Platform “Video Conference” Lokal Mencoba Peruntungan

Salah satu platform yang mencuat penggunaannya selama masa work from home diberlakukan adalah video conference. Tidak hanya dimanfaatkan untuk kegiatan bersosialisasi, video conference digunakan berbagai kalangan untuk belajar, bekerja, hingga membuka jaringan selama pandemi berlangsung. Meskipun didominasi platform global, sesungguhnya ada beberapa platform lokal yang menawarkan layanan serupa.

Ada sejumlah platform video conference lokal yang hadir dan memberikan solusi gratis dengan kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan platform populer, misalnya Qiscus Meet, Biznet Gio Meet, dan liteMeet (milik liteBIG).

“Selama aturan bekerja di rumah berlangsung, kami mencatat berdasarkan data dari beberapa provider peningkatan bandiwth penggunaan Video conference melonjak sekitar 9 kali lipat. Jumlah tersebut bahkan terus bertambah dari sebelum pandemi. Hal ini tentunya menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan,” kata CEO & Founder liteBIG M. Tesar Sandikapura.

Hal senada diungkapkan CEO Qiscus Delta Purna Widyangga. Sepanjang aturan bekerja di rumah berlangsung, Qiscus mencatat terjadi peningkatan penggunaan hingga lebih dari 10 kali lipat. Kenaikan dimulai di pertengahan bulan Maret 2020 dan terus meningkat hingga kini.

“Ini termasuk dari sisi jumlah conference maupun total durasi. Peningkatan ini cukup konsisten baik dari pelanggan personal maupun pelanggan enterprise kami,” kata Delta.

Butuh investasi besar, pasar korporasi jadi pilihan

Tesar melihat besarnya potensi platform video conference seperti liteMeet. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri platform asing, seperti Zoom dan Google Meet, masih menjadi platform unggulan.

Ia merasa produk lokal masih sulit bersaing karena besarnya kebutuhan investasi yang perlu digelontorkan. Hal ini menjadi kunci ketidakmampuan pemain lokal bersaing dengan pemain raksasa asing.

“Karena investasi di infrastruktur yang cukup mahal, dan secara business model, sudah banyak pemain asing yang melakukan kegiatan ‘bakar uang’ di awal, yaitu memberikan paket gratis,” kata Tesar.

Meskipun demikian, menjadi platform lokal bukan berarti tidak ada keunggulan. Salah satunya adalah penggunaan bandwidth lokal dan ketersediaan server secara fisik di dalam negeri.

“Untuk penggunaan [platform] video conference lokal, sebenarnya negara banyak diuntungkan, mulai dari pemakaian bandwith lokal menjadi optimal dan jauh lebih murah. Efeknya tentu pengurangan biaya pembelian bandwidth internasional oleh para operator dan Internet Service Provider (ISP). Kemudian efek kedaulatan bangsa yang jauh lebih terjaga, karena secara fisik server ini ada di Indonesia. Dan tentu pemasukan negara dari pajak bisa dapat lebih optimal,” kata Tesar.

Platform seperti liteMeet selama ini lebih fokus menyasar dunia pendidikan, instansi pemerintah, dan pelanggan korporat. Hal tersebut mereka terapkan karena kebutuhan platform video conference yang lebih privat demi menjaga privasi, aman, dan stabilitas yang tinggi.

“Kita berikan juga paket white label, artinya secara brand bisa diganti menggunakan identitas instansi tersebut. Tersedia juga paket on premise, di mana server-nya ada di dalam data center mereka sendiri,” kata Tesar.

Selain biaya yang besar, pengembangan platform video conference membutuhkan komitmen, kapasitas knowledge dan model bisnis yang sustainable. Hal tersebut menjadi tantangan terbesar untuk pemain lokal.

Platform seperti Qiscus mencoba menerapkan strategi yang relevan menggunakan teknologi yang sudah tersedia.

“Secara teknologi, pengembangan teknologi komunikasi real-time seperti chat dan video call memang challenging. Sementara, di sisi lain, ekspektasi pelanggan baik dari sisi fitur dan khususnya dari sisi skalabilitas dan reliabilitas sudah sangat tinggi dengan banyaknya alternatif dari pemain asing,” kata Delta.

Tak bisa dipungkiri jika pasar enterprise menjadi ceruk yang diharapkan oleh pemain lokal. Ada sejumlah kebutuhan enterprise lokal yang tidak bisa dipenuhi pemain asing.

“Kebutuhan ini antara lain fleksibilitas deployment (server lokal maupun on-premise untuk memenuhi ekspektasi compliance enterprise) ataupun fleksibilitas integrasi (dengan legacy system yang dimiliki enterprise),” kata Delta.

Qiscus Meet dilengkapi dengan SDK (Software Development Kit) yang sudah dipakai di beberapa perusahaan di Indonesia untuk berbagai macam use cases.

“Kami yakin dengan platform yang kami miliki dan dengan expertise kami di teknologi komunikasi real time kami memiliki peluang besar untuk menguasai pasar enterprise di Indonesia,” kata Delta.

Masa depan platform video conference

Penyebaran virus Covid-19 secara global telah menjadi pembuka jalan platform video conference memperluas layanan dan teknologi mereka untuk digunakan secara rutin. Harapannya ketika kondisi kembali normal, video conference masih menjadi metode populer untuk berproduktivitas.

“Dengan adanya Covid-19, saya melihat video conference platform akan menjadi the new normal dan menjadi semakin ubiquitous [bisa ditemukan di mana-mana]. Dan saya yakin ini akan bertahan paska pandemi, karena orang sudah melihat benefit dari penggunaan video conference ini,” kata Delta.

Nantinya diprediksi solusi video conference tidak hanya akan mencakup ranah pekerjaan, tapi juga ranah lain yang lebih spesifik, misalnya video conference sambil bermain game, nonton film bareng dengan video conference, dan pesta ulang tahun atau pernikahan menggunakan video conference.

“Ke depannya diprediksi platfrom video conference akan menjadi tools wajib bagi pelaku usaha, karena dalam waktu dua tahun ke depan, kegiatan fisik akan mulai jauh berkurang. Masa depan platform video conference mungkin akan jauh lebih advanced, seperti pemanfaatan teknologi AI dan Virtual Reality,” kata Tesar.

Menengok Aplikasi Penunjang Produktivitas Populer Selama Pandemi

Imbauan karantina di rumah selama masa pandemi membuat naiknya berbagai aktivitas yang dilakukan secara online. Sejumlah penggunaan aplikasi di berbagai vertikal menunjukkan kenaikan eksponensial, semisal aplikasi belanja online, hiburan, penunjang kerja, pendidikan, dan pesan antar makanan.

DailySocial dan startup riset pasar Populix membuat survei untuk melihat produktivitas online selama pandemi berlangsung. Survei ini mengambil 966 responden, mayoritas responden berada di Jakarta (50%), sisanya tersebar di Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, Semarang, dan Palembang.

Profil responden didominasi oleh laki-laki (60%) dan perempuan (40%). Usia terbanyak adalah kelompok 25-29 tahun (43%), 30-34 tahun (30%), 35-39 tahun (18%), dan 40-45 tahun (9%).

Responden juga menyatakan bahwa mereka sepenuhnya bekerja dari rumah (WFH) sebanyak 42%, semi-WFH (masuk kantor beberapa hari saja dalam seminggu, selebihnya kerja dari rumah) ada (36%), dan sisanya menjawab masih tetap masuk seperti biasa (22%).

Pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah mengenai kategori aplikasi yang digunakan selama karantina. Menariknya, responden paling banyak menjawab aplikasi produktivitas (seperti video konferensi, platform chat untuk bisnis, dan sebagainya) sebanyak 68%. Lalu disusul aplikasi hiburan (66%), aplikasi belanja (52%), aplikasi layanan pesan antar makanan (53%), dan aplikasi pendidikan (32%).

Tulisan ini akan khusus mendalami temuan kami dalam penggunaan aplikasi produktivitas, termasuk edukasi online, yang mendukung responden selama karantina. Aplikasi terpopuler yang paling banyak dipilih responden untuk bekerja adalah WhatsApp (68%), Zoom (16%), Google Meet/Hangout (4%), Facebook Messenger (4%), Skype (3%), Teams (2%), Slack (1%), dan lainnya (3%).

Jawaban yang paling banyak diberikan untuk durasi yang dihabiskan responden setiap harinya dalam mengakses aplikasi populer tersebut adalah lebih dari 5 jam (42%), 3-5 jam (26%), 1-3 jam (25%), dan kurang dari 1 jam (7%).

Pemanfaatan aplikasi edukasi online, turut disertakan untuk menambah tambahan informasi dari responden. Aplikasi yang paling banyak dipilih adalah Skill Academy by Ruangguru (66%), Arkademi (5%), Udemy (4%), Coursera (2%), Dicoding (2%), Hacktiv8 (2%), RevoU (2%), Udacity (2%), dan HarukaEdu (2%), Codepolitan (1%), Edx (1%), dan lainnya (12%).

Mereka memilih aplikasi tersebut karena ingin menambah pengetahuan (45%), konten lengkap (35%), harga murah (15%), dan lainnya (5%). Durasi yang dipakai setiap harinya saat mengakses aplikasi adalah 1-3 jam (49%), kurang dari 1 jam (25%), 3-5 jam (20%), dan lebih dari 5 jam (6%).

Menurut rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic”, dikutip dari Shift in the Low Touch Economy dan Board of Innovation, dipaparkan utilisasi aplikasi konferensi video tidak lagi sekadar untuk produktivitas kerja dan belajar, tetapi bergeser sebagai kegiatan sosialisasi.

Tercatat secara global, kenaikannya drastis sejak awal Januari sebesar 2% hingga awal Maret 2020 menjadi 55%. Data lain dari Brandwatch dan DW Report menyatakan Hangout dan Zoom mendominasi sebagai aplikasi konferensi video terpopuler. Bahkan basis pengguna Zoom disebutkan tumbuh dua kali lipat.

Minim partisipasi lokal

Satu poin yang terlihat dari hasil survei di atas adalah minimnya awareness responden terhadap kehadiran pemain lokal yang ikut menjajal kue bisnis yang sama.

Menurut SimilarWeb, WhatsApp menempati posisi pertama untuk aplikasi yang paling banyak dipakai orang Indonesia, khususnya di Google Play Store. Sementara, Zoom menempati posisi ke 11, menurut data termutakhir (diakses 3/5/2020).

Cerminan yang sama juga ditemukan Statista untuk aplikasi messaging terpopuler berdasarkan jumlah pengguna terbanyak di global. Pemenangnya tak lain adalah WhatsApp, lalu disusul Facebook Messenger, WeChat, QQ Mobile, Telegram, dan Snapchat, per Oktober 2019.

Diklasifikasi lebih jauh oleh SimilarWeb menurut kategori aplikasi bisnis, Zoom ada di urutan teratas, lalu disusul Hangouts Meet (2), Cisco Webex Meetings (3), Microsoft Teams (5), dan Video Conference – TeamLink (14).

Tidak nampak satupun platform konferensi lokal di peringkat ini.

DailySocial menemukan beberapa platform konferensi lokal yang hadir dan memberikan solusi yang sama, di antaranya Qiscus Meet, Biznet Gio Meet, dan liteMeet (milik liteBIG). Ketiganya menawarkan layanan secara gratis dan sebenarnya punya kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan aplikasi populer.

