MDI Ventures Segera Umumkan Dana Investasi Ketiga, Menargetkan 1,4 Triliun Rupiah

MDI Ventures, perusahaan ventura korporasi Telkom Group, mengungkapkan sedang dalam proses pengumpulan dana investasi ketiga dengan target nilai $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah). Kali ini MDI melibatkan investor dari luar negeri sebagai LP, salah satunya yang terkuak adalah Kookmin Bank asal Korea Selatan.

Kepada DailySocial, Principal and Head of Investor Relations MDI Ventures Kenneth Li mengonfirmasi bahwa Kookmin Bank adalah salah satu dari LP yang akan masuk ke dana investasi ketiga dari MDI Ventures. Namun, kesepakatan antara keduanya belum sampai tahap final.

Dia juga belum bisa mengonfirmasi apakah Telkom akan kembali masuk di dana investasi terbaru tersebut atau sepenuhnya bakal berasal dari investor luar negeri. Selain Bank Kookmin, pihaknya sedang menjajaki LP dari Timur Tengah dan beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura.

Debut Kookmin Bank di Indonesia dimulai dengan masuk sebagai pemegang saham baru di Bank Bukopin. Salah satu bank terbesar di Korea Selatan ini membeli 22% saham Bank Bukopin senilai 1,46 triliun Rupiah tahun lalu.

“Kookmin adalah salah satu investor yang masuk ke fund terbaru kita, tapi masih finalisasi. Target dana investasi yang mau kita kelola untuk kali ini $100 juta setara dengan fund pertama,” katanya, Jumat (13/9).

Keputusan MDI Ventures untuk terbuka ke investor luar, sebenarnya merupakan hal yang baru. Awalnya perusahaan mengantongi dana investasi sebesar $100 juta sepenuhnya berasal dari Telkom. Kemudian, di tahap kedua berasal dari anak usaha Telkomsel, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), sebesar $40 juta pada Mei 2019.

MDI Ventures ingin membuka gerbang ke investor luar yang selama ini tersendat saat ingin masuk ke Indonesia. Mereka tahu tentang Indonesia berkat nama-nama unicorn yang sering disebut media luar, tapi masih kurang ter-expose dengan startup lokal lain yang bisa diajak kolaborasi.

Strategi yang dipilih MDI Ventures kali ini bisa dibilang mengikuti jejak SoftBank. Pada awalnya SoftBank memanfaatkan dana internalnya untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi. Setelah sukses, mereka mantap meluncurkan berbagai dana investasi bernilai besar karena diisi LP kenamaan mancanegara.

Mengelola dana dari investor luar bukan menjadi tantangan utama buat MDI Ventures, meski ini pertama kalinya. Kenneth meyakini, performa dan rekam jejak perusahaan yang proven sejak beroperasi di 2015, bisa membuat para investor yakin dengan kemampuan perusahaan dalam mengelola dana investasi dan bisa memberikan imbal hasil yang menjanjikan.

MDI Ventures sejauh ini mengelola 35 portofolio yang tersebar di 10 negara, dengan total lima exit. Beberapa di antaranya IPO di luar negeri, seperti Geenie di TSE (bursa Jepang) dan Whispir (bursa Australia).

“Dari track record MDI, kami tahu cara exit yang tepat karena investor itu tetap mencari return. Tapi kami tidak mau di situ saja. Bagaimana bisa kolaborasi lebih jauh dengan investor, MDI ini jadi fase awal dan partner untuk bantu mereka masuk ke Indonesia.”

Rencana berikutnya

Telkom, selaku induk usaha, telah memberikan restunya bagi MDI Ventures untuk mencari celah pertumbuhan yang bisa diakselerasi lebih lanjut. Perusahaan tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Telkom saja dan membutuhkan dukungan dari pihak lain.

Meskipun demikian, fokusnya tidak berubah dari awal, yakni mencari startup potensial yang bisa diajak kolaborasi bersama Telkom Group. Hal ini selaras dengan upaya mendukung transformasi Telkom agar lebih dari sekadar perusahaan telekomunikasi.

“Telkom ke depannya enggak hanya jadi telco company. Jadinya kita akan tetap go beyond telco. Tugas kita tetap sama, cari potential startup yang bisa bantu Telkom untuk masa mendatang, kalau ada yang bagus pasti akan ada kolaborasi,” tambah GM of Investment MDI Ventures Aldi Adrian.

Kebebasan memilih segmentasi startup jadi keuntungan yang dirasakan MDI Ventures dibandingkan CVC lainnya, apalagi yang dibentuk bank karena adanya limitasi regulasi.

“Kita jadi lebih agile karena kita bisa masuk ke semua segmen bisnis, sehingga value added yang kita berikan lebih banyak dari CVC pada umumnya.”

Meski masih menutup rapat-rapat rencana investasi berikutnya, Kenneth memastikan ada beberapa investasi yang siap diumumkan menjelang tutup tahun 2019. Salah satunya adalah investasi untuk startup fintech yang didirikan mantan pegawai sebuah unicorn.

Nicko Widjaja dalam Investasi Teknologi: Bangkit dari Rasa Tersisih dan Anggapan Remeh

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Industri teknologi bukanlah tempat bermain, tidak ada buku panduan dalam mencapai kesuksesan dalam hal ini. Menjadi salah satu penggiat investasi teknologi, Nicko Widjaja, telah merasakan pahit manisnya industri ini. Sebagai seorang CEO, Nicko berhasil menjadikan MDI Ventures dengan dukungan telkom Indonesia, satu dari sedikit perusahaan modal ventura (PMV) yang menuai profit paling besar.

Pada tahun 2011, Ia memulai PMV bernama Systec Ventures dikala banyak yang masih ragu dengan perkembangan startup teknologi di Indonesia. Setelah tutup buku di tahun 2013, Ia kemudian memimpin sebuah program startup inkubator terbesar oleh Telkom di Indonesia bersama Telkom Indigo Incubator. Di tahun 2015, Ia naik menjadi kepala PMV racikan Telkom Indonesia, MDI Ventures.

Setelah sukses membawa lima perusahaan exit di luar negeri, ekspansi ke Singapura, dan melakukan penggalangan dana kedua untuk MDI Ventures, Nicko kini diangkat menjadi CEO dari PMV baru milik BRI, BRI Ventures, untuk mengelola dana sebesar $250 juta menargetkan ekosistem fintech di Indonesia.

Seluruh pencapaian ini bukan tanpa kerja keras dan dedikasi. Berikut adalah beberapa potongan cerita yang berhasil dirangkum oleh tim DailySocial.

Dimulai dari bagaimana perjalanan awal seorang Nicko Widjaja serta apa yang menjadi dasar di balik setiap pemikirannya?

