Tokopedia Dirikan Dhanapala, Unit Fintech Lending untuk Pinjaman Produktif dan Konsumtif

Tokopedia mengoperasikan anak usaha yang bergerak di bidang fintech p2p lending bernama Dhanapala dengan badan hukum PT Semangat Gotong Royong. Perusahaan tersebut telah mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK per Agustus tahun lalu, dan mulai beroperasi pada dua bulan kemudian.

Secara struktural, Dhanapala diisi oleh orang-orang Tokopedia. Mulai dari Nuraini Razak (Komisaris/VP of Corporate Communications Tokopedia), Sundfitris Lamhot Marulitua (Komisaris/VP Tokopedia), Samuel A.D. Sentana (CEO/AVP of Fintech Tokopedia), dan Nadhira Ayuningtyas (COO/Head of Product Fintech Tokopedia).

Namun, kepada DailySocial, Komisaris Dhanapala Nuraini Razak menyatakan bahwa Dhanapala memiliki tim tersendiri yang jumlahnya hampir 50 orang. Mereka semua bekerja di lokasi yang sama dengan kantor pusat Tokopedia.

Menarik untuk ditelisik adalah mengapa Tokopedia tertarik untuk terjun langsung memberikan pembiayaan, meski perusahaan sendiri sudah bermitra dengan banyak fintech lending dan institusi keuangan lainnya untuk membiayai modal usaha untuk merchant mereka.

Nuraini hanya menjelaskan bahwa kebutuhan pembiayaan modal usaha itu sangat besar, terutama untuk pengusaha yang belum bankable. Sehingga kue tersebut tidak secara eksklusif bisa dinikmati oleh perusahaan tertentu saja.

“[Intinya] untuk memudahkan akses permodalan usaha, contohnya seller UMKM di Tokopedia ada lebih dari 8 juta, banyak yang masih memerlukan modal usaha untuk mengembangkan usahanya, khususnya masyarakat yang tidak bankable,” paparnya, kemarin (4/8).

Produk Dhanapala

Dhanapala memosisikan dirinya sebagai fintech lending untuk pembiayaan konsumtif dan produktif. Penawarannya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan pemain sejenisnya.

Untuk konsumtif, disediakan pinjaman mulai dari Rp2 juta hingga Rp5 juta dan pilihan tenor tersedia 3, 6, hingga 12 bulan. Bunga yang dikenakan mulai dari 2%-3% per bulan.

Sedangkan nominal pinjaman produktif mulai dari Rp2 juta hingga Rp200 juta. Bunga yang ditetapkan mulai dari 1,5%-2,5% per bulan. Bunga tersebut akan ditentukan berdasarkan tingkat risiko dari proses skoring kredit oleh tim.

Seluruh proses pengajuan dilakukan dengan digital, dengan proses verifikasi yang memakan waktu kurang dari 15 menit dan pencairan dana dalam waktu kurang dari lima menit. Apabila ada keterlambatan pembayaran, ada denda yang dikenakan sebesar 0,1% per hari dari jumlah pinjaman yang tersisa.

Dalam menawarkan produk ini, selain dapat diakses langsung melalui aplikasinya, Dhanapala telah terhubung dengan platform Tokopedia untuk produk Modal Toko. Di dalam produk tersebut, selain Dhanapala juga ada Modalku yang menjadi mitra awal sejak pertama kali diinisiasi.

Nuraini mengatakan dalam waktu dekat perusahaan akan membuka kesempatan untuk lender individu bergabung. Saat ini lender di Dhanapala baru berasal dari institusi, meski dia enggan mendetailkan nama perusahaannya.

“Untuk [lender] individual sebetulnya baru mau launching, jadi lagi proses. Tunggu annoucement-nya ya.”

Dari situs perusahaan, tercatat per Maret kemarin, telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp24,2 miliar untuk 4.918 pengajuan yang dilakukan oleh 4.777 peminjam.

Tren marketplace seriusi fintech lending

Arah Tokopedia masuk ke p2p lending juga dilakukan oleh Shopee yang mulai menyeriusi bisnis fintech-nya melalui ShopeePay, mengembangkan ShopeePayLater dan ShopeePinjam.

Keduanya kini memiliki (kalau Shopee bermitra) dengan fintech lending yang ditawarkan untuk para penggunanya, baik itu konsumer maupun merchant online-nya. Karena punya basis pengguna yang kuat, maka penawaran produk fintech yang telah disesuaikan dengan kebutuhan ini bisa diterima dengan baik.

OJK selaku regulator di sektor ini menyiapkan karpet merah untuk siapa pun yang ingin mengoperasikan perusahaan fintech lending. Hanya saja ada persyaratan yang ketat sebelum mendapat izin, seperti memiliki lebih dari 20 SOP yang mengatur tata cara pengendalian internal, collection, perlindungan data, dan sebagainya, memiliki ISO 27.001.