Dari level korporasi, ada Telkomsel dengan layanan serupnya diberi nama Cloud X. Layanan tersebut sebenarnya dirilis sejak awal tahun ini, namun tersedia untuk konsumen korporasi.

Perwakilan Telkomsel mengklaim peningkatan pengguna begitu terasa drastis sejak pemberlakuan kerja di rumah, naik 5000%, atau mencapai lebih dari 2000 akun. Dengan penjualan silang, pelanggan korporasi yang telah menjadi mitra dan pengguna operator seluler Telkomsel mendapat sejumlah keuntungan, misalnya harga paket yang jauh lebih murah.

Dari kalangan startup, ada Synergo yang mencoba jadi payung utama untuk seluruh kebutuhan kerja remote. Mereka membuat sistem Workflow Management System berfungsi untuk mengubah berbagai aplikasi penunjang kerja yang biasa dipakai perusahaan seperti Trello, Slack, Salesforce Asana, dan Dropbox menjadi satu payung saja.

Perusahaan sedang mengembangkan fitur video dan voice call yang masih dalam tahap beta untuk melengkapi layanannya tersebut. Mereka juga mengklaim jumlah pengguna Synergo yang melakukan sign up mandiri naik 10 kali lipat sejak Maret 2020.

Kesempatan pemain lokal untuk bersaing akan semakin kecil bila model bisnis yang diterapkan langsung ke end-user. Ironi tersebut bisa dilihat dari perjalanan pivot liteBIG. Sejak 2016, perusahaan masuk ke ranah korporasi menawarkan solusi private messenger platform.

Kini mereka memosisikan diri sebagai superapp untuk chat messenger dengan menambahkan fitur Timeline, SocioCommerce, Pembayaran PPOB, Transfer, Donasi, Kulbig, Event dan Qurban.

Kondisi tersebut juga dialami oleh Qiscus, awalnya mereka adalah penyedia solusi multiplatform messenger untuk korporat. Kini, mereka beralih sebagai penyedia multichannel chat untuk meningkatkan consumer experience buat pelanggan korporasi. Salah satu bentuknya adalah solusi in-app chat.

Dari dua contoh di atas memberikan gambaran jelas bahwa kesempatan pemain lokal agar bisa bersaing dengan aplikasi global, apabila bisnisnya langsung ke end user, bisa dipastikan kurang memiliki kesempatan untuk bersaing secara sejajar. Mengombinasikan ekosistem atau khusus menyasar pelanggan korporat seperti yang dilakukan Telkomsel dan Synergo bisa menjadi strategi bertahan.

Lantaran, aplikasi konferensi video diposisikan sebagai nilai tambah yang diberikan buat pelanggan dari semua rangkaian ekosistem layanan penunjang produktivitas kerja dan berbisnis.


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix

Vutura Tawarkan Solusi Mudah untuk Membuat Chatbot

Tren pengembangan chatbot tampaknya masih terus berlanjut. Salah satu tandanya dengan hadirnya pemain baru di industri ini. Namanya Vutura, perusahaan rintisan baru yang mencoba menawarkan layanan untuk memudahkan pengguna membuat chatbot secara mandiri.

“Vutura adalah platform chatbot berteknologi AI, kami membantu pebisnis maupun individu untuk melayani banyak pelanggannya dengan mudah. Kami menyediakan wadah, sehingga para pelaku bisnis dapat bebas membuat asisten virtual yang sesuai dengan kebutuhan bisnisnya,” terang Co-founder & CMO Vutura Herjuna Dony Anggara Putra.

Startup tersebut digawangi oleh empat orang founder, yakni Riztama Prawita, Arief Faizin, Herjuna Dony Anggara Putra dan Arfiyah Citra Eka Dewi. Vutura juga merupakan portofolio Digital Amoeba besutan Telkom — program inkubasi startup internal yang diikuti oleh kalangan staf perusahaan. Dalam debutnya mereka juga sudah mendapatkan pendanaan awal dari Telkom dengan nilai yang tidak disebutkan.

“Saat ini chatbot Vutura sudah bisa diimplementasikan pada berbagai aplikasi pesan seperti Telegram, Line, Facebook Messenger, dan WhatsApp. Selain aplikasi pesan tersebut, juga dapat diimplementasikan pada chat widget yang berada pada website dan mobile apps,” terang Co-Founder & CEO Vutura Riztama.

Layaknya platform chatbot pada umumnya, Vutura juga dibekali teknologi NLP (Natural Languange Processing) berbahasa Indonesia untuk memahami konteks percakapan dengan penggunanya.

Sebelumnya di Indonesia sudah ada beberapa startup yang sajikan layanan serupa, di antaranya Kata.ai dan Botika. Tren pemanfaatan AI dalam bisnis membuat bisnis chatbot berkembang pesat, terlebih dengan automasi tersebut beberapa bisnis telah mampu menghasilkan efektivitas dalam penanganan pelanggan.

Produk chatbot, dalam hal ini yang diimplementasikan sebagai sistem layanan pelanggan, dikembangkan berangkat dari banyaknya kebiasaan yang berulang, salah satu contohnya ketika penjual menjawab pertanyaan pelanggannya mengenai produk. Dengan teknologi yang dikembangkan, Vutura berharap bisa memecahkan permasalahan tersebut dan mempererat hubungan pemilik bisnis dengan pelanggannya.

“Karena Vutura punya tujuan untuk mempererat hubungan antara pemilik bisnis dan para pelanggannya sehingga tidak menutup kemungkinan kami berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk dapat membantu para pemilik bisnis dalam meningkatkan customer engagement experience,” imbuh Riztama.

Selain bisa mendukung banyak platform pesan instan, Vutura juga terintegrasi dengan berbagai macam tools, termasuk Multichannel Conversational Platform milik Qiscus dan beberapa lainnya. Mereka juga menjalin beberapa kemitraan, di antaranya dengan Freshworks, Line, termasuk dengan Telkom.

Pengguna hanya perlu menyelesaikan proses pendaftaran dan pembayaran untuk membuat chatbot mereka. Pihak Vutura mengklaim mereka menyajikan langkah yang sederhana atau tanpa coding sama sekali dalam hal pembuatan asisten virtual atau chatbot.

Hingga saat ini dari sistem Vutura sudah lahir 354 chatbot dengan 98 ribu percakapan. Angka ini juga dipastikan akan terus bertambah mengingat Vutura baru saja diluncurkan dan mulai diperkenalkan ke khalayak ramai.

“Kami menyediakan sistem berlangganan, pengguna bisa langsung mendaftarkan akunnya melalui website kami dan langsung mulai membuat chatbot-nya sendiri. Kami menyediakan dokumentasi dan tutorial untuk mempermudah pengguna. Selain itu, untuk korporasi dan atau perusahaan yang menginginkan layanan kustomisasi dapat menghubungi tim kami langsung,” terang Dony.

Di satu tahun perjalanannya, Vutura masih ingin memperkenalkan kecanggihan dan kebermanfaatan teknologi AI kepada masyarakat.

“Kami ingin memasyarakatkan teknologi AI agar para pelaku bisnis dapat meningkatkan experience dalam memberikan layanan kepada pelanggannya,” terang Dony ketika ditanya strategi mereka untuk mengarungi 2020 ini.

Aplikasi Pesan Kiwari Chat Berganti Identitas Jadi ChatAja

Beberapa waktu lalu DailySocial memuat berita mengenai layanan pesan instan Kiwari Chat. Aplikasi yang mengandalkan SDK Qiscus itu kini berganti nama menjadi ChatAja.

Aplikasi Kiwari di Google Playstore resmi diganti, domain Kiwari.chat pun tak bisa lagi diakses dan berganti jadi ChatAja.co.id. Baik nama, logo, maupun tone warna yang digunakan mengingatkan saya kepada aplikasi e-money hasil kolaborasi BUMN, LinkAja.

Sejauh ini belum ada informasi lebih jauh dari pihak Kiwari terkait rebranding ini. Namun beberapa informasi di situs resminya, diperkuat dengan pengirim OTP password ketika melakukan pendaftaran atau login melalui web, mencerminkan bahwa ChatAja saat ini berada di bawah naungan Telkom.

Dari segi fitur, tidak banyak yang berubah dari yang ada di Kiwari Chat. Mengandalkan tampilan yang sederhana, kini warnanya didominasi putih dengan aksen merah. Masih ada fitur panggilan suara, video, dan fitur lainnya yang khas dengan aplikasi pesan instan.

ChatAja juga menyediakan beberapa bot untuk memudahkan penggunanya mendapat informasi. Selain itu ChatAja juga memiliki ChatBot Builder, serupa dengan BotFather milik Telegram. Sebuah akun yang membantu pengguna untuk membuat chatbot mereka sendiri.

Di laman resminya mereka memperkenalkan diri sebagai aplikasi yang berusaha menjaga kedaulatan data penggunanya.

“Kami ingin menjaga kedaulatan data komunikasi secara digital melalui aplikasi Instant Messaging milik Indonesia karena tidak ada jaminan bahwa data ketika kita berkomunikasi menggunakan Instant Messaging yang tersimpan di luar Indonesia aman dan terjaga,” ungkap tulisan di laman Tentang ChatAja.

Sejak awal Kiwari hadir sebagai aplikasi lokal yang mengusung keamanan data. Selain semua pesan yang tersimpan di Indonesia mereka juga menyediakan enkripsi end-to-end untuk memastikan keamanan data dan rekam percakapan pengguna mereka.

Application Information Will Show Up Here

Gandeng Qiscus, Bukalapak Terapkan Teknologi Chat Terpadu

Startup pengembang teknologi real-time communication (RTC) untuk membantu perusahaan mengembangkan dan mengelola chatbot Qiscus mengumumkan kerja sama dengan Bukalapak menghadirkan fitur chat ke jutaan pengguna Bukalapak.

Adanya kesamaan visi antara Qiscus dan Bukalapak menjadi salah satu alasan mengapa kolaborasi ini terjalin.

“Kerja sama ini merupakan hal yang cukup menantang bagi Qiscus. Meskipun mendaulatkan diri sebagai pionir pengembang teknologi chat di Indonesia, menangani klien sebesar Bukalapak tetap memiliki tantangannya tersendiri. Salah satunya adalah bagaimana kita dapat mengaplikasikan best practice teknologi untuk dapat mengoptimalkan in-house system chat Bukalapak agar tetap beroperasi sebagaimana mestinya walaupun sedang dilakukan pembaruan sistem. Hal ini penting mengingat saat ini Bukalapak telah digunakan oleh puluhan juta pengguna di Indonesia yang membutuhkan layanan yg selalu optimal,” kata CEO Qiscus Delta Purna Widyangga.

Dengan perubahan yang mendasar dari segi arsitektur, diharapkan performa chat di aplikasi Bukalapak dapat terus mampu menangani traffic dari pelanggan yang terus membesar di dalam bisnis Bukalapak.

Bukalapak menargetkan melalui kerja sama ini bisa memaksimalkan penggunaan server 4 kali lipat, penggunaan bandwidth sebesar 20 kali lipat, dan menekan biaya pengeluaran.

“Chat digunakan sebagai medium komunikasi yang efektif bagi rekanan dan pelanggan untuk saling memahami kebutuhan masing-masing. Adanya komunikasi yang efektif akan menghadirkan solusi dan program yang inovatif. Kendati demikian, dengan tingginya pertumbuhan bisnis di Bukalapak, adanya fitur chat di dalam aplikasi ini memerlukan usaha yang tidak sedikit, khususnya dalam hal teknis seperti pengembangan fitur lanjutan ataupun optimasi penggunaan server yang berpengaruh pada biaya operasional,” kata VP Engineering Bukalapak Ibrahim Arief.

