Jungle Ventures Tutup Dana Kelolaan Keempat Senilai 8,8 Triliun Rupiah

Jungle Ventures menutup dana kelolaan keempat (Fund IV) senilai $600 juta atau sekitar 8,8 triliun Rupiah. Pendanaan ini membawa total Aset Under Management (AUM) yang dikelola Jungle Ventures melampaui $1 miliar atau 14,6 triliun Rupiah.

Berdasarkan keterangan resminya, Fund IV disebut mengalami permintaan berlebih (oversubscribe) dari target awal senilai $350 juta. Lebih dari 50% pendanaan disuntik oleh investor existing, termasuk Temasek, International Finance Corporation, FMO, DEG, serta investor global baru, seperti StepStone Group.

Adapun, dari total pendanaan yang diperoleh, sebesar $450 juta merupakan investasi utama, sedangkan sisanya $150 juta masuk ke dalam komitmen tambahan.

Catatkan pertumbuhan AUM 100x

Jungle Ventures didirikan oleh Amit Anand dan Anurag Srivastava pada 2012 dengan pendanaan awal senilai $10 juta. Sejak itu, Jungle Ventures mencatat pertumbuhan AUM 100 kali dalam 10 tahun dengan berpegang pada visi “build to last.

Jungle Ventures berupaya mendorong pelaku usaha di India dan Asia Tenggara yang tangguh teruji waktu, terukur, dan konsisten. Pihaknya menyebut portofolionya memiliki enterprise value lebih dari $12 miliar dengan hanya menginvestasikan sebesar $250 juta dan rasio kerugian kurang dari 5%.

Jungle Ventures telah menanamkan investasi di sejumlah vertikal bisnis, mulai dari digital bank, social commerce, Web3, hingga SaaS. Tesis investasinya adalah ide bisnis berbasis teknologi yang capital-efficient yang dapat mengakomodasi kebutuhan konsumen dan UMKM. Pihaknya juga membidik perusahaan yang berdiri di Asia dan ingin berkembang ke skala global.

Beberapa portofolio Jungle Ventures di Indonesia mencakup Kredivo, Sociolla, Evermos, Hypefast, dan Waresix. Kredivo termasuk salah satu portofolio yang menerima pendanaan tahap awal (seed) dari Jungle Ventures hingga mencapai status unicorn.

Fokus investasi

Founding Partner Jungle Ventures Amit Anand mengatakan pihaknya telah membantu portofolio dalam mencapai pertumbuhan dan regionalisasi bisnis untuk memimpin pasar konsumen yang luas dan berkembang cepat di dunia.

“Dengan Fund IV, Jungle Ventures bertujuan memperkuat posisi ini sambil melanjutkan pendekatan membangun ‘portofolio yang terkonsentrasi’, dengan membuat proyeksi 15-18 investasi di India dan Asia Tenggara,” ungkap Anand.

Untuk merealisasikan target ini, Jungle Ventures terus mengembangkan talenta-talent yang dimilikinya. Baru-baru ini, Jungle Ventures telah mempromosikan Yash Sankrityayan, Sandeep Uberoi, dan Manpreet Ratia sebagai Managing Partner di perusahaan, bergabung dengan jajaran kepemimpinan Jungle, yang terdiri dari David Gowdey, dan Founding Partners Amit Anand dan Anurag Srivastava.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id di 2020, Amit Anand mengungkap melakukan pendekatan investasi portofolio yang terkonsolidasi dengan agenda membantu pengembangan kepemimpinan secara langsung, memberikan modal jangka panjang, sekaligus membantu penataan neraca keuangan, berinvestasi bersama, dan kemitraan strategis.

“Kami percaya bahwa teknologi dapat menghubungkan manusia antarkota dan negara dengan tetap beradaptasi dengan budayanya. Kami berinvestasi pada founder yang memiliki visi sama dalam menghubungkan ekonomi digital ini untuk mengatasi keterbatasan dalam model bisnis dan pangsa pasar.” Ungkapnya kala itu.

Tjetak Ganti Nama Jadi “Manuva”, Perluas Cakupan Bisnis

Hampir dua tahun pasca-perolehan pendanaan seri A, startup Tjetak mengumumkan telah berganti nama menjadi Manuva. Langkah ini diambil untuk menandai ekspansi solusi yang tak hanya berfokus pada industri kemasan, tetapi juga elektrikal dan garmen di Indonesia.

Co-founder Manuva Anggara Pranaspati mengatakan, nama ‘Manuva’ menggambarkan manuver perusahaan untuk mengembangkan ekosistem manufaktur digital dari hulu ke hilir. Sejalan dengan perjalanan bisnisnya, Manuva meyakini pelaku manufaktur kecil dan menengah punya potensi untuk tumbuh. Apalagi, Indonesia masuk sepuluh besar negara manufaktur terbesar di dunia.

“Manuva fokus untuk berkolaborasi dengan perusahaan manufaktur skala kecil dan menengah yang belum mencapai utilisasi kapasitas maksimal atau rerata baru 60%. Kami bantu mengoptimalkan kapasitas mereka dengan memproduksi barang jadi untuk pasar retail atau menerima pesanan produksi dari brand lain,” tuturnya dalam keterangan resmi.

Tawarkan tiga layanan utama

Sebagai informasi, Tjetak atau Manuva didirikan oleh Anggara Pranaspati, Raffisal Damanhuri, dan Hasandi Patriawan pada 2018. Manuva menawarkan solusi untuk membantu proses jual-beli barang jadi, kustom, dan bahan baku melalui tiga layanan utama, yakni Manuva Retail, Manuva Procure, dan Manuva Supply.

Manuva Retail membuka jaringan distribusi agar pelanggan toko ritel Manuva bisa menjual produk jadi dari para mitra manufaktur di toko masing-masing. Jaringan distribusi Manuva telah mencapai ribuan gerai ritel di lima provinsi dan 48 kota/kabupaten.

