Startup Pengembang Platform Kepegawaian Kerah Biru MyRobin Diakuisisi BetterPlace

Diluncurkan tahun 2020 lalu, platform yang menyediakan layanan job marketplace on-demand untuk pekerja kerah biru MyRobin secara resmi telah diakuisisi oleh BetterPlace.

BetterPlace berbasis di India dikenal sebagai platform SaaS  untuk penyediaan tenaga kerja frontline alias tenaga kerja kasar (kerah biru). Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi dari proses akuisisi ini yang dikeluarkan oleh BetterPlace. Akuisisi ini menempatkan BetterPlace sebagai pemilik saham mayoritas dari MyRobin.

Akuisisi ini merupakan bagian dari serangkaian investasi yang dilakukan oleh BetterPlace untuk berekspansi ke pasar Asia Tenggara. Dalam waktu dekat, perusahaan juga berencana melakukan ekspansi ke Malaysia, Thailand, dan
Filipina melalui strategi organik dan anorganik. BetterPlace baru-baru ini
mengumpulkan $40 juta sebagai bagian dari putaran Seri C.

“Sebagai pemain terbesar di Asia saat ini, kami senang menyambut MyRobin ke keluarga BetterPlace dan memajukan visi kami menuju formalisasi tenaga kerja frontline secara global. Dengan teknologi kami dan keahlian MyRobin dalam beroperasi di Indonesia dapat kami perkenalkan kesempatan yang sama untuk segmen frontline,” kata Co-founder & Group CEO BetterPlace Pravin Agarwala.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CTO MyRobin Ardy Satria Hasanuddin mengungkapkan, penjajakan proses akuisisi ini sudah dilakukan sejak dua tahun terakhir. Selanjutnya MyRobin tetap menjalankan bisnis secara independen dan tidak melakukan perubahan dalam manajemen.

Saat ini MyRobin telah memiliki sekitar 160 pegawai dan mengklaim telah memiliki sekitar 3 juta tenaga kerja di sekitar 270 kota di Indonesia. Perusahaan juga telah mencatatkan pertumbuhan 7x lipat di tahun 2022 dan berdampak langsung pada 44.000 keluarga dalam 2 tahun terakhir

“Sebagai bab berikutnya dari pertumbuhan kami, kami ingin mengambil visi dan keahlian ke lebih banyak wilayah geografis dan BetterPlace adalah mitra yang sempurna yang akan memungkinkan kita untuk mencapai tujuan ini. Kami senang dan bersemangat untuk menjadi bagian dari BetterPlace dan bercita-cita untuk menjadi alat dalam mencapai tujuan bersama kami menciptakan tempat yang lebih baik untuk perusahaan dan pekerja frontline di seluruh dunia,” kata Ardy.

Sebelumnya MyRobin telah menerima dana segar dari sejumlah investor, termasuk Antler, SOSV, Accion Venture Lab, dan Investible. Putaran pendanaan yang telah diperoleh selama ini menempatkan MyRobin dalam tahapan Pra-Seri A yang telah mereka dapatkan tahun 2021 lalu.

Pertumbuhan positif MyRobin

Meskipun merupakan wilayah dengan tingkat adopsi digital yang tinggi, tenaga kerja garis depan atau frontline di Asia Tenggara masih belum mengalami transformasi digital yang signifikan. Perusahaan masih banyak yang menggunakan solusi terfragmentasi dan memanfaatkan vendor untuk mengelola tenaga kerja kerah biru mereka, sehingga produktivitas tidak optimal.

Platform seperti MyRobin saat ini menjadi relevan dan dibutuhkan oleh pekerja kerah biru untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang tepat. Selain memberikan peluang kerja, platform tersebut juga memberikan edukasi dan pelatihan yang tepat kepada pengguna yang tergabung. MyRobin menyediakan on-demand, pre-screened untuk pekerja frontline secara jangka panjang dan pendek untuk perusahaan di Indonesia.

Selain itu, MyRobin juga menyediakan manajemen kehadiran dan performance management. Dan melalui produk mereka MyWarung, perusahaan juga menawarkan embedded financial services seperti upah dini dan BNPL, dan memiliki platform peningkatan keterampilan tenaga kerja bernama Akademi MyRobin.

Di Indonesia sendiri solusi yang mengakomodasi segmen serupa ada beberapa startup, di antaranya Staffinc, Weorkmate, Pintarnya, Byru.id, hingga Lumina.

KoinWorks Akuisisi BPR Asri Cikupa, Founder Kuasai Saham Mayoritas

Startup p2p lending KoinWorks mengumumkan akuisisi penuh terhadap Bank Perkreditan Rakyat (BPR) asal Banten, BPR Asri Cikupa Karya. Langkah tersebut dilakukan dalam rangka mengembangkan bisnis KoinWorks secara jangka panjang dan memperluas jangkauan pembiayaan ke segmen UMKM.

“Afiliasi antara unit BPR kami dengan KoinWorks akan sangat membantu dalam menciptakan inovasi bagi BPR sehingga mempunyai peluang untuk tumbuh melalui partisipasinya di ekonomi digital,” ujar Co-founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono dalam keterangan resmi, kemarin (26/1).

Mengutip dari data OJK per September 2022, KoinWorks, melalui dua co-founder-nya, Benedicto Haryono dan Willy Arifin, menggenggam penuh saham di BPR Asri Cikupa Karya, masing-masing sebesar 50,1% dan 49,9%. Pada kuartal sebelumnya, pemegang sahamnya dikuasai oleh Lydia Lukasanto (73%) dan Ang Kie Kwan (27%). Ang Kie Kwan akan tetap menjadi dewan komisaris bersama dengan Boedhi Surjono.

Ben, sapaan akrab Benedicto, melanjutkan perusahaan akan perlahan meningkatkan modal inti BPR sehingga dapat naik tingkat dari BPRKU 1 menjadi BPRKU 3. Dengan demikian, semakin banyak produk dan layanan yang dapat diberikan kepada masyarakat.

Sebagai informasi, BPR berdasarkan Kegiatan Usaha (BPRKU) 1 ini memiliki modal inti kurang dari Rp15 miliar, BPRKU 2 (modal inti Rp15 miliar – Rp50 miliar), dan BPRKU 3 (modal inti lebih dari Rp50 miliar).