Application Information Will Show Up Here

E-Commerce vs Social Commerce: Adu Kemudahan Berbelanja Online

Ibu saya makin mahir mengutak-atik media sosial dari smartphone-nya. Suatu saat ia iseng berkonsultasi tentang produk taplak meja yang tak sengaja ia temukan di Instagram.

“Motif taplak mana yang bagus?”. Saya yang lebih terbiasa belanja lewat platform e-commerce membalasnya dengan nada sangsi, “Yakin Bu mau beli lewat sini? Aku cariin di tempat biasa aku beli deh.”

Selang beberapa waktu, tiba-tiba ibu memanggilku ke kamarnya. Dia bilang, “Tolong kamu transfer uang ke rekening ini ya, nanti ibu kasih uangnya tunai.” Sontak aku bertanya lagi, “Ibu yakin? Tokonya bener gak?” sambil saya cek isi chat ibu dengan penjualnya di WhatsApp.

Isinya tidak ada yang mencurigakan. Berhubung nilai barang yang ibu beli tidak terlalu mahal, akhirnya permintaan ku turuti. Paket pun datang beberapa hari kemudian, barang yang dipesan sesuai deskripsi.

Contoh keseharian di atas bisa menjadi contoh bagaimana kebiasaan orang belanja online saat ini. Ada yang cenderung tanya detail karena khawatir takut salah beli. Ada juga yang lebih suka cari di satu aplikasi, lalu dibanding-bandingkan dari segala sisi.

Disamping kekurangan dan kelebihan, belanja lewat media sosial punya banyak penggemarnya sendiri. Kebiasaan tersebut akhirnya membentuk dua kubu, belanja lewat media sosial atau platform e-commerce. Makin ke sini, sekat antara keduanya semakin jadi abu-abu, sehingga melahirkan konsep social commerce.

Laporan “Asia Social Commerce Report 2018” yang dirilis PayPal bersama Blackbox Research menunjukkan Instagram dan Facebook menjadi media sosial yang paling banyak digunakan penjual di Indonesia untuk mempromosikan bisnisnya.

Platform ini berkembang pesat karena mampu memberikan pengalaman yang berbeda dengan belanja offline. Sebab memungkinkan ada rekomendasi dari teman atau ulasan dari konsumen lainnya yang akhirnya memengaruhi keputusan calon konsumen untuk membelinya.

Alasan Merchant Berjualan di Media Sosial Menurut Survei PayPal / DailySocial
Alasan Merchant Berjualan di Media Sosial Menurut Survei PayPal / DailySocial

Studi ini melibatkan 4 ribu konsumen dari Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Thailand, Filipina, dan Indonesia, serta 1.400 merchant UKM. Sebanyak 94% pedagang di Filipina memanfaatkan Facebook, begitu pula di Indonesia (92%), dan India (89%). Instagram paling banyak dipakai oleh merchant dari Indonesia (72%), Filipina (56%), dan Hong Kong (50%).

Dijelaskan juga tiga alasan utama berdagang di media sosial semakin diandalkan. Sebanyak 63% responden menilai platform ini lebih mudah meraih pasar potensial yang lebih luas; 57% responden menilai lebih gampang buka bisnis lewat media sosial; 48% responden mengatakan platform ini dapat meningkatkan jaringan teman dan kenalan yang bisa mendorong pertumbuhan bisnis.

Mendukung laporan di atas, dalam survei terbarunya, APJII menyebut Facebook (50,7%) sebagai media sosial yang paling banyak dikunjungi responden. Diikuti Instagram (17,8%), YouTube (15,1%), Twitter (1,7%), dan LinkedIn (0,4%).

APJII juga menyoroti layanan yang paling sering dipakai untuk belanja online. Posisi teratas ditempati oleh Shopee (11,2%), Bukalapak (8,4%), Lazada (6,7%), Tokopedia (4,3%), dan Traveloka (2,3%). Barang yang dibeli menurut responden adalah sandang (14,6%), buku (4%), aksesoris (3%), tas (2,9%), dan barang elektronik (3%).

Barang yang Pernah Dibeli Secara Online Menurut Survei APJII / DailySocial
Barang yang Pernah Dibeli Secara Online Menurut Survei APJII / DailySocial

Bicara potensi, bisa menengok laporan McKinsey “The digital archipelago: How online commerce is driving Indonesia’s economic development (2018)”. Laporan ini memprediksi sekitar 30 juta orang yang telah belanja lewat platform online dari total populasi 260 juta di 2017.

Adapun prediksi nilai transaksi GMV dari online commerce mencapai $8 miliar di periode yang sama. Angka berasal dari kontribusi platform e-commerce resmi sebesar $5 miliar, dan informal commerce lebih dari $3 miliar (ada yang menyebut sampai $5 miliar).

McKinsey memproyeksikan angka GMV bakal menggelembung hingga $55 miliar-$65 miliar di 2022 mendatang. Informal commerce disebutkan berkontribusi sekitar $15 miliar-$25 miliar, sisanya dikuasai oleh e-commerce resmi.

Penetrasi online commerce bakal naik jadi 83% dari 74% di tahun yang sama. Secara paralel, rata-rata pengeluaran individu juga tumbuh dari $260 per tahun menjadi $620 di 2022.

Kenaikan platform e-commerce lantaran meningkatnya kepercayaan konsumen terhadap ekosistem dan makin banyak UMKM yang “go online,” variasi produk yang dijual semakin banyak, dan opsi pengiriman yang dapat diandalkan.

Potensi belanja online menurut riset McKinsey & Company / DailySocial
Potensi belanja online menurut riset McKinsey & Company / DailySocial

McKinsey mendefinisikan e-commerce resmi sebagai jual beli barang fisik melalui platform online yang memfasilitasi transaksi dengan menampilkan produk dan memungkinkan pembayaran dan pengiriman. Pemain yang masuk dalam kategori ini seperti Tokopedia, Blibli, Bukalapak, Lazada, Shopee, dan niche juga masuk Zalora, Hijup, Zilingo.

Sementara, informal commerce sebutan lain dari social commerce, memfasilitasi jual beli barang fisik melalui platform media sosial dan kirim pesan instan, seperti Facebook, Instagram, Line, dan WhatsApp, namun pembayaran dan pengiriman ditangani di tempat lain.

McKinsey menjelaskan social commerce memegang peranan penting dalam perkembangan transaksi digital di Indonesia. Lantaran, platform ini dipakai untuk jembatan menuju “go digital,” juga cara untuk menghindari biaya yang sangat tinggi dari iklan media tradisional, sebelum bermigrasi ke platform e-commerce resmi.

Revolusi fitur commerce di Facebook dan Instagram

Berdasarkan laporan di atas, bisa dikatakan Facebook dan Instagram bisa dikatakan sebagai media sosial paling dicintai semua orang. Indonesia menjadi salah satu negara utama buat platform besutan Mark Zuckerberg ini dalam menggenjot pendapatan iklannya.

Menengok laporan keuangan Facebook, total pengguna secara global tumbuh 8% yoy selama semester I 2019. Pengguna aktif harian (DAU) mencapai 1,59 miliar dengan pertumbuhan hampir 1,9% per kuartalnya. Kontributornya dari India, Indonesia, dan Filipina. Sementara, pengguna aktif bulanannya (MAU) mencapai 2,41 juta dengan pertumbuhan 1,3%.

Pendapatan Facebook mayoritas berasal dari bisnis iklan. Di periode yang sama, pertumbuhan bisnis iklan mencapai 28% menjadi $16,6 miliar (lebih dari 236 triliun Rupiah) dengan kontribusi 98,4% untuk keseluruhan pendapatan.

Di Indonesia sendiri, menurut We Are Social, pengguna Facebook ada lebih dari 130 juta akun dan 62 juta akun Instagram pada tahun lalu. Sementara, Twitter dan Snapchat tidak ada separuhnya, secara berturut-turut sebesar 6,43 juta dan 3,8 juta. Angka ini dilihat berdasarkan pengguna aktif bulanan (MAU).

Kue bisnis iklan digital yang begitu lezat ini, jadi manuver Facebook dalam memperkuat fitur commerce di dalam platform-nya sendiri, maupun di anak-anak usahanya. Namun, bila dibandingkan antara keduanya, Instagram dipercaya banyak ahli sebagai kandidat terkuat untuk mendalami social commerce.

Facebook punya fitur Marketplace resmi hadir di 2016, pengguna bisa melihat produk yang dijual pedagang dan menghubunginya lewat Messenger. Yang dijual bermacam-macam, tidak hanya fesyen saja tapi juga produk kecantikan, elektronik hingga properti.

Selain itu, ada fitur Buy and Sell Groups. Konsepnya seperti OLX, namun ada sedikit rasa Kaskus karena harus tergabung dalam grup komunitas untuk bisa bertransaksi. Disediakan pula Messenger untuk menghubungi penjual.

Fitur Facebook Marketplace / Facebook
Fitur Facebook Marketplace / Facebook

Dari segi penawaran memang menggiurkan, dengan pendekatan lokal, penjual ditawarkan kemudahan untuk menjajakan dagangannya selayaknya sedang berselancar di Facebook. Mereka bisa dilacak berdasarkan lokasi, harga, dan ketertarikan calon pembeli. Bahkan dapat pasang iklan agar terpampang di laman teratas.

Dibandingkan dengan Instagram, sejak awal fitur commerce diperkenalkan, Instagram terlihat lebih serius. Didukung dari basis awal sebagai aplikasi berbagi foto, visual jadi unsur yang paling ditonjolkan. Pun, konten visual jadi tren generasi muda dalam mengonsumsi konten di internet.

Setelah menyediakan profil bisnis dan layanan iklan, Instagram berhasil mengalahkan dominasi Snapchat sebagai video durasi singkat lewat Stories-nya. Kemudian, makin “gahar” setelah menambahkan IG Shop sebagai cikal bakal social commerce, memungkinkan pengguna untuk langsung belanja di akun bisnis dalam in-app browser.

Fitur Commerce di dalam Instagram / Instagram
Fitur Commerce di dalam Instagram / Instagram

Cukup tap foto yang diunggah profil bisnis, nanti akan terlihat tag harga barang dan tombol View on Website untuk diarahkan ke situs brand menyelesaikan pembayaran. Atau memasukkan produk ke dalam kolom wishlist. Fitur ini punya kelemahan karena pengguna harus keluar dari aplikasi untuk langsung membeli barang yang diincar.

Akhirnya muncul pembaruan teranyar, hadirnya fitur in-app checkout. Pengguna dapat menyimpan informasi pembayaran di Instagram untuk melakukan pembelian yang lebih cepat. Opsi pembayaran yang ada baru berbasis kartu, seperti Visa, Mastercard, Amex, Discover, dan PayPal.

Meski baru disediakan secara terbatas untuk 20 brand global, tapi kemungkinan besar keputusan ini bisa membawa Instagram jadi kandidat terkuat untuk social commerce ke depannya.

Di Indonesia, IG Shop baru sampai ke tahap cek harga lewat foto yang diunggah dan diarahkan ke situs brand. Itupun masih dalam tahap uji coba, baru sebagian profil bisnis yang bisa merasakannya.