Pertama-tama, saya terlahir di waktu yang tepat. Jika saya lahir 10 tahun lebih awal, dunia belum siap, sementara lebih lama lagi sudah terlambat.

Saya tidak pernah percaya dengan sistem pendidikan oleh institusi. Hal itu sangat ketinggalan jaman dan secara eksplisit menggambarkan sistem kerja sebuah pabrik – anda masuk, lalu jadilah, dan ditaruh di suatu tempat. Saya tumbuh menjadi seorang rebel. Bukan seorang pembangkang terhadap orangtua, namun lebih kepada iseng terhadap teman.

Selama itu, saya merasa tidak biaa beradaptasi. Saya tidak merasa cocok dimanapun dan mengalami depresi melihat kehidupan di sekitar layaknya sebuah film “Divergent” – di mana sedikit banyak mencerminkan era 90-an. Saya mengampu pendidikan di sebuah institusi Katolik, semacam persiapan untuk ‘orang-orang sukses’ yang dididik untuk berkomitmen pada kehormatan keluarga, karier, reputasi, dan dapat dipercaya seumur hidup.

Percaya tidak percaya, beberapa orang bahkan benar-benar menjadi seperti yang dulu sering mereka bicarakan. Seorang pekerja bank, arsitek, dokter, atau bahkan putra / menantu seseorang – sangat mengerikan, bukan?

Dalam usaha menyesuaikan diri, saya gagal pada banyak subyek seperti matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan lainnya. Reputasi sebagai penunda akut melekat sampai akhirnya saya menggagalkan pelajaran olahraga dan orang-orang menganggap itu sebagai pemberontakan. Seketika dunia sekitar berubah, dan saya menjadi ‘tanpa golongan’.

Saat itu saya sadar bahwa mengikuti jejak orang lain bukanlah sebuah keharusan, juga memiliki banyak waktu untuk mempelajari diri sendiri. Hal ini menjadi penting dalam membangun fondasi seorang Mastermind: Know yourself.

Di perguruan tinggi, jurusan apa yang Anda ambil? Mengapa?

Ya, bukankah ini sesuatu yang sudah dirancang untuk kita? Lulus SMA, masuk universitas, membangun karir/menikah, lalu pensiun. Sebuah lingkaran penderitaan yang tanpa akhir.

Alasan saya masuk universitas mungkin berbeda dengan kebanyakan orang yang berfikir: “Ya, saya ambil jurusan akuntansi karena ingin menjadi akuntan!” atau “Yah, sepertinya bakat saya adalah menggambar, saya akan coba jurusan desain grafis!”. Dalam pikiran saya ada keinginan untuk belajar mengenal diri sendiri. Apa hal-hal yang menjadi inspirasi/motivasi serta apa yang tidak. Tempat di mana kita bisa menemukan tujuan/ambisi lain yang lebih besar dalam hidup. Mengapa sebuah mata kuliah bisa membuat saya penasaran sementara yang lain tidak.

Saya belum menetapkan jurusan sampai tahun ketiga di universitas. Beruntung saya memiliki orang tua yang mau mengerti dan tetap mendukung. Pada awalnya saya fokus pada jurusan teknik dan merasa tidak cocok, lalu mengambil beberapa matkul bisnis yang ternyata tidak menarik, sampai akhirnya saya menemukan liberal arts. Pelajaran tentang evolusi manusia, narasi serta interaksi menjadi fokus hidup saya. Apapun itu yang sedang saya lakukan, semua adalah hasil dari pembelajaran saya saat itu.

Coba ceritakan kisah awal kembalinya Anda ke Indonesia. Apa saja yang Anda lakukan?

Setelah lulus dari Oregon, saya pindah ke San Fransisco di tahun 2000. Kota itu dipenuhi dengan ‘situs-situs’, hanya selang beberapa tahun – yang sekarang dikenal dengan nama startup. Semua tentang e-commerce hingga portal pra-sosmed sangat menarik. Saya mencari pengalaman di beberapa perusahaan, aeringkali di bidang pengembangan konten, bisnis analisis, dan bidang lain yang cocok untuk lulusan baru.

Saya kembali ke Jakarta di tahun 2004 dan bergabung dengan Indofood sebagai corporate development officer yang bersinggungan langsung dengan CEO yang mengajarkan banyak hal tentang dasar-dasar bekerja serta hepicopter view dalam mengatur strategi perusahaan. Setelah tiga tahun bekerja, saya mulai mendengar desas desua tentang seseorang yang ingin menciptakan sebuah revolusi.

Setelah resign dari Indofood di 2007, saya menjadi co-founder di beberapa unit bisnis, Thinking*Room (perusahaan desain), Mindcode (perusahaan riset conaumer dan inovasi), serta berinvestasi pada beberapa produksi film. Masa sebelum industri VC adalah masa dimana hidup masih indah dan belum serumit sekarang.

Selama 2009-2010, beberapa teman mengenalkan saya pada dunia teknologi, orang-orang yang membangun Koprol, Urbanesia, Dealoka, di sini juga pertama kali saya mengenal Rama dan DailySocial – tanpa terasa sudah hampir 10 tahun!

Bagaimana bisa muncul ide untuk membangun Systec?

Saat itu saya sedang terlibat dalam industri film pada tahun 2009 ketika dihubungi beberapa rekan, “Ayo kesini dan dengarkan langsung dari orangnya!”

Kemudian mereka diundang ke acara tentang startup lokal yang mencoba menantang Google di Indonesia, sesuatu seperti Google versi Bahasa Indonesia, atau semacamnya – sebuah ide yang revolusioner pada saat itu. Bayangkan, Google bisa menerapkan semua bahasa secara instan begitu saja. Namun, orang ini, entah darimana membawa kebanggaan, nasionalisme bercampur, dan jadilah $ 1-2 juta ia kumpulkan dengan mudah.

Awalnya, mereka minta dikenalkan dengan orang-orang di jajaran atas. Saya melakukan networking sana-sini – saya rasa mengapa tidak – sampai ketika saya tak henti membicarakan ekosistem digital. Saya seperti masuk dalam mode penggalangan dana ketika berbicara tentang digital.

Beberapa bulan kemudian, saya ikut mendirikan Systec Ventures dengan beberapa rekan dari Mindcode. Ini menjadi bagian awal ekosistem mengingat pada tahun 2011 hanya ada sedikit kami yang hadir di acara-acara seperti Sparxup, Echelon, dll. Systec Ventures adalah studio pembangun ventura, inkubator + investor + kolaborator – mirip dengan Science Inc. Hal ini menjadi menarik ketika saya bisa bekerja sama dengan para pengusaha. Mereka dapat memanfaatkan ruang terbuka milik kami (seperti di kantor sekarang) secara gratis selama Anda seorang investee. Di sinilah Anda bisa mendapatkan gambaran akan pengembangan ekosistem.

Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja
Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja

Apakah ada yang bisa Anda ceritakan mengenai kegagalan berbisnis?

Banyak yang belum menyadari bahwa VC menghasilkan uang dari penjualan saham portofolio mereka – bukan dari dividen. Di Systec Ventures, kami sangat sibuk mengerjakan setiap portofolio untuk menyempurnakan produk, konten, dan model bisnis, sampai kami sadar bahwa tanpa investasi lanjutan maka tidak akan ada profit – sekali lagi ini terjadi di masa awal dunia startup di Indonesia.

Satu per satu portofolio kehilangan likuiditas, sementara bertaruh hanya pada satu atau dua produk fitur.

Hal ini menjadi pelajaran besar yang dipetik, bahwa yang paling berkontribusi terkait industri ini melibatkan pemikiran ‘uang adalah raja.’

Apa yang anda lakukan selanjutnya? Indigo?

Pada tahun 2014, kami diperkenalkan pada Telkom Indonesia, mereka sedang akan memulai kembali Telkom Indigo Incubator untuk startup digital. Kami saling mempelajari terutama ketika Telkom Indonesia memulai program ini di tahun yang sama dengan Systec Ventures, 2011. Sebelumnya, Indigo Incubator adalah ajang untuk mengumpulkan para pendiri startup untuk akhirnya bekerja dalam salah satu proyek di Telkom Group. Tidak jauh berbeda dengan Systec Ventures, atau perusahaan yang didukung konglomerat lainnya.

Ketika kami (sebagian besar adalah tim Systec) masuk ke Indigo Incubator untuk membantu meningkatkan program, kami menyadari bahwa investasi lanjutan harus menjadi metrik kesuksesan – layaknya program inkubator di seluruh dunia.

Saat itu … pendanaan lanjutan jarang sekali terjadi. Sebagian besar program inkubator (terutama di korporat) gagal menarik investor luar. (Satu hal yang dibanggakan dari Systec Ventures adalah akses ke individu/konglomerat yang akan menjajaki bisnis digital).

Kami mengundang berbagai jaringan investor untuk terlibat selama program sebagai mentor/penasihat. Hasilnya, kami mendapatkan 40% pendanaan lanjutan dalam batch pertama, lalu sekarang adalah Indigo Creative Nation yang bisa saja menjadi program akselerator startup paling terkemuka di Indonesia menghasilkan lebih dari 70% follow-on dan $180 juta kapitalisasi pasar dengan portfolio startup terkemuka seperti Payfazz, Nodeflux , PrivyID, Sonicboom, GoersApp, dan sebagainya.

Bagaimana cara Anda menemukan penawaran-penawaran bagus?

Filosofi investasi saya sederhana: Anda akan mendapatkan penawaran bagus dari seseorang yang tahu cara mendapatkan penawaran terbaik. Lalu, mengapa mereka mau memberikan penawaran terbaik? Di MDI Ventures, kami benar-benar mengembangkan dan membina hubungan dengan investor global papan atas. Berbagi dan menggabungkan sumber daya bersama dengan Telkom Indonesia menjadi bagian dari strategi untuk mendapatkan penawaran terbaik.

Saya pernah mendengar tentang salah satu VC di Singapura memberikan investasi kepada startup namun tanpa ada itikad baik, pada akhirnya hanya untuk meraup uang LP. Hal ini tidak bisa diterima, sebab di industri ini, berita menyebar dengan cepat, dan jika Anda benar-benar ingin bergelut dalam industri, reputasi adalah segalanya.

Belakangan, bagaimana perasaan Anda ketika berada di MDI?

MDI Ventures bisa jadi salah satu dari sedikit VC yang paling profitable di Indonesia. Bulan lalu saja (Juni / Juli), kami terlibat dalam tiga exit, dengan total lima exit selama 4 tahun beroperasi, satu IPO di TSE dan satu di ASX. Hal ini mengawali era baru bagi para pemula yang terlibat dalam industri dengan banyaknya uang mengalir. Tim ini akan selalu memiliki semangat tinggi.

Bergeser ke BRI. Bagaimana proses transfer Anda hingga sampai pada posisi ini?

MDI Ventures adalah salah satu yang pertama menerapkan model CVC (Corporate Venture Capital). Ada rumor yang menyebutkan bahwa kami menjadi referensi setiap kali ada pembahasan mengenai CVC. Saya merasakan validasi pertama kali untuk bekerja dengan entitas luar adalah ketika berkolaborasi dengan Mandiri Capital untuk meluncurkan Mandiri Digital Incubator pada tahun 2016. Itu menjadi interaksi pertama kami dengan sektor perbankan.

Sejak saat itu kami telah bekerja sama dengan Pegadaian dan Pertamina untuk memperkenalkan sinergi perusahaan rintisan dan korporasi.

Ketika Anda berbicara tentang transformasi digital di sektor perbankan, BRI telah menjadi salah satu yang paling progresif dalam mengimplementasikan inisiatif digitalnya sejak tahun 2017. Pembahasan tentang dana sudah dimulai pada tahun 2018 dan tesis ekosistem telah dibuat.

Saya menyatakan dengan jelas bahwa perpindahan ke BRI Ventures tidak berarti meninggalkan MDI Ventures sepenuhnya. Keduanya jelas bersinergi dalam banyak hal dan belajar untuk saling memanfaatkan sumber daya satu sama lain: bank terbesar, perusahaan telekomunikasi terbesar, dengan startup teknologi berada di tengah. Kami tengah menantikan kesempatan untuk berkolaborasi sesegera mungkin.

Sedikit jeda membahas industri, coba ceritakan sedikit tentang pengalaman mengajar Anda.

UPH Lecture/ Nicko Widjaja
UPH Lecture/ Nicko Widjaja

Lagi-lagi, hidup tidak bisa diprediksi – bahkan untuk orang-orang yang tidak menyukai institusi akademik. Saya pernah mengajar di UPH Business School selama 2010-2015 (dalam kurun waktu sama dengan Systec Ventures). Ini menjadi kesempatan menarik, bisa bersinggungan dengan pemikiran dari generasi mendatang dalam hal kepemimpinan, kewirausahaan, dsb.

Saya memiliki metode yang tidak konvensional. Ketika bertemu dengan salah satu murid saya, mereka bisa berbagi pengalaman berada di dalam kelas yang ‘kacau’. Kebanyakan, saya akan membahas tentang ekonomi digital masa kini dan memaparka studi kasus Amazon, YCombinator, Yahoo, dan lainnya, serta mengaitkannya dengan isu-isu domestik.

Apakah yang menjadi rahasia kesuksesan Anda?

Pertama, jangan takut untuk membuat kesalahan selama ada hal yang bisa dipelajari. Kedua, berani mengambil resiko serta lebih terlibat dalam prosesnya.

