Pendanaan Pra-Seri A PrivyID Jadi Langkah Awal Mantapkan Debut yang Lebih Besar

Startup pengembang tanda tangan digital PrivyID mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh MDI Ventures dan Mandiri Capital Indonesia. Gunung Sewu dan Mahanusa Capital juga terlibat dalam pendanaan ini.

Nilai pendanaan yang diperoleh tidak disebutkan angkanya. Meskipun demikian, menurut pemaparan CEO PrivyID Marshall Pribadi, pendanaan selanjutnya (Seri A) awal tahun depan akan segera menyusul dengan nilai yang cukup signifikan.

“Pendanaan [Pra-Seri A] ini tidak ditujukan untuk ekspansi besar-besaran, akan tetapi dioptimalkan untuk membangun di dalam terlebih dulu,” ungkap Marshall.

Secara spesifik, pendanaan kali ini akan difokuskan PrivyID untuk pembelanjaan infrastruktur perangkat keras dan perangkat lunak. Menurut Marshall, setidaknya sebagian pendanaan tersebut dialokasikan untuk perangkat keamanan seperti HSM (Hardware Security Module) dan Transparent Encryption System. Sisanya akan digunakan untuk pengadaan ruang kantor baru di Jakarta dan Yogyakarta, serta melakukan perekrutan ke tim security dan teknologi.

“Sinergi menjadi tesis utama kita. Kami telah menjalin kemitraan dengan PrivyID melalui program Indigo sejak tahun 2015. Sejak saat itu PrivyID telah bekerja dengan berbagai proyek untuk Telkom Group. Kami akan terus bekerja sama dengan para startup terkemuka di berbagai vertikal untuk mengkatalisis pertumbuhan dengan sumber daya dan jaringan kami. Singkatnya, kami membawa skala melalui basis pelanggan dan sumber daya kami untuk memberi nilai penting bagi perusahaan seperti PrivyID,” sambut CEO MDI Ventures Nicko Widjaja.

Di Telkom Group disebutkan teknologi PrivyID telah digunakan di IndiHome dan T-Money.

“Pengguna kami sangat terbantu dengan terhematnya waktu dan biaya dari menghilangkan kertas dan pengiriman kurir untuk menandatangani dokumen. Penandatanganan dapat dilakukan di smartphone maupun PC di mana pun. Selain itu kami juga sedang dalam proses untuk mendapatkan ISO 21188 on Public Key Infrastructure for Financial Services,” lanjut Marshall.

PrivyID didirikan Marshall Pribadi dan Guritno Adisaputro, sebelumnya mendapatkan seed funding dari program Indigo Incubator besutan Telkom. Sepak terjangnya berhasil membukukan sekurangnya 300.000 pengguna dengan rekanan korporasi sudah mencapai 31 entitas. Termasuk penguatan jaringan kerja sama dengan institusi perbankan dan non-perbankan untuk memverifikasi pengguna. Dari sisi teknologi, PrivyID kini juga sudah menyediakan aplikasi di platform Android dan iOS untuk penggunanya.

“Kami ingin mewujudkan pure digital offering bagi industri fintech, di mana pengguna yang sudah memiliki akun di lembaga keuangan yang sudah menjadi mitra kami dan telah melalui proses Customer Due Dilligence sesuai Peraturan OJK tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris. Tidak perlu melalui proses tersebut lagi saat ingin menjadi pelanggan institusi lain,” ujar Marshall.

Secara sederhana, apa yang ditawarkan oleh PrivyID kepada konsumen ialah teknologi verifikasi identitas digital yang akuntabel, dengan satu nomor induk kependudukan satu identitas digital.

Dengan adanya identitas digital ini, pengguna dapat memberikan persetujuan dalam bentuk tanda tangan digital saat menggunakan beragam jenis layanan (terutama di lembaga finansial). Seperti diketahui bahwa legalitas tanda tangan digital sudah diatur dalam UU Pasal 52 PP 82/2012 di Indonesia.

“PrivyID bertujuan untuk membangun fondasi ekosistem transaksi elektronik yang sehat, yakni dengan memberikan identitas terpercaya di dunia maya dan tanda tangan digital yang mengikat secara hukum. Saya percaya apa yang kami lakukan sejalan dengan ambisi pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi digital,” jelas Marshall.

Karena digunakan pada sektor krusial, standar khusus pun diikuti, salah satunya yang mengacu pada aturan terbitan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Termasuk dari sisi teknologi, tanda tangan digital PrivyID didukung oleh sertifikat digital menggunakan kriptografi asimetris dan infrastruktur kunci publik untuk memudahkan proses verifikasi pendandatanganan dan setiap perubahan yang dilakukan pada dokumen yang ditandatangani dapat diidentifikasi.

“Model bisnis PrivyID dapat meningkatkan efisiensi bisnis korporasi karena memberikan solusi bagi perusahaan untuk mengirim dan menerima dokumen dengan tanda tangan elektronik secara online, sehingga kedua belah pihak tidak harus berada di tempat yang sama atau bahkan memerlukan jasa kurir,” ujar Direktur Utama Mandiri Capital Eddi Danusaputro selaku rekanan strategis PrivyID.

Application Information Will Show Up Here

Kofera Umumkan Perolehan Pendanaan Pra-Seri A

Platform otomasi pemasaran berbasis AI Kofera mengumumkan perolehan pendanaan Pra-Seri A dengan nilai yang tak disebutkan dari sejumlah investor yang dipimpin MDI Ventures. Juga terlibat dalam pendanaan ini IndoSterling Capital, Discovery Nusantara Capital, dan Gunung Sewu. Disebutkan dana yang diperoleh akan digunakan untuk pengembangan produk, riset, dan ekspansi pasar.

Kofera diklaim sebagai satu-satunya startup Indonesia yang menyediakan layanan SaaS otomasi marketing berbasis Artificial Intelligence (AI) dan machine learning. Tujuan otomasi pemasaran digital yang disediakan Kofera untuk membantu perusahaan mengeluarkan biaya pemasaran yang efisien dan menjalankan kampanye pemasaran yang efektif.

“Saat ini lebih dari 5,000 akun dengan berbagai jenis bisnis model telah terdaftar di platform Kofera. Pendanaan Pra-Seri A ini akan membantu kami untuk product development, riset dan ekspansi pasar untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata CEO Kofera Technology Bachtiar Rifai.

