Kopi Kenangan Jadi Unicorn, Ini Deretan Startup Centaurs 2021 yang Siap Menyusul

Daftar startup centaurs Indonesia 2021 mengalami pengurangan anggota dengan keluarnya Kopi Kenangan, yang 27 Desember lalu telah masuk ke dalam jajaran unicorn.

Sebutan centaur sendiri diartikan sebagai “calon unicorn” atau “adiknya unicorn” yakni para startup yang memiliki nilai perusahaan antara $100 juta (Rp1,4 triliun) dan $1 miliar (Rp14 triliun).

Dalam catatan tahunan DailySocial.id, per November 2021 Indonesia memiliki 50 startup (masih termasuk Kopi Kenangan) dengan 4 diantaranya berhasil masuk dalam posisi top 10 investasi startup terbesar sepanjang 2021.

Lantas startup mana saja yang masuk dalam jajaran startup centaurs 2021?

Di bawah ini DailySocial telah rangkumkan 7 diantara 50 startup centaurs 2021:

1. SiCepat

Berdiri sejak tahun 2014, PT SiCepat Ekspres yang menawarkan jasa layanan logistik pada Maret 2021 lalu merampungkan penggalanan dana Seri B dengan nilai total $170 juta atau 2,44 triliun Rupiah. Putaran pendanaan tahap Seri B ini diklaim terbesar di Asia Tenggara.

Investor yang turut berpartisipasi dalam adalah Falcon House Partners, Kejora Capital, DEG (Lembaga Keuangan Pembangunan Jerman), Penjamin asuransi berbasis di Asia, MDI Ventures, Indies Capital, Pavilion Capital (anak perusahaan Temasek Holdings), Tri Hill, dan Daiwa Securities.

Dana segar ini direncanakan akan digunakan untuk memperkokoh kedudukan SiCepat sebagai penyedia layanan logistik. Dari total pendanaan yang fantastis ini juga, Per November 2021 SiCepat berhasil menduduki posisi ke-5 dari 10 investasi startup terbesar 2021.

2. Vidio

Salah satu platform OTT lokal terbesar dengan 62 juta pelanggan, Vidio, pada November 2021 lalu memperoleh pendanaan eksternal pertama mereka senilai $150 juta (Rp2,1 triliun) dari Affinity Equity Partners (Affinity), ekuitas swasta terbesar di Asia.

Perusahaan yang menawarkan program langsung dan video on demand, termasuk serial orisinil, film lokal/internasional, dan pertunjukan langsung ini sebelumnya dimiliki sepenuhnya oleh Emtek Group di bawah Surya Citra Media (SCM).

Total pendanaan ini berhasil membawa Vidio di posisi ke-6 dari top 10 Investasi startup terbesar Indonesia 2021.

3. Ula

Perusahaan startup yang fokus membantu UMKM ini sempat menjadi perbincangan hangat karena berhasil menggaet VC besutan pendiri Amazon Jeff Bezos, Bezos Expeditions, pada tahap putaran Seri B. Tak hanya itu, tapi juga investor terkemuka lainnya seperti Northstar Group, AC Ventures, Citius, Prosus Ventures, Tencent, dan B Capital dengan total pendanaan sebesar $87 miliar.

Belum usai, November lalu Ula kembali mengumumkan perolehan dana segar tambahan untuk Seri B ini sebesar $23,1 juta (lebih dari 328 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Tiger Global dan Co-founder Flipkart Binny Bansal.

Bila dihitung, total dana yang didapat Ula sepanjang November 2021 ini sebesar $130.1 juta, menjadikan Ula sebagai startup ke-7 dalam top 10 investasi terbesar startup Indonesia 2021.

4. Bibit

Berfokus pada aplikasi investasi reksadana daring yang mudah bagi pemula, Bibit yang sejak 2019 telah diakuisisi Stockbit ini menempati posisi ke-9 dalam urutan top 10 investasi terbesar startup Indonesia 2021. Bibit berhasil mengantongi $95 juta per November 2021.

Sebelumnya, pada Mei 2021 Bibit mendapatkan $65 juta atau setara 938 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Sequoia Capital India.

5. Ruangguru

Didirikan oleh mantan staf khusus Presiden Jokowi, Belva Devara, startup edtech Ruangguru menempati posisi ke-20 dari daftar investasi startup indonesia 2021 dengan perolehan total pendanaan sebesar $55 juta per November ini.

Selain hadir di Indonesia, Ruangguru juga masuk memperluas pasar ke negara Thailand dengan memakai brand StartDee pada 2020, setelah hadir di Vietnam dengan brand KienGuru pada setahun sebelumnya.

6. Halodoc

Startup centaur selanjutnya adalah platform aplikasi kesehatan Halodoc yang memperoleh pendanaan sebesar $80 juta per November 2021 ini. Menjadikan Halodoc berada di urutan 12 dalam investasi terbesar startup Indonesia 2021.

Dana ini dihasilkan dari putaran pendanaan Seri C yang dipimpin oleh Astra International, Temasek, Telkomsel Mitra Inovasi, Novo Holdings, Acrew Diversify Capital Fund, Bangkok Bank serta beberapa investor terdahulu seperti salah satunya Blibli Group.

7. Sociolla

Sociolla, perusahaan beauty-tech yang masih tergolong dalam kategori centaurs terakhir dalam rangkuman ini berhasil mengantongi $57 juta per November 2021.

Diketahui Sociolla sedang mengoptimalkan konsep omnichannel. Sepanjang tahun ini Sociolla meresmikan 10 gerai baru yang tersebar di berbagai kota besar Indonesia. Langkah ini dikatakan Sociolla sebagai rangkaian pasca ekspansi internasional perdananya ke Vietnam pada Oktober lalu.

 

Melihat perkembangan pendanaan startup centaurs sepanjang 2021 ini yang menggelontorkan dana besar bagi startup-startup untuk terus tumbuh, tidak mustahil dalam satu tahun kedepan startup centaur ini banyak yang mengikuti jejak Kopi Kenangan.