Written by Nicko Widjaja
Written by Nicko Widjaja

Apa saran Anda untuk para pelaku industri untuk memulai startup?

Saya dikenal sebagai seseorang yang blak-blakan dalam mengomentari startup, tapi inilah pendapat saya: Anda merasa bisa menjadi unicorn selanjutnya? Tidak, saya katakan.

Beberapa unicorn bahkan tidak pernah bercita-cita untuk menjadi unicorn. Pemikiran sebagai underdog justru yang mengantar Google, Facebook, dan Netflix ke atas panggung. Mereka menang melawan dominasi para korporat kelas atas: Netflix Vs Blockbuster, Amazon Vs Barnes & Noble (serta segenap rantai retail di Amerika), Apple Vs IBM, dsb. Jadi, jika Anda mengaku sebagai startup dan bermimpi mendominasi industri tanpa ada validasi internal maupun external, ini bukan ajang yang tepat.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Dilema Kepemimpinan dan Visi Internasional MDI Ventures

MDI Ventures belum lama ini kehilangan sosok pemimpin. Pada akhir Juli 2019, Nicko Widjaja resmi ditunjuk sebagai CEO BRI Ventures, sebuah perusahaan modal ventura (PMV) yang dikelola oleh bank pelat merah, BRI.

Kabar terakhir menyebutkan bahwa pengganti Nicko akan segera diumumkan pada pertemuan pemegang saham berikutnya. Namun sampai saat ini, belum juga ada nama yang ditetapkan sebagai penerus dari perpanjangan tangan Telkom di sektor investasi itu.

Selama menjabat sebagai CEO, sosok Nicko Widjaja terbilang sangat erat melekat dalam tubuh MDI Ventures. Selama kurang lebih 4 tahun berkarya, ia berhasil membukukan 35 portfolio dengan total 5 exit. Beberapa di antaranya IPO di luar negeri, yaitu Geenie di TSE dan Whispir di ASX.

Sejak berdiri pada tahun 2015, MDI Ventures termasuk salah satu yang pertama menerapkan model Corporate Venture Capital (CVC) didukung Telkom Indonesia. Setelah itu, banyak sektor mulai mengikuti jejak mereka salah satunya adalah Mandiri Capital yang kemudian berkolaborasi meluncurkan Mandiri Digital Incubator di tahun 2016.

Dalam sebuah perusahaan, peran CEO menjadi vital ketika menentukan strategi bisnis serta visi dan misi perusahaan. Selama rezimnya, Nicko Widjaja membawa visi untuk menciptakan inovasi terbaik dalam industri startup yang tengah berkembang. Ia beserta tim MDI Ventures mengedepankan strategi kolaborasi pada startup demi kelangsungan bisnis perusahaan.

Memanfaatkan momentum

MDI Ventures memang sedang dalam posisi yang relatif klimaks, dengan beberapa pemain VC menyebutnya sebagai Corporate Venture Capital dengan performa terbaik. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan yang menurut kabar sedang mengeksekusi rencana ekspansi internasional melalui joint-venture dengan korporat dari negara lain untuk mendirikan CVC/investment arm.

Skenario terburuk yang bisa terjadi bagi MDI Ventures adalah ketika menunda rencana suksesi terlalu lama dan kehilangan dealdeal bagus karena absensi kepemimpinan.

Menurut data Indonesia Insights 2019 yang dikompilasi Ravenry dan Innovation Factory, 29% investasi startup di Indonesia didorong oleh CVC, lebih tinggi dari 20% yang menjadi rataan global. Pesaing terdekat MDI Ventures, dalam hal portofolio, adalah Prasetia Dwidharma dengan 20 portofolio.

Top CVCs in Indonesia - 2019

Telkom harus segera menunjuk pemimpin baru secepat mungkin, terutama di saat banyak korporat swasta dan BUMN lain mulai menjalankan strategi inovasi serupa, termasuk Mandiri Capital dan BRI Ventures, meskipun akan hanya fokus di fintech.

Dengan adanya case study yang bagus dari Telkom dan MDI Ventures, tidak mengagetkan kalau strategi yang sama akan segera direplikasi banyak pemain inovasi korporat baik dalam dan luar negeri.

Mencari pengganti melalui visi

Siapapun calon pemimpin baru dari MDI Ventures, sepertinya akan sangat kecil kemungkinan datang dari internal Telkom Group sendiri. Nicko Widjaja sendiri direkrut secara pro-hire (non-internal grup Telkom) untuk mendirikan MDI Ventures; mengabaikan narasi negatif dan skeptis dari para pemain inovasi korporat dan terbukti berhasil memberikan return yang melebihi ekspektasi.

Beberapa skenario bagi Telkom untuk mencari pemimpin baru MDI Ventures, antara lain dengan melihat ke dalam. Ada beberapa nama seperti Joshua Agusta (VP of Investment), Kenneth Li (Principal of Investor Relations) dan Aldi Adrian (GM of Investments) yang mungkin akan diangkat untuk mengisi kekosongan kursi kepemimpinan perusahaan. Namun kemungkinan terbesar, Telkom akan mencari pengganti dari luar dan bukan tidak mungkin Telkom bersedia mengakuisisi fund yang lebih kecil guna mendukung sinergi dengan kepemimpinan baru.

Dengan mulainya eksekusi rencana ekspansi internasional dari MDI Ventures, Telkom membutuhkan seseorang yang memiliki eksposure ke kalangan korporat internasional (atau minimal di Asia Pasifik) dan juga familiar dengan pergerakan investasi teknologi dunia dan tentunya internal Telkom.

Beberapa nama sempat berhembus di kalangan investor sebagai calon pemimpin baru perusahaan. Nama seperti Arya Setiadharma dari Prasetia Dwidharma dan Irwan Liem dari Gunung Sewu Group yang beberapa kali melakukan co-investment bersama dengan MDI Ventures. Keduanya juga diketahui memiliki exposure yang cukup tinggi di kalangan korporat dan konglomerasi di Indonesia.

Nama lain seperti Arip Tirta (ex CEO UrbanIndo yang pernah menjadi investor di Silicon Valley) juga sempat dihembuskan untuk muncul sebagai nama yang akan diajukan sebagai calon pemimpin MDI Ventures.

Siapapun nama yang akan diusung oleh Telkom Grup untuk mengisi posisi tertinggi di MDI Ventures, harus bisa membawa MDI Ventures ke level internasional dan menjalin JV dengan korporat-korporat dari negara lain; namun juga memiliki kapabilitas risk-taking dan risk management yang mumpuni; sembari membangun portfolio yang menguntungkan.

Saat ini, MDI Ventures bisa dibilang sebagai salah satu CVC dengan performa likuiditas terbaik, namun kekosongan di posisi CEO yang terlalu lama bisa memberikan ruang bagi CVC lain untuk membangun momentum dan merebut portfolio-portfolio apik selagi mereka sibuk mencari pemimpin.