Kemudian, Manuva Procure adalah sistem e-procurement yang mempertemukan pelaku bisnis dengan manufaktur untuk pengadaan barang kustom. Manuva berupaya menjangkau pelanggan B2B di seluruh Indonesia dengan menawarkan kredibilitas lebih pada proses penawaran harga, produksi, dan kontrol kualitas akhir.

Sementara, Manuva Supply melayani pelaku manufaktur untuk menerima pesanan, mengatur produksi, dan melakukan pembelian bahan baku. Saat ini, Manuva telah bermitra dengan lebih dari 250 pabrik manufaktur skala kecil dan menengah yang tersebar di lima hub di Pulau Jawa.

Ekspansi bisnis

Pada tahun ini, Manuva membidik strategi ekspansi distribusi ke pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan sejumlah kota besar lainnya. Ekspansi ini juga sejalan dengan upaya masuk ke segmen industri baru, yakni manufaktur produk elektrikal dan garmen.

Untuk mendigitalkan ekosistem manufaktur serta rantai pasok di Indonesia, Manuva juga fokus untuk meningkatkan utilisasi kapasitas produksi melalui dua kanal penjualan mitra manufaktur, yakni toko ritel dan B2B. Menurutnya, mereka memberikan dukungan tak hanya pada peningkatan penjualan, tetapi juga efisiensi proses pembelian bahan baku mentah hingga akses kepada modal kerja dari mitra LJK (Lembaga Jasa Keuangan).

Menurut catatannya, mitra manufaktur Manuva dapat meningkatkan utilisasi mesin produksi hingga 25% lebih tinggi. Angka ini dinilai secara tidak langsung membuat harga jual produk mitra menjadi lebih kompetitif. Adapun, Manuva menyebut telah membukukan pertumbuhan bisnis dengan margin kontribusi positif di paruh 2022.

“Melihat potensi pertumbuhan bisnis manufaktur skala kecil dan menengah di Indonesia, kami optimistis dapat menghadirkan inovasi untuk meningkatkan produktivitas ekosistem manufaktur secara digital.” Tutup Anggara.

Manuva terakhir kali menerima pendanaan seri A dari Vertex Ventures dengan nominal yang dirahasiakan. Adapun, Vertex Ventures berinvestasi utamanya di Asia Tenggara dan India. Sejumlah portofolionya di Indonesia, termasuk Dailybox, HappyFresh, dan Payfazz.

Application Information Will Show Up Here

Sinar Mas Land Luncurkan “Urban Gateway Fund”, Bidik Startup Pengembang Inovasi Kota Pintar

Sinar Mas Land mengumumkan kerja sama strategis dengan East Ventures, Redbadge Pacific, dan Prasetia Dwidharma untuk meluncurkan “Urban Gateway Fund (UGF)”. Dana kelolaan ini disiapkan untuk investasi startup tahap awal yang bergerak pada pengembangan tata kota.

Selain ketiga pemodal ventura di atas, Sinar Mas Land juga menggandeng pengembang asal Korea Selatan GS E&C, yang juga akan menjadi salah satu investor dan mitra strategis UGF dalam jangka panjang di Indonesia.

UGF membidik startup di bidang urban dan proptech yang menjadi kebutuhan mendasar bagi pembangunan perkotaan di masa depan. Ada enam sektor pengembangan utama antara lain mobilitas dan transportasi, teknologi properti, analisis data dan AI, ritel omnichannel, pengelolaan sumber daya berkelanjutan, dan smart city tech.

Group CEO Sinar Mas Land Michael Widjaja berharap akselerasi keenam sektor tersebut dapat memenuhi kebutuhan pengembangan urban bagi generasi selanjutnya. “Dalam upaya transformasi BSD City menjadi integrated smart digital city, kami membuka peluang bagi pelaku startup untuk memberikan ide dan solusi yang memperkaya ekosistem kota ini,” tuturnya dalam keterangan resmi.

CFO Prasetia Dwidharma Ardi Setiadharma menambahkan, UGF dapat menjadi sarana tepat bagi lulusan program akselerator Escalate untuk berkontribusi terhadap pengembangan kota pintar. Sekadar informasi, sebelumnya Prasetia Dwidharma telah menjalin kerja sama dengan Sinar Mas Land pada program Escalate.

“Dalam program Escalate, kami sama-sama mendukung startup untuk tumbuh di ekosistem Sinar Mas Land. Kami bersemangat hadir bersama UGF agar dapat memampukan lebih banyak startup lokal dalam menampilkan teknologi dan solusi mereka,” ujar Ardi.

Fasilitas dan ekosistem

Lebih lanjut, rencananya UGF akan menyediakan akses ke ekosistem kota pintar di BSD City dan ekosistem milik Sinar Mas Land melalui tiga tahap. Pertama, UGF menyediakan fasilitas di mana startup terpilih dapat menggunakan platform uji coba dan mengintegrasikan ide/prototype ke ekosistem Sinar Mas Land.

Kedua, startup terpilih dapat menginkubasi dan memvalidasi pilihan solusi dalam pengembangan tata kota. Terakhir, startup terpilih mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan pemimpin Sinar Mas Land dalam pengembangan kota dan manajemen properti.

Sebagai informasi, Sinar Mas Land merupakan anak usaha konglomerasi Sinar Mas yang merupakan salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia. Sinar Mas Land terdiri dari dua pengembang besar, yakni Bumi Serpong Damai dan Duta Pertiwi.

Menurut Managing Partner of Redbadge Pacific Timothy Yong, BSD City dinilai memiliki ekosistem dan captive market yang dapat mendorong pertumbuhan startup di bidang urban dan proptech. “Ini juga akan mendorong kehadiran startup lain. Dukungan strategis dan ekosistem menjadi hal yang penting bagi startup proptech untuk bisa berkembang di tahap awal.” Tutupnya.

