KoinWorks Pertajam Kehadiran sebagai Neobank untuk Garap Segmen UMKM

Neobank menjadi senjata baru KoinWorks di luar bisnis lending, untuk menjangkau lebih banyak target pengguna dari segmen UMKM yang memiliki keterbatasan terhadap akses layanan keuangan. Saat ini produk tersebut masih dalam tahap beta fase ketiga, rencananya akan dirilis secara resmi pada April 2022 mendatang dengan mengumumkan solusi baru yang diklaim pertama hadir di Indonesia.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menjelaskan untuk saat ini neobank menjadi prioritas baru perusahaan, banyak sumber daya yang diarahkan untuk memperbesar kapasitas, termasuk lewat pemanfaatan dana segar seri C yang baru diumumkan perusahaan sebesar $108 juta yang bakal diarahkan untuk pengembangan produk teranyar tersebut.

Sebagai catatan, pendanaan seri C ini dipimpin oleh MDI Ventures, dengan partisipasi dari investor sebelumnya, seperti Quona Capital, Triodos Investment Management, Saison Capital, ACV, dan East Ventures. Pendanaan ini terbagi menjadi dua, dalam bentuk ekuitas senilai $43 juta dan debt senilai $65 juta.

Menurut data yang kami dapat, dari pendanaan ekuitas yang ada KoinWorks, kini valuasi perusahaan sudah mencapai sekitar $250 juta dengan MDI sebagai pemegang saham terbanyak.

“Kita coba masuk ke neobank karena masih banyak segmen yang belum kita sentuh sebagai perusahaan lending, mengingat mereka belum bisa generate enough data, belum terkualifikasi dengan akses kredit. Sementara misi kami adalah menjangkau bisnis sebanyak mungkin dari segala segmen,” terang dia.

Lebih lanjut, Benedicto mengatakan bahwa neobank nantinya akan menjadi gerbang awal untuk meningkatkan kapabilitas UMKM, yang masih underserved dan underbanked, sebelum naik tingkat dan layak mendapat akses kredit dari lending yang disediakan KoinWorks.

Dalam rangkaian produk finansial yang ada di neobank, perusahaan menawarkan berbagai produk yang tergabung dari sebuah Neobank untuk UKM, seperti NEO Account dan NEO Card, hingga akses untuk melakukan pinjaman dan meningkatkan produktivitas dalam berbisnis.

Di platform KoinWorks, pengguna akan menemukan marketplace aplikasi terintegrasi seperti perangkat lunak akuntansi, POS, e-commerce, HRMS untuk UKM, aplikasi budgeting bersama produk-produk utama KoinWorks, seperti penyediaan modal kerja, anjak piutang, EWA (Early Wage Access), dan pengelolaan dana – yang dirancang untuk membantu pemilik bisnis agar mampu berdiri sendiri dan membuat layanan keuangan dapat diakses serta terjangkau bagi siapa saja.

Solusi-solusi di atas dihadirkan bersama para mitra, salah satu yang sudah diumumkan perusahaan sebelumnya adalah Bank Sampoerna. Kedua belah pihak memanfaatkan keunggulan kompetensi satu sama lain di bidangnya, terutama teknologi dalam melaksanakan kerja sama tersebut.

“Kami jadi wadahnya, mengawinkan solusi-solusi finansial untuk UMKM jadi lebih terpersonalisasi dan tailored agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Sehingga mereka punya akses keuangan yang lebih terintegrasi baik itu dari segi invoicing dan sebagainya.”

Solusi NEO ini nantinya dapat diakses melalui aplikasi utama KoinWorks, namun hanya diperuntukkan buat akun bisnis, bukan akun personal. Sejak diinisiasi ini dimulai pada April 2021, hingga kini telah mendatangkan lebih dari 100 ribu UKM dalam daftar tunggu dan mereka mulai bisa menikmati produk tersebut secara bertahap.

Rekrut talenta engineer berlipat ganda

Dengan teknologi sebagai backbone dari sebuah startup digital, KoinWorks juga akan mengalokasikan sebagian besar dana segarnya untuk merekrut tim engineer berkapabilitas terbaik untuk menyokong pengembangan produk dan teknologi. Saat ini tim engineer di perusahaan ada 70 orang dan rencananya akan ditambah menjadi 300 orang dalam tahun ini.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Benedicto mengatakan tidak menutup kemungkinan bagi perusahaan untuk mengakuisisi perusahaan, seperti yang sebelumnya dilakukan pada 2019. Pada saat itu, perusahaan melakukan acquihire perusahaan pengembang piranti lunak di Yogyakarta. Seluruh talenta di perusahaan tersebut sepenuhnya dilebur menjadi tim engineer. Tak hanya di Yogyakarta, perusahaan juga punya tim engineer yang tersebar di India dan Vietnam.

Dalam menyeriusi tim engineer, termasuk menangani sisi teknologi, data, dan keamanan, pada Juli 2021, perusahaan merekrut Jim Geovedi sebagai CTO. Jim memiliki pengalaman yang kuat sebagai konsultan keamanan, penasihat teknologi, dan pemimpin inovasi digital untuk beberapa perusahaan teknologi di Tanah Air.

Mengenai kinerja KoinWorks, realisasi penyaluran pinjaman sepanjang tahun lalu tercatat lebih dari Rp5 triliun, meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp2,5 triliun. Sementara total penggunanya mencapai lebih dari 1,5 juta orang, dengan komposisi lenders sebanyak 900 ribu dan borrowers sebanyak 600 ribu.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures and EMTEK Invest to the Real Estate Project NFT Developer

Fraction, a Hong Kong and Bangkok-based fintech startup, announced $3 million (nearly 43 billion Rupiah) pre-series A round led by East Ventures. Also participated in this round  EMTEK Group, Thakral Limited, V Ventures, and other regional investors.