“IG Shop masih percobaan di Indonesia, sehingga belum semua akun bisa dapat itu. Fitur ini punya tombol Shop Now untuk dorong konsumen lakukan pembelian atau reservasi di Instagram,” terang Head of Emerging Business & SMBs Facebook & Instagram South-East Asia Ferdy Nandes saat membuka Akademi Instagram di Jakarta.

Posisi Instagram sebagai platform social commerce terkuat

Kepada DailySocial, juru bicara Instagram menegaskan pihaknya bukan platform e-commerce, sehingga tidak ada transaksi yang terjadi. Yang dilakukan justru membantu semua pelaku dagang online, salah satunya platform e-commerce, untuk menemukan, terhubung, dan berinteraksi dengan calon pembeli lewat foto, video, dan fitur-fitur bisnis yang tersedia di Instagram.

“Ketika pembeli menemukan produk yang mereka sukai di akun bisnis Instagram, mereka akan mengklik produk tersebut dan kemudian dibawa ke situs toko tersebut atau platform e-commerce di mana transaksi terjadi,” ujarnya.

Mereka menambahkan, “Peran kami di sini adalah membantu e-commerce atau online shop menemukan pelanggan. Jika diibaratkan dengan sebuah mobil, kami adalah mobil yang membawa calon pembeli ke toko mereka. Kami bukan tokonya.”

Klaim Instagram ini cukup dimaklumi karena fitur commerce yang ada saat ini memang benar demikian, transaksi memang terjadi di luar platform. Kondisinya akan berbeda ketika fitur in-app checkout di bawa ke Indonesia. Setiap profil bisnis dari manapun bisa menerima transaksi dari pelanggan di manapun karena borderless.

Ini akan jadi topik tersendiri yang sangat menarik, dipastikan semua pemain e-commerce ketar ketir karena selama ini Instagram baru dimanfaatkan buat channel pemasaran saja.

Media Sosial yang Paling Sering Dikunjungi Menurut Survei APJII 2018 / DailySocial
Media Sosial yang Paling Sering Dikunjungi Menurut Survei APJII 2018 / DailySocial

Besarnya potensi usaha mikro lahir lewat platform media sosial, semakin meyakinkan Facebook maupun Instagram lebih serius menggarap pengusaha mikro untuk menggunakan platform-nya untuk beriklan. Inovasi untuk profil bisnis pun terus dilakukan, menariknya tersedia secara gratis.

Pengusaha mikro dapat mengakses secara gratis profil bisnis untuk mendapatkan data insights mengenai unggahan mana saja yang memiliki performa terbaik, demografi audiens mereka, waktu posting terbaik, dan lainnya.

“Mereka dapat mempelajari hasil data insights untuk memahami karakteristik audiens mereka, sehingga dapat membuat strategi yang tepat untuk menjangkau para audiens tersebut.”

Keseriusan perusahaan, sambung juru bicara Instagram, dilatarbelakangi oleh studi IPSOS di Indonesia bertajuk “Dampak Instagram pada Usaha di Indonesia (2018)”. Ditemukan bahwa 90% responden pernah menggunakan Instagram untuk berkomunikasi dengan bisnis; 76% responden pernah membeli produk dari sebuah bisnis setelah menemukan bisnis tersebut di Instagram.

Terakhir, 66% responden mempertimbangkan untuk membeli sebuah produk maupun jasa yang mereka lihat di Instagram. Berikutnya, 81% responden menggunakan Instagram untuk mencari informasi lebih lanjut ketika mereka tertarik pada sebuah produk; Lebih dari 80% wirausahawan muda berusia di bawah 35 tahun menyatakan Instagram bantu mereka capai target bisnis.

Tidak disebutkan seberapa banyak angka penjual UMKM yang telah memanfaatkan profil bisnis ini.

Tahun ini, Instagram mulai inisiasi program Akademi Instagram yang diluncurkan pertama kali di Indonesia. Ini adalah program pelatihan global bagi wirausahawan yang ingin meningkatkan keterampilan digital dalam meningkatkan bisnis mereka dengan tools dari Instagram. Dalam debutnya, program ini menyasar lebih dari 1.000 wirausahawan berusia di bawah 35 tahun berlokasi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

Head of Emerging Business & SMBs Facebook & Instagram South-East Asia Ferdy Nandes di Akademi Instagram Jakarta / Instagram
Head of Emerging Business & SMBs Facebook & Instagram South-East Asia Ferdy Nandes di Akademi Instagram Jakarta / Instagram

Di luar itu, Instagram membantu Tokopedia untuk kolaborasi pemasaran digital untuk kampanye Kejutan Belanja Untung (KEBUT) pada tahun lalu. Diklaim pertama kalinya di dunia, Instagram melakukan inovasi IG Live untuk Tokopedia agar mereka bisa membuat semacam infomercial untuk mengundang konsumen beli produk merchant.

“Tahun lalu kami juga mengadakan program bersama GoFood bernama InstaMarket untuk memberikan pelatihan bagi para merchant GoFood untuk bisa mengasah keterampilan mereka dalam digital marketing.”

Bagaimana dengan Facebook Indonesia? Sayangnya mereka menolak memberikan tanggapan seluruh pertanyaan yang diajukan DailySocial.

Sebetulnya, fitur commerce ini tidak hanya dimiliki Instagram dan Facebook saja. Ada juga Snapchat dan Pinterest. Akan tetapi, keduanya belum memiliki gaung yang cukup untuk dimanfaatkan pelaku UKM untuk berjualan.

Tapi ini semua tinggal tunggu waktu saja. Pinterest baru mengumumkan dibuka kantor regional di Singapura untuk melayani konsumen di Asia Tenggara dan India. Secara global, pengguna aktif bulanan Pinterest mencapai 300 juta orang. Lebih dari 200 miliar Pin tersimpan, melayani miliar rekomendasi pribadi tiap harinya.

APAC adalah salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat, dengan jutaan pengguna Pinterest setiap bulannya. Jumlahnya ini meningkat lebih dari 50% selama setahun terakhir. Di Indonesia saja, hampir dua juta ide tersimpan tiap hari.

Apakah social commerce jadi ancaman buat pemain e-commerce?

Pergerakan IG Shop dan Facebook Marketplace, tentunya perlu diwaspadai. Tapi jangan sampai antipati atau malah antisipatif dengan platform media sosial terbesar itu. Karena di sanalah prospek konsumen yang belum tersentuh oleh para pemain e-commerce.

Kunci terpenting adalah terus berinovasi dan mau beradaptasi. Setidaknya inilah kesimpulan jawaban yang DailySocial terima dari pemain e-commerce.

Potensi Pertumbuhan Transaksi E-Commerce di Indonesia Menurut Laporan McKinsey / DailySocial
Potensi Pertumbuhan Transaksi E-Commerce di Indonesia Menurut Laporan McKinsey / DailySocial

SVP Merchant Sales, Operation & Development Blibli Geoffrey L Dermawan menjelaskan, persaingan e-commerce dan social commerce tentu tidak bisa terelakkan lagi. Pilihan belanja tentunya kembali jatuh ke tangan konsumen saat mereka melihat barang yang diinginkan.

Kendati demikian, perusahaan tidak antipati itu. Justru memanfaatkan mereka untuk memasarkan barang-barang, seiring dengan tren positif dari strategi seperti ini. “Namun sebuah bisnis tidak bisa sepenuhnya bergantung pada media sosial saja. Proses penjualan harus dilakukan secara menyeluruh atau dikenal dengan omni-channel,” tutur Geoffrey.

Sependapat dengan Geoffrey, Shopee juga memanfaatkan media sosial dan tools-nya untuk kebutuhan pemasaran bertujuan memberikan pengalaman belanja yang berbeda kepada konsumen Shopee.

“Kami melihat bahwa social commerce sebagai bagian dari e-commerce, itu terbukti dengan fitur social commerce yang kami gunakan di akun Instagram Shopee,” ujar Country Brand Manager Shopee Rezky Yanuar.

Karena ada ketergantungan tinggi, makanya pemain e-commerce perlu mengakali. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Tokopedia. Dari pengamatannya, dalam era social commerce, terjadi perubahan perilaku konsumen yang mana mereka mencari inspirasi sekaligus belanja dalam waktu yang sama.

Influencer dianggap punya peranan penting dalam sebuah proses kampanye. Strategi tersebut akhirnya diambil oleh Tokopedia di berbagai tipe kampanye, seperti brand dan sales di berbagai channel media sosial.

“Ini upaya kami agar tetap relevan dengan target audiens kami, salah satunya generasi milenial, di mana mereka mengonsumsi media sosial setiap hari dengan influencer sebagai inspirasi mereka,” tambah VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak.

Strategi tersebut kemudian diterjemahkan lebih dalam menjadi sebuah fitur baru “Tokopedia by Me,” membuka ruang interaksi baru antara pembeli dengan role model atau orang kepercayaan yang merekomendasikan produk favorit.

Memanfaatkan influncer di media sosial juga dimanfaatkan oleh Zalora. Pasalnya, bagi Zalora sebagai situs e-commerce yang fokus ke produk fesyen, kental dengan unsur visual yang harus selalu ditekankan.

“Kami hadir di platform-platform di mana target audience kami berada, contohnya di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan YouTube. Ketiganya adalah medium yang tidak hanya kami gunakan untuk memberi update, tapi juga buat engage dengan pelanggan kami,” ucap Head of Marketing Zalora Indonesia Dwi Ajeng.

Hijup juga tergolong aktif dalam memanfaatkan platform media sosial untuk meningkatkan bisnis. Head of Creative Content Hijup Anastasia Gretti mengatakan perusahaan memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk memberikan konten inspirasi, tapi juga permudah konsumen dalam berinteraksi dengan tim customer service.

Seperti contohnya, memanfaatkan fitur Facebook Live, memberikan sarana komunikasi dua arah, dan pembelian dipermudah lewat WhatsApp. Kendati, inti dari proses transaksi di Hijup adalah melalui situs dan aplikasi

“Dalam bisnis, Hijup yakin bahwa kami harus terus dapat beradaptasi dengan lahirnya berbagai inovasi maupun perkembangan teknologi dan media sosial,” terang Anastasia.

Jual praktis, keamanan, dan layanan menyeluruh

Seperti laporan McKinsey sebut, belanja online di informal commerce tidak terintegrasi untuk pembayaran dan pengirimannya. Seluruh prosesnya harus manual dilakukan oleh penjual yang akhirnya jadi makan waktu. Pengalaman ini tidak harus dirasakan ketika konsumen belanja lewat platform e-commerce.

Geoffrey L Dermawan menerangkan keunggulan yang ditawarkan platform e-commerce adalah sistem yang lebih komprehensif. Mulai dari kemudahan mencari produk di satu platform, pilihan pembayaran yang aman dan variatif, ketersediaan dan penyortiran produk, serta pelayanan purna jual yang lebih terstruktur.

Keseluruhan ini adalah bentuk pertanggungjawaban transaksi yang lebih jelas guna mendapatkan kepercayaan dari konsumen. Kepercayaan dalam bertransaksi inilah yang harus selalu dipertahankan dengan layanan-layanan demi memastikan kepuasan pelanggan terpenuhi.

Pun demikian Shopee. Rezky Yanuar menjelaskan, pihaknya menekankan pada pentingnya keamanan yang didapat konsumen ketika bertransaksi lewat platform-nya. Untuk menjangkau seluruh aspek masyarakat, makanya tersedia berbagai opsi pembayaran. Bisa melalui m-banking, ATM, minimarket terdekat, bahkan di platform lain bisa dengan cicilan tanpa kartu kredit.