Berikutnya, punya escrow account terpisah dan virtual account untuk lender, memiliki tanda tangan digital dan e-KYC procedure, terintegrasi dengan asuransi kredit, dan bekerja sama dengan lembaga pengelola informasi perkreditan.

Berdasarkan statistik OJK per 10 Juli 2020, total penyelenggara fintech p2p lending sebanyak 158 entitas. Sebanyak 33 entitas telah mengantongi tanda bukti perizinan dan 125 entitas lain masih berstatus terdaftar. Dari jenis bisnisnya, 147 entitas merupakan perusahaan konvensional dan 11 entitas lain berbasis syariah.

Application Information Will Show Up Here

The Rent-to-Own Concept by TapHomes Allows User to Rent While Making Down Payment

The low rate of house ownership becomes one of TapHomes’ reasons to run the proptech startup. Victor Ramli Kwan as co-founder revealed to DailySocial, there are currently people who have lost the opportunity of house ownership. And he finds it as a problem that affects many people in Indonesia.

TapHomes applies the “rent-to-own” concept as a bridge to help customers get houses. It allows users to pay rent while saving for the house’s down-payment.

Victor said, most of TapHomes‘ customers are new homeowners who cannot obtain traditional home mortgages; most of the issues are due to incapability to pay a down payment or pay a mortgage loan of at least 15-20% of the price of the house.

Through the application, prospective buyers can simply pay a deposit of 2%, then TapHomes will buy the desired house. The customer will then start to inhabit the house and pay monthly rent starting from 1.2 million Rupiah. The cost is allocated 70% for rent and 30% for savings on home ownership.

Regarding the type of house, the TapHomes team will conduct an analysis according to the ability of prospective buyers. Because it has been purchased, the rental process can be modified or renovated according to residents’ wishes.

The rental period is 3-5 years; and at the end of the lease, the customer will have a savings with a total equivalent value of a 15% deposit for the purchase of a home. They can continue to buy the house in cash or through mortgages.

When the customer cannot continue the house purchase plan at the end of the program, TapHomes and the customer will sell the house to a third party. Proceeds from the sale of the house will be divided according to the proportion of home ownership between TapHomes and customers.

“We make it easier for new families to buy their homes with affordable down payment and the development of regular home ownership, that in 3 years later our customers can apply for mortgages in banks,” said Victor.

Technology Development

TapHomes is said to have processed around more than 2 thousand potential customer submissions. Later on will be curated process of customers who are entitled to get services.

Regarding technology, TapHomes is developing an Automated Valuation Engine that makes it easier for the platform to evaluate the value of house prices more efficiently.

TapHomes currently has some objectives, including expanding to major cities in Indonesia. To date, TapHomes’ focus is still on the Greater Jakarta area, especially in Bekasi, Tangerang and Depok.

“We have received seed funding from VC and previously bootstrapping. TapHomes is now involved in batch 3 Accelerator Program from SYNRGY by the BCA group in and batch 7 Plug & Play Accelerator,” Victor said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Konsep “Rent-to-Own” TapHomes Mungkinkan Pengguna Sewa Rumah Sembari Cicil Uang Muka Pembelian

Masih rendahnya jumlah kepemilikan rumah menjadi salah satu alasan mengapa startup proptech TapHomes hadir. Kepada DailySocial, Victor Ramli Kwan selaku co-founder mengungkapkan, saat ini masih banyak orang yang kehilangan peluang kepemilikan rumah. Dan ia melihat ini sebagai masalah yang berdampak kepada banyak orang di Indonesia.

TapHomes menerapkan konsep “rent-to-own” sebagai jembatan untuk membantu pelanggan mendapatkan rumah. Yakni memungkinkan pengguna membayar sewa sekaligus mencicil proses pembelian rumah secara bersamaan.

Victor mengatakan, pelanggan TapHomes sebagian besar adalah pemilik rumah baru yang tidak dapat memperoleh KPR rumah secara tradisional; kebanyakan isunya karena tidak mampu membayar uang muka atau membayarkan deposit KPR minimal 15-20% dari harga rumah.

Melalui aplikasi tersebut, calon pembeli cukup membayar uang muka 2%, selanjutnya TapHomes akan membeli rumah yang diinginkan. Pelanggan kemudian akan mulai menghuni rumah dan membayarkan uang sewa setiap bulan mulai dari 1,2 juta Rupiah. Biaya tersebut dialokasikan 70% untuk sewa dan 30% untuk tabungan kepemilikan rumah.