Untuk melihat daftar startup centaurs lainnya dan urutan total perolehan pendanaan masing-masing startup centaurs 2021 dapat Anda simak dalam laporan tahunan “DailySocial.id Annual Report 2021” di tautan berikut https://annual.dailysocial.id/

***

Disclosure: Artikel ini ditulis oleh Deva Alyaning Tyas

Social Bella Bags Another Funding Worth 818 Billion Rupiah Led by L Catterton

Beauty-tech startup Social Bella today (05/5) announced the latest funding of IDR 818 billion or around $57 million led by L Catterton, an investment company based in the United States. Indies Capital with two previous investors, East Ventures and Jungle Ventures, are also participated in this round.

Previously, in the middle of last year, Social Bella has received funding worth $58 million from Temasek, Pavilion Capital and Jungle Ventures. Recently, the company is aggressively expanding its omnichannel channel by opening offline shops in various cities. Currently their B2C business “Sociolla” already has 21 stores in 9 cities in Indonesia and 1 shop in Ho Chi Minh, Vietnam.

“Amidst the challenges [of the pandemic], we are very proud to see the consistent efforts of the Social Bella team to bring the best omnichannel service to our customers [..] The cooperation and investment from L Catterton, Indies Capital, East Ventures, and Jungle Ventures will drive our maximum potential to be the leading technology-based innovations as well as the best products to our customers in Indonesia, Vietnam and other regions,” Social Bella’s Co-founder & President, Christopher Madiam.

With its technology, omnichannel stores are designed to be interactive and directly integrated to the Sociolla website and the SOCO application. In order to get information and reviews about the products, visitors can simply scan the barcode on the SOCO application. In other way, if the visitor already has a wishlist of products to buy in the shopping cart on Sociolla, they can immediately make a transaction in the payment section.

In fact, the business concept is still running amidst various restrictions due to the pandemic. Last October 2020, at a media gathering, Social Bella said that there was an increase throughout the year of nearly 50% in terms of shopping at Sociolla. There are more self-care products, because the average consumer is motivated to take advantage of their moments of activity at home to take care of themselves.

“The beauty and personal care industry penetration in Southeast Asia continues to grow rapidly with innovative ‘players’ such as Sociolla providing more choice, premium products and expanding both online and offline to its consumers [..] Innovations made by Sociolla is able to satisfy both consumers and brand principal equally,” L Catterton’s Principal & Investment Lead for Southeast Asia, Yock Siong Tee said.

Meanwhile, East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca added, “Sociolla has the elements that a beauty tech-company needs to have; integrated content, community, commerce, and retail. Moreover, looking at the results of our market research as well, we’re very excited to continue working with Social Bella.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Social Bella Kembali Bukukan Pendanaan Senilai 818 Miliar Rupiah, Dipimpin L Catterton

Startup beauty-tech Social Bella hari ini (05/5) mengumumkan perolehan pendanaan terbaru senilai 818 miliar Rupiah atau sekitar $57 juta dipimpin L Catterton, sebuah perusahaan investasi berbasis di Amerika Serikat. Indies Capital bersama dua investor sebelumnya, yakni East Ventures dan Jungle Ventures, turut terlibat dalam pendanaan ini.

Sebelumnya pada pertengahan tahun lalu Social Bella juga baru mendapatkan pendanaan senilai $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Akhir-akhir ini perusahaan sedang agresif memperluas kanal omnichannel dengan membuka toko-toko offline di berbagai kota. Saat ini bisnis B2C mereka “Sociolla” sudah memiliki 21 toko di 9 kota di Indonesia dan 1 toko di Ho Chi Minh, Vietnam.

“Di tengah semua tantangan [pandemi], kami sangat bangga melihat upaya konsisten tim Social Bella untuk menghadirkan layanan omnichannel terbaik untuk pelanggan kami [..] Kerja sama dan investasi dari L Catterton, Indies Capital, East Ventures, dan Jungle Ventures akan mendorong kapabilitas kami dalam menghadirkan inovasi berbasis teknologi terdepan serta produk-produk terbaik bagi pelanggan kami di Indonesia, Vietnam, dan wilayah-wilayah lainnya,” Co-founder & Presiden Social Bella Christopher Madiam.

Memanfaatkan teknologi, gerai omnichannel yang disuguhkan ke pelanggan didesain interaktif dan terhubung langsung ke situs Sociolla dan aplikasi SOCO. Untuk mendapatkan informasi dan ulasan seputar produk yang akan dibeli, pengujung cukup scan barcode di aplikasi SOCO. Atau jika pengunjung sudah memiliki daftar produk yang ingin dibeli di keranjang belanja di situs Sociolla dapat langsung melakukan transaksi di bagian pembayaran.

Konsep bisnis tersebut nyatanya juga tetap jalan di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi. Oktober 2020 lalu, dalam acara temu media, pihak Social Bella mengatakan bahwa sepanjang tahun ada peningkatan hampir 50% ukuran belanja di Sociolla. Tercatat produk perawatan diri lebih, karena rata-rata konsumen termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah untuk merawat diri.

“Penetrasi industri kecantikan dan perawatan diri di Asia Tenggara terus berkembang pesat dengan ‘pemain’ yang inovatif seperti Sociolla yang menyediakan lebih banyak pilihan, produk-produk premium dan meningkatkan jangkauannya baik secara online maupun offline terhadap konsumennya [..] Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh Sociolla mampu memuaskan baik konsumen serta brand principal secara seimbang,” sambut jelas Yock Siong Tee selaku Principal & Investment Lead for Southeast Asia L Catterton.

Sementara itu Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, “Sociolla memiliki faktor-faktor yang perlu dimiliki oleh sebuah beauty tech-company; konten, komunitas, commerce, ritel yang terintegrasi. Selain itu, melihat hasil dari riset pasar kami juga sangat bersemangat untuk melanjutkan kerja sama bersama Social Bella.”

Application Information Will Show Up Here

Introducing BaaS, a Modern Way to Enter the Digital World

Banking-as-a-service (BaaS) becomes a hot topic on how banks try to innovate into the digital world. Earlier this year, Standard Chartered Bank (Stanchart), through Nexus, pioneered this method through partnerships with Bukalapak and Sociolla. Nexus was developed by SC Ventures, a Stanchart investment company.