Menyediakan produk deposito

Sebagai langkah awal, afiliasi kedua perusahaan ini akan fokus menyediakan produk deposito. Masyarakat dapat melakukan pembukaan rekening deposito secara langsung di kantor BPR Asri Cikupa Karya yang berlokasi di Kabupaten Tangerang, Banten, atau melalui aplikasi KoinWorks yang telah mengantongi izin dari OJK sebagai funding agent.

Produk deposito ini dirancang dengan minimal penempatan dana mulai dari Rp10 juta hingga Rp2 miliar dengan pilihan jangka waktu 1, 3, 6, dan 12 bulan. Bunga yang ditawarkan sebesar 6,25% sesuai dengan besaran yang dijaminkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Angka tersebut bisa dikatakan kompetitif lebih tinggi dari yang ditawarkan bank umum untuk produk simpanan serupa.

Ben juga memaparkan rencana perusahaan untuk terus mendalami perilaku dan peran BPR beserta nasabahnya dalam lanskap keuangan yang terdigitalisasi dalam rangka inovasi digital di BPR. Hal tersebut akan sejalan dengan rencana perusahaan untuk digitalisasi produk deposito BPR melalui afiliasi dengan KoinWorks, kedua perusahaan ini akan melanjutkan pengembangan best practices dalam mengintegrasikan sistem banking dengan fintech.

“Di masa mendatang, akan tercipta peluang pertumbuhan bisnis bagi kedua pihak melalui partisipasi di ekonomi digital. BPR juga akan memperoleh manfaat dari prinsip-prinsip modern yang penting untuk perkembangannya,” pungkasnya.

Akuisisi BPR oleh startup

Langkah korporasi KoinWorks ini bukan barang pertama yang terjadi di lanskap startup fintech di Indonesia. Di antaranya, ALAMI Group akuisisi BPRS Cempaka Al Amin yang kini diubah menjadi jadi Hijra Bank, Xendit mengambil saham di BPR Arthakelola Cahayatama dan kini dikenal sebagai BPR Xen. Diikuti petinggi Fazz Financial Group yang mengambil kepemilikan saham di BPR Sentral Mandiri, dan Komunal yang resmi mengakuisisi BPR Prima Dadi Arta dari Kediri pada April 2022.

Perubahan pun perlahan-lahan dilakukan setelah mereka mengakuisisi BPR. Misalnya, Xendit yang merilis aplikasi aplikasi Nex sudah dirilis sejak 7 November 2022 setelah melewati fase uji coba internal. Aplikasi ini dikembangkan oleh PT Nex Teknologi Digital (NTD) yang bekerja sama dengan PT BPR Xen. Keduanya merupakan bagian dari Xendit Group. Produk perdananya adalah Rekening Tabungan Milenial dengan penawaran bunga tabungan 6% per tahun, yang dibayarkan setiap hari.

Dijelaskan lebih jauh oleh Director Xendit Group Rifai Taberi yang turut menjabat sebagai Direktur Utama PT Nex Teknologi Digital (NTD), semangat Xendit Group untuk membuat aplikasi bank digital untuk memenuhi ekosistem B2B yang sejatinya tidak hanya butuh kemudahan sistem pembayaran semata. Sebab, ada kalanya bisnis, terutama yang masih dalam skala UKM butuh aspek pembiayaan dan tabungan dalam mendukung perkembangan bisnis mereka.

Oleh karenanya, eksperimen Xendit melalui aplikasi Nex ini adalah dalam rangka mendigitalkan BPR agar produknya lebih mudah diakses. Proposisi ini bisa dianggap sebagai angin segar di dunia BPR. Menurut Rifai, secara tampilan luar produk, Nex memang diarahkan untuk konsumen akhir, tapi ternyata segmentasi target penggunanya justru buat pebisnis existing (merchant) Xendit.

Perlu diketahui, agar dapat bertahan pada era digital seperti sekarang, inovasi layanan dan teknologi menjadi hal wajib jika BPR tidak ingin tersingkir dari peta bisnis perbankan. Sayangnya, tak semua BPR memiliki infrastruktur digital yang memadai. Apalagi, banyak BPR bermodal cekak sehingga sulit untuk membangun infrastruktur digital yang relatif membutuhkan biaya tinggi.

Sudah harus bersaing di dunia digital, jalan yang ditapaki BPR pun kian hari kian sulit. Segmen mikro yang selama ini jadi lahan bisnis utama mereka terus tergerus dengan hadirnya berbagai pesaing dari dunia finansial. Kendati persaingan sangat ketat, bank-bank rural ini memiliki keunggulan lantaran karakteristik bisnisnya yang berbeda.

Kelokalan dan keeratan hubungan emosionalnya dengan para nasabah menjadi nilai lebih bagi BPR. Namun untuk mengatasi kelemahannya—sekaligus mengandalkan kelebihannya-—akan membuat daya tarik BPR akan makin kinclong. Dengan begitu, fungsi BPR untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan makin besar.

Application Information Will Show Up Here

AMVESINDO: Strategi “Exit” dan Tingginya Minat Startup untuk IPO

Beberapa waktu terakhir, perjalanan IPO PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO) tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, setelah dinobatkan sebagai salah satu penawaran umum perdana terbesar di dunia tahun ini, harga saham GoTo terpantau terus merosot.

Per hari ini (15/2), harga saham GoTo tercatat di angka Rp96 per saham, turun jauh dibandingkan saat IPO di kisaran Rp338 per saham.

Selain GoTo, perusahaan teknologi lainnya PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga bernasib serupa. Harga saham IPO senilai Rp850 per saham di Agustus 2021 lalu kini jeblok di angka Rp280 per saham (“15/12). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah IPO merupakan strategi exit yang ideal bagi sebuah perusahaan teknologi?

Di awal Desember ini, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) mengadakan seminar bertajuk “Exit Mechanism for Investors & Startup Companies (IPO vs Acquisition)”. Dalam perhelatan ini, hadir beberapa perwakilan stakeholder untuk membahas strategi exit yang ideal bagi para investor startup di Indonesia.

Strategi exit merupakan salah satu keputusan signifikan dalam runway sebuah perusahaan teknologi, utamanya setelah perusahaan menerima pendanaan dari investor. Seperti diketahui, strategi exit bisa dilakukan melalui IPO, merger maupun akuisisi. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan atau meminimalkan kerugian.

