Platform Marketplace NFT “Paras Digital” Peroleh Pendanaan 71,8 Miliar Rupiah

Platform marketplace NFT Paras Digital memperoleh pendanaan tahap awal (seed) sebesar $5 juta atau sekitar 71,8 Miliar Rupiah. Pendanaan ini diperoleh melalui Initial Dex Offering (IDO) dan investasi sejumlah investor.

Sebagaimana disampaikan dalam blognya, beberapa investor yang terlibat dalam putaran ini di antaranya Black Dragon Capital, Dragonfly Capital, Moonwhale Capital, Digital Renaissance, GFS Ventures, Global Coin Research, OKEx Blocdream Ventures, serta beberapa venture capital dan angel investor lainnya.

Menurut Co-founder Rahmat Albariqi, pendanaan ini akan digunakan untuk meningkatkan skala bisnisnya, termasuk memperluas vertikal aset NFT pada NEAR Protocol, seperti komik, game, dan mainan.

“Popularitas NFT terus meningkat tahun ini, dan kami melihat ada banyak peluang yang belum kami temukan. Kami yakin riset [pasar] dan perluasan ke vertikal baru dapat menjaga nilai NFT. Dengan menambah nilai ke aset digital, kami dapat menciptakan perubahan besar bagi NFT di masa depan,” ujar pria yang akrab disapa Riqi ini.

Paras didirikan pada akhir Desember 2020 oleh Rahmat Albariqi and Afiq Shofy Ramadhan, dan sepenuhnya dikembangkan oleh tim dari Indonesia. Sebelum memperoleh pendanaan, Riqi mengaku telah mengerjakan beberapa proyek bersama kreator untuk membuat dan merilis IP mereka pada NEAR Protocol.

Pihaknya ingin membuka kesempatan bagi siapapun yang memiliki semangat mengembangkan IP miliknya di dunia kripto. Saat ini, Riqi bersama tim tengah mendorong pengembangan crypto-natives IP yang akan dibangun di atas Paras.

“Kami ingin mencoba menjadi pelopor transformasi pada game, komik, mainan, dan karya lewat kemampuan smart contract dan teknologi blockchain. Maka itu, kami ingin membuka banyak akses dengan menawarkan konten melalui berbagai media,” tuturnya.

Beberapa platform lokal juga mulai menginisiasi platform NFT berbasis marketplace. Dua di antaranya Tokomall milik Tokocrypto dan Kolektibel.

Proyek digital comic dan target pasar

Dihubungi secara terpisah, Riqi mengungkap bahwa pihaknya saat ini tengah menggarap tiga proyek digital comic dengan menggunakan NFT. Proyek perdananya Paras Comic baru saja meluncur yang mana kontennya dikerjakan oleh kreator in-house.

Adapun, mayoritas pengguna Paras berasal dari kalangan crypto-native dan tech savvy. Namun, Riqi menyebut platformnya mulai digunakan oleh kalangan early adopter yang belum awam terhadap teknologi blockchain dan cryptocurrency.

Paras Digital NFT
Paras Digital akan memperluas aset NFT ke beberapa vertikal, seperti komik dan game

“Kami membidik pasar pop-culture enthusiast, seperti fandom dan gamer dengan fokus pada Tiongkok dan Asia Tenggara. Hingga saat ini, total volume penjualan kami mencapai $550 ribu dari total 400 ribu transaksi,” tuturnya. Mengingat Paras dibangun di atas NEAR Protocol, transaksi jual-beli ini baru bisa menggunakan cryptocurrency NEAR.

Riqi menilai volatilitas kripto tetap menjadi tantangan tersendiri. Apalagi ketika pasar kripto menurun, otomatis transaksi dan penjualan akan mengikuti. Kendati begitu, ia mengaku bersemangat menekuni dunia kripto mengingat selalu ada hal baru di ekosistem blockchain.

“Ini yang mengharuskan kami untuk constantly learning and innovating. Meski kebanyakan core team Paras berasal dari Indonesia, kami tetap harus update tentang inovasi yang terjadi di belahan dunia sana. Belum lagi bicara soal perbedaan waktu antara Indonesia dan beberapa negara yang menjadi ‘epicenter blockchain‘ seperti Lisbon dan Amerika Serikat,” tambahnya.

Aplikasi Briefer Ingin Jembatani UMKM dengan Pekerja di Bidang Komunikasi

PT Kreasi Komunikasi Digital, unit strategis dari IGICO Advisory, resmi meluncurkan Briefer sebagai aplikasi kolaborasi untuk mewadahi pekerja di bidang komunikasi. Platform tersebut secara khusus dirancang untuk praktisi komunikasi yang berfokus pada bidang public relations, brands, dan keahlian terkait lainnya.

Nantinya layanan tersebut dapat dinikmati pengguna di perangkat Android dan iOS untuk menemukan mitra di bidang terkait yang menunjang kebutuhan bisnisnya.

Dengan misi ingin menjadi sebuah ‘sistem operasi’, Briefer mencoba membangun ekosistem kolaborasi komunikasi berbasis cloud yang memungkinkan para  praktisi bekerja sama dengan pelaku bisnis, UMKM, organisasi, maupun pemerintah di Indonesia.

Founder & CEO Briefer Aditya Sani menjelaskan, peluncuran layanan tersebut menjadi upaya terobosan dan new way of working di era digital yang mampu memfasilitasi dinamika kebutuhan industri komunikasi. Briefer menyediakan tempat bagi setiap pelaku komunikasi, khususnya tenaga lepas, supaya bekerja dengan standar yang setara dalam sebuah ekosistem.

“Kami melihat adanya ketimpangan keahlian dan standar kerja di antara tenaga lepas di industri komunikasi, utamanya antara kota besar dengan area sekunder yang berdampak pada kesejahteraan ekonomi para pelaku. Kami hadir untuk menjawab masalah dan tantangan tersebut dengan membangun teknologi yang tepat guna, serta berkolaborasi dengan mereka yang memiliki pengalaman dan spesialisasi khusus di bidang komunikasi dari berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan pelaku UMKM, bisnis, organisasi maupun pemerintah,” tambah Aditya.

Fitur yang ditawarkan

Untuk saat ini, aplikasi memang belum siap untuk publik. Sembari menyempurnakan pengembangannya, tim Briefer terus membangun kemitraan dengan pihak-pihak terkait. Proses soft-launching yang dilakukan Rabu (03/11) juga menandai dimulainya proses kurasi para calon spesialis berdasarkan keahlian masing-masing untuk bergabung menjadi kolaborator dan keluarga Briefer.

Dengan aplikasi yang diluncurkan, nantinya pelaku UMKM atau pengguna lainnya dapat berkonsultasi langsung dengan spesialis melalui Chat, Virtual Meeting, dan Tatap muka menggunakan mekanisme hourly rate yang diatur lewat aplikasi.

