnya bernama EV Hive, telah beroperasi sejak 2015 sebagai proyek awal dari East Ventures. Pergerakan bisnis CoHive bisa dikatakan sangat agresif. Di Juni 2018, CoHive baru tersebar di 17 lokasi dengan total luas 30.300 meter persegi dan 3.100 anggota.

Diklaim, CoHive menjadi pemimpin pasar coworking space dengan lokasi terbanyak di Indonesia. Lalu disusul GoWork, Kolega, Union Space, Freeware Space, dan Conclave.

Produk baru CoHive

Dalam kesempatan yang sama, Jason memperkenalkan tiga produk barunya yakni CoLiving, CoRetail, CoHive Event Space, serta peresmian gedung pusat yang dinamai CoHive 101 di Mega Kuningan, Jakarta. CoLiving adalah ruang kerja sekaligus tempat tinggal. Lokasi pertamanya ada di Tower Crest West Vista, Jakarta Barat yang dibangun bersama Keppel Land Indonesia.

Di sana, CoLiving menyediakan 64 ruangan dengan luas total 2.800 meter persegi. Jason mengklaim lantai pertama CoLiving, telah resmi beroperasi di Mei 2019. Tingkat okupansinya telah mencapai 90%. Untuk lantai dua, bakal diresmikan pada September mendatang.

Adapun, CoRetail diperuntukkan buat pengusaha ritel yang fleksibel dengan harga terjangkau dan menjual produknya di komunitas startup seperti CoHive. Konsep ritel yang diusung mulai dari toko pop up sementara, toko permanen, dan kantin.

Produk tersebut baru tersedia di lantai dasar CoHive 101. Beberapa tenant yang sudah memanfaatkan adalah Go-Food Festival, Fore Coffee, Pepenero Bakery, Bukalapak, dan lainnya.

“CoRetail memudahkan penjual untuk berjualan tanpa harus pusing bayar biaya sewa yang menyusahkan dan komitmen pembayaran di muka. Beda halnya ketika mereka mau buka toko di pusat perbelanjaan, mereka harus komitmen sewa antara 3-5 tahun dan bayar di muka sampai 12 bulan.”

Jason melanjutkan, produk teranyar yang terakhir yakni CoHive Event Space, diarahkan untuk membantu anggotanya dan mitra bisnis untuk mengadakan pertemuan dan acara perusahaan. Berbekal cabang coworking yang banyak, menjadi peluang perusahaan untuk memaksimalkan fungsi ruangan.

Kantor pusat CoHive 101 ikut diresmikan pada waktu yang berbarengan. Kantor ini berkapasitas 2.700 orang, berisi coworking, private office, CoRetail, event space, kantin, dan lainnya. Diklaim saat ini tingkat okupansinya mencapai 75%.

“CoHive menyediakan opsi build to order untuk startup yang ingin bergabung namun sudah memiliki ratusan karyawan. Cermati dan Tanihub mendatangi kami untuk ikut gabung karena mereka melihat unsur kolaborasi yang kami tawarkan,” pungkas Jason.

Startup Pengembang Platform Konten Pemasaran “Feedloop” Dapatkan Pendanaan Awal dari East Ventures

Startup SaaS di bidang pemasaran Feedloop hari ini (19/6) mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal (seed funding) dari East Ventures dan beberapa angel investor. Terkait nominal yang diterima tidak diinfokan lebih lanjut. Modal tambahan tersebut akan difokuskan untuk membangun pengalaman konten yang interaktif dan mutakhir, sehingga dapat membantu para perusahaan dalam inisiatif “brand activation”.

Layanan Feedloop menyediakan perangkat untuk para staf pemasaran dalam membuat kampanye pemasaran interaktif, berbentuk survei, kuis, dan cerita yang dapat dibagikan di media sosial atau ditempel di aplikasi dan website.

“Konsumen masa kini menginginkan dialog dua arah dengan brand. Sekadar menampilkan iklan dan mempromosikan produk atau brand tidak lagi efektif. Brand harus berinvestasi dalam membangun konten yang memicu dialog dan memberikan nilai tambah kepada konsumen,” ujar Co-founder & CEO Feedloop Ahmad Rizqi Meydiarso, sebelumnya merupakan Co-founder Kata.ai.

“Feedloop bisa mempercepat sebuah kampanye kreatif hingga diterima masyarakat, sembari mengurangi biaya bila dibandingkan dengan kampanye yang dibuat oleh vendor,” tambah Co-founder & CTO Feedloop Ronaldi Kurniawan. “Karena itu, kami menghilangkan kesulitan para staf pemasaran, dan memungkinkan mereka untuk fokus pada hal yang lebih penting, yaitu proses kreatif. Kami juga memungkinkan mereka untuk terus memperbaiki diri lewat masukan-masukan pengguna yang berasal dari sistem analisis kami.”

Feedloop
Contoh hasil konten survei racikan Feedloop untuk Liga1

Menurut PwC, pertumbuhan pengeluaran digital media di Indonesia merupakan salah satu yang paling cepat di dunia. PQ Media memperkirakan bahwa pengeluaran iklan di tanah air bisa mencapai US$12 miliar. Kendati pengeluaran yang besar, tantangan terbesar pemasar adalah merancang pengalaman pelanggan yang berkesan secara menyeluruh untuk meningkatkan brand engagement, sehingga menghasilkan ROI yang lebih tinggi.

“Kami percaya lebih dari 150 juta konsumen Indonesia sudah terhubung secara online. Dengan demikian, personalisasi akan menjadi strategi utama yang lebih efektif bagi brand dan perusahaan untuk menjangkau pelanggan mereka. Tim Feedloop memiliki pola pikir yang tepat, mereka membawa pendekatan berbasis produk untuk membantu perusahaan berinovasi dalam memberikan pengalaman merek yang terpersonalisasi dalam berbagai situasi,” sambut Partner East Ventures Melisa Irene.

Tren “New Retail” dan Pemberdayaan Pedagang Tradisional

Sejumlah stakeholder memprediksi new retail bakal menjadi the next big thing setelah e-commerce dan fintech di Indonesia. Prediksi ini sejalan dengan kemajuan internet dan perubahan gaya hidup masyarakat di era digital.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memproyeksikan akan ada perubahan signifikan terjadi terhadap perkembangan new retail di Indonesia dalam tiga hingga lima tahun ke depan.

“Perubahan ini dipicu oleh kemajuan infrastruktur digital yang akan mendorong lebih banyak pelaku usaha dalam negeri membuat produk lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal juga,” ungkapnya saat menjadi pembicara di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

New retail merupakan sebuah konsep yang disampaikan pertama kali oleh Co-founder Alibaba, Jack Ma. Mengutip Forbes, Ma menyebutkan konsep ini merupakan ‘jelmaan’ baru dari industri e-commerce, tidak ada lagi batas antara layanan online dan offline.