This fundraising is in line with the Thailand’s ICO Portal License (subject to activation approval) from the Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC). In addition, the previous plans to offer partial ownership (fractional ownership) of some of Thailand’s iconic real estate assets in the first quarter of 2022 through an end-to-end fractional ownership platform powered by NFT and blockchain.

In the earlier seed round, Fraction was backed by several well-known ventures, both from the technology and conventional finance industries, including SINGHA Ventures, John Wylie’s Tanarra Capital, and Skystar Capital Indonesia.

Fraction was founded by Eka Nirapathpongporn, an ex-Director and Partner in  Lazard, a New York-based global financial advisory and asset management firm. And Shaun Sales, a seasoned tech entrepreneur. Fraction creates access to wealth creation by enabling partial and digital asset transactions for people to own or trade, starting with world-famous iconic real estate projects.

With Fraction’s plug-and-play platform, individuals and companies can invest, sell, and partially manage ownership from small stakes in city condominiums, beachfront inns, or artworks, also to manage personal funds, assets and investors.

“Removing barriers and providing equal access to opportunities to achieve wealth for all has become an urgent global issue. We are pleased to be a pioneer in implementing NFT and a decentralized Ethereum digital solution to partially manage ownership of multiple assets,” Nirapathpongporn said in an official statement, Monday (17/1).

He continued, “From now on, we can enable financial inclusion that allows small investors to participate in attractive  asset classes that weren’t accessible before. Fraction has great opportunities where the real estate token market estimated to be worth US$80 trillion and we are delighted to be at the forefront of this new wave of finance and blockchain technology convergence.”

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca showed his gratitude to be part of Fraction’s vision to create access to investment capital currently reserved for limited community.

“However, we are getting excited about the huge growth of this platform; making digitization and partial ownership of real-world assets an easy day-to-day activity. Real estate is the first asset class and we look forward to supporting Fraction as it evolves into multiple asset classes and jurisdictions,” said Willson.

The products

With the ICO license obtained from Thai’s authorities, companies can link offline assets such as real estate to non-fungible tokens (NFT), digitize them, and offer a small portion to interested communities. “We share ownership of this NFT, and this ownership token is offered to investors. Therefore, it is an asset-backed proprietary token,” the Co-founder and CEO, Eka Nirapathpongporn was quoted by Tech in Asia.

Fraction prints an NFT with a “real world legal link” to a property. These tokens will consist of different exchangeable tokens, or fractions, with each representing a portion of the property. Furthermore, the token will be listed through IFO with a fractional ownership equivalent to a partial ownership of the actual real estate asset. Fraction can be traded between investors.

“Now you can […] legally own part of this villa – maybe 1% of it – instead of having to pay $5 million to buy the whole thing,” he added.

In its journey, Fraction has developed an integrated platform that includes, i) Digitalization and integrated fractional asset ownership, ii) Initial Fraction offering to investors (IFO). Also, iii) Fraction token trading platform on secondary market among investors, iv) All services to accommodate end-to-end experience.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Azure Ventures Suntik Startup D2C Fine Counsel, Perkuat Teknologi dan Analitik

Startup fesyen D2C Fine Counsel mengumumkan pendanaan segar yang dipimpin oleh Azure Ventures dengan nominal dirahasiakan. Perusahaan akan menggunakan dana segar tersebut untuk berinvestasi dalam pengembangan brand, inovasi produk, perluasan distribusi omni-channel, serta mengembangkan teknologi dan analitik untuk memberikan pengalaman pelanggan yang lebih seamless.

Fine Counsel didirikan pada 2018 oleh Kaleb Lucman dengan visi menciptakan produk gaya hidup kelas premium yang setara dengan kualitas internasional. Variasi produk-produk sepatunya menyeimbangkan penampilan classy dengan casual, juga mengedepankan kenyamanan dan fungsi utama dari produknya. Sejak diluncurkan, perusahaan telah berkolaborasi dengan banyak mitra, seperti Mini Cooper, Big Bear and Bird, dan atlet bulu tangkis Greysia Polii. Dengan kemitraan tersebut, mampu mendongkrak pendapatan hingga sepuluh kali lipat.

Kaleb mengungkapkan adanya kemungkinan untuk mengakuisisi brand yang memiliki kesamaan visi dan nilai untuk melengkapi ekosistem Fine Counsel. “Kami selalu ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi hasil karya yang berkualitas tinggi dan desain yang berkelas,” ucap Kaleb dalam keterangan resmi.

Pemegang saham dan brand ambassador Fine Counsel Greysia Polii menambahkan, “Kami berusaha untuk menjadikan Fine Counsel sebagai brand lifestyle terkemuka di Indonesia yang identik dengan desain dan kualitas yang baik. Perusahaan ini memiliki fundamental yang dapat merebut hati para penggemar fashion di Indonesia dan seterusnya.”

Mengomentari terkait investasi yang dikucurkan, Managing Partner Azure Ventures Felix Setyomulyono mengatakan, Fine Counsel adalah salah satu merek D2C dengan rekam jejak inovasi produk yang kuat dan memiliki hubungan yang erat dengan pelanggannya. “Kami bangga dan bersemangat untuk bermitra dengan tim Fine Counsel dalam fase pertumbuhan berikutnya dalam mengintegrasikan teknologi ke pasar, mengembangkan merek mereka lebih cepat dan mencapai pertumbuhan yang stabil,” tutur dia.

Tren D2C

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Salah satu studi kasus yang banyak diceritakan adalah kesuksesan Perfect Diary, sebuah brand kosmetik asal Tiongkok. Didirikan sejak tahun 2016, startup tersebut mencapai pertumbuhan yang mengesankan sepanjang 2 tahun bisnis berjalan. Bahkan di 2019, mereka menjadi salah satu dari tiga brand dengan penjualan terbanyak. Hingga akhirnya pada tahun 2020 memutuskan IPO dengan valuasi $7 miliar. Strategi utama mereka tidak lain dengan D2C.