Dengan mendengarkan berbagai aspirasi dari para pelaku industri, pada tahap awal ini, Briefer memperkenalkan 5 produk komunikasi yaitu pembuatan siaran pers atau artikel, media monitoring, penyelenggaraan webinar, mencari videografer/fotografer. dan talenta untuk mendukung penyelenggaraan acara.

“Kami percaya bahwa karya terbaik berasal dari kolaborasi. Karenanya melalui Briefer, kami berharap dapat membangun kolaborasi lintas stakeholder dalam ekosistem komunikasi yang sehat, kredibel, komprehensif dan efektif,” imbuh Aditya.

Kebutuhan relasi publik UMKM

Tidak hanya korporasi, UMKM juga dapat memanfaatkan pakar komunikasi untuk melakukan strategi relasi publik yang baik. Ada berbagai agenda yang dapat dilakukan, misalnya melakukan relasi media untuk meningkatkan presence dari bisnis atau brand yang dikembangkan. Selain meningkatkan awareness, liputan media juga memiliki manfaat seperti terbangunnya kepercayaan publik atas layanan tertentu. Biasanya butuh keahlian khusus untuk dapat mengeksekusi strategi tersebut secara optimal.

Namun demikian, salah satu pain point yang banyak dirasakan pelaku UMKM, untuk menyewa jasa agensi pakar komunikasi harus merogoh kocek yang tidak sedikit – kendati beberapa perusahaan relasi publik juga mulai membuat paket untuk UMKM/startup. Adanya platform seperti Briefer sebenarnya bisa menjadi angin segar, alih-alih menyewa layanan yang menyeluruh dan mahal, pelaku UMKM bisa memilih layanan ala carte alias seperlunya – apalagi dilakukan oleh pekerja paruh waktu, biasanya biayanya cenderung lebih terjangkau.

Kendati tidak mengkhususkan diri ke layanan penyedia pakar komunikasi, sebenarnya di Indonesia sudah ada beberapa platform yang mengakomodasi pekerja lepas, termasuk di bidang relasi publik. Beberapa di antaranya Getcraft, Sampingan, Sribulancer, Fastwork, dan lain-lain.

Kolektibel Umumkan Kehadiran, Sediakan Platform NFT Ramah untuk Orang Indonesia

Di balik ramainya NFT di kancah global, belum banyak pilihan platform marketplace yang sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia. Kesempatan tersebut ingin digarap oleh Kolektibel yang dirintis oleh Pungkas Riandika.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Pungkas menjelaskan bahwa Kolektibel didesain sejak awal ingin membawa NFT dapat diadopsi oleh orang Indonesia sedini, secepat, dan seoptimal mungkin. “Kami ingin kabar baik ini [mengoleksi NFT] bisa diadopsi oleh masyarakat. Kolektor bisa pakai instrumen pembayaran digital yang dipakai sehari-hari untuk mengoleksi NFT,” terangnya.

Berbeda dengan marketplace lainnya, Kolektibel berdiri di atas jaringan public blockchain Vexanium untuk pencatatan kepemilikan NFT. Vexanium merupakan satu-satunya public blockchain asli Indonesia dengan entitas legal berbentuk yayasan (Yayasan Vexanium Teknologi Nusantara) besutan Danny Baskara.

Pungkas menuturkan keputusan untuk memanfaatkan Vexanium sangat berkaitan dengan awal mula lahirnya Kolektibel yang datang dari hasil diskusi dengan komunitas, yang berisi pebisnis, dosen, dan aktivis sosial media di industri blockchain. Setelah diskusi panjang, ia memandang Vexanium sebagai upaya eksperimental memanfaatkan teknologi blockchain dalam menciptakan lebih banyak use case.

Bagi Kolektibel, tentunya akan lebih mudah mengakses tim Vexanium bila ada yang dibutuhkan karena mereka sudah sepenuhnya legal dan tim ada di Indonesia. Terlebih itu, proses minting dalam Vexanium terbilang ekonomis dan real-time karena adopsinya secara global belum masif. “Makanya di tahap awal ini kami memilih Vexanium agar dapat berkembang bersama.”

Dari segi ketersediaan NFT, Kolektibel menerapkan konten terkurasi berasal dari pemilik IP secara resmi dan memiliki reputasi yang baik, bukan kreator yang bebas menaruh hasil karyanya di platform. Sebelum masuk proses minting, pemilik IP akan menyerahkan berbagai asetnya yang terdiri atas memoribilia, kaleidoskop, dan lainnya kepada Kolektibel. Selanjutnya, aset tersebut dikemas ulang dengan narasi yang lebih menarik agar dapat dikoleksi oleh para kolektor.

“Kami ingin menciptakan marketplace NFT yang jujur dan terpercaya, artinya kami paham bahwa industri ini punya kesan negatif yang banyak sekali. Jadi yang kami coba kembangkan adalah marketplace yang secara legit dan resmi menayangkan NFT dari para IP terkurasi.”

Memakai mata uang Rupiah

Perbedaan mencolok lainnya adalah Kolektibel tidak menggunakan mata uang kripto sebagai metode pembayaran NFT-nya, justru menggunakan fiat alias mata uang yang berlaku di negara tersebut, yakni Rupiah. Perusahaan sudah terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja Gopay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat bayar melalui Alfamart, dan Indomaret.

Di kancah global, konsep ini bukan barang yang baru sudah lebih dahulu diadopsi oleh NBA Top Shot yang memakai mata uang Dolar untuk transaksi NFT. Platform ini dibuat oleh Dapper Labs yang menggunakan blockchain FLOW.

Pungkas menuturkan, langkah ini diharapkan akan menjadi breakthrough bagi orang Indonesia karena mereka dapat langsung mengoleksi NFT dengan cara yang mudah. “Kalau diperhatikan di DeFi untuk bertransaksi pakai kripto itu perlu proses yang panjang, salah satunya harus punya wallet, ada gas fee, dan sebagainya. Itu mempersulit adopsi NFT.”

Setelah pembelian NFT di primary market, para kolektor tentunya dapat kembali menjual asetnya ke secondary market dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Kolektibel menetapkan revenue sharing dengan para pemilik IP untuk setiap aset NFT yang berhasil terjual dengan persentase sesuai dengan kesepakatan masing-masing.

Melalui kehadiran perdana Kolektibel secara closed beta, perusahaan menggandeng Indonesian Baskeball League (IBL) sebagai mitra IP perdana. Bagi IBL, inovasi ini adalah cara untuk mendekatkan penggemar basket dan IBL beserta para atletnya. IBL menyiapkan video dokumentasi pertandingan, dikurasi secara cermat berdasarkan momentum penting dalam pertandingan.

Shortlist moment tersebut dikemas ulang secara visual dan didaftarkan ke dalam blockchain smart contract, yang membuat tiap aset tersebut tercatat data sejarah kepemilikannya. Menariknya, sambung Pungkas, dalam pembagian revenue, IBL juga memberikan pembagian hasil untuk para atletnya memberikan kesejahteraan tambahan untuk atlet dan klubnya itu sendiri.