Mengenai tipe rumah, tim TapHomes akan melakukan analisis sesuai kesanggupan calon pembeli. Karena sudah dibeli, ketika proses sewa rumah tersebut bisa dimodifikasi atau direnovasi sesuai keinginan penghuni.

Masa sewanya dalam jangka 3-5 tahun; dan pada masa akhir sewa, pelanggan akan memiliki tabungan dengan total nilai setara dana deposit 15% untuk pembelian rumah. Mereka bisa melanjutkan untuk membeli rumah tersebut secara tunai atau melalui KPR.

Jika di akhir program pelanggan tidak bisa melanjutkan rencana pembelian rumah, TapHomes dan pelanggan akan menjual rumah tersebut kepada pihak ketiga. Hasil dari penjualan rumah tersebut akan dibagi sesuai dengan proporsi pemilikan rumah antara TapHomes dan pelanggan.

“Kami membuat lebih mudah untuk keluarga baru membeli rumah mereka dengan uang muka yang terjangkau dan pengembangan pemilikan rumah yang teratur, bahwa di 3 tahun kemudian pelanggan kami dapat mengajukan KPR di perbankan,” kata Victor.

Mengembangkan teknologi

Saat ini TapHomes mengklaim telah memproses sekitar lebih dari 2 ribu pengajuan calon pelanggan. Nantinya akan dilakukan proses kurasi pelanggan yang berhak untuk mendapatkan layanan.

Terkait teknologi, TapHomes sedang mengembangkan Automated Valuation Engine yang mempermudah platform untuk mengevaluasi nilai harga rumah dengan lebih efisien.

Ada beberapa rencana yang ingin dicapai oleh TapHomes, di antaranya adalah melakukan ekspansi kepada kota-kota besar di Indonesia. Saat ini fokus TapHomes masih di area Jabodetabek terutama di Bekasi, Tangerang, dan Depok.

“Kami sudah mendapatkan seed funding dari VC dan sebelumnya beroperasi dengan pendanaan pendiri. TapHomes sekarang juga sedang menjalani Accelerator Program dari SYNRGY oleh BCA group di dalam batch 3 dan Plug & Play Accelerator di dalam batch 7,” kata Victor.

D-Laundry Hadir sebagai Aplikasi Marketplace Jasa Cuci Pakaian

Bukan hanya menawarkan konsep seamless memanfaatkan aplikasi dan situs web, layanan laundry on-demand alias jasa cuci pakaian berbasis aplikasi umumnya juga memberikan pilihan pembayaran non-tunai melalui dompet elektronik. Salah satunya adalah D-Laundry, berdiri sejak tahun 2016 startup ini mengklaim telah memiliki ratusan mitra dan ribuan pengguna. Layanan mereka telah hadir di kawasan Jabodetabek.

Kepada DailySocial CEO D-Laundry Ridhwan Basalamah mengungkapkan, sejak awal di samping memberikan solusi kepada pengguna jasa laundry, tujuan bisnisnya adalah untuk mengembangkan ekonomi lokal, dalam hal ini UKM jasa laundry.

“Kami mengedepankan peningkatan kapabilitas dan kualitas layanan dari mitra Kami dengan menerapkan program pengembangan bisnis dan standardisasi layanan laundry dari proses penjemputan hingga pengembalian cucian. Di samping itu, kami memberikan jaminan untuk pakaian sehingga pengguna D-Laundry dapat merasakan pengalaman mencuci yang terbaik dan bebas khawatir,” kata Ridhwan.

Sementara untuk strategi monetisasi, mereka menerapkan profit sharing untuk setiap pemesanan melalui aplikasi.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa platform yang tawarkan jasa serupa, misalnya KliknKlin, LaundryTaxi, Seekmi, Taptopick, dll.

Memiliki pilihan pembayaran “D-Pay”

Selain menawarkan pilihan pembayaran melalui virtual account dan LinkAja, D-Laundry juga memiliki pilihan pembayaran melalui D-Pay. Pilihan pembayaran ini dihadirkan untuk memberikan kemudahan pelanggan melakukan pembayaran.

“D-Pay sendiri itu bukan e-money tapi platform penunjang sistem pembayaran dari D-laundry. Terkait izin, kami terdaftar sebagai Penyelenggara Teknologi Finansial oleh Bank Indonesia sejak bulan April tahun 2020 lalu,” kata Ridhwan.

Tahun ini ada beberapa target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya adalah pemenuhan wilayah layanan di area Jabodetabek dengan menambah mitra D-Laundry. Serta terus menambahkan fitur-fitur yang dapat dirasakan manfaatnya bagi mitra dan pengguna.