Ada tiga pilar utama yang idealnya didapat pemilik brand dalam strategi D2C mereka. Pertama, memungkinkan mereka menemukan diferensiasi produk, nilai unik tersebut dinilai akan mengundang lebih banyak pelanggan. Kedua, kemampuan memberdayakan data pelanggan untuk lebih memahami kebutuhan dan karakteristiknya. Dan ketiga, mendorong kepemimpinan brand dengan tingkat ketangkasan lebih secara menyeluruh, termasuk di sisi operasional.

Melihat peluang yang sama, beberapa pemain lokal mencoba keberuntungan di sektor tersebut. East Ventures sendiri turut berinvestasi ke startup D2C lainnya di bidang perawatan kulit bernama Base dan minuman nabati bernama Mohjo. Ada juga Hypefast yang hadir membantu pemilik brand untuk menajamkan strategi D2C mereka — termasuk dengan memberikan dukungan permodalan, jaringan, akses, dan operasional.

Di sisi investor, selain East Ventures beberapa pemodal ventura lokal lainnya juga mulai masuk ke sana. Mulai Alpha JWC Ventures, AC Ventures, hingga BRI Ventures melalui Sembrani. Terbaru ada Kinesys yang menjalin kerja sama dengan The-Wolfpack khusus untuk memperkuat ekosistem D2C di portofolionya.

Untuk bisnis fesyen sendiri, hingga saat ini masih mendominasi penjualan di online shopping secara global. Inovasi diperlukan untuk menjaga pertumbuhan tersebut, seiring dengan perubahan tren yang terjadi di kalangan konsumen.

Kategori produk paling populer di online shopping global sepanjang 2021 / Statista

Dikabarkan Dapat Pendanaan Seri A, Moladin Capai Tonggak “Centaur” dengan Valuasi 3,3 Triliun Rupiah

Moladin dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $42 juta atau setara 601,5 miliar Rupiah. Menurut data yang diinputkan ke regulator, Sequoia Capital India dan Northstar Group terlibat memimpin pendanaan ini. Diikuti sejumlah investor sebelumnya termasuk East Ventures dan Global Founder Capital. Dengan dana segar yang didapat, diklaim valuasi perusahaan telah mencapai $231 juta atau setara 3,3 triliun Rupiah.

Kabar soal penggalangan dana ini sebenarnya sudah terendus sejak pertengahan tahun 2021 lalu. Adapun putaran terakhir secara resmi diumumkan Moladin pada Januari 2020 dalam pra-seri A.

Didirikan sejak 2017, Molaldin dinakhodai oleh Jovin Hoon dan Mario Tanamas. Awalnya platform tersebut didirikan untuk menjembatani kebutuhan pembelian motor baru da bekas. Hanya saja kini mereka sudah mengalihkan fokus ke jual-beli mobil bekas. Bahkan sudah tidak ada menu “Motor” lagi di situs mereka.

Masuknya Moladin ke bisnis ini semakin menambah peta persaingan car marketplace yang beberapa waktu terakhir menyita perhatian publik. Diketahui sebelumnya dua platform dari negeri tetangga Carro dan Carsome telah mencapai tonggak unicorn – keduanya juga memiliki basis bisnis yang cukup kuat di Indonesia. Sebelumnya juga ada BeliMobilGue yang kini menjadi OLX Autos.

Pasar yang besar

Pada paruh pertama 2021, OLX Autos menyampaikan capaian transaksi mobil bekas di platformnya telah melampaui $1 miliar secara global. OLX Autos sendiri mulai beroperasi sejak Januari 2020. Menurut riset yang dilakukan perusahaan, dampak Covid-19 juga masih memberikan tren positif pada industri jual-beli mobil bekas di Indonesia. Bahkan selama pandemi, permintaan secara umum untuk produk mobil bekas masih bisa naik 15-20%.

Pun demikian data yang disampaikan Carro. Sampai Q3 2021, mereka mendapati peningkatan transaksi 11x lipat. Untuk unit bisnisnya di Indonesia, 45,87% transaksi dilakukan secara online dengan pengguna dari Jabodetabek menjadi penyumbang utama penjualan.

Selama ini layanan penjualan mobil bekas memang masih tersentralisasi pada bisnis offline. Layanan Moladin, Carro, dan lainnya mencoba mendemokratisasi proses tersebut. Tidak hanya menyediakan layanan listing, infrastruktur mereka juga meliputi pembiayaan. Model bisnis yang diterapkan juga menyeluruh melalui C2B2C – membeli mobil dari pengguna, lalu menjualnya baik ke diler dengan sistem lelang maupun secara langsung ke konsumen melalui situs.

Perjalanan Moladin

Sejak meluncur, Moladin mendapatkan dukungan pendanaan awal dari East Ventures dan sejumlah investor lainnya. Layanan awal mereka pembelian motor untuk pengguna yang tinggal di area Jabodetabek, Banten, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Pendanaan $1,2 yang kala itu didapat juga difokuskan untuk perluasan wilayah dan memperkuat aspek kemitraan bisnis dengan diler dan perusahaan leasing di berbagai daerah.

Kala itu, sampai pertengahan 2018, bisnis penjualan motor masih mendapati traksi yang sangat menarik. Moladin mengklaim mengalami pertumbuhan penjualan 20-30% per bulannya dengan total nilai transaksi lebih dari $1 juta.

Di tahun 2019, Moladin juga menyampaikan berhasil menggandakan GMV dari tahun sebelumnya. Mereka berhasil menambahkan 8000 listing sepeda motor bekas di sistem mereka, termasuk 8 kali lipat pertumbuhan penggunaan aplikasi. Moladin juga memperkenalkan produk baru seperti auto mortgage loan untuk memudahkan pengguna yang membutuhkan pilihan dalam mendapatkan sepeda motor mereka.