Setelah IBL, Kolektibel akan menyasar pemilik IP lainnya yang memiliki berbagai aset dengan kategorisasi di olahraga, kreatif, momen legendaris, dan budaya. Bila dilihat secara turunannya, akan semakin banyak aset NFT yang bisa koleksi oleh para kolektor. “Olahraga itu punya dinamika yang cepat dan dekat dengan masyarakat. Makanya, kategori ini jadi langkah kami untuk memahami lebih jauh bagaimana pengembangan NFT ke depannya seperti apa.”

Rencana berikutnya

Kolektibel adalah startup jebolan Starcamp, venture builder besutan Ideosource. Ideosource sendiri mengelola dua fund, di antaranya Ideosource Entertainment dan Gayo Capital. Berkat kehadiran Starcamp dan jaringannya yang luas, sangat membantu perusahaan, baik dari bantuan moril dan material, sehingga dapat eksekusi setiap rencana dengan cepat.

“Kami sangat terbantu dari sisi teknologi, back office, finance, project management, dan lainnya. Kita tahu NFT itu bergerak cepat maka perlu stakeholder dan partner yang bisa bergerak cepat pula.”

Menurutnya, NFT akan menjadi langkah awal bagi Kolektibel dalam mengutilisasi teknologi blockchain. NFT dapat menjadi akses baru dalam pengejawantahan bentuk baru di program loyalitas dalam suatu brand dan gerbang menuju ritel metaverse. “Konsep metaverse dan NFT ingin segera kami jahit bersama, makanya kami merasa bila saat ini sudah membicarakan NFT, maka metaverse tidak akan terlalu jauh ke depan.”

Pungkas percaya bahwa NFT akan menjadi kunci masa depan karena dapat menjadi nyawa kedua bagi pemilik IP. NFT dapat menerjemahkan dengan caranya sendiri tanpa bergantung pada satu entitas tertentu, murni kepercayaan dari komunitas. “Kami merasa community building akan menjadi forte dari Kolektibel, selain utilisasi pemanfaatan teknologi blockchain dan NFT itu sendiri,” tutupnya.

Secara entitas, Kolektibel terdaftar sebagai PT dengan entitas resmi sebagai marketplace. Perusahaan memakai blockchablin yang ter-decentralized untuk pencatatan kepemilikan aset digital, tapi tidak memakai mata uang kripto untuk transaksi. Dengan demikian, Kolektibel tidak masuk ke radar pengawasan Bappebti.

Aplikasi Dash Sports Jembatani Pengguna dengan Kegiatan dan Pusat Olahraga

Besarnya minat masyarakat saat ini untuk melakukan olahraga rekreasi ternyata belum didukung dengan platform online yang relevan. Misalnya acara olahraga atau kegiatan rutin klub olahraga. Melihat peluang tersebut, Dash Sports yang didirikan pada tahun 2020 lalu, hadir menjadi platform digital yang menghubungkan penggemar, klub, komunitas, dan kegiatan olahraga di satu wadah.

Kepada DailySocial.id, Founder Dash Sports Alit Aryaguna mengungkapkan, melalui aplikasinya diharapkan bisa mengubah kebiasaan konvensional pemilik klub olahraga untuk mengelola kegiatan dan anggotanya. Dirinya melihat selama ini semua proses masih dilakukan secara manual.

“Melihat tren di era digital ini, saya terinspirasi untuk menciptakan sebuah aplikasi olahraga yang memberi kemudahan bagi penggunanya. Dari mulai pendaftaran, jadwal latihan, jadwal acara, pemesanan, pembayaran, semua hanya dengan sekali klik. Bisa dibilang aplikasi Dash Sports ini merupakan platform digital sports hub pertama di Indonesia, all in one.”

Secara khusus Dash Sports memiliki dua fitur unggulan, yaitu Joint Event dan Booking Kelas. Dash Sports juga menyediakan pilihan pembayaran secara online yang sudah terintegrasi dalam aplikasi. Pengguna dapat mengakses informasi seputar sesi latihan cabang olahraga untuk dewasa maupun anak-anak yang disediakan. Informasi yang bisa didapat dalam aplikasi ini mencakup jenis olahraga, pelatih, harga, jadwal, lokasi, dan durasi latihan.

Pengguna juga dapat mengundang teman, kenalan atau pengguna lain untuk bergabung ke sesi latihan dan kegiatan olahraga yang sudah dipilih. Dash Sports yang hadir saat ini merupakan versi pertama dan dapat diunduh di Google Play Store untuk perangkat Android, dan akan segera tersedia di App Store.

Turut targetkan segmen B2B

Menargetkan segmen B2B, saat ini Dash Sports telah bermitra dengan beberapa klub olahraga. Selain itu, dalam waktu dekat mereka juga akan menjadi mitra penyelenggara acara olahraga, untuk mengelola proses pendaftaran hingga pembayaran di platform.

“Akhir tahun ini kita ingin gerak cepat melakukan scale up bisnis dengan melakukan kegiatan olahraga. Di sisi lain kami juga terus melakukan edukasi kepada pemilik klub olahraga untuk menggunakan platform,” kata Alit

Karena masih baru meluncur dan sedang dalam proses Minimum Viable Product (MVP), perusahaan belum melakukan kegiatan monetisasi dan semua fitur bisa dinikmati secara gratis. Nantinya jika umpan balik dan data yang terkumpul dari versi pertama ini telah didapatkan, akan ditambahkan beberapa fitur baru dan melancarkan rencana monetisasi Dash Sports di versi aplikasi lanjutan.

Selain Dash Sport, di Indonesia sudah ada beberapa aplikasi yang menyediakan layanan serupa, dengan proposisi nilai masing-masing. Misalnya aplikasi STRONGBEE, pada pertegahan 2020 lalumereka telah menggaet 200 fasilitas olahraga dan 300 pelatih profesional. Layanan STRONGBEE juga memudahkan pencarian dan pemesanan fasilitas olahraga.

Layanan yang lebih spesifik ada AYO Indonesia, menyediakan platform sparring sepakbola dan futsal untuk tim amatir. Selain itu di kancah wellness ada beberapa aplikasi lain, misalnya Doogether yang juga telah terintegrasi dengan ekosistem Gojek melalui GoFitness.

Menurut data yang dihimpun Grand View Research, secara global aplikasi fitnes dan olahraga berhasil membukukan nilai pasar hinga $4,4 miliar pada 2020, diperkirakan akan tumbuh dengan CAGR 21,6% di rentang 2021-2028. Pandemi juga memunculkan tren baru, seperti layanan olahraga yang dilakukan secara virtual — faktanya menurut data World Economic Forum pada September 2020, unduhan aplikasi fitnes dan kesehatan meningkat 46% sepanjang pandemi.