Fund Amount Participant(s) Vertical/Focus
Urban Gateway Fund N/A Sinar Mas Land; bermitra dengan East Ventures, Redbadge Pacific, dan Prasetia Dwidharma Proptech, Urban
Bio-Health Fund $20 million (Rp292 billion) Bio Farma and MDI Ventures Biotech, healthtech
Fundnel Secondaries Fund $50 million (Rp727 billion) Fundnel Group and BRI Ventures Late-stage startups
Ratu Nusa Fund $10 million (Rp143 billion) Gobi Partners and Ozora Yatrapaktaja Women founders, healthtech, e-commerce, proptech, education, fintech, dan enterprise
IDN Live Streamer Fund Rp50 million IDN Media Content creator, live streamer
Indonesia Impact Fund N/A Mandiri Capital Indonesia and UNDP Social impact
Luno Expeditions N/A Luno Fintech, Web3, Crypto
Teja Ventures $10 million (Rp143 billion) Teja Ventures New economy, fintech, edtech
Cydonia Fund N/A Indogen Capital and Finch Capital Web3

Dana kelolaan yang diluncurkan di sepanjang 2022

Sebelumnya, pemerintah menyebut bahwa pengembangan smart city menjadi mendesak dan signifikan seiring dengan meningkatnya tantangan kependudukan. Bahkan sekitar 82,37% dari total populasi di Indonesia diproyeksi akan tinggal di perkotaan.

MDI Ventures dan Bio Farma Bentuk Dana Kelolaan 292 Miliar Rupiah untuk Startup Biotech

MDI Ventures dan Bio Farma membentuk dana kelolaan baru “Bio Health Fund” sebesar $20 juta atau sekitar 292 miliar Rupiah. Melalui dana kelolaan ini, keduanya membidik investasi startup early dan growth stage yang berfokus pada bidang biotech dan layanan kesehatan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Bio-Health Fund ditargetkan dapat memberikan sinergi kepada Bio Farma sebagai salah satu LP utama. Sekaligus membuka peluang untuk meningkatkan kapabilitas Bio Farma dalam bidang penelitian biotech dan layanan kesehatan secara end-to-end.

“Saat ini industri kesehatan di Indonesia memiliki berbagai tantangan, termasuk bagaimana mengembangkan teknologi baru terkait bio science, farmasi, dan healthtech. Ini menjadi alasan Kementerian BUMN melalui Bio Farma, Kimia Farma, dan Indofarma, untuk berinvestasi teknologi dengan MDI Ventures,” tutur Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury.

Sementara, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengungkap, Bio Farma memiliki nilai kuat dengan posisinya sebagai produsen farmasi dan penyedia layanan kesehatan. Hal ini akan memberi nilai tambah bagi startup biotech untuk melakukan go-to-market.

“Bio-Health Fund tidak membatasi fokus geografi investasinya, terbuka untuk produk dan solusi yang dapat berkontribusi dan memberikan nilai tambah bagi sektor penyedia kesehatan di Indonesia,” tambah Honesti.

Sebagai informasi, Bio Farma merupakan anak usaha BUMN Farmasi yang bergerak di bidang kesehatan secara end-to-end di antaranya R&D, manufaktur, distribusi, hingga retail apotek, klinik, dan lab klinik. Bio Farma menyebut sebagai satu-satunya produsen vaksin manusia di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara.

Sementara MDI Ventures merupakan perpanjangan tangan untuk investasi Telkom Group. Total portofolionya mencapai 64 di mana tiga di antaranya merupakan startup healthtech, yakni Alodokter, mClinica. dan Heals.

Transformasi berbagai sektor

Selain vaksin dan serum, Bio Farma akan menambah portofolio produk dengan berinovasi bersama startup untuk memproduksi kit diagnostik berupa mBio-Cov dan Biosaliva. “Ini menjadi bagian dari inovasi untuk produk life science dan healthtech sebagai ultimate goal kami membentuk ekosistem kesehatan nasional,” tambah Honesti.

Sementara itu, COO & Risk Management MDI Ventures Sandhy Widyasthan mengatakan biotech punya potensi untuk mentransformasi, tak hanya sektor kesehatan, tetapi juga pertanian dan manufaktur di Indonesia.

“Selama dua tahun terakhir, MDI telah berinvestasi di sektor kesehatan dan investasi biotech dengan saran dari Bio Farma. Kami melihat biotech dapat menjadi the next frontier di teknologi yang sudah matang untuk ekspansi lebih cepat,” ucapnya.

Biotech atau biotechnology didefinisikan sebagai proses pemanfaatan bagian dari makhluk hidup untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi manusia. Bioteknologi dapat diterapkan dapat pembuatan pangan, pengolahan limbah, hingga menghasilkan bibit dan produksi tanaman.

Biotech di Indonesia

Mengutip Bisnis.com, Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai startup biotech belum dapat tumbuh optimal di Indonesia karena sejumlah faktor, seperti aturan yang kompleks dan kurangnya kompetitor.

Rata-rata pemain biotech dipegang oleh perusahaan besar dan konglomerasi. Sementara startup-startup berbasis riset membutuhkan waktu lebih lama untuk go-to market karena kurangnya pendanaan dan tidak punya kepastian pendapatan.

Menurut Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang, potensi pertumbuhan startup biotech cukup besar selama diimbangi dengan dukungan pemerintah untuk membangun ekosistem yang dibutuhkan, termasuk kesiapan SDM.

“Startup bioteknologi adalah perusahaan yang membutuhkan SDM yang andal tidak hanya secara digital, tetapi juga secara multiteknologi, kedokteran, kimia, biologi, nanoteknologi, dan lainnya. Selama ini fokus di Indonesia masih lebih banyak pada talenta digital untuk kebutuhan jasa saja,” katanya.