Lalu pada awal Januari 2020 East Ventures kembali memimpin pendanaan untuk Moladin di putaran pra-seri A. Pendanaan masih difokuskan untuk memperkuat posisinya di industri dengan penguatan bisnis dan ekspansi.

Sampai pada akhirnya di tahun 20121, Moladin mulai beralih dari produk motor ke mobil bekas. Kami sempat mengirimkan inquiry untuk menanyakan soal perkembangan bisnis dan konfirmasi pendanaan, namun demikian pihak Moladin untuk waktu dekat ini masih belum bersedia menerima wawancara dari media.

Menjadi menarik untuk ditunggu rancangan strategi berikutnya Moladin dengan model bisnis baru yang ditekuni. Terlebih ia langsung akan berhadapan dengan pemain-pemain yang notabenenya sudah memiliki power yang besar.

Application Information Will Show Up Here

Tren Pendanaan Startup Indonesia Sepanjang 2021

Di tahun 2021, Indonesia telah memiliki 12 unicorn dan lebih dari 50 centaur.

Banyak aspek yang dapat dijadikan variabel pengukuran untuk melihat kematangan ekosistem startup di sebuah negara. Adapun pendanaan atau investasi menjadi salah satu yang terpenting, karena di dalam sebuah proses pendanaan terdapat serangkaian tahapan validasi untuk menilai kualitas bisnis, pasar, teknologi, hingga founder. Bergulirnya sebuah pendanaan berarti ada sebuah startup yang berhasil tervalidasi melalui hipotesis-hipotesis yang dimiliki oleh pemodal.

Sepanjang tahun 2021, ada 213 putaran pendanaan startup yang diumumkan dan membukukan total nilai lebih dari $4,3 miliar dari 126 transaksi yang disebutkan perolehannya. Capaian ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2020, yakni 113 transaksi dengan nominal $3,3 miliar dari 50 transaksi yang diumumkan nilainya.

Berikut ini ulasan mengenai data pendanaan startup pendanaan startup Indonesia yang berhasil dikumpulkan oleh tim DailySocial.id.

Pendanaan tahap lanjut meningkat

Pendanaan tahap lanjut mendefinisikan putaran yang terjadi setelah tahap awal. Di tahun 2021, ada 45 startup yang membukukan pendanaan seri A, 33 seri B, 10 seri C, 2 seri D, dan 1 seri F. Jika digabungkan, angka ini melebihi perolehan pendanaan tahap awal yang jumlahnya mencapai 81 transaksi.

Tingginya angka pendanaan awal menyiratkan masih terbukanya kesempatan bagi generasi baru founder untuk melahirkan inovasi baru untuk mendemokratisasi aspek bisnis tertentu. Sementara pendanaan lanjutan menyiratkan sebuah model bisnis yang tervalidasi pasar – melahirkan kepercayaan lebih terhadap investor untuk meletakkan lebih banyak dana ke startup terkait.

Dalam sejumlah wawancara dengan pemodal ventura di Indonesia, para partner memang mengatakan bahwa di masa pandemi ini mereka akan memberikan porsi lebih untuk memberikan dukungan kepada portofolio yang sudah ada.

General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan, dengan dana kelolaan baru yang berhasil didapat tahun 2021 lalu, menyebut pihaknya meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

Pendanaan lanjutan ini juga berhasil membawa puluhan startup masuk ke jajaran centaur. Sebut saja Flip, Shipper, GudangAda, Lemonilo, hingga ALAMI. Bahkan melalui putaran pendanaan seri B, Ajaib berhasil mengokohkan diri dengan status unicorn; lalu Xendit dan Kopi Kenangan jadi unicorn setelah menutup seri C mereka.

Sektor bisnis terpopuler

Kendati fintech masih mendapatkan jumlah terbanyak dari sisi jumlah transaksi pendanaan –juga nominal pendanaan–namun mulai ada divergensi. SaaS (23), New Economy (21), dan Wealthtech (15) berhasil memikat perhatian investor.

SaaS dianggap masih memiliki potensi besar di tengah pertumbuhan bisnis UMKM di Indonesia. Berbagai solusi dikembangkan untuk mempermudah proses bisnis mereka, mulai dari layanan pencatatan, tata kelola operasional, manajemen sumber daya manusia, dan lainnya.

Sementara New Economy berhasil terangkat dengan adanya pemilik brand yang mulai melakukan transisi strategi ke arah digital – seperti merek fesyen yang fokus ke model direct to consumer untuk distribusi produknya. Diyakini bahwa cara ini akan memberikan value lebih terhadap bisnis yang dijalankan, karena adanya campur tangan teknologi dan data yang komprehensif didapatkan dari proses transaksi. Strategi ini juga memungkinkan pengembang merek untuk lebih fokus kepada inovasi produk – karena kanal penjualannya umumnya memanfaatkan layanan online yang sudah ada seperti online marketplace.

Wealthtech bahkan sudah memiliki unicorn dengan torehan gemilang Ajaib. Mereka berada di tengah momentum pertumbuhan investor ritel. Menurut data BEI, per Oktober 2021 jumlah investor pasar modal mencapai 6,7 juta SID, tumbuh 7,5x lipat sejak 2016.

Pendanaan terbesar sepanjang tahun

Tidak hanya tren tahun ke tahun, sepanjang 2021 nominal pendanaan yang berhasil dibukukan oleh ekosistem startup Indonesia juga meningkat dari kuartal ke kuartal. Mengindikasikan investor kembali membuka diri untuk kembali menyalurkan dana kelolaannya, setelah sebelumnya banyak memilik “wait and see” melihat keadaan yang belum kondusif akibat Covid-19.

