Memaknai Investasi Go-Ventures ke Startup Media

Setelah berinvestasi di kumparan awal bulan ini, unit investasi milik GO-JEK yakni Go-Ventures dikabarkan kembali mengucurkan investasi ke perusahaan media. Kali ini ke Narasi TV. Kami sudah mencoba mengkonfirmasi kabar tersebut ke redaksi Narasi TV, namun hingga tulisan ini diterbitkan belum mendapatkan respon.

Seperti halnya kumparan, Narasi TV adalah perusahaan media. Dengan Najwa Shihab sebagai ikon utamanya, mereka memproduksi berbagai varian konten dalam bentuk video. Secara umum berdasarkan konten yang ada, Narasi TV banyak menargetkan pada kalangan muda, mengedukasi dengan konten politik dan konten bergaya pop.

Memang tidak ada pernyataan khusus dari pihak terkait mengenai alasan pemilihan lanskap bisnis tersebut, hanya saja ada beberapa hal yang dapat diperhatikan.

Pertama, ada kebutuhan GO-JEK menyajikan ragam informasi ke dalam platformnya. Sebelumnya pernah diberitakan, integrasi dengan kumparan memungkinkan pengguna aplikasi GO-JEK membaca berita langsung di dasbor profilnya. Narasi TV bisa jadi akan melengkapi sajian konten berbasis video di dalam aplikasi GO-JEK. Hadirnya media dianggap bisa mendukung time spent konsumen yang lebih lama di dalam aplikasi.

Kedua, dukungan publik sangat diperlukan GO-JEK sebagai sebuah perusahaan publik di “sektor kritis”. Dengan adanya kerja sama strategis dengan media, GO-JEK dapat memaksimalkan pemberitaan mengenai fitur, promo, dan inovasi terbarunya sehingga mendapatkan apresiasi pembaca. Bukan untuk membuat pemberitaan menjadi tidak obyektif, tetapi menjembatani komunikasi publik GO-JEK secara lebih masif.

GO-Ventures sendiri memang masih cukup baru dan dikonfirmasi kehadirannya pada Agustus 2018 lalu. Mari kita lihat langkah selanjutnya yang akan dilakukan corporate venture capital ini.

Application Information Will Show Up Here

Venturra Discovery Bidik Pendanaan Startup Tahap Awal hingga Pra-Seri A

Pemodal ventura (VC) naungan Lippo Group, Venturra Capital, resmi meluncurkan anak usaha Venturra Discovery yang akan fokus pada pendanaan startup tahap awal (seed funding) hingga pra-seri A di Asia Tenggara.

Ditemui saat peluncurannya, Direktur Lippo Group John Riady mengungkapkan bahwa peluncuran Venturra Discovery membuka lebih banyak kesempatan bagi perusahaan untuk lebih aktif pada pendanaan startup tahap awal di Indonesia.

“Kami sangat beruntung bisa berkontribusi terhadap perkembangan Indonesia karena kami lihat potensi untuk lebih aktif tak hanya pada pendanaan Seri A dan B saja, tetapi di tahap awal. Kami tak sabar melihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan,” ungkap John.

Alasan lain Venturra Discovery diluncurkan adalah adanya gap pendanaan yang jauh antara VC di tahap awal dan tahap seri A ke atas. Berdasarkan data yang dikutip Venturra Capital, kondisi VC yang fokus pada pendanaan tahap awal di 2014, mampu menyuntik $50 ribu-500 ribu per satu perusahaan. Namun, gap besar lebih terasa pada VC di tahap seri A dan seterusnya.

Kondisi ini berbalik di 2018 di mana saat ini VC yang fokus di seri A bisa mengucurkan $1-3 juta per investasi. Gap besar justru dialami oleh VC yang aktif pada pendanaan tahap awal hingga pra-seri A.

Tech ecosystem dulu belum siap, tetapi industri teknologi dalam tahun terakhir ini bertumbuh pesat. Tentu akan ada banyak masalah yang ingin diatas, makanya kami bekerja sama dengan lebih banyak founder,“ jelas Managing Partner Venturra Capital, Rudy Ramawy.