Terkait strategi exit melalui IPO, perusahaan teknologi masih sering menghadapi tantangan. Bono Daru Adji selaku Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners mengungkapkan bahwa peraturan di Indonesia dianggap belum cukup memadai bagi startup untuk melakukan IPO. Selain itu, struktur internal startup tahap pre-IPO sering dianggap belum cukup memadai untuk melantai di bursa.

Namun, peraturan OJK dan BEI belakangan ini sudah mulai disesuaikan dengan kebutuhan startup yang bermaksud untuk IPO. Selain POJK 22/2021 terkait Multiple Voting Shares (MVS), peraturan BEI No. I-A mengenai pencatatan saham tidak lagi mensyaratkan kewajiban profit bagi emiten yang bermaksud mencatatkan sahamnya di Papan Utama.

Hal ini membuka peluang bagi para startup. Strategi exit melalui IPO menjadi salah satu jalur untuk menggalang dana dari investor publik dengan harapan bisa mengembangkan bisnis perusahaan, bukan semata-mata untuk exit. Meskipun begitu, sejumlah investor menganggap mekanisme akuisisi (M&A) lebih menguntungkan dibandingkan IPO.

Hal ini diakui oleh Managing partner of MDI Ventures Kenneth Li. Menurutnya, akuisisi memungkinkan proses likuidasi yang cepat. Sementara IPO memiliki masa tunggu setidaknya 8 bulan. “Itupun kalau harga sahamnya naik,” tambahnya. Namun, ia menegaskan bahwa strategi itu tidak bisa digeneralisasi kepada semua perusahaan.

CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro yang juga menjabat sebagai ketua AMVESINDO mengungkapkan, “bahwa kita sebagai venture capital perlu dana untuk diputar kembali melalui investasi. M&A memungkinkan likuiditas yang ringkas. Sementara IPO memiliki masa tunggu. Sebagai pengelola dana investor, kita juga punya tanggung jawab untuk bisa segera memutar uang tersebut.”

Alternatif penggalangan dana

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2022 ada 59 emiten yang melakukan initial public offering (IPO), Venteny menjadi perusahaan terakhir yang resmi tercatat di BEI. Angka ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Tanah Air. Selain itu, perolehan dana IPO pada tahun 2022 ini disebut mencapai Rp32,68 triliun.

Daftar penggalangan dana terbesar melalui IPO di BEI / Sumber: IDX

Head of IDX Incubator Aditya Nugraha mengungkapkan, “untuk animo IPO, rasanya tahun depan masih tetap tinggi. Di pipeline kami, ada 48 yang sedang diproses untuk tahun depan, ini belum termasuk bulan Desember. Kami yakin tahun depan akan lebih ramai. Harapannya, perusahaan yang masuk akan sizeable dan lebih siap untuk go public, termasuk dari aspek compliance. Tidak sekadar IPO dan membuat market jadi tidak sehat,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan, di bursa sendiri tidak ada definisi startup company melainkan Daftar Saham Teknologi (IDXTECHNO). Dari 48 entitas yang mendaftar untuk IPO di tahun 2023, delapan di antaranya adalah perusahaan teknologi. Sektor ini masih sangat menarik untuk go public, banyak perusahaan yang masih mencari alternatif pendanaan melalui IPO.

Aditya yang akrab disapa Anug ini juga memberi masukan bagi para founder yang berniat IPO di BEI, yaitu dengan membentuk badan hukum di Indonesia agar lebih mudah dalam menjalankan setiap proses. Lalu, founder harus bebenah sejak dini, tidak bisa hanya fokus pada bisnis tetapi lebih detail dalam mengelola aspek administrasi, termasuk legalitas, keuangan, perpajakan, dll.

Selanjutnya, perusahaan harus punya roadmap yang jelas. Ketika IPO, rincian penggunaan danannya harus lengkap. Untuk bisa go public, perusahaan harus bisa menarik minat investor. Mulai dari rencana ekspansi, pengembangan riset, talenta, dll. “Mereka harus punya path yang jelas, tidak bisa mengawang-ngawang. Kalau semuanya lengkap dan jelas, proses IPO bisa lebih lancar,” tutupnya.

Haulio Ekspansi ke Indonesia dengan Akuisisi Startup Logistik Lokal “Logol”

Pengembang platform logistik asal Indonesia, Logol, resmi diakuisisi oleh perusahaan asal Singapura yang fokus pada layanan logistik first-mile, Haulio. Dilansir dari DealStreetAsia, nilai kesepakatan ini diperkirakan tidak lebih dari $10 juta atau 156 miliar Rupiah.

Aksi korporasi ini merupakan bagian dari strategi ekspansi layanan Haulio di Indonesia, sekaligus memperluas jangkauan solusi yang ditawarkan perusahaan. Logol sendiri merupakan platform yang memungkinkan manufaktur, distributor, UMKM, dan pelaku usaha lainnya memesan layanan pengiriman barang secara online melalui jalur darat dan laut.

Perusahaan juga membantu pengurusan dokumen ekspor-impor secara elektronik. Logol menghubungkan para pelaku di industri logistik, mulai dari pemilik truk, transporter, forwarder, lembaga pemerintahan, hingga pelaku usaha, untuk menciptakan ekosistem logistik yang lebih efisien dan transparan.

Mengingat banyaknya terminal dan depo peti kemas di wilayah ini yang masih mengandalkan uang tunai dan dokumen, Haulio ingin memanfaatkan teknologi Logol Indonesia dan meningkatkan digitalisasi sektor logistik. Hal ini sejalan dengan ambisi Logol untuk mengefisiensikan proses logistik melalui digitalisasi.

Pada bulan April, Logol sempat meluncurkan aplikasi digital “Logol PLB” yang bertujuan mendorong pengembangan dan optimalisasi fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB) di Jakarta. Peluncuran aplikasi digital ini nantinya diharapkan dapat mendorong berbagai kemudahan yang ditawarkan melalui PLB.

PLB saat ini gencar melakukan terobosan untuk memenuhi kebutuhan para pelaku usaha dan diharapkan dapat mengurangi biaya logistik dan transportasi, mendukung pertumbuhan industri–industri domestik, meningkatkan investasi asing dan lokal, serta membantu mewujudkan mimpi Indonesia menjadi hub logistik nasional dan di kawasan Asia Pasifik.