Terdapat 22 transaksi pendanaan yang nilainya sama dengan atau lebih dari $50 juta. Sementara puluhan lainnya mendapatkan 8 digit dolar dalam pendanaannya. Di sisi nominal, GoTo, SiCepat, Ajaib, Xendit, hingga Halodoc mendapati perolehan tertinggi dalam putaran pendanaan lanjutannya. Adapun investasi yang didapatkan GoTo dan Kredivo berkaitan dengan rencananya melantai di bursa saham.

Jika membaca Startup Report di tahun-tahun sebelumnya, nominal pendanaan besar (puluhan juta dolar) selalu datang pada putaran lanjutan startup unicorn. Namun tren yang ada saat ini, tidak sedikit stratup yang masih berumur pendek mendapatkan dukungan fantastis dari investor.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, generasi founder baru yang lahir dari ekosistem. Tak jarang kita menemui startup baru yang didirikan oleh ex-pegawai unicorn atau ex-pegawai di modal ventura. Mereka adalah orang-orang yang sudah mempelajari bagaimana bisnis digital bermanuver. Pengalamannya membesarkan perusahaan sebelumnya, menjadikan pemodal memberikan nilai lebih terhadap inovasi yang coba diusungnya.

Kedua, pasar digital yang cenderung lebih terdidik. Jika setengah dekade lalu, para pengembang platform digital masih menjumpai tantangan melakukan edukasi pasar secara mendasar, berbeda kondisinya dengan saat ini. Effort untuk melakukan sosialisasi bisa dirasa lebih mudah, menjadikan proses scale-up atau growth menjadi lebih singkat. Dukungan modal besar dibutuhkan untuk memastikan startup terkait mendapati momentum pertumbuhan tersebut.

Angel Investor terus bergerak agresif

Dari total transaksi yang ada, sekurangnya terdapat 341 institusi yang terlibat dalam pendanaan startup Indonesia, baik datang dari venture capital, CVC, hingga korporasi. Yang menarik, ada keterlibatan angel investor di 51 transaksi pendanaan.

Adapun jajaran investor yang paling aktif mendanai [secara kuantitas transaksi] susunannya masih tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Para pemodal tersebut sebagian besar bermain di semua tahapan pendanaan, dari seed sampai dengan growth stage. MDI Ventures, sebagai contoh, juga mengoperasikan Arise Fund bersama Finch Capital untuk membantu startup-startup tahap awal yang bergerak di sektor riil, seperti pertanian dan peternakan.

East Ventures dan EMTEK Suntik Pendanaan Startup Pengembang NFT Proyek Real Estat

Fraction, startup fintech berbasis di Hong Kong dan Bangkok, mengumumkan perolehan dana sebesar $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah) dalam putaran pra-seri A yang dipimpin oleh East Ventures. Turut diikuti oleh EMTEK Group, Thakral Limited, V Ventures, dan jajaran investor regional lainnya.

Pengumpulan dana ini sejalan dengan penerimaan ICO Portal License Thailand (bergantung atas persetujuan aktivasi) dari Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC). Juga rencana yang telah diumumkan sebelumnya untuk menawarkan kepemilikan secara parsial (fractional ownership) dari beberapa aset real estat ikonik di Thailand pada kuartal I 2022 melalui platform fractional ownership end-to-end yang didukung oleh NFT dan blockchain.

Dalam putaran tahap awal yang digelar sebelumnya, Fraction telah didukung oleh beberapa nama terkenal, baik dari industri teknologi maupun keuangan tradisional, termasuk SINGHA Ventures, Tanarra Capital milik John Wylie, dan Skystar Capital Indonesia.

Fraction didirikan oleh Eka Nirapathpongporn eks-Direktor and Partner Lazard, firma penasihat keuangan dan manajemen aset global berbasis di New York. Dan Shaun Sales, seorang pengusaha berpengalaman di bidang teknologi. Fraction membuka akses ke penciptaan kekayaan untuk semua orang dengan memungkinkan transaksi aset secara parsial dan digital untuk dimiliki maupun diperdagangkan, dimulai dengan proyek real estat ikonik yang terkenal di dunia.

Dengan platform plug-and-play milik Fraction, setiap orang dan perusahaan kini dapat melakukan investasi, menjual, dan mengelola kepemilikan secara parsial mulai dari saham kecil di kondominium kota, penginapan tepi pantai, atau karya seni hingga mengelola dana pribadi, aset, dan investor.

“Menghilangkan hambatan dan memberikan akses yang sama ke berbagai peluang untuk mencapai kekayaan bagi semua orang telah menjadi isu global yang mendesak. Kami senang menjadi pelopor dalam menerapkan NFT dan solusi digital Ethereum terdesentralisasi untuk mengelola kepemilikan atas banyak aset secara parsial,” ujar Nirapathpongporn dalam keterangan resmi, Senin (17/1).

Dia melanjutkan, “Mulai dari sekarang, kami dapat mengaktifkan inklusi keuangan yang memungkinkan para investor kecil untuk berpartisipasi dalam kelas-kelas aset menarik yang tidak dapat diakses sebelumnya. Peluang pertumbuhan untuk Fraction sangatlah besar, di mana pasar tokenisasi real estat diperkirakan akan bernilai US$ 80 triliun dan kami senang dapat berada pada garis terdepan gelombang baru konvergensi keuangan dan teknologi blockchain.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan kegembiraannya karena telah menjadi bagian dari visi Fraction untuk menciptakan akses ke investasi modal yang saat ini hanya diperuntukkan untuk segelintir orang saja.

“Namun kami semakin bersemangat akan peluang pertumbuhan yang besar dari platform ini; membuat digitalisasi dan kepemilikan rasa parsial akan aset dunia nyata menjadi aktivitas sehari-hari yang mudah. Real estat adalah kelas aset pertama dan kami berharap dapat mendukung Fraction seiring dengan perkembangannya menjadi beberapa kelas aset dan yurisdiksi,” kata Willson.