Untuk itu Venturra Discovery fokus terhadap pendanaan startup tahap awal hingga pra-seri A di Asia Tenggara. Perusahaan membidik target sebanyak 30-40 portfolio dengan besaran per investasi berkisar $200 ribu-500 ribu. Total investasi yang disiapkan adalah sebesar $15 juta (sekitar 223 miliar Rupiah), murni dari kantong Lippo Group.

“Kami ingin investasi ke sektor agnostik. Saat ini sudah lima (deal), yakni 1 perusahaan healthcare, 2 consumer, 1 enterprise solution, dan 1 inkubator. Ini momen tepat untuk akselerasi, dan kami ingin fill the gap dengan peluncuran VC ini,” tambah Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.

Venturra Capital pertama kali berdiri pada 2015 dengan investasi awal $150 juta. Hingga saat ini tercatat, Venturra telah menyalurkan investasi untuk pendanaan sebesar $600 juta dengan pertumbuhan sejak investasi pertamanya sebesar 3,1 kali.

VC independen ini telah menyuntik investasi ke berbagai perusahaan di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Tercatat sudah ada 22 perusahaan yang telah menerima pendanaan Venturra, termasuk Ruang Guru, Fabelio, dan Medigo.

Startup Kesehatan Medi-Call Kini Hadir di Enam Belas Kota

Sejak debut di tahun 2016, startup bidang kesehatan Medi-Call kini mengaku telah melayani lebih dari 5000 pasien di wilayah sebarannya. Peningkatan jumlah pengguna turut didukung adanya kerja sama dengan 387 dokter, 379 perawat, 480 bidan dan 30 fisioterapis. Untuk jaminan mutu, seluruh mitra tersebut telah dipastikan memiliki lisensi praktik dari lembaga terkait.

Di pertengahan tahun ini, Medi-Call telah meluas di 16 kota (sebelumnya hanya beroperasi di wilayah Bali saja), termasuk di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Medan, Palembang, hingga Balikpapan. Ekspansi ini tak terlepas dari dukungan mitra strategisnya, yakni Apotek K24. Layanan Medi-Call terintegrasi dengan situs online K24Klik untuk pemenuhan kebutuhan obat bagi pasien.

Untuk menguatkan bisnis, Medi-Call juga telah menerima pendanaan awal (seed funding) dari angel investor yang tidak diinformasikan detailnya. Pendanaan tersebut akan digunakan untuk merealisasikan manuver bisnis ke depan, tak lain memperluas jangkauan operasional agar lebih banyak pasien yang dirangkul akses pelayanan kesehatan daring tersebut.

“Hingga saat ini, Medi-Call terus dikembangkan agar dapat menjadi aplikasi berbasis lokasi yang menghubungkan penyedia layanan kesehatan dengan pasien. Aplikasi ini dapat menjadi solusi tepat bagi mereka yang tidak ingin kesibukannya terganggu oleh penyakit yang tiba-tiba menyerang,” ujar Co-Founder & CEO Medi-Call, Budhi Riyanta, yang juga seorang dokter.

Dengan aplikasi Medi-Call, pengguna dapat memperoleh pelayanan kesehatan terdekat melalui aplikasi. Keunggulan yang coba ditawarkan memudahkan pasien tidak perlu lagi mengantre, karena tim kesehatan yang akan menyambangi rumah pasien sesuai dengan keluhannya — sehingga bisa saja ditangani dokter, perawat, bidan atau fisioterapis. Layaknya aplikasi on-demand lainnya, Medi-Call juga berusaha memberikan kepastian biaya terkait pelayanan kesehatan saat pengguna hendak melakukan pemesanan.

“Dokter yang datang ke rumah pasien dapat langsung meresepkan obat yang kemudian dapat dipesan melalui K24Klik. K24Klik menyediakan layanan One Hour Delivery yang memungkinkan pasien untuk segera menerima obatnya dalam kurun waktu 1 jam saja, sebab K24Klik sudah memiliki lebih dari 300 apotek mitra yang tersebar di seluruh Indonesia,” imbuh Budhi menerangkan tekis kerja samanya dengan Apotek K24.