MDI Ventures memberikan dukungannya untuk Kofera sebagai salah satu startup yang memiliki solusi dan eksekusi terbaik. CEO MDI Ventures Nicko Widjaja kepada DailySocial menyebutkan:

“Kofera adalah salah satu alumni Indigo terbaik yang kami miliki tahun lalu. Kami telah mendapatkan banyak pujian dari anak perusahaan [Telkom Group] untuk kolaborasi bersama tim Kofera. Partisipasi kami adalah bentuk dukungan berkelanjutan untuk membangun ekosistem startup yang lebih sehat di Indonesia: membangun fundamental yang kuat (traksi penerimaan, keuntungan, dan lain-lain), membangun metode valuasi yang tepat, dan membangun konsep scaling melalui kolaborasi yang sinergis dengan Telkom Group.”

Masalah kampanye pemasaran digital

Keterbatasan talenta untuk mengelola pemasaran digital saat kebutuhannya sedang meningkat membuat lonjakan biaya untuk merekrut atau membentuk tim in-house. Kofera mengklaim solusinya menutup celah ini menggunakan platform otomasi yang membantu perusahaan mengoptimalkan penggunaan budget dengan algoritma yang cerdas.

“Dengan adanya Kofera, maka pelaku bisnis yang awam sekalipun dapat beriklan secara online dengan mudah karena sudah dibantu oleh otomasi Kofera. Pembuatan campaign, monitoring dan optimisasi sudah terintegrasi dengan teknologi machine learning sehingga pelau usaha kecil dan menengah cukup memberikan data produk dan goal bisnis untuk beriklan secara online,” papar Bachtiar dalam wawancara terdahulu.

Nicko sendiri mengundang investor strategis lain untuk berpartisipasi dalam pendanaan lanjutan perusahaan-perusahaan di bawah naungan Indigo, seperti saat pendanaan ke Kofera kali ini.

“Kami terus mengundang investor strategis untuk berpartisipasi [berinvestasi] di perusahaan [asuhan] Indigo. Mereka sejauh ini adalah sumber terbaik untuk mendapatkan perusahaan tahap awal di Indonesia. Jika Anda adalah [pendiri] startup yang baru memulai, saya menyarankan Anda untuk bergabung dengan program [Indigo] jika ingin membangun traksi yang riil. Tidak lagi sekedar vanity metrics [misalnya jumlah pengguna terdaftar, jumlah penggunduh], tetapi benar-benar menjalankan bisnis,” tutup Nicko.

MDI Ventures Terlibat Pendanaan Seri B Senilai 108 Miliar Rupiah untuk Startup Komunikasi Berbasis Cloud Singapura Wavecell

Qualgro dan MDI Ventures memimpin pendanaan Seri B untuk startup komunikasi berbasis cloud Singapura Wavecell senilai $8,15 juta atau lebih dari 108 miliar Rupiah. Wavecell saat ini sedang memperkuat kehadirannya di sejumlah negara, termasuk Indonesia, dan telah menggaet Traveloka dan Tokopedia sebagai kliennya. MDI Ventures adalah corporate venture capital milik Telkom Group.

Perolehan pendanaan kali ini lebih besar dibanding yang diharapkan, terutama karena Wavecell telah secara signifikan meningkatkan basis konsumen korporasinya sebanyak lebih dari 300%.

Didirikan tahun 2010, secara umum solusi messaging Wavecell terdiri dari SMS OTP (untuk verifikasi dan otentikasi) dan notifikasi untuk berbagai kampanye. Wavecell juga menawarkan solusi interaksi live video. Layanan di segmen ini disebut sebagai CPaaS (Communication Platform as a Service). Selain di Jakarta, Wavecell secara global telah membangun 6 kantor lainnya.

Co-Founder dan CEO Wavecell Olivier Gerhardt dalam rilisnya mengatakan, “Kami siap untuk terus meningkatkan aktivitas penjualan dan pemasaran dan mengembangkan tim engineer kami. Mengakui bahwa Indonesia adalah salah satu pasar kunci kami, Wavcell juga akan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan di bawah naungan Telkom Group untuk membangun sinergi dan kolaborasi.”

CEO dan Direktur Investasi MDI Ventures Nicko Widjaja mengatakan, “Kami sangat senang menyambut Wavecell sebagai bagian portofolio MID Ventures. Mereka memiliki posisi unik sebagai layanan API komunikasi berbasis cloud pertama di Asia Pasifik, memimpin di kawasan di depan Twilio dan Nexmo. Wavecell telah meredefinisi telekomunikasi dengan menambah lapisan digital ke komunikasi, meskipun tidak secara keseluruhan menggantikan rantai nilai (value chain) yang sudah ada. Layanannya mentransformasi [bisnis] telekomunikasi, tanpa menggantikan produk dan servis yang sudah ada.”

“Kami juga dengan bangga mengumumkan bahwa Wavecell telah bekerja sama dengan Telkomsel dan memberikan nilai sinergi yang baik untuk Telkom Group,” lanjutnya.

Rencana Sinergi Telkom dan Startup Binaan MDI

Dalam acara Global Ventures Summit 2017 di hari pertama CEO MDI Ventures Nicko Widjaja memberikan informasi berupa pencapaian serta target yang ingin diraih. Dalam presentasinya Nicko menjabarkan beberapa poin penting termasuk latar belakang dirinya sebelum bergabung di MDI hingga harapannya dari MDI untuk startup di Indonesia.

“Sejak awal komitmen dari MDI adalah hanya memberikan investasi kepada startup Seri A ke atas. Hal ini kami lakukan agar tidak bersaing dengan Indigo (inkubator dan akselerator milik Telkom). Sebagai VC yang sepenuhnya dimiliki oleh Telkom, kami masih mencari cara terbaik untuk menghasilkan profit,” kata Nicko.

Selama ini MDI dikenal dengan pendekatannya yang cukup intensif kepada startup binaan. Hal tersebut dilakukan agar memastikan kinerja dari startup tersebut sejalan dengan visi dan misi MDI.

“Selama ini saya kerap melakukan pendekatan “hands on” kepada semua startup yang ada. Hasilnya cukup memuaskan kami dari MDI agar bisa memastikan startup yang kami investasikan berjalan dengan baik.