BaaS term is different from open banking or digital bank (neobank) which has commonly known. DailySocial interviewed some industry players regarding their respective differentiation.

Before BaaS, Indonesia had already been familiar with the concept of a financial product marketplace such as those implemented by CekAja and Cermati in its debut. The concept is similar to when accessing e-commerce pages, consumers can access various financial products from marketplace partners and make transactions.

“BaaS, open banking, and financial product marketplaces are different things, where BaaS can give providers the ability to build systems that will be owned by the provider itself, based on the infrastructure and expertise of the bank,” CekAja’s Director of Legal, Compliance, Governmental Relations and Human Capital, Marthina Natalyna said.

Meanwhile, Finantier’s Co-Founder and CEO, Diego Rojas said that BaaS is different from other API concepts because it provides a licensed and regulated infrastructure for core banking services. Out of the box, almost all companies can now become fintech companies without going through the long process, thanks to the existence of open finance companies such as Finantier.

Finantier is a startup that provides an open finance ecosystem to support collaboration between various types of companies in providing financial products specifically designed for their consumers.

“Innovators must focus on the customer experience and on their core digital products, while the basic complex infrastructure and regulatory side are fully covered by BaaS,” Rojas said.

Nexus Indonesia’s Country Head, Hermawan Tjakradiwiria shared his views. Quoting KPMG, open banking generally refers to the ability of banking customers to authorize third parties to access their bank account data to collect account information or to initiate payments.

Meanwhile, Investopedia stated that access is done through the use of an application programming interface (API). On the other hand, neobank, according to the interpretation of Fintech magazine, is physical banking that offers a completely digital experience, such as a savings account or debit/credit card service.

“Sometimes these new banks provide services under their own banking license, but they can also take advantage of the BaaS solution as a client to act as a new bank.”

He defines nexus as a BaaS which enables non-bank players to offer financial services to their customers by connecting directly to the bank system via an API. They can provide banking offerings on top of a bank regulated infrastructure. As a result, the platform can launch financial services in its ecosystem.

BaaS global trend

Sumber: Depositphotos.com
Source: Depositphotos.com

In 2018, regulators in European countries issued a Second Payment Services Directive (PSD2) which inspired the standardization of open banking in the United Kingdom to encourage synergies between banks and fintech instead of intensifying competition. The innovative era driven by API and the arrival of BaaS technology allows banks to invest sufficiently while providing better services for mobile-first consumers and remaining in the industry.

The BaaS initiative has been widely used in Europe, then expanded to other regions, such as the United States, Mexico, Brazil, Australia, Singapore, and Nigeria. In Germany, for instance, there is solarisBank that powers many neobanks in Europe. Then in the UK there are Bankable, Pi1, and Starling Bank, while in the United States they operate Green Dot and BBVA. The concept they offer is acquiring multiple partners to offer financial services.

solarisBank has collaborated with 70 companies and managed to acquire 400 thousand new users. One of the solutions offered, along with American Express, is the Splitpay feature to simplify the consumer check out process on an e-commerce platform in Germany with an installment option for several months.

solarisBank earns revenue from partners when they pay for the API services used to activate accounts and cards. The company also collects exchange fees for card transactions (interchange fees) and shares revenue with these partners. In addition, solarisBank can offer income sharing on credit interest with partners.

This condition, for Rojas, is a win-win solution for everyone because banks and financial institutions try to remain relevant to current conditions to reach new consumers. Financial services, which are at the forefront of the company’s business, can still be adapted to certain segments in the market.

“In order to increase their income by allowing other players to take advantage of their services. Bring more AUM (Asset Under Management) and keep the bank relevant,” Rojas said .

“Some of these neobanks focus on very specific markets, such as millennials, with sustainable-oriented business, or even target specific geographic or social groups,” he continued.

Indonesia’s groundwork

In Indonesia, regulations related to open API are currently being prepared by Bank Indonesia. There is no final word yet when the central bank will officially release it. The Open API standard is an embodiment of Vision 2 and Vision 3 of the 2025 Indonesian Payment System Blueprint (BPSPI) to support the implementation of open banking in the payment transaction area in order to encourage digital transformation by banking, as well as interlink between banks and fintech.

Even though there is no standardization yet, Rojas believes that the central bank is taking the right steps to read global trends, learn the kind of mistakes and shortcomings in its application, then adjust it to the practice and guidelines in Indonesia. “There are benefits if you don’t become the first player in this area because banks, businesses, and regulators can learn.”

Moreover, the journey of the fintech in Southeast Asia is quite broad to grow in line with global trends. Creating opportunities for innovators to help banks developing services according to consumer needs. The first players started in Europe and the US, then entered Southeast Asia, slowly starting many financial institutions to transform digital and take approaches through BaaS.

Sumber: Standart Chartered
Source: Standard Chartered

Tjakradiwiria expressed his gratitude for the support from regulators because Stanchart was able to bring Nexus and activate BaaS in Indonesia. He also ensured that Nexus would always comply with local regulations and be ready to implement them with partners.

“There is always room for growth and innovation in banking. We are confident that we are in a new era of finance, especially with the growing digital and mobile penetration in Indonesia.”

Today, there are many digital companies with a user base looking to expand their capabilities and revenue streams by targeting specific issues experienced by users. This is where the Nexus comes in. Providing technology, financial institution support, risk, and compliance expertise will help partners to grow further and increase brand stickiness.

“Nexus will provide partner’s users with access to financial services through a platform, which has become part of their daily lives, therefore, accessing banking services will be as easy and seamless as any other digital engagement in the partner’s ecosystem.”

He said, when consumers feel that financial services are easily accessible through the palms of their hands, that’s a form of victory. Banking digitization embedded in financial services plays a very important role in improving access to finance for the underbanked and unbanked population.

He believes that Nexus can bring Stanchart into a new segment that has never been utilized before. Previously, Stanchart was attached to the perception of commercial banks as affluent middle to upper-class customers.

Nexus targets strategic partnerships with major ecosystem players on social media, ride-hailing, beauty, and others to formulate financial products through co-creation. Eventually, the financial products produced are in line with what consumers need. Therefore, Nexus did not all of a sudden offer the existing banking solutions presented by Stanchart.