Upaya KlikDokter Memperkuat Posisinya di Pasar Healthtech Indonesia

KlikDokter menunjukkan geliat untuk kembali memperkuat posisinya di pasar healthtech Indonesia. Salah satunya ditandai dengan penunjukan Hendra Tjong sebagai CEO KlikDokter sejak September 2021. Sekadar informasi, Hendra sebelumnya dikenal sebagai Co-founder dan CEO KliknClean.

Dalam kesempatan wawancara dengan DailySocial.id, Hendra mengungkap beberapa gebrakan baru yang akan dilakukan oleh platform milik raksasa farmasi Kalbe Farma ini. Terlebih melihat kondisi bahwa pandemi Covid-19 mulai melandai di Indonesia.

Sekilas mengenai KlikDokter, awalnya berdiri di 2008 sebagai portal seputar informasi kesehatan. Pada 2016, mereka berupaya menjangkau pasar yang lebih luas dengan meluncurkan aplikasi mobile. Beberapa layanan yang ditawarkan adalah telekonsultasi dan pengiriman produk farmasi.

Bagaimana KlikDokter melihat fase pasca-pandemi dan apa saja rencananya tahun ini?

Langkah selanjutnya pasca-pandemi

Menurut prediksi WHO, fase akut pandemi Covid-19 di dunia bakal berakhir di 2022. Sementara, Satgas Covid-19 menyebut Indonesia sedang menuju fase transisi dari pandemi ke endemi. Lalu, apa artinya bagi platform healthtech apabila layanan yang berkaitan dengan Covid-19 mulai tak lagi relevan di masa depan?

Hendra mengakui bahwa pandemi memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengedukasi layanan telekonsultasi kepada masyarakat. Platform healthtech juga mendapat sumber pemasukan baru dari tes Covid-19 (antigen dan PCR) dan pembelian obat/suplemen. Asal tahu saja, telekonsultasi merupakan layanan healthtech yang paling tinggi adopsinya di Indonesia.

Kendati begitu, ia tidak ingin platform healthtech hanya relevan bagi orang sakit. Justru layanan healthtech dapat ditingkatkan relevansinya lewat preventive care. Apalagi pandemi telah membuka mata bagi sebagian orang untuk berolahraga, makan bergizi, dan minum vitamin. “Kesehatan bukan cuma soal [menangani orang sakit] saja. Orang sehat justru lebih banyak,” ujarnya.

Di samping itu, ia menyoroti bahwa telekonsultasi dapat dieksplorasi lebih dalam untuk meningkatkan pengalaman penggunaannya. Saat ini, layanan telekonsultasi masih bersifat dasar. Komunikasi antara dokter dan pasien kebanyakan melalui live chat. Di masa depan, ia berharap telekonsultasi di Indonesia dapat menggunakan video call, BPJS dapat digunakan untuk mengkover biaya telekonsultasi, dan rekam medis dapat tersedia di aplikasi.

“Apabila hal tersebut bisa terealisasi, platform healthtech dapat membuat analisis bagi pasien, misalnya rekomendasi obat. Tapi tentu ini semua harus di-backup dengan data. Kami harap ada rekam medis berbasis elektronik juga nantinya,” tambahnya.

Modernisasi teknologi dan kolaborasi

Dari paparan di atas, Hendra mengungkap sejumlah rencana yang sedang disiapkan. Tak banyak yang dapat dibagikan, tetapi saat ini pihaknya tengah fokus melakukan modernisasi teknologi pada platform KlikDokter dan Hallobumil secara menyeluruh. Lewat modernisasi ini, pihaknya berupaya meningkatkan pengalaman penggunaan dan menghadirkan fitur baru kepada masyarakat.

“Kami akui platform kami kurang user-friendly. Makanya, saat ini kami sedang memperbaiki teknologi dan operasional KlikDokter dan Hallobumil, baik front-end maupun back-end. Kami juga sedang redevelop fitur untuk diagnosis dan preventive care. Kami ingin jangkau lebih luas pasarnya, dari yang muda sampai tua. Targetnya, kami relaunch aplikasi dengan tampilan baru pada Agustus ini,” ungkap Hendra.

KlikDokter awalnya berdiri sebagai portal informasi kesehatan di 2008

Adapun, ia menyebut mayoritas teknologi dikembangkan sendiri oleh KlikDokter. Di luar itu, pihaknya juga membuka ruang kolaborasi dengan mitra eksternal untuk memperluas jangkauan layanannya.

Beberapa di antaranya adalah kemitraan dengan marketplace Shopee yang baru saja diumumkan. Shopee akan berperan sebagai front-end channel layanan telekonsultasi dan pengiriman obat/suplemen dari apotek rekanan KlikDokter. Selain itu, KlikDokter juga sudah bekerja sama dengan platform asuransi We+ untuk layanan serupa. 

“Kami terbuka untuk [mencari] pendanaan eksternal. Sebetulnya, kami sedang fundraising tapi masih confidential. Kami tidak ingin hanya di bawah naungan Kalbe saja. Kami ingin punya lebih banyak partner, baik dalam maupun luar, yang cocok dengan visi-misi KlikDokter. Hopefully, ini dapat membuka akses ke ekosistem lain/baru di luar dari yang kami punya. Kami juga rencana ekspansi ke luar negeri,” ungkapnya.

Berdasarkan laporan keuangan Kalbe di 2021, KlikDokter telah menghubungkan pengguna ke 15.000 dokter terdaftar, 800 klinik dan rumah sakit, serta 2.000 apotek di seluruh Indonesia. Total kunjungan mencapai 10 juta per April 2022 mengacu peringkat di situs Similarweb.

Memanfaatkan aset milik Kalbe

Hendra menyebut bahwa saat ini mayoritas akses dan transaksi KlikDokter justru datang dari mobile browser. Itupun belum seluruhnya berpotensi memberikan pendapatan ke bisnisnya. Menurutnya, hal ini memperkuat anggapan bahwa belum banyak yang tahu keterlibatan KlikDokter dengan Kalbe.