Selain Budhi, startup healthtech ini juga didirikan oleh dua rekan lainnya yang juga seorang dokter, yakni Stephanie Patricia dan Candra Wijanadi. Fenomena urban yang menuntut berbagai aktivitas ingin dilakukan secara praktis memberikan mereka ide untuk menghadirkan layanan kesehatan on-demand berbasis mobile.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Raises Seed Funding for Fore Coffee

East Ventures becomes venture builder again by announcing seed funding for Fore Coffee. It has become the third project incubated by East Ventures after EV Hive (today COCOWORK) and Warung Pintar.

Fore Coffee led by Robin Boe, also a Co-Founder of Otten Coffee. Otten is an e-commerce platform for coffee-related products supported also by East Ventures. The first Fore Coffee store has opened since August 2018 and now serving 1,000 cups per week.

Fore will be positioned like Luckin Coffee, a digital-based approach coffee startup which becomes Starbucks’ competitor in China. Luckin is a prototype of modern coffee shop which capable to encourage consumers to download the app in purchasing and making payment via mobile (e-wallet).

“Using Otten’s network and expertise, Fore is equipped with high-quality technology and machine to provide the best coffee to our customers. We dreamed about a day where everyone can have access to the special coffee near them every day and we’re glad to get further steadily,” Robin Boe, Fore Coffee’s CEO, said.

Fore Coffee will run their first shop located on Otten Coffee Jakarta’s second floor in Jl. Senopati No.77, South Jakarta. The second shop will be opened in Plaza Indonesia this October followed by other branches in central shopping town and office district.

“Indonesia’s technology ecosystem has moved rapidly along with innovations to change our daily lives. Particularly the way consumers get their food, it has changed recently by food delivery services. It triggers a new hypothesis in which we think necessary to prove it quickly. Are we capable to serve new requests with bottom-up startup designs that focus on new innovations in Indonesia? In China, Luckin Coffee is the answer,” Willson Cuaca, East Ventures’ Managing Partner and Fore Coffee’s Chairman, said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Beri Pendanaan Awal untuk Startup Kopi Fore Coffee

Perusahaan modal ventura East Ventures kembali menjadi venture builder dengan mengumumkan pendanaan awal untuk startup kopi Fore Coffee. Fore Coffee menjadi proyek ketiga yang diinkubasi East Ventures setelah Ev Hive (yang kini menjadi COCOWORK) dan Warung Pintar.

Fore Coffee yang dipimpin oleh Robin Boe yang juga adalah Co-Founder Otten Coffee. Otten merupakan platform e-commerce untuk produk-produk terkait kopi yang juga mendapat dukungan East Ventures. Gerai pertama Fore Coffee sudah mulai beroperasi sejak Agustus 2018 dan kini sudah melayani 1.000 cup kopi per minggunya.

Fore akan diposisikan seperti Luckin Coffee, startup kopi dengan pendekatan digital, yang menjadi penantang gerai Starbucks di Tiongkok. Implementasi Luckin berbentuk prototipe gerai kopi modern yang mendorong konsumennya mengunduh aplikasi ketika ingin memesan dan menggunakan pembayaran mobile (dompet elektronik).

“Memanfaatkan jaringan dan keahlian dari Otten, Fore dilengkapi dengan peralatan teknologi tinggi dan mesin untuk memberikan kualitas kopi terbaik kepada pelanggan kami. Kami memimpikan hari di mana setiap orang memiliki akses ke kopi spesial yang terjangkau dekat dengan mereka setiap hari dan kami gembira bahwa kami bergerak maju ke hal itu dengan mantap,” terang CEO Fore Coffee Robin Boe.

Fore Coffee akan mengoperasikan gerai pertama mereka yang terletak di lantai dua toko Otten Coffee Jakarta yang beralamat di Jl Senopati No 77, Jakarta Selatan. Toko kedua rencananya akan dibuka di Plaza Indonesia Oktober ini dan akan menyusul cabang lainnya di pusat perbelanjaan dan kantor-kantor.