“We are iterating product development, conducting research and testing to customers on a regular basis. In order to evaluate product readiness, we consider whether this product satisfies the user’s needs and achieves our goal of increasing access to finance. We adapt it accordingly to solve our partners’ problems.”

Rojas expressed his optimism about the future of BaaS because it could spur innovation. The banking infrastructure will become a commodity, therefore,  many innovators can embed financial services into their products, providing a better end-to-end experience for consumers.

The financial product formulated by Nexus with Bukalapak and Sociolla is worth waiting for. It is to be released this year. “We are committed to launching commercially with the first 2 partners we announced,” Hermawan concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Mengenal BaaS, Cara Baru Bank Masuk Ke Ranah Digital

Banking-as-a-service (BaaS) menjadi topik baru bagaimana perbankan mencoba berinovasi ke ranah digital. Awal tahun ini Standard Chartered Bank (Stanchart), melalui nexus, menjadi pionir metode ini melalui kemitraan dengan Bukalapak dan Sociolla. nexus dikembangkan oleh SC Ventures, perusahaan investasi Stanchart.

Istilah BaaS berbeda dengan open banking atau bank digital (neobank) yang telah lebih dahulu dikenal. DailySocial pun bertanya ke pemain industri terkait diferensiasi masing-masing.

Sebelum BaaS dikenal, di Indonesia telah lebih dahulu mengenal konsep marketplace produk finansial seperti yang dijalankan CekAja dan Cermati saat pertama kali beroperasi. Konsepnya sama seperti saat mengakses laman e-commerce, konsumen bisa mengakses ragam produk finansial dari rekanan marketplace dan bertransaksi.

“BaaS, open banking, dan marketplace produk keuangan adalah hal yang berbeda, di mana BaaS dapat memberikan kemampuan bagi provider untuk membangun sistem yang nantinya akan dimiliki oleh provider itu sendiri, berdasarkan infrastruktur dan expertise dari bank,” ucap Director of Legal, Compliance, Governmental Relations and Human Capital CekAja Marthina Natalyna.

Sementara itu, Co-Founder dan CEO Finantier Diego Rojas berpendapat bahwa BaaS berbeda dengan konsep API lain karena menyediakan infrastruktur berlisensi dan teregulasi untuk layanan inti perbankan. Secara out of the box, hampir semua perusahaan kini dapat menjadi perusahaan fintech tanpa harus melalui proses panjang tersebut berkat kehadiran perusahaan open finance seperti Finantier.

Finantier adalah startup yang menyediakan ekosistem open finance untuk mendukung kolaborasi antara berbagai jenis perusahaan dalam menyediakan produk finansial yang didesain khusus untuk konsumennya.

“Inovator harus fokus pada pengalaman pelanggan dan pada produk digital inti mereka, sementara infrastruktur dasar yang kompleks dan sisi regulasi sepenuhnya dicakup oleh BaaS,” terang Rojas.

Country Head nexus Indonesia Hermawan Tjakradiwiria memberikan pandangannya. Mengutip KPMG, open banking secara umum mengacu pada kemampuan nasabah perbankan untuk memberi otorisasi kepada pihak ketiga untuk mengakses data rekening bank mereka untuk mengumpulkan informasi rekening atau untuk memulai pembayaran.

Sementara, Investopedia menyebutkan bahwa akses dilakukan melalui penggunaan antarmuka pemrograman aplikasi (API). Di sisi lain, neobank, menurut interpretasi majalah Fintech, adalah perbankan tanpa fisik yang menawarkan pengalaman digital sepenuhnya, seperti rekening tabungan atau layanan kartu debit/kredit.

“Terkadang bank baru ini memberikan layanan di bawah lisensi perbankan mereka sendiri, tetapi mereka juga dapat memanfaatkan solusi BaaS sebagai klien untuk bertindak sebagai bank baru.”

Ia mendefinisikan nexus sebagai BaaS yang memungkinkan pemain non bank menawarkan layanan keuangan kepada pelanggan mereka dengan menghubungkan langsung dengan sistem bank melalui API. Mereka dapat menyediakan penawaran perbankan di atas infrastruktur yang diatur bank. Sebagai hasilnya, platform dapat meluncurkan layanan keuangan dalam ekosistemnya.

Tren BaaS secara global

Sumber: Depositphotos.com
Sumber: Depositphotos.com

Pada 2018, regulator di negara-negara Eropa menerbitkan Second Payment Services Directive (PSD2) yang menjadi cikal bakal standarisasi open banking di United Kingdom untuk mendorong sinergi antara bank dan fintech alih-alih mengintensifkan persaingan. Era inovatif yang digerakkan API dan kemunculan teknologi BaaS memungkinkan perbankan tidak harus banyak berinvestasi, sambil memberikan pelayanan yang lebih baik untuk konsumen mobile-first dan tetap bertahan dalam industri.

Inisiatif BaaS banyak dimanfaatkan di Eropa, lalu merambah ke kawasan lainnya, seperti Amerika Serikat, Mexico, Brazil, Australia, Singapura, dan Nigeria. Di Jerman, misalnya, terdapat solarisBank yang memberdayakan banyak neobank di Eropa. Lalu di Inggris terdapat Bankable, Pi1, dan Starling Bank, sementara di Amerika Serikat beroperasi Green Dot dan BBVA. Konsep yang mereka tawarkan adalah bermitra dengan banyak partner untuk menawarkan layanan keuangan.

solarisBank telah bekerja sama dengan 70 perusahaan dan berhasil menarik 400 ribu pengguna baru. Salah satu solusi yang ditawarkan, bersama American Express, adalah fitur Splitpay untuk permudah proses check out konsumen di suatu platform e-commerce di Jerman dengan opsi cicilan selama beberapa bulan.

solarisBank meraup pendapatan dari mitra saat mereka membayar jasa API yang dipakai untuk mengaktifkan akun dan kartu. Perusahaan juga mengumpulkan biaya pertukaran atas transaksi kartu (interchange fee) dan berbagi pendapatan dengan mitra tersebut. Tak hanya itu, solarisBank dapat menawarkan berbagi pendapatan atas bunga kredit dengan mitra.