“Tahun ini kami juga berencana melakukan penggalangan dana. Sampai saat ini, kami masih melakukan model bootstrap untuk mendanai operasional D-Laundry. Kami yakin potensi D-Laundry begitu besar melihat industri laundry yang terus berjalan dan berkembang.”

Bisnis saat pandemi

Selama pandemi tidak ada perubahan yang signifikan dari sisi jumlah pelanggan yang memanfaatkan aplikasi D-laundry. Perusahaan juga memastikan semua mitra menerapkan prosedur untuk selalu membersihkan ruang dan fasilitas laundry dengan desinfektan, menggunakan bahan dan cairan kimia terstandardisasi, memastikan kesehatan pekerja, menyediakan fasilitas cuci tangan dan masker, dan menerapkan contactless delivery.

“Kekhawatiran akan infeksi Covid-19 membuat banyak orang kini lebih telaten memperhatikan kebersihan, salah satunya pakaian, hal ini harus dimanfaatkan oleh pebisnis laundry sebagai momentum untuk mempromosikan jasa yang aman dan nyaman kepada masyarakat. ” kata Ridhwan.

Untuk membantu para mitra menjalankan bisnis selama pandemi, D-Laudry telah melakukan berbagai kegiatan seperti training dan pengembangan komunitas. Salah satunya, dalam waktu dekat akan menyelenggarakan event seminar online membahas tentang pengelolaan keuangan dan pendanaan usaha laundry menghadapi masa pandemi.

Application Information Will Show Up Here

Storie App Aims to Become “Social Commerce”, Providing Honest Review of Beauty Products

The use of social media for sales has been very common in this industry. There is a term used to refer to this concept, it’s social commerce. In the past year, platforms with this concept are emerging, such as Woobiz and Chilibeli.

This is an issue that inspired several Alibaba Group UCWeb alumni consisting of Liu Feida, Rizky Maulana, and HE Yaoming to contribute to the challenges of the Indonesian beauty industry through the social commerce platform, Storie.

Regarding the potential of social commerce Rizky said, “We see that social media is driving the trend including the beauty industry. Therefore, Storie was founded by combining social media with e-commerce.”

He said that Storie’s basic idea was to invite Indonesian women to be more confident in embracing their true selves. Furthermore, a beauty app launched, offering honest reviews of makeup, skincare, and contemporary lifestyle.

In this application, users are offered honest reviews from beauty vloggers and/or the general public about makeup and skincare trends without having to fear getting “bullied” or being ridiculed by the audience. Storie wants to provide a safe place for users to express themselves and their passion in the beauty industry.

Beautytech in Indonesia

With a population of more than 130 million women, the Indonesian beauty industry is a market with many opportunities while at the same time requiring specific ways of entrance and to survive in this business. Previously, one of Indonesia’s beautytech platforms had secured new funding. This practically shows hope of technology penetration in the beauty industry.

“Indonesia is a blue ocean market for the beauty industry, we see more accessible information through digital media and channels. It’s easier for local and international products to enter the Indonesian market and form a very dynamic market where quality becomes crucial but not the only success factor for a product,” Rizky explained.

In terms of strategy, Storie intend to capture the demand and pain points in today’s society. One of them is inaccurate information and the lack of a community with a positive vibe. The company, entering one year old in May, has also launched an application for Android users with total downloads exceeding 500 thousand and around 100 thousand active users per day.

In terms of content curation, the company has dedicated two special teams, the QC (Quality Control) team and the content standardization team to set benchmarks and filter the contents on the platform. During the pandemic, there are many changes occurred in the business plan and monetization strategy, but the company tried to see this as a momentum to be able to innovate better.

Business strategy

In terms of monetization, Rizky revealed that the revenue is mostly comes from brand deals launching campaigns and products. “In the future, we will work with all brands to make their products available at Storie,” Rizky added.

In the near future, Storie will also launch a new initiative on its platform to facilitate transactions in the application and perfect its social commerce concept.

In late 2019, the company was selected as one of three Indonesian startups to participate in the second batch of Sequoia Capital’s accelerator program, Surge. Alpha JWC Ventures also participated in a seed round through this Surge program.

Entering the new normal, the company sees hope “As a dynamic company, as well as a society that is increasingly moving towards digital, the team believes there is always an opportunity to develop more.

“Covid-19 is quite inevitable and has changed how the world works also business and technology, and everything will lead to a digital platform, digitizing all lines of life. We build a company that is ready to transform to answer that challenge,” Rizky concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aplikasi Storie Suguhkan Ulasan Jujur tentang Produk Kecantikan, Berambisi Jadi “Social Commerce”

Pemanfaatan media sosial untuk kepentingan penjualan sebenarnya sudah menjadi hal yang lazim. Ada istilah yang lebih sering digunakan untuk menyebut konsep ini, yakni social commerce. Dalam setahun terakhir, platform yang mengusung konsep tersebut mulai banyak bermunculan, sebut saja Woobiz dan Chilibeli.