“Ekosistem teknologi Indonesia telah bergerak cepat dengan banyak inovasi yang mengubah kehidupan kita sehari-hari. Khususnya cara konsumen mendapatkan makanan mereka, itu telah berubah dalam beberapa tahun terakhir dengan inovasi layanan pengiriman makanan. Ini memicu hipotesis baru dalam diri kita yang menurut kami ingin kita buktikan dengan cepat. Bisakah kami melayani permintan baru dengan desain startup berbasis bottom up yang fokus pada inovasi baru di Indonesia? Di Tiongkok, Luckin Coffee menjawab pertanyaan itu,” jelas Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures dan Chairman Fore Coffee.

Ralali Amankan Pendanaan 104 Miliar Rupiah, Siapkan Ekspansi Regional

Ralali, perusahaan marketplace B2B, berhasil mengamankan pendanaan Seri B senilai $7 juta atau lebih dari Rp 100 miliar dari sejumlah investor, termasuk SBI Group, AddVentures (perusahaan venture capital SCG), dan Digital Garage. Pendanaan kali ini diharapkan bisa mempercepat misi Ralali untuk bisa melayani 30 juta UKM di Indonesia dan juga ekspansi ke pasar global dengan menyediakan solusi untuk segmen bisnis yang lebih luas.

“Kami telah memperluas jangkauan MRO dan perlengkapan kantor ke segmentasi bisnis lainnya, seperti pasokan makanan, bahanan bagunan dan perlengkapan otomotif,” papar CEO Ralali Joseph Aditya.

Ralali mengklaim saat ini bisnis mereka telah berhasil menghubungkan sekitar 150.000 reseller, pengusaha grosir dan pengecer di lebih dari 10.000 pemasok di 20 kota. Transaksi tahunan Ralali juga disebut meningkat, tumbuh lima kali dari tahun sebelumnya, dengan basket size per transaksi senilai $2000.

Selama empat tahun terakhir, Ralali berusaha memanfaatkan pengalaman yang dimiliki dan berusaha untuk memahami pasar Indonesia. Ralali juga telah membantu spuplier menjual langsung dan bertansaksi online yang langsung mengarah ke profiling pengguna. Data ini kemudian dimanfaatkan Ralali untuk membangun platform pinjaman keuangan yang mendukung kredit modal kerja yang akan didanai oleh investasi ini.

“Kami percaya platform e-commerce B2B akan memiliki pertumbuhan yang menjanjikan dan kami dapat mendukungnya di bidang fintech seperti memperkanalkan platform pinjaman keuangan kepada mereka,” terang Executive Officer of SBI Investment Tomoyuki Nii.

Sementara itu, SCG yang juga terlibat dalam pendanaan kali ini akan mengambil peran membantu perusahaan memperluas potensi pasar secara digital. SCG juga disebut akan ambil bagian di model vertikal Ralali sebagai top tier penyedia kebutuhan bisnis. Ralali dan SCG juga akan berkolaborasi dalam mengembangkan ekosistem digital supply-chain secara Global dan Cross-ASEAN. Salah satu langkah awalnya adalah menyiapkan ekspansi ke Thailand di Q1 2019.

“Platform e-commerce B2B di pasar berkembang masih terfragmentasi dalam hal rantai pasokan. Kami berusaha untuk memungkinkan binsis memiliki integrasi yang lebih baik dalam hal penawaran produk dikombinasikan dengan layanan dalam satu platform. Target kita untuk mencapai $1 miliar dari penjualan kotor pada tahun 2020,” tutup Joseph.

Application Information Will Show Up Here

Grab Ventures Kini Miliki Saham Minoritas di HappyFresh

Grab Ventures mengonfirmasi telah memberikan pendanaan untuk HappyFresh dengan nominal yang tidak disebutkan. Dikutip dari DealStreetAsia, Head of Grab Ventures Chris Yeo menuturkan investasi tersebut membuat mereka kini memiliki saham minoritas di HappyFresh.