Co-Founder dan CEO Haulio Alvin Ea dalam keterangan resmi mengungkapkan, “Kami percaya dengan mengakuisisi Logol akan mempercepat pertumbuhan perusahaan serta meningkatkan jangkauan armada regional dengan 2.000 kendaraan first-mile lainnya. Begitu pula rekam jejak Haulio sebagai platform logistik terkemuka di Singapura dan Thailand akan membantu mendorong pertumbuhan dan pangsa pasar Logol di Indonesia.”

Di Indonesia sendiri, sektor logistik masih menjadi penopang perekonomian negara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Triwulan III-2021, Supply Chain Indonesia (SCI) memperkirakan sektor ini akan berkontribusi sebesar Rp699,1 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tumbuh sebesar 1,08% (year-on-Year) di 2022.

Rencana ke depan

Didirikan pada tahun 2017, Haulio dimulai sebagai tim beranggotakan dua orang pada tahun 2017 dan telah berkembang menjadi tim dengan lebih dari 100 karyawan yang kuat di Asia Tenggara saat ini.

Haulio membantu menghubungkan pengangkut peti kemas first-mile dengan pengirim melalui platform digitalnya. Pada bulan Januari, mereka berhasil meraih US$7 juta atau 109 miliar Rupiah pada putaran pertama yang dipimpin oleh Temasek Heliconia Capital.

Haulio juga telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Center of Excellence in Modelling and Simulation for Next Generation Ports (C4NGP) yang merupakan bagian dari National University of Singapore College of Design and Engineering (NUS CDE) untuk mengembangkan Smart Haulage Scheduler (SHS), sebuah algoritma penjadwalan pengangkutan dinamis.

Bersamaan dengan ini, Haulio segera meluncurkan Portal Pembayaran Haulio (HPP), platform pembayaran tagihan elektronik terintegrasi yang berfungsi untuk menciptakan efisiensi pada keuangan logistik di sektor pengangkutan. Proses yang ada saat ini disebut masih sangat manual mulai dari pembuatan faktur, pelacakan, dan tindak lanjut tagihan.

Melalui HPP, pengangkut dapat melihat proses manajemen pengangkutan end-to-end, dan segera mendapatkan gambaran menyeluruh tentang faktur dengan berbagai status. Selain itu, untuk meningkatkan taraf pemilik usaha pengangkutan mikro ke kecil, HPP akan segera memungkinkan pembayaran lebih awal, memungkinkan pengangkut memiliki kontrol yang lebih baik dalam mengelola modal kerja mereka.

Seiring perkembangannya, Haulio berharap dapat meningkatkan teknologi regional dan jumlah karyawan tim produk mereka dua kali lipat dalam tiga tahun ke depan dan akan terus menciptakan peran pekerjaan bernilai tambah yang lebih tinggi di industri seperti rekayasa perangkat lunak, manajemen produk, dan ilmu data yang akan meningkatkan cara industri beroperasi.

Ke depannya, Haulio berharap dapat mengatasi masalah industri melalui implementasi teknologi Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML) yang dapat diskalakan, ditambah dengan arsitektur Open API yang dapat diadopsi untuk proses yang sudah ada.

Flying Cape Akuisisi Kiddo untuk Melancarkan Ekspansi Regional

Platform edtech yang fokus menyediakan aktivitas belajar dan hiburan anak Kiddo mengumumkan telah diakuisisi Flying Cape untuk mendukung ekspansi regionalnya. Flying Cape adalah platform edtech yang menyediakan layanan pemesanan dan konsultasi  pendidikan, baik untuk kelas formal maupun nonformal. Layanan ini ditujukan bagi calon peserta didik usia dini hingga setara sekolah menengah atas.

Akuisisi ini ditempuh melalui penerbitan saham baru di Flying Cape kepada pemegang saham Kiddo, termasuk melibatkan OCBC NISP Ventura yang merupakan investor awal Kiddo. Komitmen ini menunjukkan bahwa setelah akuisisi ini, OCBC NISP Ventura dan pemegang saham lainnya akan terus mendukung Flying Cape Group dalam pertumbuhan bisnisnya.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Kiddo Analia Tan mengungkapkan, Flying Cape dam Kiddo memiliki visi yang sama untuk membangun ekosistem edukasi global. Dengan bersatu dirinya optimis  dapat merealisasikan visi tersebut secara lebih cepat.

Disampaikan juga, Kiddo tetap berjalan secara independen, namun akan banyak sinergi yang akan dilakukan bersama dengan Flying Cape.

“Bersama dengan Flying Cape, kami akan menjadi jembatan bagi mitra edukasi di negara masing-masing untuk saling terhubung dan berkolaborasi, sehingga mitra kami bisa menjajaki peluang bisnis ke wilayah pasar yang lebih besar. Di sisi lain, pelajar juga bisa memiliki akses edukasi yang lebih bervariasi, baik dari dalam  maupun luar negeri.”

Meluncur tahun 2018 lalu, Kiddo menyasar kalangan orang tua yang membutuhkan pilihan baru untuk menghabiskan waktu yang berkualitas bersama anak. Varian produk Kiddo dilengkapi dengan berbagai aktivitas seperti program belajar, paket liburan, hingga kelas pelatihan.

“Kami sangat senang menyambut Kiddo sebagai anggota baru grup perusahaan. Dengan lebih dari 60 juta siswa, Indonesia memiliki sistem pendidikan terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Dengan kehadiran di Indonesia, kami ingin  menyediakan jaringan regional yang terintegrasi, memungkinkan pelajar dan penyelenggara pendidikan di Singapura dan Indonesia dapat terhubung  tanpa memandang lokasi geografis,” kata Founder & CEO Flying Cape Jamie Tan.

Pendanaan awal hingga kerja sama strategis

Sebelum diakuisisi Flying Cape, Kiddo termasuk startup edtech lokal yang cukup agresif menjalankan bisnisnya. Mereka telah mendapatkan pendanaan awal dari OCBC NISP Ventura.

Pada bulan Mei 2020 lalu, Kiddo juga telah menjalin kerja sama strategis dengan GogoKids dari Malaysia. Melalui kerja sama ini, pengguna dapat mengikuti kelas online yang berasal dari kedua negara. Penyedia layanan aktivitas anak asal Indonesia juga dapat memasarkan kelasnya lebih luas ke pelanggan di Malaysia.