Meleburnya batasan ini sejalan dengan tingginya fokus penyedia layanan dalam memenuhi kebutuhan personal dari konsumen. Selain itu, Ma menilai new retail menjadi fase krusial terhadap kebangkitan ritel fisik dan berkembangnya ritel yang perlahan mulai terdigitalisasi.

Di Indonesia, industri ritel bersaing dengan e-commerce. Peritel tradisional dituntut untuk menggabungkan teknologi untuk menarik konsumen. Teknologi dapat membantu meningkatkan pengalaman berbelanja secara digital di toko fisik. Apalagi konsumen kini menuntut pelayanan yang lebih personal.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Willson menilai saat ini tren new retail di Indonesia dalam jangka pendek mulai bertumbuh. Sebagai contoh, startup Fore Coffee, yang juga dikembangkan East Ventures, menggunakan pendekatan digital dalam memasarkan produknya.

Dalam tiga bulan, Fore Coffee telah mengantongi unduhan aplikasi sebanyak 500 ribu dengan 40 outlet dalam tiga bulan. “Ini termasuk pencapaian yang sangat cepat. Dulu mungkin butuh dua sampai empat tahun untuk melakukan integrasi online dan offline seperti ini,” ungkap Willson.

Untuk mendorong new retail, Indonesia tidak harus sepenuhnya berkiblat ke Tiongkok, seperti Alibaba dan JD. Pasalnya, new retail di Tiongkok bukan lagi sebatas konsep. Di sana, industri ini sudah jauh lebih canggih berkat dukungan infrastruktur digital dan terintegrasinya penyedia produk dengan sistem, seperti payment gateway.

“Mereka sangat advance secara infrastruktur, dan penduduknya jauh lebih homogen dibandingkan kita. Kita tidak pakai kiblat, tetapi dengan pendekatan progresif-pragmatis,” ujarnya.

Warung Pintar menjadi model new retail di Indonesia

East Ventures tak hanya menjadi investor dan venture builder di Fore Coffee, tetapi juga Warung Pintar. Jika Fore Coffee memiliki layanan berbasis aplikasi dan memiliki toko fisik, Warung Pintar merupakan warung yang mengakomodasi pembayaran berbasis digital.

Ia menilai konsep new retail dapat memberdayakan usaha dan warung kecil di masa depan. Warung Pintar sebagai model new retail di Indonesia dinilai dapat mempercepat kesempatan berusaha bagi banyak orang, meningkatkan daya saing warung kecil dibanding peritel modern, dan inklusi teknologi dalam waktu singkat dan tepat sasaran.

Selain itu, menurutnya new retail juga dapat menciptakan sejumlah terobosan bagi para pelaku bisnis digital yang memiliki kemampuan teknologi, modal, dan keinginan untuk membantu rakyat kecil.

“Bayangkan sebanyak 1.200 pemilik warung jadi jago pakai perangkat mobile untuk mengurusi warungnya. Rakyat kecil tidak mungkin naik kelas kalau tidak dibantu.” paparnya.

Tentu untuk mendorong new retail sebagai sebuah bisnis baru, banyak PR yang perlu diselesaikan di Indonesia. Di antaranya, membangun infrastruktur fisik dan akses internet, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan kapabilitas UKM, meningkatkan jumlah talenta lokal di bidangnya, serta membentuk regulasi untuk memayungi industri ini.

EV Growth “Oversubscribed”, Kumpulkan Dana 2,9 Triliun Rupiah

EV Growth, dana investasi untuk startup tahap lanjut Asia Tenggara, mengumumkan telah mengumpulkan dana Fund 1 sebesar $200 juta (hampir 2,9 triliun Rupiah), lebih besar dari target awal $150 juta. Termasuk dalam jajaran investor untuk dana kali ini adalah SoftBank Group Corp, Pavilion CapitaI, Indies Capital, dan investor regional lainnya.

Didirikan pada awal tahun 2018 lalu, EV Growth dikelola East Ventures, SMDV, dan Yahoo Japan (YJ) Capital untuk membantu startup yang membutuhkan dana tahap Seri B atau lebih lanjut (growth stage). Sejauh ini EV Growth telah menginvestasikan 40% dananya ke 12 startup, 90% di antaranya berasal dari Indonesia, termasuk Sociolla, Ruangguru, IDN Times, Moka, dan Warung Pintar.

Partner EV Growth Willson Cuaca mengatakan, “Kami mendirikan EV Growth untuk membantu para startup terbaik di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada portofolio East Ventures. Waktu pendirian, besarnya dana investasi, dan kecepatan kami dalam mengeluarkan dana investasi, semuanya tepat, dan kami senang bisa mengundang dana investasi ‘pintar’ [smart money] selama masa penggalangan dana yang singkat ini. Kami percaya bahwa EV Growth akan memberikan pengaruh kepada ekonomi digital di Asia Tenggara dalam waktu yang cepat.”

Masuknya Softbank Group sebagai investor di dana ini menegaskan besarnya potensi startup di pasar Asia Tenggara ini. Sebelumnya Softbank telah berinvestasi di beberapa startup unicorn, seperti Tokopedia dan Grab.

“Bagi SMDV, kolaborasi ini menandai evolusi selanjutnya dari apa yang telah kami lakukan di sektor teknologi Asia Tenggara selama lima tahun terakhir. [..] Kami percaya bahwa kami telah memiliki sistem dan tim yang tepat untuk menghadapi peluang yang terus berkembang dalam pendanaan startup di tahap pertumbuhan (growth stage) di Asia Tenggara,” ujar Partner EV Growth Roderick Purwana.

Kedai Sayur Terima Pendanaan Senilai 18,7 Miliar Rupiah, Dipimpin oleh East Ventures

Kedai Sayur pengembang platform teknologi untuk memberdayakan tukang sayur keliling hari ini (27/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal sebesar $1,3 juta atau setara 18,7 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh East Ventures. Modal tambahan ini akan difokuskan untuk mempercepat perekrutan pedagang sayur sebagai mitra, sehingga layanan dapat mencakup wilayah yang lebih luas.

“Pedagang sayur keliling kemungkinan sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Menariknya mereka masih bertahan hingga sekarang di lingkungan modern ini, bersanding dengan supermarket dan toko kelontong lainnya yang bertumbuh cepat. Meski demikian pedagang keliling merupakan cara ternyaman bagi konsumennya untuk mendapatkan kebutuhan harian,” ujar Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Willson juga menambahkan bahwa keputusannya untuk berinvestasi di Kedai Sayur didasarkan pada dua hipotesis. Pertama adalah inklusi teknologi untuk pedagang. Dan yang kedua untuk meningkatkan rantai pasokan di Indonesia. Melalui pendekatan teknologi, East Ventures yakin dapat mengakselerasi dua tujuan besar tersebut.

Kedai Sayur didirikan pada tahun 2018 oleh Adrian Hernanto, Ahmad Supriyadi dan Rizki Novian. Misinya adalah untuk memberikan pedagang sayur produk dagangan berkualitas dengan harga terbaik di pasaran. Salah satunya dengan mengefisiensikan proses distribusi bahan sayuran tersebut dari petani ke pedagang.