Hal tersebut dilihat oleh beberapa alumni UCWeb Alibaba Group yang terdiri dari Liu Feida, Rizky Maulana, dan HE Yaoming sebagai sebuah kesempatan, untuk bisa berkontribusi dalam menjawab tantangan dunia kecantikan Indonesia melalui platform social commerce Storie.

Mengenai potensi social commerce Rizky menyampaikan, “Kami melihat media sosial telah menjadi alat penggerak tren termasuk dunia kecantikan. Oleh karena itu Storie kami dirikan, dengan mengombinasikan antara media sosial dengan e-commerce.”

Pihaknya mengungkapkan bahwa ide dasar Storie adalah untuk mengajak perempuan Indonesia lebih percaya diri dalam menilai diri mereka masing-masing. Dari situ, lalu diluncurkan sebuah aplikasi kecantikan yang menjunjung tinggi kejujuran membahas makeup, skincare, dan lifestyle kekinian.

Dalam aplikasi ini, pengguna ditawarkan review jujur dari para beauty vlogger dan atau masyarakat pada umumnya tentang tren makeup dan skincare tanpa harus takut mendapatkan “bully” atau cemooh oleh audiens. Storie ingin menyediakan tempat yang aman untuk pengguna mengekspresikan diri dan passionnya di dunia kecantikan.

Beautytech di Indonesia

Dengan jumlah populasi perempuan lebih dari 130 juta, industri kecantikan di Indonesia adalah sebuah market yang menjanjikan banyak kesempatan sekaligus membutuhkan cara yang tepat sasaran untuk bisa masuk serta bertahan dalam bisnis ini. Sebelumnya, salah satu platform beautytech Indonesia juga baru saja mendapatkan pendanaan. Hal ini menunjukkan adanya harapan pada penetrasi teknologi di dunia kecantikan.

“Indonesia is a blue ocean market for beauty industry, kami melihat dengan semakin mudahnya akses informasi melalui media dan kanal digital. Semakin mudahnya produk lokal dan juga internasional memasuki pasar Indonesia membentuk suatu pasar yang sangat dinamis dimana kualitas dan mutu dari sebuah produk akan sangat menentukan tapi tidak menjadi satu satunya faktor keberhasilan sebuah produk,” jelas Rizky.

Dari sisi strategi, Storie mencoba menangkap keinginan dan pain point yang di hadapi masyarakat saat ini. Salah satunya adalah informasi yang kurang akurat serta kurangnya komunitas yang membawa vibe positif. Perusahaan yang genap berusia satu tahun pada bulan Mei kemarin ini juga telah meluncurkan aplikasi untuk pengguna Android dengan total unduhan melebihi 500 ribu serta pengguna aktif sekitar 100 ribu per hari.

Dari sisi kurasi konten, pihaknya menyebutkan telah mendedikasikan dua tim khusus, yaitu tim QC (Quality Control) serta tim standardisasi konten untuk menetapkan benchmark dan menyaring konten-konten yang ada dalam platform. Selama pandemi ini, diakui ada banyak perubahan yang terjadi dalam rencana bisnis dan strategi monetisasi, namun perusahaan mencoba melihat hal ini sebagai sebuah momentum untuk bisa berinovasi lebih baik.

Rencana bisnis

Dalam monetisasi bisnis, Rizky menyimpulkan bahwa selama ini revenue datang dari brand deals yang ingin meluncurkan campaign maupun launching produk. “Ke depannya kami akan berkerja sama dengan semua brand agar produknya dapat di jual di Storie,” Rizky menambahkan.

Dalam waktu dekat, Storie juga akan meluncurkan inisiatif terbaru dalam platformnya untuk mempermudah transaksi dalam aplikasi serta menyempurnakan konsep social commerce miliknya.

Di akhir tahun 2019 lalu, perusahaan ini terpilih menjadi salah satu dari tiga startup Indonesia untuk mengikuti program akselerator Sequoia Capital, Surge batch kedua. Alpha JWC Ventures juga turut berpartisipasi dalam seed round bersama melalui program Surge ini.

Memasuki tatanan new normal perusahaan melihat adanya harapan” Sebagai perusahaan yang dinamis, serta masyarakat yang semakin bergerak ke arah digital, pihaknya meyakini adanya kesempatan untuk bisa semakin berkembang.

“Tidak dapat dimungkiri Covid-19 telah mengubah tatanan dunia dan bisnis serta teknologi, dan semua akan mengarah ke platform digital, digitalisasi semua lini kehidupan. Dan kami adalah perusahaan yang siap bertransformasi menjawab tantangan itu,” tutup Rizky.