Kristin Siagian dan Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel opini ini.

BTN Officially Acquired a Venture Capital Under the State-owned Enterprise

Bank Tabungan Negara (BTN) officially acquired a Venture Capital to support the company’s line of property finance. The company is to obtain a license from OJK for the current plan.

It was decided after today’s shareholder general meeting (RUPSLB) (8/29). The meeting also evaluates employee’s performance during the first semester of 2019 and its management shifting.

“We’re continuing today’s meeting on PMV acquisition to OJK for a license, in order to take this as the company’s strategic business to grow,” BTN’s Corporate Secretary, Achmad Chaerul said in an official release.

BTN acquired PT Sarana Papua Ventura (SPV), an investment arm of PT Bahana Artha Ventura (BAV), which is a subsidiary of PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. The election is expected to be the synergy of state-owned enterprises as mandated by the Ministry.

BAV also has PT Sarana Nusa Tenggara Timur Ventura as a subsidiary which shares are majorly acquired by BRI. They are now rebranding as BRI Ventures head by Nicko Widjaja, which previously led Telkom’s VC, MDI Ventures.

The company has prepared the budget to take over SPV. It’s to be used for VC’s equity and business development up to 90% in advance.

Chaerul said the VC’s management is to focus on the core business of property finance and to increase non-interest revenue in order to increase the company’s credit and profit.

BTN participation lightens up the competition among red-plate companies which currently has its own VC. Of the four state-owned banks, BNI is the only one left.

BNI has spread out the news since last year. The latest is to be announced in 2019. They haven’t decided to create new or acquired the current. BNI ready to invest Rp600 billion to Rp700 billion for this corporate action.

The whole banking plan for VC’s acquisition is partly to keep the shares in Finarya (LinkAja) to stay undiluted.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Hary Tanoe Usul Pemerintah Bentuk Venture Capital Patungan BUMN dan Swasta

Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo mengusulkan pemerintah membentuk perusahaan modal ventura untuk mendukung perkembangan startup Indonesia. Ia menilai langkah itu perlu untuk mencegah kepemilikan pemilik modal asing yang berlebihan.

Sebagai solusi, Hary menyarankan pemerintah menggerakkan semua elemen pengusaha mulai dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, hingga individu; agar berpartisipasi dalam pembentukan perusahaan modal ventura tersebut.

“Kumpulkan BUMN, perusahaan-perusahaan swasta, individu-individu, semua chip-in, 2 ribu pihak kalau rata-rata Rp10 miliar sudah terkumpul Rp20 triliun,” ungkap Hary seperti dikutip dari iNews.

Menurut sang taipan media, pembentukan venture capital oleh pemerintah penting agar Indonesia tetap memiliki startup yang tumbuh dan besar di Tanah Air. Pasalnya ia melihat ada kecenderungan investor di startup lokal yang sudah besar justru lebih banyak berasal dari luar negeri.

Jika tren itu berlanjut, Hary menilai Indonesia sendiri yang berpotensi tidak akan bisa menikmati kesuksesan startup buatan warganya.

“Saya dengar Gojek lagi negosiasi sama Amazon mau masuk. Padahal prinsipalnya sendiri, pemegang saham lokal Gojek itu sudah kurang dari 5 persen,” imbuhnya.

Di Indonesia, jumlah pelaku industri modal ventura sudah cukup banyak. Per Juni 2019, OJK mencatat pelaku industri ini mencapai 61 perusahaan, terdiri dari 57 konvensional dan 4 syariah. Adapun penyertaan modal dari 61 perusahaan itu tercatat Rp10,62 triliun per Juli 2019, atau naik dari Rp8,13 triliun pada Juli tahun lalu.

Angka itu terbilang relatif masih kecil jika dibandingkan dengan kucuran modal yang mengalir dari perusahaan luar negeri. Sebagai contoh misalnya, Gojek saat ini tercatat sudah menghimpun dana hingga US$3,1 miliar atau Rp44 triliun. Sebagian besar investor mereka berasal dari perusahaan asing mulai dari Tencent, Google, Temasek, hingga Visa. Hanya Global Digital Niaga dan Astra International yang tercatat sebagai investor lokal di Gojek.

Hal ini juga terjadi di unicorn lain seperti Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia yang banyak dihuni oleh pemodal dari luar negeri.

Ingin Dukung Industri Film, NFC Indonesia Berinvestasi di Ideosource Entertainment

Bertujuan untuk memperkuat value chain di lanskap digital dan hiburan, PT NFC Indonesia Tbk (NFCX), entitas dari PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS), mengumumkan rencananya untuk berinvestasi di Ideosource Entertainment (IDEO). Nantinya investasi akan berfokus pada pembiayaan portofolio yang beragam.

Tidak disebutkan lebih lanjut berapa jumlah investasi yang digelontorkan, namun melalui kerja sama dengan berbagai produser Indonesia yang sukses secara komersial, investasi dikucurkan untuk portofolio film yang terkurasi, khususnya untuk layar lebar dan serial untuk layanan streaming digital.

“NFCX terus membangun disruptive platforms di berbagai area, termasuk media dan periklanan. Namun, kami percaya bahwa platform yang kuat harus juga didukung dengan konten yang kuat. Hal tersebut akan menciptakan magnet alami bagi platform tersebut. Kami juga melihat bahwa IDEO film dan media analytic platform juga dapat memperkuat infrastruktur programmatic and deep-learning and advertising kami. Dengan dukungan finansial dan ekosistem digital luas dari NFCX, kami dapat membantu IDEO untuk berkembang lebih cepat dan lebih besar,” kata CEO NFCX Abraham Theofilus.

Fokus IDEO untuk produksi film Indonesia

Didirikan oleh Andi Boediman pada tahun 2011 lalu, hingga kini Ideosource Venture Capital telah mendanai 27 startup mulai dari e-commerce, digital media, games, IoT (internet of things) yang mendapat kucuran dana dari Ideosource. Andi kini menjabat sebagai Managing Partner Ideosource Venture Capital.

Sejak tahun 2017, Ideosource mulai merambah dunia film dan menyalurkan investasinya melalui Ideosource Film Fund (IFF).  Melihat potensi yang cukup besar di industri film Indonesia serta latar belakang pendidikannya pernah belajar film di Amerika, CEO IDEO Andi Boediman mengungkapkan, IDEO memiliki beragam portofolio film fitur Indonesia. Ia mengklaim ‘Keluarga Cemara’ merupakan investasi film paling sukses dengan penonton yang menembus angka 1,7 juta penonton serta pendapatan lain-lain dari sponsor dan hak digital.