Caranya Kedai Sayur bekerja sama dengan petani untuk pemilihan produk segar dan distribusi. Tukang sayur yang bergabung sebagai mitra dapat mengakses produk tersebut melalui aplikasi. Selanjutnya produk yang dipesan dapat diambil di Mitra Sayur pada titik drop-off terdekat. Mitra Sayur juga menawarkan kendaraan distribusi baru yang disebut “Si Komo”, pembiayaan dapat dibantu dengan pengajuan ke Kedai Sayur.

“Melalui jaringan kami yang luas dan penggunaan teknologi, kami percaya dapat memberdayakan pasar produk segar dan membuktikan bahwa penduduk ekonomi tingkat mana pun, termasuk tukang sayur, dapat merasakan manfaat dari inklusi teknologi. Kami percaya bahwa misi kami mampu meningkatkan kehidupan para tukang sayur dan membebaskan mereka dari jam kerja yang tidak teratur dan berbagai kesempatan mendapatkan penghasilan tambahan,” ujar Co-Founder & CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Saat ini Kedai Sayur sudah memiliki sekitar 2 ribu mitra yang bergabung di area Jakarta. Perusahaan mengklaim pertumbuhan mitra tiap bulan mencapai 60 persen. Adapun produk yang diakomodasi Kedai Sayur meliputi sayuran, lauk-pauk, bumbu, hingga buah-buahan.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Masih Akan Terus Menambah Portofolio Startup Baru di Tahun 2019

Sebagai salah satu modal ventura yang cukup aktif memberikan pendanaan, East Ventures konsisten dengan misi mereka membantu startup early stage. Mengklaim bersifat agnostik, pihaknya mengatakan tidak memiliki kriteria khusus mengenai startup kategori apa yang bakal diinvestasi.

Saat ini East Ventures telah berinvestasi di ratusan perusahaan di Indonesia, Singapura, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Mayoritas portofolio East Ventures mampu mendapatkan pendanaan lanjutan, mendominasi pasar dan bahkan menjadi pemimpin di bidangnya.

Di antara startup yang saat ini sudah sukses dan masih mendapatkan pendanaan tahapan lanjutan adalah Tokopedia, Traveloka, Ruangguru, Warung Pintar, Disdus (diakuisisi oleh Groupon), Kudo (diakuisisi oleh Grab), Loket (diakuisisi oleh Gojek), Shopback, Techinasia, IDN Media, Moka, CoHive, dan Omise.

Menurut Partner East Ventures Melisa Irene, memasuki usia yang ke 10 tahun bulan Oktober mendatang, East Ventures masih memiliki rencana untuk terus memberikan pendanaan tahap awal kepada startup Indonesia. Sedikitnya sudah 30 startup yang mendapatkan pendanaan tahun 2018 lalu. Dan tahun 2019 ini, East Ventures memiliki target untuk menambah jumlah tersebut.

“Selama 6 bulan terakhir kami sudah closed 12 deal, saat ini 6 startup sedang dalam tahap persiapan dan target closed East Ventures adalah 24 startup sampai kuartal tiga mendatang,” kata Melisa.

Selain mendukung berbagai startup, East Ventures juga mengembangkan tiga proyek internal di Indonesia yaitu CoHive, Warung Pintar dan Fore Coffee. Ketiga proyek tersebut berhasil menemukan produk yang tepat untuk pasar (product market fit) dan kemudian berdiri menjadi startup mandiri.

Menurut Melisa, keputusan East Ventures untuk menjalankan proyek dengan menempatkan tim East Ventures adalah melihat peluang dan ekosistem yang mendukung untuk meluncurkan proyek tersebut.

“Saya juga melihat belum ada entrepreneur yang bisa menawarkan kepada kami solusi yang kemudian kami jalankan sebagai proyek internal,” kata Melisa.

Awal tahun ini, East Ventures memperkenalkan hipotesis investasi baru, yaitu New Consumption. Beberapa portofolio East Ventures yang sejalan dengan hipotesis tersebut adalah Fore Coffee dan juga The FIT Company, startup yang memanfaatkan teknologi dalam membangun wellness ecosystem dengan misi membantu individu mencapai tujuan hidup sehat.

Pentingnya Product Market Fit

Bagi East Ventures, semua model bisnis jika memiliki inovasi yang menarik, tim yang solid dan potensi yang menjanjikan, pastinya akan menjadi perhatian untuk diberi pendanaan. Di East Ventures sendiri terdapat tiga poin penting yang diterapkan saat proses kurasi startup dilakukan. Di antaranya adalah people, potensial market dan product.

“Kita juga menyarankan startup tersebut sudah mengerti dengan baik product market fit. Jika startup sudah melakukan proses tersebut, kami sebagai investor akan melirik produk yang ditawarkan,” kata melisa.

Disinggung apakah dalam waktu ke depan East Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada e-sports, Melisa menegaskan untuk saat ini belum tertarik. Sebagai modal ventura, East Ventures tidak tertarik memberikan pendanaan kepada industri yang hanya bersifat trending dan hype saja, namun belum bisa menjanjikan masa depannya secara long term.

“Kita melihat e-sports, meskipun sangat populer saat ini hanya bersifat hype sesaat saja, sementara secara long term prospeknya belum terlihat menjanjikan,” kata Melisa.

The SaaS Platform Developer for Supply Chain “Advotics” Receives Seed Funding of 39 Billion Rupiah Led by East Ventures

The SaaS platform developer for Offline-to-Online Analytics, today (5/14) announces seed funding led by East Ventures. Some investors are involved in this round, but there is no further detail. The amount has reached $2.7 million (around 39 billion Rupiah). It’s to be focused on developing technology and accelerating user growth.

The platform focuses on supply chain business players in making decision based on data. Most of them are still using offline method in managing and tracking sales and distribution. With loads of documents that must be managed manually, they only spend time for routines, not for something strategic.

“Clients can buy solutions that suits their issue, either comprehensive digitization or certain modules. Advotics also provides features on demand, such as productivity apps to monitor in-store employees with geographic tracking system, route and items distribution, offline-to-online marketing, B2B trading, and analytics and business intelligence dashboard for the management team,” Advotics’ Co-Founder & CTO, Hendi Chandi.

Advotics tries to digitize data related to labor, business networks, and the company’s physical asset and products. The main objective is to transform data from trading activities and offline work in field to be a useful data to help management team in making business decision, such as marketing penetration, productivity, and retail sales strategy.

One of Advotics breakthrough is to digitize products through unique identities, such as QR codes printed on product packaging. It’s to help the company track the product location from the first distributor to the consumer, and keep it against fraud.

“The Advotics team managed to solve the issue on supply chain monitoring in Indonesia. Their solution can help companies monitor the movement of labor and its items. The collected data point can be used to understand the heatmap of product distribution and make an efficient supply chain in Indonesia. We welcome the Advotics team to the B2B ecosystem in East Ventures,” East Ventures Managing Partner, Willson Cuaca said.