“Karena kami ada di tengah, antara penjual dan pembeli, makanya konsumen bisa tenang melakukan transaksi.”

Tidak hanya sistem yang lebih terintegrasi, Dwi Ajeng menambahkan, kelebihan platform e-commerce juga ada di kredibilitas produk yang 100% original. Setiap barang diterima dari distributor, tim Zalora melakukan quality control demi memastikan barang aman sebelum dikirim ke konsumen. Bila ada keluhan, ada tim customer service yang siap dihubungi dari berbagai lini.

“Kami juga punya kebijakan, konsumen dapat mengembalikan produk apabila tidak sesuai dalam 30 hari.”

Kelebihan lainnya adalah terekamnya seluruh data transaksi konsumen. Data adalah aset yang paling utama di industri e-commerce, pengelolaan data yang baik dan strategis dapat mendukung bisnis suatu e-commerce tersebut.

Hijup fokus pada potensi digital dalam mempromosikan produk dan brand yang bergabung. Kami membaca perubahan tren, kebiasaan konsumen, dan lain-lain melalui social commerce. Namun sebagai validasinya, kami selalu mengacu pada data yang kami miliki di situs Hijup,” ujar Anastasia.

Berlomba-lomba lebih dari sekadar tempat jual beli barang

Agar tetap terdepan, tentu inovasi harus terus dilakukan. Setidaknya fokus para pemain e-commerce, untuk bersaing dengan kompetitor baik yang satu ranah maupun dengan social commerce, saat ini mengarah pada bagaimana konsumen betah berlama-lama di dalam aplikasi mereka untuk melakukan berbagai aktivitas.

Makanya pengembangan fitur kini sudah bermacam-macam, tidak hanya jual produk fisik kini juga jual produk jasa dan virtual. Shopee, Bukalapak dan Tokopedia bisa jadi contohnya, yang berkiprah sebagai super-marketplace.

Platform E-Commerce yang Sering Digunakan Untuk Belanja Online Menurut APJII 2018 / DailySocial
Platform E-Commerce yang Sering Digunakan Untuk Belanja Online Menurut APJII 2018 / DailySocial

Rezky Yanuar menjelaskan Shopee merilis berbagai in-app games, diantaranya Goyang Shopee dan Kuis Shopee, agar konsumen betah berlama-lama di aplikasi. Sejak diperkenalkan, in app games terus berinovasi dan menerima tanggapan positif dari para konsumen.

Berkaitan dengan e-commerce, Shopee menghadirkan fitur Shopee24, platform yang membantu pengiriman barang di platform-nya dapat diterima konsumen dalam waktu 24 jam saja. Di luar itu, perusahaan mendukung sepakbola nasional agar semakin baik dengan menempatkan diri sebagai sponsor Shopee Liga 1.

Perusahaan juga mengadopsi konsep media sosial dengan merilis fitur rekomendasi produk dan Shopee Live. Keduanya seperti membuka Instagram dengan sentuhan commerce di dalamnya.

Bukalapak aktif dalam mengembangkan layanan di luar marketplace, seperti produk finansial untuk emas (BukaEmas), reksadana digital (BukaReksa), dan asuransi (BukaAsuransi), pembayaran pajak, kendaraan dan PBB (BukaJabar, e-Samsat). Serta, menjangkau segmen online to offline (O2O) dengan mengajak warung sebagai partner (Mitra Bukalapak).

Berkaitan dengan e-commerce, beberapa fitur yang dikembangkan adalah layanan same day delivery bersama Paxel, BukaMart untuk menawarkan produk kebutuhan sehari-hari, juga uji coba pengiriman barang melalui drone agar barang lebih cepat sampai ke rumah konsumen.

“Dari sisi engineering, sebenarnya Bukalapak telah merilis sebanyak 31 produk baru dan melakukan lebih dari 4.500 pengembangan fitur sepanjang paruh pertama 2019,” terang Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono.

Tokopedia tidak jauh berbeda, super-marketplace di dalamnya tidak hanya diisi produk virtual saja, tapi juga sudah sampai ke tahap logistik (TokoCabang), produk fintech untuk memudahkan merchant mendapatkan modal usaha dan konsumen melakukan pembayaran kredit (Ovo PayLater). Yang teranyar, Tokopedia mengakuisisi Bridestory untuk menyajikan produk berkaitan pernikahan di dalam platform-nya.

Di satu sisi, pemain e-commerce niche juga tidak mau kalah, mereka terus berupaya jadi pemain terdepan dengan perkuat layanan-layanan yang berkaitan. Blibli, memosisikan sebagai mall online dengan strategi omni channel, ada tiga fitur yang diharapkan bisa menjawab kebutuhan konsumen.

Mereka ialah Click & Collect, Tukar Tambah, dan Blibli InStore. Keseluruhan fitur ini serba online, sehingga lebih fleksibel. Semuanya sudah dirilis di aplikasi. Untuk Tukar Tambah, sementara ini baru tersedia untuk produk smartphone. Caranya cukup memilih smartphone yang mereka cari dan melakukan sejumlah pengecekan diagnostik lewat aplikasi. Setelah itu, akan tertera harga yang diberikan dari diagnostik tersebut.

Ketika pembayaran sudah dilakukan, kurir Blibli Express Service (BES) akan datang untuk mengambil dan mengecek ulang produk yang akan ditukar, sembari mengantar produk baru ke alamat konsumen. Ke depannya fitur ini akan di terapkan di kategori lain, seperti otomotif untuk tukar tambah mobil dan motor.

Berikutnya adalah Zalora merilis fitur Zalora Now, program berlangganan untuk konsumen dengan berbagai penawaran. Berisi layanan gratis express shipping selama setahun, dan deals lainnya yang ditawarkan mitra Zalora, seperti Traveloka, Zomato, Sayurbox, dan lain-lain.

“Kunci untuk tetap bertahap di dunia e-commerce adalah Zalora terus melakukan review terhadap demand ataupun perilaku konsumen. Kita akan selalu mengikuti dinamika tren belanja, lalu kita turunkan dalam beberapa strategi untuk menciptakan relevansi terhadap pelanggan,” kata Dwi Ajeng.

Hijup sedikit berbeda, perusahaan menerapkan bisnis model O2O dengan membuka gerai offline di beberapa kota. Harapannya, strategi ini bisa meningkatkan awareness dan trust terhadap “customer offline” yang akan menjadikan mereka sebagai “future online customer.”

Zilingo tidak mau kalah. VP and Head of B2C Marketing Zilingo Sarah Humaira turut menambahkan, Zilingo telah bertransformasi dari platform B2C di 2015, menjadi layanan terpusat di B2B untuk menghubungkan setiap lanskap rantai pasokan fesyen yang sangat terfragmentasi.

Saat sebagian besar perusahaan e-commerce fokus pada perdagangan B2C dan C2C, perusahaan mengadopsi pendekatan yang berbeda untuk memberikan nilai tambah bagi pedagang fesyen. Menempatkan mereka dan pabrik yang beroperasi di industri fesyen sebagai pusat dari segala hal yang Zilingo lakukan, semuanya lewat teknologi.

Inisiasi ini lahir karena pengalaman yang dialami langsung oleh para pengusaha. Mereka kesulitan untuk meningkatkan keuntungan atau untuk berkembang karena kurangnya akses ke teknologi dan modal kerja. Sementara itu, brand internasional terus tumbuh secara agresif.

Zilingo menghubungkan produsen/manufaktur di seluruh Asia, mulai dari desain, pengembangan produk, pengadaan kain, manufaktur, pembuatan katalog, pemasaran, manajemen inventaris, distribusi, penagihan, layanan pelanggan, modal kerja, hingga perkiraan tren.

“Visi kami adalah menyamaratakan kesempatan yang ada agar setiap bisnis, mau besar atau kecil ukurannya, dapat menggunakan teknologi kami untuk mengembangkan bisnis mereka dan menjadi sukses,” terang Sarah.

Dia melanjutkan, “Layanan ini tidak selalu menghasilkan pendapatan yang tinggi bagi kami, namun platform serba ada (full-stack) ini dibangun di atas premis, bahwa bisnis B2B dan B2C kami memiliki sinergi yang kuat dan membantu kami buka potensi luar biasa di seluruh rantai pasokan fesyen untuk para pedagang dan pelanggan.”

Kekurangan vs Kelebihan Belanja di Social Commerce dan E-Commerce / DailySocial
Kekurangan vs Kelebihan Belanja di Social Commerce dan E-Commerce / DailySocial

Mengapa social commerce banyak peminatnya?

Mengutip dari laporan McKinsey, kontribusi e-commerce terhadap transaksi ritel di Indonesia baru 3% dari total penjualan di 2017. Dibandingkan Singapura, di sana sudah mencapai 10% di tahun yang sama. Artinya, ruang untuk bertumbuh masih sangat luas.

Terlebih, mengutip dari survei idEA mengenai penggunaan platform belanja online di media sosial (2017), transaksi melalui Facebook dan Instagram mencapai 66%. Posisi teratas diambil Facebook 43%. Hanya 16% penjual dan pembeli yang pakai platform marketplace dan 7% buat situs sendiri. Survei ini dilakukan terhadap sekitar 2 ribu UMKM di 10 kota di 2017.

Perlu menjadi perhatian bahwa bahwa pembeli dan penjual yang notabene sebagian besar pengusaha mikro, lebih banyak menggunakan media sosial sebagai tempat untuk transaksi e-commerce dibandingkan marketplace yang tersedia atau melalui situs sendiri.

Artinya, platform media sosial bisa jadi gerbang awal buat pedagang “go online.” Untuk mendalami ini, DailySocial menghubungi beberapa pemain pendukung platform social commerce.

Platform Social Commerce yang Dimanfaatkan Merchant Menurut Survei PayPal / DailySocial
Platform Social Commerce yang Dimanfaatkan Merchant Menurut Survei PayPal / DailySocial

Salah satunya adalah TokoTalk. Direktur Operasional TokoTalk Nesya Vanessa menjelaskan tingginya minat belanja di media sosial tak lain dikarenakan ada potensi pengguna yang sangat berlimpah. Para penjual ingin menjadikan orang-orang ini sebagai calon konsumen mereka.

Terlebih itu, sifat media sosial yang serba instan dan real time, dapat jadi senjata bagi para penjual untuk bisa lebih dekat dengan konsumen dan menjadikannya sebagai pelanggan loyal.

“Alasan lainnya, para penjual tersebut ingin punya toko online milik sendiri agar tidak usah bersaing dengan sesama penjual. Di marketplace, mereka bersaing ketat dengan penjual lain yang punya produk serupa, dan satu-satunya cara untuk unggul adalah saling banting harga,” tutur Nesya.

Dia melanjutkan, jika ingin bisa tereskpos dan muncul di urutan teratas, mereka harus beriklan di marketplace. Terakhir, punya akun di marketplace tidak mendukung untuk branding merek mereka sendiri karena tidak bisa dikustomisasi dan dipersonalisasi sesuai tone dan manner brand.

Ini bisa merugikan penjual yang ingin memiliki bisnis yang berkesinambungan, pasti peduli dengan branding. Makanya mereka tetap menggunakan media sosial atau buat situs sendiri.