Sementara itu tahun 2021 lalu, Kiddo juga menjalin kerja sama strategis dengan Kyna English yang merupakan penyedia layanan kursus berbahasa Inggris berstandar Cambridge asal Vietnam.

Kiddo juga telah meluncurkan fitur yang bernama “Milestone Tracker” yang memberikan kemudahan untuk orang tua dalam mengetahui potensi si kecil melalui tes tumbuh kembang dan potensi gratis dengan hasil real-time. Setelah mengetahui kecenderungan potensi anak, orang tua dapat mengakses ribuan panduan aktivitas yang sudah disesuaikan dengan hasil tes, untuk menstimulasi tumbuh kembang si kecil.

“Saat ini pengguna Kiddo tersebar di seluruh Indonesia dengan proporsi terbesar masih di Pulau Jawa. Kami juga mulai bekerja sama dengan sekolah dan perusahaan untuk menjangkau jutaan pelajar Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan konten edukasi yang berkualitas,” kata Analia.

Cerita Albert Lucius Dapatkan Inspirasi dari Kudo untuk Membangun TipTip

Sosok Albert Lucius yang sebelumnya dikenal sebagai Co-founder dan CEO Kudo, memutuskan untuk membangun startup baru yang memiliki perbedaan dari sebelumnya. Fokusnya ingin menjembatani para konten kreator sekaligus pendukung mereka, agar bisa membagikan konten yang berkualitas dan mendapatkan penghasilan dari karya yang dihasilkan.

Pengalamannya membangun dan membesarkan bisnis, mulai Kudo sampai akhirnya turut mengembangkan Grab dan OVO, dijadikan inspirasi bagi Albert saat membangun TipTip.

TipTip sendiri sudah resmi diluncurkan pada bulan Juli 2022 lalu. Namun, TipTIp belum pernah berkampanye secara luas. Hal ini dikarenakan selama periode Juli hingga Oktober, TipTip banyak melakukan pengembangan inovasi produk dan uji coba dengan komunitas creator.

Baru di awal November lalu, tepatnya 3 November 2022, TipTip memperkenalkan kampanye pertama mereka “Lakuin di TipTip” ke publik yang luas. TipTip menargetkan dapat meraih 150,000 pengguna dan 15,000 kreator, serta memperluas cakupan hingga tingkat nasional hingga kuartal II tahun 2023 dan meraih 1 juta pengguna dalam waktu 2 tahun mendatang.

Kepada DailySocial.id, Albert membagikan informasi seputar potensi ekonomi kreatif di Indonesia saat ini dan ke depannya; serta pentingnya bagi Indonesia untuk bisa menggeser mindset konten yang bersifat viralitas menjadi konten berkualitas.

Kesuksesan M&A Kudo dan Grab

Albert bersama saat ini Kudo / Kudo
Albert Lucius di kantor kudo / Kudo

Salah satu visi yang sejak dulu ditanamkan Albert adalah, bagaimana teknologi bisa membantu dan memudahkan masyarakat luas. Bersama Kudo dengan mengedepankan jaringan agen, Albert dan tim memberikan opsi kepada masyarakat luas untuk berjualan secara online. Hal tersebut dinilai terbukti sukses dengan diakuisisinya Kudo oleh Grab pada tahun 2017 lalu.

Menurut Albert proses merger and acquisition (M&A) terbilang berjalan secara cepat dan lancar, menjadi kebanggaan tersendiri bagi Albert, yang telah membangun Kudo sejak tahun 2014 bersama co-founder Agung Nugroho. Setelah bergabung dalam ekosistem Grab, Albert kemudian dilibatkan untuk mengembangkan layanan platform superapp tersebut. Termasuk mengembangkan teknologi e-money dari perusahaan yang terafiliasi yaitu OVO.

“Saya menjabat sebagai Direktur Grab dan juga Chief Product Officer OVO. Kita ingin membuat produk yang bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Saat itu di tahun 2017 dan 2018 masih di era e-money berbeda dengan sekarang. Saat ini QRIS sudah di mana-mana, dulu perangkat masih banyak dan metode masih belum diterima.”

Setelah mengembangkan Grab dan OVO, tahun 2021 Albert kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil mencari inspirasi baru untuk bisa membangun startup baru.

Kesamaan antara Kudo dan TipTip

Lepas dari OVO kemudian tahun 2021, Albert menemukan inspirasi untuk menggarap solusi di sektor ekonomi kreatif. Idenya untuk memberdayakan konten kreator yang saat ini sudah banyak mengedepankan pemikiran financial freedom. Besarnya passion dari Albert untuk bisa menciptakan teknologi yang bermanfaat untuk semua ia terapkan di TipTip.

“Dulu saat membangun Kudo saya membuat aplikasi supaya masyarakat menengah ke bawah yang agak gaptek pun bisa mendapatkan income dan bisa berdagang secara digital. Demikian juga dengan Grab dan OVO, tampak sekali bagaimana teknologi bisa memudahkan kehidupan orang banyak, terutama saat pandemi.”

Albert melihat saat ini kebanyakan konten kreator masih mengandalkan advertising, clicks, hingga viralitas untuk bisa mendapatkan penghasilan. Belum lagi dengan tuntutan di antara mereka yang harus memiliki jumlah pengikut atau pendukung yang besar.

Pada akhirnya konten tersebut hanya bersifat viral saja, namun tidak memiliki kualitas yang baik. Albert mencatat saat ini ada banyak konten kreator di berbagai daerah yang memiliiki skill dan talenta yang unik, meskipun jumlah pendukung mereka di media sosial seperti Instagram hingga Telegram dan WhatsApp Group sedikit jumlahnya.

“TipTip menawarkan platform yang tujuannya adalah menjembatani antara konten kreator dan pendukungnya secara langsung. Dengan demikian konten kreator bisa membuat konten, melakukan berbagai opsi dan interaksi kepada pendukungnya dan pendukung mereka bisa memberikan apresiasi langsung melalui tipping, donasi atau melalui pembelian paket digital dari konten kreator tersebut.”