The Advotics management team consists of three engineers with various background, Boris Sanjaya is an industrial engineer with experience in consulting in Boston Consulting Group (BCG); Hendi Chandi as former software developer senior in Amazon, also a graduate from computer science in University of Washington Seattle; and Jeffry Tani which acquired Ph.D in engineer from MIT.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pengembang Platform SaaS Supply Chain “Advotics” Dapatkan Pendanaan Awal 39 Miliar Rupiah yang Dipimpin East Ventures

Advotics startup pengembang layanan SaaS Offline-to-Online Analytics hari ini (14/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal (seed funding) yang dipimpin oleh East Ventures. Turut terlibat beberapa investor dalam putaran pendanaan ini, namun tidak disebutkan detailnya. Nilai pendanaan mencapai $2,7 juta (atau setara dengan 39 miliar Rupiah). Pendanaan tersebut akan difokuskan untuk pengembangan teknologi dan mempercepat pertumbuhan pengguna.

Platform Advotics fokus membantu pebisnis rantai pasokan barang (supply chain) dalam mengambil keputusan berdasarkan data. Sebagian besar pelaku bisnis masih mengandalkan metode offline dalam mengelola dan melacak operasional penjualan dan distribusi. Dengan banyaknya dokumen yang harus dikelola secara manual, para pebisnis menghabiskan waktu hanya untuk pekerjaan rutin, bukan untuk sesuatu yang bersifat strategis.

“Klien dapat membeli solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, baik berupa solusi digitalisasi yang menyeluruh atau hanya modul tertentu saja. Advotics juga menyediakan fitur yang sangat diminati oleh pelaku industri, seperti aplikasi produktivitas untuk memantau pekerja di dalam toko dengan sistem pelacakan geografis, sistem pengaturan rute dan pengiriman barang, sistem pemasaran offline-to-online, platform perdagangan B2B, serta dasbor analitik dan business intelligence untuk tim manajemen,” ujar Co-Founder & CTO Advotics Hendi Chandi.

Advotics mencoba mendigitalkan data-data terkait tenaga kerja,  jaringan bisnis, serta aset dan produk fisik milik perusahaan. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah data dari aktivitas perdagangan dan pekerjaan offline di lapangan menjadi data berguna yang bisa membantu tim manajemen dalam membuat keputusan bisnis penting seperti penetrasi penjualan, produktivitas, serta strategi penjualan ritel.

Salah satu terobosan yang dilakukan Advotics adalah dengan mendigitalkan produk melalui penggunaan identitas unik, seperti kode QR yang dicetak pada kemasan produk. Hak tersebut dinilai dapat membantu perusahaan melacak keberadaan produk mulai dari distributor pertama hingga ke tangan konsumen, serta melindungi dari adanya pemalsuan produk.

“Tim Advotics berhasil mengatasi inti masalah dalam pemantauan rantai pasokan di Indonesia. Solusi Advotics bisa membantu para perusahaan dalam memantau pergerakan tenaga kerja dan barang-barang mereka. Data point yang dikumpulkan bisa digunakan untuk memahami peta persebaran (heatmap) dari distribusi produk dan mengefisienkan rantai pasokan. Kami percaya ini hanyalah awal dari transformasi rantai pasokan di Indonesia. Kami menyambut baik masuknya tim Advotics ke dalam ekosistem B2B dari East Ventures,” sambut Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Tim manajemen Advotics terdiri atas tiga engineer dengan latar belakang yang beragam, yakni Boris Sanjaya adalah seorang industrial engineer dengan pengalaman konsultasi di Boston Consulting Group (BCG); Hendi Chandi mantan software developer senior di Amazon, serta lulusan dari program teknik komputer University of Washington Seattle; dan Jeffry Tani merupakan pemegang gelar Ph.D. teknik mesin dari MIT.

Ramai Beradu Teknologi Realisasikan “Smart Logistics”

Sekitar tiga tahun lalu, saya berkesempatan mewawancarai mantan petinggi sebuah situs e-commerce raksasa. Dia menanyakan suatu hal kepada saya, apakah saya pernah belanja di tempatnya? Berapa lama pengirimannya? dan pertanyaan berkaitan lainnya.

Saya pun menjawabnya sambil mengira-ngira. Seingat saya pesanan sampai di tujuan dua hari setelah pembayaran dilakukan.

Ia kemudian mengernyitkan dahi dan bergumam, “Hmm, itu masih cukup lama. Lokasi tokonya di Jakarta juga kan ya?”

Saya menjawab, “Sepertinya begitu. Oh, itu masih kurang cepat ya? Padahal saya sudah [merasa] puas.”

“Itu masih kurang cepat karena pengiriman dalam kota,” ungkapnya. Kami melalui intermezzo tersebut dan melanjutkan wawancara.

Bagi konsumen, semakin cepat barang sampai di tangan akan semakin baik pengalamannya, termasuk menggiring mereka jadi loyal terhadap suatu brand.

Di balik segudang masalah yang Indonesia miliki, hal inilah yang membuat industri logistik belakangan jadi seksi untuk diseriusi. Industri ini turut berpengaruh besar ke ekosistem e-commerce namun inovasinya cenderung lamban.

Menurut Kemenhub, biaya logistik di Indonesia sekitar 29% dari total PDB di 2018, lebih besar dibanding angka 24% di tahun 2016. Data Bank Dunia di tahun yang sama memperlihatkan, Indonesia ada di posisi ke-63 dari 160 negara untuk indeks performa logistik.

Belakangan ini mulai ramai konsep smart logistics sebagai upaya modernisasi cara kerja logistik dengan teknologi. Tujuannya agar dapat menekan ongkos operasional dan pelayanan untuk konsumen tetap prima.

Di Tiongkok, konsep ini sudah lebih dahulu diterapkan. Menurut laporan JustLogsIt dan Bank of China di tahun 2016, Negeri Tirai Bambu tersebut berhasil menurunkan ongkos logistik selama satu dekade terakhir. Pada 2015, rasionya terhadap PDB adalah 16%.

Ongkos ini dipengaruhi tiga hal, yaitu biaya transportasi, pergudangan, dan manajemen yang di dalamnya mencakup soal upah.

Pengembangan smart logistics di Tiongkok dipicu buruknya kualitas gudang dan distribusi di negara tersebut, yang mendorong perusahaan e-commerce, seperti Alibaba (lewat Cainiao Network) dan JD.com (lewat JX), untuk mengoperasikan sistem logistik secara mandiri.

Sampai akhir 2015, sebanyak enam pemain ritel online telah membangun 49 logistics hubs, 200 regional distribution centers, dan 1.000 sub distribution centers. Alibaba memiliki penetrasi pasar 60% untuk pengiriman kurir instan, sementara JD.com 26,4% pada 2015.

