Corporate Venture Capital Indonesia Mulai Aktif Incar Investor Eksternal

Kehadiran investor asing menstimulus pembangunan suatu negara. Sektor yang butuh tambahan modal, perlu digenjot agar memberikan dampak ekonomi yang maksimal buat negara, termasuk sektor digital.

Menurut estimasi BKPM, persentase Penanaman Modal Asing (PMA / Foreign Direct Investment) ke sektor digital berkisar $1,3-2,4 miliar atau sekitar 15%-20% dari total PMA yang masuk, yakni $9-12 miliar per tahunnya.

“Belum ada indikasi kuat investor kehilangan antusiasmenya kepada sektor ini. Trennya masih sangat kuat,” ucap Kepala BKPM saat itu, Thomas Lembong, April 2019.

Angka di atas kalah jauh dengan lima sektor yang masih menjadi primadona para investor asing. Pada tahun 2018, posisi teratas ditempati sektor listrik, gas, dan air sebesar $4,4 miliar; pertambangan $3 miliar; transportasi, gudang & telekomunikasi $3 miliar; logam dasar & barang logam bukan mesin $2,2 miliar.

Tiga negara investor terbesar adalah Singapura $9,2 miliar, Jepang $5 miliar, dan Tiongkok $2,4 miliar. Dari total investasi, porsi PMA masih mendominasi, mencapai 56%, sementara sisanya adalah investasi dalam negeri.

Laporan e-Conomy SEA 2019 mengestimasi pada tahun lalu Indonesia berkontribusi terhadap 40% atau senilai $40 miliar nilai ekonomi digital dari total $100 miliar di ASEAN. APJII juga menyebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia tumbuh 10,12% pada 2018 menjadi 171,17 juta jiwa dari total populasi 264 juta.

Ruang tumbuh yang masih begitu luas, melatarbelakangi dibutuhkannya tambahan sokongan modal agar lebih kencang menangkap potensi unicorn berikutnya. Langkah ini ditangkap para modal ventura korporasi (CVC).

Mereka mulai berupaya menarik pemodal asing untuk menaruh dananya untuk dikelola dan diinvestasikan ke startup digital lokal. Sejauh ini, ada tiga CVC, yakni MDI Ventures, Mandiri Capital Indonesia (MCI), dan BRI Ventures yang mulai membuka diri.

Dikonfirmasi DailySocial, masing-masing perwakilan ketiga CVC ini kompak menjawab tahun ini dimulainya perusahaan menarik investor luar untuk berpartisipasi dalam fund khusus.

Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menyebut proses penggalangan dana investasi ketiga sudah hampir rampung. Dia memperkirakan pengumuman resmi terkait fund ini bakal dilakukan menjelang akhir Januari 2020 atau awal bulan depan.

“Kita tunggu announce first investment saja. Harusnya akhir bulan ini atau awal bulan Februari,” ujarnya, Selasa (14/1).

Detail terkait rencana ini masih ditutup rapat-rapat oleh Kenneth. Tapi dari wawancara sebelumnya, MDI menargetkan dana investasi yang siap dikelola sebesar $100 juta dan telah roadshow ke Timur Tengah, sejumlah negara ASEAN seperti Thailand, dan Singapura untuk menarik LP.

Nominal yang sama juga diincar Mandiri Capital. CEO MCI Eddi Danusaputro mengaku saat ini masih dalam proses penggalangan. Ditargetkan sekitar kuartal ketiga tahun ini dapat segera ditutup atau mulai berinvestasi dengan dana segar tersebut ke startup baru.

“Sekarang masih on going, belum ada angka yang bisa di-share,” ujar Eddi, Selasa (14/1).

Sementara itu, BRI Ventures memberi sinyal bahwa mereka juga melakukan fundraising dengan investor lain, di luar BRI, supaya tetap sejalan dengan strategi tesis investasi yang sudah di buat.

“Kami fundraising juga dengan investor lain dan strategi supaya align dengan strategi BRI, dan juga strategi investment thesis yang akan kita buat. Tahun depan [fund akan diumumkan],” kata VP of Investor Relation and Strategy BRI Ventures Markus Liman saat DailySocial temui menjelang akhir tahun lalu.

Supply belum menyamai demand

Beberapa alasan yang melatarbelakangi ketiga para CVC ini untuk menggalang dana dari luar Indonesia adalah ketersediaan dana domestik yang terbatas. Kurang sepadan dengan tingginya permintaan investasi dari para startup. Mereka pun pede bisa memberikan return yang menarik kepada para LP berbekal pengalaman mengelola dana sebelumnya.

Khusus untuk menggambarkan potensi fintech lending saja, data acuan yang sangat sering dipakai adalah: credit gap sebesar Rp1.000 triliun tiap tahunnya yang belum terpenuhi bank untuk disalurkan ke pemilik usaha mikro dan kecil. Padahal UMKM adalah penggerak ekonomi terbesar Indonesia.

Angka ini cukup bombastis dan menggiurkan para pemilik modal untuk terjun ke sini. Tak heran, banyak investor berbondong-bodor mengucurkan dananya untuk startup fintech lending.

Tapi, kesulitan buat mereka adalah bagaimana untuk terjun langsung menangkap potensi tersebut? Apakah kapabilitas mereka cukup paham dengan tantangan pasar Indonesia untuk memantau langsung pergerakan dana yang diinvestasikan atau cukup memercayakan pengelola investasi yang handal?