Sinergi Telkom dan startup MDI

Dengan jaringan luas yang dimiliki oleh Telkom memberikan kesempatan MDI untuk melakukan sinergi dengan startup pilihan, yang tentunya sesuai dengan karakter dari MDI dan Telkom. Hal tersebut saat ini secara bertahap telah dilakukan oleh MDI, dengan menyinergikan beberapa startup yang diberikan pendanaan dengan MDI dan jaringan usaha bisnis dari Telkom. Mulai dari mobile subscription, cloud and IT managed service serta layanan e-commerce.

Rencananya akan ada 14 Sinergi lainnya yang bakal diterapkan oleh MDI di antaranya adalah privyID dengan Indihome, aCommerce dengan metraplasa dan finnet, codapay dengan Telkomsel dan metranet, Ncomputing dengan telkomsigma.

Teknologi yang kemudian dikembangkan oleh MDI dengan Telkom adalah menyinergikan infomedia yang merupakan layanan pelanggan dari Telkom. Selama ini infomedia menggunakan telepon dengan biaya oprasional yang cukup tinggi jumlahnya. Sementara untuk revenue sepenuhnya mengandalkan calling fees, dan transaksi terjadi diluar proses bisnis.

Dengan sinergi yang dilakukan bersama Kata.ai, diharapkan nantinya bisa menjadi Multi-channel (phone, sms, messaging), lebih efisien (AI-assisted operations) dan revenue akan diambil dari subscription serta transaksi.

“Saat ini teknologi tersebut masih dalam pengembangan. Telkom bersama Kata.ai masih membangun teknologi yang ada sampai akhirnya siap untuk diluncurkan,” kata Nicko.

Kata.ai sendiri merupakan startup lokal yang mendapatkan investasi dari MDI dan dipimpin oleh Irzan Raditya.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Ventures Summit 2017

MDI dan Convergence Ventures Kembali Terlibat dalam Pendanaan Ematic Solutions

MDI dan Convergence Ventures kembali terlibat pada pendanaan startup pengembang SaaS asal Singapura Ematic Solutions (Ematic). Kali ini suntikan pendanaan yang diberikan senilai $2,4 juta atau senilai Rp32.1 miliar. Selain MDI dan Convergence turut berpartisipasi investor lama Ematic WaveMaker Partners dan dukungan investor baru Walden Internasional. Sehingga total investasi yang telah dibukukan mencapai Rp4,4 juta. Pendanaan ini sekaligus menutup putaran pendanaan pra seri A untuk Ematic.

“Pertumbuhan kami mencapai tiga kali lipat dari tahun ke tahun, dan sejak Oktober 2015 monthly recurring revenue (MRR) terus meningkat dua kali lipat per enam bulan. Kami juga telah menyelesaikan ekspansi tahun pertama kami di pasar Asia Tenggara, termasuk di Indonesia Thailand, Vietnam, Malaysia dan Filipina. Saat ini kami memiliki jumlah staf 80 orang,” ujar Founder & CEO Ematic Solutions Paul Tenney.

Ematic menyediakan platform berbasis komputasi awan untuk kebutuhan pemasaran digital melalui sistem email yang dilengkapi dengan teknologi artificial intelligence (AI). Pendanaan Ematic tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan kapabilitas produk terutama di platform mobile sekaligus meningkatkan skalabilitas untuk pengembangan sebuah self-service platform.

“Investasi pra seri A ini menggarisbawahi keyakinan investor kami dengan model bisnis, teknologi dan laju pertumbuhan kami. Pendanaan ini akan mempercepat berbagai hal dan memberikan kekuatan untuk membuat produk yang lebih efisien,” ujar Tenney.

Selain itu penguatan posisi di pasar Asia Tenggara juga akan menjadi fokus utama. Hal ini sejalan dengan visi perusahaan untuk segera bergegas mendominasi pasar Asia Pasifik. Untuk memulai dominasi di pasar yang lebih luas, Ematic juga telah menghadirkan bisnisnya di Hong Kong. Pembukaan kantor di wilayah tersebut dinilai akan menjadi landasan kuat di wilayah Asia Utara.

Memprediksi Sektor Populer Startup Indonesia Tahun 2017

Data terakhir APJII menyebut penetrasi pengguna internet di Indonesia pada 2016 mencapai 132,7 juta dari total populasi 256,2 juta orang. Sementara perangkat yang dipakai untuk mengakses internet dari smartphone sebanyak 63,1 juta.

Kegiatan belanja sampai cara mendapatkan layanan transportasi kini bisa dilakukan secara online. Salah satu startup on-demand terpopuler Go-Jek bahkan secara publik telah mencapai tahap unicorn atau bervaluasi lebih dari $1 miliar (lebih dari 13 triliun Rupiah).

Dalam laporan Startup Teknologi Indonesia 2016, DailySocial melakukan survei ke sejumlah investor tentang sektor apa yang menjadi primadona dan fokus mereka tahun ini. Berdasarkan kompilasi tersebut, 4 sektor yang diperkirakan menjadi bakal menjadi pusat perhatian adalah fintech (teknologi finansial), e-commerce, Software-as-a-Service (SaaS), dan on-demand atau service marketplace.

Fintech

Fintech merupakan pengembangan industri jasa keuangan yang sangat bergantung dengan internet dan inovasi digital. Fintech hadir karena ada segmen layanan keuangan konvensional yang belum bisa menjangkau berbagai kalangan masyarakat.

Group CEO C88 John Patrick Ellis, yang memiliki layanan e-commerce finansial CekAja di Indonesia, mengatakan tahun lalu Indonesia mengalami kebangkitan besar di bidang fintech. Banyak usaha yang bergerak di fintech mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan dominan dan menjadi pemain besar yang banyak membantu perkembangan industri jasa keuangan.

Menurut Ellis, optimisme yang membuat CekAja yakin dengan perkembangan fintech terletak di penetrasi pasar keuangan yang terbilang rendah. Masih banyak yang belum menjamah seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini disebut Ellis sebagai “double growth factor“, yakni layanan keuangan terus bertumbuh yang diiringi dengan pertumbuhan teknologi.

“Kedua hal ini saling mendukung. Karena itulah, sektor fintech [di Indonesia] diprediksi akan memiliki tiga sampai lima perusahaan unicorn di [tahun] 2020.”

Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya juga angkat suara mengenai potensi fintech, terutama peer-to-peer lending (P2P lending). Reynold mengatakan kehadiran Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada penghujung tahun lalu menjadi trigger yang kuat untuk pengembangan bisnis P2P lending ke depannya.