Padahal, ujarnya, Kalbe memiliki pengalaman, data, dan ekosistem kuat di industri kesehatan Indonesia. Kalbe juga memiliki jangkauan distribusi produk yang luas yang mana dapat dimanfaatkan KlikDokter untuk mengakomodasi kebutuhan medis/obat di daerah.

Hal ini dinilai akan menjadi competitive advantage KlikDokter untuk bersaing dengan pemain sejenis di masa depan yang dinilai masih berpusat pada masyarakat di kota-kota besar. Saat ini, Kalbe punya 11 titik distribusi di Indonesia dan akan ditingkatkan menjadi 40 titik.

Sebagai informasi, KlikDokter melalui PT Medika Komunika Teknologi berada di bawah naungan PT Kalbe Farma Tbk (IDX: KLBF). Tadinya, KlikDokter merupakan perusahaan patungan (joint venture) yang didirikan oleh anak usaha Kalbe, PT Karsa Lintas Buwana (PT KLB) bersama PT Kreatif Media Karya (KMK), anak usaha konglomerasi media PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK). Namun, KMK melepas seluruh sahamnya ke KLB sehingga kini KlikDokter dimiliki sepenuhnya oleh Kalbe.

“Selain modernisasi teknologi dan operasional, strategi kami selanjutnya adalah memanfaatkan ekosistem Kalbe seoptimal mungkin agar dapat bersaing dengan kompetitor. Kami fokus menghadirkan layanan/produk di semua segmen, dari bayi sampai orang tua. Kami ingin menjadi perusahaan berbasis data yang dapat di-leverage di ekosistem kesehatan di Indonesia.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Memperoleh Pendanaan Seri B Sebesar 948 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala memperoleh pendanaan seri B sebesar $65 juta atau sekitar 948 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut akan digunakan untuk memperkuat posisi dan jangkauan pasar Qoala di Asia Tenggara.

Disampaikan dalam keterangan resminya, pendanaan ini disuntik oleh sejumlah investor terdahulu antara lain Flourish Ventures, KB Investment, MassMutual Ventures, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India.  Beberapa investor baru juga ikut bergabung di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

Menurut catatan DailySocial.id, jika ditotal dengan pendanaan seri sebelumnya, kisaran investasi yang berhasil dibukukan telah mencapai $87 juta. Berpotensi membawa valuasi perusahaan di angka $300 juta.

Co-founder & COO Qoala Tommy Martin mengaku optimistis untuk menjaga pertumbuhan bisnisnya di tahun ini. Terlebih, ia menyebut telah mengantongi pertumbuhan bisnis di Thailand sebesar tiga kali lipat pasca-bergabung dengan FairDee pada Februari 2021. “Hal ini memberi kami keyakinan akan kemampuan ekspansi Qoala di Asia Tenggara,” tambahnya.

Qoala mencatat pertumbuhan 30 kali lipat sejak menerima pendanaan seri A pada April 2020. Dengan pencapaian ini, Qoala mengklaim sebagai perusahaan insurtech dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.

Pertumbuhan ini didorong oleh berbagai jenis asuransi ritel yang ditawarkan, mulai dari produk mobil, sepeda, rumah, dan kesehatan. Selain itu, Qoala juga berkolaborasi dengan sejumlah platform digital, seperti Traveloka, Shopee, Kredivo, dan Investree untuk produk asuransi mikro. Saat ini, Qoala beroperasi di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Sementara itu, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menambahkan bahwa Qoala punya peluang besar untuk berkembang secara B2B di berbagai sektor industri, mulai dari logistik, logistik, kesehatan, dan pariwisata. “Kami yakin pendanaan ini juga dapat memperkokoh posisi Qoala sebagai perusahaan insurtech terdepan di Asia Tenggara yang memiliki keselarasan inovasi dan sinergi dengan Mandiri Group,” tuturnya.

Ekspansi pasar

Lebih lanjut, Founder & CEO Qoala Harshet Lunani mengungkap akan memperluas jangkauan Qoala di seluruh Asia Tenggara. Ekspansi ini juga termasuk dengan pengembangan teknologi dan layanan untuk mengurangi kendala dalam mengakses produk asuransi.

Di samping itu, ia menilai ruang pertumbuhan asuransi masih sangat besar. Di Indonesia jauh dari penetrasi rata-rata global yang sebesar 6%. “Indonesia, Thailand, dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar pasar asuransi global dengan proyeksi pertumbuhan tercepat pada dekade berikutnya,” ucapnya.

Saat ini, total tenaga pemasar dan mitra bisnis yang terdaftar di Qoala mencapai 50.000 tenaga. Qoala juga telah bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan asuransi. Tahun ini, mereka berencana menambah lebih dari 250 karyawan, serta berinvestasi pada pengembangan teknologi dan produk. Selain itu, perusahaan juga berencana memberikan kompensasi dalam bentuk saham untuk memperkuat kepemilikan karyawan di perusahaan.

Sebagai informasi, Qoala berdiri di 2018 dengan memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia tercatat 3,18% yang mencakup asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), asuransi sosial (1,45%), dan asuransi wajib (0,08%). Adapun angka densitas (biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk bayar premi) sebesar Rp1,82 juta.

Application Information Will Show Up Here

Modalku Lanjutkan Ekspansi Regional ke Vietnam

Grup Modalku meresmikan ekspansi bisnisnya di Vietnam. Langkah ini menandai ekspansi kelima Grup Modalku di Asia Tenggara setelah Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand, untuk mengakomodasi pelaku UMKM yang memiliki keterbatasan akses permodalan.

Adapun, Grup Modalku sudah beroperasi di Vietnam sejak Desember 2021. Hingga saat ini, perusahaan telah mencairkan pinjaman lebih dari $20 juta, dan jumlahnya akan ditingkatkan menjadi $90 juta pada tahun ini.