Produk Fraction

Dengan lisensi ICO yang diperoleh dari otoritas Thailand, perusahaan dapat menautkan aset offline seperti real estat ke non-fungible token (NFT), mendigitalkan mereka, dan menawarkan sebagian kecil dari mereka kepada pihak yang berkepentingan. “Kami membagi kepemilikan NFT ini, dan token kepemilikan ini ditawarkan kepada investor. Oleh karena itu, ini adalah token kepemilikan yang didukung aset, ” Co-founder dan CEO Eka Nirapathpongporn seperti dikutip dari Tech in Asia.

Fraction mencetak NFT yang memiliki “tautan hukum dunia nyata” ke sebuah properti. Token ini akan terdiri dari token yang dapat dipertukarkan yang berbeda, atau fraksi, dengan masing-masing mewakili sebagian dari properti. Kemudian, token tersebut didaftar melalui IFO dengan kepemilikan pecahan yang setara dengan kepemilikan sebagian dari aset real estat yang sebenarnya. Fraction dapat diperdagangkan di antara investor.

“Sekarang Anda dapat […] secara legal memiliki bagian dari vila ini – mungkin 1% darinya – daripada harus membayar US$5 juta untuk membeli semuanya,” tambah dia.

Dalam perjalanannya, Fraction telah mengembangkan platform terpadu di dunia yang meliputi, i) Digitalisasi dan kepemilikan aset secara fraksi yang terintegrasi, ii) Penawaran fraksi perdana kepada para investor (Initian Fraction Offering/IFO). Kemudian, iii) Platform perdagangan token fraksi pada pasar sekunder di antara para investor, iv) Seluruh layanan untuk mengakomodasi pengalaman end-to-end.

A Platform for Beauty Product Reseller Raena Is Said to Secure 140 Billion Rupiah Follow on Funding

After a $9 million (Rp126 billion) Series A funding in early last year, a platform for beauty product reseller, Raena, is reportedly securing follow on funding. Led by Alpha Wave Incubation and AC Ventures, the company is said to have received funding of $10 million (Rp140 billion).

It is said that there are other investors participated in the funding, including PT Sumber Alfaria Trijaya TBK (Alfamart) and Alto Partners. To date, Raena has secured a total $21 million (nearly 300 billion Rupiah) from investors.

The company is yet to release an official statement.

In a previous article, Raena’s Founder and CEO, Sreejita Deb revealed, in 2020, Raena’s new business experienced massive growth due to the increasing online transactions during the pandemic.

Raena offers a new concept as a social commerce, managing all the needs and processes that sellers usually do online. From stock management, suppliers, brand selection, and logistics. Those who want to join Raena and have interest to become sellers can focus more on gaining followers on social media, WhatsApp, marketplace channels such as Shopee, Lazada, Tokopedia and others.

“Previously, we  use one-to-one model which connects one supplier to one influencer. The concept has shifted to many-to-many model, which connects various brands and various suppliers to various influencers,” Sreejita said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Xurya Confirms the Series A Funding Worth of 308 Billion Rupiah Led by East Ventures and Saratoga

Xurya renewable energy startup announced a $21.5 million (approximately 308 billion Rupiah) series A funding round led by East Ventures (Growth Fund) and PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (Saratoga). The confirmed value was much bigger than what we’ve been informed in December 2021, at $14 million.

Schneider Electric and New Energy Nexus Indonesia, Xurya’s former investors, also participated in the round. Last year, New Energy Nexus Indonesia finalized its investment in five renewable energy companies. Meanwhile, Schneider Electric, through Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) made its investment debut to Indonesia’s renewable energy startup, Xurya.

Xurya will allocate the fresh funds to continue the construction of Rooftop Solar Panel which has tripled in the past year, technology development, and human resources, therefore, efforts to accelerate the clean energy transition can be immediately executed.

“We appreciate the support and trust given by investors, partners and customers to assist us in accelerating the transition to new renewable energy in Indonesia since Xurya was founded three years ago,” Xurya Daya Indonesia’s Managing Director, Eka Himawan said in an official statement, Wednesday (1/12).

East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said, “East Ventures believes in the essential of investing in the right companies, not only for profit, but also to provide social and environmental impact. As one of the pioneers of VC applying an ESG approach to investment, we are very pleased to be able to support the Xurya team from the very beginning of their journey to create a clean and sustainable energy revolution in Indonesia, and protect the earth.”

Saratoga’s President Director, Michael Soeryadjaya added, “This investment is a good opportunity for Saratoga to strengthen support in the New & Renewable Energy (EBT) technology sector, which is now one of the government’s priority.”

He said, Rooftop Solar Panel (PLTS) can provide a solution for the clean, environmentally friendly and sustainable energy in Indonesia. The growth of Rooftop PLTS capacity is rapidly significant in the last three years, it proves the NRE technologyis getting higher demand.

As one of the government-supported initiatives, Saratoga can help accelerate the government’s efforts to achieve the NRE mix target of up to 23% by 2025 and 31% by 2050.

Until the end of 2021, Xurya has operated 57 Rooftop Solar Panel and is currently building in 38 other locations from various industries and businesses, such as manufacturing companies (food and beverage, consumer goods, agriculture, automotive, steel, building materials, textiles, etc), cold storage, hotels, and shopping centers across Jakarta, Banten, West Java, East Java, Central Java, Lampung, South and North Sumatra, and South Sulawesi.

Xurya products

Xurya Daya Indonesia (Xurya) offers several products, including solar-based energy solutions, which applied to building roofs. Aside from installation and equipment, the company also develops an application to facillitate owners in managing energy easier.