Kehadiran regulasi, sambungnya, membuat masyarakat Indonesia jadi semakin percaya dengan bisnis P2P lending sudah diakui dan diawasi oleh OJK. Modalku mengklaim pada tahun lalu telah menyalurkan sekitar Rp 60 miliar dengan kredit macet masih 0%.

“Kami tidak terlalu peduli dengan volume bisnis tapi bagaimana bisa scaling bisnis dengan benar. Sekarang kami mau mengarah ke smartphone agar proses jadi lebih cepat, konsentrasinya adalah convert orang-orang dari konvensional untuk beralih ke smartphone.”

Pernyataan Reynold didukung Direktur Utama Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro. Eddi mengatakan kehadiran berbagai regulasi yang mengatur tentang fintech pada dasarnya bertujuan untuk melindungi nasabah. Hal ini juga membuat fintech jadi lebih makin matang dan memancing kehadiran para pemain baru. Eddi menilai dari segi nilai, investasi ke sektor fintech diperkirakan akan tumbuh setidaknya 50% dan mungkin bisa tumbuh 100% atau lebih.

Mengingat fintech sangat bergantung pada perkembangan teknologi digital, baik CekAja maupun Modalku menekankan pada pentingnya implementasi penerapan tanda tangan digital. Reynold menjelaskan tanda tangan digital merupakan bagian utama proses know your customer (KYC) bagi pemain fintech untuk menjangkau nasabah ke seluruh pelosok Indonesia.

Meski pemerintah sudah mengeluarkan tanda tangan digital, namun OJK sebagai pihak otoritas sertifikat (CA) belum menunjuk suatu lembaga untuk menjalankan mandatnya menjalankan kegiatan tersebut. Hal ini, menurut Reynold, perlu didorong.

“Infrastruktur di fintech harus kuat, bagaimana fintech bisa menyentuh segala pelosok Indonesia. Satu-satunya cara adalah dilakukan secara digital, maka dari itu tanda tangan digital harus diperjelaskan. Ini kan bagian dari proses KYC,” kata Reynold.

Ellis menambahkan, “Penerapan tanda tangan digital yang akan dilaksanakan oleh pemerintah di 2017 ini dapat memajukan fintech dengan dasar inklusi keuangan yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan bisnis di Indonesia jadi lebih baik. Kami berharap regulasi mengiringi lainnya juga dapat mendukung dan memudahkan layanan perusahaan fintech.”

Di sisi lain, menurut Ellis, kehadiran asosiasi fintech dapat menjadi lahan untuk belajar dengan para pemain fintech lokal lainnya. Asosiasi menjadi jembatan para pemain untuk berkomunikasi dengan OJK dan BI. Ia menyatakan anggota asosiasi fintech selalu terbuka untuk berdialog tentang segala regulasi yang sudah ada dan akan bergulir.

“Tantangan di setiap sektor dan yang terjadi di fintech sebenarnya tidak jauh berbeda. Inilah dasar utama kenapa kami mendirikan Asosiasi Fintech Indonesia. Jadi nantinya ada lembaga dalam industri fintech yang dapat mewakili serta dapat menggambarkan tantangan yang harus dihadapi. Dengan solusi yang dibuat secara bersama akan lebih baik dibandingkan harus dihadapi secara sendiri-sendiri.”

E-commerce

Berdasarkan data berbagai sumber, pada tahun 2017 industri e-commerce di Indonesia diprediksi akan bernilai $9,3 miliar. Besarnya potensi tersebut saat ini sesuai dengan perkembangan layanan e-commerce di tanah air, baik yang umum maupun niche.

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan, “Dari tahun ke tahun, layanan e-commerce dan transaksi online akan semakin menjadi bagian hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat akan semakin cerdas, tidak lagi sekadar berburu diskon atau harga murah, namun menggunakan platform e-commerce untuk kemudahan hidup mereka.”

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan layanan marketplace akan merambah sektor fintech tahun ini.

“Selain untuk keperluan barang sehari-hari, marketplace juga akan berevolusi menjadi kebutuhan pembayaran sehari-hari, memberikan layanan finansial inklusi. Di tahun 2017 ini, open marketplace juga akan menjadi rumah baru bagi merek-merek baik lokal maupun internasional untuk memasarkan produk mereka ke masyarakat Indonesia,” kata William.

Kemudahan pembayaran untuk pembelian apapun menjadi krusial. Menurut William, tahun ini layanan e-commerce akan semakin inklusif. Selama ada konektivitas internet, pembayaran bisa dilakukan meski tidak memiliki rekening bank atau kartu kredit.

“Produk-produk e-wallet akan tumbuh di tahun 2017 untuk mendorong pemerataan ekonomi secara digital. Demikian juga dengan tumbuhnya bisnis kurir untuk mengirimkan produk-produk yang dipasarkan di marketplace,” ujar William.

Selain itu, tren akan bergeser ke hyperlocal purchase. Pembeli di daerah Sumatera Utara akan cenderung membeli dari penjual di kota Medan dibanding dari Jakarta. Walau harga barang sedikit lebih tinggi, adanya ongkos kirim akan membuatnya tetap bersaing. Apalagi barang seharusnya bisa diterima lebih cepat.

Berbeda dengan optimisme William, Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li mengungkapkan kekhawatiran rencana masuknya Alibaba dan Amazon di Indonesia. Konsolidasi diprediksikan bakal terjadi untuk membuat perusahaan tetap bertahan.

“Semua layanan e-commerce di Indonesia saya lihat akan semakin berat di tahun 2017 ini, terutama dengan rencana hadirnya Amazon dan Alibaba di Indonesia. Kehadiran perusahaan raksasa global tersebut akan semakin menyulitkan eksistensi layanan e-commerce lokal yang saat ini sudah berhasil menjadi market leader. Saya melihat konsolidasi mungkin akan tercipta, seperti yang telah terjadi di India,” kata Adrian.

Selain konsolidasi, nantinya masing-masing brand akan memilih untuk melakukan penjualan secara langsung kepada pelanggan atau dengan cara multichannel. Strategi ini dinilai akan menjadi kegiatan jangka panjang.

Untuk layanan e-commerce yang bakal mendominasi tahun 2017 ini, Adrian mengungkapkan fashion commerce akan semakin masif bermunculan di tanah air.