Dengan ekspansi ini, Grup Modalku akan melayani UMKM di berbagai sektor, seperti pendidikan, ritel, teknologi, dan FMCG, dengan menawarkan produk pembiayaan perdagangan, pembiayaan inventaris, pembiayaan piutang dan utang di Ho Chi Minh, Hanoi, dan sekitarnya.

“Ini menjadi momentum yang tepat untuk membangun tim yang solid dan mengamankan pendanaan mengingat situasi pandemi mulai menurun di global. Kami yakin Vietnam akan menjadi salah satu pasar terbesar kami dengan melihat potensinya,” ucap Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya dalam keterangan resminya.

Sejak pandemi Covid-19, akses terhadap permodalan menghambat pertumbuhan UMKM di Vietnam. Berdasarkan data Kementerian Perencanaan dan Investasi Vietnam, UMKM mengambil porsi sebanyak 98% dari total bisnis di 2020. Namun, hanya 54% UMKM terdaftar yang aktif beroperasi di 2019. Padahal, UMKM telah memberikan lapangan pekerjaan terhadap 5,6 juta orang dan menyumbang lebih dari $241 miliar atau 40% dari PDB di Vietnam.

Menurut Country Director Funding Societies Vietnam Ryan Galloway, UMKM di Vietnam tidak punya akses ke badan usaha permodalan yang setara layaknya di kawasan Asia Tenggara lain. Kendati begitu, pelaku usaha di Vietnam memiliki daya saing kuat dengan sumber daya terbatas.

“Kami bersemangat untuk mendukung sektor UMKM yang sedang berkembang di sini sehingga kami dapat melayani kebutuhan jutaan UMKM di seluruh Asia Tenggara,” tambah Galloway.

Adaptasi pasar

Mengawali 2022, raksasa teknologi Vietnam, VNG Corporation menyuntik $22,5 juta di Grup Modalku sebagai bagian dari pendanaan seri C+ sebesar $144 juta dan fasilitas dana pinjaman $150 juta. Selain VNG, putaran pendanaan ini turut melibatkan investor lain, termasuk SoftBank Vision Fund 2, Rapyd Ventures, EDBI, Indies Capital, Ascend Vietnam Ventures, dan K3 Ventures.

Menurut Reynold, keterlibatan investasi VNG akan memampukan Grup Modalku untuk beradaptasi di pasar lokal sehingga dapat menciptakan solusi sesuai kebutuhan bisnis di Vietnam.

Lebih lanjut, menyusul kesuksesan Grup Modalku di negara lain, Galloway menyebut akan mempersingkat waktu penyelesaian proses pinjaman dengan melakukan otomatisasi pada proses operasional dan penilaian (underwriting) bagi para pelaku UMKM di Vietnam.

Selain itu, Grup Modalku juga berencana menghadirkan pendanaan digital secara nasional dengan mata uang lokal di pertengahan tahun ini. Grup Modalku juga membuka peluang kolaborasi dengan berbagai platform teknologi dan perbankan demi mendukung misi jangka menengah dan panjang menjadi neobank.

Sebagai informasi, baru-baru ini Grup Modalku bersama platform jual-beli otomotif Carro mengumumkan investasi saham bersama (co-investment) di PT Bank Index Selindo (Bank Index). Tidak disebutkan nilai investasi bersama ini.

Grup Modalku, atau dikenal sebagai Funding Societies, mengklaim sebagai satu-satunya platform pendanaan UMKM berbasis digital yang punya lisensi dan terdaftar di lima negara di Asia Tenggara. Di tahun ketujuh beroperasi, Grup Modalku telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp33,27 triliun ke lebih 5 juta pinjaman.

Modalku berupaya untuk mengatasi kesenjangan keuangan bagi pelaku UMKM di Asia Tenggara. Produk yang ditawarkan antara lain fasilitas pinjaman berjangka hingga berbagai opsi pembiayaan berbasis perdagangan, seperti invoice financing.

Application Information Will Show Up Here

BRI Ventures dan Fundnel Bentuk Dana Kelolaan Bernilai 727 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) dan Fundnel Group (Fundnel) menandatangani kesepakatan untuk membentuk dana kelolaan baru, yakni Fundnel Secondaries Fund. Dana kelolaan ini akan mendukung akselerasi pertumbuhan startup di Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Dalam keterangan resminya, BVI dan Fundnel menargetkan dapat mengumpulkan investasi sebesar $50 juta atau setara Rp727 miliar pada dana kelolaan ini. Adapun, penandatanganan MoU keduanya dilakukan pada Senin (09/5).

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengungkap bahwa tren “exit sangat sulit dilakukan akhir-akhir ini dikarenakan berbagai faktor makro. Maka itu, BRI Ventures sangat antusias untuk berinvestasi di startup tahap akhir dengan membantu menyediakan likuiditas di pasar. “Kolaborasi ini akan menjadi entry point yang menarik bagi pemodal asing yang ingin berinvestasi besar ke startup yang tengah berkembang di Indonesia,” tuturnya.

Sementara itu, Co-Founder and CEO Fundnel Kelvin Lee mengatakan, kolaborasi ini dapat membuka akses ke jaringan investor global untuk berinvestasi ke startup yang memiliki pertumbuhan tinggi di Indonesia. Dengan rekam jejak BVI dan Fundnel, pihaknya meyakini dapat mendapatkan kesepakatan investasi yang kuat.

“Kami optimistis dapat mencapai potensi pertumbuhan yang diinginkan, sekaligus ini menandai komitmen kami untuk menyediakan akses dan likuiditas ke ekosistem startup di Indonesia,” ujar Kevin.