Meskipun memiliki perbedaan, namun konsep tersebut yang juga telah ia terapkan di Kudo sebelumnya. Secara khusus, melalui TipTip ia ingin memberdayakan mereka yang memiliki potensi dan prestasi. Dengan mengedepankan konten yang berkualitas, Albert ingin mengajak lebih banyak kreator membuat konten yang bermanfaat dan tentunya bisa dimonetisasi.

Hingga Oktober 2022, TipTip mencetak pertumbuhan positif dengan volume pendapatan meningkat hingga 9x serta jumlah pengguna yang bertambah 4x lebih banyak dari sejak resmi diluncurkan bulan Juli lalu.

Pertumbuhan ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan hyperlocal TipTip di 8 kota di Indonesia termasuk Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Bali. TipTip sendiri menargetkan dapat meraih 150 ribu pengguna dan 15 ribu kreator, serta memperluas cakupan hingga tingkat nasional hingga Q2 tahun 2023.

Fokus perusahaan tahun 2023

Jajaran tim manajemen TipTip / TipTip
Jajaran tim manajemen TipTip / TipTip

Disinggung seperti apa peta persaingan platform untuk kreator konten di Asia Tenggara saat ini khususnya Indonesia, menurut Albert karena pilihan dari TipTip yang cukup unik, belum ada platform yang menawarkan layanan yang dihadirkan oleh Tiptip.

“Kita justru memanfaatkan jaringan yang sudah dimiliki oleh konten kreator tersebut di berbagai media sosial, dengan membagikan link tersebut kemudian akan langsung diarahkan ke platform TipTip dimana konten tersebut diunggah oleh kreator di TipTip.”

Meskipun saat ini sudah banyak startup yang juga menyasar kepada pemberian layanan khusus untuk konten kreator, namun di antara mereka masih menawarkan layanan secara spesifik. Misalnya khusus untuk live streaming, layanan untuk kemudahan pembiayaan atau pembayaran hingga podcast. TipTip tidak memfokuskan kepada satu layanan saja dan mengklaim tidak terikat kepada satu metode.

“Rata-rata kreator yang datang ke TipTip ingin berbagi dan membuat kelas spesial. Jadi secara eksekusi bisa jadi kita juga menyediakan ebook, live streaming, video, dan lainnya. Kuncinya kita adalah platform yang memberikan sarana bagi mereka untuk berinteraksi.”

Untuk bisa melancarkan semua proses tersebut yang sepenuhnya mengandalkan aplikasi dan website TipTip, perusahaan pun kemudian merekrut tim engineer berkualitas.  TipTip saat ini telah memiliki sekitar 120 pegawai. Fokus perusahaan tahun depan adalah ingin terus berkembang mengikuti tren dari pertumbuhan ekonomi kreatif saat ini.

Dalam debutnya, perusahaan juga telah mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $10 juta (sekitar 143 miliar Rupiah). Angka tersebut diklaim sebagai salah satu pendanaan tahap awal terbesar yang pernah ada. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Vertex, EMTEK, SMDV, dan beberapa family offices terkemuka.

Menurut Albert, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengakselerasi pertumbuhan TipTip dalam menjangkau dan memberdayakan ekonomi kreator di kawasan ini. Juga, memperluas tim dan mempercepat adopsi platform.

“Meskipun funding kita kuat tapi kita tidak berani jor-joran. Kita terus melakukan hiring pegawai namun dalam jumlah yang terbatas, kita juga menjaga nilai salary. Hal ini dilakukan agar tidak perlu dilakukannya layoff hingga mengurangi gaji pegawai.”

Application Information Will Show Up Here

Blibli, Tiket.com, dan Ranch Market Merger [UPDATE]

Blibli, Tiket.com, dan Ranch Market mengumumkan penyatuan bisnis (merger) menjadi “Blibli Tiket”. Inisiatif ini diumumkan melalui sebuah video komersial yang diunggah di kanal kanal YouTube Blibli hari ini (14/10).

“Blibli Tiket merupakan campaign of a unified omnichannel ecosystem antara Blibli bersama entitas anak, Tiket.com – penyedia layanan perjalanan dan gaya hidup terlengkap; dan Ranch Market – a leading high quality supermarket chain di Indonesia. Ekosistem omnichannel Blibli Tiket memberikan kemudahan dan nilai tambah bagi para pelanggan, serta menyediakan layanan yang lebih lengkap, bermanfaat dan terintegrasi dari tiap channel dan platform di dalam ekosistem,” ujar VP Public Relations Blibli Yolanda Nainggolan.

Belum diketahui bagaimana struktur legal pasca merger. Ketika dikonfirmasi pihak perusahaan belum mau memberikan komentar. Dari pantauan di situs Blibli, saat ini struktur direksi perusahaan sudah dikondisikan layaknya PT umum dengan Direksi dan Dewan Komisaris, termasuk komisaris independen.

Kabar soal merger ini sebenarnya sudah terendus sejak beberapa bulan lalu, bebarengan dengan rumor rencana IPO yang akan digalakkan perusahaan tahun ini. Sementara integrasi aplikasi antara Blibli dan Tiket.com sudah dilakukan sejak awal tahun ini, dimulai dengan integrasi akun antar-aplikasi.

Tiket.com adalah pionir OTA (Online Travel Agent) di Indonesia. Berdiri sejak tahun 2011, perusahaan ini diakuisisi oleh Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Pun demikian Ranch Market, tahun 2021 lalu Blibli mengakuisisi saham mayoritas perusahaan untuk memperkuat lini grocery yang dimiliki.

Kendati angka valuasinya tidak disebutkan secara eksplisit, baik Blibli maupun Tiket.com saat ini mengonfirmasi telah menyandang status unicorn. Harapannya, bergabungnya ketiga layanan ini diharapkan bisa memberikan pengalaman yang utuh, melalui fitur unggulan yang mereka miliki.

*Pembaruan per 17 Oktober 2022: Kami menambahkan statement dari pihak Blibli terkait “Blibli Tiket”

Application Information Will Show Up Here

Platform Manajemen Tenaga Kerja Harian “Workmate” Diakuisisi PERSOL Asia Pacific

Platform yang menghadirkan solusi manajemen staf dan tenaga kerja garis depan (frontline) Workmate secara resmi telah diakuisisi oleh PERSOL Asia Pacific.