“Dengan mengintegrasikan desain, manufaktur dan pasokan proses rantai penyediaan, mereka [layanan fashion commerce] mampu menyediakan pakaian yang sedang tren yang bersaing dengan biaya ritel umum,” kata Adrian.

Untuk faktor penghambat, ternyata faktor kepercayaan atau trust masih bisa menjadi momok tahun ini.

“Seperti yang disampaikan dalam laporan Google dan Temasek, pemesanan dari Indonesia 12 kali berisiko fraud berdasarkan rata-rata secara global,” kata Adrian.

SaaS

Founder and CEO Talenta, sebuah platform SaaS untuk manajemen sumberdaya manusia, Joshua Kevin, mengatakan saat ini kondisi pemain startup SaaS di Indonesia sama seperti pemain e-commerce pada 2010-2011. Tahun tersebut adalah masa ketika masyarakat Indonesia masih memiliki krisis kepercayaan dan belum percaya dengan manfaat beralih membeli barang secara online.

“Kami percaya bahwa industri SaaS akan makin cepat pertumbuhannya dan kemampuan dalam pengambilan keputusan akan jatuh ke generasi yang percaya bahwa internet dan smartphone adalah the default,” kata Joshua.

Mengenai isu keamanan komputasi awan sebagai hal yang krusial bagi pemain SaaS, Joshua mengungkapkan tidak semua pemain SaaS di Indonesia menggunakan solusi atau server dari luar Indonesia. Pihaknya mendorong insentif yang lebih dari pemerintah dan perusahaan cloud untuk membuat mereka beralih ke server lokal.

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, menambahkan pergerakan bisnis SaaS di Indonesia mulai bergerak dengan sangat baik. VC ini telah berinvestasi di sejumlah startup SaaS dan melihat indikasi puluhan ribu UKM sudah menggunakan berbagai solusi yang disediakan beberapa pemain SaaS yang masuk dalam portofolionya.

Menurut Willson, tantangan pemain SaaS Indonesia di kacamata investor adalah adopsi pengguna dan bagaimana UKM melihat nilai dari SaaS. Startup SaaS harus bisa mengedukasi pasar tentang manfaat produk SaaS dibandingkan perangkat lunak tradisional dan meyakinkan mereka untuk beralih ke sana.

Moka, startup penyedia layanan mobile point of sales (mPOS) dengan fokus pasar UKM, menjadi salah satu pemain SaaS yang menanjak. Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo, senada dengan Joshua, mengutarakan saat ini Moka belum menggunakan server lokal. Pihaknya menggunakan layanan cloud yang berbasis di Singapura. Untuk perlindungan data, Moka mengenkripsi lalu lintas yang keluar dan masuk menggunakan SSL. Pihaknya juga memasang beberapa firewall untuk seluruh server.

Haryanto menambahkan tingkat persaingan bisnis SaaS di Indonesia masih sangat luas dan pasarnya sangat besar. Menurutnya, persaingan antar pemain SaaS bukanlah perhatian untuk saat ini.

On-demand

Layanan transportasi on-demand dari Go-Jek, Grab, dan Uber saat ini masih mendominasi. Kehadiran mereka mampu mengubah kebiasaan masyarakat dan kini menjadi bagian rutinitas sehari-hari.

CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan, “Akan menjadi sulit untuk startup baru mencoba bersaing dengan Go-Jek, Uber, dan Grab, karena posisi mereka yang sudah berhasil menjadi market leader dan mendominasi di Indonesia. Untuk bisa bersaing dengan ‘the big three‘, perusahaan yang sebelumnya menjalankan bisnis dengan cara konvensional juga sudah harus mulai mengadopsi teknologi untuk bisa bersaing dengan perusahaan berbasis teknologi tersebut.”

Nicko melihat kolaborasi antara Blue Bird dengan Go-Jek membuktikan perusahaan yang selama ini menjalankan bisnisnya secara konvensional akan memilih untuk melakukan kerja sama dengan startup yang telah memiliki produk, talenta, dan kemampuan membuat produk berbasis teknologi. Hal tersebut bisa memangkas pengeluaran untuk mempekerjakan third party atau outsource untuk membangun teknologi dari awal.

“Peluang dari startup yang nantinya berfungsi sebagai ‘corporate enabler‘ untuk menawarkan sistem, produk, hingga teknologi kepada korporasi hingga perusahaan besar nampaknya akan semakin banyak di tahun ini dan seterusnya,” kata Nicko.

Menurut Co-Founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim, tahun 2015 dan 2016 lalu merupakan tahun ketika layanan seperti Go-Jek dan layanan e-commerce masih berupaya untuk menemukan pasar dan strategi pemasaran. Tahun 2017 ini bakal menjadi tahap yang menentukan kebanyakan layanan on-demand.

“Saya melihat tahun 2017 ini bakal menjadi momentum. Bkan hanya untuk Go-Jek namun juga semua layanan on-demand lainnya di Indonesia. Tahun 2017 juga menjadi tahun semua going to mobile,” kata Nadiem.

Kendala infrastruktur yang ada di Indonesia, menurut Nadiem, justru menjadi peluang bagi layanan on-demand seperti Go-Jek untuk berkembang.

“Berbagai kendala dalam hal infrastruktur yang ada saat ini justru menjadi kesempatan bagi Go-Jek untuk memberikan solusi kepada semua masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini Go-Jek melihat infrastruktur yang masih kurang saat ini sebagai opportunity dengan memberikan solusi kepada semua pengguna,” ujarnya.

Dalam dua tahun terakhir, layanan on-demand juga makin beragam. Tidak hanya menawarkan layanan transportasi, tetapi yang berhubungan dengan layanan domestik. Misalnya jasa asisten rumah tangga, pembersihan rumah, dan perbaikan AC. Salah satu layanan on-demand di segmen ini adalah Seekmi.

“Kami sangat beruntung di Seekmi bahwa tingkat penetrasi smartphone di kalangan vendor dan teknisi telah tumbuh secara signifikan dalam setahun tahun sejak Seekmi diluncurkan. Memungkinkan Seekmi untuk mengelola sekitar 10 ribu tenaga kerja dengan cepat dan efisien,” kata CEO Seekmi Clarissa Leung.

Clarissa melanjutkan, “Saya prediksi tahun 2017 ini akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan teknologi, dalam hal ini aplikasi, untuk membantu mereka melakukan pekerjaan rumah rutin dari yang paling mudah hingga yang berat dengan bantuan layanan on-demand. Akan lebih banyak orang percaya dengan layanan on-demand karena terbukti mampu menghemat biaya pengeluaran.”