Untuk mendorong efisiensi, pemerintah Tiongkok merilis peta jalan “Long Term Plan of China Logistics Industry Development” (2014-2020) yang merintis pengembangan konsep sistem logistik modern untuk mencapai pertumbuhan tahunan 8% dari industri logistik, dengan proporsi 7,5% terhadap PDB di 2020.

Pemahaman smart logistics

Berkaca dari fakta yang terjadi dan roadmap pemerintah Tiongkok, smart logistics bertujuan meningkatkan efisiensi industri logistik secara keseluruhan dengan pemanfaatan teknologi.

Di dalam proses logistik ada kombinasi berbagai fungsi, dari transportasi, pergudangan, pengemasan, distribusi, penyimpanan dan analisis informasi logistik dan sebagainya.

Pemanfaatan smart logistics dapat berupa penggunaan RFID (Radio Frequency Identification), GPS, komputasi awan, dan teknologi informasi lainnya ke dalam proses logistik, sehingga terjadi efisiensi dan penghematan ongkos. Bisa dikatakan smart logistics tidak jauh berbeda dengan logistics 4.0.

Menurut CEO Waresix Andree Susanto, hal ini adalah dimensi baru dalam manajemen logistik yang menggunakan aliran data untuk mendapatkan wawasan baru untuk mengoptimalkan operasi. Pelanggan pun akan puas dan melindungi bisnis mereka.

“Komponen penting untuk smart logistics akan terhubung dengan data, analitik canggih, keputusan otonom, dan IoT. Oleh karena itu, smart logistics akan memainkan peran yang sangat penting untuk merampingkan proses antara e-commerce marketplace – penjual – perusahaan logistik – dan konsumen akhir,” katanya kepada DailySocial.

Tidak sebatas penggunaan teknologi, menurut Head of Corp Communications & Public Affairs JD.id Teddy Arifianto, smart logistics juga harus dimulai dari mengubah mindset orang-orang, baik dari sisi penyedia layanan hingga konsumen.

“Sehingga terdapat sinergi utilitas yang terintegrasi end-to-end dan akhirnya membawa dampak tidak hanya dari sisi profit untuk bisnis, tapi juga buat hidup manusia itu sendiri,” terang Teddy.

SVP of Operations & SVP Product Management Blibli Lisa Widodo menambahkan, smart logistics bertujuan untuk memenuhi harapan konsumen yang sangat besar untuk pengiriman barang yang cepat, tepat waktu sesuai estimasi, biaya efisien, bisa dilacak posisinya, sehingga aman dari risiko barang hilang atau rusak.

“Kelebihan tambahannya adalah jadwal pengiriman dan alamat pengiriman yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan konsumen,” katanya.

Menurut Huatai Securities, smart logistics didukung empat aspek, yakni jaringan sensor, jaringan seluler dan internet, komputasi awan, dan aplikasi layanan. Kombinasi tersebut menghasilkan manajemen yang komprehensif dari aliran material dan aliran informasi seluruh rantai logistik.

Dari sumber yang sama diklaim hasil implementasi smart logistics diprediksi akan maksimal. Pertama, gudang modern dapat menghemat 70% biaya ruang dibandingkan gudang tradisional. Kedua, smart logistik dapat mengurangi 80% biaya tenaga kerja di segmen pergudangan.

Ketiga, melalui pemantauan penuh seluruh proses transfer dan penyimpanan bahan, efisiensi dan tingkat akurasi akan semakin meningkat. Selain itu, dari big data yang dikumpulkan sistem smart logistics, perusahaan logistik dapat memberikan lebih banyak nilai tambah untuk pelanggan.

Peluang bisnis baru

Lantaran smart logistics memiliki banyak kombinasi proses di dalamnya, hal ini menimbulkan peluang bisnis baru yang bisa dipertimbangkan pelaku logistik agar tetap adaptif dengan perkembangan teknologi. Peluang tersebut berbentuk menawarkan layanan maupun model bisnis baru dan digitalisasi kegiatan operasional inti.

Berdasarkan laporan PwC bertajuk “Industry 4.0: Digital Supply Chain-Logistic Autumn Conference” yang terbit tahun 2016, penawaran layanan bisa dilakukan dengan menerapkan end-to-end integrated supply chain system. Ini memungkinkan perusahaan memiliki rantai distribusi terintegrasi dari supplier, production, distribution, hingga customer.

Sistem tersebut akan memudahkan perusahaan mulai dari proses administrasi, pencatatan arus barang keluar masuk gudang, database yang terintegrasi hingga pemasaran. Terkait pencatatan arus keluar masuk barang, pelaku bisa menawarkan solusi warehouse management system ke konsumen B2B yang memungkinkan manajemen gudang secara real time, akurat, dan teroptimasi.

Model bisnis baru lainnya untuk konsumen B2B adalah dalam hal angkutan barang dari kota ke pedesaan dengan menyediakan platform yang mempertemukan kebutuhan distribusi perusahaan dengan penyedia jasa dalam berbagai aspek penyelenggaraan logistik.

Dari aspek pengangkutan barang misalnya, sebuah platform berbasis marketplace yang mempertemukan penyedia jasa angkutan barang dan perusahaan yang membutuhkan pengangkutan logistik bisa menjadi model bisnis baru.

Berbagai solusi seperti ini sudah mulai digeluti berbagai startup logistik yang beroperasi di Indonesia. Contohnya adalah Waresix yang fokus pada sewa gudang; TheLorry menawarkan jasa sewa truk; Kargo menghubungkan shipper dan transporter dalam platform; Shipper sebagai platform agregator perusahaan logistik; Lacak.io untuk GPS khusus di kendaraan logistik, Enchanto sebagai platform SaaS untuk teknologi e-commerce, dan masih banyak startup lainnya.

Keseluruhan startup tersebut masih berjalan sendiri-sendiri dengan menawarkan masing-masing solusinya yang tergolong “niche“, bahkan ada beberapa layanan yang menyasar korporasi logistik besar untuk internal perusahaan.

Sekarang adalah momen berlomba-lomba jadi yang terbesar.

Banyak investor tertarik dengan konsep-konsep smart logistics yang ditawarkan berbagai startup. Dalam setahun terakhir, pemberitaan soal funding di segmen ini makin marakdi antaranya pendanaan sebesar Rp24 miliar untuk Waresix dari East Ventures dan Monk’s Hill Ventures, kemudian pendanaan untuk TheLorry senilai Rp83 miliar yang dipimpin FirstFloor Capital.

Berikutnya, Kargo Technologies memperoleh dana sebesar Rp107 miliar dari Sequoia India dan Travis Kalanick, lalu SiCepat memperoleh kucuran dana sebesar Rp704 miliar dari Barito Teknologi dan Kejora InterVest Growth Fund.

Tak mau kalah, Grab baru-baru ini mengucurkan investasi ke Ninja Van untuk mengembangkan layanan GrabExpress.

Saingan terdekat Grab, Gojek, juga mengumumkan pendirian perusahaan patungan dengan JD.com untuk mengembangkan perusahaan logistik J-Express (JX).