Application Information Will Show Up Here

Lawgo Introduces Marketplace App for Lawyer Service

The demand for legal services in Indonesia is quite high. It is also shown in the number of local legaltech and regtech startups that increase over time. The high-demand and not-inclusive law services have inspired Lawgo as legaltech.

Lawgo was founded in November 2018 with Luki Amalah as founder and CEO. The service was launched as a mobile application in last year’s first half, but they re-released the application this month. Luki said the reason he created Lawgo was that public access to fair and transparent law enforcement was not really inclusive.

“We’ve seen Indonesia, in particular, many people are quite oppressed or have lost their rights, yet doing nothing because they don’t really know where to go or what to do to for this issue,” Luki said.

Product and business model

Lawgo runs B2C business model as a marketplace. With the current platform, users can search and use legal consulting services of some lawyers. The types of legal services they provide are also quite diverse ranging from mediation, criminal defense, advocacy, debt problems, to divorce.

Luki said that Lawgo made revenue by taking fee from each transaction that occurred. This fee is included in the price of the services offered to customers.

“For any lawyer who wants to join to become a Lawgo partner and submit their profile on our application, it’s free, but when they start accepting clients through our application, then the amount of fee they receive will be deducted for the Lawgo fee portion,” Luki explained.

To date, there have been quite a few lawyers partners who joined Lawgo, while the number of their app downloads has reached over 1000. There are at least two Lawgo’s leading features, Chat with Lawyer and Meet the Lawyer.

Both features have a fixed rate. Chat with Lawyer costs around Rp. 17,500 to Rp. 30,000 for one 20-minute session. While the Meet the Lawyer feature (to be released soon) will cost around Rp. 300,000-Rp. 500,000 per consultation.

“The different rate based on the lawyer classification, young and senior based on experience,” Luki added.

Short-term target

As a relatively new startup, Luki said education, introduction, and branding to the market are still Lawgo’s main focus. They also intend to develop new features to enrich their services. One of them is a feature that allows lawyers to assist clients to get right to court.

Luki saw the pandemic as an opportunity for Lawgo’s legal services to be more widely known by the public. The reason, the community’s concern about Covid-19 limits the movement of some people. That means that legal services based on the mobile application Lawgo could potentially be used by more people.

Thus, it is not surprising when Luki said Lawgo, a bootstrap startup, is yet to raise funding. “We’ve thought about fundraising, but it’ll not before early next year, mainly because our focus is more on brand and product introduction, also education to the public about the Lawgo service,” Luki concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lawgo Perkenalkan Aplikasi Marketplace untuk Akses Jasa Pengacara

Kebutuhan layanan hukum di Indonesia masih tinggi. Maka tak heran jumlah startup legaltech maupun regtech di dalam negeri akan terus bertambah seiring waktu. Kebutuhan layanan hukum yang masih tinggi dan belum merata inilah yang dirasakan oleh legaltech Lawgo.

Lawgo berdiri sejak November 2018 dengan Luki Amalah sebagai founder dan CEO. Lawgo merilis layanan mereka dalam bentuk aplikasi mobile sejak pertengahan tahun lalu, namun mereka merilis ulang aplikasinya di bulan ini. Luki mengatakan latar belakang pendirian Lawgo karena akses masyarakat ke penegakan hukum yang adil dan transparan belum merata.

“Kami melihat di Indonesia khususnya masih sangat banyak orang-orang yang tertindas atau kehilangan haknya tetapi nrimo saja, karena tidak tahu
harus ke mana atau berbuat apa guna memperoleh pemulihan haknya tersebut,” ucap Luki.

Model bisnis dan produk

Bisnis Lawgo adalah B2C yang berbentuk marketplace. Dengan platform Lawgo, seorang pengguna bisa mencari dan menggunakan jasa konsultasi hukum dengan sejumlah pengacara. Jenis layanan hukum yang mereka sediakan pun cukup beragam mulai dari mediasi, pidana, pendampingan, masalah utang, hingga perceraian.

Luki menjelaskan Lawgo memperoleh pendapatan dari kutipan biaya sekian rupiah dari tiap transaksi yang terjadi. Biaya tersebut sudah termasuk di dalam harga jasa yang ditawarkan ke pelanggan.

“Untuk siapapun lawyer yang ingin bergabung menjadi mitra Lawgo dan masuk profilnya di aplikasi kami itu gratis, tetapi saat mereka mulai menerima klien melalui aplikasi kami, maka besaran fee yang mereka terima akan dipotong untuk bagian fee Lawgo,” jelas Luki.