“IDEO juga berinvestasi di deretan film Screenplay Bumilangit, salah satunya adalah ‘Gundala’, pahlawan super komik asli Indonesia karya (alm) Hasmi. Disutradarai oleh Joko Anwar, film ini menceritakan tentang asal usul dari si pahlawan super tersebut, dan menjadi salah satu film yang paling ditunggu-tunggu tahun ini.”

Terdapat empat bisnis model yang nantinya akan diterapkan oleh IDEO, di antaranya adalah investasi film & media, produksi film & media, film & media analytic platform dan digital marketing agency. Dalam memutuskan investasi, Andi memiliki beberapa kriteria. Pertama, ia melihat rekam jejak produser dan sutradaranya. Rumah produksinya sudah pernah mengeluarkan karya-karya apa saja. Rekam jejak ini penting untuk keberhasilan investasinya.

“Setelah itu, saya melihat dari segi proyeknya. Film itu dilihat dari paketnya. Apakah dia menggunakan intellectual property, cast, story yang bagus, dan revenue model, kita jadi tertarik. Kalau di depan, itunya saja tidak menarik, ya, bagaimana kita bisa tertarik,” kata Andi.

BTN Resmi Akuisisi Modal Ventura Milik Anak Usaha Pelat Merah

Bank Tabungan Negara (BTN) resmi mengakuisisi perusahaan modal ventura (PMV) untuk dukung bisnis utama perseroan di bidang pembiayaan perumahan. Perseroan akan meminta persetujuan kepada OJK untuk merealisasikan rencana tersebut.

Keputusan ini diambil setelah perseroan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan hari ini (29/8). Dalam RUPS juga dibahas mengenai evaluasi kerja sepanjang semester I/2019 dan perubahan struktur manajemen perseroan.

“Kami akan menindaklanjuti persetujuan RUPSLB hari ini tentang akuisisi PMV untuk kemudian kami mohonkan persetujuan kepada OJK, supaya dapat ditindaklanjuti sebagai langkah strategis bisnis yang dilakukan perseroan dalam pengembangan bisnis,” ucap Corporate Secretary BTN Achmad Chaerul dalam keterangan resmi.

BTN mengakuisisi PT Sarana Papua Ventura (SPV), anak usaha PT Bahana Artha Ventura (BAV), yang merupakan anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero). Pemilihan ini sekaligus diharapkan menjadi sinergi BUMN yang diamanatkan oleh Kementerian BUMN.

BAV sendiri punya anak usaha PT Sarana Nusa Tenggara Timur Ventura yang sudah diakuisisi saham mayoritasnya oleh BRI. Kini di-rebranding menjadi BRI Ventures dan dinakhodai oleh Nicko Widjaja, yang sebelumnya memimpin PMV milik Telkom, MDI Ventures.

Perseroan telah menyiapkan anggaran untuk mengambilalih saham SPV. Dana tersebut akan digunakan sebagai penyertaan modal dan pengembangan bisnis PMV dalam jumlah sebanyak-banyaknya 90% yang akan dilaksanakan secara bertahap.

Menurut Chaerul, pengelolaan PMV akan tetap fokus untuk mendukung bisnis utama perseroan di bidang pembiayaan perumahan dan meningkatkan pendapatan non-bunga, sehingga dapat memperkuat pertumbuhan kredit dan laba perseroan.

Masuknya BTN, tentunya meramaikan peta persaingan perusahaan bank pelat merah yang ramai kini memiliki CVC sendiri. Dari empat bank pelat merah, tinggal BNI saja yang belum resmi.

Pihak BNI sudah berkoar-koar mengungkapkan wacana ini sejak tahun lalu. Pemberitaan terakhir mengatakan BNI akan mengumumkannya pada akhir tahun 2019. Belum diputuskan apakah akan membentuk baru atau akuisisi yang sudah. BNI menyiapkan anggaran Rp600 miliar hingga Rp700 miliar untuk aksi korporasi ini.

Keseluruhan rencana perbankan untuk akuisisi modal ventura ini, salah satunya adalah mempertahankan kepemilikan saham di Finarya (LinkAja) agar tidak terdilusi.

East Ventures Bukukan Dana Investasi 1 Triliun Rupiah, Diprioritaskan untuk Pendanaan Startup Indonesia

East Ventures kemarin (21/8) mengumumkan penutupan dana investasi keenam mereka sejumlah $75 juta atau setara dengan 1 triliun Rupiah. Dana ini didukung oleh berbagai elemen, mulai dari kalangan individual (high net workth individuals) seperti Wan Xing (CEO Meituan-Dianping), Eduardo Saverin (Co-Founder Facebook), dan Kaling Li (Co-Founder Razer).

Selain itu pemberi dana juga datang dari kalangan institusi investasi mulai dari Pavilion Capital, Adams Street Partners dan Temasek. Beberapa perusahaan keluarga dari Indonesia juga tergabung dalam pendanaan ini, meliputi Sinarmas Group, Triputra Group dan Emtek Group.

Perolehan East Ventures meningkat 2,5x lipat dari yang ditargetkan, yakni $30 juta. Nantinya dana investasi yang diperoleh akan digunakan untuk meningkatkan dukungan kepada ekosistem startup di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Trennya untuk diberikan dalam pendanaan tahap awal hingga seri A di berbagai sektor.

Kendati demikian ada vertikal baru yang akan menjadi fokus dengan dana investasi keenam ini, yakni inklusi UKM, new retail, fintech, berita dan media, healthtech, supply chain dan transformasi digital.

“Kami sebenarnya bisa menambah lebih banyak lagi, namun kami ingin mempertahankan disiplin tertentu di era euforia ini. Penting bagi ekosistem ini untuk mempertahankan kecepatan value creation agar dapat sesuai dengan valuation expectation. Dan hal ini akan berdampak pada performa dana investasi kami bagi para pemangku kepentingan, yaitu para pendiri startup, mitra bisnis, dan para investor (LP),” ujar Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Salah satu “model bisnis” yang ditawarkan oleh venture capital kepada pemberi dana ialah melalui exit — bisa dalam bentuk akuisisi atau go-public. Menurut pihak East Ventures, kesuksesannya dengan 30 exit meningkatkan kepercayaan investor kepada mereka. Groupon, Kudo, Loket, Jurnal, Bridestory, dan Talenta adalah beberapa nama startup yang berhasil terakuisisi.

Di Paruh Pertama 2019, Indonesia Dominasi Pendanaan Startup di Asia Tenggara

Perusahaan modal ventura berbasis di Singapura, Cento Ventures, baru-baru ini merilis laporan bertajuk “Southeast Asia Tech Investment – H1 2019”. Secara umum publikasi tersebut mencatat dan mengamati tren pendanaan startup selama paruh pertama tahun 2019. Nilai totalnya mendekati $6 miliar, angka tersebut relatif lebih kecil jika dibandingkan perolehan di periode sama pada tahun 2018 yang mencapai lebih dari $8 miliar.