Didukung CEO Investree

Berbeda dengan platform lifestyle dan wellness lainnya yang hanya fokus kepada beberapa jenis olahraga dan bermitra hanya dengan pemilik studio saja, Dash Sports mengklaim sebagai platform pertama yang mampu mengakomodasi varian cabang olahraga. Tidak hanya cabang olahraga lari saja, tapi sudah ada renang, sepeda, dan mat pilates. Untuk ke depannya Dash Sports akan terus bertumbuh dan menambah cabang olahraga lain.

Selain menyediakan layanan pusat olahraga di Jakarta, Dash Sports juga melebarkan sayapnya dengan membuka cabang olahraga lari di Bandung dengan konsep yang sama. Dash Sports juga mendirikan Dash Kids, sebuah program yang diperuntukkan bagi anak berusia 4 hingga 15 tahun. Dash Kids mencakup cabang olahraga lari dan renang dengan program latihan yang dibuat khusus untuk mengembangkan keahlian olahraga masing-masing anak oleh pelatih bersertifikat.

Untuk mempercepat pertumbuhan, Dash Sports juga telah mendapatkan dukungan pendanaan awal dari Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi. Bukan hanya sebagai investor, Adrian yang juga merupakan teman lama dari Alit pendiri dari Dash Sports, juga bertugas sebagai advisor di Dash Sports.

“Di lihat dari sisi teknologi, aplikasi ini sangat unik karena saya belum pernah melihat ada aplikasi olahraga yang sangat terintegrasi untuk memenuhi semua kebutuhan olahraga kita. Terlebih nantinya jika acara olahraga sudah berjalan lagi tentunya akan bekerja sama dengan Dash jadi untuk pendaftaran dan pembelian tiket bisa melalui Dash Sports App. Jadi aplikasi ini hadir sebagai solusi bagi kebutuhan dan keinginan penggemar olahraga,” kata Adrian.

Melihat besarnya potensi untuk mengembangkan vertikal bisnis, ke depannya Dash Sports juga memiliki rencana dengan menjalin kolaborasi dengan platform seperti Traveloka dan Tiket. Memanfaatkan fitur Atraksi dalam platform mereka, diharapkan Dash Sports bisa menjadi mitra strategis.

“Antusias melakukan aktivitas olahraga rekreasi cukup besar minatnya saat ini di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan cuma event olahraga saja tapi turunannya, mulai dari makanan, pakaian dan sepatu olahraga hingga produk pendukung lainnya,” kata Alit.

Application Information Will Show Up Here

Aquatech Startup DELOS Receives Seed Funding Led by Arise

Aquatech startup DELOS announced seed funding with an undisclosed amount led by Arise, a special fund created by MDI Ventures and Finch Capital. MDI Ventures also participated in this round, along with other investors, such as Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Executive), and iSeed Asia.

The company plans to utilize the fresh funds to strengthen and improve its DELOS shrimp production software accurately to forecast and recommend actions to increase farm profitability and productivity. In addition, funds will also be channeld to develop value chain integration and on-board more DELOS agricultural partners.

DELOS was founded this year by Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, and Alexander Farthing. These three founders brings together a multidisciplinary team covering aquaculture, marine biology, technology, and business. The startup partners closely with Dewi Laut Aquaqulture, a leading local aquaculture company, and Alun, a leading aquaculture fintech company, to accelerate the development of in-house technology.

DELOS holds an ambition to encourage the growth and modernization of the Indonesian aquaculture industry. Currently, there are currently basic problems in the supply chain in this sector due to the lack of technology adoption. Whereas global demand for seafood-based protein is increasing, while wild-fished stocks are declining under immense pressure. Aquaculture supplies more than 60% of all seafood consumed.

With its 54,000 km coastline, abundant coastal human resources, and tropical climate, Indonesia is set to become a clear global leader for sustainable aquaculture, especially with Indonesian shrimp competing on a global scale as the world’s second most valuable aquaculture product, the greatest seafood export.

The Indonesian government recognizes a new revolution, targeting shrimp aquaculture and production to grow by 250% over the next 3 years. However, low technology adoption, non-standard management practices, and poor access to finance have set a limit to the growth of Indonesian aquaculture – particularly aquaculture productivity.

These factors have created bottlenecks in the middle of the value chain, and limited downstream processor output to an average of 40%-60% capacity. Less than 5% farms are 4 times more productive than neighboring farms (40 tonnes vs 10 tonnes/Ha).

This productivity gap has kept a $2 billion industry from fulfilling its latent potential and becoming a $4 billion industry, according to Indonesia’s Ministry of Fisheries.

DELOS‘s interdisciplinary team and cutting-edge technology will be critical to supporting the national agenda to promote this growth while maintaining economic, social and environmental sustainability.

Guntur and his team are trying to improve their experience, network and IP, a full-stack pond management system that is researched and developed internally to increase the productive capacity and output of existing Indonesian shrimp farms by 50%-150% – creating value for farmers, increase the volume of national exports, and enhance Indonesia’s reputation as the world’s leading aquaculture country.

In its official statement, Arise Partner Aldi Adrian Hartanto explained that the classic challenges in the layered value chain, low productivity, and lack of financing has blocked the Indonesian shrimp industry which has not been fully utilized, even though it accounts for 77% of the total value of fishery products.

“DELOS technology-based solutions have succeeded in immersing technology and operations into the culture and infrastructure of local farmers while bridging them with existing stakeholders. This leads to a higher FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), and Harvest, making it a deadly flywheel,” he concluded, Thursday (28/10).

Aquaculture startup in Indonesia

The global Aquaculture market size is expected to have a market growth in the forecast period 2020 to 2025, at a CAGR of 3.5%% in the forecast period 2020 to 2025 and is expected to reach $239.8 trillion in 2025, from $209.4 trillion in 2019.

Every year, aquaculture increases its contribution to global seafood production. The sector produced 110.2 million tonnes in 2016, valued at $243.5 billion and constitutes 53 percent of the world’s seafood supply. According to FAO data, 90 percent of production volume is produced in Asia.

In Indonesia, there are already several startups that have started targeting similar segments. In includes Aruna, a technology startup that provides a platform to make it easier for fishermen to sell their products directly to global and domestic markets. The company has also successfully secured funding in 2020 from East Ventures, AC Ventures, and SMDV.

One more startup that is engaged in a more specific sector, Jala. This startup presents technological solutions to optimize the productivity of shrimp farmers in Indonesia. In 2019, his team managed to secure an initial round of funding from 500 Startups of 8 billion Rupiah.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Aquatech DELOS Peroleh Pendanaan Tahap Awal Dipimpin Arise

Startup aquatech DELOS mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh Arise, fund khusus besutan MDI Ventures dan Finch Capital. MDI Ventures sendiri turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, beserta investor lainnya, seperti Hendra Kwik (Number Capital), Irvan Kolonas (JAPFA Eksekutif), dan iSeed Asia.

Perusahaan berencana untuk memanfaatkan dana segar untuk memperkuat dan meningkatkan perangkat lunak produksi udang DELOS secara akurat untuk memperkirakan dan merekomendasikan tindakan agar profitabilitas dan produktivitas tambak meningkat. Selain itu, dana juga akan digunakan untuk mengembangkan integrasi value chain dan on-board lebih banyak mitra pertanian DELOS.