Menurut catatan sementara pendanaan startup sepanjang 2019, sektor finansial masih menarik banyak perhatian investor. Per 18 Desember 2019, tim DSResearch mencatat ada 110 transaksi pendanaan yang diumumkan startup dan/atau investor Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sektor finansial dapatkan porsi terbanyak dengan 23 transaksi, SaaS (9), e-commerce (8) dan logistik (6).

Alhasil, kondisi ini mendorong para CVC untuk tidak selalu bergantung dana suntikan dari induknya agar bisa bersaing. Dunia persaingan antar investor itu sendiri sebenarnya juga tidak kalah sengit. CVC harus bergerak cepat dalam mencari dana, meski preferensi startup yang dibidik ada sedikit perbedaan.

Eddi menjelaskan, rencana yang diusung MCI sepenuhnya mendapat dukungan Bank Mandiri. Bahkan perseroan akan ikut terus berpartisipasi tiap kali MCI merilis Mandiri Venture Fund baru.

Driver utama sebenarnya adalah kita lihat opportunity untuk bawa investor asing ke Indonesia kerena kita confident ada return [bagi investor] yang menarik dan juga demi market startup di Indonesia.”

Optimisme yang sama juga diungkapkan Kenneth. Rekam jejak MDI tidak hanya berinvestasi untuk startup lokal. Sejauh ini mereka mengelola 35 portofolio yang tersebar di 10 negara, dengan total lima exit sejak pertama kali beroperasi di 2015. Performanya tentu tidak perlu diragukan lagi.

“Dari track record MDI, kami tahu cara exit yang tepat karena investor itu tetap mencari return. Tapi kami tidak mau di situ saja. Bagaimana bisa kolaborasi lebih jauh dengan investor, MDI ini jadi fase awal dan partner untuk bantu mereka masuk ke Indonesia.”

Benchmark dari luar negeri

Pemain CVC di luar negeri sebenarnya juga melakukan hal yang serupa ada juga yang tidak. Semua tergantung masing-masing strategi yang diputuskan grup tersebut.

Tidak bisa melulu harus mengandalkan dana dari induk saja dalam berinvestasi, perlu diversifikasi dana dari investor luar untuk memberikan nilai tambah buat investee, grup dari CVC itu sendiri, dan para LP yang berpartisipasi dalam fund yang digalang.

CVC sebenarnya ada tanggung jawab yang harus mereka emban dalam berinvestasi, bagaimana memastikan startup yang mereka investasi bisa memberikan nilai tambah buat grup mereka agar bisa berkompetisi di pasar.

Pada akhirnya, banyak potensi kolaborasi yang bisa dilakukan dari mengelola dana investasi dari investor luar, digabungkan dengan kekuatan grup. Jaminan pasti seperti ini belum tentu bisa diberikan VC independen.

Bayangkan saja, bila suatu startup didanai BRI Ventures, kemungkinan besar mereka bisa menggarap nasabah BRI yang jumlahnya diklaim lebih dari 80 juta orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Akses ini begitu mahal buat didapatkan sebuah startup yang baru dirintis.

Meskipun demikian, CVC yang masih menutup kesempatan buat investor luar  tidaklah salah. Dengan kondisi ini, CVC punya kendali yang lebih leluasa dalam mengelola dana dan memilah startup sesuai preferensi tanpa banyak dituntut para LP.

Pun pada akhirnya, saat berinvestasi ke startup, sangat jarang investor masuk sendiri karena harus berbagi risiko dengan investor yang lain.

Salah satu CVC tersohor di Singapura, yakni Vertex Ventures. adalah salah satu arm investment Temasek, perusahaan investasi pelat merah Singapura. Vertex khusus bergerak di pendanaan tahap awal sejak 2008.

Perjalanan Vertex untuk fund pertama dan kedua, pada 2010 dan 2014, disokong sepenuhnya oleh Temasek Holdings melalui Vertex Venture Holdings. Memasuki fund putaran ketiga, mereka memulai debut menjaring investor eksternal pada 2017.

Saat itu, perusahaan berhasil mengantongi komitmen investasi sebesar $210 juta, oversubscribed dari target awal $150-180 juta. Temasek masih berpartisipasi sekitar 50% dalam putaran ini. Sisanya diikuti LP baru yang berasal dari institusi keuangan di Asia, korporasi, dan perusahaan keluarga.

Tahun lalu, Vertex menutup fund putaran keempat dengan total dana $305 juta. Beberapa portofolio Vertex untuk startup Indonesia di antaranya adalah RoomMe, Grab, Warung Pintar, PayFazz, Pintek, dan Cicil.

Contoh yang sedikit berbeda adalah Rakuten Ventures, yang merupakan bagian raksasa e-commerce Jepang Rakuten. Dalam perjalanannya, sejak diresmikan pada 2013, hingga kini mereka belum membuka investor eksternal dalam setiap putaran pendanaannya.

Rakuten masih menjadi investor tunggal untuk dua fund yang dibuat Rakuten Ventures. Fund ini bernama Global Investment Fund dan Rakuten Ventures Japan Fund yang masing-masing dibentuk pada 2014 dan 2016. Startup yang masuk dalam portofolio Rakuten dan beroperasi di Indonesia adalah Shopback.

Dinamika CVC Indonesia bisa dipastikan akan semakin menarik. Kabar dimulainya pencarian pendanaan dari investor eksternal bisa menjadi indikator bahwa ke depannya visibilitas mendapatkan startup incaran dapat lebih mudah ditemukan. Ini baik buat startup yang sedang mengincar akselerasi pertumbuhan dengan cara paling efektif.