“Dengan begitu, mereka dapat membangun brand mereka sendiri dan menampilkan konten-konten terkait produk yang mereka buat sendiri.”

CEO dan Co-Founder Qiscus Delta Purna Widyangga turut menambahkan, berjualan di media sosial juga tidak memerlukan upaya untuk migrasi pengguna. Beda halnya, misalnya ketika buat situs sendiri, mereka harus mengakuisisi user dari awal. Kemudian, mengenalkan brand, memperkenalkan teknologi/produk yang digunakan, sampai ke jual beli itu sendiri.

Memanfaatkan platform yang sudah ada, seperti media sosial, penjual dapat menumpang arus. Memanfaatkan basis user yang sudah besar untuk kemudian dipilih dan disesuaikan berdasarkan segmennya.

“Mereka juga tidak perlu mengajarkan teknologi sejak awal karena basis user di media sosial itu sendiri sudah familiar dengan platform yang biasa mereka gunakan. Untuk bisnis skala kecil dan menengah, cara ini lebih efektif ya, daripada harus bangun toko online dari awal,” terang Delta.

Menambahi tanggapan Delta, Co-Founder dan CEO Halosis Andrew Darmadi menjelaskan berjualan di media sosial kemungkinan lebih mudah mendapat rekomendasi dari orang terdekat dari konsumen yang pernah belanja di tempatnya. Bagi penjual tentunya ini cost marketing termurah untuk akuisisi konsumen baru.

Pandangan Merchant Terhadap Media Sosial Menurut Laporan PayPal 2018 / DailySocial
Pandangan Merchant Terhadap Media Sosial Menurut Laporan PayPal 2018 / DailySocial

Hal ini didukung oleh basis media sosial itu sendiri, yang mana lebih personal dan orang bisa berbagi informasi apa yang mereka suka. Melihat dari tipe konsumennya, orang yang yang belanja di media sosial dengan platform e-commerce pun berbeda.

Andrew berpendapat konsumen di media sosial itu biasanya manja karena ingin lebih personal menghubungi langsung penjualnya. Banyak pertanyaan yang diajukan itu belum bisa diakomodasi oleh chatbot karena mereka juga minta rekomendasi, produk mana yang bagus sesuai postur tubuh atau wajahnya.

“Mereka itu enggak langsung yakin mau beli produk karena takut salah beli. Makanya konsumen di sini sangat chatty, ingin fleksibel untuk pembayaran dan metode pengirimannya. Beda dengan di marketplace, konsumennya sudah tahu apa yang mau dibeli dan mandiri,” ujarnya.

Baik TokoTalk, Qiscus, dan Halosis adalah pemain yang fokus permudah pengelolaan toko online, baik dari pelayanan konsumen, metode pembayaran, dan pengiriman dalam satu link. Konsumen mereka adalah penjual online yang sebenarnya tidak berjualan di platform media sosial saja tapi juga di marketplace.

“TokoTalk tidak bersaing dengan marketplace, justru menciptakan platform e-commerce untuk para penjual memudahkan aktivitas penjualan mereka, misalnya mengelola order dan inventaris,” sebut Nesya.

Bicara pencapaian, TokoTalk telah digunakan oleh 155 ribu penjual untuk mengelola toko online mereka di berbagai platform online. Mencetak total transaksi $2 juta tiap bulannya (per Juli 2019), berdasarkan nilai naik 30% secara MoM.

Qiscus, sebagai platform penyedia in-app chat, merilis fitur Multichannel Chat untuk pengusaha kelola konsumen yang menghubungi lewat platform chat mainstream seperti WhatsApp, Telegram, Line, dan Messsenger ditangani dalam satu dashboard. Serta mengelola tools lain, seperti CRM, payment gateway dan chatbot. Tanpa dirinci, fitur ini telah dirilis sejak awal 2019 dan tumbuh 50%-100% untuk keseluruhan bisnisnya.

Adapun Halosis telah menggaet 10 ribu penjual mikro yang berjualan di platform media sosial dan e-commerce. Data terakhir menyebut, Halosis sudah menangani 199.200 ribu chat pada tahun lalu yang di dalamnya memuat 40.235 transaksi senilai $1 juta.

Preferensi Akun Instagram yang Di-Follow Pengguna Menurut Survei Jakpat / DailySocial
Preferensi Akun Instagram yang Di-Follow Pengguna Menurut Survei Jakpat / DailySocial

DailySocial menemui salah satu penjual online yang sepenuhnya memanfaatkan platform media sosial untuk berjualan. Ialah Jessica Yamada, pemilik katering menu makan sehat DapurFit yang dirintis sejak 2012. Sebagai bentuk keseriusannya di segmen ini, instalasi peralatan di dapurnya bahkan sudah hospital grade.

Menurut pengakuannya, Instagram menjadi saluran pemasaran utama dari bisnis online-nya tersebut. Branding DapurFit tergolong cukup kuat sebagai pionir katering menu sehat, dengan lebih dari 80 ribu follower di Instagram. Seperti bisnis online lainnya, Jessica juga memanfaatkan peranan influencer untuk branding-nya.

Konsumen harus menghubungi via WhatsApp untuk berlangganan menu dengan pilihan paket yang tersedia. Pengantaran akan dilakukan melalui kurir sendiri dan kurir on demand GrabExpress apabila di luar jangkauan layanan DapurFit. Dalam seharinya, DapurFit mengirim 600 boks.

“Hampir 90% pesanan datang dari Instagram yang diteruskan melalui WhatsApp. Situs sendiri sebenarnya ada tapi masih beta banget, belum bisa terima order,” kata Jessica.

Grab menyadari potensi bisnis kurir dari para penjual online dengan merilis GrabExpress. Makanya untuk menyeriusi bisnis ini, secara rutin ada pembaruan fitur untuk memudahkan mereka mengantarkan paket sampai ke konsumen.

Hingga kini, area layanan GrabExpress tersedia di 150 kota. Tanpa data spesifik, selama setahun terakhir, jumlah pengiriman harian di GrabExpress naik lebih dari 20 kali, akurasi pesanan tiba sesuai estimasi juga naik lebih 90%.

Dari segi pengguna, lebih dari 50% pengguna GrabExpress adalah wirausahawan mikro dengan definisi mereka yang berjualan secara online dengan platform manapun, dari media sosial ataupun platform e-commerce.

“Kami melayani semua wirausaha mikro yang berjualan lewat online, seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Juga mereka yang berjualan di platform e-commerce, kami sudah bekerja sama dengan Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee,” terang Head of Logistics Grab Indonesia Tyas Widyastuti.

Ada sejumlah fitur yang didesain Grab untuk melayani penjual online, di antaranya pengiriman antar kota di Pulau Jawa dengan Ninja Xpress, baru diperkenalkan awal Juli 2019; langganan paket hemat GrabExpress; pengiriman instan dan same day; bukti pengiriman & pelacakan langsung; kirim ke banyak tujuan dan pesan banyak sekaligus.

Bermuara di pemberdayaan pedagang online agar punya daya saing

Keseluruhan pemain di atas saling memiliki kesinambungan satu sama lain demi menangkap besarnya peluang di transaksi platform digital, sebab semuanya bermuara di pedagang lokal itu sendiri, bagaimana mereka bisa diberdayakan dan mau berkembang dengan memanfaatkan platform online.

Dari data yang dikutip Grab, ada 62 juta pelaku UMKM yang mencakup 99,92% dari total unit usaha dalam negeri. Namun, hanya sekitar 23 juta UMKM saja yang memiliki pengetahuan tentang berjualan online, itu pun masih sangat dasar.

Padahal, agar bisa berkompetisi, Grab melihat pelaku UMKM perlu memiliki produk yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat, punya pengelolaan yang baik dan berkesinambungan, pengetahuan pemasaran secara digital, bisa menciptakan brand image yang baik, dan punya proses logistik yang mudah digunakan.

Dari keseluruhan tantangan ini, makanya wajar sekali banyak pihak yang menggelar program pelatihan wirausahawan muda, dari perusahaan skala global seperti Facebook dan Instagram, sampai perusahaan lokal dari berbagai lini yang berkaitan langsung.

Ambisi mulia yang ingin dicapai adalah mendorong para penjual tidak hanya tenar di dalam negeri tapi juga di luar negeri.

Proyeksi Transaksi E-Commerce di Indonesia Menurut McKinsey / DailySocial
Proyeksi Transaksi E-Commerce di Indonesia Menurut McKinsey / DailySocial

Masih banyak pedagang yang belum online, namun ada juga mereka yang sudah mencoba untuk perbesar pasar hingga ke luar Indonesia. Berbagai platform e-commerce sudah menyajikan layanannya. Demikian pula dengan Instagram.

Ketika buka tab IG Shop, katalog yang disajikan bercampur dari penjual lokal juga luar negeri. Kamu bisa langsung pilih produk dan menyelesaikan pembayaran dengan kartu kredit atau PayPal.

Kesiapan pemain e-commerce

Bukalapak misalnya, sudah merilis BukaGlobal untuk menjawab tantangan keterbatasan logistik, akses, dan infrastruktur yang selama ini menghambat langkah para pelaku UKM ke panggung global. BukaGlobal hadir di Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Brunei Darussalam yang memiliki ketertarikan terhadap produk Indonesia.

“Kami masih terus memantau perkembangannya agar dapat memperluas jangkauan fitur BukaGlobal ke negara lain,” ujar Intan Wibisono.

Shopee merilis program ekspor Kreasi Nusantara dari Lokal untuk Global, berbentuk laman khusus yang didedikasikan untuk memberikan sorotan bagi produk lokal. Program ini telah mengkurasi sekitar 25 ribu produk lokal setiap minggunya, terjadi peningkatan transaksi hingga 8 kali lipat sejak pertama kali meluncur.

“Dari program ini, UMKM dapat memaksimalkan potensi penjualan produk lokal via luar negeri via Shopee. Selain itu, mereka juga bisa belajar cara mengembangkan strategi ekspor melalui kelas Kampus Shopee,” kata Rezky Yanuar.

Tantangan ketika ekspor bagi UKM itu cukup besar. Mereka harus menguasai regulasi, logistik, dan metode pembayaran. Ketiganya cukup krusial jika terlewat, makanya perlu dipastikan mereka paham betul dengan detil melalui sesi pelatihan.

Blibli punya cara sendiri untuk dorong ekspor. Geoffrey menjelaskan perusahaan menyiapkan UKM lokal lewat kompetisi The Big Start, mencari talenta berbakat untuk mengembangkan bisnisnya. Mulai tahun ini, The Big Start bekerja sama dengan beberapa kementerian akan debut mengirimkan creativepreneur lokal terbaik untuk hadir di festival internasional.

Selama program berlangsung, talenta akan dipersiapkan dan diedukasi bagaimana membuat produk yang sesuai dengan permintaan di pasar global. Serta, bagaimana persyaratannya agar bisa dipasarkan di luar negeri.

“Sehingga ada kata kunci untuk melakukan ekspor adalah pendampingan dan edukasi yang intensif. Peran dari pemerintah juga sangat diperlukan untuk bantu UKM lokal tidak hanya fokus ke ketahanan ekonomi dalam negeri, tapi juga kemudahan dan kebijakan yang jelas untuk ekspor.”

Tidak hanya buka etalase di festival internasional, platform Blibli juga akan dipersiapkan untuk terima pesanan dari luar negeri buat para merchant UKM di Blibli.