Sejauh ini mitra pengacara yang bergabung dengan Lawgo sudah ada puluhan, sedangkan jumlah unduhan aplikasi mereka sudah sekitar 1000 kali. Setidaknya ada fitur andalan Lawgo yang ditawarkan ke pasar yakni Chat with Lawyer dan Meet the Lawyer.

Kedua fitur tersebut dipatok dengan harga tetap. Layanan Chat with Lawyer dihargai sekitar Rp17.500 hingga Rp30.000 untuk satu sesi berdurasi 20 menit. Sementara fitur Meet the Lawyer yang nanti segera dirilis dihargai sekitar Rp300.000-Rp500.000 per sekali konsultasi.

“Di mana perbedaan harga layanan adalah tergantung pada klasifikasi dari lawyer-nya, muda dan senior berdasarkan pengalaman,” imbuh Luki.

Target dalam waktu dekat

Sebagai startup yang tergolong baru, Luki menyebut edukasi, pengenalan, dan branding Lawgo ke pasar masih menjadi fokus mereka untuk saat ini. Mereka juga berniat mengembangkan fitur-fitur baru untuk memperkaya layanannya. Salah satunya seperti fitur yang memungkinkan pengacara untuk membantu klien langsung hingga ke meja hijau.

Luki melihat pandemi sebagai kesempatan bagi layanan hukum Lawgo agar dikenal lebih luas oleh masyarakat. Pasalnya, kekhawatiran masyarakat akan Covid-19 membatasi pergerakan sebagian orang. Itu artinya layanan hukum berbasis aplikasi mobile Lawgo berpotensi digunakan lebih banyak orang.

Maka tak mengherankan Luki menyebut Lawgo yang masih menggunakan modal urunan para pendirinya belum berniat mengumpulkan pendanaan. “Ada niatan juga untuk fundraising tapi sepertinya itu masih di awal tahun depan, terutama karena fokus kita saat ini lebih pada pengenalan brand dan produk terlebih dahulu serta edukasi ke masyarakat mengenai hadirnya Lawgo,” pungkas Luki.

Application Information Will Show Up Here

Cerita Bartega Lakukan Transformasi Digital, Selamatkan Bisnis Saat Pandemi

Pada Juni lalu, Gojek melalui program akseleratornya Xcelerate mengumumkan 11 startup di batch keempat. Adalah Bartega yang menjadi salah satu startup terpilih untuk menerima pelatihan dari berbagai mentor terkait penyesuaian bisnis selama masa pandemi.

Bagi penikmat karya seni, nama Bartega mungkin tidak asing lagi. Bartega yang berdiri sejak 2017 awalnya dikenal sebagai penyelenggara berbagai kegiatan komunitas, seperti wine tasting dan workshop melukis di tiga kota utama, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bali.

Bartega kini tak cuma mengadakan kelas atau workshop melukis saja, tetapi juga kelas lain, yaitu visual journaling dan merangkai bunga. Perusahaan yang digawangi oleh tiga founder ini juga memproduksi paint kit sendiri.

Selain itu, untuk menjangkau pasar yang lebih luas, Bartega menyediakan beragam konten online tutorial melalui YouTube dan Instagram. Saat ini, Bartega memiliki delapan orang tim dan 20 instruktur seni.

Selama masa pandemi Covid-19, Co-founder Bartega Nadia Daniella mengungkap bahwa situasi tersebut memaksa perusahaan untuk mengalihkan seluruh kegiatan yang tadinya offline menjadi online. Dari penyelenggaraan kegiatan workshop hingga penjualan paint kit kepada konsumennya.

Beberapa penyesuaian yang dilakukan adalah memasarkan paint kit melalui website resmi dan platform Tokopedia. Kemudian, penyelenggaraan kelas dilakukan melalui secara virtual dengan Zoom.

“Kami bersyukur [bisnis] kami tetap tumbuh di masa sulit ini. Dengan pivot seluruhnya ke online, kami dapat menjangkau lebih banyak orang di luar pulau Jawa dan Bali,” ungkap Nadia.

Sebetulnya, Bartega telah menyadari tren disrupsi digital, terutama bagi kalangan milenial. Untuk itu, perusahaan berupaya untuk mengandalkan teknologi digital pada setiap fase bisnisnya, mulai dari memproduksi karya seni via aplikasi, menghadirkan user journey yang seamless di website-nya, hingga mendistribusikan tiket acara melalui platform digital.

“Sebagai perusahaan, kami selalu digital-minded. Meskipun kami mengadakan event 100% offline, kami betul-betul berinvestasi di platform digital untuk memberikan pengalaman yang mudah bagi customer,” paparnya.