Grab dan HappyFresh telah meresmikan kehadiran GrabFresh di Indonesia untuk memudahkan berbelanja kebutuhan sehari-hari di dalam aplikasi Grab.

Grab Ventures merupakan lembaga investasi yang diluncurkan Grab sebagai jalur untuk masuk ke startup yang berpotensi. Menurut Yeo, Grab Ventures mengincar penempatan saham minoritas dengan pendanaan senilai US$5-15 juta untuk startup seri A ke atas.

“Berbicara tentang startup di tahap seri A dan B, yang terbaik bagi kami dan mereka adalah pendanaan untuk saham minoritas terlebih dahulu. Lalu kami akan support mereka melalui platform kami baik dari sisi jaringan dan kapital. Seiring berjalannya waktu, apabila berjalan baik, maka kami bisa mengambil lebih banyak saham,” ujar Yeo.

Sebelumnya CEO HappyFresh Guillem Segarra dalam wawancara terdahulu mengatakan, perusahaan tengah mempersiapkan penggalangan dana segar untuk pendanaan Seri C akhir tahun ini. Saat itu dia tidak mengiyakan ataupun membantah mengenai kemungkinan Grab akan turut berpartisipasi dalam pendanaan ini.

Dia menyebut dana segar tersebut akan dipakai untuk ekspansi ke negara baru dan perluasan layanan ke kota-kota baru di Indonesia pada tahun depan. Di samping itu, HappyFresh akan memperbaiki tampilan UI/UX dalam aplikasi agar lebih personal bagi pengguna.

Bukan untuk diakuisisi

Selain HappyFresh, Grab telah mengambil saham minoritas untuk perusahaan fintech di Vietnam Moca. Grab juga telah menjalin beberapa kemitraan lain dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan, berita, dan pembayaran.

Dalam kesempatan yang sama, President Grab Ming Maa mengatakan tujuan akhir berinvestasi lewat Grab Ventures itu bukan untuk diakuisisi. Grab ingin menjadikan Grab Ventures sebagai jembatan startup untuk terus berkembang, bukan dengan mengontrol mereka. Apalagi biaya yang harus dikeluarkan untuk akuisisi saat ini relatif tinggi.

“Apa yang ingin kita lakukan adalah menemukan cara untuk menurunkan biaya seminim mungkin untuk terus tumbuh.”

Yeo mengklaim, sejak pertama kali Grab Ventures diresmikan, mereka telah menerima aplikasi dari lebih dari 300 startup. Rencananya angka tersebut akan direalisasi menjadi 8-10 investasi dalam dua tahun ke depan.

Di Indonesia, MDI Ventures menjadi mitra lokal Grab Ventures.

Application Information Will Show Up Here

Fintech Lending Startup Helicap Expands to Indonesia, Raising $5 Million Funding

Helicopter Capital (Helicap), a Singapore-based lending platform developer startup, today (9/13) announced it has raised $5 million (around IDR 74 billion) of Pre-Series A Funding. It was led by East Ventures and Soilbuild Group Holdings. It’s to focus on the expansion to the Indonesian market.

In its Indonesian debut, there will be data and technology teams to improve the company’s data collection capacity. In the distribution to SMEs, Helicap is using its own data analysis platform. The analysis was intended to generate return and credit score to convince investors (institutions) in providing loans.

Helicap introduced itself as the Capital as a Services platform within B2B2C scope. They didn’t provide direct loans, but distributing loans from partners with data analysis as the collateral. Particularly in Indonesia, Helicap admits providing loans only from the registered lenders in OJK to ensure obedience with the local regulation.

The name “Helicopter” is said to have a certain meaning. Helicap covers all access to credit data collected by some financial organizations. The data was managed to produce insights for investment allocation. It’s considered to be the helicopter view or comprehensive knowledge of the to-be-invested business.

“Southeast Asia becomes the most developing economic region, driven by SMEs. However, it also produced a fragmented loan ecosystem, incapable to serve capital loans for business as a whole,” David Wang, Helicap’s CEO and Co-Founder added.