Dengan akuisisi ini ke depannya Workmate bersama dengan PERSOL ingin mengakselerasi solusi tenaga kerja on-demand di Asia Pasifik. Meskipun telah diakuisisi, namun nantinya Workmate akan menjalankan bisnis secara independen.

PERSOL Asia Pasifik adalah bagian dari PERSOL Holdings, terdaftar di Bursa Efek Tokyo, Prime Market, dan salah satu perusahaan SDM terbesar di Jepang dengan penjualan 1,1 triliun Yen pada FY2021. PERSOL telah secara aktif berinvestasi di perusahaan teknologi SDM yang inovatif di Asia, termasuk Glints.

“Kami sangat senang bergabung dengan PERSOL pada tahap ini dalam perjalanan kami. Kami memiliki visi besar untuk mengubah cara pekerja kerah biru mencari pekerjaan. Menggabungkan teknologi Workmate dengan keahlian PERSOL dan infrastruktur regional menempatkan kami pada posisi yang lebih tinggi untuk bisa mewujudkan visi tersebut,” ujar Founder & CEO Workmate Mathew Ward.

Akuisisi ini akan memungkinkan Workmate untuk mempercepat investasinya ke teknologi dan penjualan serta mempercepat peluncuran mereka ke negara lainnya. Saat ini Workmate telah beroperasi di Thailand dan Indonesia, dan rencananya akan meluncur di Singapura bulan Oktober ini.

“Saya senang menyambut Workmate di PERSOL Group. Kami terkesan dengan nilai yang diberikan platform kepegawaian on-demand all-in-one Workmate kepada kandidat, pekerja, dan pemberi kerja dan sangat antusias untuk bermitra dengan mereka untuk mempercepat inovasi mereka dan memperluas layanan mereka ke pasar lain di Asia,” kata CEO PERSOL Asia Pacific Takayuki Yamazaki.

Hadirkan teknologi terkini

Pada tahun 2025, pasar rekrutmen tenaga kerja informal diprediksi meningkat 2x lipat. Namun, di balik potensi besar ini, metode pencarian tenaga kerja masih berkutat pada cara tradisional, seperti sosialisasi mulut ke mulut.

Secara khusus teknologi yang dihadirkan oleh Workmate adalah mendisrupsi agen kepegawaian tradisional untuk memungkinkan perusahaan dengan cepat mengakses para pekerja berkualitas tinggi yang telah diperiksa sebelumnya untuk pekerjaan kontrak jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam prosesnya platform ini memanfaatkan data yang dimiliki dalam algoritma penilaian kandidat yang didukung AI untuk meningkatkan kualitas pencocokan dan memberikan tingkat kehadiran, retensi pekerja, dan produktivitas yang lebih tinggi.

Didirikan pada tahun 2016, Workmate diluncurkan dengan tujuan untuk membantu bisnis menemukan dan mengelola staf frontline yang andal, dan bagi pekerja untuk mendapatkan pekerjaan yang konsisten di perusahaan terkemuka.

Tahun 2019 lalu perusahaan sebelumnya dikenal dengan Helpster berganti nama menjadi Workmate. Saat ini Workmate mengklaim telah membantu lebih dari 120 ribu pekerja frontline menemukan pekerjaan dan lebih dari 800 perusahaan telah menggunakan layanan dan teknologi dari Workmate.

Terakhir pada tahun 2019 Workmate telah membukukan pendanaan seri A senilai $5,2 juta yang dipimpin oleh Atlas Ventures dengan partisipasi Gobi Partners, Beacon Venture Capital, dan investor sebelumnya.

Di Indonesia sendiri, platform job marketplace yang mengkhususkan untuk pasar blue collar memang berkembang pesat. Baru-baru ini sejumlah startup debut dengan pendanaan awal, seperti Atma, Pintarnya, Lumina, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech Asal Singapura “Bolttech” Akuisisi Axle Asia, Perkuat Kehadiran di Indonesia

Startup insurtech asal Singapura Bolttech mengakuisisi kepemilikan saham mayoritas perusahaan broker asuransi Indonesia, yakni PT Axle Asia. Dengan aksi korporasi ini, Axle Asia resmi menjadi anak usaha dan selanjutnya akan melakukan rebranding.

Dalam keterangan resminya, akuisisi ini menjadi strategi untuk mengakselerasi distribusi kapabilitas Bolttech di Indonesia dalam menawarkan produk asuransi sekaligus melengkapi solusi bisnis existing.

Group CEO Bolttech Rob Schimek mengungkap, misi perusahaannya adalah membangun ekosistem perlindungan dan asuransi berbasis teknologi di dunia. “Angka pertumbuhan di Indonesia termasuk yang paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan ini membuka peluang bagi solusi-solusi insurtech dalam memenuhi kebutuhan konsumen lokal dan rekanan bisnis yang berubah secara dinamis,” ujarnya.

Diketahui, Bolttech tengah gencar mendorong ekspansi layanannya dengan mengakuisisi dua perusahaan di bidang asuransi selama hampir dua tahun terakhir. Bolttech mencaplok I-surance (Spanyol) di 2021 dan Ava Insurance Brokers (Singapura) di awal 2022.

Bolttech memperoleh status unicorn dalam kurun waktu 15 bulan sejak berdiri pada April 2020. Pendanaan Bolttech telah didukung oleh sejumlah investor, termasuk Alpha Leonis Partners, Dowling Capital Partners, B. Riley Venture Capital.

Sementara, Axle Asia adalah perusahaan broker asuransi berbasis di Jakarta yang berdiri di 2008. Axle Asia merupakan anak usaha dari aliansi strategis antara Axle Indonesia dan PT True Capital.

Komisaris Axle Asia Junaedy Ganie mengatakan, platform Bolttech saat ini memiliki posisi terdepan untuk membentuk masa depan distribusi asuransi. “Akuisisi ini akan memperkuat komitmen kedua perusahaan dalam menghasilkan inovasi dan menawarkan lebih banyak pilihan asuransi pada konsumen di Indonesia secara lebih cepat,” ungkapnya.

Adapun, pasca-akuisisi Axle Asia, Bolttech telah menunjuk Srinath Narasimhan sebagai General Manager untuk mengawasi pertumbuhan Bolttech di Indonesia.