Kondisi tersebut, menurut Rojas, adalah win win untuk semua orang karena bank dan lembaga keuangan berusaha tetap relevan dengan kondisi saat ini untuk menjangkau konsumen baru. Layanan keuangan yang menjadi yang menjadi ujung tombak bisnis perusahaan, tetap dapat disesuaikan dengan segmen tertentu di pasar.

“Dalam rangka meningkatkan pendapatannya dengan memungkinkan pemain lain memanfaatkan layanan mereka. Membawa lebih banyak AUM (Asset Under Management) dan menjaga bank agar tetap relevan,” ujar Rojas.

“Beberapa dari neobank ini berfokus pada pasar yang sangat khusus, seperti milenial, beriorientasi bisnis berkelanjutan, atau bahkan menargetkan kelompok geografis atau sosial tertentu,” sambungnya.

Persiapan di Indonesia

Di Indonesia sendiri, sejauh ini regulasi terkait open API masih dipersiapkan oleh Bank Indonesia. Belum ada kabar terakhir kapan bank sentral akan merilis secara resmi. Standar Open API merupakan perwujudan dari Visi 2 dan Visi 3 dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BPSPI) 2025 untuk mendukung implementasi open banking di area transaksi pembayaran dalam rangka mendorong transformasi digital oleh perbankan, maupun interlink antara bank dan fintech.

Kendati standarisasi belum ada, Rojas memandang bahwa bank sentral mengambil langkah yang tepat untuk membaca tren global mempelajari seperti apa kesalahan dan kekurangan dalam penerapannya, lalu menyesuaikan dengan praktek dan pedoman di Indonesia. “Ada manfaatnya juga jika tidak menjadi first mover dalam ruang ini karena bank, bisnis, dan regulator dapat belajar.”

Terlebih, perjalanan ruang fintech di Asia Tenggara masih sangat luas untuk tumbuh mengikuti tren global. Membuka kesempatan bagi para inovator membantu bank untuk meracik layanan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Penggerak pertama dimulai di Eropa dan AS, lalu masuk ke Asia Tenggara, perlahan mulai banyak lembaga keuangan yang mentransformasi digital dan mengambil pendekatan melalui BaaS.

Sumber: Standart Chartered
Sumber: Standart Chartered

Hermawan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas dukungan regulator karena Stanchart dapat memboyong nexus dan mengakifkan BaaS di Indonesia. Ia pun memastikan nexus akan selalu mematuhi peraturan lokal dan siap mengimplementasikannya bersama mitra.

“Selalu ada ruang pertumbuhan dan inovasi dalam perbankan. Kami yakin bahwa kami sedang berada di era baru di bidang keuangan, terutama dengan penetrasi digital dan seluler yang berkembang di Indonesia.”

Saat ini ada banyak perusahaan digital yang sudah memiliki basis pengguna ingin memperluas kemampuan dan aliran pendapatannya dengan menargetkan titik masalah yang spesifik dihadapi pengguna. Di sinilah nexus dibutuhkan, dengan menyediakan teknologi, dukungan lembaga keuangan, keahlian risiko dan kepatuhan, akan membantu mitra untuk berkembang lebih jauh dan meningkatkan “brand stickiness.”

“nexus akan memberi pelanggan dari mitra akses ke layanan keuangan melalui platform, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, sehingga mengakses layanan perbankan akan menjadi semudah dan mulus seperti engagement digital lainnya dalam ekosistem mitra.”

Menurut dia, saat konsumen merasa layanan keuangan mudah diakses melalui telapak tangan mereka itulah bentuk kemenangan. Digitalisasi perbankan yang tertanam ke dalam layanan keuangan punya peran yang sangat penting dalam upaya meningkatkan akses keuangan bagi populasi yang underbanked dan unbanked.

Ia meyakini bahwa nexus dapat membawa Stanchart menuju segmen baru yang belum pernah dimanfaatkan sebelumnya. Sebelumnya, Stanchart melekat dengan persepsi bank komersial untuk nasabah affluent menengah ke atas.

nexus menargetkan kemitraan strategis dengan pemain ekosistem besar di media sosial, ride hailing, kecantikan, dan lainnya untuk merumuskan produk keuangan melalui co-creation. Pada akhirnya, produk keuangan yang dihasilkan selaras dengan apa yang dibutuhkan konsumen. Oleh karenanya, nexus tidak tiba-tiba menawarkan solusi perbankan existing yang dihadirkan lewat Stanchart.

“Kami iterasi pengembangan produk, melakukan penelitian dan pengujian ke pelanggan secara rutin. Untuk mengevaluasi kesiapan produk, kami mempertimbangkan apakah produk ini memenuhi kebutuhan pengguna dengan baik dan mencapai tujuan kami untuk peningkatan akses keuangan. Kami menyesuaikannya dengan tepat untuk memecahkan masalah mitra kami.”

Rojas menunjukkan rasa optimisnya terhadap masa depan BaaS karena dapat memacu timbulnya inovasi. Infrastruktur perbankan akan menjadi suatu komoditas, sehingga banyak inovator yang dapat menanamkan layanan keuangan ke dalam produk mereka, memberikan pengalaman dari ujung ke ujung secara lebih baik untuk konsumen.

Patut ditunggu produk keuangan yang diracik nexus bersama Bukalapak dan Sociolla. Ditargetkan pada tahun ini dapat dirilis. “Kami berkomitmen untuk meluncurkan secara komersial dengan 2 mitra pertama kami yang kami umumkan,” tutup Hermawan.


Foto header: Depositphotos.com

Standard Chartered Jalin Kemitraan Strategis dengan Bukalapak, Dikabarkan Gelontorkan Investasi 2,8 Triliun Rupiah (UPDATE)

Standard Chartered Bank hari ini (14/1) mengumumkan kemitraan strategisnya dengan Bukalapak untuk meluncurkan inovasi perbankan digital. Realisasinya adalah dengan mengintegrasikan nexus, layanan banking-as-a-services (BaaS) milik bank tersebut, ke platform Bukalapak untuk menjangkau pengguna yang lebih luas.