Pendanaan Startup Asia Tenggara 2019
Jumlah transaksi dan nilai pendanaan startup di Asia Tenggara / Cento Ventures

Dari catatan DailySocial dalam “Startup Report 2018“, di luar unicorn EV Hive (sekarang namanya jadi CoHive) menjadi penerima pendanaan terbesar di paruh pertama 2018, dengan nilai mencapai $20 juta –beberapa startup tidak menyebutkan nominal pendanaan yang diterima. Sociolla mendapatkan $12 miliar dan Carmudi $10 juta.

Untuk lanskap pendanaan masih didominasi oleh startup multi-sektor, dengan total nilai $2,3 miliar. Gojek, Grab, Traveloka dll masuk ketegori ini; karena tidak hanya sekadar memberikan layanan ride-hailing atau OTA saja, mereka juga sudah mengakomodasi kebutuhan lain seperti pembayaran, hiburan dan sebagainya. Untuk sub-sektor tunggal, travel masih mendominasi dengan nilai pendanaan mencapai $454 juta. Mengenai ketertarikan investor terhadap sektor travel, senada hasil riset Google-Temasek.

Indonesia mendapatkan porsi yang cukup besar

Tahapan pendanaan pre seri A –termasuk di dalamnya seed funding–masih mendominasi, dengan total 176 transaksi. Dilanjutkan seri A sebanyak 86 transaksi, seri B 25 transaksi dan seri C 25 transaksi. Di sisi nominal, 254 transaksi bernilai di bawah $0,5 juta. Dilanjutkan 164 transaksi antara $0,5-$2juta. Sementara pendanaan dengan nilai di atas $50 juta ada 14 transaksi.

Untuk Indonesia sendiri, dari sisi jumlah transaksi menempati posisi kedua terbanyak (26%) setelah Singapura (36%). Sementara untuk nominal investasi, tercatat Indonesia menempati posisi pertama, menyumbang 48% dari total nilai pendanaan.

Investasi Startup Asia Tenggara 2019
Sebaran investasi berdasarkan negara di Asia Tenggara / Cento Ventures

Riset juga mengkategorikan startup-startup bervaluasi besar. Untuk pemain lokal, Indonesia masih memimpin dengan jumlah terbanyak. Beberapa pemain seperti Modalku, PayFazz, hingga WarungPintar juga sudah dimasukkan pada kategori startup dengan valuasi seputar $100 juta –sering disebut dengan istilah “centaur”.

Startup Valuasi Terbesar
Startup dengan valuasi terbesar / Cento Ventures

Dalam risetnya, DailySocial juga telah mencatat daftar startup dengan valuasi terbesar per 2018. Gojek masih memimpin kala itu dengan prakiraan valuasi senilai $9,5 miliar, disusul Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, Ovo dan lain-lain.

Startup Unicorn Indonesia
Startup centaur dan unicorn di Indonesia / DailySocial

Nicko Widjaja on the Tech Investment: The Rise of The Misfits and the Underdogs

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

The tech scene is no joke, in order to succeed, one must not play by the book. As one of the pioneers in the tech investment, Nicko Widjaja, has been through hell and back looking at the industry. As the CEO of telco backed MDI Ventures, he manages to put the company as one of the few profitable venture capital firms in Indonesia.

In 2011, he started his own VC firm named Systec Ventures when many were unsure on how big the tech startup scene would be in Indonesia. Closed the fund in 2013, and became the head of Indonesia’s largest startup incubator program under Telkom Indonesia a year later with Telkom Indigo Incubator. In 2015, he went to head the new iteration of Telkom Indonesia’s creative capital thesis, MDI Ventures.

After successfully leading the exit of five overseas companies, setting up Singapore operation, and raising the second fund for MDI Ventures, Nicko Widjaja is now moving up to head the newly established BRI Ventures with fund eyes up to $250 million targeting fintech ecosystem of Indonesia.

All these achievements are through a series of hard work and dedication. Here’s the glimpse of his story.

Let’s start from the early days of Nicko Widjaja and what’s behind his brilliant mind?

Let’s say I was born on the right timing. If only I was born 10 years earlier, it would be too early, and later would be too late.

I was never a big believer of institutionalized education. It’s outdated, traditional, and somewhat resembled a factory – you’re in and, voila, you’re out for a placement somewhere. I was a rebel growing up. I like to challenge my peers in school most of the time – not the kind of rebel against parents or anything like that.

Growing up, I didn’t fit anywhere. A square peg in a round hole, so to speak. It was quite depressing actually to see the world around you like the movie ‘Divergent’ – the early 90s is somehow reflected in that movie. I was educated in a Catholic institution, like some sort of prep school for ‘successful people’, bred to commit to the family honor, career, reputation, blablabla for life.

And crazy thing was that some people I grew up with really became what they said would be now. Bankers, architects, doctors, or even someone’s son/daughter-in-laws – what the fudge?

As I struggled to fit it, I flunked many subjects. Math, Science, English, and so on. I might have this reputation as chronic procrastinator growing up, until I failed Sports, then the public opinion had begun to label me as rebel. Then the world around me changed. I became the ‘factionless’.

I think this is the beginning when I realized that I don’t have to follow what everybody is and have plenty of time to understand myself better. This is the very important foundation of becoming a Mastermind: Know yourself.

What major did you take? And why?

Oh well, that what we’re ‘designed’ to do anyway, isn’t it right? You graduated high school, go to college, get career/married, go on retirement. An endless cycle of pain.

My reason for going to university was different than most of the dudes back then. Most of them were like: “Hey, I’m majoring in accounting because I want to become an accountant later! Yippy!” or “Hey, I think I’m good at doodles, I’d like to try graphic design!”.

I went because I think I could learn more about myself. What excites/inspires/motivates me and what doesn’t. Where I can find greater purpose/goal/ambition in life and where can’t. Why this particular subject draws me in curiosity and why the other doesn’t.

I didn’t take up to decide a major until the third year of my university year. I’m lucky to have such supportive and understanding parents in that way. I took a bunch of engineering focus courses in my early years and realized that it wasn’t for me. Later took some business courses and I found them quite dull, until I finally found liberal arts. The study of human evolution, narrative and interaction had become a fascination in my life.

Whatever it is that I’m currently doing, it is all a homage to that particular school of thought.

Tell me the early days of your arrival back in Indonesia. What have you done?

After graduating from Oregon State, I moved to San Francisco in 2000. The city was blossoming with dotcoms, just a year before the bust – that what we called startups then. I was attracted to the whole pitch from e-commerce to pre-social media portals.

I did a few gigs in the dotcoms, mostly working in content development, business analysis, and all those chores you expected from a fresh grad.

I returned to Jakarta in 2004 when I joined Indofood as their corporate development officer reporting directly to the CEO where I learned most of the basic working experience and the helicopter view of corporate strategy. I’ve worked there for three years, and during that moment I started to hear chatters about someone was doing something on the Internet.