Dalam laporan e-Conomy SEA oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai ekonomi digital di Indonesia diproyeksi tumbuh sebesar 18,9% dari $44 miliar di 2020 menjadi $124 miliar di 2025. Pertumbuhan ini turut dipicu oleh meningkatnya penetrasi internet, smartphone, dan infrastruktur telekomunikasi di area rural.

Adapun, Fund membidik portofolio dengan pertumbuhan tinggi melalui jalur investasi non-tradisional yang dinilai dapat mendukung pemegang saham, baik investor awal (early backer), founder, maupun karyawan.

Strategi ini juga dinilai dapat meningkatkan antusiasme para investor untuk mengembangkan startup. Sementara, investor existing dapat menginvestasikan kembali modalnya ke peluang bisnis baru.

Upaya perluas likuiditas

Sebagai informasi, Fundnel Group merupakan marketplace untuk aset alternatif terbesar di Asia Tenggara. Dalam tiga tahun terakhir, Fundnel telah mengelola lebih dari $12 miliar secondary deal (kondisi di mana investor membeli kepemilikan saham dari investor awal, founder, atau karyawan di sebuah perusahaan).

Dengan lisensi yang dimiliki Fundnel dan keterlibatannya terhadap ekosistem penggalangan dana di Asia Tenggara, mereka punya posisi kuat dalam membuka akses dan memberikan pengaruh harga yang lebih besar dalam mengakuisisi saham unicorn secara regional.

Sejalan dengan misinya, Fundnel tengah mengeksplorasi opsi tokenisasi untuk Fund di Hg Exchange (HGX) demi menyediakan likuiditas bagi investor. Opsi ini dapat memungkinkan investor baru untuk memanfaatkan likuiditas di HGX serta berinvestasi di perusahaan dengan pertumbuhan tinggi dengan ticket size minimal $10.000.

Melalui HGX, Fundnel Group juga dapat mendukung tokenisasi dan kepemilikan digital dari aset alternatif, seperti private security, dana kelolaan, dan asset-backed security (ABS) sebagai solusi end-to-end untuk memperdagangkannya dalam jumlah kecil dengan harga lebih murah sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan likuiditas di pasar swasta.

Platform Pencarian Kerja “Atma” Segera Debut, Kantongi Pendanaan Awal 73 Miliar Rupiah

Platform pencarian kerja Atma mengantongi pendanaan tahap awal (pre-seed) sebesar $5 juta atau sekitar 73 miliar Rupiah. Pendanaan ini dipimpin oleh AC Ventures serta didukung oleh Global Founders Capital (GFC).

Selain itu, sejumlah pendiri turut berpartisipasi sebagai angel investor strategis, di antaranya dari GoTo Group, Advance Intelligence Group, Ula, Lummo, Kopi Kenangan, Sampoerna Strategic, MMS Group, dan Xiaomi.

Sebagai informasi, Atma didirikan di 2022 oleh sejumlah eks petinggi perusahaan teknologi, yaitu Edy Tan (eks Chief of Driver Gojek), Chris Gunawan (eks Co-founder RestoDepot dan Product Executive Vara), Susan Suhargo (eks Strategic Initiatives Tencent dan Regional Marketing Gojek), Tim Young (eks investor Atlas Asset Management dan Fixed Income Trader HSBC), dan Monica Oudang (Ketua YABB-GoTo Foundation dan eks CHRO Gojek yang menjabat sebagai penasihat).

Atma merupakan platform pencarian kerja berbasis komunitas yang membidik para pencari kerja berpenghasilan menengah ke bawah (kurang dari Rp10 juta per bulan), terutama segmen usia produktif di Indonesia. Atma berupaya membangun ekosistem secara end-to-end yang mencakup pasar kerja, lembaga peningkatan keterampilan, dan sistem dukungan berbasis komunitas.

Saat ini layanan Atma masih belum dirilis ke publik. Kendati di situs resminya mereka sudah menjaring calon pengguna tahap awalnya.

Terinspirasi pengalaman bekerja bersama driver

Co-founder & CEO Atma Edy Tan mengaku terinspirasi mendirikan startup baru ini dari pengalamannya bekerja sebagai eksekutif Gojek yang menangani komunitas driver. Ia melihat dampak sosial dari layanan Gojek yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan di sektor informal ke 2,5 juta driver di Indonesia.

Dengan misi serupa, Edy ingin menjangkau populasi yang lebih luas dan mencakup sektor formal. Untuk itu, pendanaan ini akan digunakan untuk mendukung pengembangan kualitas produk dan layanan, menjalankan strategi go-to-market, dan memperluas jumlah tim mereka hingga akhir tahun ini.

Sementara itu, Founder dan Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji mengungkap ada lebih dari 100 juta pekerja aktif yang berpenghasilan menengah ke bawah menghadapi inefisiensi signifikan dalam mencari pekerjaan yang tepat dan sesuai keahlian dan preferensi mereka.

“Atma dapat membantu pemberi kerja melakukan seleksi pelamar dengan kualifikasi lebih relevan serta memberi peluang pengembangan karier lewat sertifikasi atau pelatihan tambahan. Atma akan mendefinisikan kembali pengalaman mencari kerja,” tutur Michael.

Selain Atma, saat ini ada sejumlah platform job marketplace lain yang juga beroperasi. Salah satunya Lumina yang baru mendapatkan pendanaan awal dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures awal Januari 2022 lalu. Selain tu ada juga Sampingan, MyRobin, Glints, dan lain sebagainya.

Inefisiensi proses pencarian kerja

Lebih lanjut, Edy menilai ada sejumlah masalah yang kerap dialami oleh para pencari kerja di segmen berpenghasilan menengah ke bawah. Padahal, digitalisasi telah berkembang secara masif di Indonesia.

Pada kegiatan rekrutmen, misalnya, ada inefisiensi yang signifikan di mana prosesnya memakan waktu panjang, dimulai dari pembukaan lowongan pekerjaan, seleksi kandidat, wawancara, hingga penerimaan kandidat. Situasi ini tak jarang membuat calon pekerja merasa terabaikan dalam waktu yang lama.