Secara spesifik perusahaan menyatakan, ada dua area yang akan difokuskan. Pertama, menghadirkan inovasi di bidang finansial dan e-commerce melalui ekosistem Bukalapak. Kedua, mendorong inklusi keuangan menjangkau 100 juta pengguna dan 13,5 juta UKM yang ada di platform Bukalapak.

Kami sudah mencoba mengonfirmasi, apakah melalui kerja sama ini ada komitmen investasi yang digulirkan. Namun pihak Bukalapak masih enggan memberikan tanggapan.

Namun menurut sumber Kumparan, dari hasil kerja sama ini Bukapalak menerima pendanaan senilai $200 juta atau setara 2,8 triliun Rupiah dari Standard Chartered. Dana sebesar itu dikabarkan akan digunakan untuk ekspansi.

Sebelumnya Bukalapak juga menjalin kerja sama strategis serupa dengan Microsoft untuk optimasi layanan komputasi awan dan program literasi digital – dilanjutkan dengan komitmen investasi Microsoft ke Bukalapak.

“Kemitraan strategis ini menunjukkan kepercayaan Standard Chartered terhadap misi dan komitmen Bukalapak dalam menciptakan dampak di seluruh Indonesia. Perdagangan dan jasa keuangan merupakan aspek penting dari kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu kemitraan ini meningkatkan semangat kami untuk mewujudkan ekonomi yang adil di Indonesia. Dengan jaringan perbankan global yang kuat dan bisnis layanan keuangan yang bergengsi, partisipasi Standard Chartered di Bukalapak akan semakin memperkuat jajaran pemegang saham dan mitra strategis kami saat ini,” sambut CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin.

Oktober 2020 lalu, Standard Chartered juga mengumumkan kolaborasi serupa dengan beauty commerce Sociolla. Realisasinya sama, akan mengimplementasikan nexus sehingga memungkinkan pengguna Sociolla untuk mendapatkan layanan finansial seperti pembukaan rekening tabungan, pengajuan pinjaman, dan kartu kredit. Targetnya, layanan tersebut akan live pada akhir 2021.

Produk BaaS nexus sendiri sudah mulai diinisiasi sejak Maret 2020 lalu di bawah unit ventura Standard Chartered, yakni SC Ventures. Mereka cukup agresif mengembangkan solusi digital, baik secara mandiri maupun melalui kolaborasi dengan perusahaan lain. Selain nexus ada juga mox (bank virtual), solv (platform UMKM), dan zodia (kustodian aset digital) yang saat ini menjadi portofolio. SC Ventures juga berinvestasi di startup fintech global, mulai dari SoCash, Metaco, Symphony, sampai Ripple.

Andrew Chia selaku Cluster CEO Indonesia & ASEAN Markets Standard Chartered berujar, “Kemitraan perdana kami dengan Bukalapak menegaskan kembali komitmen Standard Chartered untuk mengembangkan jejak kami secara lokal. Kami yakin bahwa kemitraan kami dengan salah satu unicorn pertama dan pemain e-commerce terkemuka di Indonesia akan memungkinkan kami untuk bersama-sama menciptakan solusi yang mendorong inklusi keuangan di Indonesia.”

Kerja sama antara perbankan dengan platform digital mulai banyak diinisiasi. Sebelumnya ada juga kemitraan dari BRI dan Grab, memungkinkan pengguna untuk membuka rekening lewat platform ride-hailing tersebut. Lebih lagi, saat ini raksasa teknologi di Asia Tenggara juga mulai seriusi bisnis finansial. Tidak cukup di segmen digital wallet saja, namun arahnya menuju bank digital. Sebut saja yang dilakukan Gojek dengan berinvestasi di Bank Jago. Atau aksi korporasi Sea mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi.

Update: kami melakukan pembaruan judul dan isi artikel dengan penambahan informasi seputar pendanaan.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Gambar Header: Depositphotos.com

Sociolla Terus Optimalkan Konsep Omnichannel, Sembari Tambah Gerai Ritel Baru

Perusahaan beauty-tech Social Bella (induk dari brand Sociolla) mengungkapkan kondisi pandemi berhasil memvalidasikan konsep omnichannel tetap berjalan optimal saat ekspansi gerai baru. Sepanjang tahun ini Sociolla meresmikan 10 gerai baru yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Bogor, Bandung, dan Surabaya.

Perusahaan pertama kali meresmikan gerai pertamanya di Lippo Mall Puri Jakarta pada pertengahan tahun lalu.

Dalam keterangan resmi, gerai berkonsep omnichannel ini memiliki tampilan interaktif yang terhubung langsung ke situs Sociolla dan platform SOCO. Dengan demikian, para pengunjung mendapat produk yang tepat sambil menikmati pengalaman belanja yang unik, dan seamless.

Untuk mendapatkan informasi dan review seputar produk yang akan dibeli, pengujung cukup scan barcode di aplikasi SOCO. Atau jika pengunjung sudah memiliki daftar produk yang ingin dibeli di keranjang belanja di situs Sociolla dapat langsung melakukan transaksi di bagian pembayaran.

“Hadirnya 10 gerai baru Sociolla Store merupakan bentuk komitmen kami untuk senantiasa menghadirkan pengalaman berbelanja produk perawatan diri dan kecantikan secara komprehensif dan menyenangkan bagi para beauty enthusiast,” kata Co-Founder & CMO Social Bella Indonesia Chrisanti Indiana dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, pembukaan 10 gerai ini adalah rangkaian dari langkah perusahaan sebagai beauty-tech terdepan di Indonesia, pasca ekspansi internasional perdananya ke Vietnam pada Oktober lalu.

Pemilihan lokasi gerai ini, selain didasarkan pada lokasi strategis di tiap area tersebut, merujuk pada data internal perusahaan memperlihatkan pertumbuhan permintaan yang signifikan dari lima kota tersebut. Meski gerai tersebut diresmikan saat pandemi, tetap mendapat antusiasme yang cukup baik dari para pengunjung saat grand opening.

Pihaknya tetap memberlakukan sejumlah kebijakan ketat dan protokol kesehatan sebagai upaya memberikan rasa aman bagi pelanggan yang berbelanja langsung ke toko. Secara berkala, gerai disemprot disinfektan, menerapkan kebijakan untuk jaga jarak aman, no touch dan no tester, memakai masker, dan sebagainya.