He continued, East Ventures entree in business will give essential contribution in Indonesia. Support from Soilbuild is to validate Helicap’s portfolio, because of their expertise in the property business segment in particular. Since its operational debut in the second quarter of 2018, Helicap claims to distribute loans to more than 100,000 customers.

Indonesian expansion has set an optimistic target for this startup. The business in Indonesia is targeted to run in this year’s fourth quarter. Soon, they’ll appoint the Country Manager to lead the business maneuver in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Go-Jek Dikabarkan Cari Lagi Dana 30 Triliun Rupiah

Go-Jek kembali dikabarkan mencari pendanaan baru sebagai bahan bakar ekspansi regionalnya. Menurut info yang diungkapkan Bloomberg, dana yang dikejar Go-Jek mencapai setidaknya $2 miliar atau hampir 30 triliun Rupiah. Go-Jek baru saja meluncurkan layanan Go-Viet di Vietnam sebagai hasil ekspansi pertamanya di Asia Tenggara dan bakal menyusul kehadiran di Thailand, Filipina, dan Singapura. Valuasi Go-Jek terakhir berada di kisaran $5 miliar (hampir 75 triliun Rupiah).

Awal tahun ini Go-Jek telah menutup putaran pendanaan senilai $1,5 miliar atau sekitar 20 triliun Rupiah. Termasuk dalam jajaran investor pendukungnya adalah Tencent, JD.com, Google, Temasek, Astra Internasional, Blibli, dan sejumlah nama tenar lainnya. Nama-nama tersebut disebutkan bakal kembali mendukung Go-Jek untuk ekspansi ini.

Pihak Go-Jek disebutkan menolak mengonfirmasi informasi ini.

Go-Jek memulai ekspansi regionalnya tahun ini pasca pengambilalihan operasional Uber di Asia Tenggara oleh Grab. Di tahap awal Go-Jek menyiapkan dana $500 juta (sekitar 7,5 triliun Rupiah) untuk kepentingan ini. Setelah Go-Viet, Go-Jek telah menyiapkan GET di Thailand. Berbeda dengan Grab yang menyamakan identitas bisnisnya di semua negara, Go-Jek mencoba melokalkan nama dan warna yang menjadi representasi bisnisnya. Di Vietnam Go-Viet berwarna merah, sementara GET dikabarkan bakal berwarna kuning.

Tidak cuma layanan transportasi, di negara tetangga Go-Jek juga mengusung layanan pembayaran dan layanan pengiriman barang.

Application Information Will Show Up Here

 

Monk’s Hill: Sektor Logistik dan E-commerce Mendominasi Investasi Startup Asia Tenggara

Bisnis e-commerce dan logistik dapat dikatakan tumbuh subur di Asia Tenggara. Dalam survei terbaru The State of Southeast Asia Tech Report 2018 yang dirilis Monk’s Hill Ventures, e-commerce dan logistik menjadi dua sektor emas yang menopang ekonomi digital di Asia Tenggara.

Bukti bahwa bisnis e-commerce dan logistik merajai industri startup di kawasan ini terlihat dari kencangnya kucuran pendanaan dari pemodal ventura (VC). Laporan mengungkap pendanaan selama tiga kuartal di sepanjang 2017 mengalir ke startup eCommerce dan logistik.

Menariknya, dominasi pendanaan  disumbang mega investasi yang diterima layanan Grab dan Tokopedia. Kedua startup asal Singapura dan Indonesia ini memecahkan rekor peraihan dana terbesar dari VC yang pernah ada di sektor logistik dan e-commerce.

“Secara kolektif, Grab dan Tokopedia mengantongi $3,1 miliar atau dua pertiga dari total pendanaan dalam dolar AS yang pernah disuntik ke sejumlah startup e-commerce dan logistik di Asia Tenggara,” demikian menurut laporan ini.