Sebagaimana diketahui, Gojek Xcelerate batch keempat sejak awal mengincar startup di bidang direct-to-consumer untuk menyesuaikan tantangan bisnis di masa pandemi. Peserta diberikan pelatihan, salah satunya untuk meminimalisasi kegagalan startup dalam mengembangkan produk/layanan dengan menerapkan teknik minimum viable product (MVP).

“Gojek Xcelerate sangat luar biasa karena setiap mentor memberikan materi dan gaya yang berbeda, mulai dari Digitaraya, Google, Gojek, dan UBS. Kami belajar banyak soal general leadership, cara membangun metrik yang tepat, dan cara menavigasi bisnis di ekosistem startup,” jelasnya.

Menjadi destinasi kreatif di Indonesia

Lebih lanjut, Nadia berujar bahwa pihaknya membawa misi untuk menjadi destinasi kreatif di Indonesia. Apalagi, kini Bartega telah memiliki basis komunitas yang kuat.

“Kami ingin membuktikan bahwa seni itu bernilai, demikian juga bagi orang-orang yang berkarir di dunia seni. Ada banyak seniman berbakat di Indonesia. Maka itu, misi kami adalah memperkenalkan seni ke berbagai kota dan menanamkan kebiasaan kreatif untuk mendorong industri kreatif,” paparnya.

Lebih Dekat Mengenal eCLIS, Platform Pangkalan Data Perundang-undangan Indonesia

eClis.id (eCLIS) adalah sebuah platform yang didesain untuk memudahkan pengguna menemukan peraturan perundang-undangan Indonesia. Nama eCLIS sendiri merupakan akronim dari “Electronic Codification dan Legal Information System”. Dikembangkan mulai tahun 2015, kini eCLIS berusaha menjadi rujukan untuk informasi hukum dengan penerapan teknologi terkini.

Rajulur Rakhman, Co-founder dan CEO eCLIS menceritakan, kendati mulai dikembangkan sejak tahun 2015 platformnya baru mulai menjadi badan hukum sejak tahun 2017. Layanan mereka sudah digunakan di beberapa lembaga negara seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan juga sejumlah korporasi seperti PT Pertamina Lubricants dan PT Terminal Teluk Lampong.

“Model bisnis yang dilakukan adalah dengan menerapkan freemium, di mana pengguna eCLIS pada dasarnya dapat menggunakan secara gratis untuk data yang bersifat informasi dasar dan dapat meningkatkan jenis keanggotaannya menjadi premium untuk dapat menelusuri nilai tambah informasi hukum yang lebih lengkap dengan fitur yang telah disediakan eClis tanpa limitasi,” terang Rajulur.

Selain kategori premium eCLIS juga menyediakan jenis berlangganan elite membership yang disiapkan khusus untuk penggunaan di lembaga/organisasi/divisi/korporasi/satuan dengan fitur yang dapat disesuaikan dengan keinginan pelanggan.

Lebih dekat dengan eCLIS

Layaknya mesin pencari, eCLIS mampu menampilkan hasil penelusuran berbasis kata kunci. Sistem eCLIS diklaim mampu melakukan content analysis sehingga penggunanya bisa mendapatkan kerangka hukum berdasarkan kata kunci yang dimasukkan. Tampilannya pun tidak hanya dalam bentuk tabel, tetapi juga x-mind map lengkap dengan komentar dan catatan para ahli hukum dan pengguna lainnya.

“eCLIS diharapkan akan dapat menjadi AI dalam bidang hukum nantinya. Ke depan algoritma hukum nasional akan harmonis dengan dinamika hukum regional dan internasional,” imbuh Rajulur.

Rajulur lebih jauh menceritakan bahwa saat ini mereka tengah berfokus pada kampanye pemasaran dan penjualan, juga tengah mencari pendanaan tahap awal yang rencananya akan dimanfaatkan untuk melengkapi eCLIS dari segi data maupun teknologi yang digunakan.

“Pendanaan tersebut akan kami gunakan untuk mencapai tujuan eCLIS yang lebih besar yakni menjadi database peraturan Indonesia dan juga knowledge-base hukum yang nantinya akan dilengkapi dengan AI untuk membantu dan mendukung dalam pengembangan sistem hukum nasional khususnya pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia agar menghasilkan produk hukum yang tepat guna dan tepat sasaran serta menjadi sistem elektronik rujukan dunia dalam penelusuran informasi hukum di Indonesia,” tutup Rajulur.

Di Indonesia sendiri startup yang berkaitan dengan layanan hukum sudah banyak bermunculan. Legalku, Lexar, Poplegal, HukumOnline, Justika, dan KontrakHukum adalah beberapa nama yang juga menyediakan layanan berkaitan dengan hukum, hanya saja semuanya memiliki model bisnis dan pendekatan masing-masing.