Kondisi di Indonesia

CEO Iruna Yan Hendry Jauwena menjelaskan, secara umum konsep smart logistics sudah mulai menunjukkan perkembangan sedikit lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena sudah ada banyak pemain logistik konvensional yang sadar pentingnya transformasi teknologi.

Segmen ini tertolong dengan “cerita” digitalisasi ekonomi yang mengharuskan sektor logistik mengambil peran di dalamnya. Meskipun demikian, menurut Yan, masih butuh proses edukasi lebih dalam lagi, karena pada dasarnya sektor logistik berangkat dari sektor yang tidak begitu terlalu familiar dengan pemanfaatan teknologi.

Dia menilai solusi logistik yang berangkat dari startup masih belum bisa menjawab isu yang dihadapi di Indonesia. Isu utama logistik itu selalu terkait biaya. Solusi apapun labelnya jika tidak bisa menekan biaya, berarti belum menjawab permasalahan.

“Hal-hal seperti tracking atau meningkatkan visibility itu merupakan fitur yang saat ini merupakan nice to have saja. Selama biayanya mahal yah masih tidak menjawab,” kata Yan.

Di samping itu, kebanyakan solusi yang dihadirkan startup logistik diperuntukkan buat bisnis C2C. Tantangan terbesar itu justru ada di B2B karena ada faktor SDM-nya.

“Mereka sudah terbiasa dengan pola kerja lama, kurang dekat dengan teknologi sehingga sudah pasti tidak bisa diajak ‘ngebut’,” tambahnya.

Di sisi lain, Lisa Widodo memandang industri logistik tumbuh sesuai dengan pertumbuhan industri e-commerce. Mereka terus berlomba-lomba meningkatkan kapasitas dan kemampuan operasional supaya lebih efisien dan cepat.

Kurir kini dilengkapi dengan aplikasi di smartphone sehingga mampu memberi update status pengiriman barang dengan lebih cepat. Label pengiriman barang dilengkapi dengan barcode atau kode QR sehingga proses penanganan barang bisa dilakukan automasi untuk sorting dan status pengiriman.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, pemain startup kini semakin agresif dalam mencari celah dan memperbaiki efisiensi di industri logistik. Caranya dengan mengintegrasikan logistik secara digital untuk multi moda.

“Seperti yang dilakukan oleh Waresix [portofolio East Ventures]. Karena kita negara kepulauan, jadi enggak bisa dibanding dengan negara daratan lain,” terangnya.

East Ventures menjadi salah satu VC yang mulai aktif berinvestasi ke startup logistik. Setelah Waresix, VC asal Singapura tersebut mengumumkan investasi tahap awal untuk Triplogic, startup logistik on demand.

Triplogic diharapkan menyempurnakan ekosistem rantai pasokan yang sudah ada sehingga memberikan pengalaman yang lebih baik. Fore Coffee dan Triplogic dianggap cocok untuk saling melengkapi karena mereka bermain di logistik last mile.

Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan menambahkan, perlu komitmen dari pemerintah maupun swasta dalam merealisasikan smart logistics. Dari sisi pemerintah perlu penguatan di sisi regulasi dan kecepatan eksekusi dengan perhitungan yang matang dan target waktu yang terarah.

Menurutnya, Tiongkok bisa seperti sekarang karena ada komitmen yang kuat dari pemerintahnya. Indonesia harus berbenah diri dulu dengan masalah berkaitan dengan jaringan informasi dan logistik. Fokus ke eksekusi, tidak hanya wacana.

“Yang penting itu digital mindset, bukan mengubah proses manual jadi digital. Kita tidak mau hanya berhenti dalam pembuatan sistem saja, tapi harus ke arah yang lebih advance, menuju blockhain in logistics, misalnya,” ujar Yukki.

Dia melanjutkan, hal ini juga berkaitan dengan tingkat kedewasaan dan kepercayaan terhadap suatu teknologi baru. Ambil contoh, apakah sudah siap dokumen tanpa cap basah? Sudah siap specimen elektronik? Sudah siap OGA (other government agencies) menerima itu semua?. Bila jawabannya iya, maka berikutnya harus membuat standarisasi keamanan digital.

Penerapan smart logistics

DailySocial menghubungi sejumlah perusahaan startup logistik untuk memaparkan soal produknya. Yan Hendry menerangkan, konsep Iruna sebenarnya adalah bentuk pelokalan Cainiao milik Alibaba dengan mengedepankan konsep kolaborasi dengan para pemain logistik yang sudah hadir sebelumnya, kemudian menggabungkan semua kekuatan logistik yang dimiliki semua pemain logistik dalam satu platform.

“Tentu modifikasi perlu disesuaikan dengan konteks Indonesia karena para pemain logistik jika bisa tergabung ke dalam jaringan seperti Cainiao tentunya harus memahami hal mendasar dalam pengiriman e-commerce,” terangnya.

Iruna sendiri resmi beroperasi sejak 2017, menyediakan layanan end-to-end mulai dari channel management, fulfillment center, dan last mile delivery. Semuanya dapat terpantau lewat aplikasi Iruna Power Seller. Teknologi lainnya adalah Leanbox dengan tiga sistem utama: warehouse management system, transport management system, dan rider application yang dilengkapi dengan e-signature dan visual receiver image capturing function.

Perusahaan kini masih terus membangun kolaborasi sebanyak mungkin dengan para pemain logistik sehingga terbentuk kekuatan supply yang siap bertransformasi digital, sekaligus memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan tergilas oleh yang lain.

“Tahun ini Iruna perkuat teknologi yang sudah ada seperti WMS (Warehouse Management System), produk integrasi sistem untuk keperluan Last Mile Delivery Integrator yang saat ini dijalankan.”

Andree Susanto menerangkan sejak awal didirikan di 2017, Waresix berusaha memberdayakan logistik melalui ekosistem rantai pasokan yang mereka bangun. Perusahaan mengembangkan infrastruktur untuk mendukung pergerakan arus barang seperti pergudangan, transportasi darat (first mile dan last mile), transportasi laut, bahkan layanan pergudangan internasional untuk klien luar negeri.

Lewat integrasi ekosistem tersebut, perusahaan dapat bekerja lebih efisien dengan menurunkan keseluruhan biaya rantai pasokan. Tidak hanya untuk menjaga stabilitas harga, tetapi juga membantu kesetaraan ekonomi.

“Cara kami untuk dukung industri logistik dengan bekerja sama dengan perusahaan hebat yang menyelesaikan logistik last mile seperti NinjaExpress, Gojek, Grab, JNE, J&T, dan lainnya seperti agregator last mile,” ujar Andree.

Waresix memiliki lebih dari 2.000 mitra gudang dan penyedia transportasi untuk membantu 100 klien bisnis yang berasal dari perusahaan besar maupun skala menengah. Transaksi di platform diklaim mencapai 100 ribu metrik ton perbulan, tumbuh 25% setiap bulannya. Layanannya tersedia di Jakarta, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Bali, Makassar, Balikpapan, Bandung, Palembang, dan Dumai.