DELOS dirintis pada tahun ini oleh Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, dan Alexander Farthing. Perpaduan para founder ini menghadirkan tim multidisiplin yang mencakup akuakultur, biologi kelautan, teknologi, dan bisnis. Startup ini bermitra erat dengan Dewi Laut Aquaqulture, perusahaan akuakultur lokal terkemuka, dan Alun selaku perusahaan fintech akuakultur terkemuka, untuk mempercepat pengembangan teknologi in-house.

DELOS berambisi ingin mendorong pertumbuhan dan modernisasi industri akuakultur Indonesia. Saat ini masih terjadi masalah klasik dalam rantai pasok di sektor tersebut karena minimnya adopsi teknologi. Padahal permintaan global untuk protein berbasis makanan laut meningkat, sementara stok penangkapan ikan liar berkurang di bawah tekanan besar. Akuakultur memasok lebih dari 60% dari semua makanan laut yang dikonsumsi.

Dengan garis pantai sepanjang 54.000 km, sumber daya manusia pesisir yang melimpah, dan iklim tropis, Indonesia tampaknya akan menjadi pemimpin global yang jelas untuk akuakultur berkelanjutan, terutama dengan udang Indonesia yang bersaing dalam skala global sebagai produk akuakultur paling berharga kedua di dunia, yaitu ekspor makanan laut terbesar.

Pemerintah Indonesia mengakui sebuah revolusi baru, telah menargetkan budidaya dan produksi udang untuk tumbuh 250% selama 3 tahun ke depan. Namun, adopsi teknologi yang rendah, praktik pengelolaan yang tidak sesuai standar, dan akses yang buruk ke pembiayaan telah membatasi pertumbuhan akuakultur Indonesia –terutama menghambat produktivitas akuakultur.

Faktor-faktor tersebut telah menciptakan hambatan di tengah-tengah rantai nilai, dan membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% kapasitas. Kurang dari 5% pertanian 4 kali lebih produktif daripada pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).

Kesenjangan produktivitas inilah yang membuat industri senilai $2 miliar tidak dapat memenuhi potensi terpendamnya dan menjadi industri senilai $4 miliar, menurut Kementerian Perikanan Indonesia.

Tim lintas disiplin DELOS dan teknologi mutakhir akan sangat penting untuk mendukung agenda nasional untuk mendorong pertumbuhan ini dengan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Guntur beserta tim berusaha untuk meningkatkan pengalaman, jaringan, dan IP-nya, sistem manajemen tambak full-stack yang diteliti dan dikembangkan secara internal untuk meningkatkan kapasitas produktif dan output tambak udang Indonesia yang ada sebesar 50%-150% –menciptakan nilai bagi petani, meningkatkan volume ekspor nasional, dan meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara akuakultur terkemuka dunia.

Dalam keterangan resmi, Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, tantangan klasik dalam value chain berlapis, produktivitas yang rendah, dan kurangnya pembiayaan menghambat industri udang nusantara yang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal menyumbang 77% dari keseluruhan nilai hasil perikanan.

“Solusi berbasis teknologi DELOS telah berhasil membenamkan teknologi dan operasi ke dalam budaya dan infrastruktur petani lokal sambil menjembatani mereka dengan pemangku kepentingan yang ada. Ini mengarah ke FCR (Feed Conversion Ratio), SR (Survival Rate), dan Harvest yang lebih tinggi, menjadikannya roda gila yang mematikan,” tutupnya, Kamis (28/10).

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.

Mengenal Platform Konseling Bicarakan.id dan Misinya Meningkatkan Kesehatan Mental di Indonesia

Teknologi memiliki peran signifikan dalam menghubungkan setiap orang di berbagai belahan dunia. Kehadirannya juga dimanfaatkan mereka untuk mengembangkan beragam layanan digital yang kini semakin luas fungsinya, mulai dari layanan keuangan, belanja, pendidikan, hingga kesehatan mental.

Founder & CEO Bicarakan.id Andreas Handani meyakini bahwa siapa pun berhak untuk memiliki kesehatan mental yang baik. Bahkan bagi masyarakat modern sekalipun yang cukup memiliki kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tak menutup kemungkinan kebutuhan kesehatan mentalnya sudah terpenuhi.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di 2018, sebanyak 12 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami depresi, dan 19 juta penduduk di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Jumlah ini berpotensi bertambah, terutama di masa pandemi Covid-19, saat ruang gerak masyarakat dibatasi.

Dalam skala global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di 2017 melaporkan lebih dari 200 juta orang (3,6% dari populasi) menderita kecemasan. Sementara, jumlah penderita depresi mencapai 322 juta orang (4,4% dari populasi), hampir separuhnya berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

DailySocial.id berkesempatan untuk mengenal lebih jauh mengenai platform konseling online Bicarakan.id yang didirikan oleh Andreas Handani beserta visi-misinya ke depan.

Mendorong kesehatan mental dengan layanan konseling

Saat mendirikan Bicarakan.id, Andreas bercerita bahwa ide awal layanan ini lahir dari sebuah lirik lagu yang menyinggung pentingnya mengutarakan masalah yang dihadapi. Secara psikologis, ia menilai bahwa mengutarakan masalah sangat berguna untuk mencari langkah penyelesaiannya.

Di samping itu, ia melihat layanan untuk mengakomodasi kebutuhan kesehatan mental belum tergarap baik di Indonesia. “Belum ada tempat yang benar-benar berfungsi sebagai ekosistem yang dapat menggabungkan para psikolog dan kebutuhan psikologis masyarakat Indonesia itu secara sinergis. Itu adalah sebuah kekacauan yang masif untuk kita sebagai masyarakat modern,” tuturnya.

Andreas mengakui bahwa ia tidak punya latar belakang pendidikan dan karier sebagai psikolog. Bahkan sebelum ini, ia sempat berkarir sebagai freelance copywriter dan marketing consultant di startup fintech. Kendati begitu, Andreas mengaku bahwa ilmu psikologi membantu hidupnya dalam melakukan perubahan dan menginspirasinya untuk mengembangkan platform konseling online.

Sebagai informasi, Bicarakan.id adalah sebuah platform yang menyediakan layanan konseling online. Misinya adalah menjadi ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas dengan biayanya terjangkau bagi semua orang di Indonesia.

Bicarakan berdiri sejak Maret 2020 dan telah memiliki 11 orang di timnya. Di awal berdiri, layanan konseling online Bicarakan baru dapat diakses di website dengan biaya awal sebesar Rp149 ribu per sesi. Saat ini, biaya per sesinya dimulai dari Rp189 ribu. Layanan konseling online yang tersedia, yaitu individu dan pasangan.

Kini, pengguna dapat menjadwalkan sesi konseling online melalui Google Play Store dan Apps Store dalam waktu kurang dari 5 menit. “Bandingkan dengan konseling tatap muka yang tradisional di mana prosesnya bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Saya rasa ini improvement yang cukup drastis ya dari segi kemudahan untuk user,” tambahnya.