Di balik kemudahan berbasis teknologi, banyak generasi senior yang belum terbiasa dan kurang percaya dengan layanan on-demand.

“Seekmi pada akhirnya tetap menghadirkan layanan pelanggan melalui SMS hingga telepon langsung. Pendekatan dengan cara-cara tradisional masih perlu disematkan untuk perusahaan teknologi,” kata Clarissa.

Meskipun terlihat menjanjikan, layanan on-demand ternyata cukup sulit untuk melakukan scale up. Hal ini terjadi karena layanan on-demand sifatnya adalah hyperlocal. Masing-masing kota di Indonesia memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda.

“Untuk mengatasi semua kendala tersebut masing-masing layanan on-demand tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kemitraan atau partnership dengan perusahaan teknologi lainnya hingga perusahaan besar dan pemerintah untuk bisa mengatasi semua kendala,” kata Nicko.


Artikel ini adalah kolaborasi DailySocial dan The Jakarta Post. Juga dipublikasi dalam bahasa Inggris di halaman ini.

DailySocial:
CEO & Founder : Rama Mamuaya
Editor-in-Chief : Amir Karimuddin
Editor-in-Chief : Wiku Baskoro
Writers : Yenny Yusra, Marsya Nabila

The Jakarta Post:
Managing Editor Life : Asmara Wreksono
Editor : Keshie Hernitaningtyas
J+ team : Jessicha Valentina, Masajeng Rahmiasri, Ni Nyoman Wira
Technology : Muhamad Zarkasih, Mustofa
Infographic : Sarah Naulibasa, Sandy Riady
Video & Multimedia : Bayu Widhiatmoko, I.G. Dharma J.S., Ahmad Zamzami,
Rian Irawan, Wienda Parwitasari

MCI Demo Day, ‘Wisuda’ Inkubator dan Pengenalan Kepada Investor

Setelah mengikuti program Mandiri Digital Incubator yang diselenggarakan Mandiri Capital Indonesia (MCI) selama enam bulan, 14 startup telah dinyatakan ‘lulus’ dari masa pematangan bisnis lewat kegiatan MCI Demo Day pada hari Senin (27/2). Keempat belas startup tersebut antara lain adalah Limakilo, Iwak, Bulp, Pickpack, DompetSehat, Erzap, IdCloudHost, Jurnal, Danasedia, Konektifa, Taralite, Taxies, Atom, dan Folio. MCI Demo Day kemarin menjadi ajang ‘wisuda’ dan pitching bagi bisnis-bisnis rintisan Mandiri Digital Incubator agar lebih dekat dengan para investor.

Inisiatif MCI dalam menyelenggarakan MCI Demo Day yang bekerja sama dengan MDI Ventures dan DailySocial ini didukung penuh oleh Bank Mandiri. Pahala Mansury, Direktur Keuangan Bank Mandiri, mengatakan bahwa Bank Mandiri selalu berencana mengembangkan bisnis UMKM, baik yang berbasis teknologi maupun non teknologi.

“Kami pernah menjalankan Wirausaha Muda Mandiri. Lalu, kami berpikir untuk memiliki rumah untuk mengembangkan startup yang punya big impact bagi masyarakat. Kunci kesuksesannya ialah kolaborasi antara MCI, Bank Mandiri, dan Mandiri Digital Incubator,” ujar Pahala dalam sambutannya.

MCI Demo Day adalah acara puncak dari program pengembangan startup di Mandiri Digital Incubator. Selama enam bulan berlangsung, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddie Danusaputro bercerita bahwa startup di Mandiri Digital Incubator mendapatkan training dan mentorship yang telah disiapkan kurikulumnya.

“Terutama untuk dua hal; product valuation dan market validation, termasuk business model-nya,” imbuhnya.

Mandiri Digital Incubator hadir sebagai medium untuk finetuning produk dari startup sekaligus mencari pendanaan. “Nah, memang kita yang mempunyai Mandiri Digital Incubator. Karena kita tidak mungkin yang mendanai semuanya, maka kita mengundang teman-teman venture capital ini untuk mendengarkan presentasi dari startup-startup ini, siapa tahu mereka berminat untuk funding,” cetus Eddie.

Selama program Mandiri Digital Incubator batch pertama berlangsung hingga puncaknya MCI Demo Day, beberapa startup telah mendapatkan funding dari investor, baik melalui MCI maupun investor lainnya.

“Saat ini kami dalam proses due dilligence [untuk investasi ke salah satu startup],” ujar Bisma Manda Samsu, Head of Finance, Treasury, and Operations MCI, yang menolak untuk menyebutkan nama-nama startup yang telah didanai karena belum dirilis.

Secara komposisi, ranah startup yang telah mendapatkan funding terhitung berimbang, yakni 50% fintech dan 50% non-fintech.

Bagi startup, rangkaian penyelenggaraan Mandiri Digital Incubator ini menjadi pengalaman yang menyenangkan tersendiri. CEO Danasedia Lutfi Adhiansyah adalah salah satu yang mengakuinya.

“Yang menarik sebenarnya adalah penyelenggaranya. Karena penyelenggaranya kan bank besar ya, Bank Mandiri. Jadi, ketika kita berada di bawah naungan Mandiri, kita mendapat exposure yang lumayan baik. Apalagi saya bergerak di bidang fintech,” terang Lutfi.

Senada Lutfi, CMO IdCloudHost M. Mufid Luthfi kurang lebih merasakan hal yang serupa. Kolaborasi antar startup adalah hal yang menurut Mufid perlu digarisbawahi dan meninggalkan kesan baik dari Mandiri Digital Incubator. “Meskipun kami perusahaan baru, tapi kami dapat pembinaan dari mentor-mentor terbaik. Di sini kita dilatih bagaimana membuat startup yang sustain,” aku Mufid.

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari MCI Demo Day.

Alasan MDI Ventures Berinvestasi di Startup Layanan Kesehatan Singapura mClinica

Salah satu investor Indonesia yang turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan Seri A sebesar $6.3 juta kepada mClinica, startup layanan kesehatan asal Singapura, adalah MDI Ventures. Investasi tersebut selanjutnya bakal digunakan oleh mClinica untuk ekspansi secara global.