Fokus Moladin Setelah Amankan Pendanaan Pra-Seri A

Moladin berhasil mengamankan pendanaan Pra-Seri A yang dipimpin East Ventures. Tidak ada nominal yang disebutkan, dengan CyberAgent Capital bergabung sebagai investor baru bersama beberapa angel investor lainnya. Rencananya pendanaan kali ini akan dimanfaatkan Moladin untuk memperkuat posisinya di industri dengan penguatan bisnis dan ekspansi.

Tahun 2019 kemarin merupakan tahun yang cukup berkesan bagi Moladin. Kepada Dailysocial, CEO Moladin Jovin Hoon menyampaikan mereka berhasil melipat gandakan GMV dari tahun sebelumnya. Mereka juga berhasil menambahkan 8000 listing sepeda motor bekas di sistem mereka, termasuk 8 kali lipat pertumbuhan penggunaan aplikasi.

Moladin juga juga memperkenalan produk baru seperti auto mortgage loan untuk memudahkan pengguna yang membutuhkan pilihan dalam mendapatkan sepeda motor mereka.

“Kami berencana untuk fokus pada pertumbuhan produk seperti penjualan motor baru, motor bekas, dan automotive mortgage loans. [Kami juga berencana] memperluas penjualan motor baru di pulau Jawa, yang untuk saat ini hanya di Jabodetabek. [Kami juga akan] fokus pada peningkatan produk dan teknologi dengan membangun lebih banyak kemitraan dan memperluas tim,” terang Jovin.

Moladin didirikan pada tahun 2017. Berangkat dari semangat untuk memudahkan masyarakat dalam transaksi pembelian motor Moladin mulai mengembangkan bisnisnya, mulai dari memberikan informasi seputar sepeda motor, lokasi bengkel servis terdekat, hingga membuka untuk penjualan sepeda motor bekas.

Pada tahun 2018 silam Moladin juga mendapatkan suntikan dana $1,2 juta atau sekitar Rp17,1 miliar dari East Ventures, Berjaya Group, dan Ethos Partners.

“Kami percaya dengan visi Jovin dan Mario bahwa Moladin dapat menjadi pemimpin industri sepeda motor. Selama 2 tahun perjalanan mereka dan tim telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam mewujudkan visi ini,” terang Partner East Ventures Melisa Irene.

Manfaatkan potensi pasar sepeda motor Indonesia

Penjualan sepeda motor di Indonesia mengalami pertumbuhan tipis di tahun 2019 dari tahun sebelumnya. Kendati demikian kisaran angka penjualannya berada di 6,5 juta unit. Masuknya Moladin ke segmen motor bekas juga menjadi langkah strategis untuk meningkatkan jangkauan pengguna, di mana masih banyak masyarakat yang memilih membeli mobil bekas karena di rasa lebih terjangkau.

Jovin menjelaskan, dengan penjualan lebih dari 6 juta unit per tahunnya Indonesia merupakan pasar yang besar untuk sepeda motor. Hanya saja digitalisasi di industri ini dirasa masih dalam tahap awal dan masih banyak yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pengguna dalam membeli sepeda motor. Itulah menjadi salah satu alasan mengapa Moladin mencoba memperkuat produk dan teknologi yang mereka miliki saat ini.

Jovin dan tim menatap tahun 2020 dengan optimis. Dengan apa yang mereka dapatkan di tahun 2019 dan dukungan investor di awal tahun ini, Moladin ditargetkan untuk menumbuhkan 3 hingga 4 kali GMV dibandingkan tahun sebelumnya. Ekspansi ke kota-kota besar di seluruh Indonesia dan optimalisasi operasi menuju profit adalah dua dari serangkaian rencana besar perusahaan tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Tambahan Rp150 Miliar Genapkan Pendanaan Seri A untuk Waresix

Startup logistik Waresix melengkapi pendanaan seri A mereka di angka US$25,5 juta atau sekitar Rp348,7 miliar. EV Growth dan Jungle Ventures menjadi entitas penting dalam putaran ini.

Nominal tersebut merupakan akumulasi babak pendanaan yang sudah dimulai sejak Juli 2019 lalu. Saat itu, startup yang dipimpin CEO Andree Susanto ini, mendapatkan kucuran dana US$14,5 juta dari para investor yang dipimpin oleh EV Growth. Tambahan US$11 juta dari EV Growth dan Jungle Ventures menggenapkan putaran pendanaan seri A ini.

“Dana tambahan ini semakin mempertegas kepercayaan para investor utama dan akan membantu kami memperkuat dominasi pasar sambil mempersiapkan putaran pendanaan seri B pada 2020,” ucap Andree dalam rilis resmi mereka.

Waresix adalah startup bidang logistik yang berfokus menghubungkan layanan pengiriman dengan jasa pengangkutan termasuk truk pengangkut dan gudang penyimpanannya. Platform mereka kini tercatat sudah beroperasi dengan 30.000 truk dan 300 operator gudang di seluruh Indonesia.

Semenjak beroperasi pada kuartal IV 2018, Waresix diklaim mengalami pertumbuhan cepat. Salah satu indikatornya adalah mereka berhasil membukukan EBITDA (earnings before interest, tax, depreciation, and amortization) positif.

“Waresix dengan jelas merupakan pemenang di segmen first dan middle-mile dalam bidang logistik. Kami fokus kepada laju pertumbuhan perusahaan yang pesat dan keberhasilannya mengakhiri 2019 dengan profit. Ini merupakan bonus kecil bagi kami sebagai growth-stage investor,” ujar Co-Founder East Ventures & Managing Partner EV Growth Willson Cuaca.