Selain online, Bicarakan.id juga menawarkan layanan konseling tatap muka untuk individu dan pasangan melalui Rumah Bicara. Fasilitas ini memudahkan Pembicara (sebutan pengguna Bicarakan.id) untuk bertatap muka dengan konselor pilihan mereka. Pengguna juga dapat menjadwalkan sesi konseling langsung di sana.

Saat ini, Bicarakan.id telah memiliki sebanyak 26 orang mitra konselor aktif. Menurut Andreas, proses kurasi konselor ditanganinya bersama Head of Counseling Operations Mario Albert. Siapa pun dapat mengajukan diri untuk bergabung menjadi mitra selama memiliki Surat Izin Praktek Psikolog (SIPP).  

Investasi East Ventures dan rencana bisnis

Pada kesempatan ini, Andreas juga mengungkap bahwa platform Bicarakan.id telah memperoleh pendanaan tahap awal (pre-seed) dari East Ventures dengan nominal dirahasiakan. Pihaknya juga tengah berdiskusi dengan beberapa investor lain untuk mengakselerasi rencana pengembangan Bicarakan.id menjadi sebuah ekosistem layanan kesehatan mental yang optimal di Indonesia.

Pihaknya memiliki visi untuk membangun ekosistem layanan yang berkualitas, terjangkau, dan dilengkapi dengan konten-konten terkait, seperti journaling dan meditasi. Lewat platform ini, ia memiliki visi untuk mendorong masyarakat Indonesia lebih terbuka terhadap masalah, memvalidasi emosi, dan mengapresiasi pentingnya membicarakan masalah, bukan membiarkannya.

“Saat ini, kami fokus untuk develop ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas, lengkap, dan memiliki biaya terjangkau. Ada tiga hal yang menjadi area utama pengembangan kami, yaitu aplikasi, konten, serta penambahan jumlah konselor dan layanan konseling,” tuturnya.

Partisipasi program Startup Studio

Selain mencari akses permodalan, Bicarakan.id juga turut berpartisipasi pada program inkubasi Startup Studio yang difasilitasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pada September lalu, Bicarakan.id terpilih sebagai salah satu peserta yang lolos di Batch III ini.

Menurut Andreas, salah satu alasan utama mengikuti program ini adalah untuk mendapatkan pendampingan dan pelajaran dalam mengembangkan startup. Ia mengakui bahwa pengembangan produk secara mandiri akan memakan waktu lama.

“Ada banyak orang yang lebih memahami pengembangan bisnis, terutama di industri startup teknologi. [Partisipasi ini dapat membantu misi yang kami emban untuk menjadikan masyarakat Indonesia lebih sehat mental,” ucapnya.

Ada beberapa pelajaran menarik yang diperolehnya dari program ini, di antaranya adalah mempertemukan business goals dengan market reality, cara meraih profit tanpa melupakan misi sosial, cara menuju product-market fit, hingga pentingnya tracking data dan cohort metrics untuk mencapai user retention rate yang optimal.

Application Information Will Show Up Here

Startup SCF FundEx Resmi Beroperasi, Incar Bisnis Digital Peroleh Alternatif Pendanaan

FundEx meramaikan jajaran pemain securities crowdfunding (SCF) dalam menyediakan alternatif pendanaan untuk UKM, sekaligus alternatif investasi bagi investor ritel. Startup ini telah mengantongi izin usaha dari OJK per 6 September 2021, direncanakan segera meresmikan diri ke publik pada akhir Oktober 2021.

FundEx didirikan pada 2019 oleh Agung Wibowo, Purwanto, dan Tri Mukhlison yang merupakan rekan satu almamater di Universitas Indonesia. Awalnya mereka tergerak untuk membangun ekosistem pendanaan untuk startup, setelah mendapat sosialisasi tentang equity crowdfunding (ECF) dari OJK. Kemudian pada 2020, OJK menyempurnakan aturan ECF menjadi SCF melalui POJK 57, sekaligus menggantikan peraturan sebelumnya, yakni POJK 37.

“Dengan diberlakukannya POJK 57 ini, model bisnis FundEx berubah. FundEx tidak hanya dapat menyelenggarakan penawaran efek bersifat ekuitas saja, tetapi juga efek bersifat utang, yaitu obligasi dan sukuk,” ucap Co-founder dan CEO FundEx Agung Wibowo kepada DailySocial.id.

Dia melanjutkan, dibandingkan pemain sejenisnya, diferensiasi yang ditawarkan FundEx adalah mereka lebih spesifik mencari bisnis digital yang kreatif dan inovatif dengan pertumbuhan yang tinggi, bahkan eksponensial. “Berinvestasi pada startup adalah keunggulan yang FundEx miliki, di mana pemain SCF lain tidak mengambil pasar tersebut.”

Melalui FundEx, bisnis bisa mendapatkan pendanaan mulai dari Rp1 miliar hingga Rp10 miliar. Masyarakat sebagai investor ritel akan mendapatkan kepemilikan saham dari bisnis yang berupa startup, sehingga berpeluang memperoleh dividen bahkan capital gain yang bersifat eksponensial.

Sementara bisnis yang berupa UMKM, seperti bisnis indekos, restoran, minimarket, akan mendapatkan dividen sharing secara rutin, setidaknya setahun sekali. Ada pula bisnis yang berupa proyek, yang memungkinkan investor ritel memperoleh pembagian hasil dari profit yang proyek tersebut dapatkan.

Mitigasi risiko

Setiap jenis bisnis memiliki instrumen investasi yang berbeda, ada yang efek bersifat ekuitas (EBE) untuk berinvestasi pada startup dan UMKM. Sementara untuk bisnis yang berjenis proyek, instrumen investasinya berupa obligasi dan sukuk, yang merupakan efek bersifat utang (EBU).

Tiga instrumen investasi yang FundEx tawarkan dapat menjadi alternatif investasi dan melakukan diversifikasi bagi para investor sesuai dengan profil risiko masing-masing. Sesuai dengan dorongan OJK, investor yang memiliki penghasilan kurang dari Rp500 juta/tahun, hanya bisa menginvestasikan 5% dari seluruh penghasilan tahunannya. Sementara, untuk mereka dengan penghasilan tahunan di atas Rp500 juta, bisa menginvestasikan antara 5%-10% dari penghasilan tahunannya.

Selain itu bagi sisi bisnis itu sendiri, FundEx juga melakukan langkah mitigasi sebelum suatu bisnis dapat melakukan penggalangan dana. Agung menerangkan, untuk EBU, keamanan lebih terjamin daripada yang bersifat ekuitas karena yang bersifat utang tentunya harus dikembalikan. “Kami harus memastikan bahwa penerbit memiliki kemampuan untuk mengembalikannya.”