“Secara platform sebenarnya sudah bisa [terima pesanan dari luar negeri], tapi belum jadi prioritas. Contohnya pas kita jual tiket Asian Games kan itu yang beli ada dari luar negeri. Sekarang masih kita persiapkan mulai dari awal tahun ini. Nanti saya share kalau sudah siap,” tambah CEO Blibli Kusumo Martanto.

Tokopedia belum menyediakan fasilitas ekspor. Nuraini Razak menegaskan Tokopedia adalah marketplace domestik yang tidak memfasilitasi transaksi antar negara. Perusahaan hanya menerima penjual asal Indonesia dan memfasilitasi transaksi dari Indonesia untuk Indonesia.

Pasalnya, mendorong produk lokal jadi tuan rumah di negeri sendiri adalah pekerjaan rumah bersama yang sangat kompleks. Lewat online, produk lokal bisa punya ruang dan panggung untuk mengembangkan ide kreatif, memasarkan produk ke pasar yang lebih luas, hingga suatu hari nanti bisa menjadi brand nasional mendunia.

“Kami punya banyak program yang mencakup hulu ke hilir, contohnya Markerfest, mendorong para kreator lokal untuk meningkatkan kualitas produksi, packaging, dan branding sehingga bisa bersaing dengan produk impor, MEA terbuka, dan dapat akses permodalan dari bank.”

Bantuan pemerintah dan stakeholder sangat dibutuhkan untuk dukung UKM go global. Anastasia Gretti menerangkan produk fesyen Indonesia, dalam hal ini busana muslim, punya kreatifitas lebih unggul dan inovatif bila dibandingkan negara lain.

Namun itu saja tidak cukup, perlu banyak perbaikan dari hulu ke hilir, seperti pengadaan bahan baku, peningkatan skala produksi, bantuan modal, dan lainnya yang di mana ini menjadi tanggung jawab bersama.

“Jadi menurut Hijup tantangan ekspor itu tidak hanya sebatas regulasi dan biaya kirim, tapi kesiapan daya saing produk lokal dalam hal kualitas dan kuantitas juga perlu diperhatikan,” tandasnya.

Posisi Indonesia Terkait Kemudahan Ekspor Barang Ritel Menurut Laporan McKinsey / DailySocial
Posisi Indonesia Terkait Kemudahan Ekspor Barang Ritel Menurut Laporan McKinsey / DailySocial

Masih polemik di perpajakan

Tanpa mengesampingkan potensi dari masing-masing platform belanja online, perlu diingat bahwa sampai saat ini Pemerintah masih dilema cara memajaki e-commerce. Pemberlakuan pajak lewat PMK No 210 Tahun 2018 akhirnya resmi ditunda.

Pemain e-commerce tetap ingin kesetaraan dalam penetapan pajak dengan platform social commerce. Pasalnya, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai aturan ini belum adil karena masih ditujukan buat ke satu pihak saja. Padahal menurutnya, porsinya justru ada di media sosial.

“Kalau mau buat aturan pajak idealnya jangan ada diskriminasi. Semua penjual online wajib bayar PPn 10% dan PPh. Kalau aturan makin ketat di platform e-commerce, akan ada pergeseran konsumsi ke media sosial,” kata Bhima.

Perwakilan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) sependapat. Pihaknya tetap teguh pada prinsip kesetaraan dalam aturan dan regulasi (equal playing field). “Berbagai aturan yang diberlakukan e-commerce, kami harapkan juga diberlakukan secara setara di transaksi media sosial,” tutur Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga.

Dia pun meyakini bahwa ke depannya konsumen akan mengedepankan rasa aman dan nyaman dalam berbelanja online. Platform e-commerce memiliki keamanan yang terjamin, baik dalam transaksi maupun pengiriman.

“Pemerintah pun pada akhirnya akan lebih mudah melakukan pengawasan pada platform e-commerce dibandingkan perdagangan di media sosial,” tutup Bima.

Aplikasi Pesan Instan Lokal Kiwari Chat Unggulkan Faktor Keamanan

Meski sudah banyak aplikasi chat yang populer di IndonesiaKiwari tetap optimis menghadirkan Kiwari Chat. Sebuah aplikasi pesan instan atau chat yang menyasar masyarakat Indonesia dengan mengedepankan faktor keamanan.

Kiwari Chat beroperasi mulai Maret 2018 dengan dukungan Telkom Indonesia. CEO Kiwari Reza Akhmad Gandara kepada DailySocial menjelaskan bahwa mereka mendesain Kiwari Chat berdasarkan kebutuhan masyarakat, lengkap dengan konten-konten yang dapat diterima.

“Salah satu strategi kami membuat Official Account resmi Kiwari agar dapat lebih dekat dengan masyarakat Indonesia. Pastinya fungsi dan fitur dari Kiwari Chat harus tidak kalah dengan apa yang sudah ada di WhatsApp, Line, Telegram, dan Aplikasi chat lainnya yang biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia,” terang Reza.

Beberapa faktor yang coba diunggulkan Kiwari adalah kemampuan diakses dari banyak platform dan faktor keamanan yang terjamin karena seluruh percakapan yang disimpan di server Indonesia. Mereka berharap agar para pengguna bisa lebih merasa aman dan nyaman ketika melakukan komunikasi. Kiwari juga menjanjikan akan menghadirkan fitur end-to-end enkripsi untuk membuat pengguna lebih yakin dengan keamanan mereka.

“Karena server kita disimpan di Indonesia, otomatis untuk masalah kecepatan kita akan lebih cepat dibanding aplikasi yang tersimpan di server luar Indonesia. Simple, Secure, and Fast merupakan salah satu misi kami dalam membangun Kiwari Chat,” imbuh Reza.

Memanfaatkan SDK Qiscus

Sejauh ini sebagai sebuah aplikasi chat Kiwari didukung oleh teknologi Qiscus, sebuah perusahaan teknologi yang selama ini terkenal sebagai penyedia Real-Time Communication (RTC). Untuk mempercepat pengembangan produknya Kiwari memanfaatkan Chat Software Development Kit milik Qiscus.

CEO Qiscus Delta Purna Widyangga menyebutkan, dukungannya dilatarbelakangi ketertarikan terhadap visi dan misi yang dimiliki tim Kiwari. Ia berharap ke depannya Kiwari dan juga perusahaan lokal penyedia aplikasi chat di Indonesia bisa terus berkembang dan memenuhi pasar di Indonesia dengan dukungan dari semua pihak, salah satunya dengan aktif menjadi pengguna aplikasi lokal.

“Tentunya masih menjadi tugas bagi setiap bisnis untuk melakukan improvisasi, khususnya pada aspek keamanan, skalabilitas, maupun reliabilitas dari aplikasi chat itu sendiri,” imbuh Delta.

Bertahan dulu, bersaing kemudian

Sebagai aplikasi baru diluncurkan, fokus Kiwari Chat tak hanya soal bersaing dengan WhatsApp, Line, Telegram. Mereka harus mampu membuktikan diri bisa bertahan dengan segala dinamika yang ada di pasar Indonesia. Pasalnya meski mulai banyak bermunculan aplikasi chat lokal Indonesia juga baru saja ditinggal aplikasi BBM, pemain lama yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi kiprahnya di Indonesia.

Reza menceritakan, tahun ini Kiwari akan fokus pada pengembangan aplikasi sambil mengenalkan layanan-layanan apa saja yang terdapat pada ekosistem Kiwari Chat. Karena selain percakapan pribadi dan group mereka juga memiliki official account yang menawarkan sejumlah keuntungan.

“Sebagai contoh bagi yang mau curhat atau bercerita tentang asmara, persahabatan, akademik dan lainnya bisa menghubungi Official Account Mba Kiki. Contoh lainnya dalam mendukung aktivitas traveling kami bekerja sama dengan startup Koperansel untuk masyarakat Indonesia yang ingin mendapatkan potongan harga secara personal dari setiap situs perjalanan,” tutup Reza.

Application Information Will Show Up Here

 

Riset Qiscus: Tren Penggunaan Aplikasi Chatting Terus Meningkat, Bisnis Perlu Menyesuaikan

Qiscus adalah startup pengembang teknologi real-time communication (RTC) untuk membantu perusahaan mengembangkan dan mengelola chatbot. Mereka baru saja merilis sebuah laporan riset menyoroti tren penggunaan chat di pangsa pasar Asia Tenggara. Menurut Co-Founder & CEO Qiscus Delta Purna Widyangga, laporan ini dilakukan untuk menyoroti pasar yang semakin mobile-sentris. Konsumen menghabiskan banyak waktunya untuk chatting ataupun bermedia sosial.

Dalam laporan yang bertajuk “Meeting Southeast Asian Consumers’ Expectations with Chats and Calls” disebutkan beberapa tren. Pertama soal penggunaan internet konsumen di Asia Tenggara, masih didominasi media sosial dan aplikasi chatting. Pengguna internet di Indonesia menginstal sampai 4 aplikasi chatting di ponselnya. Tren penggunaan aplikasi messaging di kawasan ini pun terus meningkat dari waktu ke waktu.

Tren Pengguna Aplikasi Chatting
Tren peningkatan penggunaan aplikasi pesan dan media sosial / Qiscus

Dalam tren global, aplikasi messaging seperti Whatsapp menempati urutan tiga teratas dengan pengguna terbanyak setelah aplikasi media sosial seperti Facebook dan YouTube. Dari yang semula mengandalkan telepon, pesan singkat, dan email, kini preferensi pengguna internet pun beralih ke media chatting untuk berkomunikasi, bahkan bertransaksi dengan sesama pengguna internet lainnya.

“Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah gaya hidup baru, yakni digital dan on-the-go,” ungkap Delta. Ia menjelaskan gaya hidup tersebut mendorong keinginan untuk serba cepat dengan akses yang mudah terhadap berbagai kebutuhan mereka.

Perubahan gaya hidup baru yang sebagian besar diadopsi oleh milenial sebagai pengguna internet paling dominan melahirkan sebuah ekspektasi baru. Hal tersebut mau tidak mau harus dipenuhi oleh bisnis agar tetap dapat meraih ceruk pasarnya. Konsumen menginginkan layanan dapat diperoleh secara digital secara instan. Sehingga implementasi fitur yang memudahkan akses konsumen terhadap produk menjadi suatu hal yang mutlak harus dilakukan.

Ekspektasi Konsumen Milenial
Ekspektasi konsumen milenial terhadap layanan dan produk masa kini/ Qiscus

Dari tren yang ada, ke depannya Qiscus memprediksi adopsi teknologi komunikasi real-time berupa chat akan semakin luas dan tidak terbatas pada layanan yang sudah ada seperti e-commerce ataupun bisnis on-demand, namun juga pada produk-produk baru yang kini terus dikembangkan oleh bisnis di Asia Tenggara.

“Disrupsi digital ini bahkan membuat perusahaan yang sangat konvensional sekalipun mulai mengadopsi tren terbaru agar tidak kehilangan pasar,” ungkap Delta.

Perubahan interaksi di kalangan pengguna internet di Asia Tenggara mampu merevolusi berbagai bisnis yang selama ini dianggap telah mapan. Di laporan dicontohkan studi kasus startup healthtech Halodoc. Mereka menemukan tantangan bahwa layanan akses kesehatan yang tidak merata menjadi salah satu masalah di Indonesia. Dengan menggunakan teknologi chat, kini masyarakat dapat mengakses dokter yang berkualitas cukup melalui ponselnya tanpa harus datang ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.