Bolttech kini memiliki lebih dari 800 rekanan distribusi dan 200 perusahaan asuransi dalam jaringannya, serta resmi terdaftar pada 36 jurisdiksi internasional. Bolttech juga telah menawarkan premi asuransi bernilai lebih dari $50 miliar di seluruh dunia. Layanannya telah menjangkau 30 pasar di tiga benua, yakni Amerika Utara, Asia dan Eropa.

Pasar asuransi

Peluang untuk mendigitaliasi sektor asuransi masih sangat besar di Indonesia mengingat penetrasinya masih sangat rendah. Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), tingkat penetrasi asuransi jiwa saja di Indonesia pada 2020 berkisar 1,2%, tertinggal dari Thailand (3,4%), Malaysia (4%), Jepang (5,8%), Singapura (7,6%), dan Hong Kong (19,2%).

Rendahnya penetrasi asuransi salah satunya dikarenakan tingkat literasi dan inklusi keuangan yang minim. Mengacu Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) di 2019, tingkat inklusi keuangan di Indonesia memang telah mencapai 76,19% dan tingkat literasi keuangan menyentuh 38,03%. Namun, tingkat inklusi asuransi baru sebesar 13,15% dan tingkat literasinya 19,4%.

Sejumlah startup insurtech berupaya mengambil kue dari peluang pasar dengan menawarkan nilai proposisi yang berbeda-beda. Salah satu pemain insurtech lama, Qoala memosisikan platformnya untuk segmen retail. Sementara, Aigis membidik segmen bisnis melalui layanan manajemen asuransi yang dipadukan dengan fitur wellness. 

Ada pula Rey Assurance yang mengklaim sebagai platform penyedia asuransi jiwa dan kesehatan pertama yang terintegrasi dengan ekosistem kesehatan dan wellness.

Astra dan WeLab Resmi Ambil Alih Saham Mayoritas Bank Jasa Jakarta

PT Astra International Tbk melalui anak perusahaannya PT Sedaya Multi Investama (Astra Financial) mengumumkan penyelesaian transaksi akuisisi Bank Jasa Jakarta (BJJ), bersama dengan WeLab melalui WeLab Sky Limited. Proses penyelesaian transaksi ditandai dengan diterimanya persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.

Setelah penyelesaaian transaksi akuisisi, Astra Financial dan WeLab Sky masing-masing memiliki saham BJJ sebesar 49,56% dan menjadi pemegang saham mayoritas sekaligus pengendali bank. Nantinya, BJJ akan dijadikan sebagai bank digital inovatif dari Indonesia.

Secara terpisah, mengutip dari keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia pada hari ini (19/9), Astra Financial dan BJJ telah menandatangani Share Subscription Agreement (SSA), yang mana SMI akan mengambil bagian atas 1,13 juta lembar saham baru yang mewakili 49,56% dari seluruh modal yang telah ditempatkan dan disetor di BJJ dengan nilai transaksi sebesar Rp3,87 triliun.

“Per tanggal 16 September 2022, seluruh persyaratan pendahuluan berdasarkan SSA untuk menyelesaikan transaksi, termasuk persetujuan OJK, telah terpenuhi,” tulis manajemen Astra.

Dalam keterangan resmi, Presiden Direktur Astra Djony Bunarto Tjondro menyampaikan, investasi perusahaan di BJJ sejalan dengan aspirasi grup pada pilar jasa keuangan untuk menjadi penyedia layanan jasa keuangan ritel terdepan, serta mendukung perkembangan industri jasa keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

“BJJ sebagai bank digital, melalui strategi omnichannel, akan melengkapi produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan kepada pelanggan Astra. Hasil riset menunjukkan, sekitar 77% masyarakat di Indonesia masih tergolong ke dalam kategori unbanked dan underbanked. Melalui kerja sama ini, kami berharap BJJ dapat memenuhi kebutuhan pelanggan, serta mempercepat inklusi dan literasi keuangand Indonesia,” tambah Direktur Astra sekaligus Director-In-Charge Astra Financial Suparno Djasmin.

Founder dan Group CEO WeLab Simon Loong menambahkan, langkah strategis ini termasuk dalam rangka memperluas kehadiran bank digital di Asia, setelah pertama kali hadir di Hong Kong. Kemitraan strategis dengan Astra ini, dalam rangka meningkatkan sinergi lintas negara dan bisnis dengan para mitra dalam memperluas skala dan jangkauan.

“Kami antusias bahwa mitra jangka panjang kami, Astra, akan bekerja sama dengan kami untuk memberikan layanan perbankan berbasis teknologi terbaik melalui BJJ di Indonesia. Kami berharap dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan melalui kerja sama dengan Astra,” ucap Loong.

Daftar bank digital dan calon bank digital di Indonesia. Sumber: Laporan DSInnovate 2021

Unit bisnis keuangan grup Astra

Ini bukan pertama kalinya kemitraan antara kedua perusahaan. Sebelumnya, telah mendirikan perusahaan patungan fintech lending, PT Astra WeLab Digital Arta (AWDA) pada 2018 untuk brand MauCash. Keduanya menggabungkan kekuatan satu sama lain, yakni ekosistem bisnis Astra yang solid dan dukungan pengalaman, teknologi, dan jaringan yang kuat dari WeLab.

Sebelumnya, Grup Astra juga memiliki usaha di bidang perbankan, yakni Bank Permata. Kemudian, bersama pemegang saham lainnya, Standard Chartered, dijual ke Bangkok Bank Public Company Limited (Bangkok Bank) pada 2020. Harga belinya Rp1.346 per saham atau nilai transaksi mencapai Rp33 triliun. Masing-masing mengantongi Rp16,83 triliun.

Astra diketahui memiliki sejumlah anak perusahaan di sektor keuangan, seperti perusahaan pembiayaan, asuransi, dan fintech. Di bidang pembiayaan, Astra memiliki Astra Credit Companies (ACC) dan Toyota Astra Financial Services (TAFS) untuk pembiayaan roda empat, dan Federal International Finance (FIF) untuk pembiayaan roda dua.

Selanjutnya, di bidang asuransi ada Asuransi Astra Buana (AAB) untuk asuransi umum, dan Astra Life untuk asuransi jiwa. Di bidang digital, ada MauCash yang fokus pada fintech lending, AstraPay di produk uang elektronik, dan Moxa, berbentuk aplikasi yang mengintegrasikan seluruh kebutuhan finansial.