“Saat ini dapat dikatakan pelanggan masih dalam proses adaptasi dengan peraturan mengenai PSBB di masing-masing daerah. Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan berbelanja langsung di gerai offline yang mana belum seoptimal seperti dalam keadaan normal, namun kami memastikan agar konsumen tetap nyaman dan aman saat berbelanja,” terangnya.

Ditanya lebih jauh bagaimana rencana perusahaan berikutnya untuk ekspansi pada tahun depan, Chrisanti enggan membeberkan lebih lanjut. Ia hanya menuturkan, “Kami akan terus berusaha memberikan yang terbaik bagi konsumen, bila ada informasi terkait pembukaan toko di tahun depan, kami akan informasikan lebih lanjut,” ucapnya saat dihubungi secara terpisah oleh DailySocial.

Praktik omnichannel oleh perusahaan teknologi

Konsep omnichannel yang dijalankan Sociolla, sudah banyak dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan teknologi di Indonesia sebagai bentuk mendekatkan diri kepada konsumen. Salah satunya adalah Blibli, mereka membentuk aplikasi Blibli Mitra untuk menyasar pedagang kelontong dapat go digital.

Sebenarnya ia tidak jauh berbeda dengan layanan sejenis yang dirilis kompetitor, seperti Mitra Bukalapak, Mitra Tokopedia atau Mitra Shopee. Aplikasi ini membuka akses produk digital, seperti pulsa, paket data, voucher game, token listrik, BPJS, dan tiket kereta api yang dapat dijual mitra kepada pelanggannya.

Pembeda yang mencolok adalah Blibli Mitra sudah terintegrasi dengan ekosistem e-commerce yang dibentuk Blibli, baik itu sistem pembayaran, pengadaan & logistik, hingga platform online. Dengan demikian, pengalaman mitra saat stok barang untuk warungnya, persis seperti saat mereka belanja lewat platform e-commerce Blibli karena terhubung dengan Fulfillment by Blibli (FBB). Mitra yang berbelanja dapat menikmati fasilitas gratis ongkos kirim.

Application Information Will Show Up Here

Capaian Positif Saat Pandemi Dorong Social Bella Ekspansi ke Vietnam

Pandemi bukan hanya memberikan dampak kepada pertumbuhan bisnis Social Bella, namun juga telah menciptakan behaviour baru di kalangan masyarakat, khususnya beauty enthusiast di Indonesia. Kepada DailySocial Co-Founder & President Social Bella Christopher Madiam menyebutkan, industri kecantikan dan skincare menjadi salah satu yang memiliki ketahanan cukup baik selama pandemi beberapa bulan terakhir.

“Kami juga melihat adanya pergeseran pola perilaku konsumen dari offline ke online yang cukup signifikan. Hal tersebut terlihat dari adanya peningkatan tren berbelanja kebutuhan produk kecantikan dan perawatan diri secara online,” kata Christopher.

Tercatat produk perawatan diri lebih mendominasi saat ini, karena rata-rata konsumen termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah untuk merawat diri. Disinggung tentang berapa besar market share dari Sociolla saat ini, Christopher enggan untuk menyebutkan lebih jauh.

Namun secara garis besar selama periode pandemi mulai awal Maret sampai dengan September, terdapat sejumlah peningkatan organic traffic secara signifikan terhadap platform selama masa pandemi dan adaptasi baru. Selain itu, terdapat juga peningkatan hampir 50% dalam ukuran keranjang belanja untuk Sociolla selama periode Covid-19 dibandingkan dengan sebelumnya.

“Dengan ekosistem Social Bella yang terintegrasi, didukung oleh teknologi serta pemahaman yang mendalam tentang konsumen di Indonesia, kami mampu melayani konsumen dengan relevan dan tetap kompetitif,” kata Christopher.

Sejak didirikan pada tahun 2015, Sociolla kini memiliki ribuan pilihan produk seperti make-up, skincare, hair care, wewangian, dan alat kecantikan dari ratusan brand terkemuka yang melayani para beauty enthusiast di seluruh Indonesia. Selain platform e-commerce, Sociolla juga memiliki 8 toko offline dengan konsep OmniChannel dan memiliki beberapa unit bisnis yang diperkirakan akan melayani kebutuhan sekitar 30 juta pengguna pada 2020.

“Secara keseluruhan, kami melihat industri kecantikan tetap menyimpan potensi yang menjanjikan. Lewat dukungan teknologi, kami berharap industri ini dapat terus bertumbuh dengan lebih baik,” kata Christopher.

Berkembangnya konsep bisnis direct-to-consumer melalui kanal digital sebenarnya juga membuka kesempatan bagi produsen produk kecantikan untuk bermanuver lebih. Di Indonesia, tren tersebut mulai terlihat, banyak brand produk perawatan “indie” bermunculan, beberapa di antaranya  BaseCallista, dan Neuffa.

Ekspansi ke Vietnam

Konsisten dengan rencana perusahaan usai mengantongi pendanaan senilai $58 juta (lebih dari 841 miliar Rupiah) pada bulan Juli lalu, perusahaan mengumumkan ekspansinya ke Vietnam. Ekspansi ke Vietnam ditandai dengan hadirnya platform e-commerce kecantikan dan perawatan pribadi Sociolla di negara tersebut.

Fokus perusahaan ke depannya adalah, berupaya untuk memperkenalkan Sociolla kepada masyarakat Vietnam dan bagaimana mengembangkan bisnis dengan menyediakan produk-produk kecantikan dan perawatan diri berkualitas dan terstandardisasi.

“Kami sangat senang dapat memperluas kehadiran Social Bella di luar Indonesia. Sebagai salah satu pasar kecantikan dan perawatan diri dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara ditambah populasi masyarakat muda yang melek digital, Vietnam memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia. Oleh karena itu, kami yakin Vietnam adalah negara yang tepat untuk rencana ekspansi internasional pertama kami,” kata Christopher.