“Sebagai bentuk komunikasi yang paling diminati oleh konsumen di Asia Tenggara pada saat ini, chat menjadi salah satu fitur yang harus dipertimbangkan oleh bisnis untuk melakukan pembaruan dalam produk ataupun layanan mereka,” tutup Delta.

Melirik Potensi Chat dan AI untuk Bisnis

Chatbot adalah program komputer untuk mensimulasi percakapan dan didukung algoritma dan kecerdasan buatan (AI). Kehadiran chatbot di Indonesia kini makin ramai seiring implementasi perusahaan dari berbagai sektor industri.

Kehadiran chatbot dirasa tepat sebagai strategi bisnis melihat kondisi sekarang ini. Popularitas aplikasi messaging menduduki posisi sebagai aplikasi dengan pengguna terbanyak dibandingkan jenis lainnya.

Sebenarnya apa saja kelebihan implementasi chatbot dan chat untuk bisnis? Lalu bagaimana hasil yang didapat perusahaan-perusahaan yang sudah memanfaatkannya? #SelasaStartup edisi pekan kedua April 2018, menghadirkan CEO & Co-Founder Qiscus Delta Purwa sebagai pembicara.

Qiscus adalah startup yang bergerak sebagai penyedia “in-app chat” dengan menghadirkan platform yang mendukung SDK artificial intelligence, teknologi suara, dan video. Startup ini sudah berdiri sejak 2013. Qiscus memosisikan diri bukan sebagai kompetitor layanan yang bergerak di bidang AI (Kata.ai, BJtech, IBM Watson, EVA, Bahasa, dan lainnya), melainkan mitra kerja.

Pergeseran kebiasaan konsumen

Delta menerangkan, perusahaan perlu melirik chatbot lantaran penetrasi internet yang meningkat turut mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan kaum millennial untuk selalu update. Kalangan early adopter mendorong mereka untuk selalu online dan terhubung dengan internet.

“Di Indonesia penetrasi internetnya mulai merata, apalagi untuk kalangan usia 16-35 tahun mungkin hampir 100%. Untuk itu, ketika melirik chatbot, selalu berangkat dari konsumennya.”

Dari hasil riset yang dirangkum Qiscus, secara rerata terdapat 3,6 aplikasi messaging yang diunduh dan tersimpan dalam tiap perangkat. Sebanyak 97% pengguna smartphone mengakses aplikasi messaging secara berkali-kali setiap hari. Bagi perusahaan, menyediakan aplikasi messaging dalam layanannya diprediksi memiliki RoI hingga 305%.

“Orang Indonesia itu sudah sangat keranjingan dengan aplikasi messaging.”

Chat sebagai cara meningkatkan interaksi

Karena aplikasi messaging sudah sangat digandrungi orang Indonesia, akan sangat penting untuk melihat chatbot sebagai alat untuk meningkatkan interaksi dengan para konsumen. Ada banyak aplikasi messaging yang membuka API-nya sehingga bisa ditanamkan chatbot di dalamnya. Sebut saja Messenger, LINE, dan Telegram. WhatsApp sendiri tinggal tunggu waktu untuk API-nya bisa dibuka.

Menurut Delta, ketika perusahaan ingin menyasar kalangan millennial sebagai pengguna, dia menyarankan agar memanfaatkan LINE. Dia melihat LINE memiliki basis kalangan millennial yang cukup besar, sehingga strategi perusahaan untuk meningkatkan engagement akan tepat.

Di chatbot pun, teks harus diperkaya dengan berbagai fitur, tak hanya sekadar berkirim pesan. Beberapa fitur yang bisa dikembangkan misalnya dukungan terhadap gambar, video, dokumen, tombol, akun, dan linking card.

Contoh kasus sukses

Perusahaan e-commerce yang sudah menerapkan chatbot adalah Sale Stock. Perusahaan tersebut sejak awal sudah berinvestasi cukup besar untuk pengembangan chatbot-nya yang dinamai Soraya.

Pada 2014, Sale Stock menghadirkan fitur chat di layanan pelanggannya kemudian ditingkatkan lagi fungsinya dengan menghadirkan Soraya pada akhir 2016 untuk menangani pemesanan secara end-to-end. Disebut-sebut Soraya mampu menangani 30% pertanyaan yang umumnya ditanyakan konsumen.

“Untuk kasus Sale Stock, fungsi chat-nya sangat spesifik yakni ingin otomasi karena mereka menjadikan CS sebagai layer pertama untuk peningkatan pelayanan sealami mungkin. Berbicara dengan Soraya seperti selayaknya berbicara dengan manusia, sebab pemilihan bahasanya yang natural.”

Perusahaan lainnya, HaloDoc tidak menggunakan chatbot, tetapi chat, sebab fokus utama yang disasar adalah berbicara langsung dengan dokter. Untuk itu secara alamiah, proses chatting harus dibuat sepersonal dan serahasia mungkin.

Telkomsel, lewat chatbot-nya bernama Veronika, mengarahkan chatbot-nya untuk fungsionalitas. Banyak tombol-tombol yang tersedia setiap kali pengguna mengakses Veronika. Kesannya pun jadi kurang personal karena penuh unsur rich messages.

“Karena tujuan membuat chatbot-nya beda, Veronika jadi kurang personal karena banyak unsur rich messages. Hanya saja memang itu tujuannya, ingin mempercepat dan mendekatkan diri dengan konsumen.”

Belajar dari kasus sukses di atas, timbul pertanyaan kapan perusahaan butuh layanan chat. Menjawab pertanyaan tersebut, Delta menuturkan bahwa keputusan tersebut akan sangat bergantung pada obyektif bisnis masing-masing perusahaan.

Jika fokus chatbot soal fungsionalitas, implementasinya lebih mudah karena bersifat otomasi untuk mengurangi SDM dan mengalihkannya ke pekerjaan yang lebih bersifat teknis.

Sementara jika tujuannya ingin meningkatkan interaksi dengan konsumen dan menangkap data untuk kebutuhan pemasaran, chatbot dapat menjadi alat untuk membaca profil pengguna dan menerjemahkan conversion ke dalam bahasa pemasaran.

Sejumlah Rencana Startup Penyedia “In-App Chat” Qiscus Pasca Pivot

Startup penyedia in-app chat Qiscus mengumumkan sejumlah rencananya pasca melakukan pivot pada 2015 lalu. Beberapa di antaranya membidik startup ikonik dengan pangsa pasar yang besar sebagai penggunanya dan menggalang pendanaan baru seri A tahun depan.

Startup yang bergerak di konsultasi online, seperti telemedicine, konsultasi keuangan, hukum, dan pendidikan adalah beberapa yang dibidik Qiscus sebagai pengguna. Segmen tersebut diprediksi memiliki potensi yang besar dan bakal terus berkembang seiring waktu, baik di Asia Tenggara maupun Indonesia.

Untuk target pendanaannya, sejauh ini Qiscus sudah dua kali mendapatkan suntikan dana dari investor. Pada tahap awal sebesar US$100 ribu di akhir 2014. Sedangkan tahap pra-seri A nilai suntikannya dirahasiakan, begitupula dengan investornya.

“Kami menargetkan dapat menggalang pendanaan seri A pada tahun depan,” ucap Co-Founder dan COO Qiscus Muhammad MD Rahim, Rabu (40/8).

Qiscus sendiri sebenarnya sudah berdiri sejak 2013, berkantor pusat di Singapura dan Jakarta, memiliki karyawan sekitar 35 orang. Untuk developer seluruhnya ditempatkan di Yogyakarta. Akan tetapi, fokus yang dihadirkan pada saat itu adalah solusi komunikasi dan kolaborasi tim dengan menghadirkan aplikasi pesan multiplatform untuk klien korporat.

“Kami lakukan pivot karena layanan chat sebenarnya bisa lebih dari apa yang kami tawarkan pada saat itu. Banyak pula masukan dari calon klien yang justru menginspirasi kami untuk mengubah bisnis,” terang CEO dan Co-Founder Qiscus Delta Purna Widyangga.

Saat ini layanan yang dihadirkan Qiscus adalah membantu perusahaan memanfaatkan teknologi komunikasi untuk memvirtualkan bisnis dan berekspansi melampaui batas fisik. Produk yang dihadirkan adalah platform chat yang mendukung Artificial Intelligence SDK (software development kit), teknologi suara, dan video.

Untuk sementara, Qiscus baru menyediakan tiga layanan turunan, yaitu customers engagement, manajemen alur kerja & komunikasi tim, dan konsultasi jarak jauh.

Sedangkan untuk layanan AI, Qiscus tengah mempersiapkan kerja sama dengan Kata.ai dan penyedia mesin AI lainnya agar perusahaan klien dapat menggunakan teknologi chatbot dalam Qiscus chat.

“Posisinya kami tidak mengembangkan chatbot, tapi bekerja sama dengan pihak lain. Kami hanya fokus menyediakan mesin yang menjadikan chatbot jadi bisa diandalkan saat mengakses Qiscus chat,” kata Delta.

Investasi in-app chat yang mahal

Dengan pivot, Qiscus memiliki keleluasaan untuk mendalami lebih jauh pangsa pasar layanan chat secara B2B. Pasalnya, Indonesia tergolong negara pengunduh aplikasi Android terbesar kelima di dunia tahun lalu.

Kendati menjadi pengunduh terbesar, banyak aplikasi yang rentan hanya dipakai untuk rentang waktu singkat karena dianggap tidak bisa berinteraksi dengan pengguna. Maka dari itu, solusi yang umumnya dihadirkan pemilik aplikasi adalah menghadirkan fitur in-app real time communications (RTC) demi meningkatkan interaksi.

Hanya saja untuk menghadirkan layanan tersebut butuh investasi dan sumber daya manusia yang harganya tidak murah. Ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap layanan chat messanging cukup tinggi, lantaran sudah cukup familiar dengan aplikasi dengan layanan serupa bertebaran di dunia maya.

Qiscus membuat perhitungan kasar mengenai investasi yang harus dikucurkan sebuah startup yang ingin mengembangkan layanan chat messanging dalam aplikasinya, diperkirakan antara US$35 ribu sampai US$390 ribu.

“Daripada merekrut developer untuk membuat in-app chat, biasanya kami arahkan agar perusahaan memfokuskan developer untuk mengembangkan fitur andalan yang ingin ditambahkan dalam in-app chat nantinya,” ucap CTO Qiscus Evan Purnama.

Pemain pionir di Indonesia

Pihak Qiscus mengklaim dirinya sebagai perusahaan pionir yang menyediakan layanan in-app chat secara B2B di Indonesia. Delta justru menilai kompetitor terbesarnya adalah pemain asing yang menawarkan jasanya untuk perusahaan lokal.

Pemain asing masih dinilai memiliki kompetensi yang lebih mapan. Akan tetapi, mereka memiliki tantangan tersendiri yakni pada masalah kompatibilitas dan fleksibilitas yang mempersulit alokasi sumber daya calon klien.

“Sementara kami paham dengan kondisi pasar Indonesia dan teknologi kami dinilai lebih stabil, kompatibel, dan fleksibel. Sehingga dapat mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.”

Beberapa perusahaan startup lokal yang sudah menjadi pengguna Qiscus adalah Halodoc, Ruangguru, Doku, dan Telkom Indonesia. Di luar Indonesia, ada beberapa startup berasal dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Afrika Selatan yang pernah menjadi pengguna.