Kepada DailySocial, CEO MDI Nicko Widjaja mengungkapkan, pendekatan yang dilakukan kepada mClinica sudah terjadi jauh sebelum rencana penggalangan dana dilancarkan.

“Karena mClinica berada di bisnis kesehatan dan data, vertikal ini membutuhkan tingkat kepatuhan tertinggi terkait dengan hal-hal yang bisa menjadi sangat sensitif. Selama proses pengujian (diligence process), kami ingin memastikan bahwa semua aspek bisnis mereka sepenuhnya mematuhi peraturan, terutama karena peranan Unitus Impact yang berpartisipasi dalam putaran ini. Kita membahas banyak tentang bagaimana mClinica akan berdampak kepada masyarakat. Mengingat semua ini, saya percaya sekarang mClinica adalah salah satu startup layanan kesehatan yang paling sesuai di wilayah tersebut,” kata Nicko.

Investasi MDI Ventures kepada mClinica selanjutnya akan diselaraskan dengan layanan yang sudah ada di tanah air, terutama yang dihadirkan Telkom Indonesia. Layanan kesehatan di Indonesia yang berbasis digital saat ini juga telah menunjukkan pertumbuhan yang positif, sesuai dengan rencana MDI untuk mClinica.

“Selama ini Telkom Indonesia melalui Admedika dan Telkomedika telah menciptakan relasi yang baik dengan pemerintah demikian juga dengan industri kesehatan di seluruh Indonesia. Saya melihat layanan dan produk yang ditawarkan oleh mClinica bisa menjadi solusi yang tepat saat ini,” kata Nicko.

Model bisnis mClinica berupaya menciptakan skenario win-win solution bagi pihak-pihak yang terlibat dan mampu menciptakan efek jaringan yang kuat sehingga membuatnya mampu bertahan. Jumlah data dan informasi yang dihasilkan menjadi sangat berharga untuk ekosistem kesehatan (perusahaan farmasi, pemerintah, perusahaan asuransi, dan konsumen).

“Bersama kita bisa memperkenalkan model bisnis yang inovatif yang dapat memungkinkan untuk kesehatan dengan kualitas yang lebih baik sekaligus mengurangi beban ekosistem pendukung. Kami sangat antusias untuk mendukung perluasan pasar mClinica ke Indonesia dengan inovasi yang kami ciptakan untuk layanan kesehatan  di Indonesia,” kata Nicko.

Selain MDI Ventures, investor lain yang turut berpartisipasi dalam putaran kali ini adalah Unitus Impact, Global Innovation Fund, dan Endeavor Catalyst dari Amerika Serikat. Investor terdahulu, yaitu 500 Startups, IMJ Investment Partners, dan Kickstart Ventures, juga berpartisipasi dalam pendanaan kali ini.

Kepada DailySocial, Managing Partner Unitus Impact Beau Seil mengatakan, “Kami melihat mClinica sebagai perusahaan yang “mampu mengubah sistem” yang dapat mengubah wajah layanan kesehatan di negara berkembang. […] Menggunakan platform berbasis mobile yang simpel tapi canggih, mClinica menciptakan skenario “win-win” untuk perusahaan privat dan organisasi sektor publik yang mengantarkan obat-obatan yang dibutuhkan untuk ratusan juta — jika bukan miliaran — orang yang menjadi target pasar mClinica.”

Pasar Asia Tenggara mClinica

Saat ini mClinica telah beroperasi di pasar Asia Tenggara, seperti Indonesia, Vietnam dan Filipina. Melalui platform yang ada, mClinica memungkinkan perusahaan farmasi terkemuka, pemerintah, LSM, dan lembaga akademis multinasional untuk mendapatkan data yang sebelumnya tidak dapat diakses dan kemudian menjalankan program pasien yang langsung menyentuh populasi di tingkat farmasi setempat.

mClinica menawarkan solusi kepada Pemerintah untuk bisa dengan cepat menghasilkan dan memvisualisasikan data kesehatan secara real time untuk pengambilan keputusan dan merumuskan kebijakan. Tim ini akan terlibat dengan pemerintah yang ingin memanfaatkan data-driven tools untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di pasar negara berkembang.

“Di mClinica, kami menghubungkan farmasi terfragmentasi pada platform yang sama, menyediakan satu set terpadu data kesehatan global yang telah pernah dilakukan sebelumnya. Tujuan kami adalah untuk secara cepat mengubah ketersediaan dan kualitas data kesehatan secara global dalam hitungan bulan bukanlah dekade,” kata Founder dan CEO mClinica Farouk Meralli.

Ramalan Investasi Startup di Tahun Ayam Api

Tahun 2016 menunjukkan sikap baiknya kepada kancah startup Tanah Air. Berdasarkan Indonesia’s Tech Startup Report 2016, setidaknya ada empat catatan khusus yang dapat ditinjau dengan seksama.

Laporan tahunan yang disusun oleh DailySocial ini menunjukkan bahwa ranah e-commerce dan fintech masih bersaing ketat sebagai ranah tech startup dengan investasi terbanyak, masing-masing sebesar 21% dan 20%. Itulah fakta pertama yang kemudian diikuti dengan fakta kedua bahwa fintech diprediksi menjadi sektor terpopuler di tahun 2017.

Catatan ketiga, 40% dari investasi startup tahun 2016 ditujukan untuk startup tahap awal (seed) sedangkan 24% ditujukan untuk startup yang telah mencapai tahap Seri A.

Sayangnya, menyambung fakta di atas, catatan keempat dari annual report DailySocial ialah mengenai kurangnya talenta dan akses ke pendanaan yang diproyeksikan masih akan ‘menghantui’ tech startup di 2017 ini.

Tantangan tersebut dapat diubah menjadi peluang oleh para pelaku startup, asalkan mereka dapat memahami secara komprehensif apa yang telah dan akan terjadi pada ekosistem bisnis teknologi rintisan di Indonesia.

Go-Jek, contohnya. Startup yang telah mengakuisisi empat perusahaan teknologi India ini telah memasang standar tersendiri dalam memanfaatkan peluang tersebut, hingga akhirnya berhasil mengeruk pendanaan $550 juta dan secara resmi menjadi startup unicorn pertama di Indonesia.