Kabar tambahan pendanaan untuk Waresix ini menandakan geliat industri logistik di Indonesia akan kembali cemerlang tahun ini. Pasalnya sepanjang 2019 kemarin, industri ini diwarnai dengan kemunculan pemain baru dan pendanaan yang jumlahnya cukup banyak.

Startup Logistik di Indonesia

Platform logistik B2B Ritase memperoleh pendanaan seri A senilai US$8,5 juta pada Juli. Ada juga Kargo Tecnlogies yang mendapat kucuran pendanaan awal US$7,6 juta dari Sequoia Capital India. Lalu ada SiCepat Express, Triplogic, Logisly, Shipper, dan Crewdible yang mengalami hal serupa. Pendanaan yang diterima oleh perusahaan rintisan tersebut rata-rata di level seed dan seri A.

Kian membesarnya pasar e-commerce (juga social commerce) di Indonesia tak bisa dipungkiri menjadi angin segar industri logistik. Laporan McKinsey pada 2018 lalu memproyeksikan nilai pasar e-commerce di Tanah Air akan menyentuh US$65 miliar atau Rp910 triliun pada 2022. Tak heran jika pelaku industri logistik percaya diri bisnis ini dapat tumbuh lebih dari 30% pada tahun ini.

Telkomsel Suntik Pendanaan Seri B1 ke Startup Logistik Berbasis IoT “Roambee”

Telkomsel melalui unit investasi Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) baru saja mengumumkan portofolio pendanaan baru kepada startup logistik berbasis IoT asal Amerika Serikat, yakni Roambee.

Roambee menerima pendanaan seri B1 dengan nominal yang tidak disebutkan. Sebelumnya di 2018, Roambee telah memperoleh pendanaan pertamanya lewat MDI Ventures yang diinisiasi Telkom Group.

“Saya belum bisa share detail sinerginya. Tapi ada [produk kolaborasi] yang dirilis di kuartal pertama,” ungkap CEO Telkomsel Mitra Inovasi Andi Kristianto dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.

Sebagaimana disampaikan dalam keterangan pers, sinergi terhadap Roambee diharapkan dapat mendorong perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi teknologi digital. Ditambah, baik Roambee dan Telkomsel memiliki solusi IoT yang dapat dikembangkan bersama.

Berdiri di 2013, Roambee mengembangkan solusi smart logistics dan asset monitoring berbasis IoT yang diperuntukkan bagi pelanggan enterprise, terutama yang memiliki sistem supply chain berbasis digital.

Sementara di Telkomsel, IoT telah menjadi salah satu fokus pengembangan bisnisnya dalam beberapa tahun terakhir. Strategi ini tak lain untuk memperkuat posisinya sebagai digital telco company di Indonesia.

Terlebih, teknologi 5G yang akan berperan penting terhadap pengembangan ekosistem IoT—meski masih melalui perjalanan panjang—akan segera menuju komersialisasi di Indonesia.

Hingga saat ini, Telkomsel telah menelurkan sejumlah  layanan baik melalui pengembangan sendiri maupun kolaborasi, antara lain Smart Connectivity, Fleet Sight, dan InTank. Untuk Fleet Sight, Telkomsel telah berkolaborasi dengan Pertamina dan Bluebird.

Pengembangan produk existing

Dihubungi terpisah, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa sinergi ini akan diawali dengan pengembangan produk dari solusi existing milik Roambee. Pertimbangannya karena solusi tersebut dinilai sudah product-fit.

“Produknya tracking solutions untuk menyasar klien enterprise Telkomsel. Kalau [pengembangan] solusi baru, nanti [ada] ke depannya,” ujar Kenneth kepada DailySocial.

Menurut Kenneth, Roambee dipilih karena teknologinya dinilai telah terbukti, dan bahkan telah digunakan perusahaan besar ternama di dunia, seperti DHL, Deutch Telecom, dan Unilever. “Jadi, [teknologinya] sudah cukup strong,” tambahnya.

Selain itu, dengan jejak pendanaan pertama dari MDI Ventures di 2018, Roambee saat itu juga mengembangkan produk yang sama, seperti tracking solutions, untuk disinergikan dengan bisnis Telkom Group.

”Solusinya berjalan karena memang ada demand di pasar, terutama dari e-logistic yang membutuhkan real time monitoring of package on delivery,” tutupnya.

aCommerce Tahun Ini Fokus Kantongi Profit dan Lancarkan “Strategi 2.0”

Platform e-commerce enabler asal Thailand aCommerce mengumumkan telah mendapatkan pendanaan baru senilai $15 juta (sekitar 205 miliar Rupiah menurut kurs hari ini) dari Indies Capital Partners. Sebelumnya aCommerce telah mengumpulkan total $103,8 juta dalam pendanaan selama 7 putaran. Pendanaan terakhir mereka diperoleh pada 22 Juli 2019 dari putaran Seri C.

Sepanjang tahun 2019, perusahaan mengklaim telah mencapai profit di pasar Thailand, yang dianggap sebagai pasarnya yang paling matang. Selain itu mereka juga menyebutkan peningkatan bisnis utama hingga 60%.

Kepada DailySocial, Group CEO dan Co-Founder aCommerce Paul Srivorakul mengungkapkan, dana segar yang diperoleh merupakan prestasi tersendiri bagi perusahaan dan menandakan bahwa kepercayaan investor berlanjut untuk mendukung visi dan misi perusahaan.

“Ini benar-benar tonggak sejarah bagi aCommerce, dan kami berharap dapat bekerja sama dengan tim Indies dan mendapatkan manfaat dari nilai tambah dan keahlian mereka, terutama di pasar seperti Indonesia,” kata Paul.