Untuk aspek keamanan, perusahaan bekerja sama dengan perusahaan asuransi, serta meminta jaminan. Sementara untuk EBE, umumnya ada yang meminta dividen sharing dan capital gain. Jika ada yang mengarah ke dividen sharing, FundEx akan bermain di property management, jadi harus ada penguasaan aset.

“Baiknya properti yang bisa kami jadikan aset di perusahaan. Jadi misalkan perusahaan tersebut bangkrut, asetnya bisa kami likuidasi dan bisa kita kembalikan lagi ke pemodal.”

Dia melanjutkan, untuk investasi ke startup yang termasuk dalam kategori risiko tinggi, proses kurasinya akan jauh lebih ketat. Oleh karenanya, FundEx akan lebih selektif dan efek jenis ini akan dikeluarkan secara terbatas, sekitar tiga sampai lima startup per tahun.

“Karena kami yakin bahwa startup ini tidak punya banyak aset untuk diagunkan, tidak punya kepemilikan tanah, dan sebagainya. Yang bisa kami andalkan adalah bagaimana prospek mereka ke depan. Selain itu, tim atau founder startup juga akan sangat kami perhatikan. Apakah mereka punya masalah keuangan atau tidak.”

Menurutnya, semua indikator tersebut dapat dipantau melalui Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) yang telah bekerja sama dengan FundEx. “Dari situ kami bisa lihat apakah startup tersebut punya catatan keuangan yang buruk atau tidak.”

Agung menuturkan, agar dapat mengakomodasi lebih banyak usaha memperoleh alternatif pendanaan di luar perbankan. Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pendekatan ke penerbit, asosiasi, hingga komunitas-komunitas pengusaha. “Untuk efek bersifat utang, FundEx akan banyak bermain di ranah konstruksi, terutama untuk proyek-proyek yang sudah memiliki jaminan SBK dari pemerintah, yang kami nilai lebih aman dari segi risikonya.”

Mengingat perusahaan baru bisa beroperasi setelah mendapatkan izin, sejauh ini perusahaan sudah menerima aplikasi lebih dari 100 penerbit. Dari jumlah tersebut, ada dua penerbit yang sudah melalui uji kelayakan (due dilligence). “Pada akhir bulan ini [saat grand launching] kami akan luncurkan dua penerbit yang sudah ready to invest,” tutup Agung.

Platform Proptech Beliruma Ingin Fasilitasi Proses Bisnis Properti secara Menyeluruh

Salah satu platform yang ingin memudahkan konsumen melakukan penjualan dan pembelian rumah secara online adalah Beliruma. Layanan ini baru dirilis awal Oktober 2021 dan saat ini sudah mulai mengoperasikan platformnya.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Beliruma Effendy Tanuwidjaja mengatakan, layanan tersebut dihadirkan untuk mempercepat masyarakat untuk memiliki tempat tinggal. “Beliruma diluncurkan karena kami ingin fokus pada platform digital jual-beli properti, mempercepat dan mempermudah masyarakat Indonesia dalam memiliki rumah melalui teknologi.”

Berada di bawah naungan PT Real Estate Teknologi yang juga memiliki dan mengelola Rentfix, Beliruma memfasilitasi interaksi antara mitra developer, mitra agen, dan calon pembeli untuk membantu seluruh proses transaksi jual-beli properti menjadi lebih mudah dan cepat dengan bantuan teknologi.

Dalam proses transaksi, mitra developer yang tergabung akan dimudahkan, karena Beliruma memiliki akses ke mitra agen yang siap membantu memasarkan properti. Nantinya mitra agen tidak hanya memasarkan properti dan mendapatkan keuntungan penjualan saja, mereka juga mendapatkan akses ke berbagai properti lainnya.

Kemudian bagi calon pembeli, Beliruma akan membantu mengawal sepanjang proses transaksi mulai dari kontak awal hingga proses akad. Saat ini Beliruma telah memiliki mitra developer, di antaranya ada Citra Indah City (Ciputra Group), Green Setu City (Harmony Land Group), Semaya Living (KNS Land) dengan total sekitar 700 unit rumah yang sudah siap dipasarkan melalui Beliruma. Beliruma saat ini memanfaatkan situs dan juga browser. Untuk aplikasi Beliruma saat ini masih sedang dikembangkan oleh perusahaan.

“Kami mengintegrasikan para mitra, stakeholder properti, dan fitur Beliruma agar fokus mempercepat masyarakat untuk memiliki tempat tinggal. Dan juga calon pembeli memiliki kebebasan untuk memilih jenis pembiayaan yang kami sediakan,” kata Effendy.

Bermitra dengan layanan fintech

Beliruma juga memfasilitasi kredit kepemilikan rumah (KPR) melalui mitra bank, serta memfasilitasi layanan fintech untuk memberi layanan finansial bagi calon pembeli dalam pembayaran ataupun pengajuan pinjaman properti. Saat ini Beliruma sedang menjajaki kerja sama dengan layanan fintech, salah satunya adalah Gradana. Beliruma juga sedang membangun kerja sama dengan berbagai bank untuk mempermudah fasilitas KPR salah satunya ada Bank Jago.

“Untuk itu, kami akan bekerja sama dengan berbagai bank untuk memfasilitasi masyarakat dalam kredit pemilikan rumah (KPR). Dan kami akan fasilitasi fitur Fintech untuk memberi layanan finansial bagi calon pembeli dalam pembayaran ataupun pengajuan pinjaman properti,” ujar Effendy.

Tahun ini ada beberapa target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya adalah terus memperbanyak mitra developer dan mitra agen serta menjangkau lebih banyak calon pembeli terutama di segmen generasi muda.

Pertumbuhan proptech saat pandemi

Perkembangan industri properti teknologi (proptech) selama pandemi di Indonesia mengalami transformasi digital yang telah membawa banyak perusahaan menuju aktivitas bisnis yang baik dan menjamin
keberlangsungan kinerja usaha. Perkembangan industri proptech tersebut sangat besar dampaknya dalam bisnis properti.

Sejak beberapa tahun lalu, proptech telah mulai diterapkan dalam industri ini untuk berbagai aktivitas seperti branding, pemasaran, pembelian, penjualan, dan penyewaan, serta pengelolaan properti supaya bisa dipantau dan dikelola dengan lebih mudah. Alasannya adalah properti dapat menjadi pilihan investasi terbaik di segala kondisi ekonomi. Kondisi saat ini dinilai menjadi waktu yang tepat untuk membeli properti, mengingat adanya relaksasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kebijakan uang muka 0% serta promo-promo dari pengembang saat ini.

“Untuk itu, saat pandemi masyarakat kian mengandalkan platform digital proptech khususnya untuk mencari dan menemukan tempat tinggal. Oleh sebab itu, dengan perkembangan industri properti teknologi yang terjadi saat ini, Beliruma hadir untuk mempercepat pertumbuhan kepemilikan rumah di Indonesia melalui teknologi,” kata Effendy.