I resigned from Indofood in 2007, co-founded some businesses, Thinking*Room (multi-disciplinary design company), Mindcode (innovation and consumer research company), and investing in some movie productions. I described my pre-VC days as ‘I-wish-life-was-that-simple-again’ days.

During 2009-2010, I was brought to the early Indonesia’s tech scene by some friends who founded Koprol, Urbanesia, Dealoka, and this was the first time I knew Rama and the Dailysocial – look how we’ve shared this timeline together for almost 10 years!

How did you come up with Systec?

I was in my movie editing studios in 2009 and some friends called over the phone, “You got to come here and listen to this guy!”

Then later they invited to this pitch about a local startup trying to challenge Google in Indonesia, something like Google in Bahasa Indonesia, or something like that – quite a revolutionary too at that point of time. That was crazy, because Google could’ve just easily implemented all languages in instant just like that. But this guy somehow brought pride, nationalism mix together, and voila he collected a hefty $1-2 million easy.

Initially, they asked me to introduce them with some high net worth. I did some introduction here and there – I guess why not – until I found myself talking about the digital ecosystem altogether. Kind of finding myself in a fundraising mode when talking about digital.

Then a few months later, I co-founded Systec Ventures with some colleagues from Mindcode. It was super early ecosystem if you remember in 2011, there were only a handful of us at such events like Sparxup, Echelon, etc. Systec Ventures was a venture builder studio, a hybrid of incubator + investor + collaborator – similar to Science Inc. It was exciting because I can work closely with entrepreneurs. They can utilize our open space (much like what you see in co-working offices now) for free as long as you’re an investee. I think here you can get the bigger picture on how the ecosystem working its way up.

Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja
Systec Office Circa 2012 / Nicko Widjaja

Are you willing to share the demise story?

Many might not aware that VCs are making money from the sale of shares in the portfolio they invested in – not from dividends. In Systec Ventures, we’re so busy working on each of the portfolio to perfect their product, content, business model, that we realized until later that without follow-ons then there’d be no path to profit – again this was during the earliest day of Indonesia’s startup scene.

One by one, the portfolio was losing liquidity, while betting on the one or two feature products.

It was a huge lesson learned, and that what contributed to the whole conventional realization that ‘cash is king.’

What did you do next? Indigo?

In 2014, we’ve got introduced to Telkom Indonesia, and they are about to restart the Telkom Indigo Incubator for digital startups. We both learned from each other especially Telkom Indonesia started the open innovation program about the same year as Systec Ventures in 2011. In the past, Indigo Incubator was the kind of a lab when you arrange startup founders to eventually work for one of the projects in Telkom Group. Pretty much similar to Systec Ventures, or any other conglomerate backed venture wannabes out there.

When we (the ‘we’ is mostly Systec’s team) got into Indigo Incubator to help improve the program, we realized that follow-on should be the metric of success – just like any incubator program all over the world.

And back then… follow-on was rare. Most of the incubator programs (especially in corporates) in those days also failed to attract outside investors. (I think one thing about us at Systec Ventures got it right was access to high net worth who are about to venture in the digital business)

We invited our investor networks to even engage during the program as mentors/advisors. We managed to get 40% follow-on rate in our first batch and now Indigo Creative Nation is perhaps Indonesia’s most leading startup accelerator program with more than 70% follow-on and a market cap of $180 million with notable startups such as Payfazz, Nodeflux, PrivyID, Sonicboom, GoersApp, and so on.

How did you manage to find the good deals?

My investment philosophy is simple: You get good deals from someone who knows how to get the best deals. The next question is why would they give their best deals to you? We at MDI Ventures, we really develop and nurture our relationship with top tier global investors. Sharing and combining our resources together with Telkom Indonesia was part of the strategy for our upside in getting the best deals.

I’ve heard of one VC in Singapore giving away term sheets to startups without even honoring them in the end just to bring LP money in. That’s sad because, in this industry, news travels fast, and if you really want to thrive in this industry, your reputation is everything.

How about these past few days in MDI?

MDI Ventures is perhaps one of the few profitable VCs in Indonesia. Last month alone (June/July), we experienced three exit events, totaling of five exits thus far after only 4 years in operation, that is one IPO in the TSE and another one in the ASX. This signals the new dawn for the region’s startups as more money is flowing inbound. The team’s spirit is at all time high.

Let’s move on to BRI. How did you manage to go there?

MDI Ventures was one of the first models of Corporate Venture Capital (CVC). Rumor has it that we were referenced every time CVC is mentioned in corporate meeting rooms all over town. I believe the first validation to work with outside entity was when we collaborate with Mandiri Capital to launch Mandiri Digital Incubator in 2016. That was our first interaction with the banking sector.

Since then we’ve been working closely with Pegadaian and Pertamina to introduce startup x corporation collaboration synergy.

When you talk about digital transformation in the banking sector, BRI has been one of the most progressive implementing its digital initiatives starting in 2017. Started discussing about the fund in 2018 and the ecosystem thesis was coined.

I stated clearly that leaving for BRI Ventures doesn’t mean leaving MDI Ventures completely. Both are clearly in synergy in many ways and learning to leverage each other’s resources: the biggest bank, the biggest telco, and the tech startup right in the middle. We are definitely looking forward to forming up a collaboration sooner that you expected.

Taking a break from the investment story, tell me about your teaching experience?

UPH Lecture/ Nicko Widjaja
UPH Lecture/ Nicko Widjaja

Again, life sometimes takes a strange turn – especially for someone who hates school. I taught at UPH Business School during 2010 – 2015 (around the same time of Systec Ventures). It’s an exciting opportunity to experience the streams of thought from the next generation of leaders, entrepreneurs, etc.

My method was quite unconventional. I believe when you meet one of my students they could share one of their experiences of being inside my chaotic classroom. But most of the time I spoke more about the new digital economy, comparing case studies from Amazon, YCombinator, Yahoo, etc. and build some sort of relevance to what’s happening domestically.

If you can attribute your success, what would it be?

First, don’t be afraid to make mistakes as long as you try to learn as much from them. Second, some skin in the game.

Written by Nicko Widjaja
Written by Nicko Widjaja

Any suggestion for those who want to start their own startups?

I might be known for my bluntness when judging startups, but here’s what I think: You feel you can be the next unicorn? No, I don’t think so.

Unicorns didn’t even aim to be one. It’s the mindset of the underdogs that put Google, Facebook, Netflix on the pedestal. It’s the underdogs who won against the corporate arrogance of domination: Netflix Vs Blockbuster, Amazon Vs Barnes & Noble (and later the whole retail chains in America), Apple Vs IBM, and so on.

So, if you’re a startup and your aim is world domination before even begin to validate yourself, then you belong in the insane asylum.