Dengan konsep ini, Andree mengaku optimis perusahaan akan segera meraup keuntungan setelah tumbuh 15 kali lipat dalam setahun.

Startup lainnya yang mencoba usung teknologi sebagai layanannya adalah Paxel yang bergerak di solusi pengiriman last mile antar kota antar provinsi dengan tarif rata. Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita menerangkan, Paxel berdiri karena selama lima tahun terakhir perkembangan e-commerce tumbuh dengan pesat namun belum diimbangi industri logistik.

Di dua tahun terakhir muncul kebutuhan dari konsumen yang menginginkan pengiriman same day. Hal ini menjadi suatu tren baru dan menginspirasi untuk berdirinya Paxel.

Dikutip dari laporan PwC tentang Global Consumer Insight Survey 2018, sebanyak 41% responden rela membayar lebih untuk mendapatkan layanan same day delivery.

Paxel memanfaatkan kombinasi antara big data, algoritma, dan loker pintar (smart locker) untuk pengiriman estafet. Loker pintar ini berbentuk screenless smart locker dan memanfaatkan mini sorting location dengan AI routing. Juga, bersifat universal sehingga bisa dipakai oleh semua perusahaan kurir, food delivery, tanpa perlu integrasi.

Perusahaan mengembangkan loker pintar ini bersama partner perusahaan di Hong Kong bernama Pakpobox.

“Kami sudah roll out 100 smart locker tersebut di gedung perkantoran dan apartemen di Jakarta,” terang Zaldy.

Bermain di ranah last mile ini, sambungnya, memiliki tantangan tersendiri karena belum ada standarisasi logistik untuk domestik baik secara fisik maupun data. Pihaknya butuh pemerintah untuk turun tangan mengatasi masalah tersebut.

“Banyak tantangan yang harus kita selesaikan sebagai the first mover, tapi sejalan dengan perkembangan infrastruktur yang makin baik, kita harapkan masalah line haul antar kota bisa segera kita atasi.”

Sejak setahun berdiri, bisnis Paxel terus berkembang dengan baik dengan rerata pertumbuhan volume sebesar 30% setiap bulannya. Layanan Paxel kini sudah bisa digunakan untuk pengiriman same day delivery di Jawa dan Bali. Rencananya perusahaan akan melebarkan sayapnya ke Medan dan Makassar pada kuartal ketiga tahun ini.

Pemain last mile lainnya, AVP Marketing Ninja Xpress Indonesia Tika Sylvia Utami menjelaskan isu pemain logistik adalah Indonesia sebagai negara kepulauan, sehingga dibutuhkan solusi dengan smart delivery.

Perusahaan memanfaatkan kebutuhan pengiriman dengan jaringan logistik berbasis teknologi. Contohnya dengan pembaruan real time tracking, titik-titik pick up alternatif dan opsi pelacakan paket yang bisa dimanfaatkan konsumen.

” Kami mengandalkan teknologi serta operasional excellence yang didukung dengan SDM agar pengiriman lebih efektif dan efisien. Kami berupaya memastikan bahwa data layanan pengiriman dapat terorganisir di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, serta memastikan secara real time,” terang Tika.

Diklaim Ninja Xpress telah meng-cover 100% wilayah Indonesia. Terakhir disebutkan mereka telah memiliki 30 ribu kurir, 70% di antaranya adalah armada roda dua.

JNE tidak mau kalah dalam mengembangkan teknologi terkini demi memperkuat penetrasi bisnisnya di Indonesia. Presiden Direktur JNE Mohammad Feriadi menuturkan, perusahaan secara berkala terus melakukan pengembangan teknologi dan saat ini masih dalam tahap pembangunan Mega Hub yang berlokasi di Tangerang. Rencananya hub ini akan diresmikan pada akhir tahun ini.

Di dalam Mega Hub tersebut akan dilengkapi dengan robot penyortir barang atau disebut automation crossbelt sorter machine. Robot berteknologi ini disediakan oleh Damon, perusahaan penyedia alat pendukung operasional logistik dan supply chain asal Shanghai, Tiongkok.

Feriadi menjelaskan, Mega Hub nantinya mampu menyortir hingga 1 juta barang per hari atau 48 ribu kiriman per jam. Dengan kapasitas tersebut, perusahaan dipastikan dapat menangani lebih banyak paket dan mendistribusikannya ke seluruh Indonesia maupun 250 negara di seluruh dunia.

“Dari sisi persaingan, sekarang banyak pemain baru bawa teknologi yang begitu hebat dan baik. Tentunya jadi tantangan buat kita sebagai pemain lama harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Caranya dengan mengubah proses, harus lebih efisien dan kompetitif dengan memanfaatkan teknologi dan perbaikan internal,” terang Feriadi.

Secara berkala, perusahaan terus menyempurnakan teknologi tracking. Dulunya konsumen sudah merasa puas apabila pengiriman cepat sampai. Namun kini bisa dimonitor langsung posisi kiriman antar poin secara real time.

Aplikasi pun turut disempurnakan. Konsumen dapat mengetahui lokasi JNE terdekat dari jangkauan mereka disertai fitur pendukung lainnya seperti tracking, cek tarif, dan fasilitas untuk para seller yang ingin terhubung dengan logistik JNE.

Tiap tahunnya, sejak 2010, pertumbuhan bisnis kurir ekspress di JNE tumbuh 30%-40% per tahun. Pertumbuhannya terus meningkat, bahkan dalam beberapa bulan terakhir mencapai rata-rata 19 juta paket per bulan, bahkan lebih dari 20 juta paket pada momen Ramadan dan Idul Fitri di 2017.

Para pemain logistik baik dari startup maupun konvensional / DailySocial
Para pemain logistik baik dari startup maupun konvensional / DailySocial

Partisipasi perusahaan e-commerce

Perusahaan e-commerce menjadi bagian yang paling bergantung pada layanan logistik. Di balik semua tantangannya, ada yang memilih untuk mengombinasikannya dengan membangun sendiri atau bekerja sama dengan perusahaan yang sudah ada.

Investasi yang harus dikucurkan perusahaan lumayan besar karena harus mengelola gudang dan membangun jaringan armada. Perusahaan tersebut di antaranya adalah Lazada dengan LEX (Lazada Express), Blibli dengan Blibli Express Service (BES), dan JD.id dengan J-Express (JX).

Teddy Arifianto menerangkan, JD.id beruntung dengan jaringan logistik yang dimiliki sendiri perusahaan, meski belum 100% melayani seluruh Indonesia, namun mulai bertransformasi secara teknologi dengan sistem tracker.

“Kami juga bermitra dengan beberapa jasa logistik lainnya untuk memastikan layanan ke konsumen terjaga,” ujar Teddy.