Perusahaan juga ingin mengembangkan bisnis dan fokus kepada negara di Asia Tenggara, di luar pasar Indonesia. Indonesia diklaim menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi besar, naum masih banyak tantangan yang dihadapi.

Menurut Paul, dengan strategi yang tepat, pasar Indonesia yang terbilang cukup fragmented bisa menjadi peluang tersendiri bagi platform seperti aCommerce.

“Indonesia adalah pasar besar dan menarik dengan potensi besar, tetapi masih banyak subsidi yang terjadi, terutama di [sektor] e-commerce. Ini berarti perusahaan harus berinvestasi lebih banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama bagi perusahaan untuk mencapai break even atau sulit mendapat keuntungan,” kata Paul.

“Strategi 2.0” aCommerce

Tahun 2020 juga menjadi awal dilancarkannya “Strategi 2.0” aCommerce. Rencana strategis baru ini diharapkan bisa memberikan nilai lebih besar kepada klien, mempercepat jalur menuju profitabilitas pada tahun 2020, dan memposisikan perusahaan untuk pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang sebagai perusahaan e-commerce enabler terkemuka di Asia Tenggara.

“Kami menjalankan strategi aCommerce 2.0 untuk fokus pada peluang margin yang lebih tinggi seperti merek Perusahaan, solusi End-to-End, dan channel Direct-to-Consumer (DTC). Tantangan lain yang kami temui adalah small basket size, expensive delivery network hingga merekrut dan mempertahankan bakat muda dan undang-undang perburuhan,” kata Paul.

Untuk bisa memberikan layanan lebih baik, sepanjang tahun 2019 perusahaan tidak secara agresif melakukan akuisisi klien dan fokus ke existing client. Mayoritas pertumbuhan aCommerce di Indonesia berasal dari merek global, seperti Samsung, Adidas, dan Loreal untuk menawarkan layanan langsung ke konsumen melalui layanan online, media sosial, dan omnichannel.

Tahun ini perusahaan berencana melanjutkan strategi penjualan yang sama dan fokus untuk mendaftarkan merek perusahaan yang serius dan memiliki komitmen untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis Direct-to-Consumer mereka.

“Dengan fondasi yang kami tetapkan untuk menjadi perusahaan jangka panjang yang berkelanjutan tahun lalu, melalui ‘aCommerce 2.0’, tujuan kami tahun ini adalah untuk terus memberikan nilai layanan yang lebih baik kepada klien perusahaan kami dan mencapai profitabilitas grup,” tutup Paul.

Konsep ISA Bakal Jadi Fokus Hacktiv8 Setelah Pendanaan

Hacktiv8, startup yang dikenal sebagai penyelenggara bootcamp untuk pemrograman, mengantongi pendanaan Pra-Seri A senilai $3 juta (sekitar 41 miliar Rupiah dengan kurs hari ini) yang dipimpin East Ventures. Turut terlibat di dalamnya Sovereign’s Capital, SMDV, Skystar Capital, Convegerence Ventures, RMKB Ventures, Prasetia, dan Everhaus.

Co-founder dan CEO Hacktiv8 Ronald Ishak kepada DailySocial menjelaskan bahwa fokus besar pendanaan kali ini ada pada ISA (Income Share Agreement). Sebuah konsep yang mulai banyak digunakan untuk pendanaan pendidikan.

“Dengan memperbanyak demand murid melalui ISA kita juga bisa memperbanyak jumlah sekolah kita. Sekarang ini kita sedang membangun beberapa sekolah baru yang akan dibuka secara bertahap tahun 2020 ini,” terang Ronald.

Konsep ISA sudah mulai diberlakukan di Hacktiv8. Konsep ini berbentuk kontrak bagi hasil antara murid dan Hacktiv8 yang memungkinkan para murid untuk menunda pembayaran biaya sekolah di awal, dengan ketentuan dibayar selanjutnya dengan membagi gaji bulanan yang diterima setelah bekerja.

Besaran pembagian gaji bulanan ini akan disesuaikan dengan pendapatan yang didapatkan. Siswa yang terdaftar di ISA mulai membayar setelah pendapatan mereka melebihi jumlah tertentu, sedangkan mereka yang bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi tidak akan membayar lebih dari batasan tertentu.

“Jika lulusan kami mendapat gaji yang kompetitif, kami akan mendapat pengembalian investasi yang bagus,” imbuh Ronald.

Salah satu hal yang ingin diubah Ronald adalah konsep di mana banyak institusi berbayar yang tidak menjamin lulusan meudah mendapatkan pekerjaan. Dengan konsep ISA ini institusi atau sekolah bertanggung jawab pada keberhasilan murid pasalnya setelah murid berhasil sekolah baru menerima pembayarannya.

Untuk saat ini Hacktiv8 mengklaim memiliki lebih dari 250 perusahaan mitra atau hiring partner yang siap merekrut para alumni. Selain itu perusahaan mitra juga turut berpartisipasi dalam perancangan kurikulum dalam rangka memastikan materi yang dipelajari up to date dan tetap relevan dengan industri.

Termasuk dalam mitra Hacktiv8 adalah Tokopedia, Gojek, Bukalapak, Payfazz, Xendit, KoinWorks, dan beberapa perusahaan lainnya.

Infografis soal ISA

Pertahankan konsistensi untuk cetak programmer handal

Hacktiv8 dikembangkan Roland bersama dengan Riza Fahmi sejak tahun 2018. Dalam kurikulumnya Hacktiv8 mengajarkan beberapa teknologi terkini seeprti JavaScript, Node.js, Vue.js, dan React. Bootcamp yang diselenggarakan pun mendorong peserta untuk secara konsisten berlatih, menghabiskan 10-12 jam setiap hari dalam 5-6 hari selama 12-18 minggu.

“Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah engineer yang rendah, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh jumlah populasi yang besar, melainkan juga karena Indonesia hanya memiliki sedikit lulusan program studi STEM (science, technology, engineering, and math),” jelas Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Ronald menambahkan, untuk saat ini demografi peserta bootcamp Hacktiv8 kebanyakan adalah mereka yang ingin pindah atau masuk ke dalam dunia bisnis teknologi atau startup dengan background bermacam-macam, mulai dari finance, design, marketing, dan lain-lain yang mencoba menjadi programmer. Mereka juga tengah fokus untuk mengembangkan platform ISA.

“Sekarang ini hanya Hacktiv8 institusi yang kita jalankan dengan ISA, cuma kita sedang mengembangkan ISA platform untuk membantu semua sekolah lain di luar Hacktiv8 untuk bisa menerima ISA (ke depannya),” imbuh Ronald.

Selain bootcamp salah satu pelebaran sayap Hacktiv8 dalam upaya mencetak programmer berkualitas di Indonesia adalah dengan menghadirkan Kode.id. Platform belajar pemrogaman ini diklaim sudah memiliki 160 kelas belajar dengan total 200 jam.

Ovo Confirms Series B Investment to Bareksa Last Year

Bareksa mutual fund startup confirmed, Ovo becomes the sole investor in its Series B funding with an undisclosed amount. The round is said to be closed by the end of last year.

“Ovo is the sole investor for Bareksa in the Series B funding. The round was closed at the end of last year. We’re now focusing on synergy,” Bareksa’s Co-founder & CEO Karaniya Dharmasaputra told Dailysocial amidst the event of Ovo & Pegadaian collaboration announcement. (Wed 1/8)

On the same occasion, he emphasized on Ovo is yet to own Bareksa’s major shares. Post the corporate action, Dharmasaputra has elected as Ovo’s President Director through an announcement last September.

Since its debut five years ago, Bareksa only held external fundraising twice with only local players involved.

One of the to-do-list synergies with Ovo is to implant mutual fund products on Ovo’s platform, also to have it as a payment option on Bareksa. Dharmasaputra ensured the product development will soon to be announced.

Aside from that, Bareksa is to add up new innovation outside mutual funds, including online gold purchasing with some partners and entering the secondary market for ORI products. The ORI agents are to support the government with easy access for investment in stock market.

“We’re also developing robo advisor and re-framing the app. It is to be announced altogether around March or April 2020.”

Regarding the sale of corporate obligation, he explained that it’s yet to roll because they have to be registered first as a non-stock corporation. Previously, Bareksa has announced a collaboration with FIF to acquire retail investors.

“We can’t do it right now due to regulations are still in discussion with IFA and also not possible, therefore it’s still on progress. We have to apply for a new license as the non-stock corporation.”

Bareksa has claimed to record up to 400% managed funds growth last year. The total public’s fund invested in Bareksa since 2016 has reached Rp5 trillion. Meanwhile, as seen from the AUM per December 2019, it’s almost Rp2 billion. There are hundreds of mutual fund products provided by some investment managers sold through Bareksa.

Performance and partnership with Ovo and Pegadaian

Ovo becomes Pegadaian's new partner, being announced along with other companies / Ovo
Ovo becomes Pegadaian’s new partner, being announced along with other companies / Ovo

Karaniya, who is also the President Director of Ovo, disclosed that the company has been processing a million transactions in real-time last year, with transaction growth at over 70%.

The transaction value increased by 55% and monthly active users increased by over 40% at 11-12 million. From the total Ovo users, 28% of those are underbanked or having limited access to financial products.

In order to increase penetration to the rural area, the company partnered up with Pegadaian. In the early stage, there will be agents in the Pegadaian outlets to help with submission, registration, and Ovo upgrade. Later, it’ll be needed for disbursement from pledge assets, cash in, and cash out.

The soon-to-be product will be the Online Multi payment (MPO). This is a payment service for various kinds of bills, monthly subscriptions, balance top-up, ticket, health insurance, through Pegadaian outlets. The company has 4,148 outlets and 13.4 million customers throughout Indonesia.

“The partnership with Ovo is to increase Pegadaian customers’ access into the growing digital economy ecosystem. Pegadaian needs to make sure equal access to the integrated, safe, comfortable and accountable modern payment system,” Pegadaian’s President Director, Kuswiyoto said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ovo Konfirmasi Investasi Seri B di Bareksa Tahun Lalu

Startup marketplace reksa dana Bareksa mengungkapkan, Ovo adalah investor tunggal yang masuk dalam putaran Seri B dengan nilai dirahasiakan. Putaran ini disebutkan telah ditutup pada akhir tahun lalu.

“Ovo adalah investor tunggal di Bareksa untuk pendanaan Seri B. Putaran ini sudah ditutup pada akhir tahun lalu. Sekarang kita fokus sinergi,” terang Co-Founder dan CEO Bareksa Karaniya Dharmasaputra kepada DailySocial, disela-sela pengumuman kemitraan Ovo dan Pegadaian, Rabu (8/1).

Di kesempatan yang sama, Karaniya menegaskan Ovo belum menjadi pemilik mayoritas Bareksa. Pasca aksi korporasi ini, Karaniya didapuk sebagai Presiden Direktur Ovo yang diumumkan pada September 2019.

Sejak beroperasi lima tahun lalu, Bareksa baru melakukan dua kali pendanaan eksternal dan seluruh investor yang masuk adalah perusahaan lokal.