Ekspansi ini diklaim telah dipersiapkan dengan matang, termasuk dalam pemahaman perilaku konsumen lokal di Vietnam. Dari hasil analisa internal terhadap pasar-pasar potensial untuk bidang kecantikan dan perawatan diri, Vietnam adalah salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat untuk kecantikan dan perawatan pribadi di Asia Tenggara.

“Setelah ekspansi yang dilakukan ke Vietnam di tahun ini, kami fokus untuk meningkatkan kemampuan teknologi kami untuk lebih memahami pelanggan kami, dan terus berinovasi untuk memberikan yang terbaik bagi para pelanggan dan konsumen kami,” kata Christopher.

Application Information Will Show Up Here

Tren Perlambatan Iklim Investasi Startup Indonesia di Semester II 2020

Pandemi Covid-19 belum usai, perekenomian juga belum pulih. Indonesia bisa masuk ke periode resesi apabila perekonomian masih mencatat pertumbuhan minus di kuartal III 2020 .

Seluruh sektor bisnis dan industri saat ini sedang mengalami masa sulit karena pandemi. Meskipun demikian, ada juga yang melihat situasi ini sebagai momentum untuk mengakselerasi peran digitalisasi. Ini juga menjadi salah satu manuver terhadap perubahan pasar dan perilaku konsumen di tengah pandemi.

Bagaimana pencapaian transaksi pendanaan startup di Indonesia di semester I 2020 dan seperti apa tren selanjutnya di penghujung 2020?

Pendanaan di semester I 2020

Sebagaimana diberitakan Nikkei, tren investasi di Asia Tenggara justru melonjak pada kuartal II 2020 (periode April-Juni). Pandemi menjadi momentum bagi pelaku bisnis e-commerce dan fintech untuk memperoleh traksi layanan besar seiring dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembatasan sosial dan Work From Home (WFH).

Menurut data DealStreetAsia, Indonesia menyumbang transaksi terbanyak pada periode tersebut dengan 45,8 persen dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Terbanyak kedua dan ketiga adalah Singapura (33,2%) dan Vietnam (7,9%).

Pada semester I 2020, DailySocial mencatat sebanyak 52 transaksi pendanaan startup Indonesia yang diumumkan. Apabila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, memang ada peningkatan dari sebanyak 50 transaksi pendanaan, tetapi tidak signifikan.

Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial
Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial

Jumlah transaksi ini sebetulnya bisa lebih meningkat lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu. Hanya saja pandemi juga mengakibatkan sejumlah kesepakatan pendanaan menjadi mundur dari target semula.

Misalnya, Paxel awalnya menargetkan dapat mengantongi pendanaan baru di kuartal II 2020. Namun, rencana ini terpaksa diundur pada kuartal III 2020. Sementara, Mbiz mengaku kesulitan mencari investor baru karena situasi ini. Bahkan perusahaan di bidang e-procurement ini harus merevisi target penggalangan dana.

Dari sisi tahapan, startup pemula (seed) masih mendominasi transaksi pendanaan. Sementara, startup fintech dan edtech menjadi vertikal bisnis yang paling banyak memperoleh suntikan investasi di semester I 2020.

Tren investasi di kuartal III mulai melambat?

Kuartal ketiga 2020 memang belum berakhir. Namun, berdasarkan data yang dirangkum DailySocial, tren investasi pada kuartal ini terbilang cukup melambat.

Pada periode Juli hingga saat ini (year-to-date), terdapat sebanyak 19 transaksi pendanaan startup di Indonesia. Sebagai gambaran, pada kuartal ketiga 2019 terdapat 30 transaksi pendanaan yang diumumkan sebagaimana dirangkum pada Startup Report 2019.

Beberapa di antaranya berasal dari startup unicorn dan tahap lanjut, yaitu Traveloka dengan perolehan dana sebesar Rp3,6 triliun dan Sociolla sebesar Rp841 miliar.

Valuasi Traveloka sendiri diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir Rp40 triliun) demi memperoleh suntikan dana segar ini. Aksi down round ini terpaksa diambil karena bisnis perusahaan terpukul akibat Covid-19 sehingga mengakibatkan penurunan layanan.

Lebih lanjut, perolehan investasi periode Juli hingga awal September ini masih didominasi oleh beberapa vertikal bisnis yang mendapatkan keuntungan dari situasi saat ini, misalnya beautytech, e-commerce, logistik, dan fintech.

Startup Vertikal Bisnis Pendanaan
Sociolla Beautytech Series E
Payfazz  Fintech Series B
TiinTiin E-commerce Seed
SYCA Beautytech Seed
Kiddo  Edtech  Seed
Traveloka  OTA Series Unknown
Ayoconnect  Fintech Pre-Series B
Wahyoo  Social Enterprise Series A
CrediBook  Fintech  Seed
eFishery  Aquatech Series B
IUIGA E-commerce Series Unknown
BukuKas SaaS Pre-Series A
Tjetak Others Series A
SIRCLO E-commerce Enabler Series B
PasarPolis  Insurtech Series B
PropertyGuru Group Proptech Series Unknown
Webtrace Logistik Seed
CredoLab  Fintech Series A

Akselerasi digital picu optimisme iklim investasi

Dihubungi secara terpisah, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa tren pendanaan startup di kuartal keempat 2020 diprediksi tetap lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengingat situasi pandemi masih berlanjut dan perekonomian belum pulih.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen (year-on-year). Pertumbuhan ini terburuk sejak krisis 1998 di Indonesia. Belum lagi, Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua mulai pekan ketiga September ini.

Kendati demikian, Kenneth mengaku optismistis terhadap tren investasi ke depan mengingat ada banyak vertikal bisnis startup yang justru terdampak positif dari kondisi ini. Hal ini terutama berkaitan dengan akselerasi kapabilitas digital menjadi lebih cepat dan urgent.

Ia juga melihat ke depannya bisa saja jadi momentum konsolidasi lewat merger dan akuisisi (M&A) bagi industri startup. “Ini karena sekaligus mengevaluasi apakah para founder startup tersebut memiliki kemampuan untuk bertahan. Cara bertahan itu banyak, bisa lewat galang pendanaan baru, pivot, dan konsolidasi,” ujarnya kepada DailySocial.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. “Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian