Gredu Announces 58 Billion Rupiah Series A Funding Led by Intudo Ventures

The SaaS platform developer for education, GREDU, announced a series A funding worth of $4 million or equivalent to IDR 58 billion. The round was led by Intudo Ventures with the participation of previous investor Vertex Ventures. Funds will be focused on market expansion, product development, and talent recruitment.

Based on the statistics, GREDU is currently partnering with 400 schools, providing around 400 thousand users. Previously, they focused more on the K-12 level (SD to SMA), however, with more mature products, GREDU also serves digitization at universities and pre-schools (PAUD, TK).

The fact is that new school digitization services are optimally utilized by schools in big cities. GREDU admits that its user base still centralized on the Greater Jakarta area. The expansion plan will be intensified, in order to acquire new users from schools in various cities in Indonesia.

“In these challenging times, digitization is required for schools across Indonesia. With this financing round, we plan to increase our product and reach, reduce friction and ease the digitization process […] We are confident in the market and growth digitalization in the education sector and want to expand the business nationally and regionally until next year,” GREDU’s Co-Founder & CEO, Rizky Anies said.

The GREDU application ecosystem consists of four main services, the School Management System for administrative officers; GREDU Teacher to accommodate teachers for teaching and learning administration activities; GREDU Parent to help parents see their child’s performance; and GREDU Student to make it easier for students to get access to learning channels and results.

“Working with the community and school administrators, GREDU provides innovative solutions specifically designed to improve the quality, transparency and effectiveness of Indonesia’s education system. We are proud to support GREDU at this critical time as they help more schools digitize their operations and create a positive impact for students throughout Indonesia,” Intudo Ventures’ Founding Partner, Patrick Yip said.

Meanwhile, Vertex Ventures’ Managing Partner, Joo Hock Chua said, “The pandemic has accelerated the need for digitalization and transformation in the education industry. We believe that GREDU, with its holistic approach to serving all stakeholders and the school value chain, is in a great position to capitalize on this change. This also helps improve the quality of education in Indonesia.”

SaaS services are indeed a variant of the educational technology ecosystem. In Indonesia, apart from GREDU, there are several other startups that also sell SaaS services for schools with its respective value propositions. These startups include AIMSIS, EdConnect, SmartSchool InfraDigital, Sikad, and Quintal.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GREDU Umumkan Pendanaan Seri A 58 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures

Pengembang platform SaaS untuk pendidikan GREDU mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $4 juta atau setara 58 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Intudo Ventures dengan partisipasi investor sebelumnya Vertex Ventures. Dana akan difokuskan untuk ekspansi pasar, pengembangan produk, dan perekrutan talenta.

Berdasarkan statistik yang disampaikan, GREDU saat ini sudah bermitra dengan 400 sekolah, merangkul sekitar 400 ribu pengguna. Sebelumnya mereka lebih banyak fokus untuk tingkat K-12 (SD s/d SMA), namun saat ini dengan produk yang makin matang GREDU juga melayani digitalisasi di universitas dan pre-school (PAUD, TK).

Tidak dimungkiri, bahwa layanan digitalisasi sekolah baru optimal dimanfaatkan oleh sekolah-sekolah di kota besar. GREDU pun mengakui bahwa basis penggunanya masih banyak terfokus di kawasan Jabodetabek. Rencana ekspansi akan digencarkan, demi mengakuisisi pengguna baru dari sekolah-sekolah di berbagai kota di Indonesia.

“Di masa yang penuh tantangan ini, digitalisasi sudah menjadi kebutuhan bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Dengan putaran pembiayaan ini, kami berencana untuk meningkatkan produk dan jangkauan, mengurangi friksi dan memudahkan proses digitalisasi […] Kami yakin dengan pasar dan pertumbuhan digitalisasi di sektor pendidikan dan ingin memperluas bisnis secara nasional dan regional hingga tahun depan,” ujar Co-Founder & CEO GREDU Rizky Anies.

Ekosistem aplikasi GREDU terdiri dari empat layanan utama, yakni School Management System untuk petugas administrasi; GREDU Teacher untuk memudahkan guru untuk melakukan aktivitas pengajaran dan administrasi pembelajaran; GREDU Parent untuk membantu orang tua melihat kinerja anaknya; dan GREDU Student untuk memudahkan siswa mendapatkan akses ke kanal pembelajaran dan hasil belajar.

“Bekerja dengan civitas dan administrator sekolah, GREDU memberikan solusi inovatif yang dirancang khusus untuk meningkatkan kualitas, transparansi, dan efektivitas sistem pendidikan Indonesia. Kami bangga mendukung GREDU di saat kritis ini karena mereka membantu lebih banyak sekolah mendigitalkan operasi mereka dan menciptakan dampak positif bagi siswa di seluruh Indonesia,” sambut Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip.

Sementara itu Joo Hock Chua selaku Managing Partner Vertex Ventures berujar, “Pandemi telah mempercepat kebutuhan digitalisasi dan transformasi di industri pendidikan. Kami percaya bahwa GREDU, dengan pendekatan holistiknya untuk melayani semua pemangku kepentingan dan rantai nilai sekolah, berada dalam posisi yang bagus untuk memanfaatkan perubahan ini serta membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.”

Layanan SaaS memang menjadi salah satu varian dari ekosistem teknologi edukasi. Di Indonesia, selain GREDU ada beberapa startup lain yang juga menjajakan layanan SaaS untuk sekolah, tentu dengan proposisi nilai masing-masing. Startup tersebut termasuk AIMSIS, EdConnect, InfraDigital SekolahPintar, Sikad, dan Quintal.

[Data Interaktif] Pendanaan Startup Indonesia Sepanjang Paruh Pertama 2021

Ada berbagai variabel yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan ekosistem startup di sebuah negara. Salah satunya terkait dengan putaran investasi yang terjadi di dalamnya. Tidak hanya semata-mata sebuah kegiatan transaksional, di balik pendanaan startup ada proses validasi yang sangat mendetail menilai kelayakan dan proyeksi pertumbuhan startup di masa mendatang.

Sepanjang kuartal kedua (Q2) tahun 2021, kami mencatat ada 49 transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik – baik secara langsung melalui rilis media maupun pencatatan regulator.

Dua di antaranya melibatkan unicorn, yakni tambahan putaran seri F Gojek dari Telkomsel senilai $300 juta dan pendanaan seri G Bukalapak yang nilainya ditaksirkan telah mencapai $400 juta.

Selama periode tersebut, 12 startup membukukan pendanaan di atas $20 juta. Tertinggi adalah perolehan debt funding Kredivo senilai $100 juta. Sebagai informasi, berbeda dengan pendanaan berbasis ekuitas, debt funding adalah mekanisme pendanaan utang kepada fintech untuk disalurkan kepada para nasabahnya. Pendanaan ini kebanyakan melibatkan institusi keuangan, termasuk perbankan, namun juga tidak menutup kemungkinan pemodal ventura untuk terlibat.

Sementara untuk pendanaan ekuitas, nilai tertinggi diraih oleh Halodoc dalam putaran seri C senilai $80 juta. Disusul Tanihub senilai $65,5 juta, Bibit $65 juta, dan Shipper $63 juta. Startup peraih investasi fantastis tersebut hadir dari berbagai vertikal bisnis, termasuk pertanian, finansial, pendidikan, hingga social commerce. Varian ini sekaligus menjadi sebuah tren menarik adanya potensi pertumbuhan di berbagai lini digital atau model bisnis.

Capaian di Q2 ini meningkatkan prestasi perolehan investasi startup sepanjang H1 2021. Jika digabungkan dengan kuartal sebelumnya [di luar unicorn], total ada 87 transaksi pendanaan. Dari 46 transaksi pendanaan yang nilainya diumumkan ke publik, total nilai yang berhasil dibukukan sekitar $1,3 miliar. Berikut daftar pendanaan selengkapnya:

Pertumbuhan dari tahun ke tahun

Jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, untuk periode yang sama, kuantitas dan nominal pendanaan startup di tahun 2021 meningkat cukup derastis. Sepanjang H1 2019 tercatat ada 50 transaksi pendanaan dengan total nilai yang disebutkan mencapai $241 juta; sementara tahun 2020 ada 52 transaksi dengan nilai $345 juta.

Tren menarik yang juga tercatat adalah pendanaan di tahap later stage [seri B ke atas] secara kuantitas meningkat sepanjang tahun 2021. Di periode tersebut, ada 13 pendanaan seri B dan 4 pendanaan seri C. Di periode yang sama tahun sebelumnya jumlahnya tidak pernah melebihi 3 transaksi.

Namun jika ditinjau dari segi cakupan vertikal bisnis, variannya masih relatif sama. fintech, SaaS, dan edtech menjadi kategori yang paling diminati oleh investor dalam tiga tahun terakhir. Sementara didasarkan pada pengumuman pendanaan yang menyebutkan nilainya, persentase terbesar tetap diraih fintech (33,5%), dilanjutkan logistic (18,15), new retail (8,2%), dan SaaS (8%).

Angel investor makin banyak terlibat

Temuan menarik lainnya, sepanjang Q2 2021, angel investor terlibat dalam 13 pendanaan startup – di beberapa startup jumlahnya lebih dari satu yang terlibat. Bahkan nama-nama tenar dari kalangan founder Indonesia mulai mencuat, sebut saja Aldi Haryopratomo yang terlibat dalam pendanaan seri A BukuWarung.

Jika sebelumnya angel investor lebih banyak terlibat ke pre-seed untuk startup tahap awal, kini cakupannya mulai meluas. Bagi ekosistem, tentu ini sebuah indikasi baik karena adanya fase transisi dari founder startup menjadi investor, untuk mendukung generasi founder berikutnya.

Kemudian untuk statistik investor terakhir, dari kalangan pemodal ventura, East Ventures masih kokoh di peringkat teratas dengan jumlah transaksi pendanaan terbanyak.

Merujuk pada Startup Report 2020, East Ventures selalu mendapati kuantitas investasi terbanyak selama beberapa tahun terakhir.

Investor Pendanaan
Angel Investor 13
East Ventures 8
MDI Ventures 6
AC Ventures 6
Telkomsel Mitra Inovasi 6
Y Combinator 4
Sequoia Capital India 3
Intudo Ventures 3

Dengan tren yang terjadi di tahun 2021, rasanya fakta ini menjadi sebuah titik balik setelah perekonomian nasional dihantam gejolak di awal pandemi. Ekosistem startup juga semakin solid, karena di luar kepercayaan investor yang semakin meningkat, beberapa aksi korporasi memukau juga tengah dipersiapkan oleh pesohor startup Indonesia, dalam kaitannya dengan konsolidasi dan rencana melantai di bursa.


Gambar Header: Depositphotos.com

Ramaikan Industri Cloud Kitchen, Foodstory Usung Konsep “Multi-Brand F&B”

Foodstory meramaikan industri cloud kitchen di Indonesia yang masih memiliki ruang tumbuh besar. Startup ini mulai beroperasi pada Januari 2021, didirikan oleh Dennish Tjandra, eks pendiri startup kecantikan HelloBeauty dan memiliki pengalaman di Rocket Internet; bersama Charles Kwok, seorang serial entrepreneur.

Foodstory mengusung konsep multi-brand F&B group yang membuat, membangun, dan mengoperasikan beberapa brand in-house dalam satu dapur. Ada tiga brand pada saat ini, yakni Chicken Pao, Bowlgogi, dan Lahab Kitchen. Outlet Foodstory melayani take-away, delivery, serta beberapa lokasi dine-in untuk meningkatkan engagement ke konsumen. Hangry menjadi startup terdekat yang memiliki konsep serupa dengan Foodstory.

Kepada DailySocial, Co-Founder Foodstory Dennish Tjandra menceritakan bahwa startup barunya didirikan karena dirinya dan Charles memiliki kesamaan hobi, yakni menyukai makanan. Mereka berdua sama-sama pernah menekuni usaha F&B sebelum akhirnya bertemu pada akhir kuartal tiga tahun lalu, untuk membicarakan kondisi masing-masing yang terdampak dari pandemi.

“Lalu kami sama-sama melihat adanya peluang di industri makanan mengingat perubahan perilaku konsumen terhadap pemesanan makanan online setelah adanya pandemi. Lalu tercetuslah ide mengenai Foodstory ini,” terangnya, Selasa (7/7).

Meski konsepnya bukan barang baru, sambungnya, namun Foodstory tidak memiliki food production house sendiri. Perusahaan bekerja sama dengan mitra yang bertugas untuk mengirimkan pre-cooked meals ke outlet Foodstory. Dengan cara ini, setiap outlet tidak perlu memiliki chef karena hanya perlu memasak untuk assembly dan finishing saja sesuai pesanan.

“Jadi seperti ‘doorship’ makanan, sehingga secara operasional dan biaya kami bisa lebih efektif dan efisien, serta yang paling penting, lebih konsisten.”

Sumber: Foodstory

Untuk pengembangan menu dan brand F&B lainnya, Foodstory bekerja sama dengan mitra food production house tersebut. Pemilik dari food production house ini termasuk salah satu pemegang saham di Foodstory. “Untuk brand dan menu-menunya kita combine antara makanan-makanan yang long last dengan tren. Contoh, fried chicken atau crispy chicken ‘kan dari zaman dulu sudah ada, cuma kita padukan dengan tren sekarang.”

Saat ini Foodstory sedang menuju delapan outlet yang tersebar di sekitar Jakarta dan Tangerang, di antaranya Sawah Besar, Pluit, Puri, Kramat Pulo, Cengkareng, Cipete, Gading Seerpong, dan Alam Sutera. Perusahaan menargetkan pada tahun ini dapat menambah kehadiran di 50 lokasi baru, mulai masuk ke Jabodetabek, Surabaya, Bandung, dan kota-kota potensial lainnya.

Perusahaan memanfaatkan kehadiran pemain online food delivery, seperti GoFood, GrabFood, Traveloka Eats, dan ShopeeFood untuk memasarkan produknya.

Sumber: Foodstory

Persiapan penggalangan dana tahap awal

Dennish menyebut pada Mei kemarin, perusahaan telah mengantongi pendanaan pre-Seed senilai $200 ribu (sekitar 2,8 miliar Rupiah) dari PT Gamma Persada Solusindo, perusahaan distribusi produk IT. Dana tersebut digunakan untuk membenahi fundamental operasional dan sistem, merekrut tim, membangun tiga brand, dan membuka cabang awal untuk menguji kesiapan sistem untuk scaling ke depannya.

Penggalangan ini membuka kesempatan perusahaan untuk masuk ke tahap lanjutan agar dapat tumbuh lebih ekspansif. Ia mengatakan saat ini Foodstory sedang proses penggalangan tahap awal, yang mana 90% dana tersebut akan digunakan untuk kegiatan marketing, branding, dan ekspansi ke 50 lokasi baru.

“Target jangka panjang kami tidak hanya ingin menjadi bagian dari cerita makanan Indonesia, namun kami juga punya target untuk bisa jadi bagian dari cerita makanan masyarakat global. Layaknya brand-brand F&B global yang kita kenal selama ini. Seperti nama grup kami, Foodstory ingin jadi bagian dari cerita makanan semua orang, dimulai dari perjalanan kecil saat ini,” tutupnya.

Warung Pintar Reportedly Secures 87 Billion Rupiah Series B Funding

Warung Pintar is reportedly to secure series B1 round. According to our sources, the value reached $6 million or equivalent to 87 billion Rupiah. The investor leading this round is East Ventures, supported by Vertex Ventures. Both are investors from the previous round.

We have contacted relevant representative, however, we have not received a reply until this news is published.

This new investment brings Warung Pintar’s valuation to [est] $169 million. This is following the company’s previous series A round in 2019.

Previously, aside from the two venture capitalists, Warung Pintar also supported by a number of investors including EV Growth, Agaeti Venture (now AC Ventures), LINE Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Triputra Group, Digital Garage, OVO Fund, and angel investors.

In an interview with DailySocial in late May 2021, Warung Pintar’s Co-Founder & CEO, Agung Bezharie said that the company’s mission is to present the most complete solution in the warung business ecosystem. This includes solutions for shop owners, wholesalers, small to large distributors, as well as brand owners.

“We are digitizing and integrating every stakeholder with our supply chain system to create better transparency and efficiency,” he said.

Earlier this year, Warung Pintar also announced its acquisition of Bizzy for $45 million. Although it remains a separate business entity, this acquisition allows Warung Pintar to gain access to new channels in the Bizzy network, including wholesalers, distributors, to brands/manufacturers.

Bizzy is known as a B2B e-commerce that provides complete technology-based procurement services.

This supply chain is also a new evolution of the Warung Pintar business model. Through the Grosir Pintar application, they provide inventory management and logistics services for wholesale owners; makes it easy to connect to the warung channels on the network.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Warung Pintar Dikabarkan Raih Pendanaan Seri B 87 Miliar Rupiah

Warung Pintar dikabarkan telah membukukan pendanaan baru dalam putaran seri B1. Menurut sumber informasi yang kami peroleh, nilainya mencapai $6 juta atau setara 87 miliar Rupiah. Adapun investor yang memimpin putaran ini adalah East Ventures, didukung Vertex Ventures. Keduanya juga merupakan investor lama Warung Pintar.

Kami telah menghubungi pihak terkait, namun sampai berita ini terbit belum mendapatkan balasan.

Investasi baru ini membawa valuasi Warung Pintar di angka [est]  $169 juta. Ini sekaligus melanjutkan perolehan perusahaan pada tahun 2019 lalu dalam putaran seri A.

Sebelumnya, selain dua pemodal ventura tersebut, Warung Pintar turut didukung sejumlah investor termasuk EV Growth, Agaeti Venture (sekarang AC Ventures), LINE Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Triputra Group, Digital Garage, OVO Fund, dan angel investor.

Dalam wawancara bersama DailySocial akhir Mei 2021 lalu, Co-Founder & CEO Warung Pintar Agung Bezharie mengatakan bahwa misi perusahaannya adalah menghadirkan solusi yang paling lengkap dalam ekosistem bisnis warung. Ini termasuk solusi untuk pemilik warung, pedagang grosir, distributor kecil hingga besar, dan juga para pemilik brand.

“Kami mendigitalkan dan mengintegrasikan setiap stakeholder dengan sistem supply chain kami sehingga menciptakan transparansi dan efisiensi yang lebih baik,” ujarnya.

Awal tahun ini Warung Pintar juga mengumumkan akuisisinya terhadap Bizzy senilai $45 juta. Kendati tetap menjadi entitas bisnis terpisah, akuisisi ini memungkinkan Warung Pintar mendapatkan akses ke kanal baru di jaringan Bizzy, termasuk pedagang grosir, distributor, hingga brand/manufacturer.

Diketahui sebelumnya Bizzy merupakan e-commerce B2B yang memberikan layanan procurement lengkap berbasis teknologi.

Supply chain ini juga menjadi evolusi baru dari model bisnis Warung Pintar. Lewat aplikasi Grosir Pintar, mereka menyediakan layanan manajemen inventaris dan logistik bagi pemilik grosir; memudahkan terhubung dengan kanal-kanal warung di jaringannya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Carsome Berinvestasi ke PT Universal Collection, Perdalam Strategi Omnichannel

Platform car marketplace Carsome hari ini (06/7) mengumumkan investasinya ke PT Universal Collection (PT UC). Tidak disebutkan besaran nilai yang diberikan. Diketahui PT UC merupakan perusahaan jasa lelang mobil dan motor offline berbasis di Jakarta yang telah memiliki cabang di berbagai wilayah, termasuk Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, hingga Sumatera.

Sebagai hasil kesepakatan ini, Delly Nugraha selaku Country Head Carsome Indonesia, ditunjuk sebagai Presiden Direktur PT Universal Collection.

Aksi korporasi ini memungkinkan Carsome untuk memperluas jangkauan jaringan, akses ke penyedia keuangan dan leasing, serta berpotensi memasuki pasar sepeda motor. Inisiatif ini juga akan mendukung strategi omnichannel perusahaan, untuk menawarkan layanan online-offline yang terintegrasi.

“Investasi ini menjadi langkah strategis Carsome untuk membuka lebih banyak peluang dan jaringan. Lewat akses PT Universal Collection terhadap penyedia mobil bekas di pasaran, mitra dealer Carsome akan menikmati lebih banyak inventaris yang beragam dan lebih banyak pilihan. Di sisi lain, ini akan membuka akses pemasok PT Universal Collection ke peluang permintaan yang lebih luas, sehingga dapat memperluas aksesibilitas mereka ke pasar mobil bekas,” sambut Delly.

Sebelumnya, untuk mendukung layanan pelanggan, Carsome mulai menghadirkan “Experience Center” guna memudahkan konsumen melakukan transaksi. Berawal dengan model bisnis C2B dengan membeli mobil bekas dari konsumen, kini Carsome juga mulai menjajaki model B2C dengan menjual berbagai varian mobil secara langsung ke konsumen. Sebelumnya produk hasil pembelian hanya disalurkan ke pemilik diler mobil bekas di berbagai kota.

Proposisi nilai dari layanan car marketplace adalah adanya tim profesional yang didedikasikan untuk melakukan inspeksi. Hasil pengujian dan analisis dilaporkan secara transparan, sehingga berpengaruh langsung terhadap harga jual/beli mobil bekas. Konsep ini yang juga menghasilkan proses negosiasi penjualan yang relatif lebih cepat dari sisi konsumen.

Ukuran pasar mobil bekas cukup menggiurkan di Indonesia. Berdasarkan “Carsome Consumer Survey” yang dirilis pada awal 2021, minat jual-beli mobil bekas masyarakat Indonesia pada semester kedua tahun ini masih cukup tinggi. Setidaknya 64% responden mengungkapkan minat untuk membeli mobil bekas pada periode April-September 2021.

Selain Carsome, di vertikal car marketplace ada beberapa pemain lainnya termasuk Carro yang baru mengumukan perolehan pendanaan teranyar dan menambah daftar unicorn dari Singapura. Untuk pemain lokal, ada OLX Autos yang terintegrasi dengan platform iklan baris OLX; juga Garasi.id yang terafiliasi dengan online marketplace Blibli.

Carsome sendiri juga dikabarkan tengah merampungkan penggalangan dana putaran terbarunya dengan target $200 juta — jika berhasil, maka valuasi perusahaan juga terdongkrak di atas $1 miliar dan berkesempatan menjadi unicorn pertama Malaysia. Akhir tahun 2020 lalu Carsome juga telah membukukan pendanaan seri D senilai $30 juta atau setara 424 miliar Rupiah.

Selain itu, opsi go-public melalui SPAC maupun IPO konvensional juga dikatakan telah masuk dalam agenda perusahaan di tahun ini.

 

Kevin Aluwi and Some VCs Participate in GoTrade’s Seed Funding

Last Friday (6/25) Singapore-based equity investment platform Gotrade announced a $7 million seed funding led by LocalGlobe. In this round, Gojek’s Co-Founder & CEO, Kevin Aluwi participated as an angel investor.

Some local venture capitalists were involved, including Amand Ventures, Prasetia Dwidharma, and Brama One Ventures. Also, a Surabaya-based venture capitalist who has invested in a number of startups, including Ayoconnect, Halodoc, NalaGenetics, and others.

Gotrade offers a seamless experience of trading from the United States stock exchange. Currently, this service has been accessible for users in Indonesia on a limited basis. Since its launch, until now, it’s still using the invitation model for new users.

The model requires potential users to first get an invitation from the previous user. It is due to the early stage of the application. Gotrade’s statistic have shown more than 100 thousand users 13 weeks since the application’s launch.

This startup was founded in 2019 by David Grant, Norman Wanto, and Rohit Mulani. They are currently participating in the Y Combinator accelerator program [YC being one of the initial investors].

One of the value propositions Gotrade offers is to break down geographic restrictions for investments, by not charging commissions and removing the minimum deposit size. Users from 150 countries can buy fractional shares in the Dow Jones, S&P 500, and NASDAQ starting at $1.

Investment platforms or wealthtech are getting quite popular in Indonesia, along with increasing young people (millennials and Gen Z) interest to start investing. Several local startups developing related services received lots of support from investors. For example, Ajaib just completed the series A funding round last March 2021 with a total value of 1.3 trillion Rupiah. It is after Sequoia’s announcement of IDR 938 billion additional funding in May 2021.

Apart from that, there are many other platforms offering investment services with various instruments. Those that also provide access to the US stock exchange are Pluang – limited to the S&P 500; they are also supported by Go-Ventures as investors and currently integrated in the Gojek service ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dikembangkan Founder Asal Indonesia di AS, Typedream Hadirkan Layanan Pembuat Situs Web Tanpa Coding

Typedream adalah sebuah layanan SaaS yang memudahkan siapa saja untuk membuat situs webnya sendiri. Berkonsep “tanpa kode”, penggunaan platform ini tidak mengharuskan penggunanya paham dengan pemrograman, karena cukup mengetikkan perintah sederhana [misalnya mengetik “/button” untuk membuat tombol atau “/image” untuk membubuhkan gambar]; dan melakukan drag-and-drop dalam mengatur ukuran aset desain.

“Typedream adalah sebuah no-code website builder yang mudah digunakan seperti Squarespace atau Wix, tapi menghasilkan keluaran yang terlihat seindah Webflow […] mengembangkan sebuah situs web serasa sedang menyunting dokumen di Google Docs atau Notion” ujar Co-Founder & CEO Typedream Kevin Nicholas Chandra.

Tampilan layanan pengembangan web tanpa kode Typedream

Saat ini layanan tersebut tengah dalam persiapan untuk peluncurannya ke publik. Kendati demikian, pengguna bisa mendaftarkan diri mendapatkan tiket early access untuk mencoba berbagai fitur yang ditawarkan. Nantinya pengguna layanan premium akan dikenakan biaya $15 per bulan atau $144 per tahun.

Guna mendukung perkembangan bisnisnya, baru-baru ini Typedream membukukan pendanaan awal dengan nilai yang tidak disebutkan. Beberapa investor yang terlibat termasuk Y Combinator dan sejumlah angel investor meliputi Timothy Lee, Ben Tossell, Aadil Mamujee, serta Blaine Cook.

Investasi yang didapat akan digunakan untuk meningkatkan kapabilitas produk. Diketahui saat ini Typedream baru bisa digunakan untuk mengembangkan situs web statis seperti landing page atau laman personal, pengembangan berikutnya akan memungkinkan pengguna membuat situs yang lebih kompleks seperti e-commerce atau layanan bisnis online lainnya.

Pendiri asal Indonesia di Amerika Serikat

Selain Kevin, Typedream turut didirikan oleh empat founder lainnya, yakni Michelle Marcelline, Albert Putra Purnama, Anthony Harris Christian, dan Putri Karunia. Kelimanya berasal dari Indonesia dan dipertemukan di Amerika Serikat saat melaksanakan studinya. Mereka sudah memulai proyek bersama-sama sejak tahun 2015 dan masuk ke program akselerator Y Combinator pada tahun 2020.

Saat ini basis mereka di San Francisco, namun dengan layanan yang dikembangkan mereka berharap bisa melayani pasar global — termasuk pengguna di Indonesia.

“WordPress, Squarespace, dan Wix mengatakan bahwa mereka membantu UKM, pembuat konten, dan orang-orang membangun bisnis online, tetapi orang-orang tetap harus mempekerjakan freelance untuk membangun situs web mereka. Pada akhirnya, sebuah situs web sederhana akan menghabiskan biaya ratusan dolar,” lanjut Kevin menjelaskan isu yang ingin dipecahkan.