Menurutnya, industri e-commerce dapat menjadi katalis utama untuk memajukan logistik baik dari sisi peningkatan kualitas SDM, pengembangan infrastruktur hingga penggunaan teknologi. Di JD.com, smart logistics menjadi kunci utama yang mengubah dan menentukan ritel di masa depan.

“Di JD.com sudah menerapkan smart logistics melalui penggunaan teknologi di segala lini: gudang yang full automation, hingga pengiriman menggunakan drone untuk daerah rural dan sulit dijangkau.”

Tokopedia pun menyadari peranan logistik yang begitu vital. Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya berinisiatif untuk pengembangan merchant on-demand berteknologi AI dengan menggunakan gudang pintar (smart warehouse).

Dia menggambarkan, nantinya pebisnis dapat melayani ke semua provinsi di mana pasarnya berada tanpa harus membangun warehouse sendiri. Sehingga tren urbanisasi tidak perlu dilakukan.

Head of Fulfillment Tokopedia Erwin Dwi Saputra menambahkan, gudang pintar ini bisa dimanfaatkan para penjual untuk menaruh persediaan produk di wilayah-wilayah di mana tingkat permintaannya cenderung tinggi. Pembeli di wilayah tersebut pada akhirnya bisa mendapatkan kebutuhannya dengan lebih efisien karena ongkos kirim yang lebih murah dan waktu pengiriman lebih singkat.

“Inovasi seperti ini diharapkan bisa membawa solusi nyata bagi ekosistem perdagangan online, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Indonesia,” kata Erwin.

Perusahaan sudah mulai menghadirkan gudang-gudang pintar ini di beberapa kota di Indonesia sebagai langkah awal dan inisiatif tersebut akan diumumkan secara resmi dalam waktu dekat.

“Inovasi-inovasi di atas kami percaya akan menjadi lompatan berikutnya, yang dapat mengakselerasi pencapaian misi kami untuk pemerataan ekonomi secara digital di Indonesia.”

Jet Commerce sebagai penyedia solusi end-to-end e-commerce juga turut merasakan pentingnya kehadiran logistik untuk mendukung operasional e-commerce jauh lebih efektif dan efisien. Hubungan antara keduanya saling menguatkan satu sama lain dalam memberikan pengalaman yang terbaik kepada konsumen.

Marketing Director Jet Commerce Agustina Putri Wijaya menjelaskan, masih banyak orang yang berpikir perusahaannya adalah penyedia fasilitas warehouse dan logistik, padahal layanan yang diberikan lebih dari itu.

Perusahaan menyediakan layanan end-to-end yang dilakukan mulai dari menyiapkan sekaligus mengoperasikan akun official store di berbagai situs e-commerce, merancang dan mengeksekusi pemasaran digital, menyediakan tim CS, hingga layanan warehouse dan fulfillment.

“Terkait logistik, kami berupaya untuk mengatasi dan meminimalisir kendala-kendala dari sisi operasional tersebut melalui warehouse management system (WMS) dan teknologi fulfillment center yang mumpuni,” kata Agustina.

Jet Commerce baru saja meresmikan fulfillment center terbaru di kawasan Daan Mogot seluas 3.700 meter persegi atau tiga kali lipat lebih besar dari lokasi sebelumnya. Fasilitas tersebut didukung oleh WMS, order management system (OMS), serta dilengkapi dengan peralatan modern seperti belt conveyor dan mobile scanner.

Konsep yang dibawa Jet Commerce ini terinspirasi situs e-commerce Tmall milik Alibaba. Tmall sebagai platform terbuka menyediakan infrastruktur untuk membantu brand mengoperasikan etalase toko digitalnya. Oleh karenanya, Jet Commerce menjadi mitra resmi, bukan anak usaha dari Alibaba.

“Pertumbuhan cepat yang diraih juga menjadikan kami mampu berekspansi ke negara lainnya di Asia Tenggara [Vietnam dan Thailand]. Selain meningkatkan performa bisnis e-commerce brand-brand yang sudah bermitra, kami akan menambah lagi dengan brand dari kategori lain.”

Sementara itu, Blibli masih fokus penambahan 18 gudang baru, sehingga bertambah jadi 32 gudang sepanjang tahun ini yang akan ditempatkan di sekitar Jawa dan Sumatera.

Membawa konsep Cainiao ke Indonesia

Perkembangan Tiongkok yang pesat untuk memajukan industri logistik, dikontribusikan peran Alibaba yang agresif membangun jaringan dari berbagai aspek. Alibaba menjadi salah satu pendiri Cainiao pada 2013 bersama dengan mitra lainnya, termasuk empat perusahaan kurir ekspres besar di Tiongkok.

Cainiao bukan mengirimkan paket secara mandiri, melainkan mengoperasikan platform data logistik untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan mitra logistik untuk memenuhi transaksi antara pedagang dan konsumen dalam skala besar. Perusahaan menggunakan big data dan teknologi untuk meningkatkan efisiensi di seluruh rantai logistik.

Data yang disediakan Cainiao dapat diakses secara real time oleh pedagang untuk mengelola inventaris dan pergudangan dengan lebih baik. Konsumen pun dapat melacak pesanan mereka. Mitra kurir ekspres dapat mengoptimalkan rute pengiriman dengan platform yang disediakan Cainiao.

Berbagai pembaruan sistem dilakukan seperti membuka gudang robot terbesar di Tiongkok. Di sana, robot dibekali dengan pembaruan sistem berupa perencanaan rute maju dan alokasi persediaan sesuai dengan permintaan konsumen, menghindari kemacetan, dan mempercepat laju pengiriman.

Terkait pengiriman lintas negara, pada momen 11.11 tahun lalu, sebanyak 5 juta paket impor diproses melalui bea cukai dalam waktu kurang dari lima jam. Sebelumnya kebutuhan yang sama membutuhkan waktu sekitar delapan jam dan 57 jam di tahun 2017 dan 2016.

Kemampuan Cainiao yang luar biasa ini menjadi ambisi bagi setiap perusahaan logistik Indonesia untuk mengadopsinya. Seperti yang dilakukan Iruna dan berbagai startup lainnya.

Dengan modifikasi yang disesuaikan dengan geografis Indonesia, Cainiao versi lokal dipastikan akan hadir. Meskipun demikian, Zaldy Ilham Masita memastikan satu hal yang harus ditiru Indonesia dari Cainiao adalah penerapan standarisasi pertukaran daa yang sama untuk setiap partner logistik di Alibaba.

“Sehingga antar perusahaan jasa logistik bisa saling berkolaborasi. Ini yang harus ditiru Indonesia,” ujarnya.

Dari sisi regulasi, payung regulasi yang kuat dibutuhkan, khususnya realisasi Peta Jalan E-Commerce yang sempat mandek.

Willson malah lebih optimis konsep Cainiao akan segera datang dalam 3-6 bulan mendatang. “Kita tunggu 3-6 bulan, akan ada bisnis model yang akan Indonesia sekali,” pungkasnya.