Salah satu sinergi yang akan dilakukan Bareksa bersama Ovo adalah menyediakan produk reksa dana ke dalam aplikasi Ovo, juga menghadirkan Ovo sebagai salah satu opsi pembayaran transaksi reksa dana di aplikasi Bareksa. Karaniya memastikan pengembangan produk ini akan diumumkan dalam waktu dekat.

Di samping itu, Bareksa akan menambah inovasi baru di luar penjualan reksa dana, termasuk penjualan emas online dengan menggaet mitra dan merambah pasar sekunder untuk penjualan ORI. Agen penjualan ORI ini sebagai bentuk dukungan ke pemerintah terhadap kemudahan berinvestasi di pasar modal.

“Kami juga sedang develop robo advisor dan memperbarui tampilan aplikasi. Harapannya semua akan kami luncurkan secara bersamaan sekitar Maret atau April tahun ini.”

Terkait penjualan obligasi korporasi, Karaniya menjelaskan langkah belum dilaksanakan perusahaan karena mereka harus mendaftar sebagai perusahaan efek non anggota bursa. Sebelumnya, Bareksa mengumumkan kerja sama dengan FIF untuk menjaring investor dari kalangan ritel.

“Belum bisa kita lakukan karena regulasinya soal itu masih dibicarakan di OJK dan belum memungkinkan, sehingga kami masih diskusi. Kita harus apply izin baru sebagai perusahaan efek non anggota bursa.”

Diklaim Bareksa mencatat pertumbuhan dana kelolaan hingga 400% sepanjang tahun lalu. Total dana masyarakat yg diinvestasikan di Bareksa sejak 2016 berkisar Rp5 triliun. Sementara, bila dilihat dari AUM per Desember 2019 saja, mencapai hampir Rp2 triliun. Terdapat ratusan produk reksa dana yang disediakan puluhan manajer investasi dijual melalui Bareksa.

Kinerja dan kerja sama Ovo dan Pegadaian

Ovo menjadi salah satu mitra baru Pegadaian, bersama perusahaan lainnya yang serentak diumumkan / Ovo
Ovo menjadi salah satu mitra baru Pegadaian, bersama perusahaan lainnya yang serentak diumumkan / Ovo

Karaniya, yang juga Presiden Direktur Ovo, menerangkan sepanjang tahun lalu perusahaan telah memroses satu miliar transaksi secara real time, dengan peningkatan jumlah transaksi lebih dari 70%.

Nilai transaksi mengalami kenaikan hingga 55% dan jumlah pengguna aktif bulanan naik lebih dari 40% dengan angka sekitar 11-12 juta pengguna. Dari seluruh pengguna Ovo, sekitar 28% di antaranya adalah nasabah underbanked alias mereka yang sudah mendapat akses produk finansial tapi masih terbatas.

Dalam meningkatkan penetrasinya ke pelosok Indonesia, perusahaan bekerja sama dengan Pegadaian. Untuk tahap awal, di outlet Pegadaian tersedia agen untuk mempermudah proses pendaftaran, registrasi, dan upgrade Ovo. Nantinya dibutuhkan untuk pencairan (disbursement) dari hasil gadai, cash in, dan cash out.

Kerja sama berikutnya yang segera dikembangkan yaitu Multi Payment Online (MPO). Ini adalah layanan pembayaran berbagai tagihan bulanan, pembelian pulsa, tiket, premi BPJS, melalui outlet Pegadaian. Perseroan sendiri memiliki 4.148 outlet dan 13,4 juta nasabah tersebar di seluruh Indonesia.

“Kerja sama dengan Ovo akan meningkatkan akses nasabah Pegadaian ke dalam ekosistem keuangan digital nasional yang terus berkembang. Pegadaian perlu memastikan pemerataan akses terhadap sistem pembayaran modern yang terintegrasi, aman, nyaman, serta akuntabel,” ucap Direktur Utama Pegadaian Kuswiyoto.

Application Information Will Show Up Here

Komitmen Svara Gairahkan Digitalisasi Industri Radio Lokal

Menurut temuan PwC dalam “2018 Media & Entertainment Outlook”, diproyeksikan pendapatan industri media digital secara global akan tembus ke angka $792,3 miliar, naik dari 2017 sebesar $666,9 miliar. Kenaikan dipicu oleh pesatnya perkembangan teknologi yang menyamarkan cara konsumsi media cetak dan digital, video game dan olahraga, internet nirkabel dan kabel, TV berbayar dan OTT, media sosial dan tradisional.

Di sisi lain, fakta ini menjadi tantangan buat perusahaan untuk menyusun kembali strategi mereka dalam menjangkau konsumen, teknologi apa yang tepat dan produksi konten premium dengan cara yang hemat biaya. Salah satu bagian dari industri ini terdapat radio, perusahaan podcast dan layanan streaming yang saling berkompetisi menghadirkan kontennya masing-masing.

Perkembangan radio sendiri di kancah global selama beberapa tahun terakhir cenderung stagnan, beda halnya dengan internet radio yang tumbuh 40% per tahun, menurut laporan dari Nielsen dan Edison Research di 2018. Definisi internet radio tidak hanya radio live streaming saja, juga mencakup musik dan podcast.

Kondisi di atas mendorong Hemat Dwi Nuryanto dan Farid Fadhil Habibi untuk menginisiasi kehadiran Svara sejak 9 September 2017. Mereka tertarik untuk terjun ke industri ini karena peluang bisnisnya yang menggiurkan, target pasarnya tidak hanya di Indonesia tapi internasional.