Bagaimana langkah yang tepat untuk mencapai peluang agar mendapat pendanaan? Apakah pintu untuk meraih gelar unicorn seperti Go-Jek masih terbuka lebar di tahun Ayam Api? Menjawab pertanyaan semacam ini, Mandiri Capital Indonesia (MCI), Metra Digital Innovation (MDI), dan DailySocial.id berinisiatif kembali menggelar DigiTalks yang kali ini mengambil tema Investment Trend in 2017.

DigiTalks: Investment Trend in 2017 / DailySocial
DigiTalks: Investment Trend in 2017 / DailySocial

Diskusi panel DigiTalks pada kesempatan ini akan mengajak para startup owner/founder, revenue officer, business development officer, dan mereka yang ingin terlibat di dalam tubuh tech startup untuk mengenal dan berdiskusi mengenai lanskap pendanaan di tahun 2017 bersama pengamat industri dan venture capitalist, antara lain Raditya Pramana (Investment Manager Venturra Capital) Antonny Liem (CEO Merah Putih Incubator), dan Amir Karimuddin (Editor-in-chief DailySocial Business), yang akan dimoderatori oleh Aldi Adrian Hartanto (Head of Investments Mandiri Capital Indonesia).

DigiTalks yang akan diselenggarakan pada 31 Januari 2017 di Mandiri Inkubator Bisnis ini akan menguak cerita yang berkisar dari soal ekosistem startup Indonesia, pendanaan, juga tantangan dan masa depan tech entrepreneurs, venture capitalist, dan startup anak bangsa.

Dengan mendaftar gratis di sini, Anda akan mendapatkan insight terkini agar bisnis semakin bergengsi di tahun Ayam Api.

Disclosure: DigiTalks adalah kolaborasi bersama Mandiri Capital Indonesia, Metra Digital Innovation, dan DailySocial

MDI Ventures Lirik Investasi di Bidang Sekuriti Siber dan IoT

MDI Ventures, corporate venture capital dari Telkom, mengungkapan pihaknya sedang melirik investasi di perusahaan bidang sekuriti siber (cyber security) dan Internet of Things (IoT) pada tahun ini. Investasi tersebut merupakan bidang baru yang belum pernah dimasuki perusahaan sejak pertama kali luncurkan pada Februari 2016.

Fokus investasi perusahaan ini, sejalan dengan rencana kerja MDI Ventures yang ingin memfokuskan investasi di perusahaan digital terkemuka dan high-target dengan vertikal bisnis bergerak di pengadaan solusi untuk perusahaan, pemerintah, dan UKM, keamanan siber, internet mobile, dan IoT.

“Kami melirik perusahaan di bidang cyber security dan IoT. Untuk market Indonesia, kedua vertikal ini hampir sepenuhnya di-drive oleh demand dari sisi B2B (serta B2G). Oleh karena itu, butuh strategic investor yang bisa membantu startup untuk membangun bisnis dengan perusahaan besar (BUMN dan swasta) dan pemerintah,” terang CEO MDI Ventures Nicko Widjaja kepada DailySocial.

Tak hanya mengincar di dua sektor tersebut, perusahaan juga akan lebih agresif menghasilkan synergy value dari kolaborasi startup dengan Telkom, tidak hanya semata-mata agresif dari jumlah perusahaan yang akan diinvestasikan saja.

Menurut Nicko, hal itu akan diwujudkan dengan dua langkah. Pertama, untuk investasi langsung dari growth fund perusahaan, jumlah perusahaan baru yang akan mendapat dana investasi kurang lebih sama dengan tahun lalu. Namun dengan rata-rata nilai investasi yang lebih besar dan preferensi terhadap stage yang lebih matang.

Kedua, perusahaan juga akan lebih agresif di pendanaan tahap awal (seed) melalui follow on funding ke startup yang berpartisipasi di Indigo Accelerator.

Sebagai gambaran, ada 11 perusahaan yang mendapat kucuran dana segar dari MDI Ventures pada tahun lalu. Sembilan di antaranya adalah Geniee (Jepang), mClinica (Filipina), NComputing (Amerika Serikat), aCommerce (Thailand), Ematic (Singapura), RedDot Payment (Singapura), Adskom, Kata.ai, Goers (ketiganya dari Indonesia).

Sebelumnya, Nicko sempat mengungkapkan rencananya untuk berinvestasi di perusahaan “space tech” dari Amerika Serikat. Dari pemberitaan terakhir, nama perusahaan akan diungkapkan pada awal Desember tahun lalu.

“Kami akan menutup kesepakatan [investasi] dengan satu perusahaan space tech dari Amerika Serikat. Kami akan menjadi investor Indonesia pertama yang percaya bahwa era space tech akan datang ke sini. Perusahaan ini didirikan oleh mantan insinyur SpaceX,” katanya.

Pihaknya percaya dengan investasi ke sektor tersebut, sejalan dengan semakin banyaknya orang Indonesia yang sudah terhubung secara online sehingga kebutuhan coverage internet yang akan semakin luas dan cepat dalam beberapa tahun mendatang.

“Permintaan untuk terus terhubung dan cepat akan menjadi the biggest thing bersamaan dengan memasuki era digital. Di AS, pertumbuhan sektor ini telah berkembang lebih dari 40% per tahunnya.”

Tantangan VC di 2017

Menurut Nicko, pihaknya melihat iklim perekonomian tahun akan lebih membaik. Faktornya dari aspek pertumbuhan ekonomi makro naik menjadi 5,1% akibat impilkasi dari daya beli konsumen dan perusahaan yang meningkat.

Sementara dari sisi perilaku, konsumen dan bisnis di Indonesia sudah semakin terbuka dengan penggunaan teknologi. Di sisi lain, investor akan tetap berhati-hati untuk investasi perusahaan dengan business model yang mengandalkan “bakar uang” dengan unit economics yang buruk.

“Maka dari itu, tantangan untuk startup adalah mencari cara kreatif untuk tidak missing the boat dalam meraih peluang bisnis yang ada selagi dana fundraising yang ada masih terbatas.”

Dia menambahkan tantangan dan peluang untuk VC pada umumnya, terutama dengan fund yang sudah lama aktif, adalah permasalahan likuiditas. Dengan semakin agresifnya korporasi (baik asing maupun lokal) untuk ekspansi melalui akuisisi, investor harus semakin pro-aktif dalam menjalankan fungsi sebagai jembatan antara startup dan potential acquirers.

“Tanpa clear path to liquidity, sebuah VC akan semakin sulit untuk mencari LP untuk fundraising round selanjutnya,” pungkas Nicko.