Turut disampaikan, nilai pasar layanan pembuat situs web ditaksirkan mencapai $12 miliar. Saat ini sekurangnya ada 64 juta situs web yang dibuat lewat layanan serupa, dan 64,1% di antaranya menggunakan WordPress.

“Dengan Typedream, kami belajar bahwa orang bersedia membayar untuk produk yang memecahkan masalah mereka dengan teknologi seminimal mungkin. Kami memulai MVP hanya dengan tiga fitur dan orang-orang sudah bersedia membayar untuk layanan berlangganan kami,” kata Kevin.

Turut kembangkan Cotter

Layanaan paswordless login yang dikembangkan Cotter

Dalam entitas bisnis yang sama, Kevin dan kawan-kawan sebelumnya juga mengembangkan Cotter. Ini adalah sebuah PaaS yang memungkinkan pengembang web menyajikan layanan login tanpa password di situs atau aplikasinya. Berbasis API, platform tersebut dapat diintegrasikan ke sejumlah layanan termasuk Typedream, Webflow, Notion, Bubble, atau situs/aplikasi yang dikembangkan sendiri, termasuk di platform Android dan iOS.

Pengalaman pengguna yang disajikan Cotter seperti ini. Di sebuah situs, mereka cukup memasukkan alamat email. Kemudian sistem akan mengirimkan sebuah tautan unik untuk membawa pengguna ke dalam aplikasi. Cara ini dinilai lebih efektif untuk meningkatkan konversi dan retensi pengguna. Selain itu, layanan siap pakai yang dihadirkan juga dinilai menghemat waktu kerja tim teknis perusahaan.

Venturra Discovery Tambah Portofolio di Luar Indonesia

Besarnya potensi yang ditawarkan oleh berbagai startup di Vietnam, menjadi alasan utama mengapa Venturra Discovery kemudian kembali untuk memberikan pendanaan. Setelah sebelumnya startup social commerce Mio, kali ini mereka kembali terlibat dalam pendanaan startup lain asal Vietnam, Infina.

Diluncurkan pada Januari 2021, Infina adalah aplikasi investasi digital, mereka menyebut dirinya sebagai “Rohinhood of Vietnam”. Sama seperti aplikasi Ajaib atau Bibit di Indonesia, platform tersebut menargetkan kalangan investor ritel atau dari masyarakat umum.

“Ada banyak kesamaan antara Vietnam dan Indonesia. Kami tertarik untuk menjelajahi lebih jauh lagi semua peluang yang ada di Vietnam,” kata Partner Venturra Discovery Raditya Pramana kepada DailySocial.

Selain Mio dan Infina, secara keseluruhan untuk negara Vietnam, pemodal ventura yang terafiliasi dengan Lippo Group tersebut telah memiliki empat portofolio, termasuk Med247 yang merupakan platform healthtech dan Vui App platform fintech.

Fokus ke startup Asia Tenggara

Selain Vietnam, sepanjang tahun 2018 hingga 2021, Venturra Discovery juga telah berinvestasi kepada Antler dan Cove yang merupakan startup asal Singapura. Antler merupakan venture builder untuk startup; sementara Cove adalah marketplace sewa rumah yang menghubungkan pemilik properti dengan penyewa untuk menawarkan kamar yang terjangkau.

Negara lain yang juga diincar oleh Venturra Discovery adalah Filipina. Awal tahun 2021 lalu mereka memberikan pendanaan tahap awal kepada Podcast Network Asia (PNA) senilai $750 ribu. Dipilihnya Filipina oleh Venturra Discovery untuk berinvestasi adalah, negara yang memiliki banyak keunikannya. Tidak cuma jumlah penduduknya banyak, secara demografi penduduknya relatif muda, buying power juga semakin meningkat.

Podcast saat ini masih dalam tahap awal di Asia Tenggara. Saat kita melihat podcast dengan tangga lagu teratas, sebagian besar diluncurkan dalam satu tahun terakhir. Industri ini memiliki momentum yang kuat, karena platform streaming audio menggandakan segmen ini. Kami yakin kami dapat memberdayakan para kreator untuk meningkatkan dan mengomersialkan konten mereka melalui analisis data dan dukungan produksi,” kata Raditya.