In addition, Xurya also pioneered the no-investment method to switch to solar power with a monthly fee model. In its implementation, it is a one-stop solution, Xurya will help from the design process, equipment selection, licensing, construction to the selection of financing products for solar electricity customers.

Eka said in tan interview, “Amid the slowdown in PV mini-grid investment, we believe that commercial and industrial customers have become a bright spot for electricity investors in Indonesia, not only in terms of profit, but more importantly from a climate impact perspective.”

Eka admits that consumer education is one of the toughest challenges. Because there are many companies and individuals who do not understand solar panels and many have the wrong idea about the electrical stability of PLTS. “The main target this year is to expand its business throughout Indonesia to offer go green solutions to more companies.”

The opportunity for Rooftop PLTS development in Indonesia is very large, exceeding its potential capacity of 200 thousand megawatts. Currently, the cost of Rooftop PLTS components is lower than other renewable energies, but this market has not been fully utilized so that less than 150 megawatts have been installed throughout Indonesia.

Apart from Xurya, there are already several startups engaged in this segment. Some of those are Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, and Syailendra Power. Most work on the potential of solar power.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Cerita Delapan Tahun eFishery Pelopori Startup Akuakultur di Indonesia

Kepercayaan diri eFishery yang mampu menutup pendanaan Seri C menjadi kisah menarik karena diklaim sebagai pendanaan terbesar yang berhasil diperoleh oleh startup akuakultur di kancah dunia.

Ada tiga nama investor baru yang memimpin putaran tersebut, yakni Temasek, SoftBank, dan Sequoia Capital India. Masuknya investor global ini ke startup akuakultur merupakan hal baru, dari yang biasanya lebih dikenal berinvestasi ke bisnis yang berbasis consumer, mulai tertarik pada potensi bisnis yang diseriusi eFishery.

Perjalanan eFishery sendiri untuk mencapai titik sejauh ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dari sisi industri ini sendiri, tidak hanya di Indonesia, bahkan di skala global pun belum ada tolak ukur yang bisa dipakai eFishery untuk mencari model bisnisnya. Alhasil, dalam delapan tahun ini, perusahaan banyak melakukan trial and error untuk membuat playbook sendiri.

“Tapi karena saya dulu ikut budidaya lele, dari hasil ngobrol dengan para petani ikan, masalah utama dari budidaya ikan itu adalah pakannya yang makan biaya paling besar sampai 70% dari total biaya produksi,” ucap Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam media gathering.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Komisaris eFishery Aldi Haryopratomo dan Managing Director Northstar Group Sidharta Oetama.

Produk utama eFishery adalah eFishery Smart Autofeeder yang merupakan mesin pemberi pakan ikan otomatis cerdas yang diatur menggunakan smartphone. Alat ini memberi pakan secara otomatis, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet. Data-data tersebut dikumpulkan kemudian diutilisasi oleh perusahaan dalam menyediakan solusi berikutnya, yakni eFarm dan eFisheryKu.

eFarm merupakan platform yang menyediakan informasi lengkap dan mudah dipahami mengenai operasional tambah udang. Sementara, eFisheryKu adalah platform terintegrasi yang memungkinan pembudidaya ikan dapat membeli berbagai keperluan budidaya, seperti pakan ikan, dengan harga yang kompetitif.

Smart Autofeeder ini tersedia dalam bentuk berlangganan. Harganya dimulai dari Rp5 ribu per hari sampai Rp150 ribu satu bulan, sementara untuk budidaya ikan dipatok maksimal Rp350 ribu sebulan. “Ini semua sudah termasuk biaya jasa dan pemasangan, farmers bisa stop berlangganan kapan saja.”

Dari keseluruhan produk di atas, salah satu poin menarik yang ditekankan Aldi adalah mengenai mekanisasi. Mengubah cara kerja pembudidaya ikan dari yang awalnya serba manual menggunakan alat modern, untuk menciptakan efisiensi yang berdampak ke banyak hal.

“Dari mekanisasi ini banyak data yang dapat diutilisiasi dan menjadi fondasi untuk produk-produk berikutnya eFishery. Karena sebelumnya yang kasih makan ikan tidak ada ukuran, jadi ada standarnya,” kata Aldi.

Sidharta menambahkan, selain mekanisasi, dari sisi humanisme, mekanisasi ini memberikan rasa kebebasan kepada para pembudidaya ikan untuk melakukan hal lain di luar pekerjaan utamanya.

Pengalaman tersebut sebelumnya dihadirkan oleh pemain sharing economy, seperti Gojek yang memberi kebebasan kepada para mitranya untuk melakukan pekerjaan lainnya.

“Dengan mekanisasi, sekarang pembudidaya bisa mengukur produktivitasnya mereka sendiri dan fleksibel untuk melakukan hal lain. Dari yang saya lihat saat berkunjung ke salah satu lokasi mitra, mereka bergabung ke eFishery karena alasannya capek harus beri makan ikan setiap hari, pakai tangan, belum lagi kalau kolamnya lebih dari satu, kalau suruh orang lain belum tentu ikannya diberi makan. Tapi sekarang pakai aplikasi sangat mudah,” kata Sidharta.

Hanya saja, tantangannya untuk memperkenalkan solusi eFishery ke lebih banyak pembudidaya ikan dan udang itu begitu berat, terutama di tahap-tahap awal. “Namun the harder the challenge, the bigger the opportunity is,” sambungnya seraya menjelaskan mengapa Northstar tertarik berinvestasi di eFishery.

Masuk tahap inflection point

Gibran melanjutkan, produk Smart Autofeeder adalah entry point eFishery dalam menjangkau pembudidaya baru, sekaligus menjadi jembatan untuk memasukkan produk-produk eFishery lainnya. Untuk itu, semakin banyak pembudidaya yang memanfaatnya, makin besar dampak yang diciptakan, dari efisiensi produksi sampai harga jual ikan yang lebih terjangkau.

Agar mencapai target tersebut, eFishery berupaya untuk menambah talenta baru khususnya di bidang engineering sebagai backbone utama perusahaan. Proporsi talenta engineering di eFishery saat ini terbesar kedua setelah tim sales and expansion. Jumlah tim engineering akan dilipatgandakan, mengingat fokus perusahaan berikutnya adalah mempersiapkan para pembudidaya yang sudah tech savvy untuk menyelami lebih dalam produk digital.

Hal tersebut berkaitan dengan posisi perusahaan yang sudah mencapai inflection point. Menurut Gibran pada titik tersebut, perusahaan harus lebih sistematik dalam mengelola karyawannya dan konsumernya berbasis digital agar lebih efisien.

“Waktu memperkenalkan eFishery pertama kali, kami banyak rekrut tim lapangan karena perlu temu tatap muka. Kami ajari mereka kenal smartphone, pakai aplikasi sehari-hari hingga sampai akhirnya kami kenalkan aplikasi eFishery. Masuk ke inflection point, kami perlu lebih disiplin dan sistematik, makanya butuh banyak orang engineer.”

Disebutkan, saat ini eFishery, lewat teknologi di hilir eFeeder, mampu mempercepat siklus panen dan meningkatkan kapasitas produksi hingga 26%. Sementara lewat eFresh menurunkan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan pembudidaya hingga 45%. Harga pembelian pakan yang disediakan perusahaan juga diklaim lebih murah 3%-5% daripada beli di agen distributor.

Terhitung saat ini ribuan smart feeder taleh digunakan dan melayani lebih dari 30 ribu pembudidaya. Sekitar 40% dari pembudidaya ini tersebar di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera Selatan. Kondisi ini tercermin langsung mengingat 65% populasi pembudidaya ikan dan udang di Indonesia ada di lokasi tersebut.

“Kami berhasil membuktikan model bisnis yang berhasil ter-deliver dengan baik untuk para pembudidaya ikan dan udang. Apalagi dalam dua tahun terakhir makin kuat karena bangun value chain, sehingga value-nya bisa lebih intangible. Misalnya, petani dari awalnya punya satu kolam, jadi lebih dari satu, lalu ambisinya jauh lebih besar, misalnya ingin menyekolahkan anaknya ke bangku kuliah,” kata Gibran.

Segera hadir di Thailand

Dalam kesempatan tersebut juga membahas mengenai rencana perusahaan untuk ekspansi. Gibran menyebut akan segera hadir secara komersial di Thailand, setelah melakukan pilot pada beberapa waktu lalu bersama mitra lokal. Kemudian, menyasar India dan Tiongkok dalam lima tahun ke depan. “Tahun ini, kami eksplorasi terlebih dahulu pasar tersebut.”

Kedua negara tersebut memiliki potensi yang menjanjikan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Dari segi tantangannya, pola budidayanya pun sama seperti Indonesia, sehingga Gibran meyakini solusi eFishery dapat direplikasi di sana. Ditambah lagi, belum ada startup yang fokus di akuakultur seperti perusahaan di skala global.

“Di sana pun belum ada [pemain seperti kami]. Adapun potensi ikan dan udang terbesar di dunia itu top 10-nya ada di APAC, kecuali Norwegia. Kami adalah pionir di segmen ini dan optimis bisa menguasainya.”

Kendati berencana melakukan ekspansi regional, ia tetap menempatkan Indonesia sebagai fokus utama perusahaan. Pasalnya, potensi pembudidaya masih begitu besar yang belum tergarap. Disebutkan ada 3,5 juta pembudidaya ikan dan udang, perusahaan menargetkan dapat menggaet 1 juta pembudidaya dalam tiga sampai lima tahun mendatang. Adapun pada tahun ini ditargetkan dapat membidik 200 ribu pembudidaya atua meningkat hingga empat kali lipat.

Platform Reseller Produk Kecantikan Raena Dikabarkan Rampungkan Pendanaan Lanjutan 140 Miliar Rupiah

Merampungkan pendanaan Seri A senilai $9 juta (Rp126 miliar) di awal tahun lalu, platform reseller produk kecantikan Raena dikabarkan kembali mengantongi pendanaan lanjutan. Dipimpin Alpha Wave Incubation dan AC Ventures, perusahaan disebutkan mendapatkan pendanaan senilai $10 juta (Rp140 miliar).

Investor lain yang turut terlibat dalam pendanaan kali ini adalah PT Sumber Alfaria Trijaya TBK (Alfamart) dan Alto Partners. Secara total Raena telah memperoleh dana investor senilai $21 juta (hampir 300 miliar Rupiah).

Belum ada keterangan resmi yang kami peroleh dari perusahaan.

Di artikel terdahulu, Founder dan CEO Raena Sreejita Deb mengungkapkan, di tahun 2020, bisnis baru yang dikembangkan Raena mengalami pertumbuhan yang masif, karena makin besarnya masyarakat yang melakukan transaksi secara online selama pandemi.

Konsep baru yang ditawarkan Raena adalah social commerce, mengelola semua kebutuhan dan proses yang biasanya dilakukan penjual secara online. Mulai dari pengelolaan stok barang, supplier, pemilihan brand, hingga logistik. Mereka yang ingin bergabung dengan Raena dan ingin menjadi penjual bisa lebih fokus mengembangkan jumlah pengikut mereka di media sosial, WhatsApp, kanal marketplace seperti Shopee, Lazada, Tokopedia dan lainnya.

“Sebelumnya model kita adalah one-to-one yang menghubungkan satu supplier ke satu influencer saja. Sekarang konsep yang kita tawarkan adalah many-to-many model, yang menghubungkan berbagai brand dan berbagai supplier kepada berbagai influencer,” kata Sreejita.

Application Information Will Show Up Here