Di sepanjang 2017, logistik (dan transportasi) menjadi sektor yang meraih pendanaan tertinggi di Asia Tenggara dengan mengantongi sebesar $2,7 miliar, sedangkan e-commerce sebesar $2,1 miliar.

Pendanaan lainnya diperoleh dari sektor gaming ($557 juta), business and industry ($340 juta), recreation ($233 juta), information and technology/IT ($188 juta), tours ($153 juta), shopping ($122), financial services ($107 juta), dan mobile platform ($105 juta).

Namun bagi VC, cryptocurrency atau mata uang virtual paling menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Popularitas produk blockchain ini belakangan tampaknya cukup menghipnotis banyak VC untuk mendanai Initial Coin Offerings (ICO).

“Yang menjadi primadona di kalangan VC belakangan ini justru cryptocurrency sehingga memicu banyaknya aksi ICO di Asia Tenggara,” ungkap survei ini.

Investasi ICO di 2017 didominasi Singapura oleh Quoine, TenX, dan Kyber Network dengan pendanaan masing-masing sebesar $105 juta, $80 juta, dan $60 juta. Banyaknya ICO di Singapura juga turut dipicu oleh pelaku ICO lain yang tak bisa melakukannya di Tiongkok dan Korea Selatan karena kebijakan ketat.

Secara keseluruhan, pendanaan startup di Asia Tenggara sepanjang 2017 telah mencapai $415,2 miliar (sekitar Rp 6,1 triliun). Sementara pendanaan yang mengalir di 2018 (per Juni) baru mencapai $53,8 juta (Rp 797,1 miliar).

The State of Southeast Asia Tech Report 2018 mengulas tentang overview ekosistem teknologi enam negara di Asia Tenggara, antara lain Singapura, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Sebanyak 100 koresponden berpartisipasi dalam survei ini, mulai dari pelaku startup, investor, VC, hingga enterpreneur.

Sorotan utama industri startup Asia Tenggara

Laporan ini juga merangkum sejumlah kesepakatan strategis yang mendorong pertumbuhan luar biasa industri startup di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang 2017 menyoroti sejumlah aktivitas strategis dari para investor, VC, dan pelaku startup, baik dari sisi pendanaan, ekspansi, maupun akuisisi.

Misalnya, Tokopedia meraup pendanaan sebesar $1,1 miliar di 2017. Kemudian Bukalapak menjadi unicorn ketujuh di Asia Tenggara dengan valuasi $1 miliar menyusul rekanan startup Indonesia yang sudah lebih dulu, yakni Go-Jek ($5 miliar), Tokopedia (undisclosed, pendanaan $1,3 miliar di Agustus 2018 melampaui valuasi sebelumnya $1 miliar), dan Traveloka ($2 miliar).

Sorotan lainnya adalah investasi $1,5 miliar yang diterima Go-Jek untuk mendanai ekspansinya ke Vietnam, Thailand, Singapura, dan Filipina. Di luar Indonesia, Uber angkat kaki dari Asia dan diakuisisi oleh Grab, dan investasi terbesar sepanjang sejarah pendanaan di Asia Tenggara, yakni $2 miliar dari Didi Chuxing dan Softbank kepada Grab.

Mengacu pada pertumbuhannya, para koresponden mengaku optimistis dengan pertumbuhan ekosistem startup di Asia Tenggara dalam 1-2 tahun terakhir meskipun ada perbedaan persepektif terhadap tren pertumbuhan industri startup di keenam negara tersebut.

“Indonesia, Vietnam, Singapura, dan Malaysia adalah negara di kawasan Asia Tenggara di mana pertumbuhan di industri teknologi terjadi. Sementara sektor yang berpotensi tumbuh itu perbankan, finance services, fintech, eCommerce, dan IoT,” ungkap Head of Funding Ecosystem MDEC Balasubramaniam dalam laporannya.

Bagi VC dan investor, mereka meyakini akan ada peluang pertumbuhan signifikan di Indonesia, sedangkan para founder startup optimistis dengan pasar Vietnam. Demikian juga di negara lainnya, termasuk Thailand, yang dinilai punya peluang besar bagi community builder.