DailySocial.id mencatat saat ini sedikitnya sudah ada sekitar 20 lebih platform proptech di Indonesia. Memanfaatkan teknologi, masing-masing platform mencoba untuk menawarkan fitur dan kemudahan akses bagi pemilik properti dan pencari properti.

Menurut East Ventures industri properti adalah kelas aset terbesar di dunia. Gelombang pertama Proptech di Indonesia dimulai dengan meningkatnya permintaan rumah dari masyarakat kelas menengah, berkat ekonomi yang lebih sehat dan mendorong pertumbuhan.

Area proptech ini masih menjadi yang paling populer, dengan konsentrasi tinggi pada startup portal pencarian jual, beli, dan sewa. Gelombang proptech berikutnya diprediksi adalah tentang data, didukung oleh kemajuan luar biasa dalam hal penyimpanan, dan penyerapan data.

Mengenal BeKind, Proyek Blockchain Khusus Merevolusi Ekosistem Donasi

Indonesia dikenal sebagai negara paling dermawan di dunia menurut World Giving Index (WGI) 2021 yang dirilis oleh Charities Aid Foundation (CAF). Indonesia ada di peringkat pertama dengan skor 69%, naik dari skor 59% di indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada 2018.

Menurut laporan tersebut, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang pada orang tidak dikenal, menyumbang uang dan kegiatan kerelawanan/volunter. Pencapaian yang ditorehkan ini sangat baik, namun ternyata ekosistem donasi belum memiliki standarisasi yang matang.

Ada dua isu yang masih menjadi masalah, yakni standarisasi soal dana yang dikutip oleh lembaga amal dan bagaimana menjaga lembaga amal dapat menjadi keberlanjutan. Latar belakang tersebut menjadi alasan dilahirkannya BeKind yang usianya baru seumur jagung ini, pada April 2021.

BeKind merupakan proyek blockchain pertama di Indonesia yang mengembangkan ekosistem impak sosial/donasi yang kuat dan terukur, berdasarkan bukti melalui platform digital yang transparan. Saat ini, BeKind berfokus membangun kemitraan dengan berbagai pihak, seperti Tokocrypto dan platform penggalangan dana WeCare.id, juga para mitra lainnya.

Platform ini dirintis oleh tim yang berpengalaman di dunia donasi dan blockchain, salah satunya Fajar Jasmin (CEO). Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Fajar menjelaskan pada isu pertama, bahkan secara global tidak ada standardisasi berapa sebaiknya sebuah lembaga amal dapat mengutip dari setiap penggalangan dana.

Alhasil, ada yang mengutip (ambil komisi) dalam persentase besar ada juga yang kecil. Menurutnya, mengutip diperbolehkan karena memang dibutuhkan ongkos tenaga manusia untuk menyambungkan niat baik dari pendonor kepada penerima donor. “Hanya saja, besaran potongnya itu yang sehat dan bisa diterima itu berapa persen, itu yang tidak ada standarisasinya dan tidak transparan,” terang dia.

Dari isu pertama ini berlanjut ke isu kedua, berkaitan dengan keberlanjutan. Karena ada lembaga yang mengutip dalam persentase yang kecil, mereka ada isu bagaimana harus bertahan sebab tidak dana darurat. Menurut Kementerian Sosial, lembaga amal tidak diperbolehkan menyimpan profit yang didapat setelah menyalurkan bantuan ke penerima donor.

“Ini lantas berat karena sebuah institusi tidak punya dana simpanan dalam siklus tahunannya. Apalagi di tahun 2020 kemarin, saat awal terjadi Covid-19, banyak orang yang cenderung menyimpan uang daripada berdonasi. Akibatnya banyak lembaga yang kesulitan menggalang dana. Bahkan ada riset yang menyebutkan banyak lembaga yang stop beroperasi, ini tragis.”

Kedua isu tersebut ingin diselesaikan BeKind melalui blockchain yang sejak tahun lalu tengah mendapat momentum yang baik. Malah, menurut Fajar, kehadiran blockchain merevolusi ekosistem donasi jadi lebih transparan karena semuanya dapat terlihat histori secara real-time dari awal donasi diberikan hingga sampai ke penerima donor. Setidaknya seperti itu ambisi besar BeKind.

“Kami tetap akan membatasi identitas penting, baik itu lokasi, foto, yang dapat diakses. Harapannya kami ingin menciptakan ekosistem charity yang lebih seimbang, ada jalan keluarnya dengan blockchain dan produk turunannya dapat membantu atasi isu sustainability.”

Rencana BeKind

Produk pertama BeKind adalah BeKind Token (BKND) sebagai mata uang digital yang dapat digunakan untuk berdonasi melalui platform. Tokocrypto menjadi tempat peluncuran perdana token tersebut yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir tahun ini. Adapun, token BKND sudah dibuka proses Pre-IEO (Initial Exchange Offering).

Ke depannya, token BKND akan menjadi aset digital native untuk berdonasi di platform hub rilisan BeKind. Seperti diketahui, saat ini BeKind menjadi startup pertama yang bekerja sama dengan Tokocrypto di dalam program akselerator TokoLaunchpad.

Kesempatan ini membuka BeKind untuk memanfaatkan lebih jauh teknologi blockchain dan kripto agar utilitas BKND ke depannya dapat lebih bermanfaat bagi para pemegangnya. BeKind bekerja dengan protokol Binance Smart Chain yang merupakan proyek blockchain besutan Binance yang berjalan beriringan dengan teknologi mereka  lainnya, bernama Binance Chain.

Dengan demikian, BeKind dapat memanfaatkan banyak aplikasi turunannya, salah satunya adalah decentralized finance (DeFi). Fajar menuturkan, DeFi dapat menyelesaikan isu keberlanjutan yang selama ini menjadi batu penghalang bagi banyak lembaga amal karena mendapat pendapatan pasif.

“Ketika donasi sudah berhasil terkumpul, biasanya donasi tersebut tidak langsung segera disalurkan. Nah selagi menunggu, bisa menggunakan staking dengan imbal hasil yang bisa dikumpulkan dan harapannya bisa menjadi emergency fund buat badan amal tersebut agar dapat bertahan.”

Selanjutnya, Tokocrypto akan menjadi platform exchange yang menerima transaksi BKND, baik itu saat ingin berdonasi maupun saat penerima donor ingin mencairkan donasi yang mereka terima.

“Token ini bukan berfungsi sebagai alat tukar, tapi sebagai tracing sampai ke pihak akhir. Nanti pendonor bisa cek karena itu masih tersambung dengan blockchain. Tapi ketika token ini dikonversi mata uang yang berlaku, akan berhenti tracing-nya. Tokocrypto akan jadi pihak exchange-nya.”

Secara badan hukum, BeKind berdiri di bawah PT Grace Teknologi Asia dan telah resmi terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).

Secara global, dengan semangat yang sama seperti BeKind, terdapat The Giving Block yang tokennya kini sudah dapat digunakan tak hanya untuk berdonasi di platform-nya tapi juga di Save the Children, lembaga donasi internasional non-NGO.