Bahkan ia menilai kemunculan internet sekalipun belum mampu menghadirkan inovasi yang dapat menjadi solusi menyeluruh terhadap permasalahan ini. “Para pencari kerja di segmen ini menggambarkan pengalaman mencari kerja sebagai sesuatu yang membawa trauma emosional. Sementara perusahaan mendeskripsikan pengalaman mencari kandidat sebagai proses random walk,” ungkapnya.  

Dari pain point tersebut, Atma ingin menghadirkan solusi produk berskala besar untuk mendefinisikan kembali proses pencarian kerja. Atma membangun produk untuk mengubah pengalaman pencari dan pemberi kerja secara keseluruhan dengan menggunakan elemen inti berbasis kemudahan, interaktivitas, sociability, personalisasi, dan gamifikasi.

“Kita sedang memasuki era teknologi berbasis komunitas di mana segala sesuatu yang kita lakukan terpengaruh oleh individu ataupun sekelompok orang. Komunitas memberikan identitas, rasa memiliki, koneksi, dukungan dan pertumbuhan bagi para pencari kerja,” tutup Edy.

Saturdays Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin oleh Altara Ventures

Startup direct-to-consumer (DTC) Saturdays mengumumkan pendanaan seri A dengan nilai investasi yang dirahasiakan. Pendanaan ini dipimpin oleh Altara Ventures dengan sejumlah partisipasi dari DSG Consumer Partners dan afiliasi lainnya.

Terakhir kali Saturdays menutup pendanaan tahap awal (seed) dari Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners pada 2020, tetapi baru diumumkan pada Februari 2021.

Co-Founder Saturdays Andrew Kandolha mengatakan, pendanaan tersebut akan mempercepat ekspansinya ke seluruh Indonesia dan memperkuat pengalaman omnichannel berbasis teknologi.

“Dengan posisinya sebagai merek DTC, penting untuk memberikan kepuasan pelanggan pada pertemuan pertama. Maka itu, pendekatan omnichannel berbasis teknologi yang kami miliki punya peran penting untuk memudahkan pelanggan berbelanja dengan pengalaman lebih menyenangkan, baik lewat website, aplikasi, SMS, layanan uji coba di rumah, hingga di toko fisik,” ujar Andrew.

Partner dan CMO Altara Ventures Huiting Koh menambahkan, solusi hibrida dengan menggabungkan jaringan toko fisik dan layanan uji coba di rumah menjadi daya tarik Saturdays dalam memperluas jangkauan dengan konsep lifestyle.

Sebagai informasi, Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016. Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Layanan omnichannel Saturdays

Saturdays berupaya menjawab salah satu isu penting terkait penanganan gangguan penglihatan di Indonesia. Perusahaan mencatat, hanya sepertiga dari penduduk di Indonesia yang mampu mengakses atau membeli kacamata dengan resep maupun layanan perawatan penglihatan.

Di samping itu, masih banyak masyarakat yang memilih membeli produk kacamata bermerek yang dirancang untuk western face, atau sekadar membeli kacamata tiruan dengan kualitas kurang baik.

World Health Organization (WHO) mengungkap bahwa kacamata dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30% dan pendapatan keseluruhan sebesar 20% di berbagai negara berkembang.

Untuk menghadirkan pengalaman omnichannel, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. Total toko Saturdays saat ini telah mencapai 15 gerai.

Saturdays juga merilis aplikasi “Saturdays Lifestyle” pada awal 2021 sebagai strategi untuk membentuk perilaku baru dalam berbelanja kacamata melalui platform digital. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk melakukan uji coba produk langsung dari rumah (Home Try-On).

Saturdays mengklaim sebagai pelopor layanan ini karena ditangani oleh ahli optik berlisensi dengan menghadirkan lebih dari 100 frame bersama dengan peralatan pengujian mata yang nyaman untuk dilakukan di rumah.

“Kami ingin menghadirkan visi baru lewat pendekatan omnichannel sehingga dapat memberikan solusi bagi siapa pun dengan menyediakan kacamata bagi jutaan masyarakat,” tambah Co-founder Saturdays Rama Suparta.

D2C di Asia Tenggara

Dalam tulisannya, eks Venture Analyst Intern di Plug and Play APAC Kartik Jain mengungkap sejumlah faktor penting untuk melihat kesiapan pasar Asia Tenggara menyambut D2C. Memang pasar D2C berkembang signifikan, utamanya dipicu oleh pandemi Covid-19.

Pada dasarnya, pelaku D2C  harus dapat mengendalikan rantai pasokan secara penuh baik dari aspek desain, manufaktur, pemasaran hingga distribusi.

Namun, sebelum itu, pelaku D2C juga perlu memerhatikan faktor-faktor makro lain yang dapat memberikan peran signifikan terhadap kesuksesan D2C, seperti penetrasi internet dan pembayaran berbasis elektronik dan digital.

Jain juga menyoroti tentang metrik Customer Lifetime Value (CLV) dan Customer Acquisition Cost (CAC) yang sama-sama punya posisi penting pada model D2C. Menurutnya, model D2C harus memiliki retensi yang tinggi untuk membuat nilai ekonomi lebih layak. Hanya saja, untuk mencapainya, pelaku D2C perlu mengeluarkan biaya lebih banyak pada pemasaran yang pada akhirnya harus menaikkan CAC.

Dalam konteks pasar Indonesia, e-Conomy SEA Report mencatat ada sebanyak 21 juta pengguna digital baru sejak awal pandemi hingga pertengahan 2021, di mana 72% di antaranya berasal dari kota non-metropolitan. Adapun, GMV e-commerce Indonesia diperkirakan tumbuh 52% mencapai $53 miliar di 2021 dan diproyeksi sebesar $104 miliar di 2025.

Application Information Will Show Up Here