“Karena industri media sedang mengalami disrupsi, jadi tidak hanya radio di Indonesia saja tapi juga di seluruh dunia. Selain itu, yang membuat kami tertarik adalah radio punya dampak sosial yang besar karena ada kearifan lokal,” ucap Farid selaku Co-Founder & CEO Svara kepada DailySocial.

“Jika radio dapat bertahan dan tumbuh bersama kami, konten lokal, wisdom lokal, budaya lokal, wisata lokal dan musik lokal dapat terangkat,” tambahnya.

Svara terdiri dari dua platform, on-air platform untuk broadcaster automation dan aplikasi Svara untuk pendengar. Mereka dapat menikmati berbagai konten audio dan non audio di aplikasi, di antaranya radio, playlist music, dan podcast.

Fitur lainnya adalah live visual radio, live chat dengan penyiar dan pendengar lain social audio, dan library. Farid mengklaim kehadiran Svara menjadi warna baru dalam pemain digital broadcasting. Pasalnya, jika hanya berbicara soal aplikasi radio streaming saja, sudah banyak pemainnya.

Jika hanya bicara soal podcast saja, sudah ada Inspigo dan SoundCloud, misalnya. Apabila hanya bicara streaming musik ada Spotify sebagai pemimpin pasar globalnya. Di antara semuanya ini tidak ada yang memiliki on-air platform.

“Kami sudah research sejak 2002, salah satu pemain besar di broadcaster automation adalah RCS (Radio Computing Services) dari Amerika Serikat. Baik online platform ataupun on-air platform terintergrasi satu sama lain, yang kami sebut dengan Svara.”

Pencapaian dan rencana Svara

Farid menjelaskan perusahaan punya delapan model bisnis, ada yang B2B dan B2C. Empat di antaranya sudah jalan, sisanya masih dalam proses pengembangan. Tapi dia enggan mendetailkan cara perusahaan memonetisasi.

Disebutkan pengguna dapat mendengarkan lebih dari 100 radio siaran AM/FM, lebih dari 10 radio komunitas percontohan seperti radio kampus/sekolah, dan radio toko. “Ada ribuan radio di seluruh dunia dapat didengarkan melalui Svara. Kami memiliki lebih dari 250 ribu pengguna.”

Di samping itu, perusahaan bekerja sama dengan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) dengan anggota 585 radio, Lembaga Manajemen Kolektif (WAMI – Wahana Musik Indonesia) untuk lisensi musik, Telkomsel untuk bebas kuota internet, LPIK ITB, dan IDX Incubator.

Mengingat ruang bisnis yang masih sangat besar, perusahaan berencana untuk terus mengembangkan Svara. Pada tahun ini ditargetkan ada 250 radio lokal yang masuk dalam aplikasi dan menggaet hingga 1 juta pengguna. “Aplikasi Svara dapat segera digunakan untuk Smart Speaker, Connected Car, Smart Watch, hingga Smart TV.”

Untuk mencapai target tersebut, perusahaan mengumumkan perolehan pendanaan pra seri A dengan nominal dirahasiakan dari UMG Idealab, kemarin (6/1). Kendati dirahasiakan, diklaim valuasi Svara hampir sentuh angka $10 juta (Rp140 miliar).

Farid menjelaskan, selain pengembangan produk, dana segar akan dipakai untuk memperkuat tim produk dan pemasaran, memperluas kerja sama strategis dengan pihak lain dan mengedukasi para pemain radio untuk melakukan transformasi digital.

“Kami sangat yakin Svara akan menjadi next unicorn di Indonesia. Kami persembahkan untuk Indonesia, khususnya untuk membantu industri kreatif, yaitu radio, musik, dan podcast untuk tetap bertahan dan tumbuh di era disrupsi ini,” tutupnya.

Sebelum peroleh dana segar, Svara telah beberapa kali menerima dana hibah dari penghargaan nasional dan internasional. Di antaranya, Swiss Innovation Challenge 2017 (hibah $5.000) dan Government Research Grant on Blockchain in Music 2017 (hibah $30 ribu).

Application Information Will Show Up Here

Running Startups Without External Funding

Funding is an essential and integral part of startup operations. Without funding, it is very likely for a startup to lose before competing.

If it says so, then is it possible for a startup to operate without funding? The answer is probably. Fresh funds are obviously substantial for just daily operations or “burn-money” for promotion.

The truth is, startups can do without funding. This is so far the most relevant option for revenue-based rather than growth-based startups. The following are a few steps for those consider running a startup without funding.

Fixed financial planning from an early stage

With this option, financial planning should be fixed from the very beginning. Without funding, startups must have a detailed calculation of whether the revenue earned from consumers will be greater than the cost spent to acquire consumers.

It’s not only for the early startups but also for mature businesses. Moreover, it is important to be aware of the remaining cash. Drastic steps must be taken when there is only enough cash available for operations in the next six months.

Achieve Product-Market Fit

Startups need parameters to find out whether consumers really want to spend on their products or services. It is important for us to know the product can be the best solution for its users.

The problem is that there are no truly scientific parameters for finding product-market fit. But there are three things that can at least be used as indicators, namely product use, customer retention, and sales activities.

There is no such thing as another metric, it’s only profit

Having a product that is widely discussed by the public is certainly good news. But high traffic, positive engagement, can’t possibly become the right substitute for mature sales and marketing strategies.

Such metrics are often become the early startups killer. They are fixated on pursuing something that doesn’t really impact sales or user acquisitions. Another thing to avoid is investing their money and time and resulting in sales and marketing strategy that won’t last long.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian